4 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Sejarah Biogas

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

  2.1 Sejarah Biogas

  Sejarah penemuan proses anaerobik digestion untuk menghasilkan biogas tersebar di benua Eropa. Penemuan ilmuan Alessandro Volta terhadap gas yang dikeluarkan di rawa-rawa terjadi pada tahun 1770, beberapa dekade kemudian Avogadro mengidentifikasikan tentang gas Methana. Setelah tahun 1875 dipastikan bahwa biogas merupakan produk dari proses anaerobik digestion. Tahun 1884 Pateour melakukan penelitian tentang biogas menggunakan kotoran hewan. Era penelitian Pasteour menjadi landasan untuk penelitian biogas hingga saat ini. Pada akhir abad ke-19 ada beberapa riset dalam bidang ini dilakukan. Di Jerman dan Perancis melakukan riset pada masa antara dua perang dunia dan beberapa unit pembangkit biogas dengan memanfaatkan limbah pertanian. Selama perang dunia II banyak petani di Inggris dan benua Eropa yang membuat digester kecil untuk menghasilkan biogas yang digunakan untuk menggerakkan traktor. Karena harga BBM semakin murah dan mudah memperolehnya pada tahun 1950-an pemakaian biogas di Eropa ditinggalkan. Namun, di Negara-negara berkembang kebutuhan akan sumber energi yang murah dan selalu tersedia ada. Kegiatan produksi biogas di India telah dilakukan semenjak abad ke-19.

  http://www.energi.lipi.gi.id

  2.2 Pengertian Biogas

  Biogas merupakan bahan bakar gas yang dihasilkan oleh aktivitas anaerobik atau fermentasi dari bahan-bahan organik termasuk diantaranya kotoran manusia dan hewan, limbah domestik (rumah tangga), dan limbah organik. Biogas yang dihasilkan dari sampah organik merupakan gas yang mudah terbakar (flammable) yang didominasi oleh senyawa methana (CH

  4 ). Gas ini dihasilkan

  dari proses fermentasi bahan-bahan organik oleh bakteri anaerob yang tahan pada wilayah atau area yang kedap udara. Sampah dari bahan organik yang homogen, baik padat maupun cair sangat cocok sebagai umpan pada sistem peralatan produksi biogas secara sederhana (Sulistyo, 2010).

  Kandungan metana dalam biogas yang diproduksi oleh reaktor/digester berbeda-beda tergantung jenis feed, komposisi masukan, dan lama waktu fermentasi serta kapasitas reaktor. Menurut Hermawan y a n g di muat dalam Bahrin, dkk (2011) dalam reaktor biogas mengandung sekitar 60-70 (% Volume) gas metana, 30-40 (% Volume) gas karbon dioksida serta gas-gas lain, meliputi ammonia, hidrogen sulfida, merkaptan (tio-alkohol) dan gas lainnya. Secara umum komposisi biogas dapat dilihat pada Tabel 1 berikut ini :

  Tabel 1. Komposisi Biogas

  Komponen Persentase (%Volume) Metana (CH ) 55-75 4 Karbon dioksida (CO ) 25-45 2 Nitrogen (N ) 0-0,3 2 Hidrogen (H ) 1-5 2 Hidrogen Sulfida (H S) 0-3 2 Oksigen (O ) 0,1-0,5 2 Sumber: Bahrin, dkk, 2011

  Biogas memiliki berat 20 persen libih ringan dibandingkan udara dan memiliki suhu pembakaran antara 650 sampai 750 C. Biogas tidak berbau dan berwarna yang apabila dibakar akan menghasilkan nyala api biru cerah seperti gas LPG (Sulistyo, 2010).

  Pemanfaatan biogas mempunyai beberapa keunggulan jika dibandingkan dengan BBM (bahan bakar minyak) yang berasal dari fosil diantaranya biogas mempunyai sifat yang ramah lingkungan dan dapat diperbaharui. Bahan bakar fosil yang pembakarannya kurang sempurna menghasilkan CO yang merupakan salah satu gas penyebab pemanasan global. Sampah organik yang dibiarkan menumpuk dalam alam terbuka dapat menghasilkan gas metana (CH

  4 ) sebagai

  akibat proses pembusukan sampah yang bereaksi dengan oksigen (O

  2 ), gas metana

  mempunyai sifat polutan 21 kali dari sifat polutan CO

  2 , sehingga dengan

  dimanfaatkannya sampah sebagai bahan baku biogas dapat menekan jumlah gas metana yang langsung dilepaskan ke udara karena gas metana sebagai salah satu komponen utama biogas (Sulistyo, 2010).

  Biogas dapat digunakan dalam berbagai keperluan seperti memasak, penerangan, pompa air, boiler dan sebagainya. Aplikasi penggunaan biogas dapat dilihat pada gambar 1 berikut.

  Gambar 1. Penggunaan biogas untuk berbagai aplikasi

  

Sumber (Kosaric dan Velikonja, 1995)

2.3 Biomassa Organik

  Biomassa adalah bahan organik yang dihasilkan melalui pross fotosintetik, baik berupa produk maupun buangan. Contoh biomassa antara lain adalah tanaman, pepohonan, rumput, ubi, limbah pertanian, limbah hutan, tinja dan kotoran ternak. Selain digunakan untuk tujuan primer serat, bahan pangan, pakan ternak, miyak nabati, bahan bangunan dan sebagainya, biomassa juga digunakan sebagai sumber energi (bahan bakar). Umum yang digunakan sebagai bahan bakar adalah biomassa yang nilai ekonomisnya rendah atau merupakan limbah setelah diambil produk primernya.

