Perlindungan Hukum Terhadap Pasien Malpraktek Di Rumah Sakit Ditinjau Dari UU NO.8 Tahun 1999 (Studi pada Rumah Sakit Elisabeth Medan )
Diajukan Untuk Melengkapi Tugas Akhir dan Memenuhi Syarat-Syarat Untuk Meperoleh
Gelar Sarjana Hukum
DEPARTEMEN HUKUM KEPERDATAAN PROGRAM KEKHUSUSAN PERDATA BW
Oleh :
DEWI RATIH
090200412
FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN
(2)
berpikir kepada Penulis sehingga skripsi ini telah selesai dikerjakan.
Skripsi ini berjudul :Perlindungan Hukum Terhadap Pasien Malpraktek
Di Rumah Sakit Ditinjau Dari UU No.8 Tahun 1999 (Studi Pada Rumah Sakit
Elisabeth Medan). Penulisan skripsi ini dimaksudkan untuk memenuhi
persyaratan dalam rangka mencapai gelar Sarjana Hukum di Fakultas Hukum
Universitas Sumatera Utara Departemen Hukum Keperdataan.
Dalam proses penulisan skripsi ini, penulis telah mendapat bantuan dari
berbagai pihak, maka pada kesempatan ini Penulis menyampaikan ucapan
terimakasih kepada:
1. Prof. Dr. Runtung, S.H., M.Hum. selaku Dekan Fakultas Hukum Universitas
Sumatera Utara, beserta seluruh Pembantu Dekan Fakultas Hukum
Universitas Sumatera Utara.
2. Bapak Sunarto Adi Wibowo, S.H., M.Hum selaku Dosen Pembimbing I yang
telah membimbing dan mengarahkan Penulis selama proses penulisan skripsi.
3. Bapak Zulkifli Sembiring, S.H., M.Hum selaku Dosen Pembimbing II yang
telah membimbing dan mengarahkan Penulias selama proses penulisan
skripsi.
4. Kepada Ayahanda H. Drs. Muhammada Amri, S.H dan ibunda Hj. Nahlah,
(3)
saying yang sedari kecil diberikan. Tanpa cinta, dukungan dan doanya sangat
sulit bagi Penulis untuk mencapai cita-citanya. Skripsi ini Penulis
persembahkan buat Ayahanda dan Ibunda.
5. Seluruh Dosen dan Staf Pengajar di Fakultas Hukum Universitas Sumatera
Utara yang telah mengajar dan membimbing Penulis selama menempuh
pendidikan di Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.
6. Seluruh Staf Tata Usaha dan Staf Administrasi Perpuastakaan serta para
pegawai di Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.
7. Bapak H. M. Dharma Bakti Nasution., SE., SH., MH dan seluruh pegawai
Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen (BPSK) yang telah membantu
Penulis dalam melakukan penelitian yang berhubungan dengan Perlindungan
Hukum Terhadap Pasien Malpraktek di Rumah Sakit ditinjau dari UU No.8
Tahun 1999.
8. Kepada adik Penulis, yaitu Rizky Fajariah yang sangat penuli sayangi serta
seluruh keluarga besarku yang memberikan perhatian dan semangat untuk ku
agar terus maju.
9. Kepada Soulmate yang penulis sayangi : Nurul Arliza Aprilia, Amd, Fanny
Dwi Lestari, SH, Windha Auliana Yusra, SH, Novanema Duha, SH, Fabiani
Novita Sari, ST, Ojita Aziziyah, SH, Rizki Tambunan, SH, Nova Andriani,
SH, Ika Delima, Indah Permatasari, Sarah Sylvyana, SH. Terimakasih atas
(4)
10.Kepada sahabat-sahabat yang penulis sayangi : Dian Sasmita Hsb, SH,
Mulkan Balya, SH, Muhammad Iqbal Harahap, Yudhistira Frandana, Mutia
Ulfa, SST. Terima kasih atas doa dan dukungannya selama ini.
11.Kepada teman-teman seperjuangan ku : Fauzul Asyura, SH, M. Subhi Sholih,
SH, Dea Arum Amelia Lbs, SH, Lutfi, Reza Surya, James RNP, Wahyu.
Terimakasih atas doa dan dukungannya selama ini.
12.Kepada seluruh teman-teman stambuk 2009 Fakultas Hukum Universitas
Sumatera Utara.
Demikianlah Penulis sampaikan, Penulis menyadari bahwa skripsi ini jauh
dari sempurna. Oleh karena itu, penulis sangat mengharapkan kritik dan saran dari
berbagai pihak. Semoga skripsi ini dapat bermanfaat untuk menambah wawasan
dan pengetahuan hendaknya.
Medan, Januari 2014
Hormat Penulis
(5)
Daftar Isi iv
Abstraksi vi
BAB I PENDAHULUAN
A.Latar Belakang 1
B.Rumusan Masalah 8
C.Tujuan Penulisan 9
D.Manfaat Penulisan 9
E. Metode Penulisan 10
F. Keaslian Penulisan 13
G.Sistematika Penulisan 13
BAB II TINJAUAN UMUM PERJANJIAN/PERIKATAN
A.Pengertian Perjanjian/Perikatan 16
B. Jenis-jenis Perjanjian 22
C. Asas Perjanjian 24
D.Syarat Sahnya Perjanjian 28
E. Wanprestasi 33
F. Perbuatan Melawan Hukum 35
BAB III KONTRAK TERAPEUTIK DAN PERLINDUNGAN KONSUMEN
A.Pengertian Kontrak Terapeutik 39
B.Aspek Hukum Keperdataan dalam Kontrak
Terapeutik 42
C.Dasar Hukum Kontrak Terapeutik 46
D.Hubungan Hukum Para Pihak yang Terkait dalam
Kontrak Terapeutik 48
(6)
1. Pengertian Informed Consent 50
2. Bentuk Informed Consent 53
3. Yang Berhak Memberikan Persetujuan Tindakan
Medis 55
4. Tujuan Pemberian Persetujuan Tindakan Medis 58 5. Akibat Hukum Tenaga Kesehatan Melakukan
Tindakan Medis Tanpa Persetujuan Tindakan
Medis 61
F. Pengertian Konsumen 63
G.Hak dan Kewajiban Konsumen 64
BAB IV PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP PASIEN MALPRAKTEK DI RUMAH SAKIT DI TINJAU DARI UU NO.8 TAHUN 1999 (studi pada Rumah Sakit Elisabeth Medan)
A.Pengertian Malpraktek 67
B.Akibat Hukum dari Malpraktek 70
C.Perlindungan Hukum Terhadap Pasien
Malpraktek 71
D.Putusan di BPSK Kota Medan Sudah Memenuhi
Unsur-Unsur Perlindungan Konsumen 75
E. Kendala-kendala Penyelesaian Sengketa Konsumen
di BPSK Kota Medan 82
F. Kekuatan Hukum Terhadap Putusan BPSK Terhadap
Para Pihak 84
BAB V KESIMPULAN DAN SARAN
A.Kesimpulan 87
B.Saran 92
Daftar Pustaka Lampiran
(7)
Kesehatan merupakan hak asasi manusia dan salah satu unsur kesejahteraan yang harus di wujudkan sesuai dengan cita-cita bangsa Indonesia. Kesehatan juga merupakan hak manusia untuk sehat, dimana apabila kesehatan tersebut terganggu maka manusia membutuhkan jasa pelayanan kesehatan untuk mengembalikan kondisi sehat tersebut. Pelayanan kesehatan pada dasarnya bertujuan untuk melaksanakan upaya pencegahan dan pengobatan suatu penyakit yang dilakukan oleh dokter, dimana dokter mempunyai keahlian dibidang medis sedangkan pasien merupakan orang sakit yang tidak mengerti dengan penyakit yang dideritanya sehingga mempercayai dirinya untuk diobati oleh dokter.
Dalam skripsi ini akan dibahas beberapa permasalahan yaitu apa putusan di BPSK kota Medan sudah memenuhi unsur-unsur perlindungan konsumen dan apa saja kendala-kendala penyelesian sengketa di BPSK kota Medan serta bagaimana kekuatan hukum terhadap putusan BPSK. Untuk memperoleh data primer telah dilakukan penelitian lapangan dengan mewawancarai para pihak yang terlibat langsung dalam masalah ini. Disamping itu untuk memperoleh data sekunder dengan cara mempelajari perundang-undangan, buku-buku teks baik yang bersifat umum maupun bersifat khusus.
Berdasarkan hasil penelitian di lapangan dapat di simpulkan bahwa putusan BPSK kota Medan sudah memenuhi unsur perlindungan konsumen: produk hukum BPSK dalam hal keputusan yang ditetapkan oleh majelis BPSK sudah memberikan perlindungan hukum yang pasti kepada konsumen dan memberikan sanksi administratif serta sanksi moril dimana pelaku usaha dalam hal ini rumah sakit Santa Elisabeth untuk memberikan ganti rugi kepada konsumen serta memberikan pelayanan yang terbaik kepada seluruh masyarakat yang membutuhkan pertolongannya dimasa yang akan datang. Kendalanya: pihak rumah sakit tidak dapat menghadirkan saksi-saksi yng seharusnya dapat memperlihatkan titik terang dari apa sebenarnya persoalan yang dialami pihak rumah sakit,mengapa mereka sampai salah mendiaknosa pasien tersebut. Kekuatan hukum putusan BPSK: bagi pasien rumah sakit, diluar putusan seluruh pasien diharapkan memahami dan mengerti tentang perjanjian sebelum melakukan operasi agar nanti tidak timbul persengketaan konsumen ini di kemudian hari. Bagi pihak rumah sakit, diluar putusan agar pihak rumah sakit sebagai pelaku usaha diwajibkan menseleksi calon dokter yang bekerja di rumah sakit sesuai dengan keahliannya,agar dokter yang terpilih dapat memberikan pelayanan yang terbaik dan profesional bagi para calon pasien yang akan dirawat.
Kata kunci : Perlindungan Hukum, Pasien Malpraktek, Rumah Sakit Mahasiwa Fakultas Hukum USU
** Dosen Pembimbing I *** Dosen Pembimbing II
(8)
Kesehatan merupakan hak asasi manusia dan salah satu unsur kesejahteraan yang harus di wujudkan sesuai dengan cita-cita bangsa Indonesia. Kesehatan juga merupakan hak manusia untuk sehat, dimana apabila kesehatan tersebut terganggu maka manusia membutuhkan jasa pelayanan kesehatan untuk mengembalikan kondisi sehat tersebut. Pelayanan kesehatan pada dasarnya bertujuan untuk melaksanakan upaya pencegahan dan pengobatan suatu penyakit yang dilakukan oleh dokter, dimana dokter mempunyai keahlian dibidang medis sedangkan pasien merupakan orang sakit yang tidak mengerti dengan penyakit yang dideritanya sehingga mempercayai dirinya untuk diobati oleh dokter.
Dalam skripsi ini akan dibahas beberapa permasalahan yaitu apa putusan di BPSK kota Medan sudah memenuhi unsur-unsur perlindungan konsumen dan apa saja kendala-kendala penyelesian sengketa di BPSK kota Medan serta bagaimana kekuatan hukum terhadap putusan BPSK. Untuk memperoleh data primer telah dilakukan penelitian lapangan dengan mewawancarai para pihak yang terlibat langsung dalam masalah ini. Disamping itu untuk memperoleh data sekunder dengan cara mempelajari perundang-undangan, buku-buku teks baik yang bersifat umum maupun bersifat khusus.
Berdasarkan hasil penelitian di lapangan dapat di simpulkan bahwa putusan BPSK kota Medan sudah memenuhi unsur perlindungan konsumen: produk hukum BPSK dalam hal keputusan yang ditetapkan oleh majelis BPSK sudah memberikan perlindungan hukum yang pasti kepada konsumen dan memberikan sanksi administratif serta sanksi moril dimana pelaku usaha dalam hal ini rumah sakit Santa Elisabeth untuk memberikan ganti rugi kepada konsumen serta memberikan pelayanan yang terbaik kepada seluruh masyarakat yang membutuhkan pertolongannya dimasa yang akan datang. Kendalanya: pihak rumah sakit tidak dapat menghadirkan saksi-saksi yng seharusnya dapat memperlihatkan titik terang dari apa sebenarnya persoalan yang dialami pihak rumah sakit,mengapa mereka sampai salah mendiaknosa pasien tersebut. Kekuatan hukum putusan BPSK: bagi pasien rumah sakit, diluar putusan seluruh pasien diharapkan memahami dan mengerti tentang perjanjian sebelum melakukan operasi agar nanti tidak timbul persengketaan konsumen ini di kemudian hari. Bagi pihak rumah sakit, diluar putusan agar pihak rumah sakit sebagai pelaku usaha diwajibkan menseleksi calon dokter yang bekerja di rumah sakit sesuai dengan keahliannya,agar dokter yang terpilih dapat memberikan pelayanan yang terbaik dan profesional bagi para calon pasien yang akan dirawat.
