Pendugaan Umur Simpan Cookies Nenas Dengan Metode Akselarasi Berdasarkan Pendekatan Kadar Air Kritis

TINJAUAN PUSTAKA

Nenas
Nenas (Ananas comosus) merupakan tanaman buah tropis yang berasal
dari Brasilia. Pada abad ke-16 orang Spanyol membawa nenas ini ke Filipina dan
Semenanjung Malaysia, masuk ke Indonesia pada abad ke-15. Di Indonesia pada
mulanya hanya sebagai tanaman pekarangan, dan meluas dikebunkan di lahan
kering di seluruh wilayah nusantara. Nenas sejenis tumbuhan tropikal, biasanya
berwarna hijau sebelum masak dan berubah menjadi hijau kekuningan apabila
masak (Juansyah, dkk., 2009).
Tanaman nenas banyak dibudidayakan di negara Indonesia. Buah nenas
merupakan buah klimakterik yang mudah diperoleh dan harganya pun relatif
murah. Kandungan gizinya yang tinggi, rasa, serta aroma daging buahnya yang
tajam juga merupakan kelebihan buah nenas, menjadikannya sebagai bahan baku
olahan potesial (Yustina dan Yuniarti, 2013). Adapun kandungan gizi buah nenas
segar (per 100 g bahan) dapat dilihat pada Tabel 1.
Tabel 1. Kandungan gizi buah nenas segar (per 100 g bahan)
Kandungan gizi
Jumlah
Air (g)
86,00

Energi (kkal)
50,00
Kalsium (mg)
13,00
Vitamin C (mg)
47,80
Karbohidrat (g)
13,12
Serat (g)
1,40
Protein (g)
0,54
Lemak (g)
0,12
Sumber : USDA (2012).

5
Universitas Sumatera Utara

6


Cookies
Cookies merupakan kue kering manis yang memiliki kadar air 1-5% dan
kadar lemak serta gula yang tinggi (Pareyt dan Delecour, 2008). Cookies
merupakan salah satu jenis biskuit. Semua jenis terbuat dari tepung lemah dengan
kandungan protein rendah. Menurut Standar Nasional Indonesia (1992), biskuit
diklasifikasikan menjadi empat jenis yaitu biskuit keras (hard biscuit), crackers,
cookies, dan wafer.
Biskuit keras adalah jenis biskuit manis yang terbuat dari adonan keras,
berbentuk pipih, jika dipatahkan penampang potongnya bertekstur padat.
Crackers komposisinya serupa dengan cookies,

tetapi dari segi rasa lebih

dominan rasa asin daripada rasa manis, tetapi ada juga crackers tidak berasa asin.
Crackers dibuat melalui proses fermentasi atau pemeraman, berbentuk pipih,
renyah, dan bila dipatahkan penampang potongnya berlapis-lapis. Wafer adalah
cookies yang terdiri dari lapisan tipis berisi (filling). Wafer adalah jenis biskuit
yang berpori-pori kasar, dan bila dipatahkan penampang potongannya beronggarongga. Cookies terbuat dari adonan lunak, berkadar lemak tinggi, bersifat renyah,
bila dipatahkan penampang potongan bertekstur kurang padat (Manley, 2001).

Persyaratan Mutu Cookies
Mutu cookies merupakan faktor penting yang harus diperhatikan karena
berhubungan dengan daya terima masyarakat. Mutu cookies dipengaruhi oleh
komposisi yang digunakan serta proses pembuatannya. Komposisi yang tidak
sesuai akan menyebabkan penyimpangan mutu pada produk cookies yang
dihasilkan. Menurut Widjayanti (2005), penyimpangan yang dapat terjadi pada
cookies seperti halnya pada biskuit dapat dilihat pada Tabel 2.

Universitas Sumatera Utara

7

Tabel 2. Penyimpangan produk akhir biskuit dan penyebabnya
Jenis penyimpangan
Penyebab
Keras

Kurang lemak dan kurang air.

Pucat


Proporsi bahan kurang tepat, oven
kurang panas.
Pencampuran tidak rata, penanganan
tidak hati-hati serta panas yang tidak
merata.
Bentuk tidak seragam dan panas tidak
merata.
Proporsi bahan penyusun tidak
seimbang.
Pencampuran tidak tepat, adonan
terlalu keras dan kenyal.
Penanganan dan pemanggangan yang
terlalu lama.
Suhu terlalu tinggi dan terlalu banyak
lemak.

Bentuk tidak rata

Warna coklat tidak merata

Hambar dan berat
Kasar dan kering
Permukaan keras
Berminyak dan rapuh
Sumber : Widjayanti (2005).

