LEMBAGA LEMBAGA PENDIDIKAN ISLAM docx

LEMBAGA-LEMBAGA PENDIDIKAN ISLAM

Mata Kuliah

: Ilmu pendidikan islam

Dosen Pengampu

: Drs. Abdullah Thahir, M.Si

Disusun oleh :
Semester IV.A

Nama : Muhammad Nur Fajri R
Nim/Nimko : 14010016/8072114016
Semester IV.A

SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM DDI
PINRANG
TAHUN 2016


1

I.

PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG
Pendidikan di Indonesia telah berlangsung jauh-jauh hari sebelum
terbentuknya Republik Indonesia. Pendidikan di Indonesia sudah ada sejak zaman
kuno, oleh sebab itu sejarah pendidikan di Indonesia bisa dibilang cukup panjang.
Pada awalnya pendidikan di Indonesia muncul sejak zaman kuno, kemudian mulai
berkembang saat agama hindu-budha masuk ke Indonesia. Masuknya agama
hindhu ke Indonesia memberi dampak yang cukup signifikan terhadap system
pendidikan di Indonesia. Sistem pendidikan Hindu-Buddha dikenal dengan istilah
karsyan. Karsyan adalah tempat yang di peruntukan bagi betapa dan untuk orangorang yang mengundurkan diri dari keramaian dunia dengan tujuan mendekatkan
diri dengan dewa tertinggi. Karsyan dibagi menjadi dua bentuk yaitu patapan dan
mandala. Pendidikan terus berkembang terutama di daerah-daerah yang menjadi
pusat kerajaan, seperti di Sriwijaya yang berdiri sebuah universitas.
Pendidikan islam pada umumnya muncul dan berkembang karena pengaruh
seorang tokoh agama, yang sering di sebut kiayi. Khusus di pulau jawa, tokoh

agama itu disebut wali. Pada umumnya para wali mendirikan sebuah pesantren
untuk mengajarkan agama islam.
Pendidikan Islam semakin berkembang sejalan dengan adanya ide-ide cemerlang
dari para tokoh Islam itu sendiri dalam mengembangkan pendidikan Islam.
B. RUMUSAN MASALAH
1. Bagaimana Lembaga-Lembaga Pendidikan Islam di Indonesia?
2. Metode apa yang sering digunakan dalam pendidikan pesantren?

II.

PEMBAHASAN

2

Lembaga-Lembaga Pendidikan Islam di Indonesia
1. Masjid dan Langgar
Mesjid fungsi utamanya adalah untuk tempat shalat yang lima waktu ditambah
dengan sekali dalam satu minggu shalat Jum’at dan dua kali dalam satu tahun
untuk shalat hari raya. Selain dari mesjid ada juga tempat ibadah yang disebut
dengan langgar bentuknya lebih kecil dari mesjid dan hanya di gunakan untuk

shalat lima waktu, bukan untuk shalat jum’at.
Selain dari fungsi utama mesjid dan langgar di fungsikan juga untuk tempat
pendidikan di tempat ini dilakukan pendidikan buat orang dewasa maupun anakanak. Pengajian buat orang dewasa adalah penyampaian-penyampaian ajaran
Islam oleh mubaligh kepada para jama’ah dalam bidang yang berkenaan dengan
akqidah, ibadah dan akhlak. Sedangkan pengajian yang dilaksanakan ialah anakanak berpusat kepada pengajian Al-Qur’an menitik beratkan kepada kemampuan
membaca dengan baik sesuai dengan kaidah-kaidah bacaan, selain dari itu anakanak juga diberikan pendidikan keimanan, ibadah dan akhlak.1
Sistem pengajaran di masjid, sering memakai sistem halaqah, yaitu guru
membaca dan menerangkan pelajaran sedangkan siswa mempelajari atau
mendengar saja, hampir mirip dengan sistem klasikal yang berlaku sekarang.
Salah satu sisi baik dari sistem halaqah ialah pelajar-pelajar diminta terlebih
dahulu mempelajari sendiri materi-materi yang akan diajarkan oleh gurunya,
sehingga seolah-olah pelajar menselaraskan pemahamannya dengan pemahaman
gurunya tentang maksud dari teks yang ada dalam sebuah kitab. Sistem ini
mendidik palajar belajar secara mandiri.

2. Meunasah, Rangkang dan Dayah
1 Haidar Putra Daulay, Sejarah Pertumbuhan dan Pembaruan Pendidikan Islam di Indonesia,
(Jakarta: Kencana, 2007), hlm. 20-21.