Kata kunci : Perlindungan Hukum, Pasien Malpraktek, Rumah Sakit Mahasiwa Fakultas Hukum USU
** Dosen Pembimbing I *** Dosen Pembimbing II
(9)
A. Latar Belakang
Kesehatan merupakan hak asasi manusia dan salah satu unsur
kesejahteraan yang harus di wujudkan sesuai dengan cita-cita bangsa Indonesia.
Pembangunan kesehatan pada hakikatnya adalah penyelenggaraan kesehatan
untuk mencapai hidup sehat bagi setiap penduduk secara optimal, karena
merupakan salah satu unsur kesejahteraan umum dari tujuan nasiaonal. Praktek
kedokteran bukanlah pekerjaan yang dapat dilakukan oleh siapa saja, melainkan
hanya boleh dilakukan oleh kelompok profesional seperti dokter, bidan, dokter
gigi dan memenuhi standar tertentu dan telah mendapat izin dari institusi yang
berwenang, serta bekerja sesuai standar profesional yang ditetapkan oleh
organisasi.
Kesehatan merupakan hak manusia untuk sehat yang mana apabila sehat
ini terganggu dibutuhkan suatu jasa pelayanan kesehatan untuk mengembalikan
kondisi sehat tersebut. Pasien ketika menerima jasa pelayanan kesehatan dari
dokter dan rumah sakit dipandang sebagai subyek yang memiliki hak-hak yang
harus dihormati dan dilindungi oleh peraturan perundang-undangan, karena itu
dalam kasus dugaan malpraktek, pasien yang merasa dirugikan dapat dan berhak
(10)
yang bersangkutan. Namun saat ini belum ada peraturan perundang-undangan
yang mengatur secara tegas dan spesifik mengenai permasalahan malpraktek ini.
Pelayanan kesehatan pada dasarnya bertujuan untuk melaksanakan upaya
pencegahan dan pengobatan suatu penyakit, termasuk didalamnya pelayanan
medis yang didasarkan atas dasar hubungan individual antara dokter dengan
pasien yang membutuhkan kesembuhan atas penyakit yang di deritanya. Dokter
merupakan pihak yang mempunyai keahlian di bidang medis atau kedokteran
yang di anggap memiliki kemampuan dan keahlian untuk melakukan tindakan
medis. Sedangkan pasien merupakan orang sakit yang tidak mengerti dengan
penyakit yang di deritanya dan mempercayakan dirinya untuk diobati dan
disembuhkan oleh dokter. Oleh karena itu dokter berkewajiban memberikan
pelayanan medis yang sebaik-baiknya bagi pasien.
Praktek dokter bukanlah pekerjaan yang dapat dilakukan oleh siapa saja,
tapi hanya dapat dilakukan oleh kelompok professional kedokteran yang
berkompeten dan memenuhi standar tertentu. Secara teoritis terjadi sosial kontrak
antara masyarakat profesi dan masyarakat umum. Dengan kontrak ini memberikan
hak kepada masyarakat profesi untuk mengatur otonomi profesi, standar profesi
yang disepakati. Sebaliknya masyarakat umum (pasien) berhak mendapatkan
pelayanan sesuai dengan standar yang diciptakan oleh masyarakat professional
tadi. Dengan demikian dokter memiliki tanggungjawab atas profesinya dalam hal
pelayanan medis kepada pasiennya. Berkaitan dengan profesi kedokteran ini,
(11)
media cetak, bahwa banyak ditemui malpraktek yang dilakukan kalangan dokter
Indonesia.
Hukum kedokteran di Indonesia belum dapat dirumuskan secara mandiri
sehingga batasan-batasan mengenai malpraktek belum bisa dirumuskan, sehingga
isi pengertian dan batasan-batasan malpraktek kedokteran belum seragam
bergantung pada sisi mana orang memandangnya. UU No.29 Tahun 2004 tentang
Praktek Kedokteran selanjutnya disebut UUPKn juga tidak memuat tentang
ketentuan malpraktek kedokteran. Pasal 66 ayat (1) mengandung kalimat yang
mengarah kepada kesalahan praktek dokter yaitu : setiap orang mengetahui atau
kepentingannya dirugikan atas tindakan dokter atau dokter gigi dalam
menjalankan praktik kedokteran dapat mengadukan secara tertulis kepada ketua
Majelis Kehormatan Disiplin Kedokteran Indonesia . Norma ini hanya memberi
dasar hukum untuk melaporkan dokter ke organisasi profesinya apabila terdapat
indikasi tindakan dokter yang membawa kerugian, bukan pula sebagai dasar untuk
menuntut ganti rugi atas tindakan dokter. Pasal itu hanya mempunyai arti dari
sudut Hukum Administrasi Praktek Kedokteran.
Ruang lingkup hukum perlindungan konsumen sulit dibatasi hanya dengan
menampungnya dalam bisnis hukum. Hukum perlindungan konsumen selalu
berhubungan dan berinteraksi dengan berbagai bidang dan cabang hukum
lain,karena pada tiap bidang dan cabang hukum itu senantiasa terdapat pihak yang
berpredikat “konsumen”. Karena posisi konsumen yang lemah, ia harus dilindungi
oleh hukum. Salah satu sifat sekaligus tujuan hukum itu adalah memberikan
(12)
perlindungan konsumen adalah dua bidang hukum yang sulit dipisahkan dan
ditarik batasnya.1
Secara global, substansi hukum perlindungan konsumen mengalami
perubahan untuk menghadapi perkembangan perdagangan yang terus mengglobal.
Dalam hukum perlindungan konsumen dikenal tuntutan ganti kerugian konsumen
kepada produsen, yang berdasarkan tiga teori tanggung jawab, yaitu tanggung
jawab berdasarkan kelalaian/kesalahan (negligence), tuntutan berdasarkan ingkar
janji atau wanprestasi (breach of warranty), dan tanggung jawab mutlak (strict
liability). Prinsip tanggung jawab produk dalam UU No.8 Tahun 1999 tentang
Perlindungan Konsumen (UUPK) merupakan modifikasi terhadap prinsip
tanggung jawab berdasarkan kesalahan.
Pengertian perlindungan konsumen termaktub dalam pasal 1 angka 1
UUPK dinyatakan segala upaya yang menjamin adanya kepastian hukum untuk
memberikan perlindungan kepada konsumen. Kepastian hukum untuk
memberikan perlindungan kepada konsumen itu antara lain adalah dengan
meningkatkan harkat dan martabat konsumen serta membuka akses informasi
tentang barang dan/atau jasa baginya, dan menumbuhkembangkan sikap pelaku
usaha yang jujur dan bertanggung jawab2.
Tujuan yang ingin dicapai perlindungan konsumen umumnya dapat dibagi
dalam tiga bagian utama, yaitu:
1 Abdul Halim Barkatulah, Hukum Perlindungan Konsumen, Banjarmasin : FH Unlam Press,2008 hal. 1
2
Adrian Sutedi, Tanggung Jawab Produk Dalam Hukum Perlindungan Konsumen, Jakarta,Penerbit Ghalia Indonesia,2008, hal. 8
(13)
1 Memberdayakan konsumen dalam memilih,menentukan barang
dan/atau jasa kebutuhannya, dan menuntut hak-haknya;
2 Menciptakan sistem perlindungan konsumen yang memuat
unsure-unsur kepastian hukum, keterbukaan informasi, dan akses untuk
mendapatkan informasi;
3 Menumbuhkan kesadaran pelaku usaha mengenai pentingnya
perlindungan konsumen sehingga tumbuh sikap jujur dan
bertanggung jawab.
Dari ketiga tujuan di atas, dapat disimpulkan bahwa sangat penting untuk
dapat melindungi konsumen dari berbagai hal yang dapat mendatangkan kerugian
bagi mereka. Konsumen perlu dilindungi, karena konsumen dianggap memiliki
suatu “kedudukan” yang tidak seimbang dengan para pelaku usaha.
Ketidakseimbangan ini menyangkut bidang pendidikan dan posisi tawar yang
dimiliki oleh konsumen. Sering kali konsumen tidak berdaya mengahadapi posisi
yang lebih kuat dari para pelaku usaha.
Melalui UUPK menetapkan sembilan hak konsumen, yaitu:
a. Hak atas kenyamanan, keamanan, dan keselamatan dalam
mengkonsumsi barang dan atau jasa
b. Hak untuk memilih barang dan atau jasa serta mendapatkan barang
dan atau jasa tersebut sesuai dengan nilai tukar dan kondisi serta
jaminan yang di janjikan
c. Hak atas informasi yang benar, jelas dan jujur mengenai kondisi
(14)
d. Hak untuk di dengar pendapat dan keluhannya atas barang dan atau
jasa yang digunakan
e. Hak untuk mendapat advokasi perlindungan konsumen secara patut
f. Hak untuk mendapatkan pembinaan dan pendidikan konsumen
g. Hak untuk diperlakukan atau dilayani secara benar dan jujur serta
tidak diskriminatif
h. Hak untuk mendapatkan konpensasi, ganti rugi dan atau
penggantian, apabila barang dan atau jasa yang di terima tidak
sesuai dengan perjanjian atau tidak sebagaimana mestinya
i. Hak-hak yang diatur dalam ketentuan peraturan
perundang-undangan lainnya.
Selain memperoleh hak, konsumen juga diwajibkan untuk:
1) Membaca atau mengikuti petunjuk informasi dan prosedur atau
pemanfaatan barang dan atau jasa, demi keamanan dan
keselamatan
2) Beritikad baik dalam melakukan transaksi pembelian barang dan
atau jasa
3) Membayar sesuai nilai tukar yang di sepakati
4) Mengikuti upaya penyelesaian hukum sengketa perlindungan
konsumen secara patut.
Pengertian sengketa konsumen adalah suatu sengketa yang salah satu
(15)
ataupun di luar pengadilan berdasarkan pilihan sukarela dari para pihak.
Unsur-unsur yang terdapat dalam pasal 45 UUPK antara lain:
a) Adanya kerugian yang di derita konsumen
b) Gugatan dilakukan terhadap pelaku usaha
c) Dilakukan melalui pengadilan
Pasal 48 UUPK dinyatakan bahwa penyelesaian sengketa melalui jalur
pengadilan mengacu kepada ketentuan yang berlaku dalam peradilan umum
dengan memperhatikan pasal 45 UUPK. Selain itu, menurut ayat (1), penyelesaian
sengketa dapat dilakukan di luar jalur pengadilan. Penyelesaian di luar jalur
pengadilan dapat di lakukan dengan memanfaatkan Badan Penyelesaian Sengketa
Konsumen (BPSK) sebagaimana tercantum dalam Pasal 49 sampai dengan Pasal
58 UUPK.
Tugas dan wewenang BPSK berdasarkan ketentuan Pasal 52 UUPK
meliputi melaksanakan penanganan dan penyelesaian sengketa konsumen, dengan
cara melalui mediasi atau arbitrase atau konsiliasi. BPSK juga bertugas
memberikan konsultasi perlindungan konsumen, melakukan pengawasan terhadap
pencantuman klausula baku, melaporkan kepada penyidik umum apabila terjadi
pelanggaran ketentuan dalam undang-undang ini, menerima pengaduan, baik
tertulis maupun tidak tertulis, dari konsumen tentang terjadinya pelanggaran
terhadap perlindungan konsumen, melakukan penelitian dan pemeriksaan
sengketa perlindungan konsumen, memanggil pelaku usaha yang diduga telah
melakukan pelanggaran terhadap perlindungan konsumen, memanggil dan
(16)
pelanggaran terhadap undang-undang, meminta bantuan penyidik untuk
menghadirkan pelaku usaha, saksi, saksi ahli atau setiap orang yang tidak bersedia
memenuhi panggilan BPSK, mendapatkan meneliti dan atau menilai surat,
dokumen atau alat bukti lain guna penyelidikan dan atau pemeriksaan,
memutuskan dan menetapkan ada atau tidak adanya kerugian di pihak konsumen,
memberitahukan putusan kepada pelaku usaha yang melakukan pelanggaran
terhadap perlindungan konsumen, dan menjatuhkan sanksi administratif kepada
pelaku usaha yang melanggar ketetntuan undang-undang ini.