Mutu dari cookies nenas mengacu pada persyaratan cookies dalam
SII-0177-178 yang dapat dilihat pada Tabel 3. SII adalah Standar Industri
Indonesia yang dikeluarkan oleh departemen perindustrian.
Tabel 3. Syarat mutu cookies
Parameter
Keadaan (Bau, warna, rasa, dan tekstur)
Kadar Air (%b/b)
Protein (%b/b)
Kadar Abu (%b/b)
Bahan tambahan pangan
Pewarna dan pemanis buatan
Cemaran logam
Tembaga (Cu) (mg/kg)
Timbal (Pb) (mg/kg)

Seng (Zn) (mg/kg)
Merkuri (Hg) (mg/kg)
Arsen (As) (mg/kg)
Cemaran mikroba
Angka komponen total (koloni/g)
Koliform (APM/g)
E. coli (APM/g)
Kapang (Koloni/g)

Syarat mutu
Normal
Maksimum 5
Maksimum 6
Maksimum 2
Yang tidak diizinkan tidak boleh ada
Maksimum 10
Maksimum 1
Maksimum 40
Maksimum 0,5
Maksimum 1,5

Maksimum 1 x 106
Maksimum 20
Kurang dari 3
Maksimum 10

Sumber : (SII-0177-178)

Universitas Sumatera Utara

8

Bahan Penyusun Cookies
Menurut Ashwini, dkk., (2009), pada pembuatan cookies diperlukan
bahan-bahan yang terbagi dalam dua kelompok, yaitu bahan pelembut dan bahan
pengikat. Bahan pelembut adalah gula, kuning telur, lemak, dan baking powder.
Bahan pengikat adalah tepung, air, padatan, susu, dan putih telur. Selain itu,
bahan–bahan penyusun cookies

juga dapat dibagi menjadi bahan utama dan


bahan tambahan. Bahan utama pembuatan cookies adalah terigu, telur, gula, dan
lemak, sedangkan susu, bahan pengembang (leaving agent), dan flavor merupakan
bahan tambahan yang sering digunakan dalam pembuatan cookies.
Bahan utama
-

Tepung
Tepung adalah struktur pokok dari semua jenis biskuit yang dapat

mengikat bahan baku lain pada cookies. Salah satu contohnya adalah terigu.
Terigu memiliki kelebihan yaitu mengandung protein tidak larut air yang disebut
gluten yang bersifat kenyal dan elastis. Pada adonan roti, gluten berfungsi untuk
menahan adonan pada saat dikembangkan sehingga bentuknya kokoh dan tidak
mengecil kembali (Hadinezhad dan Butler, 2009).
Terigu yang biasanya digunakan dalam pembuatan biskuit, bolu, cookies,
dan crackers adalah terigu berprotein rendah. Terigu protein rendah adalah terigu
yang mengandung protein 7,5-8%. Terigu ini memiliki kemampuan menyerap air
yang kecil, menghasilkan adonan yang kurang elastis sehingga menghasilkan
remah roti yang padat serta tekstur yang tidak sempurna (Manley, 2001).
Tepung protein rendah membutuhkan lebih banyak gula dan lemak agar

menghasilkan tekstur yang diinginkan yaitu tidak keras dan kasar seperti yang

Universitas Sumatera Utara

9

terjadi pada penggunaan tepung keras. Penambahan tepung dilakukan harus sesuai
takaran. Apabila penambahan tepung terlalu sedikit, lemak yang berasal dari
margarin menjadi berlebih sehingga biskuit (termasuk cookies) akan kehilangan
bentuk dan mudah patah (Supriadi, dkk., 2004).
-

Gula
Pengunaan gula dalam pembuatan cookies bertujuan untuk memberikan

rasa manis dan mempengaruhi tekstur cookies. Gula bergabung dengan udara
akan masuk ke dalam lemak selama pembuatan adonan. Selama pemanggangan,
gula yang tidak larut menjadi larut dan menyebabkan penyebaran bentuk cookies.
Kekerasan cookies, kerenyahan, warna dan volume merupakan parameter lain
yang dipengaruhi oleh formula gula (Pareyt dan Delcour, 2008).

