Melestarikan Harmoni Lingkungan dalam Pe

Melestarikan Harmoni Lingkungan dalam Perspektif Ekosentrisme
Oleh ALBERTUS ARIF
(Mahasiswa Program Magister STFT Widya sasana)
“Earth provides enough to satisfy every man's needs, but not every man's greed.” ―
Mahatma Gandhi
Pendahuluan
Bumi kita hanya satu. Kita lahir, hidup dan mati di bumi yang satu pula. Bumi sebagai
tempat manusia merealisasikan kehidupannya sudah semestinya dijaga dan dirawat dengan
baik. Bumi juga dipahami sebagai lingkungan hidup manusia, spesies binatang dan tumbuhtumbuhan. Karena dipahami sebagai lingkungan, bumi menunjuk pada entitas fisik. Sebagai
makhluk yang mampu berpikir secara rasional dalam pengembangan hidup yang selaras
dengan alam, setiap manusia memiliki tanggung jawab etis terhadap bumi sebagai lingkungan
hidupnya.
Sony Keraf membuka pendahuluan bukunya yang berjudul “Etika Lingkungan
Hidup” dengan bertanya, “mengapa kita perlu etika lingkungan hidup?” “Apa perlunya kita
berbicara tentang etika lingkungan hidup?” “Apa perlunya?” “Apa relevansinya?” Dari
pertanyaan demikian, kita diajak untuk merenungkan bahwa masalah lingkungan hidup
adalah masalah moral, persoalan perilaku manusia.1 Harmoni lingkungan makhluk hidup
dewasa ini memasuki masa kritis. Manusia semestinya memanfaatkan sumber daya alam dan
menggunakannya dengan bijak. Faktanya, kepentingan-kepentingan manusiawi telah
merusak ekosistem yang ada. Pencemaran air, polusi udara dan hilangnya kadar kesuburan
tanah mengancam manusia. Perubahan iklim dan cuaca yang tidak menentu juga berdampak

buruk pada hasil pertanian. Tidak hanya berhenti di situ, dampak yang ditimbulkan dari
pencemaran dan polusi juga mengancam kesehatan manusia. Manusia semakin rentan
terhadap penyakit dan terakumulasinya bahan-bahan kimia yang terdapat dalam makanan.
Hal ini semakin mempengaruhi tingkat pertumbuhan dan perkembangan manusia.
Peradaban manusia saat ini sangat dipengaruhi oleh teknologi. Perkembangan dan
inovasi dalam pelbagai bidang terus dikembangkan. Hal ini merupakan inovasi yang positif.
Namun, perkembangan ini tidak bisa tidak harus diiringi dengan etika. Apa perlunya etika?
K. Bertens menjawab bahwa etika menyediakan orientasi.2 Realitas yang terjadi saat ini
adalah masyarakat berhadapan dengan persoalan lingkungan yang kompleks. Hal ini juga
menyangkut moralitas. Kita perlu dasar etika yang kuat agar dengan kritis melawan ideologi
yang memandulkan kemanusiaan. Apalagi di tengah kerusakan lingkungan yang semakin
parah, setiap orang dipanggil untuk tanggap dengan situasi kritis ini. Kemajuan memang
perlu, tetapi apakah lingkungan harus dikorbankan demi kemajuan tersebut? Persoalan lebih
lanjut adalah bagaimana memulai kesadaran manusiawi? Zaman sekarang ini, etika
semestinya juga menjangkau kepada lingkungan.3 Orang belum memiliki kesadaran untuk
merawat dan menjaga lingkungan hidup ini. Dengan kata lain, masyarakat sedang terjerumus
ke dalam situasi apatisme publik.4
1 Sony Keraf, Etika Lingkungan Hidup, Jakarta: Penerbit Buku Kompas, 2010, hlm.1.
2 K. Bertens, Etika Dasar, Yogyakarta: Kanisius, 2010, hlm. 15.
3 Etika lingkungan menyentuh persoalan aku sebagai manusia rasional dalam hubungannya dengan lingkungan.

Pertanyaan seputar persoalan lingkungan menurut Sony Keraf yang pantas diajukan ialah “Apa yang harus saya
lakukan?”, “Bagaimana harus bertindak?” khususnya di bidang lingkungan. Lih. A. Sony Keraf, Op.cit hlm. 13.

