Pemaknaan abdi dalem Kraton Yogyakarta terhadap tugas melaksanakan prosesi ritual labuhan di Gunung Merapi - USD Repository

Pemaknaan Abdi Dalem Kraton Yogyakarta Terhadap Tugas Melaksanakan Prosesi Ritual Labuhan Di Gunung Merapi

  

S k r i p s i

Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat

Memperoleh Gelar Sarjana Psikologi

Program Studi Psikologi

  

Disusun oleh :

Agus Subarjo

029114097

PROGRAM STUDI PSIKOLOGI JURUSAN PSIKOLOGI

  

FAKULTAS PSIKOLOGI

UNIVERSITAS SANATA DHARMA

YOGYAKARTA

2010

  

“GOLEK JENENG LUWIH ABOT

KETIMBANG GOLEK JENANG”

SEORANG MANUSIA MENGHARAPKAN “KESENANGAN”

DALAM HIDUPNYA, TAPI BAGAIMANA IA MENCARI

  

JALAN UNTUK MERAIH “KESENANGAN” ITU

MERUPAKAN PILIHAN BAGINYA

  

KUPERSEMBAHKAN IDE SEDERHANA INI

UNTUK PARA ABDI DALEM KRATON NGAYOGYAKARTA HADININGRAT BABE DAN SIMBOK MARWANTI QW

DAN SEMUA PARTIKEL-PARTIKEL YANG

MENYUSUN TERLAKSANANYA

  

Pemaknaan Abdi Dalem Kraton Yogyakarta Terhadap Tugas Melaksanakan

Prosesi Ritual Labuhan Di Gunung Merapi

Agus Subarjo

  

ABSTRAK

  Desain penelitian fenomenologi ini bertujuan untuk mengetahui pemaknaan

  

abdi dalem Kraton Yogyakarta terhadap tugas melaksanakan prosesi ritual labuhan di

  Gunung Merapi. Peneliti tertarik terhadap fenomena ini karena abdi dalem yang melaksanakan prosesi ritual labuhan di Gunung Merapi dihadapkan pada tugas yang sangat banyak, kondisi alam pegunungan yang punya potensi bahaya dan honor yang sedikit. Keadaan seperti ini ternyata tidak menyurutkan niat pengabdian. Berdasarkan fenomena tersebut peneliti ingin mengetahui bagaimana sebenarnya makna tugas melaksanakan prosesi ritual labuhan di Gunung Merapi bagi abdi dalem Kraton Yogyakarta. Subjek dalam penelitian ini sebanyak tujuh orang abdi dalem yang bertugas melaksanakan prosesi ritual labuhan di Gunung Merapi. Subjek diperoleh dengan teknik theoretical sampling dan saturated. Pengumpulan data diperoleh melalui wawancara yang mendalam. Analisis penelitian ini menggunakan modifikasi metode Stevick-Colaizzi-Kenn dari Moustakas (1994). Verifikasi data dilakukan dengan proses intersubjective validity yaitu menguji kembali pemahaman peneliti dengan pemahaman subjek melalui interaksi timbal balik atau disebut juga back-and-

  

forth . Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa bahwa makna tugas melaksanakan

  prosesi ritual labuhan di Gunung Merapi bagi abdi dalem Kraton Yogyakarta adalah sebagai bentuk perwujudan tradisi Jawa dalam menghormati leluhur sehingga akan memperoleh ketentraman hidup. Pengabdian terhadap raja dengan harapan mendapatkan berkah menjadikan abdi dalem mengabdi dengan sepenuh hati. Honor yang kecil, medan yang berat dan tugas yang banyak tidak menyurutkan semangatnya untuk bertugas melaksanakan prosesi ritual labuhan di Gunung Merapi.

  Kata kunci: abdi dalem, prosesi ritual labuhan, tradisi budaya Jawa, leluhur.

  

Understanding “Abdi Dalem” of Yogyakarta Palace’s Purport towards Their

Duty of Implementing the Ritual Procession of “Labuhan” in Merapi Mountain

  Agus Subarjo ABSTRACT

  This phenomenological research design aimed to figure out abdi dalem’s

(Yogyakarta Sultan Palace’s Servants) towards their duty in holding the ritual

procession of “labuhan” in Mount Merapi. The researcher is interested to this

phenomenon because those servants who held this ritual are faced to excessive duties

in mountainous nature which is potentially dangerous only got a very low salary.

This kind of condition is in fact do not withdrawing their devotion. Based on that

phenomenon, the researcher wanted to figure out the meaning of implementing ritual

procession of “labuhan” in Merapi Mountain for those “abdi dalem” of Yogyakarta

Palace. The subjects of this study are seven “abdi dalem” who are in charge in

performing the ritual procession in Mount Merapi. These subjects were gained

through theoretical sampling and saturated techniques. The data were collected

through deep interviews. For research analysis in this study, the researcher use

modification of Stevick-Colaizzi-Kenn from Moustakas (1994). The data verification

was done by intersubjective validity process which re-examined the researcher’s

understanding towards the subjects’ understanding through reciprocity interaction

which also called back-and-forth. The result of this research shows that the meaning

of implementing the ritual procession of “labuhan” in Merapi Mountain for “abdi

dalem” of Yogyakarta Palace is a mean of Javanese tradition’s actualization in

honoring their ancestors which in their beliefs will bring tranquility in their life.

Their devotion to the King with the expectation of getting a blessing make those

servants devoted obligingly. Low salaries, heavy environments and excessive duties

do not lessen their spirit to serve their King by performing the ritual procession in

Mount Merapi.

  

Keywords : “abdi dalem”, “labuhan” ritual procession, Javanese tradition, ancestors.

  Pemahaman orang Jawa akan kehidupan tidak bisa lepas dari pemaknaannya akan hubungan antara masyarakat, alam semesta dan alam adikodrati. Secara umum, manusia hidup ditengah-tengah masyarakat yang menempati alam semesta ini, begitu juga halnya dengan orang Jawa. Bagi orang Jawa, masyarakat dan alam semesta serta alam adikodrati berhubungan erat dan saling mempengaruhi. Ketiga hal tersebut diharapkan terjalin dalam sebuah keselarasan untuk mencapai keselamatan hidup.

