Telaah penafsiran nafs wahidah dalam al-Quran.
TELA’AH PENAFSIRAN
NAFS
WA@#HIDAH
DALAM
AL-QURAN
SKRIPSI Diajukan Kepada
Universitas Islam Negeri (UIN) Sunan Ampel Surabaya untuk Memenuhi salah satu persyaratan dalam menyelesaikan Program
Sarjana Strata Satu (S1) Ilmu Quran dan Tafsir
Oleh:
M. BADRUT TAMAM E03211067
JURUSAN ILMU QURAN DAN TAFSIR
FAKULTAS USHULUDDIN DAN FILSAFAT
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SUNAN AMPEL
SURABAYA
2016(2)
(3)
(4)
(5)
(6)
Abstrak Judul : Penafsiran Nafs Wa@hidahdalam Al-Quran
Dikalangan mufasir, penciptaan Hawa dari Nafs Wa@hidah masih menyimpan pertanyaan. Diantara pertanyaan yang mucul adalah problem penciptaan Hawa apakah diciptakan dari struktur Adam (Nafs Wa@hidah) atau bahkan bagian lain dari jenis Adam, lalu kapan Hawa diciptakan apakah setelah Adam diciptakan atau justru memang diciptakan lebih dahulu dari pada Adam dengan tujuan untuk mendekati Adam ?
Problem tersebut, seakan tidak menemukan titik terang, baik dari kalangan mufasir ataupun pemikir Islam. Berangkat dari permasalahan tersebut, skripsi ini mengupas mengenai persoalan proses diciptakannnya Hawa dari Nafs Wa@hidah. Sejalan dengan permasalahan tersebut, Al-Alusi dalam Tafsir Ruhul Ma’ani menjelaskan bahwa Hawa tercipta dari struktur yang berbeda dengan Adam, bukan bagian dari Adam alias bukan tercipta dari tulang rusuk Adam, seperti pemahaman yang selama ini dianut oleh kaum Nasrani dan Yahudi.
Dalam Al-Quran kata Nafs Wa@hidah setidaknya terdapat dalam lima surat, diantaranya Qs An-Nisa 1, Qs Al-An’am: 98, Qs Al-A’raf 189, Qs Al-Luqman 28, Qs Az-Zumar 6, dan yang terahir. Dalam penafiranya, baik dari Hamka, Quraish, Sayyid Quthb, dan mufasir lainnya semuanya sepakat bahwa Hawa diciptakan dari tulang runsuk (Nafs Wa@hidah), kecuali penafsiran Al-Luqman yang menafsirkan tentang satu jiwa.
Dalam hal ini muafasir klasik dan modern sangat berbeda. Pendapat klasik seperti As-Suyuti, Ibnu Katsir dan mufasir klasik lainnya menyebutkan bahwa bahwa Hawa merupakan bagian Adam. Sedangkan mufasir modern seperi Muhammad Abduh mengatakan bahwa Hawa bukan merupakan bagian dari Adam dengan alasan-alasan tertentu. Maka dari itu, penulis akan memaparkan secara umum mengenai perbedaan penafsiran tersebut, baik dari segi tekstual dan kontekstualnya. Sebab, produk tafsir tergantung zaman. Setiap kapanpun bisa berubah, sesuai kebutuhan zaman.
Untuk menyelesaikan problem penafsiran tersebut, disini penulis menggunakan kaidah Ulumul–Quran sebagai poros analisis agar tidak melenceng dari ril-ril agama Islam.
