Urgensi Perbankan dalam Pembangunan Ekon

Urgensi Perbankan dalam Pembangunan
Ekonomi, Bagaimana Islam Memandang?
Oleh: Eko Kurniadi

“Apa saja harta rampasan (fai) yang diberikan Allah kepada RasulNya (dari harta benda)
yang berasal dari penduduk kota-kota Maka adalah untuk Allah, untuk rasul, kaum kerabat,
anak-anak yatim, orang-orang miskin dan orang-orang yang dalam perjalanan, supaya
harta itu jangan beredar di antara orang-orang kaya saja di antara kamu. Apa yang
diberikan Rasul kepadamu, maka terimalah dan apa yang dilarangnya bagimu, maka
tinggalkanlah. Dan bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah amat keras
hukumannya.” (QS. Al Hasyr: 7)

Peran dan Fungsi Perbankan dalam
Pembangunan Ekonomi

Pembangunan ekonomi sebuah
Negara pada dasarnya bertujuan untuk
mencapai
kemakmuran
masyarakat
melalui pertumbuhan ekonomi yang tinggi

dan
distribusi
pendapatan
yang
merata.Dalam
mencapai
suatu
pertumbuhan ekonomi yang tinggi serta
distribusi
pendapat
yang
merata,
diperlukan modal atau investasi nyata yang
dapat menggerakkan ekonomi.
Investasi yang menjadi ”nafas”
dalam pergerakan ekonomi tidak serta
merta dapat masuk kedalam suatu negara.
Investor dapat masuk dan menanamkan
investasi kesuatu negara, jika negara
tersebut memiliki tata hukum yang kuat.

Dengan tata hukum yang kuat, akan
menciptakan kestabilan dan kepastian
hukum bagi suatu negara dan elemen
didalamnya. Hal inilah yang dapat
mengundang para investor asing maupun
domestik berlomba-lomba menanamkan
modalnya.

Jika
berbicara
mengenai
penanaman modal, maka tidak lepas akan
berbicara mengenai lembaga-lembaga
keuangan yang melingkupinya. Salah satu
lembaga keuangan yang memegang peran
sentral dalam menggerakkan ekonomi
adalah lembaga yang disebut bank. Untuk
dapat memahami peran dan fungsi Bank
terkait pembangunan ekonomi. Maka
harus dapat memahami pengertian dari

Bank.
Menurut Kamus Besar Bahasa
Indonesia, bank adalah usaha dibidang
keuangan yang menarik dan mengeluarkan
uang dimasyarakat, terutama memberikan
kredit dan jasa dilalu lintas pembayaran
dan peredaran uang.
Sedangkan menurut prof G.M.
Verryn Stuart dalam buku Bank Politik,
bank adalah ”suatu badan yang bertujuan
untuk memuaskan kebutuhan kredit, baik
dengan alat-alat pembayarannya sendiri
atau dengan uang yang diperolehnya dari
orang lain, maupun dengan jalan

mengedarkan alat-alat penukar baru berupa
uang giral”.1
Sedangkan dalam pasal 1 angka 2
undang-undang No. 10 tahun 1998
mengenai Perbankan, pengertian bank

adalah ”Badan usaha yang menghimpun
dana dari masyarakat dalam bentuk
simpanan dan menyalurkannya kepada
masyarakat dalam bentuk kredit dan atau
bentuk-bentuk lainnya dalam rangka
meningkatkan taraf hidup rakyat banyak”.2
Dari beberapa pengertian tersebut
tercermin peran sentral bank dalam
kaitannya
menopang
pembangunan
ekonomi secara umum adalah menjalankan
sistem keuangan dan sistem pembayaran.3
Kedua sistem inilah yang mempertemukan
subjek-subjek ekonomi. Yaitu Produsen/
pelaku ekonomi sebagai pemilik faktorfaktor produksi serta pengelola faktor
produksi bertemu dengan konsumen
sebagai end user.
Implementasi peran bank diatas
adalah melalui fungsi yang dijalankannya.