  Sumber energi biomassa mempunyai beberapa kelebihan antara lain merupakan sumber energi yang dapat diperbaharui (renewable) sehingga dapat menyediakan sumber energi secara berkesinambungan (suistainable). Karakteristik biomassa organik yang menjadi bahan baku pada penelitian yang apabila difermentasi akan terkonversi menjadi biogas. Karakteristik kandungan biomasa organik dapat dilihat pada tabel 2 berikut ini:

  Tabel 2. Karakteristik kandungan biomasa organik

  Bahan Karbo Jenis Kering Protei Lemak Serat Besi Abu Air - Kalori

  

Sayuran (g) (g) (g) (g) (mg) (%) hidrat (g)

(g) 43 5,20 1,00 - 4,1 6,5 86,9 - Bayam 15,20

30 2,70 1,10 2,5

  • Kangkung 10,00 Kubis 7,00

  22 - 1,60 - - - 0,80 0,8 17 1,7 0,70 2,6 -

  • Sawi Putih 5,80 23 2,90 0,20 4,1 92,4
  • Kecambah Kacang hijau Daun Kangkung 23,80 8,93 1,03 -
  • 1,82
  • >1,77 - - - - - Daun Singkong Daun - 3890 - - - - - 31,77 19,93 kembang kol
  • Kulit ja
  • 4351 1,94 2,97 -
  • Sumber: 1MANSY (2012): litbang.deptan.go.id

  = tidak ada data

  2.3.1 Sampah Organik Sampah merupakan barang atau benda yang dibuang karena tidak terpakai lagi. Pada kenyataannya sampah menjadi masalah yang selalu timbul baik di kota besar maupun di daerah-daerah. Beberapa alternatif bagaimana cara memanfaatkan sampah kota, sehingga mempunyai nilai ekonomis yang cukup tinggi antara lain sampah dapat dimanfaatkan menjadi kompos, biogas (energi alternatif), papan komposit (komposit serbuk kayu plastik daur ulang), bahan baku dalam pembuatan bata (briket), pengisi tanah, penanaman jamur, media produksi vitamin, media produksi Protein Sel Tunggal (PST), dan lain-lain.

  Berdasarkan beberapa data analisis yang telah dilakukan peneliti, kandungan kimia yang terdapat di dalam sampah sisa tanaman (Sulistyo P, 2003) adalah sebagai berikut :

  Tabel 3. Kandungan Kimia yang terdapat dalam Sampah Organik

  Kandungan Prosentase Air 10 – 60 % Senyawa Organik 15 – 35 % Nitrogen 0,4 – 1,2 % Fosfor 0,2 – 0,6 % Kalium 0,8 – 1,5 % Kapur 4 – 7 % Karbon 12 – 17 %

  Ikhsandri dkk. 2014

  Pengolahan sampah organik menjadi pupuk kompos merupakan biokonversi yang sangat baik dimana sampah yang merupakan masalah dikonversi menjadi pupuk tanaman yang memiliki kandungan unsur hara yang tinggi dimana unsur hara ini merupakan komponen utama metabolisme pada tanaman (Ikhsandri dkk. 2014).

  2.3.2 Klasifikasi Sampah Berdasarkan SNI 19-3241-1994, tipe atau jenis sampah umum dapat diklasifikasikan sebagai berikut :

  1. Sampah organik basah (garbage), yaitu sampah yang terdiri dari bahan- bahan organik dan mempunyai sifat mudah membusuk.

  2. Sampah organik kering (rubbish), yaitu sampah yang susunannya terdiri dari bahan organik maupun yang cukup kering yang sulit terurai oleh mikroorganisme sehingga sulit membusuk.

  3. Sampah yang berukuran besar (bulky waste), dalam kategori ini termasuk sampah yang berukuran besar dan berat.

  4. Sampah abu (ashes), yaitu sampah padat yang berasal dari pembakaran kayu, batu bara atau insenerator. Ukurannya kecil, lembut, ringan dan mudah terbawa angin.

  5. Sampah berupa lumpur dari pengolahan air bersih dan air limbah.

  Lumpur dari kolam pengolahan harus dihindarkan langsung masuk ke air permukaan.

  6. Sampah bangkai binatang (dead animal), yaitu semua sampah yang berupa bangkai binatang.

  7. Sampah sapuan jalan yaitu segala jenis sampah atau kotoran yang berserakan di jalan karena dibuang oleh pengendara mobil ataupun masyarakat yang tidak bertanggung jawab.

8. Sampah konstruksi umumnya berupa logam, beton, kaca, pipa, plumbing dan kayu.

  9. Sampah B3 merupakan buangan berbahaya dan beracun bersifat toksik karena itu perlu penanganan khusus. Banyak dihasilkan dari kegiatan industri ataupun produk yang dipakai sehari-hari. Semakin banyak industri yang berdiri akan semakin beragam limbahnya.

2.4 Proses Produksi Biogas

  Proses produksi biogas, terjadi dua tahap yaitu penyiapan bahan baku dan proses penguraian anaerobik oleh mikroorganisme untuk menghasilkan gas metana.

  2.4.1 Bahan baku Biogas berasal dari hasil fermentasi bahan-bahan organik diantaranya: a.

  Limbah tanaman: tebu, rumput-rumputan, jagung, gandum dan lain-lain b.

  Limbah dari hasil produksi minyak, bagas, penggilingan padi, limbah sagu c. Hasil samping industri: tembakau, limbah pengolahan buah-buahan dan sayur-sayuran, dedak, kain dari tekstil, ampas tebu dari industri gula dan tapioka, industri tahu (limbah cair).

  d.

  Limbah perairan: alga laut, tumbuh-tumbuhan air.

  e.

  Limbah peternakan: kotoran sapi, kerbau, kambing, unggas.

  Salah satu permasalahan yang dihadapi dalam fermentasi anaerob adalah keberadaan senyawa-senyawa tertentu yang bertindak sebagai inhibitor. Oleh karena itu perlu ditambahkan sesuatu pada bahan baku supaya menghilangkan pengaruh inhibitor yang ada. Rasio ideal C/N untuk proses dekomposisi anaerob untuk menghasilkan metana adalah 25-30. Oleh karena itu, pada proses pencemaran bahan baku diusahakan memenuhi rasio ideal.

  Penggunaan limbah sebagai bahan baku biogas memerlukan metode pengumpulan, penyiapan, penanganan dan penyimpanan yang memadai. Pemilihan metode didasarkan pada sifat dan jumlah bahan baku yang bervariasi. Sifat alami bahan baku adalah padatan, semipadatan atau cairan. Sejalan dengan itu sistem penanganannya harus sesuai dengan kondisi setempat

  2.4.2 Proses anaerob (proses pembentukan biogas) Proses penguaraian oleh mikroorganisme untuk menguraikan bahan-bahan organik terjadi secara anaerob. Pada prinsipnya proses anaerob adalah proses biologi yang berlangsung pada kondisi tanpa oksigen oleh mikrooeganisme tertentu yang mampu mengubah senyawa organik menjadi metana (biogas).