(7)
DAFTAR ISI
HALAMAN SAMPUL ... i
PERSETUJUAN PEMBIMBING ... ii
PENGESAHAN TIM PENGUJI ... iii
SURAT PERNYATAAN KEASLIAN... iv
MOTTO ... v
KATA PENGANTAR ... vi
HALAMAN PERSEMBAHAN ... viii
DAFTAR ISI ... ix
TRANSLITERASI ... xi
ABSTRAK ... xiv
BAB I PENDAHULUAN A.Latar Belakang Masalah ... 1
B.Batasan Masalah ... 7
C.Rumusan Masalah ... 7
D.Tujuan Penelitian ... 7
E. Telaah pustaka ... 8
F. Sumber Data ... 9
G.Metode Penelitian ... 9
H.Sistematika Pembahasan ... 11
BAB II LANDASAN TEORI A.Pengertian Tafsir... 12
(8)
B.Ikhtilaf Tafsir ... 13
C.Sebab-Sebab Perbedaan Penafsiran ... 16
D.Perbedaan Penafsiran Sebagai Problem ... 21
E. Nafs Wâhidah ... 25
BAB III AYAT-AYAT YANG BERHUBUNGAN DENGAN NAFS WA@HIDAH DAN PENAFSIRANNYA A.Surat An-Nisa’ ayat 1 ... 26
B.Surat Al-An’aam ayat 98 ... 32
C.Surat Al-A’raf ayat 189 ... 36
D.Surat Luqman ayat 28 ... 40
E. Surat Az-Zumar ayat 6 ... 43
BAB IV TELA’AH PENAFSIRAN DAN ANALISIS TENTANG NAFS WA@HIDAH ...50
BAB V PENUTUP A. Kesimpulan... 63
B. Saran-saran ... 64
(9)
BAB I
PENDAHULUAN
A.Latar Belakang
Al-Qur‗an merupakan kitab suci yang sempurna. Satu-satunya bacaan yang tidak ada bandingannya. Sepanjang sejarah tidak ada satu karya pun yang bisa menandingi Mahakarya Tuhan yang sempurna dan mulia ini. Al-Qur‗an juga merupakan bacaan yang paling banyak dibaca oleh ratusan juta orang di dunia baik yang mengerti artinya maupun yang tidak mengerti artinya bahkan yang hanya bisa membacanya tanpa bisa menulisnya. Bahkan dihafal huruf demi huruf oleh orang dewasa, remaja, dan anak-anak.1
Tujuan al-Qur‘an diturunkan salah satunya adalah membebaskan diri manusia dari berbagai bentuk penindasan dan deskriminasi, termasuk deskriminasi seks, warna kulit, suku, gender, dan agama. Oleh karenanya, apabila masih ada penafsiran yang menghasilkan bentuk deskriminasi dan ketidakadilan, maka penafsiran tersebut perlu diteliti kembali.
Meskipun al-Qur‘an adalah kebenaran abadi, namun penafsirannya tidak bisa terhindar dari sesuatu yang relatif. Perkembangan historis berbagai madzhab kalam, fikih dan tasawuf merupakan bukti positif tentang kerelatifan penghayatan keagamaan umat Islam. Pada suatu kurun, kadar intelektualitas menjadi menonjol,
1
M. Quraish Shihab, Wawasan Al-Qur’an: Tafsir Tematik atas berbagai Persoalan Umat
(10)
2
sementara pada kurun lainnya, kadar emosionalitas menjadi menonjol sehingga persepsi tentang perempuan dikalangan umat Islam sendiri juga berubah-ubah.2
Perhatian Umat manusia terhadap al-Qur‗an tidak ada bandingannya. Perhatian tersebut tidak terbatas dari umat Islam saja tetapi juga dari umat manusia pemeluk agama lain selain Islam. Semua aspek dari al-Qur‗an tidak ada habisnya untuk diteliti mulai huruf demi huruf, kata demi kata, pemilihan kosa kata, ayat demi ayat, surat demi surat, susunan redaksi, sebab-sebab turun, waktu turun, proses penyampaian, tata cara membaca serta etika membacanya, kandungan yang tersurat maupun tersirat, dari Al-Qur‗an yang bersifat supranatural yang anhistoris hingga al-Qur‗an yang bersinggungan dengan ruang dan waktu yang bersifat historis. Semua aspek tersebut terus diteliti dari berbagai bidang keilmuan dan pendekatan yang berbeda. Bahkan hasil karya yang membahas aspek-aspek tersebut tidak henti-hentinya menjadi suatu penelitian. Al-Qur‗an adalah kitab yang sebagian ayat-ayatnya bersifat yaḥtamil wujūh al-ma’nā, memungkinkan banyak makna atau penafsiran, atau –dalam ungkapan Martin Whittingham—one book many meanings (satu kitab banyak makna). Muhammad Arkoun pernah mengutip riwayat Abu Darda‗ bahwa: Lā yafqah al-rajūl kull al-fiqh ḥattā yarā fil Qur’ān wujūhan kaṡīrah. Artinya seseorang dikatakan benar-benar paham terhadap al-Qur‗an, sehingga ia dapat melihat berbagai wajah penafsiran yang banyak di dalamnya. Imam Sahl Ibn Abdullah al-Tusturi (w. 283 H), seorang tokoh tafsir Sufi Pernah mengatakan bahwa:
2Said Agil Husain Al-Munawwar, al-Qur‟an Membangun Tradisi Kesalehan Hakiki (Jakarta: Ciputat Press, 2002), hlm. 192.
