Perlindungan Hukum Bagi Konsumen Akibat Perbedaan Harga Antara di Rak Dengan di Kasir Ditinjau dari UU Perlindungan Konsumen No.8 Tahun 1999 (Studi pada PT. Inti Cakrawala Citra, Medan)

21

BAB II
TINJAUAN UMUM TENTANG HUKUM PERLINDUNGAN KONSUMEN
A. Sejarah dan Pengertian Hukum Perlindungan Konsumen
1. Sejarah Hukum Perlindungan Konsumen
Masalah perlindungan konsumen di Indonesia baru mulai terjadi pada
dekade 1970-an. Hal ini ditandai dengan berdirinya Yayasan Lembaga
Konsumen Indonesia (selanjutnya disingkat YLKI) pada bulan Mei 1973.
Ketika YLKI berdiri, kondisi politik bangsa Indonesia saat itu masih
dibayang-bayangi dengan kampanye penggunaan produk dalam negeri.
Namun seiring perkembangan waktu, gerakan perlindungan konsumen seperti
yang dilakukan YLKI dilakukan melalui koridor hukum yang resmi, yaitu
bagaimana memberikan bantuan hukum kepada masyarakat atas konsumen.20
Tujuan pendirian lembaga ini adalah untuk membantu konsumen agar
hak-hak nya bisa terlindungi. Di samping itu, tujuan YLKI adalah untuk
meningkatkan kesadaran kritis konsumen tentang hak dan tanggung jawabnya
sehingga bisa melindungi dirinya sendiri dan lingkungannya. 21 Setelah YLKI,
muncul beberapa organisasi serupa, antara lain Lembaga Pembinaan dan
Perlindungan Konsumen (selanjutnya disingkat LP2K) di Semarang yang
berdiri sejak Februari 1988 dan pada tahun 1990 bergabung sebagai anggota

Consumers International (CI), Yayasan Lembaga Bina Konsumen Indonesia

20
21

Happy Susanto, Op.Cit., hal. 9.
Ibid., hal.10.

21
Universitas Sumatera Utara

22

(selanjutnya disingkat YLBKI) dan perwakilan YLK di berbagai provinsi di
Tanah Air.22
Gerakan konsumen Indonesia terus mengalami perkembangan,
termasuk yang diprakarsai oleh YLKI mencatat prestasi besar setelah naskah
akademik UU No. 8 Tahun 1999 berhasil dibawa ke DPR.23 Gerakan dan
perjuangan untuk mewujudkan sebuah undang-undang tentang perlindungan
kosumen dilakukan selama bertahun-tahun. Baru pada era reformasi,

keinginan terwujudnya UU No. 8 Tahun 1999 bisa terpenuhi. Pada masa
pemerintahan Presiden BJ. Habibie, tepatnya pada tanggal 20 April 1999,
Rancangan Undang-Undang Perlindungan Konsumen (selanjutnya disingkat
RUUPK) secara resmi disahkan sebagai UU No. 8 Tahun 1999 . Masalah
perlindungan konsumen kemudian ditempatkan ke dalam koridor suatu sistem
hukum perlindungan konsumen yang merupakan bagian dari sistem hukum
nasional.24
Kuatnya tekanan dari dunia Internasional menjadi salah satu andil
yang mendorong bagi YLKI dalam kehadiran UU No.8 Tahun 1999 tentang
perlindungan konsumen, dan tanpa mengurangi terhadap upaya yang terusmenerus dilakukan oleh YLKI. Setelah pemerintah RI mengesahkan UU No.
7 Tahun 1994 tentang Persetujuan Pembentukan Organisasi Perdagangan
Dunia (Agreemeent Estabilizing the world Trade Organization ), maka ada
kewajiban bagi Indonesia untuk mengikuti standar-standar hukum yang
22

Celina Tri Siwi Kristyanti, Op.Cit., hal. 15.
Ibid., hal.17
24
Happy Susanto,Op.Cit., hal. 11.
23


Universitas Sumatera Utara

23

berlaku dan diterima luas oleh negara-negara anggota WTO. Salah satu di
antaranya adalah perlunya eksistensi UU No. 8 Tahun 1999.25
2. Pengertian Hukum Perlindungan Konsumen
Hukum Konsumen dan Hukum Perlindungan Konsumen merupakan
istilah yang seringkali disama artikan. Ada yang beranggapan bahwa hukum
konsumen adalah juga hukum perlindungan konsumen. Namun ada pula yang
membedakannya, dengan berpendapat bahwa baik mengenai substansi
maupun mengenai luas lingkupnya adalah berbeda satu sama lain.
M. J. Leder menyatakan bahwa “In a sense there is no such creature
as consumer law”.26 Sekalipun demikian, secara umum sebenarnya hukum
konsumen dan hukum perlindungan konsumen itu seperti yang dinyatakan
oleh Lowe, yakni “…rules of law which recognize the bargaining weakness
of the individual consumer and which ensure that weakness is not unfairly
exploited”.27
Konsumen berada pada posisi yang lemah, maka konsumen harus

dilindungi oleh hukum yang sifat dan tujuannya adalah memberikan
perlindungan atau pengayoman terhadap masyarakat. Jadi, bisa dikatakan
bahwa sebenarnya hukum konsumen dan hukum perlindungan konsumen
adalah dua bidang hukum yang sulit untuk dipisahkan dan ditarik batasannya.
Namun, ada juga yang berpendapat bahwa hukum perlindungan konsumen
merupakan bagian dari hukum konsumen yang lebih luas.
Az. Nasution berpendapat bahwa “hukum konsumen yang memuat
asas-asas atau kaidah-kaidah bersifat mengatur dan juga mengandung sifat
yang melindungi kepentingan konsumen.” Adapun, menurut Az. Nasution
25

Celina Tri Kristiyanti, Op.Cit., hal.18.
Shidarta, Hukum Perlindungan Konsumen , (Jakarta: Grasindo, 2000), hal. 9.
27
R. Lowe, Commercial Law, 6th ed., (London: Sweet & Maxwell, 1983), hal. 23.

26

Universitas Sumatera Utara


24

yang dimaksud dengan hukum konsumen adalah “keseluruhan asas-asas dan
kaidah-kaidah yang mengatur hubungan dan masalah penyediaan dan
penggunaan produk barang dan/atau jasa, antara penyedia dan penggunanya
dalam kehidupan bermasyarakat.”28 Sedangkan mengenai hukum
perlindungan konsumen didefinisikannya sebagai “keseluruhan asas-asas dan
kaidah-kaidah yang mengatur dan melindungi konsumen dalam hubungan
dan masalah penyediaan dan penggunaan produk konsumen antara penyedia
dan penggunanya dalam kehidupan bermasyarakat.”29
Adapun yang masih belum jelas dari pernyataan Az. Nasution
berkaitan dengan kaidah-kaidah hukum perlindungan konsumen yang
senantiasa bersifat mengatur. Apakah kaidah yang bersifat memaksa, tetapi
memberikan perlindungan kepada konsumen tidak termasuk dalam hukum
perlindungan konsumen?30 Untuk jelasnya, dapat dilihat dari ketentuan Pasal
383 KUHP berikut ini:

a.
b.