3


Secara etimologi meunasah, secara etimologi berasal dari bahasa Arab, yakni
madrasah, yang berarti tempat belajar. Dalam perjalanan waktu kata madrasah itu
oleh masyarakat Aceh berubah menjadi meunasah.2 Terminologinya adalah tempat
untuk salat dan juga digunakan untuk belajar tentang ilmu keislaman pada tingkat
dasar termasuk orang yang baru belajar membaca al Qur’an. Ismuha
mengungkapkan bahwa keberadaan meunasah yang ada di setiap desa atau
kampung di seluruh Aceh , sejak zaman kerajaan Aceh, digunakan sebagai tempat
belajar agama, mengaji, sebagai tempat salat lima waktu, tempat musyawarah,
tempat penyelesaian sengketa yang terjadi di tengah-tengah masyarakat dan
sebagai tempat untuk berbagai kegiatan sosial dan keagamaan lainnya. Jadi kalau
disebut sesorang sebagai teungku meunasah, maka dia adalah orang yang
mengajar mengaji al Qur’an dan sering menjadi imam salat di meunasah. Taufik
Abdullah, dalam Ismail Sunni, mengatakan bahwa sebelum suatu kampung
dibangun, mereka (masyarakat Aceh) terlebih dahulu membangun meunasah
sebagai tempat beribadah dan belajar, baru kemudian mendirikan perkempungan.
Di samping sebagai tempai beribadah, meunasah juga berfungsi sebagai suatu
tempat belajar tingkat dasar dalam tiap-tiap gampoung (kampung/desa) ketika itu.3
Di tinjau dari segi pendidikan, meunasah adalah lembaga pendidikan awal bagi
anak-anak yang dapat di samakan dengan tingkatan sekolah dasar. Di meunasah

para murid di ajar menulis/membaca huruf Arab, ilmu agama dalam bahasa Jawi
(Melayu), akhlak. Disetiap kampung di Aceh ada meunasah, sebagai tempat
belajar bagi anak-anak.
Rangkang adalah tempat tinggal murid, yang di bangun di sekitar mesjid. Sistem
pendidikan di Rangkang ini sama dengan sistem pendidikan di pesantren, muridmurid duduk membentuk lingkaran dan si guru menerangkan pelajaran, berbentuk
halakah, metode yang disampaikan di dunia pesantren di sebut namanya dengan
sorogan dan wetonan.
2 A. Hasyimi, Mnera Johan (Bandung: Bulan Bintang, 1976), hlm. 104.
3 Ismail Sunni, Bunga Rampai Tentang Aceh (Jakarta: Batara Karya Aksara, 1980), hlm. 211.

4

Rangkang itu dalam bentuk rumah, tetapi lebih sederhana, memiliki satu lantai
saja, di kanan kiri gang pemisah (blog) masing-masing untuk 1-3 murid, kadangkadang rumah yang tidak dipakai lagi oleh rang shaleh diwakafkan untuk siswa.
Rumah tersebut di serahkan kepada guru untuk dijadikan sebagai rangkang.4
Lembaga pendidikan khas Aceh yang selanjutnya disebut Dayah merupakan
sebuah lembaga yang pada awalnya memposisikan dirinya sebagai pusat
pendidikan pengkaderan ulama. Kehadirannya sebagai sebuah institusi pendidikan
Islam di Aceh bisa diperkirakan hampir bersamaan tuanya dengan Islam di
Nusantara. Kata Dayah berasal dari bahasa Arab, yakni zawiyah, yang berarti

pojok Istilah zawiyah, yang secara literal bermakna sudut, diyakini oleh
masyarakat Aceh pertama kali digunakan sudut mesjid Madinah ketika Nabi
Muhammad saw berdakwah pada masa awal Islam. Pada abad pertengahan, kata
zawiyah difahami sebagai pusat agama dan kehidupan mistik dari penganut
tasawuf, karena itu, didominasi hanya oleh ulama perantau, yang telah dibawa ke
tengah-tengah masyarakat. Kadang-kadang lembaga ini dibangun menjadi sekolah
agama dan pada saat tertentu juga zawiyah dijadikan sebagai pondok bagi pencari
kehidupan spiritual. Dhus, sangat mungkin bahwa disebarkan ajaran Islam di
Aceh oleh para pendakwah tradisional Arab dan sufi; Ini mengidentifikasikan
bagaimana zawiyah diperkenalkan di Aceh. Di samping itu, nama lain dari dayah
adalah rangkang. Perbedaannya, eksistensi dan peran rangkang dalam kancah
pembelajaran lebih kecil dibandingkan dengan dayah.5
Dayah atau rangkang dianggap sama dengan pesantren di Jawa atau surau di
Sumatera Barat, namun ketiga lembaga pendidikan ini tidaklah persis sama.
Setidaknya bila ditnjau dari segi latar belakang historisnya. Pesantren sudah ada
sebelum Islam tiba di Indonesia.Masyarakat Jawa kuno telah mengenal lembaga
pendidikan yang mirip dengan pesantren yang diberi nama dengan pawiyatan. Di
lembaga ini guru yang disebut Ki ajar hidup dan tinggal bersama dengan
muridnya yang disebut Cantrik. Disinilah terjadi proses pendidikan, dimana Ki
4 Haidar Putra Daulay, Op.Cit., hlm. 24.