(11)
3
”Seandainya seorang hamba diberikan pemahaman al-Qur‘an dalam setiap satu hurufnya seribu pemahaman, niscaya hal itu belum sampai menghabiskan seluruh makna yang dikandung oleh firman Tuhan tersebut. Sebab sebagaimana kalam Allah adalah sifat-Nya, dan Allah adalah tak terbatas (unlimited), maka kandungan makna kalam-Nya itu juga tak terbatas”.
Itulah mengapa secara historis-faktual, seiring dengan perjalanan sejarah peradaban umat Islam, tafsir mulai menggunakan berbagai perangkat dan pendekatan penafsiran. Perbedaan latar belakang keilmuan, maupun konteks sosio-historis penafsirannya juga ikut mewarnai corak penafsiran dan meramaikan bursa ‗terjadinya warna-warni penafsiran al-Qur‗an.3 Penafsiran terhadap
al-Qur‗an terus dilakukan oleh ulama-ulama ahli tafsir tak terkecuali penafsiran tentang Nafs Wahidah yang terdapat dalam beberapa ayat sebagai berikut:
Surat An-Nisa‘ ayat 1 yaitu:
Wahai sekalian manusia, bertakwalah kepada Tuhanmu yang telah menciptakan kamu dari NafsW@ahidah, dan menciptakan darinya pasangannya; Allah memperkembangbiakkan dari keduanya laki-laki yang banyak dan perempuan. Dan bertakwalah kepada Allah yang dengan nama-Nya kamu saling meminta satu sama lain, dan (pelihara pula) hubungan silaturrahim. Sesungguhnya Allah Maha Mengawasi kamu.4
3
Abdul Mustaqim, Dinamika Sejarah Tafsir Al-Qur’an: Studi Aliran-Aliran Tafsir dari
Periode Klasik, Pertengahan, hingga Modern-Kontemporer (Yogyakarta: Pondok Pesantren LSQ Ar-Rahmah, 2012), hlm. 10-11
(12)
4
Dalam surat Al-An‘aam ayat 98:
Dan Dialah yang menciptakan kamu dari seorang diri, maka (bagimu) ada tempat tetap dan tempat simpanan. Sesungguhnya telah Kami jelaskan tanda-tanda kebesaran Kami kepada orang-orang yang mengetahui.5
Dalam surat al-A‘raf ayat 189 yaitu:
Dialah Yang menciptakan kamu dari diri yang satu dan dari padanya Dia menciptakan isterinya, agar dia merasa senang kepadanya. Maka setelah dicampurinya, isterinya itu mengandung kandungan yang ringan, dan teruslah dia merasa ringan (beberapa waktu). Kemudian tatkala dia merasa berat, keduanya (suami-isteri) bermohon kepada Allah, Tuhannya seraya berkata: "Sesungguhnya jika Engkau memberi kami anak yang saleh, tentulah kami termasuk orang-orang yang bersyukur.6
Dalam surat Luqman ayat 28:
Tidaklah Allah menciptakan dan membangkitkan kamu (dari dalam kubur) itu melainkan hanyalah seperti (menciptakan dan membangkitkan) satu jiwa saja. Sesungguhnya Allah Maha Mendengar lagi Maha Melihat.7
5Ibid. Hal. 203 6Ibid. Hal. 252 7Ibid. Hal. 657
(13)
5
Dalam surat az-Zumar ayat 6