  Perjalanan dalam mencapai keselarasan tersebut melahirkan perilaku-perilaku yang khas dan bahkan unik diantara orang Jawa, salah satunya yaitu prosesi ritual labuhan di Gunung Merapi yang diselenggarakan oleh Kraton Ngayogyakarta Hadiningrat yang dilaksanakan oleh para abdi dalemnya.

  Berawal dari rasa kagum dan rasa keingintahuan akan nilai yang terkandung pada fenomena tersebut, penulis melakukan sebuah penelitian kecil dengan judul “Pemaknaan Abdi Dalem Kraton Yogyakarta Terhadap Tugas Melaksanakan Prosesi Ritual Labuhan Di Gunung Merapi”. Disamping untuk memenuhi hasrat keingintahuan penulis, penelitian ini terutama sebagai pelengkap salah satu persyaratan memperoleh gelar sarjana psikologi pada program studi psikologi di Universitas Sanata Dharma Yogyakarta.

  Sebuah harapan akan manfaat hasil penelitian muncul bersamaan dengan khusus bagi para pemerhati dunia Jawa. Meskipun membutuhkan waktu yang panjang untuk memahami dunia Jawa, setidaknya penelitian ini bisa sebagai wacana dan refleksi diri yang berguna dimasa sekarang ini.

  Puji dan syukur serta terima kasih kepada Sang Kuasa Penyelenggara Alam Semesta atas ijin yang telah diberikan kepada penulis untuk hidup dan melaksanakan penelitian ini hingga selesai dengan baik. Dalam kesempatan ini, dengan tulus penulis mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang langsung maupun tidak langsung membantu menyelesaikan penelitian ini. Dengan segenap kerendahan dan ketulusan hati, penulis mengucapkan terima kasih secara khusus yang tak terhingga kepada:

  1. P. Henrietta PDADS., S.Psi., M.A. (mBak Etta) sebagai pembimbing yang telah banyak meluangkan waktu, energi dan membagi pengalamannya yang berharga untuk penulis dalam menyelesaikan penelitian ini.

  selaku dosen penguji yang telah menjadikan penelitian ini layak sebagai salah satu persyaratan kelulusan penulis serta untuk saran dan kritik yang sangat berguna untuk memperbaiki penelitian ini.

  3. Ibu Dr. Christina Siwi Handayani selaku Dekan Fakultas Psikologi atas kesempatan yang telah diberikan selama proses penyelesaian penulisan penelitian

  4. Ibu MM. Nimas Eki Suprawati S.Psi., Psi., M.Si. selaku dosen pembimbing akademik yang telah banyak memberikan saran dan bimbingan selama masa studi.

  6. Mas Gandung, mBak Nanik, Pak Giek, Kang Muji, Kang Doni yang selama ini telah banyak membantu kelancaran proses belajar selama saya hidup di Fakultas Psikologi Sanata Dharma.

  7. Bapak Dalijo, Ibu Sukirah, Bapak Walgito dan Ibu Ukasih yang selama ini telah memberikan bimbingan dengan kasih sayang yang tulus. Terima kasih buat doa, semangat, dan senyum serta kerja kerasnya untuk memenuhi semua fasilitas- fasilitas yang selama ini diberikan.

  8. Marwanti qw sebagai pendamping hidupku dan sebagai satu alasan untuk segera menyelesaikan kuliah ini. Dengan senyummu, penelitianku ini terasa lebih cepat selesai dan tidak melelahkan. Trimakasih juga untuk semua fasilitas yang diberikan, tanpa itu semua tidak akan berjalan selancar ini.

  9. Kawan-kawanku, sudah layak dan semestinya jika ucapan terima kasih yang banyak tertuju pada kalian semua. Kawan-kawan Bunker; Bang Disiplin yang selalu begadang bareng, Dani, Cinta, Danang, Aman, Bonar, Juna, Bima, Veno, Fa Nina, Sata. tukang ngupil, Si-Y sang pemikir, Dika “the fisherman”, Suko tukang bank, Kreteng tukang distro, Ciput sang pejuang cinta, Kowok sang “Oemar Bakri”, Achonk “the perfectionist”, Sapy sang pekerja Sosial, Itong, Eyank, Alit, Kingkol, Yoga, Klowor, Laura, d’ Sari, Seny, Ayu’, Tita, Missil (Alm), Chyntya (Alm). Tegukan kopi paling enak dan hisapan rokok paling nikmat ketika sedang berada ditengah-tengah kalian.

  11. Kawan-kawan seperjuangan dari ’98 sampai ’09 khususnya ’02 yang selalu bisa membuat banyak pengalaman berharga terasa menyenangkan; Adi, Dodi yang menjadi perantara peminjaman buku, Si-B, Andre (Alm), Prima, Si-Thol, Meme, Sani, Vembri, Momo, Kacung, Cuky, Broto, Jaya, Femby sang Vokalis, Lisna, Aan, Bona, Sius, Tissa, Ohaq, Dani, Nining, Nuke, Eny, Hera dan masih banyak lagi yang tidak mampu disebutkan satu persatu.

  12. Kawan-kawan penghuni terakhir yang siang malam tanpa merasa lelah berada di depan komputer Doni Gombloh, Tissa, Hany, Ian, Si-Y, Si-B, Windra, Dika, Ching-He, Si-Thol, Dimas, Eyank, Linda, bersama kalian semangat untuk menyelesaikan penelitian ini semakin besar.

  13. Kawan-kawan Ngireng Ngireng yang menyenangkan Mami, Galang, Ernest, Ira, Fani, Bambang, Asti, Grace, Ika, keluarga Bapak Sunarjo, meskipun sebentar tapi berkesan.

  14. Kraton Ngayogyakarta Hadiningrat atas segala dukungan kepada saya untuk putri (matur sembah nuwun kagem dongonipun mBah), mBah Maridjan, Bapak Asih, Ibu Mursani, Bapak Tukiyah, Bapak Saji, mBak Utik. Terima kasih untuk segala pengalaman hebat yang telah diceritakan sekaligus ditunjukkan kepada saya.