Berdasarkan latar belakang diatas penulis tertarik membahas permasalahan
tersebut dalam bentuk skripsi dengan judul “ Perlindungan Hukum Terhadap
Pasien Malpraktek Di Rumah Sakit Ditinjau Dari UU No.8 Tahun 1999 (studi
pada Rumah Sakit Elisabeth Medan)”.
B. Rumusan Masalah
Adapun permasalahan yang akan di bahas penulis adalah sebagai berikut:
1. Apakah putusan di Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen (BPSK) kota
Medan sudah memenuhi unsur-unsur perlindungan konsumen ?
2. Apa kendala-kendala penyelesaian sengketa di Badan Penyelesaian
Sengketa Konsumen (BPSK) kota Medan ?
(17)
C. Tujuan Penulisan
Tujuan dari penelitian ini berkaitan dengan permasalahan yang telah
dirumuskan diatas, antara lain adalah sebagai berikut:
1. Untuk mengetahui putusan di BPSK kota Medan sudah memenuhi
unsur-unsur perlindungan konsumen
2. Untuk mengetahui kendala-kendala penyelesaian sengketa di BPSK kota
Medan
3. Untuk mengetahui kekuatan hukum terhadap putusan BPSK terhadap para pihak (pasien dan rumah sakit)
D. Manfaat Penulisan
Berdasarkan rumusan masalah dan tujuan penulisan, adapun manfaat dari penulisan ini adalah:
1. Manfaat teoritis, dapat memperluas khasanah kajian keilmuan tentang menganalisa perlindungan hukum terhadap pasien malpraktek dokter ditinjau dari UU No.8 Tahun 1999.
2. Manfaat praktis:
a. Untuk pemerintah sebagai pembuat kebijakan, agar memberikan perhatian terhadap perlindungan pasien dan segera merealisasikan Undang-Undang dan peraturan pelaksanaan yang berkaitan dengan perlindungan pasien.
b. Untuk kalangan dokter dan tenaga kesehatan sebagai bahan masukan dan perubahan dalam memberikan pelayanan kesehatan sesuai standar pelayan kesehatan.
(18)
c. Untuk kalangan masyarakat sebagai konsumen atau pasien agar mengetahui dan memahami hak dan kewajiban pasien sebagai konsumenjasa pelayanan dibidang kesehatan.
E. Metode Penulisan
Metode dapat diartikan sebagai suatu jalan atau cara untuk mencapai
sesuatu. Dalam karya ilmiah,diperlukan data-data baik data primer maupun
sekunder. Data-data ini dipergunakan sebagai bahan analisis guna membuktikan
dari kebenaran hypotesa. Dalam penulisan skripsi ini penulis telah berusaha
mengumpulkan data, baik yang terdapat dalam teori maupun dalam praktek
pelaksaannya.
Dalam rangka menjawab permasalahan dan mencapai tujuan serta untuk
melemgkapi penulisan skripsi ini dengan tujuan agar dapat lebih terarah dan dapat
dipertanggungjawabkan secara ilmiah, maka metode penulisan yang dipergunakan
antara lain:
1. Jenis Penelitian
Dalam menyusun skripsi ini digunakan metode penelitian ini digunakan
metode penelitian hukum normatif yang bersifat deskriptif. Penelitian
hukum normatif adalah penelitian dengan hanya mengelolah data-data
sekunder. Sedangkan yang bersifat deskriptif dalam penelitian ini adalah
penelitian ini dilakukan dengan melakukan survei ke lapangan untuk
(19)
2. Metode pendekatan
Metode pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah
pendekatan hukum doctrinal yang bersifat normatif, yang mana penelitian hukum
normatif merupakan penelitian kepustakaan, yaitu lebih mementingkan terhadap
data sekunder dan data primer hanya dipakai sebagai data pelengkap. Dalam
penelitian ini hukum dikonsepkan sebagai norma-norma yang tertulis yang dibuat
dan di undangkan oleh lembaga atau pejabat yang berwenang. Hukum merupakan
objek penyelidikan dan penelitian berbagai disiplin keilmuan, sehingga dikatakan
bahwa hukum adalah ilmu bersama (rechts is mede wetenschap).3
3. Jenis Data dan Sumber Data
Jenis data yang digunakan dalam penulisan skripsi ini adalah data
sekunder yang diperoleh dari:
a. Bahan hukum primer, bahan-bahan hukum yang terdiri dari aturan
hukum yang diurut berdasarkan hierarki peraturan
perundang-undangan yang berlaku seperti KUH Perdata;
b. Bahan hukum sekunder, yaitu bahan yang memberikan penjelasan
mengenai bahan hukum primer, seperti hasil-hasil seminar atau
pertemuan ilmiah lainnya, bahkan dokumen pribadi atau pendapat dari
kalangan pakar hukum yang relevan dengan objek telaahan penelitian
ini.4
3
Jhonny Ibrahim, Teory & Metologi Penelitian Hukum Normatif, Bayu Media, Malang, 2005, hal. 33
4
Ronny Hanitijo Soemitro, Metodelogi Penelitian Hukum, Ghalia Indonesia, Jakarta, 1982, hal. 24
(20)
c. Bahan hukum tersier, yaitu bahan yang memberikan petunjuk maupun
penjelasan terhadap bahan hukum primer dan sekunder, contohnya
adalah kamus, ensiklopedia, indeks kumulatif dan seterusnya.5
4. Tekhnik pengumpulan data
Pada pengumpulan data yang penulis gunakan, berkisar pada dua
instrument utama, yaitu : studi kepustakaan dan wawancara. Untuk
memperoleh data dalam penelitian deskriptif, maka dapat dipakai teknik
pengumpulan data yaitu wawancara. Wawancara (interview) merupakan
suatu teknik pengumpulan data dengan cara tanya jawab secara langsung
dan lisan dengan responden, guna memperoleh informasi atau keterangan
yang berkaitan dengan masalah dan tujuan penelitian. Metode ini
merupakan alat pengumpulan data yang diperoleh dengan cara
mengumpulkan dan mempelajari berbagai data sekunder yang ada
kaitannya secara langsung maupun tidak langsung dengan objek yang
diteliti.
5. Analisi data
Data yang diperoleh kemudian dianalisis dengan cara normatif kualitatif
yang selanjutnya akan dikemukakan dalam bentuk uraian secara sistematis pula
dengan menjelaskan hubungan antara berbagai jenis data. Kemudian semua data
yang diseleksi dan diolah, lalu dinyatakn secara deskriptif sehingga selain
menggambarkan dan mengungkapkan dasar hukumnya, juga dapat memberikan
5
Soerjono Soekanto & Sri Mamudji, Ringkasan Metodelogi Penelitian Hukum Empiris, Indonesia, Hilco, Jakarta, 1990, hal. 13
(21)
solusi terhadap permasalahan yang dimaksud dan pada tahap akhirnya dapat
ditemukan hukum in concreto-nya.
F. Keaslian Penulisan
“Perlindungan Hukum Terhadap Pasien Malpraktek Di Tinjau Dari UU
No.8 Tahun 1999 (Studi Pada Rumah Sakit Elisabeht Medan)” yang diangkat
menjadi judul skripsi ini merupakan karya ilmiah yang sejauh ini belum pernah
ditulis di lingkungan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara
(USU),terutama yang berkaitan dengan Perlindungan Hukum Terhadap Pasien
Malpraktek di Tinjau Dari UU No.8 Tahun 1999 (Studi Pada Badan penyelesaian
Sengketa Konsumen (BPSK)). Kalaupun sudah ada, penulis yakin bahwa
substansi penulisannya berbeda. Penulisan skripsi ini berdasarkan penelitian
hukum normatif yang bersifat deskriptif.
G. Sistematika Penulisan
Dalam menghasilkan karya ilmiah yang baik, maka pembahasannya harus
diuraikan secara sistematis. Untuk mempermudah penulisan yang teratur yang
terbagi dalam bab-bab yang saling berkaitan satu sama lain. Adapun sistematika
penulisan skripsi ini antara lain adalah:
BAB I : PENDAHULUAN
Bab ini merupakan pendahuluan yang isinya antara lain
memuat latar belakang, perumusan masalah, tujuan
penulisan, metode penulisan, keaslian penulisan, dan
(22)
BAB II : TINJAUAN UMUM PERJANJIAN/PERIKATAN
Bab ini menjabarkan hal-hal yang menjelaskan pengertian
perjanjian/perikatan, jernis-jenis perjanjian, asas perjanjian,
syarat sahnya perjanjian, wanprestasi, perbuatan melawan
hukum (onrechtmategedad).
BAB III : KONTRAK TERAPEUTIK (PERJANJIAN
PELAYANAN KONSUMEN)
Bab ini menjabarkan hal-hal umum yang berkenaan dengan
pengertian kontrak terapeutik, aspek hukum keperdataan
dalam kontrak terapeutik, dasar hukum kontrak terapeutik,
hubungan hukum para pihak yang terkait dalam kontrak
terapeutik, pengertian inform consent, bentuk inform
consent, yang berhak memberikan persetujuan tindakan
medis, tujuan pemberian persetujuan tindakan medis, akibat
hukum tenaga kesehatan melakukan tindakan medis tanpa
persetujuan tindakan medis.
BAB IV : PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP PASIEN
MALPRAKTEK DI TINJAU DARI UU NO.8
TAHUN 1999
Bab ini menjabarkan hal-hal yang menjelaskan pengertian
malpraktek, akibat hukum dari malpraktek, upaya
(23)
BAB V : KESIMPULAN DAN SARAN
Pada bab ini dirumuskan suatu kesimpulan dari
pembahasan permasalahan yang dilanjutkan dengan
memberikan saran yang diharapkan mungkin akan dapat
berguna dalam prakteknya.
Sebagai pelengkap skripsi ini, pada bagian terakhirnya akan penulis
(24)
A. Pengertian Perjanjian/Perikatan
Perjanjian berasal dari terjemahan overeenkomst yang diterjemahkan
dengan menggunakan istilah perjanjian maupun persetujuan. Dalam kamus besar
Bahasa Indonesia, istilah Perjanjian adalah persetujuan tertulis atau dengan lisan
yang dibuat oleh dua pihak atau lebih, masing-masing bersepakat akan mentaati
apa yang tersebut dalam penjelasan itu. Sementara dalam kamus hukum dijelaskan
bahwa perjanjian adalah persetujuan yang dibuat oleh dua pihak atau lebih,
tertulis maupun lisan, masing-masing sepakat untuk mentaati isi persetujuan yang
telah dibuat bersama.
Perikatan dan perjanjian adalah suatu hal yang berbeda. Perikatan dapat
lahir dari suatu perjanjian dan undang-undang. Suatu perjanjian yang dibuat dapat
menyebabkan lahirnya perikatan bagi pihak-pihak yang membuat perjanjian
tersebut. Perikatan adalah terjemahan dari istilah bahasa belanda “verbintenis”.
Istilah perikatan ini lebih umum dipakai dalam literature hukum di Indonesia.
Perikatan artinya hal yang mengikat orang yang satu terhadap orang lain. Hal
yang mengikat itu menurut kenyataannya dapat berupa perbuatan. Dalam KUH
Perdata terjemahan Subekti dan Tjitrosudibio tidak dipakai istilah perjanjian
(25)
Pasal 1233 KUH Perdata yang menyebutkan bahwa : “Tiap-tiap perikatan
dilahirkan baik karena persetujuan, baik karena undang-undang”.
Beberapa sarjana tidak menggunakan istilah perjanjian akan tetapi
memakai istilah persetujuan. Mereka berpendapat pemakaian istilah tersebut
tidaklah merupakan persoalan yang mendasar, karena suatu perjanjian sebenarnya
berasal dari adanya persetujuan para pihak untuk melakukan atau tidak melakukan
sesuatu.