Dia menciptakan kamu dari seorang diri kemudian Dia jadikan daripadanya isterinya dan Dia menurunkan untuk kamu delapan ekor yang berpasangan dari binatang ternak. Dia menjadikan kamu dalam perut ibumu kejadian demi kejadian dalam tiga kegelapan. Yang (berbuat) demikian itu adalah Allah, Tuhan kamu, Tuhan Yang mempunyai kerajaan. Tidak ada Tuhan selain Dia; maka bagaimana kamu dapat dipalingkan?8
Ungkapan ―min Nafs Wa@hidah” dan ―wa khalaqa minha zawjaha@” Ayat
diatas menimbulkan banyak penafsiran dengan beraneka ragam penafsiran ada dua kubu besar para mufasir berkaitan dengan apa yang dimaksud dengan kata
Nafs Wa@hidah dalam ayat ini. Pertama, mayoritas mufassir memahaminya dalam
arti ―Adam as.”. Pendapat ini dalam Wawasan al-Qur’an dijelaskannya mewakili antara lain pendapat Jalâl al-Dîn al-Suyûthî, Ibn Katsîr, al-Qurthubî, al-Biqâ‘î, dan Abû al- Su‘ûd.9 Pendapat yang memahami kata Nafs Wa@hidah dengan Âdam as.
kemudian berpengaruh dengan pemahaman kata selanjutnya, zaujahâ, yang secara harfiah bermakna ―pasangan”, yaitu istri Âdam yang bernama Hawa. Kedua, pandangan Syekh Muhammad ‗Abduh, Jamâl al-Dîn al-Qâsimî, dan beberapa ulama kontemporer lainnya yang memahami kejadian perempuan berasal dari
8
Ibid. Hal. 746. 9
(14)
6
sperma laki-laki dan perempuan. Argumen-argumen yang dikemukakan adalah sebagai berikut.10 Tafsir ayat dengan ayat lain, yaitu Al-An‘am: 98
Dan Dialah yang menciptakan kamu dari seorang diri, maka (bagimu) ada tempat tetap dan tempat simpanan. Sesungguhnya telah Kami jelaskan tanda-tanda kebesaran Kami kepada orang-orang yang mengetahui.11
Jika kita merujuk ke penjelasan ‗Abduh yang disebut Quraish Shihab mewakili kecenderungan ulama kontemporer argumen yang dikemukakannya adalah munâsabah antarbagian dalam ayat (munâsbah fî alâyah), yaitu ungkapan ―wa batstsa minhumâ rijâlan katsîran wa nisâ’” yang menjelaskan penyebaran manusia dari hasil keturunan memiliki korelasi dengan kelogisan jika kata Nafs
Wa@hidah bukan Âdam, karena penyebaran yang luas tentu berasal dari keturunan
manusia yang terdiri dari laki-laki dan perempuan.12 yang mengangap NafsWa@hidah adalah Adam as maka akan berpengaruh dengan pemahaman
selanjutnya zaujaha yang sejarah harfiah barmakna ―pasangan” yaitu istri Adam pemahaman seperti ini melahirkan pemikiran bahwa hawa yang menotabenenya adalah perempuan, dijadikan dari unsur yang bengkok. Implikasi ini semua menimbulkan ketidakadilan pada perempuan dalam semua kehidupan. Menurut nasaruddin umar, maksud ayatini masih terbuka peluang untuk didiskusikan, karena ayat tersebut menggunakan kata-kata bersayap dan dalam kata-kata
10
Kontroversi penafsiran tentang penciptaan perempuan dalam Al-quran: analisis terhadap penafsiran M.quraish shihab, hal 63.