  15. Mahkluk-mahkluk yang kurang begitu kasat mata dan para leluhur yang bersemayam di Gunung Merapi khususnya kepada Nyai Gadung Mlati dan Eyang Sapu Jagad atas sapaan dan dukungannya sehingga memperlancar penelitian ini. Mugi sedoyo kemawon pikantuk berkah katentreman saking

  Pangeran.

  Menyadari bahwa banyak keterbatasan dalam penelitian ini kiranya kritik dan saran untuk menjadikan yang lebih baik sangat terbuka lebar bagi siapa saja.

  Meskipun hanya kecil, semoga penelitian ini bermanfaat bagi kita.

  Penulis Agus Subarjo

  DAFTAR ISI HALAMAN JUDUL ........................................................................................ i HALAMAN PERSETUJUAN DOSEN PEMBIMBING ................................ ii HALAMAN PENGESAHAN DOSEN PENGUJI .......................................... iii HALAMAN MOTTO ...................................................................................... iv HALAMAN PERSEMBAHAN ...................................................................... v HALAMAN PERNYATAAN KEASLIAN KARYA ..................................... vi ABSTRAK ....................................................................................................... vii ABSTRACT ..................................................................................................... viii HALAMAN PERSETUJUAN PUBLIKASI KARYA ILMIAH .................... ix KATA PENGANTAR ..................................................................................... x DAFTAR ISI .................................................................................................... xv DAFTAR TABEL ............................................................................................ xviii DAFTAR SKEMA ........................................................................................... xix DAFTAR LAMPIRAN .................................................................................... xx BAB I. PENDAHULUAN ...............................................................................

  1

  B.

  11 Rumusan Masalah ................................................................................

  C.

  12 Tujuan Penelitian .................................................................................

  D.

  12 Manfaat Penelitian ...............................................................................

  1.

  12 Manfaat Teoritis .......................................................................

  2.

  12 Manfaat Praktis ........................................................................

  BAB II. TINJAUAN PUSTAKA .....................................................................

  13 A.

  13 Abdi Dalem ..........................................................................................

  1.

  13 Pengertian Abdi Dalem ............................................................

  2.

  15 Jaminan Bagi Abdi Dalem ........................................................

  B.

  17 Tradisi Budaya Jawa ............................................................................

  1.

  17 Karakteristik Budaya Jawa .......................................................

  2.

  18 Raja Bagi Masyarakat Jawa .....................................................

  C.

  21 Prosesi Ritual Labuhan di Gunung Merapi ..........................................

  1.

  21 Labuhan ....................................................................................

  2.

  22 Rangkaian dan Lokasi Labuhan ...............................................

  3.

  24 Tugas Abdi Dalem Dalam Upacara Labuhan ...........................

  D.

  26 Kerangka Penelitian .............................................................................

  BAB III. METODE PENELITIAN .................................................................

  28 A.

  28 Jenis Penelitian .....................................................................................

  B.

  31 Fokus Penelitian ...................................................................................

  D.

  32 Subjek Penelitian ..................................................................................

  E.

  32 Metode Pengumpulan Data ..................................................................

  F.

  33 Analisa Data .........................................................................................

  G.

  34 Verifikasi Data .....................................................................................

  BAB IV. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN ................................

  35 A.

  35 Pelaksanaan Penelitian .........................................................................

  B.

  37 Pandangan Peneliti ...............................................................................

  C.

  40 Deskripsi Subjek Penelitian .................................................................

  D.

  45 Analisa Data dan Hasil Penelitian ........................................................

  1. Hal-hal yang Dialami dan Bagaimana Hal-hal Tersebut Dialami 45 2.

  59 Sintesa Data Pengalaman .........................................................

  E.

  61 Pembahasan Peneitian ..........................................................................

  BAB V. KESIMPULAN DAN SARAN ..........................................................

  72 A.

  72 Kesimpulan ..........................................................................................

  B.

  73 Keterbatasan Penelitian ........................................................................

  C.

  74 Saran ..................................................................................................... DAFTAR PUSTAKA ......................................................................................

  76 LAMPIRAN .....................................................................................................

  80

  DAFTAR TABEL Table 1. Deskripsi Subjek ................................................................................

  44 Table 2. Pengalaman Abdi Dalem ....................................................................

  58 Tabel 3. Sintesis Data Pengalaman ..................................................................

  60

  DAFTAR SKEMA Skema 1. Skema Dinamika Pengalaman ..........................................................

  62

  DAFTAR LAMPIRAN Lampiran 1. Verbatim Subjek 1 .......................................................................

  79 Lampiran 2. Horozonalization Subjek 1 .......................................................... 140 Lampiran 3. Tekstural Subjek 1 ....................................................................... 178 Lampiran 4. Struktural Subjek 1 ...................................................................... 181

  harmoni, yang terdiri dari dua bagian kosmos atau alam yang tidak bisa dipisahkan yaitu mikrokosmos (jagad cilik) dan makrokosmos (jagad gede). Pemahaman terhadap mikrokosmos atau jagad alit adalah sikap dan pandangan hidup terhadap dunia nyata yang tercermin dalam kehidupan sehari-hari. Sedangkan pemahaman terhadap makrokosmos atau jagad gede adalah sikap dan pandangan hidup terhadap alam semesta yang mempunyai kekuatan supranatural dan penuh dengan hal-hal yang bersifat misterius (Lugito, H. 2006. Mitos Kekuasaan dan Pertanda Alam. Diunduh 24 Agustus, 2009, dari http://www.gatra.com/2006-07- 01/artikel.php?id=95843).

  Alam semesta tidak hanya terdiri dari bentuk fisiknya saja tetapi juga mengandung kekuatan supranatural yang dipercaya berasal dari roh-roh atau arwah-arwah leluhur juga harus mendapat porsi yang seimbang dalam hal penghormatan. Bagi orang Jawa, roh-roh atau arwah-arwah leluhur tersebut dipercaya dapat mendatangkan keselamatan, kebahagiaan, keberuntungan, bahkan petaka, dan juga dapat menjadi perantara doa-doa yang dipanjatkan kepada Yang tersebut diwujudkan dalam berbagai upacara-upacara ritual kejawen dan pemberian sesaji. Dunia bagi orang Jawa tidak sekedar dari apa yang bisa dilihat saja, akan tetapi juga terdapat unsur metafisik yang tidak kasad mata yang biasa di sebut sebagai alam gaib (Lugito, H. 2006. Mitos Kekuasaan dan Pertanda Alam.