1

Interaksi Lingkungan-Manusia
Dalam bahasa Aristotelian, manusia dipahami sebagai animal rationale. Armada
Riyanto mengurai gagasan Aristotelian ini dengan menunjuk “manusia sebagai makhluk
berpikir, ingin mengenal, menggagas, merefleksikan...tentang dirinya, sesamanya, Tuhannya,
hidup kesehariannya, lingkungan dunia kehadirannya, asal dan tujuan keberadaannya, dan
segala sesuatu yang berpartisipasi dalam kehadirannya.5 Sebagai makhluk yang rasional,
manusia memiliki tanggung jawab yang penting dalam menjaga keharmonisan dengan
lingkungan. Artinya, manusia diminta untuk menghargai alam dan lingkungannya, bukan
hanya dilihat sebagai sumber daya yang terus-menerus dikuras. Manusia pun bertanggung
jawab mengolah alam dan lingkungan hidup itu sendiri.
Interaksi yang dimaksud dalam konteks lingkungan-manusia di sini harus dimaknai
dalam interaksi yang saling menguntungkan. Interaksi ini lahir bukan sebagai subyek-obyek,
melainkan subyek-subyek. Namun, sejauh ini, relasi lingkungan dan manusia menemui
kesulitan yang besar. Kesulitan-kesulitan ini muncul menurut Frances Harris disebabkan oleh
tiga alasan mendasar. Dia menjelaskan,

“mengapa persoalan-persoalan ini begitu sulit untuk diselesaikan? Ada tiga alasan besar: pertama,
ilmu pengetahuan mengenai persoalan-persoalan lingkungan yang begitu kompleks. Kita
berhadapan dengan sistem dinamis yang saling terkait dan antara mekanisme umpan-balik yang
terjadi. Kedua, ada pemangku kepentingan yang berada di balik persoalan lingkungan.
Mengorganisir semua pemangku kepentingan untuk bertindak dengan cara yang terkoordinasi
sulit. Ketiga, menyelesaikan masalah lingkungan global akan memerlukan perubahan dalam
konsumsi dan polusi dari sumber daya alam, yang berarti perubahan gaya hidup kita sendiri. Hal
ini akan membutuhkan komitmen di tingkat pribadi, yang tidak semua orang bersedia untuk
membuatnya.”6

Dari pernyataan Frances Harris, kita bisa menangkap alasan begitu peliknya
persoalan interaksi manusia-lingkungan. Hal yang pertama bahwa perlu adanya ilmu
pengetahuan tentang persoalan lingkungan. Perspektif yang benar dalam melihat lingkungan
akan menampilkan sebuah pola solusi yang benar. Di samping itu, peran yang tidak kalah
besar adalah para pemangku kepentingan. Para pemangku jabatan tidak hanya menyangkut
pemerintah, melainkan juga seluruh elemen masyarakat. Yang terakhir adalah komitmen
pada tingkat pribadi. Padahal, masing-masing orang belum tentu sepakat untuk membuat
komitmennya.

4 Reza A.A. Wattimena dalam tulisannya melihat apatisme sebagai musuh kehidupan publik. Apatisme lahir

dari situasi di mana orang lebih melihat ruang privat sebagai yang terutama dan malah mengabaikan ruang
publik. Akibatnya, kehidupan bersama dan konsep keadilan sosial menjadi terabaikan. Apatisme publik
dianggap musuh karena masyarakat menjadi cuek dan tidak peduli dengan lingkungan dan situasi di sekitarnya.
Baca lebih lanjut dalam https://rumahfilsafat.com/tag/apatisme/, diakses pada 30 April 2016.
5 Lihat. Armada Riyanto,” Fides et Ratio Menggagas Pertautan Teologi dan Filsafat plus Implikasinya dalam
terang Fides et Ratio,” dalam Studia Philosophica et Theologica, Vol. 1. No.1, Maret 2001, 1.
6 “Why are such problems so hard to resolve? There are three broad reasons: first the science of environmental
problems is complex. We are dealing with many interrelated dynamic system, within which and between which
feedback mecanism occurs. Second, there are many stakeholders involved in both the causes and the solutions to
environmental problems. Organising all of these stakeholders to act in a co-ordinated manner is difficult. Third,
resolving global environmental issues will require changes in our own consumption and pollution of natural
resources, which will mean changes to lifestyles. This will require commitment at the personal level, which not
everyone is willing to make.” Lihat. Frances Harris, “Human-Environment Interactions,” in Global
Environment Issues, 2nd edition, New Jersey: Wiley-Blackwell, 2012.