11
Al-Quran dan Terjemah. Kementerian Agama RI Hal. 203
(15)
7
Nasaruddin Umar masih menjadi misteri (misteri Nafs Wa@hidah). hal itu karena
mufassir memang masih berbeda pendapat, siapa sebenarnya yang dimaksud dengan ―diri yang satu” (Nafs Wa@hidah), siapa yang ditunjuk pada kata ganti
(dhamir) ―dari padanya” (minha), dan apa yang dimaksud ―pasangan” (zauj) pada ayat tersebut.13 dari penjelasan tersebut maka perlunya untuk mecari solusi
penyelesaian agar sesuai dengan tujuan al-Quran.
B.Batasan masalah
Untuk membatasi permasalahan agar lebih mengarah pada topik yang dituju maka pembahasan dalam skripsi ini penulis memfokuskan tentang bagaimana penafsiran para mufassir dan metode penafsiran tentang Nafs Wa@hidah
dalam Al-Quran.
C.Rumusan masalah
Berdasarkan latar belakang diatas, maka rumusan masalah yang perlu diajukan adalah:
1. Bagaimana penafsiran ―Nafs Wa@hidah” menurut para mufassir?
2. Bagaimana metode dan argument penafsiran ―Nafs Wa@hidah” sehingga
ada perbedaan penafsiran?
D.Tujuan penelitian
Adapun tujuan dari penelitian ini adalah sebagai berikut:
1. Untuk mengetahui penafsiran para mufassir tentang “Nafs Wa>hidah”.
2. Untuk mengetahui metode dan argumen mufassir dalam menafsirkan ―Nafs Wa>hidah” yang membuat perbedaan dalam penafsiran.
(16)
8
E.Telaah Pustaka
Ada beberapa karya yang telah membahas tentang Nafs Wa>hidah semisal
tentang penciptaan perempuan dalam tafsir al-Manar pernah ditulis oleh siti munasaroh dalam skripsinya yang berjudul “penciptaan perempuan dalam al-manar” penelitian ini berbeda dengan penelitian yang dilakukan oleh siti munasaroh dia hanya meneliti pemikiran Muhammad abduh dan rosyid ridho yang hanya focus pada surat an-nisa‘ ayat 1. Dalam penelitian ini penulis meneliti teori yang dilakukan mufassir dalam menafsirkan Nafs Wa>hidah
skripsi lain yang membahas tentang Nafs Wa@hidah adalah skripsi ipan
mutaqin yang berjudul “tafsir alquran tentang perempuan menurut analisis gender (studi atas pemikiran sayyid quthb dan taba’tabai)”. Mar‘atun solikah dalam skripsinya yang berjudul ―konsep penciptaan perempuan dalam alquran (studi perbandingan antara penafsiran Imam Nawawi dan Amina Wadud)”. skripsi saudara Heri Susanto yang berjudul Tindakan Suami terhadap Istri yang Nusyuz dalam Surat Al-Nisā‘‘ ayat 34 (Studi atas Penafsiran HAMKA dan M. Quraish Shihab).
Dari sisi pustaka tersebut, sepanjang pengamatan penulis masih belum ada yang membahas tentang Nafs Wa>hidah dengan menggunakan metode penafsiran.
Yang ada hanya meneliti penafsiran perorangan dan hanya fokus pada satu ayat yaitu Surat An-Nisa‘ ayat 1 dan selalu terfokus pada masalah penciptaan perempuan.
(17)
9
F. Sumber Data
Untuk menulis skripsi ini penyusun menggunakan sumber data yang terbagi dua, yaitu sumber data primer dan sumber data skunder. Adapun data tersebut adalah:
1. Sumber data primer a. Al-Quran al-Karim
b. Hadis Nabi Muhammad SAW 2. Sumber data skunder
a. Tafsir al-Qur‘an al-Adhim, karya Ibnu katsir b. Al-qur‘an dan Tafsir, kemenag
c. Tafsir al-Quran al-Hakim (Al-Manar) karya Muhammad Abduh d. Kedudukan dan Peran Perempuan, Kementerian Agama RI dan
lain-lain.