5 Muntasir, Dayah dan Ulama dalam Masyarakat Aceh, dalam Sarwah, vol II,
hlm. 43.

5

ajar mentransfer ilmunya dan nilai-nilai kepada cantriknya.Kata pesantren berasal
dari “santri” yang berarti seorang yang belajar agama Islam, demikian pesantren
mempunyai arti tempat orang berkumpul untuk belajar agama Islam. Sedangkan
surau di Minangkabau merupakan suatu institusi penduduk asli Minangkabau
yang telah ada sebelum datangnya Islam ke wilayah tersebut. Di era Hindu –
Budha di Minangkabau, suarau mempunyai kedudukan penting dalam struktur
masyarakat. Fungsinya lebih dari sekedar tempat aktifitas keagamaan. Menurut
ketentuan Adat, suarau berfungsi sebagai tempat berkumpulnya para remaja, lakilaki dewasa yang belum kawin atau duda.Dengan demikian ketiga institusi ini
pada prinsipnya memiliki latar belakang historis yang berbeda, namun
mempunyai fungsi yang sama.6
3. Surau
Dalam kamus bahasa Indonesia, surau di artikan tempat (rumah) ummat islam
melakukan ibadahnya (shalat, mengaji dan sebagainya), pengertian apabila dirinci
mempunyai arti bahwa surau berarti suatu tempat bangunan kecil untuk tempat
shalat, tempat belajar mengaji anak, tempat wirid (pengajian agama) bagi orang

dewasa.
Di pandang dari sudut budaya keberadaan suarau sebagai perwujudan dari
budaya Minagkabau yang matriachat. Anak-anak yang sudah akil baligh, tidak
lagi layak tinggal dirumah orang tuanya, sebab saudara-saudara perempuannya
akan kawin.
Surau berfungsi sebagai lembaga sosial budaya, dalah fungsinya sebagai
tempat pertemuan par apemuda dalam upaya mensosialisasikan diri mereka.
Selain dari itu suarau juga berfungsi sebagai tempat persinggahan dan
peristirahatan para musafir yang sedng menempuh perjalanan, dengan demikian
suarau mempunya multifungsi.

6 Haidar Putra Daulay, Historisitas dan Eksistensi: Pesantren dan Madrasah
(Yogjakarta: Tiara Wacana, 2001), hlm. 7.

6

Sistem

pendidikan


disuaru

banyak

kemiripannya

dengan

sistem

pendidikan di pesantren. Murid tidak terikat dengan sistem administrasi yang
ketat. Syekh atau guru mengajar dengan metode bendongan dan sorongan, ada
juga murid yang berpindah kesurau lain dia sudah merasa cukup memperoleh
ilmu di surau terdahulu. Dari segi mata pelajaran yang diajarkan di surau sebelum
masuknya ide-ide pembaruan pemikiran islam pada awal abad ke-20 adalah mata
pelajaran agama yang berbasis kepada kitab-kitab klasik.
4. Pesantern
Pesantren adalah sekolah Islam berasrama yang terdapat di Indonesia yang
bertujuan untuk memperdalam pengetahuan tentang al-Qur’an dan Sunnah Rasul
dengan mempelajari bahasa Arab dan kaidah-kaidah tata bahasa-bahasa Arab.

Pesantren merupakan pendidikan islam tertua di Indonesia yang berfungsi sebagai
pusat dakwah dan pengembangan agama islam. Kata pesantren berasal dari bahsa
tamil yang berarti “guru mengaji” namun ada juga yang menyebut berasal dari
bahsa sansekerta “shstri” yang berarti orang-orang yang mempelajari buku-buku
suci atau orang yang melek huruf.
Pada umumnya pesantren terdiri dari beberapa element atau unsur, yaitu:
a. Pondok
Pondok pesantren merupakan lembaga pendidikan Islam tradisional yang lebih
menekankan aspek moralitas kepada santri dalam kehidupan ini karenanya untuk
nilai-nilai tersebut diperlukan bimbingan yang matang kepada santri, untuk
memudahkan itu diperlukan sebuah asrama sebagai tempat tinggal dan belajar di
bawah bimbingan seorang kiayi.