Diancam dengan pidana penjara paling lama satu tahun empat bulan,
seorang penjual yang berbuat curang terhadap pembeli:
karena sengaja menyerahkan barang lain daripada yang ditunjuk untuk
dibeli;
mengenai jenis keadaan atau banyaknya barang yang diserahkan
dengan menggunakan tipu muslihat.
Seharusnya ketentuan memaksa dalam Pasal 383 KUHP juga

memenuhi syarat untuk dimasukkan ke dalam wilayah hukum perlindungan
konsumen. Artinya, inti persoalannya bukan terletak pada kaidah yang harus
“mengatur” atau “memaksa”. Dengan demikian, seharusnya dikatakan,
hukum konsumen berskala lebih luas meliputi berbagai aspek hukum yang
terdapat kepentingan pihak konsumen didalamnya. Salah satu bagian dari
hukum konsumen ini adalah aspek perlindungan, misalnya bagaimana cara
28

Az. Nasution, Hukum Perlindungan Konsumen Suatu Pengantar , (Jakarta: Daya
Widya, 1999), hal. 23.
29
Ibid.

30
Ibid., hal. 14.

Universitas Sumatera Utara

25

konsumen untuk mempertahankan hak-hak yang dimilikinya terhadap
gangguan dari pihak lain.

B. Peraturan Tentang Hukum Perlindungan Konsumen
Hukum Perlindungan Konsumen yang berlaku di Indonesia telah memiliki
dasar hukum yang telah ditetapkan oleh pemerintah. Dengan adanya dasar hukum
yang pasti tersebut, barulah perlindungan terhadap hak-hak konsumen bisa
dilakukan dengan penuh keyakinan. Sebagaimana telah dijelaskan bahwa di
Indonesia telah banyak dikeluarkan peraturan perundang-undangan mengenai
perlindungan konsumen mulai dari tingkat undang-undang sampai pada peraturanperaturan tingkat menteri dan peraturan instansi di bawahnya. Di antara peraturan
perundang-undangan itu, ada yang dibuat sejak sebelum masa kemerdekaan dan
kini masih berlaku setelah mengalami penyesuaian, perubahan, atau penambahan
sesuai dengan kebutuhan.31

Berdasarkan hasil di dalam Country Report delegasi Indonesia pada
ASEAN Consumer Protection Seminar , yang diselenggarakan di Manila pada 30

September sampai 4 Oktober 1980 antara lain, dimuat lampiran perundangundangan yang ada hubungannya dengan pelindungan konsumen, yaitu yang
berhubungan dengan barang dan jasa sebanyak 18 buah, pengawasan mutu dan
keamananan barang sebanyak 41 buah, perdagangan sebanyak 8 buah, dan
masalah lingkungan hidup sebanyak 10 buah. Sedangkan dalam Simposium
Aspek-Aspek Hukum Masalah Perlindungan Konsumen pada tanggal 16 sampai

31

Janus Sidabalok, Op.Cit., hal. 89-92.

Universitas Sumatera Utara

26

18 Oktober 1980 di Jakarta, R. Sianturi menyebutkan sebanyak 199 buah
peraturan dibidang kesehatan terdiri atas obat-obatan sebanyak 56 buah, makanan
dan minuman sebanyak 15 buah, bidang kosmetika dan alat kesehatan sebanyak

delapan (8) buah dan jasa pelayanan kesehatan sebanyak empat puluh (40) buah.
Setelah tahun 1980 tentu masih banyak lagi peraturan perundangundangan yang berhubungan dengan perlindungan konsumen yang telah di
keluarkan oleh pemerintah, terutama peraturan yang lebih rendah dari undangundang berkaitan dengan program deregulasi disegala bidang yang digalakkan
sejak tahun 1988. Namun membuat peraturan perlindungan konsumen dalam satu
undang-undang tersendiri barulah terelisasi melalui Undang-Undang Nomor 8
Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen, yang diundangkan pada tanggal 20
April tahun 1999 dalam Lembaran Negara Tahun 1999 Nomor 42, dan berlaku
efektif satu tahun setelah diundangkan yaitu sejak tanggal 20 April 2000.
Sebelum undang-undang ini lahir, sekurang-kurangnya telah ada dua
Rancangan Undang-Undang (RUU) tentang Perlindungan Konsumen; pertama
yang dipersiapkan oleh YLKI dan yang kedua dipersiapkan oleh Tim Kerja Sama
Fakultas Hukum Universitas Indonesia dengan Departemen Perdagangan
Republik Indonesia. Selain itu telah dilangsungkan pula berbagai pertemuan
ilmiah yang membahas dan mengkaji perlindungan hukum terhadap konsumen
ini. Tetapi peraturan perundang-undangan umum yang berlaku memuat juga
berbagai kaidah menyangkut hubungan dan masalah konsumen. Sekalipun
peraturan perundang-undangan itu tidak khusus diterbitkan untuk konsumen atau
perlindungan konsumen setidak-tidaknya ia merupakan sumber agar juga dari

Universitas Sumatera Utara


27

hukum konsumen dan/atau hukum perlindungan konsumen. Alasan yang dapat
dikemukakan untuk menerbitkan peraturan perundang-undangan yang secara
khusus mengatur dan melindungi kepentingan konsumen dapat disebutkan sebagai
berikut:
1. Konsumen memerlukan pengaturan tersendiri, karena dalam suatu
hubungan hukum dengan penjual, konsumen merupakan pengguna
barang dan jasa untuk kepentingan diri sendiri dan tidak untuk
diproduksi ataupun diperdagangkan.
2. Konsumen memerlukan sarana atau acara hukum tersendiri sebagai
upaya guna melindungi atau memperoleh haknya.32
Selain UUPK ada beberapa peraturan perundang-undangan yang baik
secara khusus ataupun tidak secara khusus mengatur dan berkaitan dengan
perlindungan konsumen, yaitu:33
a.

Peraturan Umum
yaitu peraturan perundang-undangan yang tidak secara khusus mengatur

tentang perlindungan konsumen, yaitu:
1) Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUH Perdata) Staatsblad
Tahun 1847 Nomor 23, Bagian Hukum Perikatan (Buku III),
khususnya mengenai wanprestasi (Pasal 1236 dan seterusnya) dan
perbuatan melawan hukum (Pasal 1365 dan seterusnya).
2) Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP).
3) Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1961 tentang Barang.
32
33

Celina Tri Kristiyanti, Op.Cit., hal.49.
Janus Sidabalok, Op.Cit., hal. 39-42.

Universitas Sumatera Utara

28

4) Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1966 tentang Hygiene.
5) Undang-Undang Nomor 11 Tahun 1965 tentang Pendaftaran Gedung.
6) Undang-Undang Nomor 5 tahun 1974 tentang Pokok-Pokok
Pemerintahan di Daerah.
7) Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1981 tentang Metrologi Legal.
8) Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1982 tentang Wajib Daftar
Perusahaan.
9) Undang-Undang Nomor 11 Tahun 1962 tentang Hygiene untuk
Usaha-Usaha Umum.
10) Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1992 tentang Kesehatan.
11) Ordonasi tentang Barang Berbahaya, Stbl. 1949-337.
12) Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1984 tentang Perindustrian.
13) Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1982 tentang Ketentuan-Ketentuan
Pokok Pengelolaan Lingkungan Hidup yang diganti dengan UndangUndang Nomor 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan
Hidup.
14) Undang-Undang Nomor 15 Tahun 1985 tentang Ketenagalistikan.
15) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1987 tentang Kamar Dagang dan
Industri.
16) Undang-Undang
Establishing

the

Nomor
World

7

Tahun

1994

tentang

Trade

Organization

Argreement

(Persetujuan

Pembentukan Organisasi Perdagangan Dunia).