G.Metode penelitian
1. Jenis Penelitian
Penelitian ini dapat dikategorikan ke dalam jenis penelitian library research (Penelitian kepustakaan), mengumpulkan data sekaligus menganalisis referensi- referensi yang ada yang berkaitan dengan masalah yang diangkat. 2. Sumber Data
Sumber yang digunakan dalam penelitian skripsi ini dikelompokan dalam dua kategori, yaitu kategori bahan primer adalah Tafsir al- Manar dan al-Misbah, dan kategori bahan sekunder berupa makalah- makalah, jurnal,
(18)
10
buku- buku yang berkaitan dengan penciptaan perempuan sebagai bahan perbandingan.
3. Pengolahan Data
Mengingat skripsi ini adalah library research maka teknik pengolahan data yang digunakan adalah dokumentasi yaitu dengan mengumpulkan catatan-catatan, buku- buku, surat kabar dan bahan- bahan tertulis lainnya yang berkaitan dengan tema yang akan dibahas. Dengan mengunakan metode
maudlu‟i, yakni metode yang ditempuh oleh seorang mufassir dengan cara menghimpun seluruh ayat-ayat al-Qur‘an yang berbicara tentang satu masalah/tema serta mengarah pada satu pengertiaan/tujuan.
4. Analisis Data
Setelah data-data terkumpul, penulisn dilanjutkan dengan mengolah data-data yang telah didapatkan, agar dapat dipahami dengan jelas. Adapun metode yang digunakan dalam pengolahan data yaitu:
a. Deskriptif, yaitu memaparkan data yang ada kaitannya dengan
permasalahan sesuai dengan keterangan yang didapat.
b. Analistis, yaitu memaparkan segala aspek yang terkandung di dalam
penafsiran ayat- ayat tersebut dengan menerangkan makna-makna yang tercakup di dalamnya sesuai dengan data yang diperoleh.
(19)
11
H.Sistematika Pembahasan
Dalam penyusunan skripsi ini, penulis meringkas semua permasalahan yang dibahas mulai dari bab satu sampai bab akhir, yaitu dengan menggunakan penyusunan sebagai berikut:
BAB I : Pendahuluan yang berisikan gambaran umum yang memuat pola dasar skripsi ini, terdiri dari: latar beakang, Batasan masalah, rumusan masalah, tujuan penelitian, kajian riset sebelumnya, kerangka pemikiran, metode penelitian dan sistematika pembahasan.
BAB II : merupakan landasan teori yang membahas tentang pengertian Al-Quran, pengertian tafsir, pengertian tafsir maudlu‘I, langkah-langjah tafsir madku‘I , dan pengertian
Nafs Wa>hidah.
BAB III : memaparkan penafsiran para mufassir tentang Nasf
Wa>hidahyang didalamnya terdapat perbedaan penafsiran.
BAB IV : Menjelasakan dan menganalisis bagaimana metode dan Argument para mufassir dalam menafsirakan “Nasf
Wa>hidah”. dengan cara memaparkan.
(20)
BAB II
LANDASAN TEORI
A.Pengertian TafsirTafsir adalah suatu cara untuk mamahami isi kadungan Al-Qur‟an. Kata tafsir diambil dari bahasa Arab ريسفتل yang berasal dari رسفا (menerangkan). Akan tetapi untuk menghindari kesalahfahaman pengertian. tentang tafsir Para ulama berbeda pendapat dalam memberikan pengertian tafsir.1 secara bahasa diantaranya
adalah:
1. Dalam Kamus Al-Munjid Disebutkan.Tafsir adalah isim masdar yang berarti ta‟wil, pengungkapan, penjelasan, keterangan, dan penyerahan.2
2. Menurut Imam As-Suyuti.Tafsir mengikuti wazan taf’il berasal dari Al-Fasru artinya menerangkan dan menyingkap.3
3. Menurut Al-Zarkasyi.Tafsir dari kata tafsirah yang berarti alat yang dipakai oleh para dokter untuk memeriksa orang sakit, yang berfungsi membuka dan menjelaskan, sehingga tafsir berarti penjelasan.4
Dari pengertian tafsir menurut bahasa di atas pada dasarnya sama, meskipun disampaikan dengan bahasa yang berbeda. Tafsir memiliki arti penjelasan atau keterangan terhadap maksud yang sukar difahami dari ayat-ayat Qur‟an. Dengan demikian, menafsirkan
1
Muhammad Husain Adz-dzahabi, Tafsir wa Mufassiriun, juz I (Kairo: Kuliyatul Syari‟ah Al-Azhar, 1976), 13.