  Proses ini banyak dikembangkan untuk mengolah kotoran hewan dan manusia atau air limbah yang kandungan bahan organiknya tinggi. Sisa pengolahan bahan organik dalam bentuk padat digunakan untuk kompos. Berikut ini adalah proses pengolahan bahan organik menjadi biogas dengan proses anaerobik.

  Gambar 2. Instalasi sistem produksi dan pemanfaatan biogas Secara umum, proses anaerob terdiri dari empat tahap yakni : hidrolisis, pembentukan asam, pembentukan asetat dan pembentukan metana.

  Proses anaerob dikendalikan oleh dua golongan mikroorganisme (hidrolitik dan metanogen). Bakteri hidrolitik terdapat dalam jumlah yang besar dalam kotoran unggas karena reproduksinya sangat cepat. Organisme ini memecah senyawa organik kompleks menjadi senyawa yang lebih sederhana. Senyawa sederhana diuraikan oleh bakteri penghasil asam (acid-forming bacteria) menjadi asam lemak dengan berat molekul rendah seperti asam asetat dan asam butirat. Selanjutnya bakteri metanogenik mengubah asam-asam tersebut menjadi metan.

  Sampah organik sayur-sayuran dan buah-buahan adalah substrat yang digunakan untuk menghasilkan biogas. Proses pembuatan biogas dilakukan secara fermentasi yaitu proses terbentuknya gas metana dalam kondisi anaerob dengan bantuan bakteri anaerob di dalam suatu digester sehingga akan dihasilkan gas metana (CH

  4 ) dan gas karbondioksida (CO 2 ) yang Volumenya lebih besar

  dari gas hidrogen (H

  2 ), gas nitrogen (N 2 ) dan asam sulfida (H

  2 S). Proses

  fermentasi memerlukan waktu 7 sampai 10 hari untuk menghasilkan biogas

  o

  dengan suhu optimum 35 C dan pH optimum pada range 6,4 – 7,9. Bakteri pembentuk biogas yang digunakan yaitu bakteri anaerob seperti

  

Methanobacterium, Methanobacillus, Methanococcus dan Methanosarcina

  (Price,dkk,1981). Proses pembentukan biogas (gas metana) dari berbagai macam bahan baku dapat melalui 3 tahapan, yaitu :

  1. Hidrolisis Pada tahap ini pelarutan bahan baku organik mudah larut dalam air, dan yang sulit larut dicerna menjadi bahan organik sederhana, yaitu perubahan struktur bentuk primer menjadi bentuk monomer (sulistyo, 2010). Pada tahap ini bahan yang tidak larut seperti selulosa, polisakarida dan lemak diubah menjadi bahan yang larut dalam air seperti karbohidrat dan asam

  o o

  lemak. Tahap pelarutan berlangsung pada suhu 25 C hingga 30 C didigester (Price dan Cheremisinoff, 1981). Reaksi:

  2. Asidogenik (pengasaman) Pada tahap ini komponen monomer (gula sederhana), yang terbentuk pada tahap hidrolisis, dimakan bakteri pembentuk asam, yang menghasilkan asam asetat, propionat, laktat, alkohol, butirat, karbondioksida, hidrogen dan amoniak (Sulistyo, 2010). Pada suasana anaerob produk yang dihasilkan ini akan menjadi substrat pada pembentukan gas metan oleh bakteri metanogenik. Tahap ini berlangsung

  o o pada suhu 25 C hingga 30 C didigester (Price dan Cheremisinoff, 1981).

  Adapun reaksi asidogenik senyawa glukosa adalah sebagai berikut :

  3. Metanogenesis (Pembentukan Metana) Tahap ini adalah tahapan terakhir dan sekaligus yang paling menentukan yaitu dilakukan penguraian dan sintesis produk tahap sebelumnya untuk menghasilkan gas metana (CH

  4 ). Hasil lain dari proses ini berupa karbon

  dioksida, air, dan sejumlah kecil senyawa gas lain (Bahrin, dkk, 2011). Proses o o ini berlangsung selama 14 hari dengan suhu 25 C hingga 35 Cdi dalam digester. Pada proses ini akan dihasilkan 70% CH , 30 % CO , sedikit H dan

  4

  2

  2 H

2 S (Price dan Cheremisinoff, 1981). Reaksinya adalah sebagai berikut:

  2.4.3 Biokonversi sampah organik oleh mikroorganisme Keberadaan mikroorganisme di alam mempunyai arti penting dan dampak positif terhadap pencemaran lingkungan. Kemampuan mikroorganisme untuk mendegradasi limbah dan polutan adalah sangat esensial untuk menjaga kualitas dan plingkungan. Keberadaan mikroorganisme tersebut menyebabkan bahan- bahan sisa di lingkungan dapat menghilang atau berubah bentuk.

  Berdasarkan kemampuan degradatif terhadap bahan organik, beberapa jenis bakteri telah dikomersialisasikan sebagai pupuk biologi atau konsorsia bakteri sebagai inokula penanganan limbah secara aerobik maupun anaerobik (Myrold & Nason dalam Sutariningsih, 2002), antara lain Bacillus megaterium sebagai bakteri pelarut fosfat, Rhizobum melioti dan metanogen sebagai agensia penanganan limbah secara anaerobik dan pembuatan biogas.

  Penggunaan mikroorganisme untuk penanganan limbah memerlukan berbagai persyaratan yang perlu diperhatikan, antara lain komposisi limbah, teknik atau proses yang dikerjakan (dalam kondisi aerob atau anaerob) dan alat yang digunakan disesuaikan dengan kondisi lokal.

  Optimasi aktivitas mikrobia pada dekomposisi sampah mempunyai implikasi ekonomi penting. Sebagai contoh, pemanfaatan gas metana dari digester anaerob merupakan hasil akhir yang dapat dipasarkan sebagai sumber tenaga. Di dalam pengomposan, hasil dekomposisi oleh mikroorganisme dapat mereduksi volume sampah, dan menghasilkan bahan yang mempunyai nilai ekonomi sebagai bahan pembenam tanah. Keuntungan lain yang dapat diperoleh dari perombakan sampah oleh mikroba adalah timbul panas. Panas tersebut dapat menurunkan bahkan membunuh mikroba patogen (Nugroho dkk, 2006).