Dengan demikian hubungan antara perikatan dengan perjanjian adalah
bahwa perjanjian itu dapat menimbulkan perikatan dikalangan para pihak yang
mengadakan perjanjian itu. Jadi perjanjian adalah merupakan salah satu sumber
perikatan disamping sumber-sumber perikatan lainnya, perjanjian disebut sebagai
persepakatan atau persetujuan, sebab para pihak yang membuatnya tentunya
menyepakati isi dari perjanjian yang dibuat untuk melaksanakan sesuatu prestasi
tertentu.
Dalam Pasal 1313 KUH Perdata disebutkan bahwa :
“suatu persetujuan adalah suatu perbuatan dengan mana satu orang atau lebih
meningkatkan dirinya terhadap satu orang lain atau lebih”
Pasal ini menerangkan secara sederhana tentang pengertian perjanjian
yang menggambarkan tentang adanya dua pihak yang saling mengikatkan diri.
Pengertian ini sebenarnya tidak begitu lengkap, tetapi dalam pengertian ini sudah
jelas bahwa dalam perjanjan itu terdapat satu pihak yang mengikatkan dirinya
kepada pihak lain. Pengertian Pasal 1313 KUH Perdata ini seharusnya juga
(26)
suatu hal. Artinya kalau hanya disebutkan bahwa satu pihak yang mengikatkan
dirinya kepada pihak lain, maka tampak seolah-olah yang dimaksud hanyalah
perjanjian sepihak saja. Akan tetapi,kalau disbutkan juga tentang adanya kedua
belah pihak yang saling mengikatkan diri, maka pengertian perjanjian ini meliputi
baik perjanjian sepihak maupun perjanjian dua pihak.
Para sarjana menyatakan bahwa rumusan Pasal 1313 KUH Perdata diatas
memiliki banyak kelemahan, salah satunya adalah Abdul Kadir Muhammad yang
menyatakan bahwa kelemahan-kelemahan dari Pasal 1313 KUH Perdata adalah
sebagai berikut :6
1. Hanya menyangkut sepihak saja
Hal tersebut dapat diketahui dari perumusan satu orang saja atau lebih
mengikatkan dirinya terhadap satu orang atau lebih. Kata mengikatkan
sifatnya hanya datang dari satu pihak saja tidak dari dua pihak. Seharusnya
dirumuskan saling mengikatkan diri jadi ada consensus antara para pihak.
2. Kata perbuatan mencakup juga tanpa Consensus
Pengertian perbuatan termasuk juga tindakan melaksanakan tugas tanpa
kuasa, tindakan melawan hukum yang tidak mengandung consensus
seharusnya dipakai kata persetujuan.
3. Pengertian perjanjian terlalu luas
Pengertian perjanjian dalam Pasal 1313 KUH Perdata terlalu luas karena
mencakup juga pelangsungan perkawinan dan janji perkawinan yang
diatur dalam lapangan hukum keluarga.
6
(27)
4. Tanpa menyebut tujuan
Dalam Pasal 1313 KUH Perdata tersebut tidak disbutkan tujuan mengadakan perjanjian, sehingga para pihak yang mengikatkan diri tidak memiliki tujuan yang jelas untuk apa perjanjian tersebut dibuat.
Kemudian Setiawan yang berpendapat bahwa definisi perjanjian dalam Pasal 1313 KUH Perdata selain belum lengkap juga terlalu luas. Belum lengkapnya definisi tersebut karena hanya menyebutkan perjanjian sepihak saja, terlalu luas karena dipergunakan kata perbuatan yang juga mencakup perwakilan sukarela dan perbuatan melawan hukum. Sehubungan dengan hal tersebut, maka definisi perjanjian perlu diperbaiki menjadi :
a. Perbuatan tersebut harus diartikan sebagai perbuatan hukum, yaitu perbuatan yang bertujuan untuk menimbulkan perbuatan hukum.
b. Menambahkan perkataan atau saling mengikatkan dirinya dalam Pasal 1313 KUH Perdata.
Dalam membuat sebuah pengertian tentang perjanjian, setiap sarjana mempunyai pendapat yang berbeda-beda mengenai definisi perjanjian. Namun, untuk mempermudah pengertian perjanjian dari para sarjana, maka berikut adalah beberapa pendapat yang dikemukakan pleh beberapa sarjana, diantaranya adalah sebagai berikut:
1) Menurut Setiawan perjanjian adalah sebagai berikut :
”Perjanjian adalah suatu perbuatan hukum dimana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya atau saling mengikatkan dirinya terhadap satu orang atau lebih.”7
7
Apit Nurwidijanto, Pelaksanaan Perjanjian Pemborongan Bangunan Pada Puri Kencana Mulya Persada di Semarang, Tesis Ilmu Hukum, Universitas Diponogoro, 2007, hal .41
(28)
2) Menurut Subekti :
“Perjanjian adalah suatu peristiwa dimana seseorang berjanji kepada
orang lain atau dimana dua orang itu saling berjanji untuk
melaksanakan suatu hal itu”8
3) Menurut Wirjono Prodjodikoro :
“perjanjian adalah suatu perbuatan hukum mengenai harta benda
kekayaan antara dua pihak, dalam mana satu pihak berjanji atau
dianggap tidak berjanji untuk melakukan sesuatu, atau tidak
melakukan suatu hal, sedangkan pihak lain menurut pelaksanaan
sesuatu hal itu.”9
4) Menurut Mariam Darus Badrulzaman :
“Perjanjian adalah suatu perhubungan yang terjadi antara dua orang
atau lebih, yang terletak dalam bidang harta kekayaan, dengan mana
pihak satu berhak atas prestasi dan pihak lain wajib memenuhi
kewajiban itu.”10
Dengan demikian, perjanjian mengandung kata sepakat yang diadakan
antara dua orang atau lebih untuk melaksanakan sesuatu hal tertentu. Perjanjian
itu merupakan suatu ketentuan antara mereka untuk melaksanakan prestasi.
Dari beberapa pengertian tentang perjanjian yang telah diurikan diatas,
terlihat bahwa dalam suatu perjanjian itu akan menimbulkan suatu hubungan
hukum dari para pihak yang membuat perjanjian. Masing-masing pihak terikat
8
Subekti, Hukum Perjanjian, Pembimbing Masa, Jakarta, 1980, hal. 1
9
Wirjono Prodjodikoro, Hukum Perdata Tentang Persetujuan-Persetujuan Tertentu, Sumur, Bandung, 1992, hal. 12
10
(29)
satu sama lain dan menimbulkan hak dan kewajiban diantara para pihak yang
membuat perjanjian. Namun, dalam prakteknya bukan hanya orang perorangan
yang membuat perjanjian, namun termasuk juga badan hukum yang juga
merupakan subjek hukum.
Selain itu dalam merumuskan suatu perjanjian terdapat beberapa unsur
yang harus dipenuhi agar dapat dikatakan sebagai sebuah perjanjian antara lain
sebagai berikut :
a) Ada pihak-pihak (subjek), sedikitnya dua pihak
Pihak subjek dalam perjanjian adalah para pihak yang terikat dengan
diadakannya suatu perjanjian. Subjek perjanjian dapat berupa orang atau
badan hukum. Syarat menjadi subjek adalah harus mampu atau berwenang
melakukan perbuatan hukum.
b) Ada persetujuan antara pihak-pihak yang bersifat tetap
Unsur yang penting dalam perjanjian adalah adanya persetujuan
(kesepakatan) antara pihak. Sifat persetujuan dalam suatu persetujuan
disini haruslah tetap, bukan sekedar berunding. Persetujuan itu ditunjukan
dengan penerimaan tanpa syarat atas suatu tawaran.
c) Aa tujuan yang akan dicapai
Tujuan mengadakan perjanjian terutama untuk memenuhi kebutuhan para
pihak itu, kebutuhan dimana hanya dapat dipenuhi jika mengadakan
perjanjian dengan pihak lain. Tujuan itu sifatnya tidak boleh bertentangan
dengan ketertiban umum, kesusilaan dan tidak dilarang oleh
(30)
d) Ada prestasi yang akan dilaksanakan
Prestasi merupakan kewajiban yang harus dipenuhi oleh para pihak sesuai
dengan syarat-syarat perjanjian.
e) Ada bentuk tertentu, lisan atau tulisan
f) Bentuk perjanjian perlu ditentukan, karena ada ketentuan Undang-Undang
bahwa hanya dengan bentuk tertentu suatu perjanjian mempunyai
kekuatan mengikat dan kekuatan terbukti. Bentuk tertentu biasanya berupa
akta.
g) Ada syarat-syarat tertentu sebagai isi perjanjian
Syarat-syarat tersebut biasanya terdiri dari syarat pokok yang akan
menimbulkan hak dan kewajiban pokok.
B. Jenis-Jenis Perjanjian
Secara umum perjanjian dapat dibedakan menjadi dua kelompok, yaitu
perjanjian obligatoir dan perjanjian non obligatoir.11 Perjanjian obligatoir adalah
perjanjian yang mewajibkan seseorang untuk menyerahkan atau membayar
sesuatu.12sedangkan perjanjian non obligatoir adalah perjanjian yang tidak
mewajibkan seseorang untuk menyerahkan atau membayar sesuatu.13
Perjanjian obligatoir terbagi menjadi beberapa jenis, yaitu :14
11
Komariah, Hukum Perdata, Malang, Universitas Muhammdiyah Malang, 2002, hal. 169
12
Ibid 13
Ibid. hal. 170
14 Ibid
(31)
1. Perjanjian sepihak dan perjanjian timbal balik
Perjanjian sepihak adalah perjanjian yang membebankan prestasi hanya
pada satu pihak. Misalnya perjanjian hibah, perjanjian penanggungan
(Borgtocht), dan perjanjian pemberi kuasa tanpa upah. Sedangkan
perjanjian timbal balik adalah perjanjian yang memebebankan prestasi
pada kedua pihak. Misalnya jual beli.
2. Perjanjian Cuma-Cuma dan perjanjian atas beban
Perjanjian Cuma-Cuma adalah perjanjian dimana pihak yang satu
memberikan suatu keuntungan kepada pihak yang lain tanpa menerima
suatu manfaat bagi dirinya. Misalnya hibah, pinjam pakai, pinjam
meminjam tanpa bunga, dan penitipan barang tanpa biaya. Sedangkan
perjanjian atas beban adalah perjanjian yang mewajibkan pihak yang satu
untuk melakukan prestasi berkaitan langsung dengan prestasi yang harus
dilakukan oleh pihak lain. Contoh perjanjian atas beban adalah jual-beli,
sewa menyewa, dan pinjam meminjam dengan bunga.
3. Perjanjian konsensuil, perjanjian riill dan perjanjian formil
Perjanjian konsensuil adalah perjanjian yang mengikat sejak adanya
kesepakatan dari kedua belah pihak. Contohnya perjanjian sewa menyewa.
Sedangkan perjanjian riil adalah perjanjian yang tidak hanya mensyaratkan
kesepakatan namun juga mensyaratkan penyerahan objek perjanjian atau
bendanya. Misalnya perjanjian penitipan barang. Sedangnkan perjanjian
(32)
dibutuhkan formalitas tertentu, sesuai dengan apa yang telah ditentukan
oleh undang-undang. Contohnya pembebanan jaminan fidusia.
4. Perjanjian bernama, perjanjian tak bernama dan perjanjian campuran
Perjanjian bernama adalah perjanjian yang secara khusus diatur didalam
undang-undang. Perjanjian tak bernama adalah perjanjian yang tidak diatur
secara khusus oleh undang-undang. Misalnya perjanjian leasing,
franchising, dan factoring. Sedangkan perjanjian campuran adalah
perjanjian yang merupakan kombinasi dari dua atau lebih perjanjian
bernama. Misalnya perjanjian pemondokan (kost) yang merupakan
campuran dari perjanjian sewa menyewa dan perjanjian untuk melakukan
suatu pekerjaan (mencuci baju, menyetrika, dan membersihkan kamar).
Perjanjian non obligatoir terbagi menjadi :
a. Zakelijk overeenkomst, adalah perjanjian yang menetapkan
dipindahkannya suatu hak dari seseorang kepada orang lain.
b. Befivs overeenkomst, adalah perjanjian untuk membuktikan sesuatu.
c. Liberatoir overeenkomst, adalah perjanjian dimana seseorang
membebaskan pihak lain dari suatu kewajiban.
d. Vaststelling overeenkomst, adalah perjanjian untuk mengakhiri keraguan
mengenai isi dan luas perhubungan hukum diantara para pihak.