Adapun secara umum, 3 fungsi utama dari
lembaga Bank, yaitu :
1. Lembaga keuangan yang menerima
simpanan uang.
2. Lembaga
keuangan
yang
meminjamkan uang.
3. Lembaga keuangan yang memberi
jasa pengiriman uang.4
1

Hermansyah, Hukum Perbankan Nasional Indonesia,
Kencana, Jakarta, 2008, h. 8.
2
Undang-Undang Tentang Perbankan, UU No. 10
Tahun 1998, LN No. 182 Tahun 1998. TLN No. 3790,
Pasal 1 angka 2.
3
Adrian Sutedi, Hukum Perbankan, Sinar Grafika,

Jakarta, 2007, h. 1
4
Adiwarman A. Karim, Bank Islam : Analisis Fiqih
dan Keuangan, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta,
2004, h. 18.

Bank untuk dapat maksimal
menjalankan ketiga fungsi diatas, haruslah
ia
mendapatkan
kepercayaan
dari
masyarakat.
Menurut
Burhanuddin
Abdullah (Mantan Gubernur Bank
Indonesia), “kepercayaan adalah elemen
abstrak tetapi fundamental dalam industri
perbankan”5.
Sedemikian

pentingnya
nilai
kepercayaan masyarakat, membuat bank
berlomba-lomba ”merebut kepercayaan
masyarakat dengan cara terus menerus
memperbaiki tata kelola perbankan yang
didalamnya termasuk mengelola resiko
operasional. Muara dari upaya lembaga
bank
adalah
meningkatkan
atau
membangun kepercayaan masyarakat,
sehingga masyarakat tenteram dan merasa
aman untuk memakai jasa Bank dalam
setiap kegiatan ekonominya.
Setelah
berhasil
membangun
kepercayaan masyarakat, bank harus

maksimal menjalankan fungsinya secara
integral. Kesatuan fungsi inilah yang
disebut fungsi Intermediasi Perbankan.
Yang dimaksud dengan fungsi
intermediasi adalah upaya maksimal Bank
untuk
menyalurkan
dana
yang
dikumpulkannya dari masyarakat guna
menggerakkan sektor ekonomi riil.
Melalui fungsi intermediasi-lah bank
membantu pemerintah mencapai tujuan
pertumbuhan ekonomi yang diinginkan.
Bagaimana Islam Memandang?

5

Burhanuddin Abdullah, Jalan Menuju Stabilitas
(Mencapai Pembangunan Ekonomi Berkelanjutan),

LP3ES, Jakarta, 2006, h. 131.

Lembaga perbankan memiliki
peran penting dalam menunjang aktivitas
perekonomian manusia. Dewasa ini
banyak bermunculan bank, baik yang
bercorak konvensional maupun yang
bercorak Islam (syariah). Regulasi
perbankan secara umum diatur dalam UU
Nomor 10 Tahun 1998 tentang perubahan
UU Nomor 7 Tahun 1992 tentang
Perbankan.
Namun dalam UU Nomor 10
Tahun 1998 tersebut Perbankan syariah
belum diatur secara spesifik sehingga
pemerintah menyempurnakan dengan
membentuk UU Nomor 21 Tahun 2008
tentang Perbankan Syariah. Tindakan
pemerintah ini sangat tepat karena antara
Bank Konvensional dan Bank Syariah

memiliki beberapa perbedaan. Pemikiran
tentang konsep lembaga keuangan islam
(bank syariah) sebenarnya bermula dari
pandangan tentang adanya kesamaan
praktek bunga dengan riba yang
diharamkan dalam al-Qur’an dan hadis.
Kesamaan itu sulit dibantah,
apalagi secara nyata aplikasi sistem bunga
pada
perbankan
lebih
dirasakan
mudharatnya daripada manfaatnya, antara
lain (Purwaatmadja. 1997: 44):
1. Mengakumulasi
dana
untuk
keuangannya sendiri;
2. Bunga adalah konsep biaya yang
digeserkan kepada penanggung

berikutnya;
3. Menyalurkan hanya kepada mereka
yang mampu;
4. Penanggung
terakhir
adalah
masyarakat;
5. Terjadi kesenjangan yang tidak ada
habisnya.