Gula juga dapat memperpanjang umur simpan cookies, karena gula
mempunyai sifat higroskopis (menarik air). Penambahan gula terlalu banyak
menyebabkan cookies kurang lezat dan kurang lembut karena terjadinya
penyebaran gluten tepung (Supriadi, dkk., 2004).
-

Telur
Telur digunakan dalam pembuatan cookies disebabkan oleh daya emulsi

yang dimiliki oleh telur. Telur berfungsi untuk mempertahankan kestabilan
adonan, sebagai pengaerasi dengan kemampuan dalam menangkap udara saat
adonan dikocok sehingga udara menyebar rata pada adonan dan membuat adonan
menjadi lembut (Supriadi, dkk., 2004).
-

Lemak
Bahan penyusun yang juga penting dalam pembuatan cookies adalah

lemak. Lemak berperan sebagai shortening, pelembut, pemberi rasa lemak,


Universitas Sumatera Utara

10

penambahan kelezatan dan intensitas citarasa, dan penerimaan. Lemak pun
berperan dalam penyebaran dan penampakan cookies, peningkatan aerasi untuk
pengembangan volume serta menyebabkan cookies lebih mudah dipatahkan
(Pareyt dan Delcour, 2008). Jenis dan jumlah lemak yang ditambahkan ke dalam
adonan memiliki pengaruh yang kuat terhadap karakteristik viskoelastisitas.
Syarat lemak yang digunakan adalah memiliki sifat plastis (berbentuk padat
tetapi dapat dioles) (Jacob dan Leelavathi, 2007).
Plastisitas lemak berguna pada saat pembentukan krim. Lemak plastis
dapat menangkap udara dengan baik karena mempunyai fraksi lemak padat dan
cair yang seimbang. Selama pengadukan suatu adonan, lemak akan menyelubungi
terigu sehingga jaringan gluten di dalamnya diputus dan setelah menjadi cookies
teksturnya akan lebih lembut dan tidak terlalu keras. Jenis lemak yang dapat
digunakan antara lain margarin (lemak nabati), minyak tumbuhan, mentega
(lemak susu), dan lemak hewan seperti lemak sapi dan lemak babi
(Pareyt dan Delcour, 2008).
Bahan tambahan
-

Susu
Penambahan susu dalam pembuatan cookies adalah sebagai sumber protein

karena susu mengandung kasein. Susu juga mengandung laktosa yang dapat
berfungsi membantu pembentukan aroma, menahan penyerapan air dan juga
berperan sebagai bahan pengisi untuk mengikat kandungan gizi cookies yang
dihasilkan. Penggunaan susu skim dapat memperbaiki penerimaan (warna, aroma,
dan rasa), sebagai bahan pengisi, meningkatkan volume cookies, memperbaiki

Universitas Sumatera Utara

11

butiran dan susunan serta memperpanjang umur simpan dari produk cookies
(Supriadi, dkk., 2004).
-

Bahan pengembang (leaving agent)
Leaving agent

merupakan senyawa kimia yang bila terurai akan

menghasilkan gas dalam adonan sehingga dapat membentuk volume dan produk
yang dihasilkan menjadi lebih ringan dan porous karena dihasilkan gas CO2.
Bahan pengembang yang umum digunakan adalah ammonium bikarbonat, sodium
bikarbonat (NaHCO3), dan baking powder. Pengunaan sodium bikarbonat
(soda kue) lebih banyak digunakan, sebab memiliki harga dan toksisitas yang
rendah, mudah ditangani, cepat larut pada suhu ruang, serta tidak meninggalkan
rasa pada produk dan lebih murni (Sitanggang, 2008).
-

Flavor (citarasa)
Penambahan flavor pada cookies bertujuan memberi rasa tertentu yang

berguna untuk meningkatkan penerimaan produk. Bahan-bahan yang dapat
ditambahkan pada produk cookies sebagai pembentuk flavor adalah kayu manis,
vanila, keju almond, coklat, kopi dan karamel, dan flavor buah. Flavor relatif
stabil pada suhu pemanggangan, tetapi dapat berubah drastis jika dibakar dengan
api. Aroma atau bau pada bahan makanan dapat menentukan kelezatan dari bahan
makanan tersebut (Sitanggang, 2008).
Tekstur Cookies dan Penurunan Mutu Cookies
Tekstur pada biskuit termasuk cookies meliputi kekerasan, kemudahan
untuk dipatahkan, dan konsistensi pada gigitan pertamanya. Tekstur pada
makanan sangat ditentukan oleh kadar air, kandungan lemak, dan jumlah serta
jenis karbohidrat dan protein yang menyusunnya (Fellows, 2000).