C. Asas Perjanjian
Asas hukum adalah pikiran dasar yang umum dan abstrak atau merupakan
(33)
terjelma dalam peraturan perundang-undangan dan putusan hakim yang
merupakan hukum positif dan dapat diketemukan dengan mencari sifat-sifat atau
ciri-ciri yang umum dalam peraturan yang konkrit tersebut. Dengan demikian,
asas hukum merupakan pikiran dasar yang bersifat umum dan terdapat dalam
hukum positif atau keseluruhan peraturan perundang-undangan atau
putusan-putusan hakim yang merupakan ciri-ciri dari peraturan konkrit tersebut.
Dalam Pasal 1338 ayat (1) KUH Perdata, dinyatakan semua perjanjian
yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang
membuatnya. Jadi, dalam pasal ini terkandung 3 macam asas utama dalam
perjanjian, yaitu asas kebebasan berkontrak, asas konsensualisme dan asas pacta
sunt-servanda. Di samping asas-asas itu, masih terdapat asas itikad baik dan asas
kepribadian.
1. Asas kebebasan berkontrak
Asas kebebasan berkontrak merupakan asas yang sangat penting bagi
hukum kontrak. Kebebasan berkontrak ini oleh sebagian sarjana hukum biasanya
didasarkan pada Pasal 1338 ayat (1) KUH Perdata bahwa semua perjanjian yang
dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang mebuatnya.
Kebebasan berkontrak memberikan jaminan kebebasan kepada seseorang
untuk secara bebas dalam beberapa hal yang berkaitan dengan perjanjian,
sebagaimana yang dikemukakan Ahmad Miru, di antaranya:15
a. Bebas menentukan apakah ia akan melakukan perjanjian atau tidak;
b. Bebas menetukan dengan siapa ia akan melakukan perjanjian;
15
Ahmad Miru, Hukum Kontrak Perancangan kontrak, Rasi Grafindo Persada, Jakarta, 2001, hal. 4
(34)
c. Bebas menentukan isi atau klausul perjanjian;
d. Bebas menentukan bentuk perjanjian; dan
e. Kebebasan-kebebasan lainnya yang tidak bertentangan dengan
peraturan perundang-undangan.
Asas kebebasan berkontrak merupaka suatu dasar yang menjamin
kebebasan orang dalam melakukan kontrak. Hal ini tidak terlepas juga dari sifat
BUKU III KUH Perdata yang hanya merupakan hukum yang mengatur sehingga
para pihak dapat menyimpanginya (mengesampingkannya), kecuali terhadap
pasal-pasal tertentu yang sifatnya memaksa.
2. Asas konsensualisme
Asas konsensualisme dalam hukum perjanjian ini memandang bahwa
sebuah perjanjian disebut sah apa bila ada kesepakatan, yakni persesuaian antara
kehendak dan pernyataan yang dibuat oleh kedua belah pihak. Menurut asas ini
perjanjian sudah lahir atau terbentuk ketika para pihak mencapai kata sepakat
mengenai pokok-pokok perjanjian. Walaupun terkadang undang-undang
menetapkan bahwa sahnya suatu perjanjian harus dilakukan secara tertulis (seperti
perjanjian perdamaian) atau harus dibuat dengan akta oleh pejabat yang
berwenang (seperti akta jual-beli tanah); semua ini merupakan perkecualian.
Bentuk konsensualisme adalah suatu perjanjian yang dibuat secara tertulis, salah
satunya dengan adanya pembubuhan tanda tangan dari para pihak yang
melakukan perjanjian tersebut. Tanda tangan berfungsi sebagai bentuk
(35)
dibuat. Tanda tangan juga berkaitan dengan kesengajaan para pihak untuk
membuat suatu perjanjian sebagai bukti atas suatu peristiwa.16
3. Asas Pacta Sunt-Servanda
Asas ini berkaitan dengan kekuatan mengikatnya perjanjian. Mengikat
sebagai undang-undang memiliki makna bahwa, para pihak yang mebuat
perjanjian wajib menaati perjanjian sebagaimana mereka menaati undang-undang.
Dan pihak ketiga termasuk hakim, wajib menghormati perjanjian tersebut, juga
tidak mencampuri isi perjanjian yang telah ditetapkan oleh para pihak. Tidak
mencampuri isi hukum perjanjian artinya pihak ketiga tidak boleh menambah atau
mengurangi isi perjanjian dan tidak boleh menghilangkan kewajiban-kewajiban
kontraktual yang timbul dari perjanjian tersebut. Karena para pihak wajib mentaati
isi perjanjian yang mereka buat, akibatnya perjanjian tidak dapat ditarik kembali
secara sepihak. Jika akan ditarik kembali, harus dengan kesepakatan para pihak
atau dengan alas an undang-undang yang menyatakan cukup untuk itu. Asas
kepastian hukum akan dapat dipertahankan sepenuhnya, jika para pihak dalam
perjanjian, kedudukannya seimbang dan para pihak sama-sama cakap melakukan
perbuatan hukum.
4. Asas itikad baik
Asas itikad baik terkandung dalam pasal 1338 KUH Perdata yang
meyatakan bahwa perjanjian-perjanjian harus dilaksanakan dengan itikad baik.
Asas ini berkenaan dengan pelaksana perjanjian dan berlaku bagi debitur maupun
kreditur.
16
http://www.dheanbj.com/2012/09/asas-asas-hukum-perjanjian.html. Diakses tanggal 29 januari 2014
(36)
Menurut Subekti, pengertian itikad baik dapat ditemui dalam hukum benda
(pengertian subyektif) maupun dalam hukum perjanjian seperti yang diatur dalam
pasal 1338 ayat (3) (pengertian obyektif).17
5. Asas kepribadian
Asas kepribadian ini sebenarnya menerangkan pihak-pihak mana yang
terikat pada perjanjian. Asas ini terkandung pada Pasal 1315 dan 1340 KUH
Perdata.
Pada pasal 1315 dinyatakan bahwa pada umumnya tak seorangpun dapat
mengikatkan diri atas nama sendiri atau meminta ditetapkannya suatu janji
daripada untuk dirinya. Selanjutnya, Pasal 1340 dinyatakan bahwa
perjanjian-perjanjian hanya berlaku antara pihak-pihak yang membuatnya, perjanjian-perjanjian itu
tidak dapat membawa rugi atau manfaat kepada pihak ketiga, selain dalam hal
yang diatur dalam Pasal 1317. Oleh karena perjanjian itu hanya mengikat para
pihak yang membuatnya dan tidak dapat mengikat pihak lain. Maka asas ini
dinamakan asas kepribadian.
D. Syarat Sahnya Perjanjian
Menurut Pasal 1320 KUH Perdata, suatu perjanjian itu sah apabila
terpenuhi 4 syarat, yaitu:
1. Adanya kata sepakat;
2. Kecakapan untuk membuat perjanjian;
3. Adanya suatu hal tertentu;
17
(37)
4. Adanya causa yang halal.
Syarat pertama dan kedua adalah syarat yang harus dipenuhioleh subyek
suatu perjanjian, oleh karena itu disebut sebagai syarat subyektif. Syarat ketiga
dan keempat adalah syarat yang harus dipenuhi oleh obyek perjanjian, oleh karena
itu disebut sebagai syarat obyektif. Adapun penjelasan masing-masing adalah
sebagai berikut.
a. Kata sepakat
Kata sepakat berarti persesuaian kehendak, maksudnya memberikan
persetujuan atau kesepakatan.18 Jadi sepakat merupakan pertemuan kedua
kehendak dimana kehendak pihak yang satu saling mengisi dengan apa yang
dikehendaki pihak lain dan kehendak tersebut saling bertemu.
Menurut Subekti, yang dimaksud dengan kata sepakat adalah persesuaian
kehendak antara dua pihak yaitu apa yang dikehendakai oleh pihak ke satu juga
dikehendaki oleh pihak lain dan kedua kehendak tersebut menghendaki sesuatu
yang sama secara timbal balik. Dan dijelaskan lebih lanjut bahwa dengan hanya
disebutkannya “sepakat” saja tanpa tuntutan sesuatu bentuk cara (formalitas)
apapun sepertinya tulisan, pemberian tanda atau panjer dan lain sebagainya, dapat
disimpulkan bahwa bilamana sudah tercapai sepakat itu, maka sahlah sudah
perjanjian itu atau mengikatlah perjanjian itu atau berlakulah ia sebagai
undang-undang bagi mereka yang mebuatnya.
J. Satrio, menyatakan kata sepakat sebagai persesuaian kehendak antara
dua orang dimana dua kehendak saling bertemu dan kehendak tersebut harus
18
(38)
dinyatakan. Pernyataan kehendak harus merupakan pernyataan bahwa ia
menghendaki timbulnya hubungan hukum.19 Dengan demikian adanya kehendak
aja belum melahirkan suatu perjanjian karena kehendak tersebut harus diutarakan,
harus nyata bagi yang lain dan harus dimengerti oleh pihak lain.
Di dalam KUH Perdata tidak dijelaskan mengenai kata sepakat ini, tetapi
di dalam pasal 1321 KUH Perdata ditentukan syarat bahwa tidak ada sepakat yang
sah apabila sepakat itu di berikan karena kekhilafan atau diperolehnya karena
dengan paksaan atau penipuan. Dari pasal ini dapat disimpulkan bahwa terjadinya
kata sepakat antara masing-masing pihak harus diberikan secara bebas atau tidak
boleh ada paksaan, kekhilafan dan penipuan. Menurut Subekti, yang dimaksud
dengan paksaan adalah paksaan rohani atau paksaan jiwa (psychis), jadi bukan
paksaan badan (fisik).20Selanjutnya kekhilafan terjadi apabila salah satu pihak
khilaf tentang hal-hal yang pokok dari yang diperjanjikan atau tentang sifat-sifat
yang penting dari barang yang menjadi obyek perjanjian. Kekhilafan tersebut
harus sedemikian rupa sehingga seandainya orang itu tidak khilaf mengenai
hal-hal tersebut ia tidak akan memberikan persetujuan. Kemudian penipuan terjadi
apabila satu pihak dengan sengaja memberikan keterangan-keterangan yang palsu
atau tidak benar disertai dengan tipu muslihat untuk membujuk pihak lawannya
memberikan perizinannya. Dengan demikian suatu perjanjian yang kata
sepakatnya didasarkan paksaan, kekhilafan, penipuan maka perjanjian itu di
kemudian hari dapat dimintakan pembatalannya oleh salah satu pihak.
19
J.Satrio, Hukum Jaminan,Hak-Hak Jaminan Kebendaan, Citra Aditya Bakti, Bandung, 1993, hal. 129
20
(39)
b. Cakap untuk membuat perjanjian (bertindak)
Dalam Pasal 1329 KUH Perdata menyebutkan bahwa setiap orang adalah
cakap untuk membuat suatu perjanjian dengan ketentuan oleh undang-undang
tidak ditentukan lain yaitu ditentukan sebagaiorang yang tidak cakap untuk
membuat suatu perjanjian.
Selanjutnya pasal 1330 KUH Perdata menyebutkan bahwa orang yang
tidak cakap membuat perjanjian yaitu:
1) Orang yang belum dewasa.
2) Mereka yang berada dibawah pengampuan/perwalian dan.
3) Orang perempuan/isteri dalam hal telah ditetapka oleh undang-undang
dan semua orang kepada siapa undang-undang telah melarang
membuat perjanjian-perjanjian tertentu. Namun hal ini sudah tidak
berlaku lagi sejak keluarnya SEMA No.3 Tahun 1963 tanggal 5
September 1963 yang mencabut beberapa pasal KUH Perdata
diantaranya Pasal 108 dan Pasal 110 KUH Perdata. Maka status
sebagai istri tidak lagi mempunyai pengaruh terhadap kecakapan
bertindak yang dilakukannya. Selain SEMA, UU No.1 Tahun 1974
tentang Perkawinan dalam Pasal 31 ikut memperkuat hapusnya Pasal
108 dan pasal 110 KUH Perdata. Dengan demikian maka istri
termasuk kedalam subjek hukum yang cakap dalam melakukan
(40)
4) Adanya suatu hal tertentu
Yang dimaksud dengan suatu hal tertentu dalam suatu perjanjian ialah
objek perjanjian. Objek perjanjian adalah prestasi yang menjadi pokok perjanjian
yang bersangkutan. Prestasi itu sendiri bisa berupa perbuatan untuk memberikan
suatu, melakukan sesuatu atau tidak melakukan sesuatu.