Seperti yang telah dikemukakan,
bahwa dalam Islam uang itu sendiri tidak
menghasilkan bunga atau laba dan tidak
dipandang sebagai komoditi. Telah
diketahui bahwa riba (bunga) dilarang.
Kedudukan
bank
Islam
dalam
hubungannya dengan para kliennya adalah
sebagai mitra investor dan pedagang,
sedangkan dalam hal bank di barat,
hubungannya adalah sebagai kreditur atau
debitur.
Banyak tanggapan dan pendapat di
kalangan para ahli Hukum Islam baik
klasik maupun kontemporer tentang
apakah bunga bank sama dengan riba atau
tidak. Di antaranya adalah pendapat Imam
Abu Bakar Syekh Mahmud yang
berpendapat bahwa ”pinjaman berbunga
diperbolehkan bila sangat dibutuhkan”.
Sedangkan Mustafa Ahmad azZarqa, berpendapat bahwa riba fadhl
dibolehkan karena darurat dan bersifat
sementara. Artinya umat Islam harus
berupaya untuk mencari jalan keluar dari
sistem bank konvensional tersebut, dengan
mendirikan bank islam , sehingga
keraguan atau sikap tidak setuju dengan
bank konvensional dapat dihilangkan. (
Antonio. 2004: 44).
Persoalan bunga yang disebut
sebagai riba telah menjadi bahan
perdebatan di kalangan ahli Hukum Islam.
Tampaknya kondisi ini tidak akan pernah
berhenti sampai di sini, namun akan terus
diperbincangkan dari masa ke masa.
Untuk
mengatasi
persoalan
tersebut, sekarang umat Islam telah
mencoba mengembangkan paradigma
perekonomian lama yang akan terus

dikembangkan dalam rangka perbaikan
ekonomi
umat
dan
peningkatan
kesejahteraan umat. Realisasinya adalah
berupa bank-bank Islam di pelosok bumi
tercinta ini, dengan beroperasi tidak
mendasarkan pada bunga, namun dengan
sistem bagi hasil.
Dalam menjalankan pekerjaan yang
sesungguhnya, Bank Islam menggunakan
berbagai tekhnik dan metode investasi
seperti kontak mudharabah, yaitu seorang
pemilik modal dan mudarib (mitra tenaga
kerja) memberikan kecakapan teknik dan
keterampilan, sedangkan laba dibagi antar
keduanya menurut persentase yang
disetujui.
Bank Islam juga terlibat dalam
kontrak
Murabahah
(Berdasarkan
perhitungan biaya ditambah sesuatu atau
cost plus), yaitu bank membeli suatu
komoditi tertentu menurut rincian kliennya
dan mengirimkannya berdasarkan rasio
laba yang disetujui. Jadi, adanya
kesepakatan awal yang tidak saling
merugikan antar pihak yang satu dengan
yang lain, merupakan karakteristik bank
Islam.
Dengan demikian hal mendasar
yang
membedakan
antara
bank
konvensional dan bank syariah adalah
terletak pada pengembalian dan pembagian
keuntungan yang diberikan nasabah
kepada bank dan atau yang diberikan oleh
bank kepada nasabah. Sehingga terdapat
istilah bunga dan bagi hasil.
Mekanisme
operasi
perbankan
konvensional sebagian besar ditentukan
oleh kemampuannya dalam menghimpun
dana masyarakat melalui pelayanan dan

bunga yang menarik. Suatu tingkat bunga
simpanan akan dikatakan menarik apabila:
1. Lebih tinggi dari nilai inflasi
karena pada tingkat bunga yang
lebih rendah, dana yang disimpan
nilainya akan habis dikikis inflasi;
2. Lebih tinggi dari tingkat bunga riil
di luar negeri karena pada tingkat
bunga yang lebih rendah dengan
dianutnya sistem devisa bebas,
dana-dana besar akan lebih
menguntungkan jika disimpan
(diinvestasikan) di luar negeri;
3.
Lebih bersaing di dalam
negeri, karena penyimpanan dana
akan memilih bank yang paling
tinggi menawarkan tingkat bunga
simpanannya dan memberikan
berbagai jenis bonus dan hadiah
(Muhammad. 1997: 60) .
Kemudian pada sisi penyaluran
dana tingkat bunga simpanan itu ditambah
dengan prosentase tertentu untuk spread
yang terdiri dari: biaya operasional,
cadangan kredit macet, cadangan wajib,
dan profit marjin, dibebankan paad
peminjam dana. Artinya peminjam danalah
yang sebenarnya membayar bunga
simpanan dan spread bagi bank itu.
(Antonio, 2004: 47).
Selanjutnya tingkat inflasi yang
terjadi, menjadikan acuan lagi untuk
menentukan bunga simpanan yang labih
tinggi.
Demikian
seterusnya
dan
seterusnya. Lalu ketika pasar sudah jenuh
untuk menerima harga barang atau jasa
yang dilemparkan ke pasar, maka untuk
mengurangi kerugian lebih jauh,pedagang
terpaksa menjual barang atu jasa dengan
harga di bawah pasar.