Universitas Sumatera Utara

12

Beberapa sifat cookies yang berhubungan dengan tekstur cookies adalah
hardness atau firmness, brittleness, crumbly, dan sticky. Kekerasan (hardness atau
firmness) menunjukkan kemampuan cookies untuk mempertahankan bentuk bila
dikenai suatu gaya. Kerapuhan (brittleness) yaitu suatu sifat cookies yang mudah
pecah bila dikenai suatu gaya, sedangkan crumbly adalah sifat cookies yang
mudah hancur menjadi partikel-partikel kecil. Istilah sticky menunjukkan sifat
partikel-partikel cookies yang lengket di mulut (Gainess, 1994).
Kekerasan terbagi menjadi tiga yaitu kerenyahan termasuk kerapuhan
kelembaban termasuk kering dan kelengketan, dan keliatan termasuk lunak.
Kekerasan dimiliki oleh produk kue, coklat, es krim beku, sayur keras, keripik
jagung, dan buah keras (deMan, 1997). Menurut Manley (2001), kerenyahan
merupakan mutu utama produk cookies. Cookies memiliki kadar air 1-5% dan aw
yang rendah (Pareyt dan Delcour, 2008) sehingga teksturnya dapat menjadi
renyah. Menurut Arpah (2001), kerusakan produk jenis biskuit seperti cookies,
lebih sering dihubungkan dengan kerusakan tekstur.
Produk pangan akan mengalami perubahan mutu selama proses
penanganan, pengolahan, penyimpanan, dan distribusi produk pangan. Produkproduk kering pada dasarnya mempunyai sifat sensitif terhadap perubahan kadar
air. Kerusakan produk pangan kering merupakan akibat dari interaksi antara
produk pangan dengan berbagai faktor, terutama interaksi antara lingkungan,
bahan pengemas, dan bahan pangan (Hariyadi, 2006).
Penyimpangan suatu produk pangan dari mutu awalnya disebut deteriorasi
(Arpah, 2001). Reaksi deteriorasi dimulai dengan interaksi produk dengan udara,
oksigen, uap air, cahaya, dan akibat perubahan suhu. Data tentang interaksi-

Universitas Sumatera Utara

13

interaksi yang mungkin terjadi tersebut sebaiknya diketahui dengan baik sehingga
dapat dilakukan perhitungan umur simpan, kebutuhan pelabelan, serta usahausaha

meminimalisasi

kerusakan

dan

memaksimumkan

masa

simpan

(Nugroho, 2007). Robertson (1993) menyatakan bahwa secara umum deteorisasi
yang terjadi pada produk pangan kering selama penyimpanan adalah penyerapan
uap air yang menyebabkan produk menjadi lembab atau kehilangan kerenyahan,
oksidasi lipid yang menyebabkan ketengikan, kehilangan vitamin sehingga
produk tidak disukai dan kehilangan aroma.
Pengemasan
Pengemasan merupakan salah satu proses dalam industri yang memegang
peranan penting dalam upaya mencegah terjadinya penurunan mutu produk.
Pengemasan harus dilakukan dengan benar, karena pengemasan yang salah dapat
mengakibatkan

produk

menjadi

tidak

memenuhi

syarat

mutunya

(Buckle, dkk., 1987).
Kemasan yang ideal adalah apabila secara kimia inert total, dan
memungkinkan bahan makanan mempertahankan karakteristik aslinya namun
pada kenyataannya jarang sekali bahan pengemas yang benar-benar inert.
Beberapa reaksi tidak dapat dihindari atau dicegah tergantung pada sifat bahan
pengemas dan tipe makanan yang diawetkan (Agus, 2004).
Menurut Syarief dan Irawati (1988), kemasan berfungsi sebagai wadah
untuk menempatkan produk dan memberi bentuk sehingga memudahkan dalam
penyimpanan pengangkutan, dan distribusi; memberi perlindungan terhadap mutu
produk dari kontaminasi luar dan kerusakan; dan menambah daya tarik produk.
Pengemasan dapat mempengaruhi mutu dari produk seperti perubahan fisik dan

Universitas Sumatera Utara

14

kimia dikarenakan adanya migrasi zat-zat kimia dari bahan kemasan serta
perubahan aroma, warna dan tekstur yang dipengaruhi oleh uap air dan oksigen.
Beberapa faktor yang perlu diperhatikan dalam pengemasan bahan pangan adalah
sifat bahan kemasan, sifat bahan pangan dan keadaan lingkungan.
Gangguan paling umum terjadi pada bahan pangan adalah kehilangan atau
perubahan kadar air, pengaruh gas dan cahaya. Sebagai akibat adanya peningkatan
kadar air pada produk, maka akan tumbuh jamur dan bakeri, pengerasan pada
produk bubuk dan pelunakan pada produk kering (Syarief dan Irawati, 1988).
Bahan pangan memiliki sifat kepekaan yang berbeda-beda terhadap
penyerapan dan pengeluaran gas (udara) dan uap air. Bahan kering harus
dilindungi dari penyerapan uap air dan oksigen dengan cara menggunakan bahan
pengemas yang mempunyai daya tembus rendah terhadap gas tersebut
(Buckle, dkk., 1987). Produk kering terutama yang bersifat hidrofilik harus
dilindungi terhadap masuknya uap air. Produk harus dikemas dalam kemasan
yang mempunyai permeabilitas air yang rendah untuk mencegah produk yang
berkadar gula tinggi merekat

atau produk-produk tepung menjadi basah

(Syarief, dkk., 1989).
Persyaratan kemasan untuk bahan pangan antara lain adalah permeabilitas
terhadap udara kecil, tidak menyebabkan penyimpangan warna produk, tidak
bereaksi dengan produk sehingga merusak citarasa, tidak mudah teroksidasi atau
bocor,

tahan

panas,

mudah

diperoleh

dan

harganya

yang

murah

(Winarno dan Jennie, 1983).
Plastik merupakan salah satu kemasan yang sering digunakan dalam
industri pangan. Kelebihan plastik diantaranya adalah harga relatif rendah, dapat