Di dalam KUH Perdata Pasal 1333 ayat (1) dinyatakan bahwa suatu
perjanjian harus mempunyai suatu hal tertentu sebagai pokok perjanjian yaitu
barang yang paling sedikit ditentukan jenisnya. Mengenai jumlahnya tidak
masalah asalkan dikemudian hari di tentukan (1333 ayat 2)
5) Adanya suatu sebab/kausa yang halal
Yang dimaksud dengan sebab/kausa di sini bukanlah sebab yang
mendorong orang tersebut melakukan perjanjian. Sebab atau kausa suatu
perjanjian adalah tujuan bersama yang hendak dicapai oleh para
pihak,21sedangkan sebagaimana yang telah dikemukakan Subekti, adanya suatu
sebab yang dimaksud tidak lain daripada isi perjanjian.
Dalam Pasal 1320 KUH Perdata tidak dijelaskan pengertian Oorzaak
(causa yang halal). Didalam Pasal 1337 KUH Perdata yang berbunyi :
“suatu sebab adalah terlarang apabila bertentangan dengan undang-undang,
kesusilaan, dan ketertiban umum. Sedangkan pengertian sebab (causa) disini
adalah tujuan daripada perjanjian, apa yang menjadi isi, kehendak dibuatnya suatu
perjanjian.
21
Sri Soedewi Masjachan, Hukum Jaminan di Indonesia Pokok-Pokok Hukum Jaminan dan Jaminan Perorangan, Liberty, Yogyakarta, 1980, hal. 319
(41)
Syarat yang pertama dan kedua disebut sebagai syarat subjektif, karena
menyangkut pihak-pihak yang mengadakan perjanjian. Sedangkan syarat yang
ketiga dan keempat disebut syarat objektif, karena menyangkut objek perjanjian.
Apabila syarat pertama dan kedua tidak terpenuhi maka perjanjian itu dapat
dibatalkan. Artinya bahwa salah satu pihak dapat mengajukan kepada pengadilan
untuk membatalkan perjanjian yang disepakatinya. Tetapi apabila para pihak
dalam perjanjian itu tidak ada yang berkeberatan maka perjanjian itu tetap
dianggap sah. Syarat ketiga dan keempat tidak terpenuhi maka perjanjian itu batal
demi hukum. Artinya bahwa dari semula perjanjian itu dianggap tidak ada.
E. Wanprestasi
Perikatan adalah suatu hubugan hukum di bidang hukum kekayaan dimana
suatu pihak berhak menuntut suatu prestasi dan pihak lainnya bekewajiban untuk
melaksanakan suatu prestasi. Pasal 1233 kitab undang-undang hukum perdata
mengatakan bahwa perjanjian pada umumnya bersifat timbal balik, hal ini di
katakan dalam mengkritisi pasal 1313 KUH Perdata tentang perjanjian, dimana
dikatakan bahwa “perjanjian tentang perjanjian adalah perbuatan dengan mana
satu orang atau lebih” KUH Perdata membedakan dengan jelas antara perikatan
yang lahir dan perjanjian dari perikatan yang lahir dari undang-undang. Akibat
hukum suatu perikatan yang lahir dari perjanjian memang dikehendaki oleh para
pihak. Tetapi hubungan dan akibat hukumnya ditentukan oleh undang-undang.
Pada umumnya semua kontrak di akhiri dengan pelaksanaan apa yang di sepakati,
(42)
persyaratan yang dicantum dalam perjanjian atau kontrak di teruskan oleh Rai
Widjaya, bahwa pemenuhan perjanjian atau hal-hal yang harus dilaksanakan
disebut prestasi,dengan terlaksana prestasi kewajiban-kewajiban para pihak
berakhir, sebaliknya apabila si berutang atau debitur tidak melaksanakannya, hal
tersebut disebut wanprestasi.
Ada 4 macam bentuk dari wanprestasi, yaitu :
1. Tidak berprestasi sama sekali atau berprestasi tapi tidak bermanfaat bagi
atau tidak dapat diperbaiki.
2. Terlambat memenuhi prestasi.
3. Memenuhi prestasi secara tidak baik atau tidak sebagaimana mestinya.
4. Melakukan sesuatu namun menurut perjanjian tidak boleh dilakukan22.
“Tidak dipenuhinya kewajiban dalam perjanjian karena 2 hal:
a. Kesalahan debitur karena : disengaja dan/atau lalai.
b. Keadaan memaksa23.
Akibat hukum bagi debitur yang telah melakukan wanprestasi adalah
sebagai berikut :
1) Membayar kerugian yang diderita oleh kreditur atau biasa dinamakan
ganti rugi.
2) Pembatalan perjanjian atau dinamakan pemecahan perjanjian.
3) Peralihan risiko, membayar biaya perkara, kalau sampai diperkarakan
didepan hakim24.
22
Handri Raharjo, Hukum Perjanjian di Indonesia, Cet.1, Penerbit Pustaka Yustisia, Yogyakarta hal. 80-81
23 Ibid. 24
(43)
Pembelaan untuk debitur wanprestasi ada 3 macam, yaitu :
1. Memajukan tuntutan adanya keadaan memaksa (overmacht atau force
majeur).
2. Memajukan bahwa si berpiutang (kreditur) sendiri juga telah lalai
(exception non adimpleti contractus).
3. Memajukan bahwa kreditur telah melepaskan haknya untuk menuntut
ganti rugi (rechtsverwerking)25.
Jika dikaitkan dengan hubungan dokter dengan pasien dalam hal
pelayanan kesehatan, maka wanprestasi dapat terjadi dalam hal pelayanan
kesehatan, jika dokter tidak melakukan suatu tindakan medis/kedokteran
sebagaimana yang telah diperjanjikan atau melakukan tindakan medis yang
sebenarnya tidak ada/sesuai dengan apa yang diperjanjikan sebelumnya.
Sedangkan untuk pasien sendiri dianggap melakukan wanprestasi apabila tidak
membayar biaya administrasi untuk keperluan tindakan medis/kedokteran tersebut
atau melanggar kesepakatan yang ada dalam perjanjian yang telah disepakati
sebelumnya.
F. Perbuatan Melawan Hukum
Perbuatan melawan hukum memiliki ruang lingkup yang lebih luas
dibandingkan dengan perbuatan pidana. Perbuatan melawan hukum tidak hanya
mencakup perbuatan yang bertentangan dengan undang-undang pidana saja tetapi
25
(44)
juga jika perbuatan tersebut bertentangan dengan undang-undang lainnya dan
bahkan dengan ketentuan-ketentuan hukum yang tidak tertulis.
Setiap perbuatan pidana selalu dirumuskan secara seksama dalam
undang-undang, sehingga sifatnya terbatas. Sebaliknya pada perbuatan melawan hukum
adalah tidak demikian. Undang-undang hanya menetukan satu pasal umum, yang
memberikan akibat-akibat hukum terhadap perbuatan melawan hukum.26
Perbuatan melawan hukum dalam bahasa Belanda disebut dengan
onrechmatigedaad dan dalam bahasa Inggris disebut tort. Kata tort itu sendiri
sebenarnya hanya berarti salah (wrong). Akan tetapi, khususnya dalam bidang
hukum, kata tortitu sendiri berkembang sedemikian rupa sehingga berarti
kesalahan perdata yang bukan berasal dari wanprestasi dalam suatu perjanjian
kontrak. Jadi serupa dengan pengertian perbuatan melawan hukum
disebut onrechmatigedaad dalam sistem hukum Belanda atau di negara-negara
Eropa Kontinental lainnya. Kata ” tort ” berasal dari kata latin ” torquere ” atau
” tortus ” dalam bahasa Perancis, seperti kata ”wrong ” berasal dari kata Perancis
” wrung” yang berarti kesalahan atau kerugian (injury). Sehingga pada
prinsipnya, tujuan dibentuknya suatu sistem hukum yang kemudian dikenal
dengan perbuatan melawan hukum ini adalah untuk dapat mencapai seperti apa
yang dikatakan dalam pribahasa bahasa Latin, yaitu juris praecepta sunt luxec,
honestevivere, alterum non laedere, suum cuique tribuere (semboyan hukum
26
Rachmat Setiawan, Tinjauan Elementer Perbuatan Melawan Hukum, Alumni, Bandung, 1982, hal. 15
(45)
adalah hidup secara jujur, tidak merugikan orang lain, dan memberikan orang lain
haknya).
Onrechmatigedaad (perbuatan melawan hukum), pada Pasal 1365 KUH
Perdata dinyatakan : “Tiap perbuatan melawan hukum, yang membawa kerugian
kepada seorang lain, mewajibkan orang yang karena salahnya menerbitkan
kerugian itu, mengganti kerugian tersebut”.
Para pihak yang melakukan perbuatan hukum itu disebut sebagai subjek
hukum yaitu biar manusia sebagai subjek hukum dan juga badan hukum sebagai
subjek hukum. Dalam ilmu hukum terdapat 3(tiga) katagori perbuatan melawan
hukum yaitu:
1. Perbuatan melawan hukum karena kesengajaan.
2. Perbuatan melawan hukum tanpa kesalahan/tanpa unsur kesengajaan
maupun kelalaian.
3. Perbuatan melawan hukum karena kelalaian.
Unsur-unsur pebuatan melawan hukum:
Sesuai dengan ketentuan Pasal 1365 KUH Perdata, suatu perbuatan
melawan hukum harus mengandung unsur-unsur sebagai berikut:
a. Adanya suatu perbuatan.
b. Perbuatan tersebut melawan hukum.
c. Adanya kesalahan dari pihak pelaku.
d. Adanya kerugian bagi korban.
(46)
Perbuatan melawan hukum menurut perspektif hukum pidana berarti
apabila perbuatan telah mencocoki larangan undang-undang maka disitu ada
kekeliruan. Letak perbuatan melawan hukumnya sudah ternyata dari sifat
melanggarnya ketentuan undang-undang kecuali jika termasuk perkecualian yang
telah ditentukan oleh undang, melawan hukum berarti melawan
undang-undang, sebab hukum adalah undang-undang yang disebut sebagai pendirian
formal, dan belum tentu kalau semua perbuatan yang mencocoki larangan
undang-undang yang bersifat melawan hukum, karena hukum bukanlah undang-undang-undang-undang
saja disamping undang-undang ada pula hukum yang tidak tertulis yaitu
norma-norma atau kenyataan-kenyataan yang berlaku dalam masyarakat yang disebut
(47)
A. Pengertian Kontrak Terapeutik
Terapeutik berasal dari bahasa latin “terapeuticus” yang artinya
penyembuhan dan dalam bahasa Inggris menjadi “therapeutist” atau
“therapeuticagent”.27 Perjanjian terapeutik adalah perjanjian antara dokter
dengan pasien, berupa hubungan hukum yang melahirkan hak dan kewajiban bagi
kedua belah pihak. Berbeda dengan transaksi yang dilakukan oleh masyarakat,
transaksi terapeutik memiliki sifat atau cirri yang khusus yang berbeda dengan
perjanjian pada umumnya, kekhususannya terletak pada objek yang di
perjanjikan.28
Perjanjian terapeutik menimbulkan hak dan kewajiban bagi pihak yang
terikat di dalamnya, yaitu dokter dan pasien. Hal tersebut menunjukkan adanya
perikatan yang diatur dalam hukum perdata tentang perikatan yang lahir karena
perjanjian. Hak dan kewajiban dokter dan pasien menimbulkan prestasi dan
kontraprestasi yang wajib dipenuhi oleh masing-masing pihak.