2

Karena itu Frances Harris menjelaskan bahwa interaksi terjadi dalam penggunaan
sumber-sumber daya dari alam dan kemampuan kita dalam pengaturannya. Selain itu, sikap
manusia itu juga menentukan bagaimana interaksi terjadi. Ia mengatakan demikian,

“interaksi manusia-lingkungan melibatkan tidak hanya pertanyaan-pertanyaan dari penggunaan
sumber daya per orang, tetapi juga kemampuan kita untuk memahami ilmu tentang lingkungan,
kemampuan kita untuk mengatur dampak terhadap lingkungan, keyakinan kita dalam nilai
lingkungan, sikap kita terhadap masa depan, terutama risiko, dan kemampuan kita untuk
bernegosiasi solusi baik di tingkat lokal dan global.” 7

Dalam pengamatannya, interaksi yang terjadi antara lingkungan dan manusia
dipengaruhi pula oleh laju pertumbuhan populasi manusia. Dampak laju pertumbuhan
populasi manusia terhadap lingkungan dapat dilihat dari perubahan penggunaan lahan
(penggundulan hutan, pengurangan alam bebas, perubahan tata letak tanah sebagai sistem
pertanian secara intensif), urbanisasi, polusi air dan laut. 8
Krisis Lingkungan Hidup
Yohanes I Wayan Marianta mengatakan bahwa krisis lingkungan merupakan alarm
yang memperingatkan kita bahwa ada yang salah dengan pola manusia modern. 9 Krisis
timbul oleh karena permasalahan yang terjadi dalam lingkungan mengancam kehidupan
manusia modern. Ancaman ini tidak melulu terjadi dalam satu dua tempat, melainkan sudah
meluas secara global. Kendati demikian, masyarakat masih perlu disadarkan betapa
dahsyatnya krisis yang terjadi. Setiap orang bertanggungjawab untuk tidak hanya memikirkan
kepentingan kelompok atau demi kemajuan semata. Ataukah karena kemajuan selalu
membawa efek risiko besar, maka kita mendiamkannya saja? Pertanyaan ini menggelitik

pemikiran manusia modern untuk segera dicari solusinya. Namun bukan perkara mudah
untuk menyelesaikannya karena krisis lingkungan hidup melibatkan juga aspek sosial,
ekonomi dan politik.
Meminjam dari pemikiran Niklas Luhmann, Wayan Marianta menambahkan bahwa
krisis yang terjadi dalam lingkungan ini haruslah dipahami dalam bingkai konsep risiko. 10
Apakah maksudnya? Risiko bukan sekedar bahaya. Kita berbicara tentang “risiko” ketika
potensi kerugian di masa depan diakibatkan oleh keputusan manusia. Sementara itu, kita
berbicara soal “bahaya” ketika potensi kerugian di masa depan disebabkan oleh faktor-faktor
di luar keputusan kita.11 Penerapan teknologi yang begitu dalam dan masif atas lingkungan,
mau tidak mau berdampak pada keutuhan ekosistem yang ada di dalamnya. Teknologi yang
dikembangkan manusia telah mengubah wajah ekosistem dan lingkungan hidup manusia.
Apa yang menyebabkan krisis sehingga berdampak buruk pada harmoni lingkungan
hidup? Pertama, pertumbuhan jumlah penduduk. Sebagai contoh penduduk negara Indonesia,
pada tahun 2000 jumlah penduduk berkisar 206.264.595 jiwa dan pada tahun 2010 menjadi
7 “Human-environment interactions involve not only the questions of resource use per person, but also our
ability to understand the science of the environment, our ability to regulate our impact on the environment, our
beliefs in the value of the environment, our attitude to the future, particularly risk, and our ability to negotiate
solutions both at the local and the global level.” Ibid.
8 Ibid.
9 Lih. Yohanes I Wayan Marianta, “Akar Krisis Lingkungan Hidup,” dalam Studia Philosophica et Theologica,

Vol. 11 No. 2, Oktober 2011, 231.
10 Ibid., hlm. 232.
11 Ibid.

3

237.641.326 jiwa.12 Pertumbuhan penduduk ini meningkat begitu cepat. Persoalan ini
menuntut adanya lapangan kerja yang memadai dan ketersediaan pangan. Sumber-sumber
daya alam perlu dieksplorasi lebih jauh demi memenuhi kebutuhan penduduk. Pertumbuhan
penduduk yang begitu tinggi menyebabkan pula persoalan dalam hal sanitasi, ekonomi, sosial
dan budaya.
Kedua, polusi air, tanah dan udara. Tingkat polusi dan pencemaran yang terjadi dalam
air, tanah dan udara begitu besar. Tentu saja ini berdampak pada kesehatan masyarakat dan
lingkungan tempat tinggal. Tingkat kesehatan masyarakat semakin menurun dan timbulnya
penyakit akibat polusi. Sebagai contoh, di beberapa tempat di Indonesia, kadar pencemaran
terhadap sungai oleh logam berat sangat tinggi. 13 Sungai yang tercemar oleh logam berat akan
menyebabkan banyak ikan yang mati. Demikian pula, kualitas air yang digunakan akan
menurun sehingga tidak dapat dikonsumsi lagi. Koran Kompas memberitakan bahwa kualitas
kebersihan udara kian menurun oleh polusi dan hal ini dapat menyebabkan kanker. 14
Karbondioksida (CO2) dan karbonmonoksida (CO) semakin meningkat sehingga