  Diunduh 24 Agustus, 2009, dari http://www.gatra.com/2006-07- 01/artikel.php?id=95843). Apabila hubungan makrokosmos dan mikrokosmos beserta pemahamannya terjalin dengan baik atau selaras maka kehidupan di dunia ini akan menjadi harmonis. Salah satu contoh usaha untuk menyelaraskan hubungan tersebut yang masih terjaga dari dulu sampai sekarang ini oleh masyarakat Jawa khususnya Yogyakarta adalah ritual labuhan di Gunung Merapi untuk memperingati Tingalan Jumenengan Dalem Nata Sri Sultan Hamengku Buwono sebagai raja Yogyakarta.

  Laut Selatan, Kraton Yogyakarta, dan Gunung Merapi adalah kesatuan yang tidak dapat di pisahkan dari sebuah pemahaman akan dunia sebagai suatu harmoni bagi masyarakat Jawa. Keterkaitan akan ketiga tempat tersebut berhubungan dengan legitimasi pendiri Kerajaan Mataram yaitu Panembahan Senopati. Ada beberapa versi menyangkut awal mula kenapa diadakan labuhan di Pantai Selatan dan Gunung Merapi. Salah satu versinya yaitu bermula dari pertapaan Penembahan Senopati di Watu Gilang yang berada di Parang Kusumo dan bertemu kali pertama dengan penguasa kerajaan gaib Laut Selatan yang sering Panembahan Senopati beserta keturunannya akan menjadi penguasa di Jawa dengan syarat Panembahan Senopati mau menjadi istri dari Ratu Kidul dan makan telur yang diberinya. Sesampai di kediamannya, Panembahan Senopati tidak memakan telur tersebut, maka telur itu diberikan pada abdi juru taman untuk memakannya. Setelah memakan telur tersebut abdi juru taman berubah menjadi raksasa. Karena kejadian itulah maka Panembahan Senopati memberinya nama Ki Sapu Jagat dan selanjutnya diperintahkan untuk menjaga Gunung Merapi (Semarak Upacara Adat Labuhan Merapi. Diunduh 24 Agustus, 2009, dari http://www.tourismsleman.com/index.php?option=com_content&taks=view&id=1 19&Itemid=43&lang=id_ID).

  Kisah lain yang melatarbelakangi labuhan di Gunung Merapi adalah ketika penasehat Kerajaan Mataram yang bernama Ki Juru Martani diutus oleh Panembahan Senopati untuk pergi ke Gunung Merapi meminta kekuatan dari alam guna menghadapi serangan dari Kerajaan Pajang. Alhasil, pasukan Kerajaan Pajang yang baru sampai di sekitar Prambanan terkena letusan Gunung Merapi (Lugito, H. 2006. Mitos Kekuasaan dan Pertanda Alam. Diunduh 24 Agustus, 2009, dari http://www.gatra.com/2006-07-01/artikel.php?id=95843). Dari peristiwa-peristiwa tersebut lahirlah sebuah tradisi yang pada masa bertahtanya Panembahan Senopati sampai sekarang masih terjaga kelangsungannya yaitu labuhan. Maksud diadakannya labuhan ini adalah wujud dari rasa syukur kepada mendoakan keselamatan Sri Sultan sebagai raja dari Kraton Yogyakarta serta keselamatan seluruh rakyatnya.

  Labuhan berasal dari kata “labuh” yang bermakna melarung (Syah, R. 2006. Labuhan Alit. Diunduh 15 Juli, 2008, dari http://www.yogyes.com/id/yogyakarta-tourism-article/labuhan-alit/). Ada dua jenis labuhan, yaitu Labuhan Ageng dan Labuhan Alit. Labuhan Ageng dilaksanakan delapan tahun sekali berdasarkan tahun Dal, tempat-tempat yang di gunakan untuk upacara Labuhan Ageng ini adalah Pantai Parang Kusumo, Gunung Merapi, Gunung Lawu dan Dlepih Kahyangan. Sedangkan labuhan Alit dilaksanakan setiap tahun yaitu pada tanggal 30 bulan Rajab penanggalan Jawa dan tidak menyertakan satu tempat yaitu Dlepih Kahyangan. Kedua labuhan tersebut merupakan rangkaian upacara untuk memperingati Tingalan Jumenengan Dalem Nata atau penobatan Sultan (Semarak Upacara Adat Labuhan Merapi. Diunduh 24 Agustus, 2009, dari http://www.tourismsleman.com/index.php?option=com_content&taks=view&id=1 19&Itemid=43&lang=id_ID). Puncak acara labuhan Gunung Merapi bertempat di Pos II Gunung Merapi, atau sering disebut Pendapa Labuhan Gunung Merapi.

  Sedangkan prosesi ritualnya sendiri dipimpin langsung oleh seorang abdi dalem Kraton Yogyakarta sebagai juru kunci Gunung Merapi yang pada masa ini dipegang oleh R.Ng. Surakso Hargo atau lebih dikenal dengan sebutan mBah

  2009, dari http://www.indosiar.com/news/sapa/63777/mbah-marijan-pimpin- labuhan-jumenengan-hb-x).

  Acara dimulai dengan serah terima uborampe labuhan dari Kraton Yogyakarta Hadiningrat oleh Camat Depok kepada Camat Cangkringan yang diteruskan kepada juru kunci Gunung Merapi, R.Ng. Surakso Hargo. Setelah acara serah terima selesai, uborampe akan disemayamkan di kediaman R.Ng. Surakso Hargo sebelum dilabuh pada pagi harinya. Perjalanan dimulai dari kediaman R.Ng. Surakso Hargo menuju Pos I atau disebut juga Srimanganti, tempatnya berupa undak-undakan dengan gapura putih terdapat batu besar yang disebut Selo Dampit. Srimanganti dianggap sebagai pintu gerbang Kraton Hargo Merapi. Di sini uborampe upacara labuhan alit diletakkan diatas batu Selo Dampit, kemudian R.Ng. Surakso Hargo membakar dupa gondo arum dan menyampaikan maksud kedatangan mereka, bersamaan dengan itu doa dibacakan oleh seorang abdi dalem dalam bahasa Arab (Semarak Upacara Adat Labuhan Merapi. Diunduh 24 Agustus, 2009, dari http://www.tourismsleman.com/index.php?option=com_content&taks=view&id=1 19&Itemid=43&lang=id_ID).