27
Sunarto Ady Wibowo, Hukum Kontrak Terapeutik di Indonesia, Pustaka Bangsa Press, Medan, 2009, hal. 19
28
Johan Bahder, Hukum Kesehatan Pertanggungjawaban Dokter, Jakarta, Rineka Cipta,2005, hal. 11
(48)
Pengertian transaksi terapeutik ada beberapa definisi dari sarjana, menurut
Koeswadji transaksi terapeutik adalah perjanjian perjanjian untuk mencari atau
menentukan terapi yang paling tepat bagi pasien oleh dokter.29
Menurut Veronica Komalawati transaksi terapeutik adalah hubungan
antara hukum dokter dan pasien dalam pelayanan medis secara professional,
didasarkan kompetensi yang sesuai dengan keahlian dan keterampilan tertentu
dibidang kedokteran.30
Menurut Salim HS kontrak terapeutik adalah kontrak yang dibuat antara
pasien dengan tenaga kesehatan dan/atau dokter atau dokter gigi, dimana tenaga
kesehatan dan/atau dokter atau dokter gigi berusaha untuk melakukan usaha
maksimal untuk melakukan penyembuhan terhadap pasien sesuai dengan
kesepakatan yang dibuat antara keduanya dan pasien berkewajiban untuk
membayar biaya penyembuhannya.31
Lebih lanjut menurut Salim HS, ada 3 unsur yang terkandung dalam
definisi kontrak/transaksi/perjanjian terapeutik yang ia kemukakan diatas, yaitu :
1. Adanya subjek hukum.
2. Adanya objek hukum.
3. Kewajiban pasien32.
Subjek dalam kontrak terapeutik meliputi pasien, tenaga kesehatan/dokter
atau dokter gigi. Objek dalam kontrak terapeutik adalah upaya maksimal untuk
29
Harmien Hardiati Koeswadji, Hukum Kedokteran di Dunia Internasional dalam Simposium Hukum Kedokteran (Medical Law), Jakarta,Cipta Aditya Bakti, 1983, hal. 30
30
Veronika Komalawati, Peranan Informed Consent dalam Transaksi Terapeutik, Bandung , Cipta Aditya Bakti, 1999, hal. 1
31
Salim HS, Perkembangan Hukum Kontrak di Luar KUH Perdata Buku Satu, Jakarta, Raja Grafindo Persada, 2007, hal. 45-46
32 Ibid.
(49)
melakukan penyembuhan terhadap pasien. Kewajiban pasien adalah membayar
biaya atau jasa terhadap tenaga kesehatan/dokter atau dokter gigi. Besarnya biaya
atau jasa itu dicantumkan secara sepihak oleh tenaga kesehatan/dokter atau dokter
gigi, sementara pasien sendiri tidak mempunyai kekuatan untuk tawar-menawar
terhadap apa yang disampaikan oleh tenaga kesehatan/dokter atau dokter gigi.33 “Dalam perjanjian terpeutik, antara dokter dengan pasien telah membentuk
hubungan medis berupa tindakan medis yang secara otomatis juga mengakibatkan
terbentuknya hubungan hukum” .
Menurut Wirjono Prodjodikoro, dalam hubungan hukum terdapat objek,
subjek, dan causa sebagai berikut:34
a. Objek dalam hubungan hukum berupa hal yang diwajibkan atau hal yang
menjadi hak seseorang.
b. Subjek dalam hubungan hukum ialah seorang manusia atau badan hukum
yang mendapat beban kewajiban atau yang diberikan hak terhadap sesuatu.
c. Causa dalam hubungan hukum adalah hal yang menyebabkan adanya
hubungan hukum, yaitu rangkaian kepentingan yang harus dijaga dan
diperhatikan seperti yang termaksud dalam isi perhubungan hukum itu.
Berdasarkan uraian tersebut apabila mengacu pada peraturan perundangan
dibidang kesehatan maka hubungan hukum yang terjadi dalam perjanjian
terapeutik adalah sebagai berikut :
33
Ibid. 34
Wirjono Prodjodikoro, Hukum Perdata Tentang Persetujuan-Persetujuan Tertentu,
(50)
1) Objek hukum perjanjian terapeutik adalah kewajiban yang harus dilakukan
oleh dokter terhadap pasien yang berhak untuk menerima tindakan medis.
2) Subjek hukum perjanjian terapeutik adalah pasien, dokter dan sarana
kesehatan (menurut Pasal 1 angka 4 UU Kesehatan, sarana kesehatan
adalah tempat yang digunakan untuk menyelenggarakan upaya kesehatan).
3) Causa hukum perjanjian terapeutik adalah upaya kesehatan yang
dilakukan untuk mewujudkan derajat kesehatan yang optimal bagi
masyarakat melalui pendekatan pemeliharaan, peningkatan kesehatan
(promotif), pencegahan penyakit (preventif), penyembuhan penyakit
(kuratif), dan pemulihan kesehatan (rehabilitatif) yang dilaksanakan secara
menyeluruh, terpadu, dan berkesinambungan.
B. Aspek Hukum Keperdataan Dalam Kontrak Terapeutik
Hukum keperdataan disebut juga dengan hukum perdata dalam arti luas.
Hukum perdata dalam arti luas ialah hukum sebagaimana yang diatur dalam KUH
Perdata, KUH Dagang, UUPK dan undang-undang lainnya yang meliputi semua
hukum “private materiil”, yaitu segala hukum pokok yang mengatur kepentingan
perseorangan. Hukum perdata dalam arti sempit ialah hukum perdata sebagaimana
terdapat didalam KUH perdata.
Menurut F.X. Suhardana,”hukum keperdataan adalah hukum yang
(51)
orang/badan hukum yang lain didalam masyarakat dengan menitik beratkan
kepada kepentingan persorangan (pribadi/badan hukum)”.35
Hubungan yang bersifat istimewa antara dokter dengan pasien dapat
menimbulkan permasalahan yang disebabkan antara lain oleh rasa ketidakpuasan
pasien atas adanya dugaan kesalahan/kelalaian yang dilakukan oleh dokter. Hal itu
pada umumnya disebabkan oleh kurangnya informasi yang seharusnya menjadi
hak dan kewajiban masing-masing pihak (dokter dan pasien).
Kedudukan antara dokter dengan pasien sebagai para pihak yang terikat
dalam perjanjian terapeutik tidak seimbang. Hal ini menarik di tinjau dari aspek
hukum. Dari aspek hukum pidana, tindakan medis yang dilakukan oleh dokter
terhadap pasien tidak bertentangan dengan hukum, meskipun menimbulkan rasa
sakit. Dokter tidak dapat dipidana atas rasa sakit yang ditimbulkan dalam suatu
tindakan medis tertentu, meskipun rasa sakit merupakan salah satu tindakan
pidana penganiayaan. Atas tindakan medis tertentu yang dilakukan oleh dokter
tidak dapat dijatuhkan sanksi pidana, apabila memenuhi beberapa syarat berikut :
1. Ada indikasi medis yang dilakukan untuk mencapai tujuan konkrit tertentu
2. Tindakan medis dilakukan menurut aturan dalam ilmu kedokteran
3. Mendapatkan persetujuan dari pasien terlebih dahulu
Meskipun ada persetujuan pasien/keluarganya berupa persetujuan tindakan
medis, namun jika terjadi kesalahan yang dilakukan oleh dokter maka perbuatan
tersebut tidak menghilangkan sifat melawan hukum dalam hukum pidana. Dengan
demikian, apabila ada kesalahan oleh dokter maka kesalahan tersebut tetap dapat
35
F.X. Suhardana, Hukum Perdata I Buku Panduan Mahasiswa, Jakarta, Gramedia Pustaka Utama, 1992, hal. 7
(52)
di pertanggung jawabkan menurut hukum pidana, meskipun tindakan medis yang
dilakukan oleh dokter disetujui oleh pasien/keluarganya.
Dari aspek hukum perdata, tindakan medis yang dilakukan oleh dokter
merupaka pelaksanaan dari perikatan berupa perjanjian/transaksi terapeutik antara
dokter dengan pasien. Perikatan antara dokter dengan pasien disebut
perjanjian/transaksi terapeutik, yaitu perjanjian yang dilakukan antar dokter
dengan pasien untuk mencari/menemukan terapi sebagai upaya penyembuhan
penyakit pasien oleh dokter.
Aspek hukum perdata dalam kontrak terapeutik ialah adanya hubungan
hukum antara subjek hukum yang satu dengan subjek hukum lainnya yaitu antara
pasien dan tenaga kesehatan, rumah sakit yang menimbulkan hak dan kewajiban
secara bertimbal balik.Yang menjadi hak pasien adalah kewajiban bagi tenaga
kesehatan dan rumah sakit dan hak tenaga kesehatan dan rumah sakit adalah
menjadi kewajiban pasien. Hubungan tenaga kesehatan, rumah sakit dan pasien
adalah hubungan jasa dalam hal pemberian pelayanan kesehatan.Tenaga
kesehatan, rumah sakit sebagai pemberi jasa pelayanan kesehatan, dan pasien
sebagai penerima jasa pelayanan kesehatan. Hubungan hukum itu dalam hukum
perdata disebut ‘perikatan” (verbintennis), karena setiap kontrak adalah perikatan
namun setiap perikatan belum tentu kontrak, karena sumber hukum perikatan
tidak hanya kontrak melainkan juga undang-undang (1233 KUHPerdata).36 Di
dalam ilmu hukum, khususnya hukum perdata ada dua jenis perjanjian, yaitu
resultaatsverbintenis (perjanjian berdasarkan hasil kerja) dan
36
(53)
inspanningverbintenis (perjanjian berdasarkan usaha yang maksimal ikhtiar). Pada
umumnya perjanjian terapeutik merupakan inspanningverbintenis. Dalam hal ini,
secara hati-hati dan teliti dokter berusaha mempergunakan ilmu, kepandaian,
keterampilan, dan pengalamannya untuk menyembuhkan pasien. Hasil usahayang
dilakukan oleh dokter tidak pasti, ada kemungkinan pasien sembuh, tetap sakit,
tambah sakit, atau bahkan mati. Dokter tidak dapat menjamin hasil usaha yang
dilakukannya dalam memberikan pelayanan kesehatan. Akan tetapi, dalam
perjanjian terapeutik juga dimungkinkan adanya resultaatsverbintenis. Dalam hal
ini, penerapan perjanjian yang dilakukan oleh dokter dengan pasien didasarkan
atas hasil kerja, misalnya dalam pembuatan gigi palsu, pembuatan organ anggota
badan palsu, dan sebagainya. Pada hakikatnya perjanjian terapeutik tidak berbeda
dengan perjanjian pada umumnya. Adapun syarat perjanjian pada umumnya
menurut pasal 1320 KUH Perdata meliputi:
a. Kesepakatan antara para pihak.
b. Kecakapan untuk membuat perikatan.
c. Adanya suatu hal tertentu.
d. Adanya sebab yang halal.
Perjanjian terapeutik antara dokter dan pasien menimbulkan hak dan
kewajiban masing-masing pihak. Hak dan kewajiban yang ditimbulkan dari
adanya pelayanan kesehatan menurut hukum yang meliputi aspek hukum perdata
berupa persetujuan antara dokter dengan pasien dan/atau keluarganya merupakan
akibat kelalaian dibidang perdata serta tuntutannya terhadap pelayanan
(54)
dalam pelayanan kesehatan meliputi kebenaran dari isi surat keterangan
kesehatan, wajib simpan rahasia oleh dokter tentang kesehatan pasien,
pengguguran kandungan (abortus provocatus criminalis), penyalahgunaan
pemberian resep obat yang mengandung psikotropika, dan sebagainya.
C. Dasar Hukum Kontrak Terapeutik
Perjanjian terapeutik sebagai bagian dari hukum privat tunduk pada
aturan-aturan yang ditentukan dalam KUH Perdata sebagai dasar adanya
perikatan. Pasal 1233 KUH Perdata menyatakan bahwa “tiap-tiap perikatan dapat
dilahirkan dari suatu perjanjian maupun karena undang-undang”.
Pada perjanjian terapeutik disamping terikat pada perjanjian yang diatur
dalam KUH Perdata, para pihak juga terikat undang-undang.Kedua dasar hukum
dalam perjanjian terapeutik bersifat saling melengkapi. Untuk lebih memudahkan
pemahaman penjelasan dasar hukum dalam hubungan dokter dengan pasien, maka
dapat digambarkan sebagai berikut :
1. Karena kontrak (perjanjian terapeutik)
Dokter dan pasien telah dianggap sepakat melakukan perjanjian apabila
dokter telah memulai tindakan medis terhadap pasien.