Universitas Sumatera Utara

29

17) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1995 tentang Perseroan Terbatas
yang sudah diganti dengan Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007
tentang Perseoran Terbatas.
18) Undang-Undang Nomor 9 Tahun 1995 tentang Usaha Kecil yang
sudah diganti dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2008 tentang
Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah.
19) Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1996 tentang Pangan yang sudah
diganti dnegan Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2012 tentang
Pangan.
20) Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1997 tentang Perubahan atas
Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1987 tentang Hak Cipta.
21) Undang-Undang Nomor 13 tahun 1997 tentang Perubahan atas
Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1989 tentang Paten.
22) Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1997 tentang Perubahan atas
Undang-Undang Nomor 19 Tahun 1989 tentang Merek.
23) Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan
Lingkungan Hidup.
24) Undang-Undang Nomor 24 Tahun 1997 tentang Penyiaran.
25) Undang-Undang Nomor 25 Tahun 1997 tentang Ketenagakerjaan
yang sudah diganti dengan Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003
tentang Ketenagakerjaan dan dilengkapi dengan Undang-Undang
Nomor 2 Tahun 2004 tentng Penyelesaian Perselisihan Hubungan

Universitas Sumatera Utara

30

Industrial serta Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1992 tentang
Jaminan Sosial Tenaga Kerja.
26) Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1989 tentang Perubahan atas
Undang-Undang Nomor 7 tahun 1992 tentang Perbankan.
27) Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktik
Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat.
28) Peraturan Presiden Nomor 48 Tahun 2015 tentang Kementerian
Perdagangan.
29) Peraturan Daerah Kota Medan Nomor 3 Tahun 2014 tentang Kawasan
Tanpa Rokok.
30) Peraturan Walikota Medan Nomor 35 Tahun 2014 tentang Petunjuk
Teknis Pelaksanaan Peraturan Daerah Kota Medan Nomor 3 Tahun
2014 Tentang Kawasan Tanpa Rokok.
b.

Peraturan Khusus
Peraturan khusus yaitu peraturan perundang-undangan yang secara khusus
mengatur tentang perlindungan konsumen, diantaranya yaitu:
1) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan
Konsumen.
2) Peraturan Pemerintah Nomor 57 Tahun 2001 tentang Badan
Perlindungan Konsumen.
3) Peraturan Pemerintah Nomor 58 Tahun 2001 tentang Pembinaan,
Pengawasan dan Penyelenggaraan Perlindungan Konsumen.

Universitas Sumatera Utara

31

4) Peraturan Pemerintah Nomor 59 Tahun 2001 tentang Lembaga
Perlindungan Konsumen Swadaya Masyarakat.
5) Keputusan Presiden Nomor 90 Tahun 2001 tentang Pembentukan
Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen Pada Pemerintah Kota
Medan, Kota Palembang, Kota Jakarta Pusat, Kota Jakarta Barat, Kota
Bandung, Kota Semarang, Kota Yogyakarta, Kota Surabaya, Kota
Malang, Dan Kota Makassar.
6) Keputusan Presiden Nomor 108 Tahun 2004 tentang Pembentukan
Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen Pada Pemerintah Kota
Kupang, Kota Samarinda, Kota Sukabumi, Kota Bogor, Kota Kediri,
Kota Mataram, Kota Palangkaraya, Dan Pada Kabupaten Kupang,
Kabupaten Belitung, Kabupaten Sukabumi, Kabupaten Bulungan,
Kabupaten Serang, Kabupaten Ogan Komering Ulu, Dan Kabupaten
Jeneponto.
7) Keputusan Presiden Nomor 18 Tahun 2005 tentang Pembentukan
Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen Pada Pemerintah Kota
Padang, Kabupaten Tangerang, Kabupaten Indramayu Dan Kabupaten
Bandung.
8) Keputusan Presiden Nomor 23 Tahun 2006 tentang Pembentukan
Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen Pada Pemerintah Kota
Pekalongan, Kota Parepare, Kota Pekanbaru, Kota Denpasar, Kota
Batam, Kabupaten Aceh Utara Dan Kabupaten Serdang Bedagai.

Universitas Sumatera Utara

32

9) Keputusan Presiden Nomor 32 Tahun 2008 tentang Pembentukan
Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen Pada Kota Banjarmasin,
Kota Cirebon, Kota Surakarta, Kota Magelang, Dan Kota Tanjung
Pinang, Serta Pada Kabupaten Nganjuk, Kabupaten Aceh Tengah Dan
Kabupaten Bener Meriah.
10) Keputusan Presiden Nomor 23 Tahun 2009 tentang Pembentukan
Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen Pada Kota Tebing Tinggi,
Kota Binjai, Dan Kabupaten Bogor.
11) Keputusan Presiden Nomor 18 Tahun 2010 tentang Pembentukan
Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen Pada Kota Serang, Kota
Kendari, Kota Bukittinggi, Kota Singkawang, Kota Pontianak,
Kabupaten Kotawaringin Barat, Kabupaten Padang Pariaman,
Kabupaten Karawang, Dan Kabupaten Batu Bara.
12) Keputusan Presiden Nomor 5 Tahun 2012 tentang Pembentukan
Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen pada Kabupaten Lampung
Tengah, Kabupaten Paser, Kabupaten Purwakarta, Kabupaten
Tapanuli Utara, Kabupaten Barru, dan Kabupaten Cirebon, serta Kota
Bandar Lampung, dan Kota Tanjung Balai.
13) Keputusan Presiden Nomor 9 Tahun 2012 tentang Penetapan
Keanggotaan Indonesia pada Consumers International (Konsumen
Internasional).
14) Keputusan Presiden Nomor 13 Tahun 2012 tentang Hari Konsumen
Nasional.

Universitas Sumatera Utara

33

15) Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 13/M-DAG/PER/3/2010
tentang

Pengangkatan

Penyelesaian

Sengketa

Dan

Pemberhentian

Konsumen

Dan

Anggota

Badan

Sekretariat

Badan

Penyelesaian Sengketa Konsumen
16) Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 38/M-DAG/PER/12/2011
tentang Pengalihan Pelaksanaan Kewenangan Di Bidang Standardisasi
Perlindungan Konsumen, Metrologi Legal dan Pengawasan Barang
Beredar Dan Jasa.
17) Surat

Edaran

Dirjen

Perdagangan

Dalam

Negeri

No.

235/DJPDN/VII/2001 Tentang Penangan pengaduan konsumen yang
ditujukan kepada Seluruh dinas Indag Prop/Kab/Kota.
18) Surat Edaran Direktur Jenderal Perdagangan Dalam Negeri No. 795
/DJPDN/SE/12/2005

tentang

Pedoman

Pelayanan

Pengaduan

Konsumen.
Peraturan perundang-undangan yang mengandung aspek perlindungan
konsumen itu dapat dikelompokkan ke dalam empat bagian besar, yaitu bidang
perindustrian, perdagangan, kesehatan, dan lingkungan hidup. Dengan berlakunya
UUPK tersebut, maka ketentuan dalam perundang-undangan sebelumnya masih
dapat berlaku sejauh belum diatur yang baru menurut undang-undang tersebut
atau jika tidak bertentangan dengan undang-undang tersebut. Pasal 64
menyebutkan:
“Segala ketentuan peraturan perundang-undangan yang bertujuan
melindungi konsumen yang telah ada pada saat undang-undang ini
diundangkan, dinyatakan tetap berlaku sepanjang tidak diatur secara