  Proses pertumbuhan mikroba sangat dinamik dan kinetikanya dapat digunakaan untuk meramal produksi biomassa dalam suatu proses fermentasi. Faktor utama yang mempengaruhi pertumbuhan dan perilaku mikroba dapat digolongan dalam faktor intraseluler dan faktor ekstraselular. Faktor intraselular meliputi struktur, mekanisme, metabolisme, dan genetika. Sedangkan faktor ekstraselular meliputi kondisi lingkungan seperti pH, suhu, tekanan. Proses pertumbuhan mikroba merupakan proses yang memiliki batas tertentu. Pada saat tertentu, setelah melewati tahap minimum, mikroba akan mengalami fasa kematian. Faktor-faktor yang dapat menyebabkan berhentinya pertumbuhan mikroba antara lain:

  1. Penyusutan konsentrasi nutrisi yang dibutuhkan dalam pertumbuhan mikroba karena habis terkonsumsi.

  2. Produk akhir metabolisme yang menghambat pertumbuhan mikroba karena terjadinya inhibisi dan represi.

  Dalam proses fermentasi bakteri juga menghasilkan gas sebagai akibat dari pembongkaran substrak yang berlangsung oleh aktivitas bakteri. Gas yang dihasilkan dapat berupa karbondioksida (CO ), hydrogen (H ), metan (CH ),

  2

  2

  4 nitrogen (N ), dan amoniak (NH ) (Mara, 2012).

  2

  3

  1. ) timbul karena aktivitas bakteri, gas ini dapat timbul Karbondioksida (CO

  2

  sebagai hasil pernafasan aerob maupun anearob, kebanyakan senyawa yang cepat terurai oleh bakteri serta menghasilkan CO adalah golongan gula.

  2 2.

  sebagai hasil penguraian Hidrogen, gas ini biasa timbul bersama CO

  2

  karbohidrat atau asam amino. Echerichia coli dalam keadaan tertentu dapat menguraiakan asam semut (HCOOH) menjadi CO dan H

  2

  2 3.

  Gas metan, gas ini timbul sebagai hasil penguraian bermacam-macam senyawa organik. Methano bacterium dalam keadaan anaerob menghasilkan metan.

  4. Nitrogen, gas ini timbul akibat penguraian nitrat maupun nitrit, peristiwa ini dikenal sebagai denitrifikasi. Denitrifikasi terjadi di tempat-tempat tertutup.

  5. Amoniak, merupakan hasil penguraian protein dan senyawa-senyawa lain yang mengandung nitrogen.

  Fermentasi secara anaerob berarti selama proses ferementasi tidak ada

udara yang masuk di dalam reaktor. Fermentasi anaerob memiliki bebearapa

keuntungan dan kerugian, yaitu:

Tabel 4. Keuntungan dan Kerugian Fermentasi Anaerobik

  Keuntungan Kerugian Energi yang dibutuhkan sedikit Membutuhkan waktu pembiakan yang lama

Produk samping yang dihasilkan sedikit Membutuhkan penambahan senyawa alkalinity

Nutrisi yang dibutuhkan sedikit Tidak mendegradasi senyawa nitrogen dan

phospor

Dapat menghasilkan senyawa methana Sangat sensitif terhadap efek dari perubahan

yang merupakan sumber energi yang temperatur potensial

Hanya membutuhkan reaktor dengan Menghasilkan senyawa yang beracun seperti

volume yang kecil H2S.

  (Metcalf & Eddy, 2003)

  2.4.4 Mikroorganisme yang terlibat dalam proses degradasi anaerobik Pengolahan limbah cair secara anaerobik melibatkan mikroorganisme untuk mendegradasi substrat dalam limbah cair menjadi bahan yang tidak mengakibatkan pencemaran. Secara umum, di dalam air limbah ditemukan banyak sekali jenis mikroorganisme yang diantaranya termasuk bakteri uniseluler, jamur, virus, protozoa, alga dan rotifera. Sebagaimana makhluk hidup lainnya, mikroorganisme ini juga membutuhkan nutrisi untuk keperluan pertumbuhan dan fungsinya. Menurut MetCalf dan Eddy (2003), kebutuhan tersebut antara lain : a.

  Sumber energi dapat berupa cahaya (mikroba fototrof) atau senyawa kimia (mikroba khemototrof).

  b.

  Sumber karbon dalam bentuk bahan-bahan organik (mikroba heterotrof) atau bentuk karbon dioksida (mikroba autotrof).

  c.

  Nutrient dalam bentuk anorganik ( N, S, P, K, Mg, Ca, Fe, Na, dan Cl) dan nutrient minor termasuk Zn, Mn, Mo, Se, Cu, dan Ni (Madigan et al, 2000).

  d.

  Faktor Pertumbuhan atau nutrient organik dalam bentuk asam-asam amino, senyawa-senyawa berbasis nitrogen (seperti purin dan pirimidin) serta vitamin.

  e.

  Air, karena semua nutrient harus berada dalam keadaan terlarut sebelum masuk ke dalam sel mikroorganisme (Damayanthie, 2000).

  Selain membutuhkan nutrisi mikroorganisme juga membutuhkan kondisi lingkungan yang sesuai untuk keperluan pertumbuhan dan fungsinya secara normal. Adanya kandungan nutrisi yang cukup dan seimbang dalam limbah cair disertai kondisi lingkungan yang sesuai, dapat menjadikan air limbah sebagai media pertumbuhan bagi mikroorganisme tertentu. Dalam kondisi demikian, mikroorganisme akan mendegradasi bahan-bahan organik dan anorganik dalam limbah cair melalui metabolisme sel dan metabolisme energi.