b. Masjid

7

Masjid merupakan elemen yang paling penting, sebab masjid merupakan
tempat pusat kegiatan yang ada bagi umat Islam. Masjid di jadikan sebagai pusat
pendidikan. Seorang kiyai yang ingin mengembangkan pasantren, bisanya yang

pertama didirikan adalah masjid di dekat rumahnya, karena dengan demikian
berarti Ia telah memulai sesuatu dengan simbol keagaman, yaitu Masjid yang
merupakan rumah Allah, dimana di dalamnya dipenuhi dengan rahmat dan ridho
Allah SWT .
c. Santri
Santri adalah siswa yang tinggal di pesantrenseorang santri harus memperoleh
kerelaan sang kyai, dengan mengikuti segenap kehendaknya dan melayani
segenap kepentingannya. Pelayanan harus dianggap sebagai tugas kehormatan
yang mrupakan ukuran penyerahan diri itu. Kerelaan kyai ini, yang dikenal
dipesantren dengan nama “barokah”, adalah alasan tempat berpijaknya santri di
dalam menuntut ilmu.
d. Kitab kuning
Kitab Kuning, pada umumnya dipahami sebagai kitab- kitab keagamaan
berbahasa Arab, mengunakan aksara Arab, yang dihasilkan oleh para ulama dan
pemikir muslim lainnya di masa lampau, hususnya yang berasal dari Timur
Tengah. Kitab Kuning mempunyai format sendiri yang khas dan warna kertas
“kekuning-kuningan”.pada umunya isinya menyinggung masalah syaria’at atau
fiqih dan masalah-masalah keimanan.
e. Kiayi
kyai merupakan unsur kunci dalam pesantren, karena itu sikap hormat
(takzim) dan kepatuhan mutlak terhadap kyai adalah salah satu nilai pertama yang
ditanamkan kepada santri. Kyai dengan karomahnya, adalah orang yang
senantiasa dapat memahami keagungan Allah dan rahasia alam. Dengan demikian,
kyai dianggap memiliki kedudukan yang tidak terjangkau, utamanya oleh orang
biasa. Karena karomahnya, santri dan masyarakat menyerahkan kekuasaan yang

8

luas pada kyai, dan biasanya mereka percaya hanya orang-orang tertentu yang
bisa

mewarisi

karomahnya

tersebut

seperi

keturunannya

dan

santri

kepercayaannya.
Ada dua metode yang sering digunakan dalam pendidikan pesantren, yaitu:
a. Metode Wetonan
Yaitu metode dimana Kiai membaca suatu kitab dalam waktu tertentu, dan
santri dengan membawa kitab yang sama mendengarkan dan menyimak bacaan
kiai tersebut. Dalam sistem pengajaran yang semacam ini tidak mengenal absen.
Santri boleh datang dan tidak boleh datang, juga tidak ada ujian. Apakah santri itu
memahami apa yang dibaca Kiai atau tidak, hal itu tidak bisa diketahui. Dalam hal
ini dapat dikatakan bahwa sistem pengajaran di Pondok Pesantren itu adalah
bebas, yaitu bebas mengikuti kegiatan belajar dan bebas untuk tidak mengikuti
kegiatan belajar.
b. Metode Sorongan
Yaitu metode dimana santri (biasanya yang pandai) menyedorkan sebuah kitab
kepada kiai untuk dibaca di hadapan kiai itu. Dan kalau ada kesalahan langsung
dibetulkan oleh kiai itu. Di Pondok Pesantren yang besar, mungkin untuk dapat
tampil di depan kiainya dalam membawakan/ menyajikan materi yang ingin
disampaikan, dengan demikian santri akan dapat memahami dengan cepat
terhadap suatu topik yang telah ada papa kitab yang dipegangnya.7
5. Madrasah
Kata madrasah dalam bahasa Arab berarti tempat atau wahana untuk
mengenyam proses pembelajaran.8 Dalam bahasa Indonesia madrasah disebut

7 Hasbullah, Sejarah Pendidikan Islam di Indonesia: Lintasan Sejarah
Pertumbuhan dan Perkembangan (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1999), hlm.
144.
8 Abuddin Nata, Sejarah Pendidikan Islam Pada Periode Klasik dan
Pertengahan (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2004), hlm. 50