mengakibatkan gas rumah kaca. Peningkatan ini juga menyebabkan pemanasan global dan
selanjutnya mempengaruhi iklim dunia.15
Ketiga, konversi lahan. WWF (World Wide Fund for Nature) mencatat demikian,
“kerusakan atau ancaman yang paling besar terhadap hutan alam di Indonesia adalah
penebangan liar, alih fungsi hutan menjadi perkebunan, kebakaran hutan dan eksploitasi
hutan secara tidak lestari baik untuk pengembangan pemukiman, industri, maupun akibat
perambahan.”16 Persoalan konversi lahan ini telah berlarut-larut. Konflik berkepanjangan
antara pemilik modal dan masyarakat adat terjadi dalam kerangka ini. Pemerintah seharusnya
lebih memperhatikan masyarakat adat dan lingkungan hidup mereka, dibandingkan dengan
kepentingan korporasi raksasa yang justru menghancurkan hutan.
Keempat, semakin hilangnya keanekaragaman hayati. Keanekaragaman hayati yang
mengalami ancaman di Indonesia merupakan yang paling parah. Data menunjukkan bahwa
sekitar 16.928 (38 persen) spesies terancam dari total jumlah 44.838 spesies. 17 Padahal,
Indonesia memiliki flora dan fauna dari pelbagai jenis spesies. Namun, adanya pembalakan
liar (Illegang logging) menyebabkan banyak spesies yang terancam punah dan bahkan tidak
dapat ditemukan lagi keberadaannya. Hal ini amat disayangkan karena habitat hewan dan
tumbuhan tidak bisa diselamatkan lagi. Hilangnya habitat hewan menyebabkan ancaman bagi
keberadaan hewan tersebut dan ketersediaan makanan masyarakat setempat. Gangguan yang
muncul lainnya adalah hilangnya hutan-hutan lindung yang seharusnya menjaga
keseimbangan alam.


Kesadaran dan Lingkungan Hidup
12 Lihat. http://www.bps.go.id/linkTabelStatis/view/id/1267, diakses pada 26 April 2016.
13 Lihat. http://www.bps.go.id/linkTabelStatis/view/id/1372, diakses pada 26 April 2016
14 Lihat. http://health.kompas.com/read/2016/04/23/130000923/Polusi.Udara.Juga.Memicu.Kanker, diakses
pada 26 April 2016.
15 Lihat. https://tekno.tempo.co/read/news/2016/02/12/095744432/gas-rumah-kaca-musnahkan-kehidupanptanet, diakses pada 26 April 2016.
16 Lihat. http://www.wwf.or.id/tentang_wwf/upaya_kami/forest_spesies/tentang_forest_spesies/kehutanan/,
diakses pada 28 April 2016.
17 Lihat. http://nasional.kompas.com/read/2008/10/07/08021048/sepertiga.spesies.dunia.terancam, diakses
pada 26 April 2016.

4

Bambang Yuniarto dalam bukunya yang berjudul, “Membangun Kesadaran Warga
Negara dalam Pelestarian Lingkungan” mengemukakan bahwa kesadaran masyarakat
sebagai warga negara masih tergolong rendah dalam melestarikan lingkungan hidup. 18 Hal ini
sebenarnya perlu mendapat perhatian dari seluruh elemen masyarakat. Tanggung jawab untuk
membangun harmoni lingkungan ini tidak dapat dibebankan kepada segelintir orang saja.
Yuniarto menambahkan adanya tiga bidang yang kurang dikembangkan, yaitu,