Universitas Sumatera Utara

34

khusus dan/atau tidak bertentangan dengan ketentuan dalam undangundang ini”.
Dengan demikian, UUPK ini dapat dijadikan sebagai payung (umbrella
act) bagi perundang-undangan lain yang bertujuan untuk melindungi konsumen,

baik yang sudah ada maupun yang masih akan dibuat nanti.34

C. Asas dan Tujuan Hukum Perlindungan Konsumen
Sudikno Mertokusumo memberikan ulasan asas hukum sebagai berikut:
“ …bahwa asas hukum bukan merupakan hukum kongkrit, melainkan
merupakan pikiran dasar yang umum dan abstrak, atau merupakan latar
belakang peraturan yang kongkrit yang terdapat dalam dan di belakang
setiap sistem hukum yang terjelma dalam peraturan perundang-undangan
dan putusan hakim yang merupakan hukum positif dan dapat diketemukan
dengan mencari sifat-sifat atau cirri-ciri yang umum dalam peraturan
kongkrit tersebut”.35
Asas hukum ini ibarat jantung peraturan hukum atas dasar dua alasan
yaitu, pertama asas hukum merupakan landasan yang paling luas bagi lahirnya
suatu peraturan hukum. Ini berarti bahwa penerapan peraturan-peraturan hukum
itu dapat dikembalikan kepada asas-asas hukum. Kedua , karena asas hukum
mengandung tuntutan etis, maka asas hukum diibaratkan sebagai jembatan antara
peraturan-peraturan hukum dengan cita-cita sosial dan pandangan etis
masyarakatnya.36
1. Asas Hukum Perlindungan Konsumen
Perlindungan hukum yang diberikan kepada konsumen terdapat beberapa
asas yang terkandung di dalamnya. Perlindungan konsumen dilakukan sebagai
34
35

Ibid., hal. 43.
Sudikno Mertokusumo, Penemuan Hukum: Suatu Pengantar , (Jakarta: Liberty, 1996),

hal. 5-6.
36

Ibid., hal. 85.

Universitas Sumatera Utara

35

bentuk usaha bersama antara masyarakat (konsumen), pelaku usaha dan
pemerintah sebagai pembentuk peraturan perundang-undangan yang berkaitan
dengan perlindungan konsumen, hal ini terkandung dalam ketentuan Pasal 2
UUPK. Kelima asas tersebut adalah:
a) Asas Manfaat
Asas manfaat dimaksudkan untuk mengamanatkan bahwa segala
upaya

dalam

penyelenggaraan

perlindungan

konsumen

harus

memberikan manfaat sebesar-besarnya bagi kepentingan konsumen
dan pelaku usaha secara keseluruhan. Asas ini menghendaki bahwa
pengaturan dan penegakan hukum perlindungan konsumen tidak
dimaksudkan untuk menempatkan salah satu pihak diatas pihak yang
lain atau sebaliknya, tetapi adalah untuk memberikan kepada masingmasing pihak, pelaku usaha (produsen) dan konsumen, apa yang
menjadi haknya. Dengan demikian, diharapkan bahwa pengaturan dan
penegakan hukum perlindungan konsumen bermanfaat bagi seluruh
lapisan masyarakat dan pada gilirannya bermanfaat bagi kehidupan
berbangsa.
b) Asas Keadilan
Asas keadilan dimaksudkan agar partisipasi seluruh rakyat dapat
diwujudkan secara maksimal dan memberikan kesempatan kepada
konsumen dan pelaku usaha untuk memperoleh haknya dan
melaksanakan kewajibannya secara adil. Asas ini menghendaki bahwa
dalam pengaturan dan penegakan hukum perlindungan konsumen ini,

Universitas Sumatera Utara

36

konsumen dan pelaku usaha (produsen) dapat berlaku adil melalui
perolehan hak dan penunaian kewajiban secara seimbang. Karena itu,
UUPK mengatur sejumlah hak dan kewajiban konsumen dan pelaku
usaha.
c) Asas Keseimbangan
Asas keseimbangan dimaksudkan untuk memberikan keseimbangan
antara kepentingan konsumen, pelaku usaha, dan pemerintah dalam
arti materil ataupun spiritual. Asas ini menghendaki agar konsumen,
pelaku usaha (produsen), dan pemerintah memperoleh manfaat yang
seimbang dari pengaturan dan penegakan hukum perlindungan
konsumen. Kepentingan antara konsumen, pelaku usaha (produsen)
dan pemerintah diatur dan harus diwujudkan secara seimbang sesuai
dengan hak dan kewajibannya masing-masing dalam kehidupan
berbangsa dan bernegara. Tidak ada salah satu pihak pun yang
mendapat perlindungan atas kepentingannya yang lebih besar dari
pihak lain sebagai komponen bangsa dan negara.
d) Asas Keamanan dan Keselamatan Konsumen
Asas ini dimaksudkan untuk memberikan jaminan atas keamanan dan
keselamatan kepada konsumen dalam penggunaan, pemakaian dan
pemanfaatan barang dan/atau jasa yang dikonsumsi atau digunakan.
Asas ini menghendaki adanya jaminan hukum bahwa konsumen akan
memperoleh manfaat dari produk yang dikonsumsi atau dipakainya,
dan sebaliknya bahwa produk itu tidak akan mengancam ketentraman

Universitas Sumatera Utara

37

dan keselamatan jiwa dan harta bendanya. Karena itu Undang-undang
ini membebankan sejumlah kewajiban yang harus dipenuhi dan
menetapkan sejumlah larangan yang harus dipatuhi oleh produsen
dalam memperoduksi dan mengedarkan produknya.
e) Asas Kepastian Hukum
Asas ini dimaksudkan agar baik pelaku usaha maupun konsumen
menaati hukum dan memperoleh keadilan dalam penyelenggaraan
perlindungan konsumen, serta negara menjamin kepastian hukum.
Artinya undang-undang ini mengharapkan bahwa aturan-aturan tentang
hak dan kewajiban yang terkandung di dalam undang-undang ini harus
diwujudkan dalam kehidupan sehari-hari sehingga masing-masing
pihak memperoleh keadilan. Oleh karena itu, negara bertugas dan
menjamin terlaksananya undang-undang ini sesuai dengan bunyinya.37
Memperhatikan substansi Pasal 2 UUPK demikian pula penjelasannya,
tampak bahwa perumusannya mengacu pada filosofi pembangunan nasional
yaitu pembangunan manusia Indonesia seutuhnya yang berlandaskan pada
falsafah Negara Kesatuan Republik Indonesia. Kelima asas yang disebutkan
dalam pasal tersebut, bila diperhatikan substansinya, dapat dibagi menjadi 3
(tiga) asas yaitu :
1) Asas kemanfaatan yang didalamnya meliputi asas keamanan dan
keselamatan konsumen;
2) Asas keadilan yang didalamnya meliputi asas keseimbangan; dan

37

Janus Sidabalok, Op.Cit., hal. 25-26.

Universitas Sumatera Utara

38

3) Asas kepastian hukum.38
Asas hukum yang berkaitan dengan perlindungan konsumen tidak hanya
terdapat dalam UUPK, tetapi juga terdapat di dalam Undang-Undang Nomor 5
Tahun 1999 Tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak
Sehat yakni di dalam Pasal 2 yang berbunyi:
“Pelaku Usaha di Indonesia dalam menjalankan kegiatan usahanya
berasaskan demokrasi ekonomi dengan memperhatikan keseimbangan
antara kepentingan pelaku usaha dan kepentingan umum”.
2. Tujuan Hukum Perlindungan Konsumen
Tujuan yang ingin dicapai melalui UUPK ini sebagaimana disebut dalam
Pasal 3 adalah:
a. meningkatkan kesadaran, kemampuan, dan kemandirian konsumen
untuk melindungi diri;
b. mengangkat harkat dan martabat konsumen dengan cara
menghindarkannya dari ekses negatif pemakaian barang dan/atau jasa;
c. meningkatkan pemberdayaan konsumen dalam memilih, menentukan,
dan menuntut hak-haknya sebagai konsumen.
d. menciptakan sistem perlindungan konsumen yang mengandung undur
kepastian hukum dan keterbukaan informasi serta akses untuk
mendapatkan informasi;
e. menumbuhkan kesadaran pelaku usaha mengenai pentingnya
perlindungan konsumen sehingga tumbuh sikap yang jujur dan
bertanggung jawab dalam berusaha;
f. meningkatkan kualitas barang dan/atau jasa yang menjamin
kelangsungan usaha produksi barang dan/atau jasa, kesehatan,
kenyamanan, keamanan, dan keselamatan konsumen.
Ketentuan Pasal 3 UUPK mengatur tujuan khusus perlindungan konsumen
sekaligus membedakan tujuan umum yang dikemukakan dengan ketentuan
Pasal 2 UUPK. Keenam tujuan khusus tersebut dikelompokkan ke dalam tiga
38

Ahmadi Miru dan Sutarman Yodo, Hukum Perlindungan Konsumen , (Jakarta: Rajawali
Pers, 2014), hal. 26.