9

dengan sekolah yang berarti bangunan atau lembaga untuk belajar dan memberi
pengajaran.9
Dari pengertian di atas maka jelaslah bahwa madrasah adalah wadah atau tempat
belajar ilmu-imu keislaman dan ilmu pengetahuan keahlian lainnya yang
berkembang pada zamannya. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa istilah
madrasah bersumber dari Islam itu sendiri.
6. Sekolah-Sekolah Dinas
Setelah indonesia merdeka, ditetapkan departemen yang membidangi dan
mengurus masalah agama adalah departemen agama. Departemen agama berdiri
sejak tanggal 3 Januari 1946, dengan Mentri Agamanya yang pertama M. Rasyidi,
BA. Dari sekian banyak tugas Departemen ini, salah diantaranya ada bidang
pendidikan. Dengan ditanda tanganinya SKB 3 Mentri yang berisikan tentang
peraturan pengajaran agama di sekolah-sekolah negeri yang berlaku mulai 1
Januari 1947.
Pada surat keputusan bersama ini dijelaskan:
a. Guru-guru agama diangkat, diberhentikan dan sebagainya oleh Mentri
Agama, atas instansi agama yang bersangkutan
b. Begitu pula segala biaya untuk pendidikan agama itu menjadi tanggungan
Kementirian Agama.
Berdasarkan SKB tersebut, maka Kementrian Agama berkewajiban untuk
mengangkat dan mengadakan guru agama, dalam hal mengadakan guru agama
menjadi persoalan bagaimana mendapatkan tenaga guru untuk mengajar agama
disekolah-sekolah. Pada Tanggal 15 Agustus 1950 Kepala Bagian Pendidikan
Agama mengeluarkan Surat Edaran No. 277/C/C-9 yang berdasarkan anjuran
pembukaan Sekolah Guru Agama Islam (SGAI) yang dibagi kepada dua bagian,
yaitu 5 tahun setelah tamat Sekolah Rakyat, atau Madrasah Rendah dan 2 tahun
setamat SMP atau Madrasah Lanjutan Pertama. Disamping SGAI juga dianjurkan
9 W.J.S. Poerwadarminta, Kamus Umum Bahasa Indonesia (Cet. VII; Jakarta: Balai Pustaka,
1984), hlm. 889.

10

dibuka SGHAI (Sekolah Guru Hakim Agama Islam) yang lama pelajarannya 4
tahun sesudah SMP atau Madrasah Tsanawiyah. Dengan Penetapan Mentri Agama
No. 7 Tgl. 15 Februari 1951 seluruh SGAI di ubah namanya menjadi PGA
(Pendidikan Guru Agama) yang lama belajarnya 5 tahun Sesudah Sekolah Rakyat
atau Madrasah Rendah dan SGHAI di ubah menjadi SGHA (Sekolah Guru Hakim
Agama) yang pelajarannya 4 tahun setamat SMP atau Madrasah Tsanawiyah.
Berdasarkan penetapan Mentri Agama No. 35 Tgl. 21 November 1953 terhitung
mulai tahun ajaran 1953/1954 lama belajar di PGA menjadi 6 tahun dan PGAP
(Pendidikan Guru Agama Pertama) PGAA (Pendidikan Guru Agama Atas) 2
tahun.
Penetapan Menteri Agama No. 14 Tgl. 19 Mei 1954 SGHA terdiri dari 4 bagian.
Bagian A (sastra), B (Ilmu Pasti), C (Ilmu Agama), D (Hukum Agama) berangsur
di hapuskan kecuali bagian D kemudian dijadikan PHIN (Pendidikan Hukum
Islam Negeri) yang lama belajarnya 3 tahun setelah PGAP. PHIN yang sejak
berdirinya hanya ada satu buah di Yogyakarta sedangkan PGA berkembang, baik
negeri maupun swasta di seluruh Indonesia.
Sekolah Dinas maksudnya adalah setelah lulus dari sekolah tersebut di angkat
menjadi pegawai negeri dan karena itu murid-murid di kedua sekolah ini harus
berikatan dinas sesuai dengan Peraturan Menteri Agama No. 8 Tahun 1951.
Karena kekurangan anggaran negara sejak tahun 1969 tidak lagi disediakan ikatan
dinas.
7. Perguruan Tinggi Islam
a. Pendidikan Tinggi Islam
Mahmud Yunus mengemukakan bahwa di Padang Sumatera Barat pada tanggal 9
Desember 1940 telah berdiri perguruan tinggi Islam yang dipelopori oleh
Persatuan Guru-Guru Agama Islam (PGAI).

b. Perguruan Tinggi Agama Islam Negeri (PTAIN)