pendidikan tentang lingkungan (Phyco-pedagogical Environment), pembelajaran terhadap
anak-anak untuk menjaga lingkungan (Socio-cultural Environment), dan lemahnya
penegakan hukum yang mengatur tentang lingkungan (Socio-political Environment).19
Dengan ketiga bidang di atas, kita dapat melihat bahwa pendidikan tentang lingkungan
mampu meningkatkan pemahaman bagaimana mengatur dan merawat lingkungan dengan
baik.
Pertama, dengan memahami dengan benar, masyarakat dimampukan untuk memiliki
tanggung jawab. Masyarakat saat ini perlu memiliki kesadaran akan pentingnya hubungan
yang harmonis antara lingkungan dan kesehatan. Hal kedua adalah pembelajaran. Mengapa
anak-anak patut mendapat pembelajaran? Yuniarto rupanya mengamati bahwa pendidikan
anak tentang lingkungan masih perlu dikembangkan. Pembelajaran ini bukan melulu soal
pendidikan di sekolah dan setelah itu selesai. Anak-anak juga perlu diperkenalkan dengan
lingkungan di rumah dan di sekitarnya. Hal ketiga, penegakan hukum yang belum maksimal.
Kesadaran yang ada dalam masyarakat perlu diimbangi dengan penegakan hukum yang
mengatur. Dengan demikian, penegakan hukum tidak dilihat sebagai sebuah hukuman,
melainkan penyadaran.
Kenyataan begitu lemahnya kesadaran masyarakat ini diamini oleh Frances Harris.
Dia menjelaskan bahwa persoalan-persoalan lingkungan hidup telah menjadi perhatian
selama bertahun-tahun. Begitu banyak usaha telah dilakukan untuk menyadarkan masyarakat.
Namun, usaha ini belum menampakkan hasil yang signifikan. 20 Persepsi masyarakat terhadap

lingkungan belum menunjukkan usaha-usaha nyata dan lemahnya gerakan untuk membela
harmoni dalam lingkungan di sekitarnya.
Perlunya perubahan gaya hidup menuntut manusia untuk berkomitmen. Gaya hidup
yang ada sekarang perlu dibenahi. Tidak perlu menunggu hingga terjadi bencana alam karena
ulah manusia-manusia yang tidak peduli terhadap alam. Manusia modern tergiur oleh
perkembangan teknologi tanpa merawat keutuhan alam. Dapat diramalkan bahwa peristiwa di
masa mendatang, ekosistem akan mengalami gangguan karena gaya hidup manusia modern.
Komitmen yang lemah juga ikut menyumbang pada semakin hancurnya lingkungan hidup
manusia itu sendiri.

18 Bdk. Bambang Yuniarto, Membangun Kesadaran Warga Negara dalam Pelestarian Lingkungan,
Yogyakarta: Deepublish, 2013, hlm. 83.
19 Ibid.
20 Environmental issues have been a concern for many years. Yet somehow they are problems that we have not
been able to resolve, despite research, media attention, increased public awareness about environmental
problems, campaigns by environment pressure groups, and international agreement. Lihat. Frances Harris,
Op.cit.