  Setelah acara di Pos I selesai, rombongan menuju Pos II yang merupakan tempat pelaksanaan inti dari labuhan. Pos II ini sering disebut juga Pendopo Labuhan. Bagian depan Pos II ini berupa undak-undakan dengan gapura pendapa yang diapit dua buah cungkup atau bangunan pendopo kecil di sisi kiri dan kanannya. Setelah semua kelengkapan labuhan diperiksa kesiapan dan kelengkapannya, dimulailah pemanjatan doa dan puji-pujian yang ditujukan pada Sang Maha Kuasa. Tidak ketinggalan juga doa-doa diberikan pada para leluhur yang bersemayam di Gunung Merapi sebagai bentuk penghormatan. Setelah pemanjatan doa dan puji-pujian selesai dilaksanakan yang kurang lebih menghabiskan waktu selama satu jam, para abdi dalem segera membagi-bagikan sesaji kepada para peziarah yang berada di tempat itu. Sesaji yang dibagikan itu diantaranya bunga dan berbagai makanan yang telah didoakan sebelumnya.

  Menurut kepercayaan masyarakat, apabila labuhan ini tidak dilaksanakan akan terjadi sesuatu yang tidak diinginkan yang akan menimpa masyarakat, seperti wabah penyakit dan bencana alam (Sig. (2001, Oktober 19). Ngalap Berkah Labuhan Merapi. Bernas. Diunduh 24 Augstus, 2009, dari http:www.indomedia.com/bernas/102001/20/UTAMA/20utal.htm).

  Sebuah tradisi yang masih terjaga dari zaman dahulu sampai sekarang ini tidak lepas dari peran banyak pihak. Selain masyarakat itu sendiri yang tetap menjaga kelangsungannya, juga mereka para abdi dalem kraton yang tetap setia menjadi fasilitator dalam berbagai acara-acara ritual tersebut. Abdi dalem adalah orang yang secara suka rela mengabdikan hidupnya sebagai pelayan di kraton dan kepada Sultan serta keluarganya. Mereka mempersiapkan hampir semua Jawa baik di luar maupun di dalam kraton (Abdi Dalem Volunteer of Loyalty, Guardian of Javanese Tradition. Diunduh 24 Agustus, 2009, dari . Para abdi dalem tersebut mengabdi dengan sepenuh hati kepada rajanya yaitu Sri Sultan, yang mereka sebut sebagai Ngarso Dalem, bukan karena mengharap imbalan materi yang terbilang sangat jauh dari UMP, yaitu hanya berkisar antara Rp 5000 sampai Rp 10.000 perbulan tetapi lebih karena ingin mendapatkan berkah dan ketentraman hidup, dalam bahasa Jawanya adalah ngalap berkah. Seperti mBah Maridjan sebagai abdi

  dalem Kraton Yogyakarta yang menjadi juru kunci Gunung Merapi, ia hanya menerima Rp 8500 perbulan (Pujo Miyono, wawancara, 17 Agustus 2009).

  Labuhan yang dilaksanakan di Gunung Merapi banyak melibatkan para

  abdi dalem Kraton Yogyakarta, baik yang wanita maupun yang pria, yang tua

  maupun yang muda. Mereka dengan penuh pengabdian mempersiapkan segala sesuatunya dengan baik mulai dari awal sampai akhir upacara. Persiapan yang dilakukan bukan sekedar mempersiapkan hal-hal yang bersifat fisik seperti

  uborampe labuhan, akan tetapi mereka juga mempersiapkan diri mereka sendiri untuk menjalankan upacara labuhan tersebut, diantaranya adalah puasa dan tirakat.

  Jika dilihat dari banyaknya ragam uborampe yang harus dipersiapkan secara detail dan tidak boleh kurang seperti kain cangkring, semekan bangun tulak gading, kawung kemplong, kampuh poleng, destar doro muluk, rokok, peningset udaraga, maka bukan tidak mungkin persiapan tersebut harus dimulai jauh-jauh hari sebelumnya (Labuhan Merapi. Diunduh 21 Juni, 2009, dari http://www.disbudpar- diy.go.id/dkb/detil.php?id=27). Belum lagi ketika mereka harus mempersiapkan diri mereka dengan puasa dan tirakat yang tentunya apabila tidak dilakukan dengan sepenuh hati akan menjadi hal yang sangat berat.

  Bagi para abdi dalem Kraton Yogyakarta, sudah menjadi kewajiban apabila melaksanakan suatu upacara harus mengenakan pakaian adat Jawa, yaitu mengenakan kain jarik dan surjan bagi para pria atau kebaya bagi para wanita (Sig. (2001, Oktober 19). Ngalap Berkah Labuhan Merapi. Bernas. Diunduh 24 Augstus, 2009, dari http:www.indomedia.com/bernas/102001/20/UTAMA/20utal.htm). Bisa dibayangkan bagaimana ketika mereka menaiki lereng Gunung Merapi menuju tempat yang disebut sebagai Pendopo Labuhan sambil membawa berbagai macam

  uborampe yang telah dipersiapkan sebelumnya dengan mengenakan pakaian adat

  lengkap tentu akan sangat merepotkan sekali. Kebanyakan dari mereka adalah orang-orang yang sudah berumur 50 tahun sampai 60 tahun, tetapi mereka tampak bersemangat sekali dan dengan hati yang tulus berjalan menaiki lereng gunung walaupun sesekali mereka harus mengatur nafas yang mulai tidak teratur dan berat (Sig. (2001, Oktober 19). Ngalap Berkah Labuhan Merapi. Bernas. Diunduh 24 Augstus, 2009, dari total melaksanakan ritual labuhan yang sudah berlangsung ratusan tahun itu. Pada waktu terjadi gejolak di Gunung Merapi pun para abdi dalem itu percaya mendapat perlindungan dari Yang Maha Kuasa dan tetap melakukan upacara labuhan, seakan-akan tidak memperdulikan bahaya yang sewaktu-waktu bisa menimpanya (Pujo Miyono, wawancara, 17 Agustus 2009).