2. Karena undang-undang
Timbulnya karena kewajiban yang dibebankan pada dokter (yang
ditentukan dalam undang-undang, antara lain UU kesehatan, UU praktik
(55)
Didalam perundang-undangan yang berlaku di Indonesia sampai saat ini,
tentang perikatan diatur dalam Buku III KUH Perdata, yang didasarkan sistem
terbuka. Sistem terbuka ini tersirat dalam ketentuan Pasal 1319 KUH Perdata,
yang menyatakan bahwa “semua perjanjian, baik yang mempunyai suatu nama
khusus, maupun yang tidak terkenal dengan suatu nama tertentu, tunduk pada
peraturan umum, yang termuat dalam Bab ini dan Bab yang lalu”.37
UUPKn diundangkan untuk mengatur praktik kedokteran dengan tujuan
agar dapat memberikan perlindungan kepada pasien, mempertahankan dan
meningkatkan mutu pelayanan medis dan memberikan kepastian hukum kepada
masyarakat, dokter dan dokter gigi.38
UUPK walaupun tidak diatur dengan jelas mengenai pasien, tetapi pasien
dalam hal ini juga merupakan seorang konsumen jasa dari pada tenaga kesehatan
dan rumah sakit.
Dari penjelasan yang ada di atas, dapat disimpulkan secara garis besar
bahwa dasar hukum perjanjian/kontrak terapeutik adalah :
a. KUHPerdata (khususnya Buku III)
b. Undang-undang No.36 Tahun 2009 Tentang Kesehatan
c. Undang-undang No.29 Tahun 2004 Tentang Praktik Kedokteran
d. Peraturan Menteri Kesehatan No.290/MENKES/PER/III/2008
e. Undang-undang No.8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen
37
Veronika Komalawati, Op.Cit, hal. 139
38
(56)
D. Hubungan Hukum Para Pihak Yang Terkait Dalam Kontrak Terapeutik
Dalam UU kesehatan telah ditentukan para pihak yang terkait dalam
pelayanan kesehatan, yaitu pasien dan tenaga kesehatan. Tenaga kesehatan adalah
setiap orang yang mengabdikan diri dalam bidang kesehatan serta memiliki
pengetahuan dan/atau keterampilan melalui pendidikan dibidang kesehatan yang
untuk jenis tertentu memerlukan kewenangan untuk melalukan upaya kesehatan
(Pasal 1 angka 6 UU No.36 Tahun 2009 tentang Kesehatan). Ada tiga ciri-ciri
tenaga kesehatan, yaitu :
1. Orang yang mengabdi dibidang kesehatan.
2. Memiliki pengetahuan dan/atau memiliki keterampilan.
3. Memiliki wewenang untuk melakukan upaya kesehatan.
Dari ketiga ciri itu, ciri yang harus melekat pada tenaga kesehatan adalah
mempunyai pengetahuan dan wewenang dalam melakukan upaya kesehatan.
Pengetahuan yang dimaksud adalah pengetahuan yang berkaitan dengan ilmu
kesehatan. Sementara itu, kewenangan upaya kesehatan adalah suatu kewenangan
yang diberikan oleh hukum kepada tenaga kesehatan untuk melakukan upaya
kesehatan. Upaya kesehatan yaitu setiap kegiatan dan/atau serangkaian kegiatan
yang dilakukan secara terpadu, terintegrasi, dan berkesinambungan untuk
memelihara dan meningkatkan derajat kesehatan masyarakat dalam bentuk
pencegahan penyakit, peningkatan kesehatan, pengobatan penyakit, dan
pemulihan kesehatan oleh pemerintah dan/atau masyarakat (Pasal 1 angka 11 UU
(1)
90
menyelenggarakan kegiatan usaha dalam berbagai bidang ekonomi.”
b. Bahwa selama dalam proses pemeriksaan pimpinan pelaku usaha sebagai teradu tidak hadir dan hanya diwakilkan oleh kuasanya sehinnga hal ini menyulitkan untuk menemukan titik terang dari perkara persengketaan konsumen ini
c. Bahwa dalam penyelesaian sengketa ini pelaku usaha dalam hal ini pihak rumah sakit santa Elisabeth tidak dapat menghadirkan saksi-saksi yang seharusnya dapat memperlihatkan titik terang dari apa sebenarnya persoalan yang dialami oleh pihak rumah sakit, mengapa mereka sampai salah mendiagnosa penyakit pasien tersebut. Sehingga dengan tidak bisanya pelaku usaha menghadirkan saksi-saksi maupun saksi ahli dari ikatan dokter Indonesia (IDI) maka titik terang dari sebab mengapa dokter bisa salah mendiagnosa penyakit pasien tersebut tidak ditemukan.
3. Dengan disahkannya keputusan tersebut maka lahir pula akibat hukum bagi para pihak. Adapun akibat hukum tersebut yakni:
a. Bagi Pihak Pasien
1) Pasien dengan disahkannya putusan ini dapat terlindungi haknya sebagai konsumen karena dalam amar putusan disebutkan bahwa pasien mendapatkan ganti rugi dari pihak rumah sakit berupa ganti rugi uang sebesar Rp. 30.137.514 (Tiga Puluh Juta Seratus Tiga Puluh Empat Ribu Lima Ratus Empat Belas Rupiah).
(2)
2) Pasien dengan disahkannya putusan ini dapat menrima dan mengambil uang ganti rugi tersebut untuk dipergunakannya.
3) Untuk selebihnya gugatan konsumen mengenai tambahan-tambahan biaya ganti rugi tidak diterima, dikarenakan hal tersebut diluar tanggung jawab dari pihak rumah sakit.
4) Diluar putusan, bagi seluruh pasien diharapkan mengerti dan memahami tentang perjanjian sebelum melakukan operasi (informed consen) agar nantinya tidak timbul persengketaan konsumen ini dikemudian hari.
b. Bagi Pihak Rumah Sakit
1) Pihak Rumah Sakit berkewajiban membayar ganti rugi kepada pihak pasien berupa ganti rugi uang sebesar Rp. 30.137.514 (Tiga Puluh Juta Seratus Tiga Puluh Empat Ribu Lima Ratus Empat Belas Rupiah).
2) Pihak Rumah Sakit berkewajiban untuk memberikan pelayanan yang baik kepada masyarakat dimasa yang akan datang, hal ini merpakan sanksi moral terhadap pelaku usaha agar kedepannya pelaku usaha harus benar-benar memberikan pelayanan yang terbaik kepada seluruh masyarakat yang membutuhkan pertolongannya, tanpa harus membeda-bedakan status social.
3) Di luar putusan pihak rumah sakit sebagai pelaku usaha diwajibkan menseleksi calon dokter yang bekerja dirumah sakit sesuai dengan keahliannya, agar dokter yang terpilih dapat memberikan pelayanan
(3)
92
yang terbaik dan professional bagi para calon pasien yang akan dirawatnya.
B. Saran
1. Sebaiknya BPSK lebih sering memberikan sosialisasi kepada masyarakat luas tentang kelebihan menyelesaikan perkara sengketa konsumen lewat badan arbitrase dalam hal ini BPSK, dikarenakan jika dibandingkan lewat litigasi (pengadilan), maka penyelesaian sengketa konsumen di BPSK jauh lebih cepat dan tidak bertele-tele menyelesaikan sengketa konsumen dengan pelaku usaha.
2. Sebaiknya BPSK membuat suatu aturan baru yang mengatur mengenai ketidak hadiran pelaku usaha dalam persidangan sengketa konsumen, dengan menambahkan sanksi yang berat mulai dari denda, sampai kepada pencabutan ijin usaha pelaku usaha, hal ini dimaksudkan agar pelaku usaha dpat lebih bertanggung jawab lebih kepada masyarakat luas.
3. Sebaiknya BPSK membuat direktori kumpulan putusan yang sudah dijatuhkan oleh BPSK kepada pelaku usaha secara online, agar masyarakat dapat dengan mudah melihat ataupun mengunduh putusan tersebut dan dapat digunakan sebagai wawasan baru untuk menyelesaikan masalah diluar jalur litigasi (pengdilan).
(4)
Bahder. J, Hukum Kesehatan Pertanggungjawaban Dokter, Jakarta : PT. Rineka Cipta,2005
Barkatulah. H. A. Hukum Perlindungan Konsumen, Banjarmasin : FH Unlam Press,2008
Chrisdiono M.Achadiat, Dinamika Etika dan Hukum Kedokteran Dalam
Tantangan Zaman, Penerbit Buku Kedokteran EGC, Jakarta, 2007
Danny Wiradharma, Hukum Kedokteran, Binarupa Aksara, Jakarta, 1996
Hanafiah. DKK, Etika Kedokteran dan Hukum Kesehatan, Penerbit Buku Kedokteran EGC, Jakarta, 1999
Hardiati. K.H, Hukum Kedokteran di Dunia Internasional dalam Simposium Hukum Kedokteran (Medical Law), Jakarta, 1983
Komalawati. V, Peranan Informed Consent dalam Transaksi Terapeutik, Bandung : PT. Cipta Aditya Bakti, 1999
Komalawati. V .(I), Peranan Informed Consentdalam Transaksi Terapeutik (Persetujuan Dalam Hubungan Dokter dan Pasien) Suatu Tinjauan Yuridis, Citra Aditya Bakti, Bandung, 2002
Miru Ahmad, Hukum Kontrak Perancangan kontrak, PT.Rasi Grafindo Persada, Jakarta, 2001
Muchsin, Perlindungan dan Kepastian Hukum bagi Investor di Indonesia, Thesis, Magister Ilmu Hukum Pascasarjana: Universitas Sebelas Maret, 2003. Raharjo. H, Hukum Perjanjian di Indonesia, Cet.1, Penerbit Pustaka Yustisia,
Yogyakarta
Rahardjo. S, Ilmu hukum, Bandung: Citra Aditya Bakti, Cetakan ke-V 2000 Salim HS, Perkembangan Hukum Kontrak di Luar KUH Perdata Buku Satu,
Jakarta,PT. Raja Grafindo Persada, 2007
Satrio. J, Hukum Jaminan,Hak-Hak Jaminan Kebendaan, PT.Citra Aditya Bakti, Bandung, 1993
(5)
94
Setiawan, Tinjauan Elementer Perbuatan Melawan Hukum, Alumni, Bandung, 1982
, Hukum Perikatan-Perikatan Pada Umumnya, Bina Cipta, Bandung, 1987
, Hukum Perikatan-Perikatan Pada Umumnya, Bina Cipta, Bandung, 1987
Setiono, Rule of Law (Supremasi Hukum), Thesis, Magister Ilmu Hukum Pascasarjana: Universitas Sebelas Maret, 2004
Sri Soedewi Masjachan, Hukum Jaminan di Indonesia Pokok-Pokok Hukum
Jaminan dan Jaminan Perorangan, Liberty,Yogyakarta 1980
Subekti, Aneka Perjanjian, Alumni, Bandung, 1983,
, Hukum Perjanjian, Cet.Ke XII, PT Intermasa, Jakarta, 1987 , Bunga Rampai Ilmu Hukum, Alumni, Bandung, 1992 , Hukum Perjanjian, PT.intermasa, Jakarta, 1996
Subekti DKK, Kitab Undang-undang Hukum Perdata, Jakarta, PT.Pradaya Paramita,2001
, Pokok-Pokok Hukum Perdata, Jakarta, P.T.Intermasa, 2001 , Hukum Pembuktian, PT.Pradnya Paramita, Jakarta, 2001
Sunarto Ady Wibowo, Hukum Kontrak Terapeutik di Indonesia, Pustaka Bangsa Press, Medan, 2009
Suryodiningrat, Perikatan-Perikatan Bersumber Perjanjian, Tarsito, Bandung, 1978
Sutedi. A, Tanggung Jawab Produk Dalam Hukum Perlindungan Konsumen, Jakarta,Penerbit Ghalia Indonesia,2008
(6)
B. Peraturan Perundang-undangan
Kitab Undang-undang Hukum Perdata
Undang-undang No.8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen Undang-undang No.29 Tahun 2004 Tentang Praktek Kedokteran Undang-undang No.36 Tahun 2009 Tentang Kesehatan
C. Internet
http:/tips-belajar-internet,blogspot.com/2009/08/Pengertian-dan-jenis-jenis-perjanjian.html,diakses terkahir tanggal 30 Januari 2014
http://irwandykapalawi.wordpress.com/2007/11/01/mengenal-informed-consent/
diakses terakhir pada tanggal 30 Januari 2014
http://mardyantongara.wordpress.com/2013/04/16/perlindungan-konsumen
,diakses terkahir tanggal 30 Januari 2014
http://anamencoba.blogspot.com/2011/04/teori-perlindungan-hukum-dalam-melihat.html, terakhir diakses tanggal 30 Januari 2014