Universitas Sumatera Utara

15

dibentuk menjadi berbagai bentuk seperti tunggal, komposit atau multi lapis, dan
mengurangi biaya transportasi (Syarief, dkk., 1989). Kemasan

plastik yang

digunakan dalam penelitian ini terdiri dari 3 kemasan yaitu kemasan OPP
(Oriented Polypropylene), PE (Polietilen) dan MP (Metalized Plastic). Pemilihan
kemasan ini didasarkan pada ketersediannya di pasaran.
Oriented Polypropylene (OPP)
Kemasan PP sering digunakan karena memiliki sifat-sifat antara lain :
Mudah untuk proses pembentukan, memiliki bobot yang ringan, tembus pandang,
jernih dalam bentuk film, namun tidak dalam bentuk kemasan kaku; Memiliki
daya/kekuatan tarik yang lebih besar dari polietilen; Tidak gampang sobek dan
kaku sehingga memudahkan penanganan dan distribusi; Permeabilitas terhadap
uap air rendah dan permeabilitas terhadap gas sedang; Tahan terhadap asam kuat,
suhu tinggi, basa, dan minyak; Memiliki titik lebur tinggi sehingga susah dibuat
kantung. Sifat-sifat Polypropylene (PP) dapat diperbaiki dengan memodifikasi
menjadi OPP (Oriented Polyprophylene), yaitu pembuatannya dilakukan dengan
menarik ke satu arah, atau menjadi BOPP (Biaxial Oriented Polypropylene), jika
ditarik dari dua arah (Syarief, dkk., 1989).
Polietilen (PE)
Kemasan plastik polietilen sangat banyak digunakan di masyarakat.
Kemasan plastik polietilen memiliki sifat mudah dibentuk, lemas, dan mudah
ditarik; tahan terhadap berbagai bahan kimia; penampakan bervariasi; daya
rentang tinggi tanpa sobek; mudah dikelim panas sehingga digunakan sebagai
bahan laminasi; dan memiliki sifat kedap air dan udara (Syarief, dkk., 1989).

Universitas Sumatera Utara

16

Metalized Plastic (MP)
Metalized plastic merupakan kemasan kombinasi antara plastik dan
aluminium. Metallizing adalah teknik untuk membentuk membran tipis dengan
menyalurkan logam melalui permukaan kertas atau plasik film dalam kondisi
vakum. Walaupun lapisan

logam ini sangat tipis, sekiar 300-1000 Å

(0,03-0,1 μm) tetapi dapat meningkatkan perlindungan, menahan bau,
memberikan efek kilap, dan menahan gas (Matsumoto, 1999).
Pendugaan Umur Simpan
Penentuan umur simpan secara umum adalah penanganan suatu produk
dalam suatu kondisi yang dikehendaki dan dipantau setiap waktu sampai produk
tersebut menjadi rusak (Speigel, 1992). Penentuan umur simpan sangat penting
dalam proses penyimpanan. Oleh karena itu, dalam menentukan umur simpan
suatu produk pangan perlu dilakukan pengukuran terhadap atribut-atribut mutu
produk tersebut.
Penentuan umur simpan produk pangan dapat dilakukan dengan metode
Extended Storage Studies (ESS) dan Accelerated Shelf Life Testing (ASLT).
Metode ESS adalah penentuan tanggal kadaluarsa dengan cara menyimpan
produk pada kondisi normal sehari-hari sambil dilakukan pengamatan terhadap
penurunan mutu hingga mencapai mutu kadaluarsa. Metode ini sangat akurat dan
tepat, namun pelaksanaannya lama dan analisis karakteristik mutu yang dilakukan
relatif banyak. Metode ASLT adalah penentuan waktu kadaluarsa dengan
penerapan kondisi lingkungan yang memungkinkan reaksi penurunan mutu
produk pangan berlangsung lebih cepat. Keuntungan metode ini adalah waktu
pengujian yang relatif singkat (Arpah dan Syarief, 2000).