Universitas Sumatera Utara

39

tujuan hukum secara hukum untuk mendapatkan keadilan. Tujuan untuk
memberikan kemanfaatan dapat terlihat pada huruf a, huruf b, huruf c, huruf d,
dan huruf f. Terakhir tujuan kepastian hukum terlihat dalam huruf d.
Pengelompokan ini tidak berlaku mutlak, oleh karena seperti yang dapat kita
lihat dalam rumusan pada huruf a sampai dengan huruf f terdapat tujuan yang
dapat dikualifikasikan sebagai tujuan ganda.
Tujuan perlindungan konsumen tersebut merupakan isi pembangunan
nasional yang menjadi sasaran akhir yang harus dicapai dalam pelaksanaan
pembangunan di bidang hukum perlindungan konsumen. Keenam tujuan
tersebut hanya dapat tercapai secara maksimal, apabila didukung oleh
keseluruhan subsistem perlindungan yang diatur dalam UUPK tanpa
mengabaikan fasilitas penunjang dan kondisi masyarakat.39 Mengamati tujuan
dan asas yang terkandung di dalam UUPK, jelaslah bahwa undang-undang ini
membawa misi yang besar dan mulia dalam mewujudkan kehidupan berbangsa
dan bernegara.

D. Pihak-Pihak Terkait dalam Hukum Perlindungan Konsumen
1.

Konsumen
Kata konsumen berasal dari bahasa Inggris yaitu consumer . Dalam bahasa

Belanda, istilah konsumen disebut dengan consument. Konsumen secara
harfiah adalah “orang yang memerlukan, membelanjakan atau menggunakan;

39

Ahmadi Miru dan Sutarman Yodo, Op.Cit., hal. 34-35.

Universitas Sumatera Utara

40

pemakai atau pembutuh.”40 Pengertian konsumen secara yuridis telah
diletakkan dalam berbagai peraturan perundang-undangan, seperti UndangUndang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen dan UndangUndang Nomor 5 Tahun 1999 Tentang Larangan Praktik Monopoli dan
Persaingan Usaha Tidak Sehat.
Konsumen di dalam pengertian sehari-hari sering dianggap bahwa yang
disebut konsumen adalah pembeli (Inggris: buyer , Belanda: koper ). Pengertian
konsumen secara hukum tidak hanya terbatas kepada pembeli. Bahkan kalau
disimak secara cermat pengertian konsumen sebagaimana di dalam Pasal 1
angka 2 UUPK, di dalamnya tidak ada disebut kata pembeli. 41 Konsumen atau
pemakai/pengguna barang dan/atau jasa terdiri atas 2 (dua) kelompok, yakni:
1) pemakai atau pengguna barang dan/atau jasa (konsumen) dengan
tujuan memproduksi (membuat) barang dan/atau jasa lain. atau
mendapatkan barang dan/atau jasa untuk dijual kembali (tujuan
komersial), yang disebut sebagai konsumen antara, dan;
2) pemakai atau pengguna barang dan/atau jasa (konsumen) untuk
memenuhi kebutuhan diri sendiri, keluarga, atau rumah tangganya
(untuk tujuan non komersial), yang disebut sebagai konsumen akhir.42
Kategori kedua diatas telah diadopsi menjadi pengertian konsumen secara
yuridis formal yang dituangkan pada Pasal 1 angka 2 UUPK, yaitu:
“Konsumen adalah setiap orang pemakai barang dan/atau jasa yang
tersedia dalam masyarakat, baik bagi kepentingan diri sendiri, keluarga,
orang lain, maupun makhluk hidup lain dan tidak untuk diperdagangkan.”
Selanjutnya pada Bab Penjelasan Pasal 1 angka 2 UUPK dinyatakan
bahwa:

40

N.H.T. Siahaan, Hukum Perlindungan Konsumen dan Tanggung Jawab Produk, Cet.
ke-1, (Bogor: Grafika Mardi Yuana, 2005), hal. 23.
41
Ibid., hal. 24.
42
Az. Nasution, Konsumen dan Hukum, (Jakarta: Pustaka Sinar Harapan,1995), hal.18.

Universitas Sumatera Utara

41

“Di dalam kepustakaan ekonomi dikenal konsumen akhir dan konsumen
antara. Konsumen akhir adalah pengguna atau pemanfaat akhir dari suatu
produk, sedangkan konsumen antara adalah konsumen yang menggunakan
suatu produk sebagai bagian dari proses produksi suatu produk lainnya.
Pengertian konsumen dalam Undang-Undang ini adalah konsumen akhir.”
Dari uraian pengertian konsumen diatas, maka selanjutnya dapat ditarik
dua pembagian pengertian konsumen, yaitu dalam arti luas yang mencakup dua
kriteria konsumen (konsumen antara dan konsumen akhir), dan pengertian
konsumen dalam arti sempit, yaitu hanya mengacu pada konsumen akhir (end
consumer ). Di antara dua jenis atau kategori tersebut, yang dilindungi di dalam

UUPK hanyalah konsumen akhir (end consumer ). UUPK mengatur mengenai
perlindungan bagi konsumen akhir. Konsumen akhir dapat dibagi ke dalam 3
(tiga) golongan, yaitu:
a) Pemakai adalah setiap konsumen yang memakai barang yang tidak
mengandung listrik atau elektronika, seperti pemakaian pangan,
sandang, pangan, alat transportasi, dan sebagainya.
b) Pengguna adalah setiap konsumen yang menggunakan barang yang
mengandung listrik atau elektronika seperti penggunaan lampu listrik,
radio tape, TV, ATM, dan sebagainya.
c) Pemanfaat adalah setiap konsumen yang memanfaatkan jasa-jasa
konsumen, seperti: jasa kesehatan, jasa angkutan, jasa pengacara, jasa
pendidikan, jasa perbankan, jasa transportasi, jasa rekreasi dan
sebagainya.
2.