  Pada proses fermentasi anaerob, proses degradasi bahan-bahan organik kompleks menjadi gas metan, CO dan biomassa terjadi dalam 3 tahapan reaksi

  2

  biokimia, yaitu hidrolisis, fermentasi asam dan metanogenesis (Ridlo, 1983; Spaan, 1983; dan Polprasert, 1989). Mikroorganisme yang terlibat dalam tiap tahap proses degradasi tersebut dapat dikelompokkan atas 2 jenis mikroorganisme (MetCalf dan Eddy, 2003), yaitu : a.

  Mikroorganisme yang merespon proses hidrolisis dan fermentasi Mikroorganisme ini termasuk dalam grup non-metanogenik terdiri dari bakteri fakultatif dan obligat anaerob. Baketri fakultatif adalah bakteri yang mempunyai kemampuan untuk tumbuh pada kondisi ada atau tanpa molekul- molekul oksigen. Sedangkan obligat anaerob adalah organisme yang membangkitkan energi dengan fermentasi dan dapat eksis hanya dalam lingkungan yang tidak terdapat oksigen (Rittmann dan McCarty, 2001).

  b.

  Mikroorganisme yang merespon untuk produksi metana. Mikroorganisme ini diklasifikasikan sebagai archae merupakan obligat anaerob.

  Kebanyakan mikroorganisme metanogenik yang diidentifikasi dalam digester anaerob sama dengan yang dijumpai dalam perut hewan mammalia dan sedimen yang diambil dari dasar danau dan sungai (MetCalf dan Eddy, 2003).

  Diantara mikroorganisme methanogenik tersebut, hanya Methanosarcina dan Methanothrix (juga disebut Methanosaeta) saja yang mampu menggunakan asetat untuk menghasilkan methana dan CO

  2

  . Sedangkan mikroorganisme yang lain mengoksidasi hidrogen dengan CO

  2

  sebagai elektron akseptor untuk memproduksi metana (Balch et al, 1977). Mikroorganisme metanogen pengguna asetat juga terobservasi dalam reaktor thermofilik (Van Lier, 1996 ; Zinder dan Koch, 1984; dan Ahring, 1995).

  Beberapa spesies Methanosarcina terinhibisi oleh temperatur pada 65 o C, sebaliknya yang lain tidak (MetCalf dan Eddy, 2003).

  Aktivator Pembangkit Metan Green Phoskko (GP-7) sebagai pengurai secara fermentatif semua jenis biomassa termasuk sampah dan limbah organik dalam digester kedap udara (tanpa oksigen) terbuat dari konsorsium mikroba anaerobik.

  Bakteri anaerob dalam aktivator GP-7 dibawah ini hidup secara saprofit biogas. Bakteri saprofit yang ada di dalamnya hidup dan berkembang biak. Bakteri tersebut memecah persenyawaan organik dan menghasilkan gas metana (CH ) , H S, N , H dan CO . Bakteri ini hidup dalam lingkungan mikro dalam

  4

  2

  2

  2

  2

  reaktor atau digester biogas yang sesuai dengan kebutuhannya (kedap udara, material memiliki pH > 6, kelembaban 60%, dan temperatur >30 C dan C/N ratio tertentu) akan mengurai atau mendekomposisi semua biomassa termasuk jenis sampah dan bahan organik (limbah kota, pertanian, peternakan, feces tinja, kotoran hewan dan lain-lainnya) dengan cepat hanya 5 sampai 20 hari.

  Gambar 3. Aktivator Pembangkit Metan Green Phoskko (GP-7)

  Sumber : www.kencanaonline.com

  Biomassa dalam ukuran halus yang terkumpul dengan campuran air secara homogen (slurry) pada digester akan diuraikan dalam dua tahap dengan bantuan dua jenis bakteri. Tahap pertama, material organik akan didegradasi menjadi asam-asam lemah dengan bantuan bakteri pembentuk asam. Bakteri ini akan menguraikan sampah pada tingkat hidrolisis dan asidifikasi. Hidrolisis yaitu penguraian senyawa kompleks atau senyawa rantai panjang seperti lemak, protein, karbohidrat menjadi senyawa yang sederhana. Sedangkan asidifikasi yaitu pembentukan asam dari senyawa sederhana. Setelah material organik berubah metana dengan bantuan Arkhaebakteria pembentuk metana seperti Methanococus,

  

Methanosarcina, dan Methanobacterium. Kemampuan konsorsium mikroba

Green Phoskko® sebagaimana diatas adalah menurunkan rasio C/N dalam bahan

  sampah, yang awalnya tinggi (>50) menjadi setara dengan angka C/N tanah. Dengan rasio antara karbohindrat dengan nitrogen rendah sebagaimana C/N tanah (<20) maka bahan sampah dapat diserap tanaman. Proses dekomposisi menggunakan mikroba, bakteri, fungi dan jamur yang terdapat dalam aktivator

  Green Phoskko® , dalam bahan baku sampah organik terjadi perubahan yaitu: a.

  2 dan air

  Karbohidrat, selulosa, lemak, dan lilin menjadi CO

  b. dan air

  2 Zat putih telur menjadi amonia, CO c.

  Pengurai senyawa organik menjadi senyawa yang dapat diserap tanaman.

  Dosis dalam aplikasi green phosko® adalah untuk 1 kg Green

  

Phoskko® /pengurai bahan organik (limbah kota, pertanian, peternakan dan lain-

  3

  lainnya) dapat digunakan untuk mendaur ulang sampah organik sekitar 3 m atau setara berat 1 ton. (http://kencana-online.indonetwork.co.id)

  2.4.5 Air Lindi Air lindi merupakan air dengan konsentrasi kandungan organik yang tinggi yang terbentuk dalam landfill akibat adanya air hujan yang masuk ke dalam landfill. Lindi adalah limbah cair sebagai akibat masuknya air eksternal ke dalam timbunan limbah atau sampah kemudian membilas dan melarutkan materi yang ada pada timbunan tersebut, sisa dari air tersebut masuk (infiltrasi) ke dalam timbunan sampah. Pengolahan air lindi dapat dilakukan dengan resirkulasi air

  

lindi kembali ke dalam landfill. Hal ini dapat meningkatkan laju dekomposisi

kandungan organik menjadi biogas hingga 70%. Pada proses pembuatan biogas

  air lindi yang disirkulasi dapat dilakukan analisa terhadap kandungan COD, BOD, MLVSS, dan VFA.

  a.