Universitas Sumatera Utara

17

Menurut Syarief, dkk., (1989), faktor-faktor yang mempengaruhi umur
simpan produk pangan yang dikemasan antara lain:
1. Kondisi atmosfer ruangan (terutama suhu dan kelembaban) dimana produk
pangan dapat bertahan selama perpindahan dan sebelum digunakan.
2. Keadaan alamiah atau sifat pangan dan mekanisme berlangsungnya
perubahan seperti kepekaan terhadap air dan oksigen dan kemungkinan
terjadinya perubahan kimia dan fisik.
3. Ukuran dan kekuatan keseluruhan dari kemasan terhadap keluar masuknya
air, gas dan bau, termasuk perekat, penutupan, dan bagian-bagian lain yang
terlipat.
Jenis parameter atau atribut mutu yang diuji tergantung pada jenis
produknya, seperti untuk produk yang berlemak parameter yang diukur biasanya
berupa derajat ketengikan, produk yang disimpan dalam bentuk beku atau dalam
kondisi dingin parameternya berupa pertumbuhan mikroba, dan untuk produk
berwujud bubuk, cair, atau kering parameter yang diukur adalah kadar airnya.
Untuk satu produk, yang diuji bukan semua parameternya, melainkan hanya salah
satu saja yaitu parameter yang paling cepat mempengaruhi penerimaan konsumen
(Larasati, 2013).
Penetapan umur simpan dan parameter sensori sangat penting pada tahap
penelitian dan pengembangan produk pangan baru. Pada skala industri besar atau
komersial, umur simpan ditentukan berdasarkan hasil analisis di laboratorium
yang didukung hasil evaluasi distribusi di lapangan. Berkaitan dengan
berkembangnya industri pangan skala usaha kecil-menengah, dipandang perlu
untuk mengembangkan penentuan umur simpan produk sebagai bentuk jaminan

Universitas Sumatera Utara

18

keamanan pangan. Penentuan umur simpan di tingkat industri pangan skala usaha
kecil menengah sering kali terkendala oleh faktor biaya, waktu, proses, fasilitas,
dan kurangnya pengetahuan produsen pangan (Herawati, 2008).
Metode Accelerated Shelf Life Testing (ASLT)
Untuk mempercepat waktu penentuan umur simpan tersebut maka
digunakan metode ASLT atau dikenal dengan sebutan metode akselerasi. Pada
metode ini, kondisi penyimpanan diatur diluar kondisi normal sehingga produk
dapat lebih cepat rusak dan penentuan umur simpan dapat ditentukan
(Arpah dan Syarief, 2000).
Penggunaan metode akselerasi harus disesuaikan dengan keadaan dan
faktor yang mempercepat kerusakan produk yang bersangkutan (Ellis, 1994).
Menurut Labuza (1982), meningkatnya suhu dan kelembaban udara pada kondisi
penyimpanan bahan pangan kering dapat digunakan sebagai metode untuk
mempersingkat

waktu

perkiraan

umur

simpan

suatu

produk

pangan

(metode akselerasi).
Penentuan umur simpan produk dengan metode Accelerated Shelf Life
Testing (ASLT) dapat dilakukan dengan dua pendekatan, yaitu: pendekatan kadar
air kritis dengan teori difusi dengan menggunakan perubahan kadar air dan
aktivitas air sebagai kriteria kadaluarsa, serta dengan pendekatan semi empiris
dengan bantuan persamaan Arrhenius (Koswara, 2004).
Pendugaan umur simpan dengan pendekatan kadar air kritis umumnya
digunakan untuk produk pangan yang relatif mudah rusak akibat penyerapan
kadar air dari lingkungan. Metode kadar air kritis, kerusakan produk didasarkan
hanya pada kerusakan produk akibat menyerap air dari luar hingga mencapai batas

Universitas Sumatera Utara

19

yang tidak dapat diterima secara sensori. Kadar air pada kondisi dimana produk
pangan mulai tidak dapat diterima secara sensori disebut kadar air kritis. Waktu
yang diperlukan oleh produk untuk mencapai kadar air kritis menyatakan umur
simpan produk. Produk pangan yang umur simpannya dapat ditentukan dengan
metode kadar air kritis antara lain biskuit, cookies, wafer, produk konfeksioneri,
makanan ringan (snack dan chips), dan produk instan (Larasati, 2013).
Menurut Latief (2012), kerusakan produk pangan dapat disebabkan oleh
adanya penyerapan air oleh produk selama penyimpanan. Kerusakan produk dapat
diamati dari penurunan kekerasan atau kerenyahan, dan peningkatan kelengketan
atau penggumpalan. Laju penyerapan air oleh produk pangan selama
penyimpanan dipengaruhi oleh tekanan uap air murni pada suhu udara tertentu,
permeabilitas uap air dan luas kemasan yang digunakan, kadar air awal produk,
berat kering awal produk, kadar air kritis, kadar air kesetimbangan pada RH
penyimpanan, dan slope kurva isotermis sorpsi air.
Faktor-faktor tersebut diformulasikan oleh Labuza (1982) menjadi model
matematika dan digunakan sebagai model untuk menduga umur simpan. Model
matematika ini dapat diterapkan khususnya untuk produk pangan yang memiliki
kurva isotermis sorpsi air berbentuk sigmoid. Labuza (1982) memformulasikan
persamaan penentuan umur simpan sebagai berikut.
 Me − Mi 
ln