11

PTAIN yang berdiri diresmikan berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 34
Tahun 1950, baru beroperasi secara praktis pada tahun 1951. Dimulailah
perkuliahan perdana pada tahun tersebut dengan jumlah siswa 67 orang dan 28
orang siswa persiapan dengan pimpinan fakultasnya adalah KH. Adnan.
PTAIN ini mempunyai jurusan Tarbiyah, Qadha, dan Dakwah dengan lama
belajar 4 tahun pada tinggkat bakalaureat dan doktoral. Mata pelajaran agama
didampingi mata pelajaran umum terutama yang berkenaan dengan jurusan.
Mahasiswa Jurusan Tarbiyah diperlukan pengetahuan umum mengenai ilmu
pendidikan, dan begitu juga jurusan lainnya diberikan pula pengetahuan umum
yang sesuai dengan jurusannya.
c. Akademi Dinas Ilmu Agama (ADIA)
Dengan di tetapkannya peraturan bersama Menteri Agama, Pendidikan
Pengajaran dan Kebudayaan pada tahun 1951 No. K/651 tanggal 20 Januari
1951(Agama) dan No. 143/K tanggal 20 Januari 1951 (pendidikan), maka
pendidikan agama dengan resmi di masukkan kesekolah-sekolah negeri dan
swasta. Berkenaan dengan itu, dan berkaitan dengan peraturan-peraturan
sebelumnya, maka departemen agama untuk kesuksesan pendidikan agama di
sekolah-sekolah. Sehubungan dengan itu untuk merealisasikan salah satu tugas
tersebut pemerintah mendirikan Akademi Dinas Ilmu Agama (ADIA) dengan
maksud dan tujuan guna mendidik dan mempesiapkan pegawai negeri akan
mencapai ijazah pendidikan semi akademi dan akademi untuk dijadikan ahli didik
agama pada sekolah-sekolah lanjutan, baik umum maupun kejuruan dan agama.
d. Institut Agama Islam Negeri (IAIN)
Setelah PTAIN berusaha kuranag lebih 9 tahun, maka lembaga pendidikan tinggi
di maksud telah mengalami perkembangan. Dengan perkembangan tersebut
dirasakan bahwa tidak mampu menampung keluasan cakupan ilmu-ilmu
keislaman tersebut kalau hanya berada di bawah satuan payung fakultas saja.
Berkenaan dengan itu timbullah ide-ide, gagasan-gagasan untuk mengembangkan
cakupan PTAIN kepada yang lebih luas.
12

Untuk menciptakan IAIN memerlukan proses yang cukup serius, ringkasnya
penggabungan dua lembaga yang pada mulanya berdiri masing-masing PTAIN
dan ADIA , berdasarkan pasal 2 peraturan Perisiden No. 11 Tahun 1960 tersebut
Mentari agama mengeluarkan sebuah ketetapan Menteri Agama No. 43 Tahun
1960 tentang penyelenggaraan Institut Agama Islam Negeri dan sebagai
pelaksanaannya di keluarkanlah Peraturan Menteri Agama No. 8 tahun 1961
tentang pelaksanaan penyelenggaraan IAIN.
e. Sekolah Tinggi Agama Islam Negeri (STAIN)
IAIN-IAIN pada awalnya cabang dari Yogyakarta atau Jakarta menjadi IAIN yang
berdiri sendiri. Demikianlah hingga tahu 1973 IAIN tercatat 14 di seluruh
Indonesia.
IAIN yang berdidri sendiri itu, berdasarkan kebutuhan berbagai daerah membuka
cabang pula di luar IAIN induknya sehingga IAIN menjadi berkembang di
berbagai daerah, dalam perkembangan itu muncullah duplikasi fakultas.
Untuk menyahuti jiwa dan peraturan, yakni untuk menghindari terjadinya
duplikasi tersebut serta untuk menjadikan fakultas-fakultas tersebut mandiri dan
lebih dapat mengembangkan diri tidak terikat kepada peraturan yang
mengengkang oleh IAIN induknya maka, maka fakultas-fakultas tersebut
dilepasskan dari IAIN induknya masing-masing yang secara administrasi tidak
lagi memiliki ikatan dengan IAIN induknya masing-masing. Setelah dipisahkan
itu bernamalah lembaga ini menjadi STAIN. Yang dulunya bernama Fakultas
Tarbiyah IAIN Sumatera Utara Padangsidimpuan, berubah menjadi STAIN
Padangsidimpuan, demikian seterusnya.
Beda IAIN dengan STAIN adalah. Jika Institut menyelenggarakan program
akademik dan/atau profesional dalam sekelompok disiplin ilmu pengetahuan,
teknologi

dan/atau

kesenian

yang

sejenis.

Sedangkan

sekolah

tinggi

menyelenggarakan program pendidikan akademik dan/profesional dalam lingkup
satu disiplin ilmu tertentu.10
10 Haidar Putra Daulay, Op.Cit., hlm 134-135.