  Sudah mempunyai niat sebagai abdi dalem maka segala perintah dari junjungan adalah nomor satu, walaupun itu harus meninggalkan aktivitasnya dalam rutinitas keseharian. Sebenarnya sebagai abdi dalem ini tidak tiap hari dalam melaksanakan tugasnya sebagai abdi dalem. Sudah ada jadwal-jadwal tertentu untuk bertugas. Meskipun begitu, tetap saja harus siap tatkala junjungan memerintahkan untuk melaksanakan tugas yang diberikan saat itu (Pujo Miyono, wawancara, 2010). Seperti yang telah diceritakan oleh Pujo Miyono bahwa menjadi abdi dalem adalah berasal dari niatnya, sehingga ketika melakanakan tugas dari junjungan harus diutamakan terlebih dahulu. Seperti halnya labuhan yang dilaksanakan satu tahun sekali ini, para abdi dalem tersebut melaksanakan kewajiban melangsungkan prosesi ritual labuhan sebagai salah satu pelaksanaan titah dari junjungannya meskipun pada saat prosesi tersebut harus meninggalkan aktivitas kesehariannya seperti mengolah ladang dan ternak. Hal senada diungkapkan oleh Samiyem (wawancara, 24 Januari 2010)

  “Ne ngatur papan labuhan niku sing penting ngatur papan kagem Pengertiannya yaitu mengatur tempat labuhan untuk perayaan Sultan adalah hal yang penting dan hal tersebut menjadi kewajiban yang diberikan kepada para abdi. Sudah menjadi kewajiban pula bahwa jauh waktu sebelum prosesi labuhan dilaksanakan yaitu sekitar dua bulan sebelumnya dalam tiap minggu para abdi

  

dalem mempersiapkan rute yang akan dilalui saat prosesi berlangsung. Rute yang

  akan dilalui yaitu dari kediaman juru kunci Gunung Merapi yaitu mBah Maridjan sampai di Pos II pendakian Merapi atau sering disebut Pendopo Labuhan.

  Berdasarkan berbagai fakta yang ada di lapangan tersebut, peneliti mencoba untuk mengetahui apa makna tugas melaksanakan prosesi ritual labuhan di Gunung Merapi bagi para abdi dalem Kraton Yogyakarta, sehingga mereka dapat dengan bebas mengungkapkan pengalaman-pengalamannya. Seperti yang diungkapkan Frankl (dalam Schultz 1991) bahwa keinginan akan arti atau makna adalah satu dorongan yang fundamental bagi manusia. Kemauan arti atau makna sangat penting untuk kesehatan psikologis dan dalam situasi-situasi yang gawat, kemauan akan arti perlu sekedar supaya tetap hidup. Tanpa arti atau makna untuk kehidupan, tidak ada alasan untuk meneruskan kehidupan. Metode yang akan digunakan dalam penelitian ini adalah fenomenologi. Metode fenomeologi dapat digunakan untuk menjelaskan arti dari pengalaman-pengalaman hidup yang berarti dari seseorang (Creswell, 1998). Hal senada diungkapkan oleh Husserl (dalam Hadiwijoyo, 1980) bahwa pengalaman yang dengan sadar dapat memberikan utama dari fenomenologi adalah pemaknaan terhadap fenomena, dalam penelitian ini adalah pemaknaan abdi dalem Kraton Yogyakarta terhadap tugasnya melaksanakan prosesi ritual labuhan di Gunung Merapi. Proses pengalaman yang dialami oleh para abdi dalem Kraton Yogyakarta dalam menjalankan prosesi ritual labuhan di Gunung Merapi yang sudah berlangsung lama tersebut melahirkan suatu sikap tersendiri sebagai perwujudan dari pemaknaan mereka terhadap prosesi ritual labuhan.

  Berbagai macam kejadian dan hal yang mereka alami seperti kondisi alam pegunungan yang harus mereka hadapi, berbagai macam kemungkinan bahaya yang mengancam, berbagai macam bentuk ‘laku’ spiritual yang harus dijalani dan imbalan materi yang terbilang sedikit untuk saat ini, merupakan suatu hal yang menarik dan fenomena yang sudah jarang ditemui pada masa sekarang ini. Tidak hanya itu saja, perjalanan yang mereka tempuh bukan hanya saat prosesi labuhan saja melainkan sebelumnya mereka juga harus menaiki lereng Gunung Merapi tersebut guna mempersiapkan rute labuhan. Melalui penelitian ini, peneliti berharap para abdi dalem dapat mengungkapkan pemaknaan mereka akan pengalamannya melaksanakan prosesi ritual labuhan di Gunung Merapi.

  Bagaimana makna tugas melaksanakan prosesi ritual labuhan di

  C. Tujuan Penelitian

  Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui makna tugas melaksanakan prosesi ritual labuhan di Gunung Merapi bagi abdi dalem Kraton Yogyakarta.

  D. Manfaat Penelitian

  1. Manfaat Teoritis Manfaat teoritis dari penelitian ini adalah untuk menyajikan fakta-fakta dan wacana guna perkembangan ilmu di bidang sosial dan budaya, baik untuk psikologi sosial, psikologi kepribadian maupun psikologi budaya.