Pelaku Usaha
Menurut Pasal 1 angka 3 UUPK pengertian dari pelaku usaha, yaitu:

Universitas Sumatera Utara

42

“Pelaku usaha adalah setiap perseorangan atau badan usaha, baik yang
berbentuk badan hukum maupun yang bukan badan hukum yang didirikan
dan berkedudukan atau melakukan kegiatan dalam wilayah Republik
Indonesia, baik sendiri maupun bersama-sama melalui perjanjian
menyelenggarakan kegiatan usaha dalam berbagai bidang ekonomi.”43
Selanjutnya pada Bab Penjelasan tentang Pasal 1 angka 3 UUPK
dinyatakan bahwa:
“Pelaku usaha yang termasuk dalam pengertian ini adalah perusahaan,
korporasi, Badan Usaha Milik Negara (BUMN), Badan Usaha Milik
Daerah (BUMD), koperasi, importer, pedagang, distributor, dan lain-lain.”
Pengertian pelaku usaha dalam Pasal 1 angka 3 UUPK cukup luas karena
meliputi grosir, pengecer, dan sebagainya. Cakupan luasnya pengertian pelaku
usaha dalam UUPK tersebut memiliki persamaan dengan pengertian pelaku
usaha dalam masyarakat Eropa, terutama negara Belanda, bahwa yang dapat
dikualifikasikan sebagai produsen adalah pembuat produk jadi (finished
product); penghasil bahan baku, pembuat suku cadang; setiap orang yang

menampakkan dirinya sebagai produsen, dengan cara mencantumkan namanya,
tanda pengenal tertentu, atau tanda lain yang membedakannya dengan produk
asli, pada produk tertentu; importir suatu produk dengan maksud untuk
diperjualbelikan, disewakan, disewagunakan (leasing) atau bentuk distribusi
lain dalam transaksi perdagangan; pemasok (supplier ), dalam hal identitas dari
produsen atau importer tidak dapat ditentukan.44
Pelaku usaha yang meliputi berbagai bentuk atau jenis usaha sebagaimana
yang dimaksud dalam UUPK, sebaiknya ditentukan urutan-urutan yang
43

Lihat lebih lanjut pada Pasal 1 angka 3 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang
Perlindungan Konsumen.
44
Ahmadi Miru dan Sutarman Yodo, Op.Cit., hal. 8-9.

Universitas Sumatera Utara

43

seharusnya digugat oleh konsumen manakala dirugikan oleh pelaku usaha.
Urutan-urutan tersebut sebaiknya disusun sebagai berikut:
a) Yang pertama digugat adalah pelaku usaha yang membuat barang
tersebut jika berdomisili di dalam negeri dan domisilinya diketahui oleh
konsumen yang dirugikan.
b) Apabila barang yang merugikan konsumen tersebut diproduksi di luar
negeri, maka yang digugat adalah importirnya, karena UUPK tidak
mencakup pelaku usaha di luar negeri.
c) Apabila produsen maupun importir dari suatu barang tidak diketahui,
maka yang digugat adalah penjual dari siapa konsumen membeli barang
tersebut.45
Urutan-urutan pihak di atas tentu saja hanya diberlakukan jika suatu
barang mengalami cacat pada saat produksi, karena kemungkinan barang
mengalami kecacatan pada saat sudah berada di luar kontrol atau di luar
kesalahan pelaku usaha yang memproduksi produk tersebut. Urutan-urutan
tersebut juga mempertimbangkan tentang kompetensi pengadilan maupun
Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen (selanjutnya disebut BPSK), karena
siapapun yang digugat oleh konsumen, Pengadilan atau BPSK yang kompeten
adalah

yang

mewilayahi

tempat

tinggal

konsumen,

sehingga

tidak

memberatkan konsumen.46
3.

Pemerintah

45
46

Ibid., hal. 10.
Ibid., hal. 11.

Universitas Sumatera Utara

44

Pemerintah merupakan pihak terkait yang memiliki peran sebagai pihak
yang mengayomi dan menengahi di antara dua kepentingan yaitu pelaku usaha
dan konsumen. Tujuannya agar masing-masing pihak tersebut dapat berjalan
seiringan tanpa saling merugikan satu sama lainnya. Dalam hal ini, pemerintah
harus bersikap adil dan tidak memihak kepada sebelah pihak saja.
Adanya keterlibatan pemerintah dalam pembinaan dan pengawasan
terhadap penyelenggaraan perlindungan konsumen berdasarkan ketentuan
UUPK, di dasarkan pada kepentingan yang diamanatkan oleh Pembukaan
UUD 1945 bahwa kehadiran negara antara lain, untuk mensejahterakan
rakyatnya. Amanat ini dijabarkan dalam Pasal 33 UUD 1945 dan Garis-Garis
Besar Haluan Negara (selanjutnya disingkat GBHN), serta peraturan
perundang-undangan lainnya. Sejak GBHN 1983 istilah “konsumen” sudah
dikenal di dalamnya.
Peranaan pemerintah sebagaimana disebutkan di atas dapat dikategorikan
sebagai peranan yang berdampak jangka panjang sehingga perlu dilakukan
secara berkelanjutan dengan memberikan penerangan, penyuluhan, dan
pendidikan bagi semua pihak. Dengan demikian, tercipta lingkungan berusaha
yang sehat dan berkembangnya pengusaha yang bertanggung jawab. Termasuk
di sini menciptakan pasar yang kompetitif dengan berangsur-angsur
menghilangkan monopoli dan proteksi. Dalam jangka pendek, pemerintah

Universitas Sumatera Utara

45

dapat menyelesaikan secara langsung dan cepat masalah-masalah yang
timbul.47
Dalam menjalankan

perannya sebagai

pengayom

dan penengah,

pemerintah pada hal ini terdiri atas berbagai instansi yang berwenang,
diantaranya:
a) Badan Perlindungan Konsumen Nasional (BPKN)
Badan Perlindungan Konsumen Nasional bertugas memberikan saran
dan pertimbangan kepada pemerintah dalam upaya mengembangkan
perlindungan konsumen di Indonesia.
b) Badan Pengawasan Obat dan Makanan (BPOM)
Badan Pengawasan Obat dan Makanan yang bertugas melakukan
regulasi, standarisasi dan sertifikasi terhadap produk obat dan bahan
makanan yang akan dikonsumsi konsumen.
c) Departemen Perindustrian
Departemen Perindustrian bertugas untuk memberikan izin kepada
sebuah

perusahaan

apakah

sudah

layak

atau

belum

untuk

memproduksikan barang dan/atau jasanya.
d) Departemen Perdagangan
Departemen Perdagangan bertugas untuk memberikan izin bagi
peredaran dan/atau penjualan barang dan/atau jasa yang diproduksi di
dalam negeri maupun barang yang di impor.
47

Ading Suryana, Upaya Pemerintah dalam Meningkatkan Perhatian Terhadap
Kepentingan Konsumen Produk Pangan , Makalah pada Seminar Nasional Upaya Peningkatan
Perlindungan Konsumen Produk Pangan, UGM, 10 Januari 1989, Yogyakarta. hal. 5-7. (Dalam
Buku: Janus Sidabalok, Hukum Perlindungan Konsumen di Indonesia , Cet. Ke-3, (Bandung: PT
CITRA ADITYA BAKTI, 2014), hal. 20) .

Universitas Sumatera Utara

46

e) Departemen Dalam Negeri
Departemen Dalam Negeri bertugas untuk mengantisipasi dan
menginstruksikan aparat bawahannya yang ada di daerah-daerah untuk
segera mengadakan penarikan terhadap barang dan/atau jasa yang
dianggap tidak layak untuk beredar.
f)

Polisi Republik Indonesia (POLRI)
Polisi bertugas untuk melibatkan diri pada setiap penyimpangan yang
dilakukan oleh pengusaha yang mengganggu terhadap ketertiban
masyarakat.48

Posisi ketiga pihak terkait, yaitu produsen-pelaku usaha, konsumen dan
pemerintah, masing-masing adalah mendiri sehingga perlu diatur dengan baik
untuk mencapai keserasian dan keharmonisan dalam kegiatan ekonomi.
Pemerintah yang ditugaskan untuk mengatur hal tersebut berdasarkan Pasal 33
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (selanjutnya
disingkat dengan UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945), dapat
melaksanakannya melalui pembuatan peraturan dan pengawasan pelaksanaan
peraturan-peraturan itu. Peraturan-peraturan yang dimaksud adalah peraturan
yang juga mengikat pemerintah sehingga tidak muncul kolusi antara pengusaha
dan pemerintah yang dapat merugikan konsumen.49

48

Dikutip dari https://mkiradewi.wordpress.com/hukum-perlindungan-konsumen/peranpemerintah/, Pihak dalam Perlindungan Konsumen , [Diakses Pada 29 Juli 2016 Pukul 19.00
WIB].
49
Janus Sidabalok, Op.Cit., hal. 20.