5

Teori Etika Lingkungan: Ekosentrisme Sebagai Salah Satu Tawaran
Teori yang banyak berbicara tentang lingkungan adalah antroposentrisme 21,
biosentrisme22 dan ekosentrisme. Jika antroposentrisme meletakkan manusia dalam
paradigma sumber ukuran moralitas, biosentrisme dan ekosentrisme justru berpondasi pada
usaha untuk kehidupan secara utuh dan perhatian yang menyeluruh terhadap tatanan ekologis.
Salah satu versi teori ekosentrisme ini adalah teori etika lingkungan hidup yang sekarang ini
populer dikenal dengan sebagai Deep Ecology (selanjutnya disingkat DE). Sebagai sebuah
istilah, DE pertama kali diperkenalkan oleh Arne Naess23, seorang filsuf Norwegia, tahun
1973. Naess kemudian dikenal sebagai salah seorang tokoh utama gerakan DE hingga
sekarang. DE menuntut suatu etika baru yang tidak berpusat pada manusia, tetapi berpusat
pada makhluk hidup seluruhnya dalam kaitan dengan upaya mengatasi persoalan lingkungan
hidup.24
Dalam artikelnya yang berjudul “The Shallow and the Deep, long-range Ecological
Movement. A Summary”, Naess membedakan antara gerakan ekologis dangkal (shallow
ecological movement) dan gerakan ekologis dalam (deep ecological movement).25 Pembedaan
ini sangatlah penting untuk menunjukkan usaha-usaha yang menyentuh persoalan
lingkungan, misalnya tentang polusi, populasi, sumber daya, keanekaragaman budaya dan
teknologi yang tepat, etika air dan tanah, pendidikan dan perusahaan ilmiah.26 Dengan
penyebutan kata sifat “dalam” dan “dangkal”, Næss menunjukkan bahwa kerangka perspektif
harus jelas dan benar.
Sony Keraf mengutip pendapat dari Næss menjelaskan bahwa
“pertama, manusia dan kepentingannya bukan lagi ukuran bagi segala sesuatu yang lain. Manusia
bukan lagi pusat dunia moral. DE justru memusatkan perhatian kepada semua spesies, termasuk
spesies bukan manusia. Singkatnya, kepada biosphere seluruhnya. Demikian pula, DE tidak hanya
memusatkan perhatian pada kepentingan jangka pendek, tetapi jangka panjang. Maka, prinsip moral
yang dikembangkan DE menyangkut kepentingan seluruh komunitas ekologis. Kedua, etika
lingkungan hidup yang dikembangkan DE dirancang sebagai sebuah etika praktis, sebagai sebuah
gerakan. Artinya, prinsip-prinsip moral etika lingkungan hidup harus diterjemahkan dalam aksi
21 Antropomorfisme adalah teori lingkungan hidup yang memandang manusia sebagai pusat dari sistem alam
semesta. Manusia dan kepentingannya dianggap sebagai penentu tatanan ekosistem dan seluruh kebijakan yang
memengaruhinya. Selain antroposentris, konsep ini juga materialistis dan egoistis karena melihat alam sebagai
sarana bagi kepentingan manusia belaka. Ajaran agama Kristen melihat Kej 1:26-28 sebagai dasar bagi
antropomorfisme. Selain itu, filosof Aristoteles melihat manusia sebagai animal rationale yang dengan akal
budinya bertugas untuk mengatur dan menata alam semesta. Lih. A. Sony Keraf, Op.cit. hlm. 47- 48.
22 Biosentrisme adalah teori yang lebih mengedepankan kehidupan. Cirinya ialah biosentris atau setiap
kehidupan dan makhluk hidup mempunyai nilai dan berharga pada dirinya sendiri. Tokoh yang mengembangkan
teori ini adalah Albert Schweitzer (1875-1965), dan Aldo Leopold (1887-1948). Ibid., hlm, 67, 74.
23 Arne Dekke Eide Næss (1912-2009) lahir di Slemdal, Norwegia. Ia salah satu filosof dan pemerhati
lingkungan yang melahirkan konsep Deep Ecology (DE). Konsepnya tentang DE mengawali pemikiran tentang
keterkaitan dan kesetaraan antara nilai dan praktik manusia terhadap lingkungan. Næss mengkritik konsep
antroposentrisme yang menganggap manusia adalah ukuran dari kepentingan manusia. Manusia dan
kepentingannya terbukti tidak mampu menjaga harmoni alam, melainkan justru menguras habis kekayaan
sumber daya alam. Karya disertasinya berjudul Erkenntnis und wissenschaftliches Verhalten (Knowledge and
Scientific Behaviour). Lihat. http://www.britannica.com/biography/Arne-Naess, diakses pada 29 April 2016.
24 Frances Harris, Op.cit.
25 Næss berkata, “the decisive between a shallow and a deep ecology, in practice, concerns the willingness to
question, and an appreciation of the importance of questioning, every economic and political policy in public.
Lihat. Arne Næss, “The Deep Ecological Movement” in Deep Ecological Movement for the Twenty-First
Century, George Sessions (ed.), Boston: Shamballa, 1995, p. 75.
26 Ibid., 71-74.

6

nyata dan konkret...Dengan demikian, DE lebih tepat disebut sebagai sebuah gerakan di antara
orang-orang yang mempunyai sikap dan keyakinan yang sama, mendukung suatu gaya hidup yang
selaras dengan alam, dan sama-sama memperjuangkan isu lingkungan hidup dan politik. Suatu
gerakan yang menuntut dan didasarkan pada perubahan paradigma secara mendasar dan
revolusioner, yakni perubahan cara pandang, nilai dan perilaku atau gaya hidup.27