  2. Manfaat Praktis

  a. Hasil penelitian ini dapat digunakan sebagai bahan refleksi bagi abdi

  dalem itu sendiri untuk lebih memahami keberadaan mereka sebagai abdi dalem dari Kraton Yogyakarta dan sebagai pelaku tradisi budaya Jawa.

  b. Hasil penelitian ini dapat digunakan sebagai bahan refleksi bagi pemerintah dan masyarakat tentang pengabdian tulus yang dilakukan oleh para abdi dalem sebagai salah satu pelaku tradisi budaya Jawa di Kraton Yogyakarta dan untuk mengembangkan berbagai macam aspek yang dapat memberikan masukan positif dari diadakannya labuhan di Gunung

BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Abdi Dalem 1. Pengertian Abdi Dalem Dalam Kamus Bahasa Indonesia (1988), pengertian abdi berarti orang

  yang bekerja sebagai pegawai negeri atau sebagai orang bawahan dan tidak harus menjual dirinya. Bagi masyarakat Yogyakarta istilah abdi dalem sudah akrab terdengar, akan tetapi tugas maupun berasal dari golongan apa belum banyak yang memahami. Menurut RA Maharkesti (dalam Kabare Jogja, edisi

  XIV 2003), abdi dalem Kraton Yogyakarta adalah semua orang, baik laki-laki maupun perempuan, yang bekerja di dalam lingkungan Kraton Yogyakarta, lebih dari sekedar pembantu rumah tangga. Mereka mencakup juga aparat pemerintahan yang mendukung seluruh aktivitas di Kraton Yogyakarta. Pada zaman pemerintahan Hamengku Buwono VIII, abdi dalem Kraton Yogyakarta secara umum dibagi ke dalam dua golongan. Pertama adalah abdi dalem perempuan, yang biasa disebut abdi dalem Keparak, dan kedua adalah abdi

  

dalem laki-laki. Khusuh abdi dalem laki-laki tidak ada sebutan khusus, cukup

dengan sebutan abdi dalem.

  Abdi dalem adalah orang-orang yang dengan suka rela memberikan

  pelayanannya pada kraton, Sultan dan keluarga kraton. Mereka menyiapkan tradisional Jawa baik di dalam kraton maupun di luar kraton. Abdi dalem diorganisir berdasarkan pelayanan fungsionalnya (Abdi Dalem Volunteer of Loyalty, Guardian of Javanese Tradition. Diunduh 24 Agustus, 2009, da

  Menurut KRT Sastroatmodjo (dalam Kabare Jogja, edisi XIV 2003),

  

abdi dalem tidak sekedar pesuruh atau pembantu, tapi merupakan ujung tombak

  dalam mempromosikan kraton, mensosialisasikan sejarah kraton, dan mentransformasikan pernak-pernik kraton pada masyarakat. Boleh dibilang bahwa abdi dalem merupakan living monument (monument hidup). Ia menjadi saksi hidup dari rangkaian sejarah yang terukir dari zaman ke zaman, hingga saat ini.

  Keterkaitan abdi dalem dengan kraton sudah berlangsung lama yaitu sejak berdirinya Kasultanan Yogyakarta dan sejak itulah istilah abdi dalem lahir. Gaji bukanlah ukuran bagi seseorang sehingga ia tertarik menjadi abdi

  

dalem . Bagi mereka, pengakuan sebagai abdi dalem oleh pihak Kraton

  Yogyakarta dan Puro Pakualaman merupakan anugerah karena mereka bisa

  

ngabehi dan lelabuh kepada raja atau sering disebut Ngarso Dalem (Kabare

Jogja, edisi XIV 2003).

  Untuk menjadi abdi dalem Kraton Yogyakarta terbuka bagi siapa saja, baik laki-laki maupun perempuan. Bagi laki-laki yang ingin mendaftarkan diri Punokawan Puraraksa, sedang bagi wanita mendaftarkan diri di kantor Keparak Para Gusti (Maharkesti, dalam Kabare Jogja edisi XIV, 2003).

  Sebelum diangkat menjadi abdi dalem kraton, calon yang memenuhi syarat harus menempuh masa magang terlebih dahulu selama kurang lebih dua tahun. Dalam masa pengabdiannya selama magang tersebut prestasi kerja calon akan dinilai. Para magang yang dinilai memenuhi syarat dan bekerja dengan baik mempunyai kesempatan untuk diangkat secara resmi menjadi abdi dalem Kraton Yogyakarta.

  Pengangkatan seorang magang menjadi abdi dalem resmi di Kraton Yogyakarta, ditandai dengan surat kekancingan yang ditandatangani langsung oleh Sri Sultan yang sedang berkuasa. Surat kekancingan yang dikeluarkan tersebut hanya bersifat sementara. Surat kekancingan yang asli baru akan dikeluarkan pada saat Tingalan Dalem Sri Sultan yang berkuasa pada saat itu (Kabare Jogja XIV, 2003).

  Berdasarkan beberapa pengertian abdi dalem tersebut dapat disimpulkan bahwa abdi dalem ialah semua orang yang bekerja untuk mendukung seluruh aktivitas kraton yang pengangkatannya ditandai dengan surat kekancingan yang ditandatangani oleh Sri Sultan yang sedang berkuasa pada masanya.

  Kraton Yogyakarta memberikan jaminan kepada para abdi dalem yang

  

Pralaya atau semacam asuransi jiwa dan Banda Pasinaon atau bantuan dana

bagi anak-anak abdi dalem untuk sekolah (Kabare Jogja XIV, 2003).

  Bagi abdi dalem yang sakit dan berobat di rumah sakit pemerintah akan mendapatkan jaminan biaya dari kraton. Abdi dalem yang sakit dan berobat di rumah sakit pemerintah ini hanya diberikan bagi mereka yang sakit tidak menahun sebesar seratus persen. Bagi abdi dalem yang meninggal akan mendapat jaminan sebesar Rp. 100.000,00, sementara jika istri abdi dalem yang meninggal akan mendapat bantuan dana sebesar Rp. 25.000,00. Banda

  

Pasinaon diberikan kepada abdi dalem yang anak-anaknya membutuhkan

  bantuan dana untuk proses belajar mengajar. Bantuan diberikan dalam bentuk pinjaman yang diangsur tanpa bunga, yang besar pinjamannya disesuaikan dengan kedudukan abdi dalem (Kabare Jogja XIV, 2003).

  Kraton Yogyakarta memberikan gaji pada abdi dalem sesuai dengan jenjang kepangkatannya. Untuk gaji terendah abdi dalem berpangkat jajar caos sebesar Rp. 8.000,00, untuk abdi dalem berpangkat bupati caos menerima sekitar Rp. 34.000,00 ditambah uang makan sekali sehari sebesar Rp. 150,00 sekali caos (bekerja), sedangkan gaji tertinggi yang diberikan kepada abdi

  

dalem sebesar Rp.40.000,00 untuk abdi dalem yang berpangkat bupati tepas

(Kabare Jogja XIV, 2003).