Me − Mc 

t =
 k  A  Po 
 


 x  Ws  b 
Keterangan :
t
= Waktu yang diperlukan dalam kemasan untuk bergerak dari kadar air
awal menuju kadar air kritis atau waktu perkiraan umur simpan
(hari)

Universitas Sumatera Utara

20

Me
Mi
Mc
k/x
A
Ws
Po
b

=
=
=
=
=
=
=
=

Kadar air kesetimbangan produk (g H2O/g padatan)
Kadar air awal produk (g H2O/g padatan)
Kadar air kritis produk (g H20/g padatan)
Konstanta permeabilitas uap air kemasan (g/m2.hari.mmHg)
Luas permukaan kemasan (m2)
Berat kering produk dalam kemasan (g)
Tekanan uap jenuh (mmHg)
Kemiringan kurva sorpsi isotermis (yang diasumsikan linier antara
Mi dan Mc)

Kadar Air dan Aktivitas Air (aw)
Air dalam bahan pangan berperan sebagai pelarut dari beberapa
komponen selain ikut serta sebagai bahan pereaksi. Peranan air dalam bahan
pangan biasanya dinyatakan sebagai kadar air dan aktivitas air. Kadar air adalah
persentase kandungan air suatu bahan yang dapat dinyatakan berdasarkan berat
basah (wet basis) atau berdasarkan berat kering (dry basis). Kadar air berat basah
mempunyai batas maksimum teoritis sebesar 100%, sedangkan kadar air
berdasarkan berat kering dapat lebih dari 100 % (Syarief dan Halid, 1993).
Kadar air dan konsentrasi larutan hanya sedikit berhubungan dengan
sifat-sifat air yang terdapat dalam bahan pangan

dan tidak dapat digunakan

sebagai indikator nyata dalam menentukan ketahanan simpan. Karena itulah
muncul istilah aktivitas air (water activity, aw) yang digunakan untuk menjabarkan
air yang tidak terikat atau bebas dalam suatu sistem yang dapat menunjang reaksi
biologis atau kimiawi (Syarief dan Halid, 1993).
Aktivitas air (aw) merupakan faktor utama yang mempengaruhi
keamanan pangan dan kualitas pangan. Istilah aktivitas air digunakan untuk
menjabarkan air yang tidak terikat dalam bahan pangan. Kadar air dan aktivitas air
berpengaruh besar terhadap laju reaksi kimia dan laju pertumbuhan mikroba

Universitas Sumatera Utara

21

dalam bahan pangan yang pada akhirnya berpengaruh dalam menentukan mutu
dan umur simpan produk pangan selama penyimpanan (Deman, 2007).
Secara matematis Labuza (1982) mendefinisikan bahwa aktivitas air (aw)
dari suatu bahan pangan sebagai perbandingan antara tekanan uap air pada bahan
pangan (Pf) dengan tekanan uap air murni (Po) pada suhu yang sama:
aw

=

Pf
Po

(1)

Aktivitas air ini juga dapat didefinisikan sebagai kelembaban relatif
keseimbangan (Equilibrium Relatif Humidity, ERH) dibagi dengan 100
(Labuza, 1982).
aw =
Aktivitas

air

(aw)

menunjukkan

ERH
100

sifat

(2)
bahan,

sedangkan

ERH

menggambarkan sifat lingkungan sekitar yang berada dalam keadaan setimbang
dengan bahan tersebut. Peranan air dalam bahan pangan biasanya dinyatakan
dalam kadar air atau aw sedangkan peranan air di udara dinyatakan dalam
kelembaban relatif dan kelembaban mutlak (Sianipar, 2008). Bertambah atau
berkurangnya kandungan air suatu bahan pangan pada suatu keadaan lingkungan
sangat tergantung pada ERH lingkungannya (Dasa, 2011).
Kadar Air Kesetimbangan (Moisture Equilibrium, Me)
Kadar air keseimbangan suatu bahan didefinisikan sebagai tingkat kadar
air dari bahan tersebut setelah berada pada suatu kondisi lingkungannya dalam
periode waktu yang lama (Brooker, dkk., 1982). Sedangkan menurut
Heldman dan Singh (1981), kadar air kesetimbangan suatu bahan adalah kadar air
bahan saat tekanan uap air dari bahan tersebut dalam kondisi seimbang dengan