Filsafat pokok DE disebut Naess sebagai ecosophy T. Gerakan filosofis yang
digagas Næss ini berkaitan dengan filsafat lingkungan hidup. Ia menyebutkan bahwa norma
terdalam dari gagasannya dipondasikan pada “Realisasi Diri” (Self-Realization).28 Teori yang
diajukan Næss bertujuan memperbesar realisasi diri seluruh kehidupan, bukan hanya milik
manusia, melainkan juga seluruh makhluk. Keterkaitan antara makhluk yang hidup (biotis)
maupun tidak hidup (a-biotis) tidak bisa dipisahkan satu sama lain. Mereka saling memiliki
ketergantungan (simbiosis mutualisme).
Bagaimana gerakan ekologis ini dilaksanakan? Næss melontarkan gagasan bahwa
pada tingkat pertama ada sumber-sumber inspirasi, pemikiran dan intuisi yang berasal dari
tradisi agama dan budaya tertentu. Tingkat pertama berisikan premis-premis, norma-norma
dan asumsi deskriptif yang paling fundamental.29 Kearifan lokal masing-masing tempat
memiliki perspektif yang kokoh untuk membangun konsep ekosentrisme. Gagasan manusia
sebagai penguasa tidak dapat dipertahankan lagi. Realitas menunjukkan bahwa manusia dan
kepentingannya justru menguras habis sumber daya alam.
Pada tingkat kedua ada platform yang menyatukan gerakan tersebut. Platform
berisikan prinsip-prinsip moral yang bersumber dari inspirasi di atas. 30 Næss meminta agar
program dan kebijakan mengatur tatanan yang harmonis terhadap lingkungan. Tanpa program
dan kebijakan, mustahil dilakukan gerakan ekologis dalam. Masyarakat perlu memiliki
kesadaran akan prinsip moral bahwa lingkungan adalah bagian dari kehidupan manusia yang
terutama. Manusia tidak mampu hidup di luar lingkungannya.
Pada tingkat ketiga ada hipotesis umum. Ini tidak lain pola perilaku umum dalam
berhubungan dengan lingkungan hidup sejalan dengan inspirasi platform di atas. 31 Perilaku
dan komitmen mesti dibuat agar orang-orang menghargai dan mencintai alam serta
lingkungannya.
Tingkat keempat berupa aksi nyata yang digerakkan oleh ketiga tingkat di atas.
Termasuk dalam tingkat keempat ini adalah aturan-aturan khusus yang disesuaikan dengan
situasi yang dihadapi serta keputusan-keputusan praktis yang diambil dalam setiap situasi
khusus.32 Gerakan nyata sangat perlu dan menunjang agar program dan kesadaran masyarakat
akan lingkungan hidup yang harmonis terjaga.
Kritik atas DE Næss
Jika antroposentrisme ditolak karena berpusat pada manusia dan kepentingannya dan
biosentrisme disangkal karena hak-hak yang dimiliki manusia sama dengan hak seluruh
makhluk hidup, demikian pula ekosentrisme. Ekosentrisme sangat menekankan adanya
penghargaan terhadap alam, bahkan seluruh organisme yang hidup dan tak hidup. Dengan
27 Ibid, hlm. 93-94.
28 Arne Næss, Op.cit, hlm80.
29 Sony Keraf, Op.cit, hlm. 101.
30 Ibid.
31 Ibid.
32 Ibid., hlm. 101-102.

7

teori DE, ekosentrisme menjadi terobosan dalam menghadapi krisis yang terjadi dalam
lingkungan hidup. Bagaimanapun juga, teori ini memiliki kelemahan yang perlu untuk
dicermati bersama. Ekosentrisme lebih melihat bumi dan isinya memiliki nilai instrinsik.
Persoalannya terletak pada nilai.33 Jika organisme seluruhnya memiliki nilai yang
sama, sulit untuk mengevaluasi situasi-situasi moral berkaitan dengan etika lingkungan. Nilai
manusia disamakan begitu saja dengan makhluk lainnya, misalnya binatang dan tumbuhan.
Manusia tetaplah memegang peranan yang amat penting. Ia memiliki kapasitas rasional
dalam mengolah dan merawat bumi. Ia tidak bisa disandingkan begitu saja dengan binatang
dan tumbuhan. Hanya saja, keegoisan dan kerakusan manusia yang sungguh penting ditolak.
Sebab, tindakan manusia yang demikian telah menyebabkan hancurnya ekosistem.
Di samping itu, rasionalitas manusia tidak bisa dilepaskan begitu saja dari konsep DE.
Rasionalitas memegang peran penting dalam mengembangkan ekosistem yang benar dan
tepat. Sisi lain yang dihadapi oleh antroposentrisme adalah tugas untuk menguasai alam dan
isinya. Dari sudut ini, manusia ditempatkan untuk menguasai. Sebenarnya, antroposentrisme
memiliki pula gagasan bahwa manusia wajib secara etis untuk melindungi dan menjaga.
Kapasitas manusia untuk melindungi dan menjaga ini yang tidak dijalankan oleh manusia.
Etika memainkan juga peranannya agar manusia berjalan sesuai koridor. Lingkungan
yang ditempati oleh manusia tidak terlepas dari spesies binatang dan tumbuhan. Dengan etika
lingkungan, manusia tidak bisa seenaknya menguras isi alam tanpa pertimbangan. Kemajuan
yang selama ini telah dicapai manusia sedikit banyak telah menjadikan alam rusak.
Demikianlah usaha manusia memiliki risiko dan bahaya.
Penutup
Menjaga harmoni lingkungan dalam perspektif ekosentrisme memang bukanlah
perkara yang mudah. Sebab, manusia dan kepentingannya ikut berperan dalam mempercepat
rusaknya lingkungan. Tidak dapat dipungkiri bahwa kemajuan teknologi dan budaya manusia
telah menyebabkan krisis lingkungan hidup yang begitu hebat dan masif. Bagaimanapun juga
manusia tetap mengemban tugas yang berat untuk menjaga dan merawat lingkungan hidup.
Paus Fransiskus dalam Ensiklik Laudato si menyinggung tentang tanggung jawab
manusia untuk merawat alam sebagai rumah bersama. Ia, dengan menyitir syair indah santo
Fransiskus menjelaskan,
“LAUDATO SI ‘, mi’ Signore”, —“Terpujilah Engkau, Tuhanku”. Dalam nyanyian yang indah ini,
Santo Fransiskus dari Assisi mengingatkan kita bahwa rumah kita bersama bagaikan saudari yang
berbagi hidup dengan kita, dan seperti ibu yang jelita yang menyambut kita dengan tangan terbuka.
“Terpujilah Engkau, Tuhanku, karena Saudari kami, Ibu Pertiwi, yang menopang dan mengasuh kami,
dan menumbuhkan berbagai buah-buahan, beserta bunga warna-warni dan rerumputan”.34