13

f. Universitas Islam Negeri
Beberapa tahun belakangan ini ada pikiran yang ingin mengembangkan IAIN
menjadi Universitas. Rintisan kearah itu telah mulai di laksanakan. Ada beberapa
modal dasar yang dimiliki IAIN yang menjadikan landasannya bagi
pengembangannya.
a) Landasan filosofis dan konstitusional
b) Sosiologis
c) Edukatif
8. Perguruan Tinggi Agama Islam Swasta (PTAIS)
UII setelah dinegerikan menjadi PTAIN tahun 1950, kemudian PTAIN
digabungkan dengan ADIA menjadi IAIN, dan dari IAIN dari fakultas-fakultas
daerahnya menjadi STAIN, fakultas yang non agama UII (ekonomi, hukum, dan
pendidikan) tetap menjadi fakultas swasta. Fakultas swasta menjadi berkembang
dan sekarang ditambah dengan fakultas-fakultas lain.
Universitas Islam yang semacam ini sudah tersebar luas di Indonesia, ada yang di
asuh oleh organisasi-organisasi Islam dan ada pula yang brbentuk yayasan yang
tidak bernaung dalam satu organisasi Islam, seperti UISU (Universitas Islam
Sumatera Utara).
Universitas-Universitas Islam yang di bawah langsung organisasi Islam, tercatat
misalnya Universitas Muhammadiyah, Universitas Nahdatul Ulama dll,
universitas yang diasuh oleh organisasi maupun independen, fakultas keagamaan
ini dibawah pengawasan Koordinator Perguruan Tinggi Agama Islam Swasta
(Kopertais) pada wilayah setempat.
Untuk menetapkan ciri keislaman pada universitas-universitas Islam Swasta
tersebut pendidikan agama Islam pada fakultas nonkeagamaan tidak hanya
terbatas di beri 2 SKS saja seperti yang dilaksanakan di universitas-universitas
negeri. Di universitas agama Islam swasta diberikan pendidikan agama Islam yang

14

bervariasi di atas 2 SKS, sebagai contohnya Universitas Islam Sumatera Utara
(UISU) Medan diberikan Pendidikan Agama Islam di setiap semesternya.
Permasalahan pokok yang belum bisa di tuntaskan oleh universitas-universitas
Islam Swasta adalah inti dari permasalahannya bagaimana memasukkan nilai-nilai
Islam kedalam disiplin ilmu sekuler. Praktik yang dilakukan sekarang diberbagai
Universitas Islam tersebut masih tampak pilahnya antara ilmu keagamaan dengan
ilmu non keagamaan. Sebetulnya idealitasnya adalah menyatukan kedua rumpun
ilmu itu dalam satu kesatuan. Untuk lebih memperdalam hal ini dapat kita cari
informasi nya di buku “Sejarah Pertumbuhan dan Pembaruan Islam di
Indonesia” karangan Prof. Dr. H. Haidar Putra Daulay, MA.11
9. Pendidikan Islam Non-Formal
Undang-Undang No. 20 Tahun 2003 Pasal 26 telah memberikan batasan
tentang apa yang dimaksud dengan pendidikan nonformal tersebut, satuan
pendidikan non formal tersebut terdiri atas lembaga kursus, lembaga pelatihan,
kelompok belajar, pusat kegiatan belajar masyarakat, dan majelis taklim serta
satuan pendidikan sejenisnya.
Di Indonesia, jauh sebelumnya adanya pendidikan Islam formal di pesantren,
sekolah, madrasah dan pendidikan tinggi, telah berlangsung pendidikan non
formal. Para Mubaligh berdatangan dari luar Indonesia melakukan pendidikan
secara non formal. Mesjid atau tempat-tempat lain merupakan pusat kegiatan
pendidikan tersebut. Pendidikan nonformal ini ditunjukkan kepada masyarakat
ramai, sedangkan untuk mendidika murid-murid mereka, mereka lakukan dengan
cara khusus.
Selain dari kegiatan pendidikan formal tersebut di kalangan masyarakat
terdapat pula pendidikan agama nonformal. Pendidikan agama nonformal ini di
Indonesia lebih terkenal dengan sebutan majelis taklim. Kegiatan majlis taklim ini
adalah bergerak dalam bidang dakwah Islam, lazimnya disampaikan dalam bentuk

11 Ibid., hlm. 140-142

15

ceramah, tanya jawab oleh seorang ustadz atau kiai di hadapan para jamaahnya.
Kegiatan ini telah dijaadwalkan waktu dab ditentukan tempatnya.
Ada beberapa esensi dari majlis taklim ini, yaitu:
a. Lembaga pendidikan Islam nonformal
b. Pendidik
c. Peserta didik (jama’ah)
d. Adanya materi yang disampaikan
e. Dilaksanakan secara teratur
f. Tujuan untuk mencapai derajat ketakwaan kepada Allah SWT.12
Di pandang dari sudut teori pendidikan, bahwa majlis Taklim adaldah salah
satu di antara pusat pendidikan di samping rumah tangga dan sekolah. Ki Hajar
Dewantara menyebutkan ada tiga pusat pendidikan (tri pusat) pendidikan rumah
tangga, sekolah, dan masyarakat. Majlis Taklim ini tergolong pada pendidikan
Islam di Masyarakat.
Selain dari Majlis Taklim di kalangan remaja muncul pula lembaga pendidikan
nonformal dalam bentuk pesantren kilat. Kegiatan berlangsung satu atau dua
minggu, yang lebih tepat dikelompokkan pada pelatihan.
Dengan demikian, pendidikan Islam itu bisa dilaksanakan dalam bentuk
lembaga kursus, misalnya kursus membaca dan menafsirkan Al-Qur’an, bisa
dalam bentuk pelatihan, misalnya pesantren kilat, bisa dalam bentuk kelompok
belajar dan pusat kegiatan belajar masyarakat serta yang terbanyak tersebar di
masyarakat adalah Majlis Taklim.13
III.