Akibatnya, pedagang tersebut tidak
mampu mengembalikan kreditnya ke bank.
Bagi seorang produsen, maka untuk
mengurangi kerugian lebih lanjut dapat
dilakukan penghematan dari yang paling
ringan seperti mengurangi pengeluaran
untuk kerja lembur, Pemutusan Hubungan
Kerja (PHK), mengurangi kualitas barang
dan lain lain.
Dan ketika terjadi kredit macet,
bank akan berhati-hati meminta agunan
bagi kredit yang disalurkannya. Apabila
nilainya cukup, maka agunan dilelang
untuk menutup sisa hutang yang dibayar.
Akibatnya terjadi proses pemelaratan
terhadap orang yang mempunyai hutang.
Tetapi apabila nilai agunan tidak cukup,
maka bank akan menderita rugi yang
kemudian ditutup dengan spread. Kalau
kerugian terus menerus terjadi, maka akan
menutupi keadaan ini, dengan seolah-olah
tetap membayar bunga simpanan dalam
pembukuannya.
Akibatnya penyimpanan dana baru
mengetahui keadaan yang sebenarnya
ketika bank itu sudah dapat ditolong lagi.
Penyaluran kredit kepada nasabah dalam
perbankan konvensional juga hanya akan
bisa dinikmati oleh mereka yang mampu
membayar tingkat bunga yang berlaku.
Akibatnya akan selalu ada kesenjangan
dan jurang pemisah antara yang mamapu
dengan yang tidak mampu (lemah).
Dalam
praktek
pembangunan
ekonomi di mana praktek membungakan
uang merupakan bagian dari sistem
ekonomi,
pemerintah
akan
selalu
dihadapkan kepada situasi yang dilematis
dan kontradiktif. Dilematis karena
pemerintah harus memilih salah satu saja
dari dua keadaan yang sama-sama

diperluklan, yaitu: pertumbuhan ekonomi
yang tinggi saja atau kestabilan ekonomi
saja.
Untuk memacu kegiatan ekonomi
biasanya diperlukan kebijaksanaan uang
longgar dengan menambah pasokan kredit
perbankan
melonggarkan
masuknya
investasi asing dan pinjaman luar negeri
tetapi dapat mengakibatkan bertambahnya
jumlah uang yang beredar sehingga dapat
menaikkan
tingkat
inflasi.
Untuk
menaikkan tingkat inflasi itu biasanya
diperlukan kebijaksanaan uang ketat
dengan mengurangi pasokan kredit
perbankan
akna
tetapi
dapat
mengakibatkan lesunya kegiatan ekonomi.
(Antonio, 2004: 50).
Daftar Pustaka
Slamet, Dahlan. Manajemen Lembaga
Keuangan: Kebijakan Moneter dan
Perbankan. Jakarta: Lembaga Penerbit UI.
2005.
Kasmir. Bank dan Lembaga Keuangan
Lainnya . Jakarta: PT Raja Grafindo. 2008.
Karim, Adiwarman. Ekonomi Islam: Suatu
Kajian Kotemporer . Jakarta: Gema Insani
Press. 2001.
Antonio, Muhammad Syafi’i. Bank
Syariah: Dari Teori Ke Praktek. Jakarta:
Gema Insani Press. 2001.
Sukirno, Sadono. Makroekonomi: Teori
Pengantar, edisi ketiga . Jakarta: PT
RajaGrafindo Persada. 2006
Rahardja, Prathama, Mandala Manurung.
Pengantar Ilmu Ekonomi: mikroekonomi
dan Makroekonomi, edisi ketiga . Jakarta:
Lembaga Penerbit FE UI. 2008.
http://www.badilag.net/artikel/8193-tinjauanhukum-islam-terhadap-perbankan-oleh-m-nurhasan-latief-sh-mm--18.html