Etika lingkungan hidup menjadi pedoman bagi manusia untuk mengukur sejauh mana
manusia sungguh menghargai alam. Lingkungan hidup tidak bisa dipandang sebagai lahan
material yang harus dikuras habis. Alam memang menyediakan segala macam yang kita
butuhkan, namun alam pun perlu dirawat dan dijaga.

33 Lihat. Arne Næss, Op.cit, p. 209.
34 Paus Fransiskus, Ensiklik Laudato si, diterj. Martin Harun, Jakarta: OBOR.

8

DAFTAR PUSTAKA
Buku:
K. Bertens. Etika Dasar. Yogyakarta: Kanisius, 2010.
Keraf, Sony. Etika Lingkungan Hidup. Jakarta: Penerbit Buku Kompas, 2010.
Bambang Yuniarto, Membangun Kesadaran Warga Negara dalam Pelestarian Lingkungan,
Yogyakarta: Deepublish, 2013.
Paus Fransiskus, Ensiklik Laudato si, diterj. Martin Harun, Jakarta: OBOR.
Jurnal:
Armada Riyanto,” Fides et Ratio Menggagas Pertautan Teologi dan Filsafat plus
Implikasinya dalam terang Fides et Ratio,” dalam Studia Philosophica et Theologica,
Vol. 1. No.1, Maret 2001.
Frances Harris, “Human-Environment Interactions,” in Global Environment Issues, 2nd
edition, New Jersey: Wiley-Blackwell, 2012.
Marianta, Yohanes I Wayan. “Akar Krisis Lingkungan Hidup,” dalam Studia Philosophica et
Theologica, Vol. 11 No. 2, Oktober 2011.
Arne Næss, “The Deep Ecological Movement” in Deep Ecological Movement for the TwentyFirst Century, George Sessions (ed.), Boston: Shamballa, 1995.

Sumber internet:
https://rumahfilsafat.com/tag/apatisme/, diakses pada 30 April 2016.
http://www.bps.go.id/linkTabelStatis/view/id/1267, diakses pada 26 April 2016.
http://www.bps.go.id/linkTabelStatis/view/id/1372, diakses pada 26 April 2016
http://health.kompas.com/read/2016/04/23/130000923/Polusi.Udara.Juga.Memicu.Kanker,
diakses pada 26 April 2016.
https://tekno.tempo.co/read/news/2016/02/12/095744432/gas-rumah-kaca-musnahkankehidupan-ptanet, diakses pada 26 April 2016.
http://www.wwf.or.id/tentang_wwf/upaya_kami/forest_spesies/tentang_forest_spesies/kehuta
nan/, diakses pada 28 April 2016.
http://nasional.kompas.com/read/2008/10/07/08021048/sepertiga.spesies.dunia.terancam,
diakses pada 26 April 2016.
http://www.britannica.com/biography/Arne-Naess, diakses pada 29 April 2016.

9