PENUTUP

KESIMPULAN
Lembaga dan sarana-sarana Pendidikan Islam di Indonesia ada Sembilan yaitu :
12 Ibid., hlm. 149-150.
13 Nurul Huda dkk, Pedoman Majlis Taklim, Proyek Penerangan, Bimbingan Dakwah Khutbah
Agama Islam Pusat, (Jakarta: LP3ES, 1980), hlm. 5.

16

1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
8.
9.

Masjid dan Langgar
Meunasah, Rangkang dan Dayah
Surau
Pesantern
Madrasah
Sekolah-Sekolah Dinas
Perguruan Tinggi Islam
Perguruan Tinggi Agama Islam Swasta (PTAIS)
Pendidikan Islam Non-Formal

DAFTAR PUSTAKA

Haidar Putra Daulay, Sejarah Pertumbuhan dan Pembaruan Pendidikan
Islam di Indonesia, Jakarta: Kencana, 2007
A. Hasyimi, Mnera Johan Bandung: Bulan Bintang, 1976

17

Ismail Sunni, Bunga Rampai Tentang Aceh, Jakarta: Batara Karya Aksara,
1980
Haidar Putra Daulay, Historisitas dan Eksistensi: Pesantren dan
Madrasah, Yogjakarta: Tiara Wacana, 2001
Hasbullah, Sejarah Pendidikan Islam di Indonesia, Jakarta: PT. Raja
Grafindo Persada, 2001
Mahmud Yunus, Sejarah Pendidikan Islam di Indonesia, Jakarta:
Hidayakarya, 1979
Nurul Huda dkk, Pedoman Majlis Taklim, Proyek Penerangan, Bimbingan
Dakwah Khutbah Agama Islam Pusat, Jakarta: LP3ES, 1980

18

Dokumen yang terkait

EFEKTIVITAS PENDIDIKAN KESEHATAN TENTANG PERTOLONGAN PERTAMA PADA KECELAKAAN (P3K) TERHADAP SIKAP MASYARAKAT DALAM PENANGANAN KORBAN KECELAKAAN LALU LINTAS (Studi Di Wilayah RT 05 RW 04 Kelurahan Sukun Kota Malang)

45 393 31

PENGEMBANGAN TARI SEMUT BERBASIS PENDIDIKAN KARAKTER DI SD MUHAMMADIYAH 8 DAU MALANG

57 502 20

STRATEGI PEMERINTAH DAERAH DALAM MEWUJUDKAN MALANG KOTA LAYAK ANAK (MAKOLA) MELALUI PENYEDIAAN FASILITAS PENDIDIKAN

73 431 39

MOTIVASI BERTINDAK KRIMINAL PADA REMAJA(STUDI DI LEMBAGA PEMASYARAKATAN ANAK BLITAR)

3 92 22

ANALISIS VALIDITAS BUTIR SOAL UJI PRESTASI BIDANG STUDI EKONOMI SMA TAHUN AJARAN 2011/2012 DINAS PENDIDIKAN KABUPATEN JEMBE

1 50 16

ANTARA IDEALISME DAN KENYATAAN: KEBIJAKAN PENDIDIKAN TIONGHOA PERANAKAN DI SURABAYA PADA MASA PENDUDUKAN JEPANG TAHUN 1942-1945 Between Idealism and Reality: Education Policy of Chinese in Surabaya in the Japanese Era at 1942-1945)

1 29 9

PERKEMBANGAN YAYASAN PERGURUAN ISLAM DARUL HIKMAH DI JATILUHUR BEKASI 1997.2010

0 50 151

PENGARUH HASIL BELAJAR PENDIDIKAN KEWARGANEGARAAN TERHADAP TINGKAT APLIKASI NILAI KARAKTER SISWA KELAS XI DALAM LINGKUNGAN SEKOLAH DI SMA NEGERI 1 SEPUTIH BANYAK KABUPATEN LAMPUNG TENGAH TAHUN PELAJARAN 2012/2013

23 233 82

JUDUL INDONESIA: IMPLEMENTASI PENDIDIKAN INKLUSIF DI KOTA METRO\ JUDUL INGGRIS: IMPLEMENTATION OF INCLUSIVE EDUCATION IN METRO CITY

1 56 92

ANALISIS PUTUSAN PENGADILAN TINGGI TANJUNG KARANG PERKARA NO. 03/PID.SUS-TPK/2014/PT.TJK TENTANG TINDAK PIDANA KORUPSI DANA SERTIFIKASI PENDIDIKAN

6 67 59