  Kandungan COD

  Chemical oxygen demand (COD) atau kebutuhan oksigen kimia adalah

  jumlah oksigen yang diperlukan agar limbah organik yang ada di dalam air dapat teroksidasi melalui reaksi kimia. Mikroorganisme dalam limbah terus menerus melakukan proses metabolisme sepanjang kebutuhan energinya terpenuhi dan akan menghasilkan senyawa-senyawa yang dapat memberikan dampak terhadap turun naiknya COD. COD merupakan variabel terpenting yang menunjukkan berhasil atau tidaknya proses degradasi. Pengukuran COD mendeteksi keseluruhan senyawa organik, baik organik komplek maupun organik sederhana Kadar COD dalam limbah berkurang seiring dengan berkurangnya konsentrasi bahan organik yang terdapat dalam air limbah, konsentrasi bahan organik yang rendah tidak selalu dapat direduksi dengan metode pengolahan yang konversional. Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan dapat diketahui bahwa semakin lama waktu tinggal, maka nilai COD akhir semakin turun (prosentase penurunan COD semakin besar). Hal ini disebabkan semakin lama waktu tinggal akan memberi banyak kesempatan pada mikroorganisme untuk memecah bahan-bahan organik yang terkandung di dalam limbah. Di sisi lain dapat diamati pula bahwa semakin kecil nilai COD awal (sebelum treatment dilakukan) akan menimbulkan kecenderungan penurunan nilai COD akhir sehingga persentase penurunan COD nya meningkat. Karena dengan COD awal yang kecil ini, kandungan bahan organik dalam limbah pun sedikit. Dalam pertumbuhan mikroba distibusi air limbah dibuat berupa tetesan agar air limbah tersebut dapat memuat oksigen lebih banyak jika dibanding dengan aliran yang terlalu deras karena oksigen sangat diperlukan mikroba untuk tumbuh berkembang Senyawa organik yang terdiri dari karbon, hidrogen dan oksigen dengan elemen aditif nitrogen, sulfur, fosfat, dll cenderung untuk menyerap oksigen- oksigen yang tersedia dalam limbah air dikonsumsi oleh mikroorganisme untuk mendegredasi senyawa organik akhirnya oksigen. Konsentrasi dalam air limbah menurun, ditandai dengan peningkatan COD, BOD, TSS dan air limbah juga menjadi berlumpur dan bau busuk. Semakin tinggi konsentrasi COD menunjukkan bahwa kandungan senyawa organik tinggi tidak dapt terdegredasi secara biologis.http://goelanzsaw.blogspot.com/2013/03/analisa-

  cod-dalam-air.html b.

  Kandungan BOD

  Biological Oxygen Demand (BOD) atau Kebutuhan Oksigen Biologis (KOB)

  adalah suatu analisa empiris yang mencoba mendekati secara global proses- proses mikrobiologis yang benar-benar terjadi di dalam air. Angka BOD ada- lah jumlah oksigen yang dibutuhkan oleh bakteri untuk menguraikan (mengoksidasikan) hampir semua zat organik yang terlarut dan sebagian zat- zat organik yang tersuspensi dalam air.

  BOD merupakan parameter yang umum dipakai untuk menentukan tingkat pencemaran bahan organik pada air limbah. Pemeriksaan BOD diperlukan untuk menentukan beban pencemaran akibat air buangan dan untuk mendesain sistem pengolahan secara biologis. Adanya bahan organik yang cukup tinggi (ditunjukkan dengan nilai BOD dan COD) menyebabkan mikroba menjadi aktif dan menguraikan bahan organik tersebut secara biologis menjadi senyawa asam-asam organik. Peruraian ini terjadi disepanjang saluran secara aerob dan anaerob. Timbul gas CH , NH dan H S yang berbau busuk. Uji BOD ini tidak dapat

  4

  3

  2 digunakan untuk mengukur jumlah bahan-bahan organik yang sebenarnya terdapat di dalam air, tetapi hanya mengukur secara relatif jumlah konsumsi oksigen yang digunakan untuk mengoksidasi bahan organik tersebut. Semakin banyak oksigen yang dikonsumsi, maka semakin banyak pula kandungan bahan-bahan organik di dalamnya. http://goelanzsaw.blogspot.com/2013/02/analisa-bod-dalam-air.html c.

  Kandungan MLVSS

  Mixed Liquid Volatil Suspended Solid (MLVSS) adalah metode untuk

  menentukan fase perkembangan bakteri dan komposisi biogas dari limbah sayur dengan proses anaerobik. Hubungan MLVSS terhadap waktu fermentasi dapat menggambarkan kurva keaktifan mikroba selama proses fermentasi berlangsung yang ditandai dengan produksi biogas yang tinggi (Bahrin dkk, 2011). d.

  Kandungan VFA

  Volatile Fatty Acid (VFA) atau asam lemak terbang adalah produk akhir dari

  fermentasi karbohidrat yang berupa tiga macam asam dan gas, digunakan sebagai sumber energi. VFA dibentuk oleh mikroba (Fungi, Protozoa & Bakteri) di dalam rumen melalui proses fermentasi. VFA terdiri atas Asetat, Propionat, Butirat dan Gas (Karbondioksida (CO

  2 ), H 2 dan methan (CH 4 ).

http://www.slideshare.net/jajatrohmana/biologi-vfa-asam-lemak-terbang.

2.5 Faktor yang mempengaruhi digestifikasi anaerobik

  2.5.1 Waktu Digestifikasi Waktu tinggal air limbah dalam reaktor anaerob, yang tergantung pada karakteristik air limbah dan kondisi lingkungan, harus cukup lama untuk proses metabolisme oleh bakteri anaerob dalam reaktor pengurai. Waktu digestifikasi anaerobik di dalam reaktorr dipengaruhi oleh dua faktor yaitu:

1. Suhu

  Ada tiga kondisi digestifikasi anaerobik berdasarkan suhu digesternya yaitu: a.

  Kondisi Psikoprilik

  o

  Pada kondisi ini suhu digester antara 10-18

  C, dan sampah organik cair terdigestifikasi selama 30-52 hari.

  b.