  Seseorang yang sudah menjadi abdi dalem Kraton Yogyakarta menjalankan tugasnya namun masih menunjukkan kesetiaan kepada kraton digolongkan menjadi Miji Sadana Mulya. Golongan ini mendapatkan 45 persen gaji dengan kalenggahan tetap. Bagi yang tidak melaksanakan tugas atau mengabaikan kewajiban digolongkan ke dalam Miji Tumpukan. Untuk golongan ini mendapatkan 25 persen gaji dengan kedudukan yang tetap, tetapi tidak ada pekerjaan. Status ini akan berlangsung sekitar enam bulan. Apabila selama enam bulam tidak ada klarifikasi atau perbaikan maka pangkat dan kedudukan yang bersangkutan akan ditarik. Pemecatan dilakukan apabila seorang abdi dalem telah mencemarkan nama kraton (Joyokusumo, dalam Kabare Jogja edisi XIV 2003).

B. Tradisi Budaya Jawa 1. Karakteristik Budaya Jawa

  Yang menjadi ciri tradisi budaya Jawa adalah pandangan hidup berdasarkan pola hubungan manusia dengan Tuhan, manusia dengan manusia, manusia dengan alam. Dalam hubungannya manusia dengan Tuhan, manusia mengutamakan tingkah laku batin dengan tidak mengabaikan tingkah laku lahir. Artinya bahwa manusia dengan menggunakan jiwanya selalu diingat atau

  

“eling” kepada Tuhan dan tetap berperilaku baik terhadap sesama. Manusia

  pada dasarnya berasal dari roh Tuhan, sehingga tingkah laku hidup manusia diharapkan selaras dengan kehendak Tuhan. Usaha menyelaraskan jiwanya menerima apa yang sudah menjadi jatahnya dan berdoa. Usaha tersebut dapat memberikan perasaan menyatu dengan Tuhan (Maharani dalam Soesilo, 2004).

  Dalam hubungannya manusia dengan manusia lain berdasarkan prinsip- prinsip kebaikan, keutamaan, keadilan dan kejujuran yang diarahkan demi kesejahteraan bersama. Manusia yang utama adalah manusia yang bisa mengukur perasaan orang lain yang disesuaikan dengan perasaan dirinya sendiri, dalam istilah Jawanya adalah “ojo dumeh lan tepo seliro” (Maharani dalam Soesilo, 2004).

  Dalam hubungan manusia dengan alam lingkungannya terkandung pengertian bahwa manusia adalah gambaran kecil dari alam semesta, atau manusia disebut mikrokosmos, sedangkan alam semesta disebut makrokosmos. Kehidupan manusia erat kaitannya dengan kejadian alam semesta. Budaya atau tingkah laku manusia mengarah pada simbolisasi alam semesta. Jika budaya atau perilaku tersebut tidak sesuai dengan apa yang diharapkan dalam pandangan ini maka akan berpengaruh pada keseimbangan alam semesta.

  Dengan kesadaran tersebut maka manusia berusaha untuk mewujudkan kesejahteraan bagi semua (Maharani dalam Soesilo, 2004).

  Pandangan masyarakat Jawa terhadap kekuasaan raja-raja Jawa yaitu wakil Tuhan yang berkuasa di dunia. Sedangkan kraton sendiri adalah tempat alun, pohon beringin dan juga mempunyai struktur pemerintahan tersendiri (Intisari, edisi November 1991). Menurut kisah rakyat Jawa keturunan Panembahan Senopati menjadi raja atas bantuan penguasa Samudra Selatan atau Nyai Roro Kidul yang diakui keberadaanya menjadi kisah sakral yang menuntut pertanggung jawaban religi yang sifatnya abadi sesuai janji Roro Kidul akan selalu berhubungan dengan seluruh Raja Jawa keturunan Panembahan Senopati hingga kini. Kisah ini sudah menjadi salah satu isi kekayaan kisah klasik di Indonesia. Bahkan Nampak semakin sakral karena seringnya diperingati dalam bentuk upacara labuhan di Parangkusumo yang ditunjukan kepada Kanjeng Ratu Kidul. Tradisi ini dilakukan bukan sekedar gengsi kraton atau kepentingan wisatawan melainkan demi keselamatan raja, kraton dan seluruh rakyatnya (Intisari, edisi november 1991).

  Pandangan terhadap raja bagi orang Jawa tidak terlepas pada hubungan manusia dengan Tuhan. Dalam pandangan Jawa, ada satu kesamaan antara manusia dan Tuhan yaitu roh. Manusia mengharapkan suatu keadaan yang tentram, keadaan tentram ini terwujud jika hubungan manusia dengan Tuhan terjalin dengan baik. Jika raja diposisikan sebagai orang yang mempunyai kekuatan besar yang mengarah pada kekuatan Tuhan maka raja dipandang sebagai orang yang bisa memberikan suasana tentram. Jika memiliki kekuatan besar dan mutlak benar untuk menciptakan ketentraman atau mengembalikan dalam posisi tentram jika terjadi kekacauan, seorang raja dapat benar-benar digambarkan sebagai orang yang bisa menyatu dengan Tuhan (Laksono, 1985).

  Seorang raja dianggap sebagai anasir mistik paling digdaya dimuka bumi, dipandang sebagai wadah potensi kosmis atau kesaktian. Kekuasaan duniawi raja mencerminkan kharisma mereka, seperti halnya kemampuan mereka menerima wahyu untuk berkuasa. Wahyu menjadi tanda kesaktian seorang raja, yang dianggap memancarkan kekuatan magis dari kepribadian mereka untuk menjadikan rakyatnya sejahtera (Mulder, 2001).

  Satu-satunya cara yang dipercaya paling benar bagi seorang raja adalah menunjukkan prestasinya membawa negaranya pada keadaan tentram, dimana

  

kawula dan Gusti bisa manunggal. Seperti dikisahkan dalam Babad Tanah