Universitas Sumatera Utara

22

lingkungannya, sedangkan kelembaban relatif pada saat terjadinya kadar
kesetimbangan tersebut disebut kelembaban relatif kesetimbangan.
Jika kelembaban relatif udara lebih tinggi dibandingkan bahan maka
bahan akan menyerap air (adsorpsi). Sebaliknya, jika kelembaban relatif udara
lebih rendah dibandingkan bahan maka bahan akan menguapkan kadar airnya
(desorpsi) (Sianipar, 2008). Kadar air kesetimbangan produk pangan digunakan
untuk menentukan dan menggambarkan kurva sorpsi isotermis. Penentuan kadar
air kesetimbangan memerlukan termodinamika udara (suhu dan kelembaban
relatif) dalam keadaan tetap (konstan). Kondisi setimbang diperoleh jika produk
sudah tidak lagi mengalami penambahan atau pengurangan bobot produk
(Rachatanapun, 2007).
Sorpsi Isotermis Air
Karakteristik hidratasi bahan pangan dapat diartikan sebagai karakteristik
fisik yang meliputi interaksi antara bahan pangan dengan molekul air di udara
sekitarnya. Secara umum, kondisi tersebut digambarkan dengan kurva sorpsi
isotermis, yaitu kurva yang menunjukkan hubungan antara kadar air bahan dengan
kelembaban relatif kesetimbangan ruang tempat penyimpanan bahan (RHs) atau
aw pada suhu tertentu (Syarief dan Halid, 1993). Andrade, dkk., (2011) juga
menyatakan bahwa kurva sorpsi isotermis bahan pangan menggambarkan
hubungan

termodinamika

antara

aktivitas

air

dan

kelembaban

relatif

kesetimbangan dari suatu produk pangan pada suhu dan tekanan yang konstan.

Universitas Sumatera Utara

23

Model Persamaan Sorpsi Isotermis
Model matematika mengenai sorpsi isotermis telah banyak ditemukan
oleh para ahli. Namun model-model matematika yang dikembangkan pada
umumnya tidak dapat mencakup keseluruhan kurva sorpsi isotermis. Kesesuaian
tiap model sorpsi isotermis produk pangan tergantung pada kisaran aw dan bahan
penyusun produk (Arpah, 2001).
Penggunaan model sorpsi isotermis juga sangat bergantung dari tujuan
pemakaian, jika ingin mendapatkan kemulusan kurva yang tinggi maka model
yang sederhana dan lebih sedikit jumlah tetapannya yang dievaluasi akan lebih
mudah penggunaannya (Labuza, 1982).
Ada beberapa model matematika yang umumnya digunakan untuk
menentukan kurva sorpsi isotermis bahan pangan, yaitu model Henderson, Caurie,
Oswin, Clayton, dan Hasley. Secara empiris, Henderson mengemukakan
persamaan yang menggambarkan hubungan antara kadar air kesetimbangan bahan
pangan dengan kelembaban relatif ruang simpan. Persamaan ini berlaku untuk
bahan pangan pada semua aktivitas air. Model Caurie berlaku untuk kebanyakan
bahan pangan pada selang aw 0,0-0,85 dan model Oswin berlaku untuk bahan
pangan pada RH 0-85%. Model Oswin juga sesuai bagi kurva sorpsi isotermis
yang berbentuk sigmoid. Sedangkan model Chen Clayton berlaku untuk bahan
pangan pada semua aktivitas air. Pada percobaanya Hasley mengemukakan suatu
persamaan yang dapat menggambarkan proses kondensasi pada lapisan
multilayer. Persamaan tersebut dapat digunakan untuk bahan makanan dengan
kelembaban relatif 10-81% (Arpah, 2001). Adapun persamaan dari model-model
tersebut disajikan pada Tabel 4.

Universitas Sumatera Utara

24

Tabel 4. Model-model persamaan sorpsi isotermis bahan pangan
Model
Persamaan
Henderson
1-aw = exp (-KMen)
Caurie
ln Me = ln P1 – P2*aw
Oswin
Me =P1[aw/(1-aw)]P2
Chen Clayton
aw = exp [-P1/exp(P2*Me)]
Hasley
aw=exp [-P1/(Me)P2]
Sumber: Labuza (1982).

Keterangan: aw = aktivitas air
Me= kadar air kesetimbangan
P1 = nilai a hasil regresi dari y=a+bx
P2 = nilai b hasil regresi dari y=a+bx

Universitas Sumatera Utara