  Kondisi Mesopilik

  o

  Pada kondisi ini suhu digester antara 20-45

  C, dan sampah organik cair terdigestifikasi selama 18-28 hari. Pada kondisi mesopilik pengoperasiaanya lebih mudah, tapi biogas yang dihasilkan lebih sedikit dan Volum digester lebih besar.

  c.

  Kondisi Termopilik

  o

  Pada kondisi ini suhu digester antara 50-70

  C, dan sampah organik cair terdigestifikasi selama 11-17 hari. Digester pada kondisi termopilik menghasilkan banyak biogas, tapi biaya investasinya tinggi dan pengoperasiannya rumit. Temperatur yang efektif untuk pencernaan anaerob adalah pada temperatur 30-35°C. Pada temperatur ini mengkombinasikan kondisi terbaik untuk pertumbuhan bakteri dan produksi gas metana di dalam digester dengan lama proses yang pendek. Massa bahan yang sama akan dicerna dua kali lebih cepat pada temperatur 35°C dibanding pada temperatur 15°C. Jumlah total dari gas yang diproduksi pada jumlah bahan yang tetap meningkat seiring dengan meningkatnya temperatur (hardiyanti, 2013).

2. Rasio C/N

  Untuk menentukan bahan organik digester adalah dengan melihat rasio/perbandingan antara Karbon (C) dan Nitrogen (N). Pada penelitian yang dilakukan oleh Sulistyo, 2010 menunjukkan bahwa metabolisme bakteri anaerobik akan baik pada rasio C/N antara 20-30. Jika rasio C/N tinggi, nitrogen akan cepat dikonsumsi bakteri anaerobik guna memenuhi kebutuhan proteinnya, sehingga bakteri tidak akan bereaksi kembali saat kandungan karbon tersisa. Jika rasio C/N rendah, nitrogen akan terlepas dan berkumpul membentuk amoniak sehingga akan meningkatkan nilai pH bahan. Nilai pH yang lebih tinggi dari 8,5 akan dapat meracuni bakteri anaerobik. Untuk menjaga rasio C/N, bahan organik rasio tinggi dapat dicampur bahan organik rasio C/N rendah. Rasio C/N pada beberapa jenis bahan baku biogas dapat dilihat pada tabel 3.

  Bahan organik yang bernilai C/N tinggi dapat dicampur dengan yang lebih rendah sehingga diperoleh nilai rasio C/N yang ideal, seperti pencampuran sampah organik sayur-mayur, umbi-umbian dan buah-buahan dengan kotoran ternak untuk mencapai kadar C/N yang ideal dan produksi biogas dapat berjalan optimum.

  Tabel 5. Rasio C/N pada beberapa jenis bahan baku pembuatan biogas

  Komponen Persentase (%Volume) Kotoran ayam

  10 Kotoran kambing

  12 Kotoran babi

  18 Kotoran sapi

  24 Sampah buah-buahan dan sayuran (organik)

  25 Sumber: Sulistyo, 2010

  2.5.1 Ketersediaan Unsur Hara Bakteri anaerob membutuhkan nutrisi sebagai sumber energi yang mengandung nitrogen, fosfor, magnesium, sodium, mangan, kalsium dan kobalt

  (Hardiyanti, 2013). jumlah nutrisi minimal harus lebih dari konsentrasi optimum yang dibutuhkan oleh bakteri metanogenik. Apabila terjadi kekurangan nutrisi akan menjadi penghambat bagi pertumbuhan bakteri. Penambahan nutrisi dapat dilakukan dengan menambahkan glukosa, buangan industri dan sisa-sisa tanaman yang diberikan dengan tujuan menambah pertumbuhan di dalam digester.

  2.5.2 Derajat Keasaman (pH) Derajat keasaman memiliki efek terhadap aktifitas biologi dan mempertahankan pH agar stabil penting untuk semua proses kehidupan bakteri.

  Kebanyakan dari proses kehidupan bakteri memiliki kisaran pH antara 6-8 (Budiono, dkk, 2013). Bakteri penghasil metana sangat sensitif terhadap perubahan pH. Rentang pH optimum untuk jenis bakteri penghasil metana antara 6,4 – 7,4. Bakteri yang tidak menghasilkan metana tidak begitu sensitif terhadap perubahan pH, dan dapat bekerja pada pH antara 5 hingga 8,5. Karena proses anaerobik terdiri dari dua tahap yaitu tahap pambentukan asam dan tahap pembentukan metana, maka pengaturan pH awal proses sangat penting. Tahap pembentukan asam akan menurunkan pH awal. Jika penurunan ini cukup besar akan dapat menghambat aktivitas mikroorganisme penghasil metana.

  http://sampoernaraya.wordpress.com

  2.5.3 Total Solid (TS) dan Volatile Solid (VS) Pengertian total solid content (TS) menurut Sulistyo, 2010 adalah jumlah materi padatan yang terdapat dalam limbah pada bahan organik selama proses digester terjadi dan ini mengindikasikan laju penghancuran/pembusukan material padatan limbah organik. Total Solid merupakan salah satu faktor yang dapat menunjukkan telah terjadinya proses pendegradasian karena padatan ini akan dirombak pada saat terjadinya pendekomposisian bahan. Jumlah TS biasanya direperesentasikan dalam % bahan baku. Pengertian volatile solid (VS) merupakan bagian padatan (total solid-TS) yang berubah menjadi fase gas pada tahapan asidifikasi dan metanogenesis sebagaimana dalam proses fermentasi limbah organik. Volatile Solid merupakan jumlah indikasi awal pembentukan gas metane, jumlah VS biasanya direpresentasikan dalam % total solid (TS) atau mg/l leachate MLVSS (Mixed Liqour Volatile Suspended Solids).