Universitas Sumatera Utara

47

E. Hak dan Kewajiban Konsumen serta Pelaku Usaha
Hak merupakan sesuatu yang patut diterima setelah melakukan suatu hal
atau kewajiban tertentu, dimana apabila setelah melakukan kewajiban namun hak
tidak diberikan, maka boleh dituntut secara paksa agar hak tersebut diberikan.
Sebelum memperoleh hak, ada suatu perbuatan yang harus dilakukan terlebih
dahulu, yang dinamakan dengan kewajiban. Kewajiban merupakan sesuatu yang
harus atau wajib dilaksanakan dengan tujuan untuk memperoleh hak.
Hubungan timbal balik antara konsumen dan pelaku usaha juga terdapat
hak dan kewajiban yang dimiliki oleh masing-masing pihak, seperti contohnya,
konsumen berhak memperoleh barang dan/atau jasa yang ingin ia dapatkan
setelah memenuhi kewajibannya untuk membayar kepada pelaku usaha atas
barang dan/atau jasa tersebut. Sebaliknya, pelaku usaha juga memiliki hak untuk
menerima pembayaran dari konsumen atas barang dan/atau jasa yang
dihasilkannya setelah memenuhi kewajibannya untuk memberikan barang
dan/atau jasa yang diingikan konsumen. Berikut ini pembahasan selengkapnya
mengenai hak dan kewajiban dari kosumen serta pelaku usaha.
1.

Hak dan Kewajiban dari Konsumen
Sebagai pemakai barang dan/atau jasa, konsumen memiliki sejumlah hak

dan kewajiban. Pengetahuan tentang hak-hak konsumen sangat penting agar
masyarakat bisa bertindak sebagai konsumen yang kritis dan mandiri.
Tujuannya apabila terjadi suatu tindakan yang tidak adil terhadapnya, maka
secara spontan ia akan dapat menyadari hal tersebut lalu segera mengambil
tindakan untuk memperjuangkan hak-haknya. Dengan kata lain, ia tidak

Universitas Sumatera Utara

48

hanya akan berdiam diri ketika menyadari bahwa hak-haknya telah dilanggar
oleh pelaku usaha.
Berdasarkan Pasal 4 UUPK, hak-hak yang dimiliki oleh konsumen
adalah sebagai berikut:
a.
b.

c.
d.
e.
f.
g.
h.

i.

hak atas kenyamanan, keamanan, dan keselamatan dalam
mengkonsumsi barang dan/atau jasa;
hak untuk memilih barang dan/atau jasa serta mendapatkan barang
dan/atau jasa tersebut sesuai dengan nilai tukar dan kondisi serta
jaminan yang dijanjikan;
hak atas informasi yang benar, jelas, dan jujur mengenai kondisi dan
jaminan barang dan/atau jasa;
hak untuk didengar pendapat dan keluhannya atas barang dan/atau
jasa yang digunakan;
hak untuk mendapatkan advokasi, perlindungan, dan upaya
penyelesaian sengketa perlindungan konsumen secara patut;
hak untuk mendapat pembinaan dan pendidikan konsumen;
hak untuk diperlakukan atau dilayani secara benar dan jujur serta
tidak diskriminatif;
hak untuk mendapatkan kompensasi, ganti rugi dan/atau
penggantian, apabila barang dan/atau jasa yang diterima tidak sesuai
dengan perjanjian atau tidak sebagaimana mestinya;
hak-hak yang diatur dalam ketentuan peraturan perundangundangan
lainnya.

Hak-hak dasar konsumen dalam UUPK di atas merupakan penjabaran
dari pasal-pasal yang bercirikan negara kesejahteraan, yaitu Pasal 27 ayat (2)
dan Pasal 33 UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945.

50

Sebelumnya

pada tahun 1962, hak-hak konsumen pertama kalinya dikemukakan oleh
Presiden Amerika Serikat John F. Kennedy pada tanggal 15 Maret 1962,
melalui pidato kenegaraan di hadapan Kongres Amerika Serikat yang
berjudul “Special Message for the Protection of the Consumer Interest” atau
yang lebih dikenal dengan istilah “Deklarasi Hak Konsumen” (Declaration of

50

Adrian Sutedi, Op.Cit., hal. 24.

Universitas Sumatera Utara

49

Consumer Right). Kemudian menurut Bob Widyahartono menyebutkan

bahwa deklarasi tersebut menghasilkan empat dasar hak konsumen (the four
consumer basic rights) yaitu terdiri atas:

1)
2)
3)
4)

Hak untuk memperoleh keamanan atau The Right To Be Secured;
Hak untuk memperoleh informasi atau The Right To Be Informed;
Hak untuk memilih atau The Right To Choose; dan
Hak untuk didengarkan atau The Right To Be Heard.51

Berdasarkan beberapa uraian mengenai hak-hak yang dimiliki oleh
konsumen, terdapat hak yang sering disebutkan dan merupakan hak yang
penting bagi konsumen, yaitu hak untuk memperoleh jaminan atas keamanan
dan kesehatan dari penggunaan barang atau produk yang dijual oleh pelaku
usaha, dimana hal ini berkaitan dengan hak konsumen yang lain, yaitu hak
untuk memperoleh informasi yang jelas dan memadai mengenai tata cara
penggunaan barang atau produk tersebut. Selain informasi yang jelas dan
memadai konsumen juga perlu diberikan pembinaan atau pendidikan agar
tidak terjadi kesalahan dalam penggunaan barang atau produk tersebut.
Hak selanjutnya yang paling dibutuhkan oleh konsumen adalah hak
untuk didengarkan keluhan atau klaimnya tersebut, dimana pihak pelaku
usaha harus memberikan kompensasi, ganti rugi, ataupun penggantian
terhadap produk atau barang tersebut apabila produk atau barang tersebut
tidak sesuai dengan yang telah dijanjikan oleh pelaku usaha kepada
konsumen, karena hal tersebut dapat menyebabkan kerugian pada konsumen.
Untuk itu, sangatlah penting dan perlu bagi konsumen untuk memperhatikan

51

Abdul Halim Barkatullah, Hukum Perlindungan Konsumen.,(Bandung: Nusa Media,
2005), hal. 21.

Universitas Sumatera Utara

50

hal-hal yang harus diperjuangkan apabila hak-haknya dilanggar. Seorang
konsumen harusnya tidak hanya tinggal diam dan tidak berbuat apa-apa
ketika hak-hak yang ia miliki jelas-jelas dilanggar oleh pelaku usaha.
Selain hak-hak diatas, sebagai balance, konsumen juga mempunyai
beberapa kewajiban. Sesuai dengan yang diatur dalam Pasal 5 UUPK yaitu:
a.

b.
c.
d.

membaca atau mengikuti petunjuk informasi dan prosedur
pemakaian atau pemanfaatan barang dan/atau jasa, demi keamanan
dan keselamatan;
beritikad baik dalam melakukan transaksi pembelian barang dan/atau
jasa;
membayar sesuai dengan nilai tukar yang disepakati;
mengikuti upaya penyelesaian hukum sengketa perlindungan
konsumen secara patut.

Kewajiban-kewajiban tersebut haruslah dilakukan oleh konsumen, sebab
hal-hal tersebut sangatlah berguna bagi konsumen agar konsumen dapat
selalu berhati-hati ketika melakukan transaksi ekonomi dan hubungan
perdagangan. Dengan cara seperti itu, setidaknya konsumen dapat terlindungi
dari kemungkinan-kemungkinan masalah yang akan menghampirinya. Untuk
itu, memperhatikan kewajiban-kewajiban konsumen sama pentingnya dengan
memperhatikan hak-hak yang dimiliki oleh konsumen.
2.