  

2.6 Perbandingan komposisi bahan baku terhadap waktu tinggal fermentasi

pada pembuatan biogas

  Perbandingan komposisi bahan baku dan bahan campuran biogas sangat mempengaruhi produk biogas yang dihasilkan. Perbandingan antara air dengan bahan baku bervariasi antara 1:1 sampai 1:2. Jika terlalu pekat, partikel-partikel akan menghambat aliran gas yang terbentuk pada bagian bawah digester. Sebagai akibatnya, produksi gas akan lebih sedikit. Dari hasil penelitian yang dilakukan oleh Triyatno, 2011 didapatkan hasil bahwa kecepatan produksi oleh bakteri untuk melakukan proses pembentukan biogas pada perbandingan 1:1,3 yang

  3 menghasilkan 0,033465 Kg/m /jam gas metan. Pembuatan biogas dengan bahan baku sampah organik dan kotoran sapi dengan perbandingan komposisi masukan usus ayam dan kotoran sapi 70:30 dihasilkan gas metana (CH4) sebesar 54,03% volume biogas. Lamanya waktu fermentasi yang dibutuhkan untuk menghasilkan komposisi gas metana (CH4) terbesar terjadi waktu fermentasi selama 21 hari (Bahrin, dkk, 2011).

  Dari penelitian yang telah dilakukan oleh Astuti, 2010 hasil terbaik d a la m p e m b u a t a n b io g a s didapatkan pada penelitian dengan penambahan EM-4, dimana yield biogas rata-rata dihasilkan 0,030. Yield biogas tertinggi diperoleh pada hari ke-21 pada berbagai pretreatment, kadar metan tertinggi tercapai pada hari ke-28 sebesar 64,78% dihasilkan pada pretreatment di serbuk.

2.7 Pemanfatan Biogas

  Biogas atau metana dapat digunakan untuk berbagai keperluan seperti

halnya gas alam. Tujuan utama pembuatan biogas adalah untuk mengisi

kekurangan atau mensubtitusi sumber energi. Biogas mengandung berbagai

macam zat, baik yang terbakar maupun zat yang tidak dapat dibakar. Zat yang

  

tidak dapat dibakar merupakan kendala yang dapat mengurangi mutu

pembakaran gas tersebut. Selain itu biogas ramah lingkungan, karena sumber

bahannya memiliki rantai karbon yang lebih pendek bila dibandingkan dengan

minyak tanah, sehingga gas CO yang dihasilkan relatif kecil.

  

Tabel 6. Perbandingan nilai kalor biogas.

  3 Jenis gas Nilai kalor (joules/cm ) Gas batubara 16,7-18,5

Biogas 20-26

  Gas metana 33,2-39,6

Gas alam 38,9-81,4

Gas propana 81,4-96,2

Gas butana 107,3-125,8

  Sumber : Meynell, 1976

2.8 Reaktor Biogas

  Reaktor merupakan komponen utama dalam produksi biogas. Digester merupakan tempat dimana bahan organik diurai oleh bakteri secara anaerob (tanpa udara) menjadi gas CH

  4 dan CO 2 . Digester harus dirancang sedemikian rupa

  sehingga proses fermentasi anaerob dapat berjalan dengan baik. Pada umumnya produksi biogas terbentuk pada 4-5 hari setelah digester diisi. Produksi biogas menjadi banyak pada 20-35 hari.

  Gambar 4. Digester Biogas

  

Sumber : http://andrew.getux.com/2008

  2.7.1 Jenis-jenis Digester Biogas Terdapat beberapa jenis digester yang dapat dilihat berdasarkan konstruksi, jenis aliran, dan posisinya terhadap permukaan tana. Jenis digester yang dipilih dapat didasarkan pada tujuan pembuatan digester tersebut. Hal yang penting adalah apapun yang dipilih jenisnya, tujuan utama adalah mengurangi kotoran dan menghasilkan biogas yang mempunyai kandungan CH

  4 tinggi. Dari

  segi konstruksi, digester dibedakan menjadi:

  1. Reaktor kubah tetap (Fixed Dome) Digester jenis ini mempunyai Volum tetap. Seiring dengan dihasilkannya biogas, terjadi peningkatan tekanan dalam digester. Karena itu, dalam konstruksinya digester jenis kubah tetap, gas yang terbentuk akan segera dialirkan ke pengumpul gas di luar reaktor. Indikator produksi gas dapat dilakukan dengan memasang indikator tekanan. Skema digester jenis kubah dapat dilihat pada gambar 5.

  Gambar 5. Digester Tipe Fixed Dome

  

Sumber : http://andrew.getux.com/2008 Digester jenis kubah tetap mempunyai kelebihan dan kekurangan seperti pada tabel 4. sebagai berikut: Tabel 7. Kelebihan dan Kekurangan Digester Jenis Kubah Tetap

  

Kelebihan Kekurangan

1.

  1. Konstruksi sederhana dan dapat Bagian dalam digester tidak terlihat dikerjakan dengan mudah. (khususnya yang dibuat di dalam

  2. tanah) sehingga kebocoran tidak Biaya konstruksi rendah.

  3. terdeteksi. Tidak ada bagian yang bergerak.

  4.

  2. Dapat dipilih dari material yang Tekanan gas berfluktuasi dan tahan karat. bahkan fluktuasinya sangat tinggi.

  5.

  3. Umurnya panjang. Temperatur digester rendah 6. Dapat dibuat didalam tanah sehingga menghemat tempat.

  2. Floating Dome (Kubah Apung) Pada digester tipe ini terdapat bagian yang reaktor yang dapat bergerak seiring dengan kenaikan tekanan reaktor. Pergerakan bagian kubah dapat dijadikan indikasi bahwa produksi biogas sudah mulai atau sudah terjadi. Bagian yang bergerak juga berfungsi sebagai pengumpul biogas. Dengan model ini, kelemahan tekanan gas yang berfluktuasi pada reaktor biodigester jenis kubah tetap dapat diatasi sehingga tekanan gas menjadi konstan. Kelemahannya adalah membutuhkan teknik khusus untuk membuat tampungan gas bergerak seiring naik atau turunnya produksi biogas. Kelemahan lainnya adalah material dari tampungan gas yang dapat bergerak harus dipilih yang mempunyai sifat tahan korosi, hal tersebut menyebabkan harganya relatif lebih mahal.

  Gambar 6. Digester Tipe Floating Dome (Kubah Apung)

  

Sumber : http://andrew.getux.com/2008

  3. Reaktor Balon Reaktor balon merupakan jenis reaktor yang banyak digunakan pada skala rumah tangga yang menggunakan bahan plastik sehingga lebih efisiensi dalam penanganan dan perubahan tempat biogas.

  Gambar 7. Reaktor balon

  

Sumber : shodikin,2011