Hak dan Kewajiban dari Pelaku Usaha
Pelaku usaha juga diberi hak sebagai bentuk usaha untuk menciptakan

kenyamanan sebagai keseimbangan atas hak-hak yang diberikan kepada
konsumen, maka pelaku usaha juga memiliki hak-hak.52 Sebagiamana diatur
dalam Pasal 6 UUPK, hak pelaku usaha yaitu :

52

Ibid., hal. 36.

Universitas Sumatera Utara

51

a. hak untuk menerima pembayaran yang sesuai dengan kesepakatan
mengenai kondisi dan nilai tukar barang dan/atau jasa yang
diperdagangkan;
b. hak untuk mendapat perlindungan hukum dari tindakan konsumen
yang beritikad tidak baik;
c. hak untuk melakukan pembelaan diri sepatutnya di dalam
penyelesaian hukum sengketa konsumen;
d. hak untuk rehabilitasi nama baik apabila terbukti secara hukum bahwa
kerugian konsumen tidak diakibatkan oleh barang dan/atau jasa yang
diperdagangkan;
e. hak-hak yang diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan
lainnya.
Hak pelaku usaha untuk menerima pembayaran sesuai dengan kondisi
dan nilai tukar barang dan/atau jasa yang diperdangkan, menunjukkan bahwa
pelaku usaha tidak dapat menuntut lebih banyak jika kondisi barang dan/atau
jasa yang diberikan kepada konsumen tidak atau kurang memadai menurut
harga yang berlaku pada umumnya atas barang dan/atau jasa yang sama.
Dalam praktek yang biasa terjadi, suatu barang dan/atau jasa yang kualitasnya
lebih rendah daripada barang yang serupa, maka para pihak menyepakati
harga yang lebih murah. Dengan demikian yang dipentingkan dalam hal ini
adalah harga yang wajar.53 Mengenai hak-hak yang diatur dalam ketentuan
peraturan perundang-undangan lainnya, yang dimaksud adalah hak-hak yang
diatur dalam Undang-Undang Larangan Praktik Monopoli dan Persaingan
Usaha Tidak Sehat, Undang-Undang Perbankan, dan peraturan perundangundangan yang terkait.
Selain memiliki hak, pelaku usaha juga memiliki kewajiban yang harus
dilaksanakannya. Adapun kewajiban pelaku usaha diatur di dalam Pasal 7
UUPK, yaitu sebagai berikut:
53

Ahmadi Miru dan Sutarman Yodo, Op.Cit., hal. 50-51.

Universitas Sumatera Utara

52

a.
b.

c.
d.

e.

f.

g.

beritikad baik dalam melakukan kegiatan usahanya;
memberikan informasi yang benar, jelas dan jujur mengenai
kondisi dan jaminan barang dan/atau jasa serta memberi penjelasan
penggunaan, perbaikan dan pemeliharaan;
memperlakukan atau melayani konsumen secara benar dan jujur
serta tidak diskriminatif;
menjamin mutu barang dan/atau jasa yang diproduksi dan/atau
diperdagangkan berdasarkan ketentuan standar mutu barang
dan/atau jasa yang berlaku;
memberi kesempatan kepada konsumen untuk menguji, dan/atau
mencoba barang dan/atau jasa tertentu serta memberi jaminan
dan/atau garansi atas barang yang dibuat dan/atau yang
diperdagangkan;
memberi kompensasi, ganti rugi dan/atau penggantian atas
kerugian akibat penggunaan, pemakaian dan pemanfaatan barang
dan/atau jasa yang diperdagangkan;
memberi kompensasi, ganti rugi dan/atau penggantian apabila
barang dan/atau jasa yang diterima atau dimanfaatkan tidak sesuai
dengan perjanjian.

Pelaku usaha di dalam UUPK diwajibkan beritikad baik dalam
melakukan kegiatan usahanya, sedangkan bagi konsumen diwajibkan
beritikad baik untuk melakukan transaksi pembelian barang dan/atau jasa.
Dalam UUPK tampak bahwa itikad baik lebih ditekankan pada pelaku
usaha, karena meliputi semua tahapan dalam melakukan kegiatan
usahanya, sehingga dapat diartikan bahwa kewajiban pelaku usaha untuk
beritikad baik dimulai sejak barang dirancang atau diproduksi sampai pada
tahap penjualan, sebaliknya konsumen hanya diwajibkan melakukan itikad
baik dalam melakukan transaksi pembelian barang dan/atau jasa. Hal ini
tentu saja disebabkan oleh kemungkinan terjadinya kerugian bagi
konsumen dimulai sejak barang dirancang atau diproduksi oleh produsen
atau pelaku usaha, sedangkan bagi konsumen, kemungkinan untuk dapat

Universitas Sumatera Utara

53

dirugikan produsen mulai pada saat melakukan transaksi dnegan
produsen.54
Mengenai kewajiban kedua pelaku usaha, yaitu memberikan informasi
yang benar, jelas dan jujur mengenai kondisi dan jaminan barang dan/atau
jasa serta memberi penjelasan penggunaan, perbaikan, dan pemeliharaan,
karena informasi merupakan hak dari konsumen. Apabila pelaku usaha
memberikan informasi atau penjelasan yang kurang memadai kepada
konsumen, maka hak tersebut merupakan salah satu jenis cacat produk
(cacat informasi) yang dapat merugikan konsumen.
Pencantuman informasi bagi konsumen yang berupa instruksi atau
petunjuk prosedur pemakaian suatu produk merupakan hal yang wajib
dilakukan oleh pelaku usaha agar produk yang dihasilkan oleh pelaku
usaha tersebut tidak dianggap cacat karena ketiadaan informasi maupun
informasi yang kurang. Sebaliknya, konsumen juga memiliki kewajiban
untuk membaca lalu mengikuti petunjuk informasi dan prosedur
pemakaian dari suatu produk agar konsumen dapat memakai atau
memanfaatkannya secara baik dan benar demi keamanan konsumen.55

F.

Bentuk Pelanggaran Hak Konsumen dan Tata Cara Pengaduan
Konsumen
1. Bentuk Pelanggaran Hak Konsumen

54
55

Ibid., hal. 54.
Ibid., hal. 55.

Universitas Sumatera Utara

54

Sebagaimana telah dibahas, tujuan perlindungan konsumen adalah
untuk mengangkat harkat hidup dan martabat konsumen, yaitu dengan cara
menghindarkannya dari akses negatif pemakaian barang/jasa. Oleh karena itu,
segala perbuatan yang melanggar hak konsumen harus dihindari. Pelaku
usaha perlu memerhatikan apa saja perbuatan-perbuatan usaha yang dilarang
menurut UUPK. Upaya untuk melindungi kepentingan konsumen yang
dilakukan

melalui

perangkat

hukum

(UUPK)

diharapkan

mampu

menciptakan norma hukum perlindungan konsumen dan memberikan rasa
tanggung jawab kepada dunia usaha, terutama pelaku usahanya.56
a. Produk atau Jasa yang Dilarang
Menurut Pasal 8 ayat (1) UUPK, barang/jasa yang dilarang sebagai
berikut:
a. tidak memenuhi atau tidak sesuai dengan standar yang
dipersyaratkan dalam ketentuan peraturan perundang-undangan;
b. tidak sesuai dengan berat bersih, isi bersih atau netto, dan jumlah
dalam hitungan sebagaimana yang dinyatakan dalam label atau
etiket barang tersebut;
c. tidak sesuai dengan ukuran,