2
Louis Ma‟luf Al-Yasu‟iy, Al-Munjid fi Al-Lughoh, cet, 10(Bairut:DarAl-Masyiq, 1996), 583.
3
JalaluddinAl-Suyuti, AL-Itqan fi Ulumil Al-Qur‟an, Juz II (Bairut: Dar Al-Fikr,1979), 173.
4
(21)
13
Qur‟an ialah menjelaskan atau menerangkan makna-makna yang sulit difahami dari ayat-ayat Al-Qur‟an.5
B.Ikhtilaf Tafsir
Dalam bahasa Arab yang merupakan bahasa al-Qur‟an, kata „ikhtilaf’ adalah yang mewakili kata perbedaan, dalam arti perbedaan pendapat, berselisih atau tidak sepaham6. Sementara itu DR. Wasim Fathullah sebagaimana dikutip Abdul Karim mendefinisikan ikhtilaf (perbedaan) dalam penafsiran al-Qur‟ān sebagai “ketidaksepakatan para pengkaji al-Qur‟an dalam memahami penunjukan suatu ayat atau lafazh al-Qur‟an terkait dengan kesesuaiannya dengan kehendak Allah Ta’ālā dari ayat itu, dimana sang mufassir kemudian menyimpulkan sebuah makna yang tidak disimpulkan oleh mufassir lainnya.7
Definisi ini memberikan gambaran bahwa setiap perbedaan pemahaman dalam menafsirkan al-Qur‟an, sekecil apapun, maka ia dikategorikan sebagai sebuah ikhtilaf.
Akan tetapi, Musa‟id ibn Sulaiman al-Ṭayyār dalam Fuṣūl fī Uṣul al-Tafsīr sebagaimana juga dikutip Abdul Karim membagi ikhtilaf menjadi dua jenis yaitu Ikhtilāf tanawwu’ (perbedaan yang bersifat variatif) dan Ikhtilāf taḍaḍḍ (perbedaan yang bersifat kontradiktif). Adapun yang dimaksud dengan ikhtilāf tanawwu’ adalah:
5
NasrudinBaidan, Wawasan Baru Ilmu Tafsir (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2005), 67.
6
Ahmad Warson Munawwir, Al-Munawwir : Kamus Arab-Indonesia, Surabaya: Pustaka progresif, cet. 14, 1997, hlm. 362.
(22)
14
1. Sebuah kondisi dimana memungkinkan penerapan makna-makna yang berbeda itu ke dalam ayat yang dimaksud, dan ini hanya memungkinkan jika makna-makna itu adalah makna yang shahih. 2. Makna-makna yang berbeda itu sebenarnya semakna satu sama lain,
namun diungkapkan dengan cara yang berbeda.
3. Terkadang makna-makna itu berbeda namun tidak saling menafikan, keduanya memiliki makna yang shahih.
Contoh ikhtilāf tanawwu’ seperti beberapa penafsiran Mufassir mengenai tafsir ash shirotol mustaqim dalam Q.S. al-Fatihah. Ketika kita mencoba menengok Tafsir al-Khozin kita akan temui bahwa beliau Syaikh „Alauddin menafsirkan dengan thoriqah hasanah (jalan yang baik), kemudian beliau juga mengutip pendapat Ibnu Abbas yang menafsirkan shirotol mustaqim dengan agama islam.8 Berbeda dengan penafsiran
Al-Bagawi, beliau menjadikan kitab Allah sebagai makna penafsiran dari Shirotol Mustaqim, juga kemudian mengutip penafsiran Ibnu Mas‟ud bahwa yang dimaksud Shirotol Mustaqim adalah jalan menuju syurga.9
Beberapa makna yang ada memang semuanya berbeda namun kesemuanya tidak saling menafikan satu sama lain karena Al-Qur‟an merupakan sumber petunjuk bagi orang Islam dimana setiap pribadi muslim senantiasa mengharapkan keselamatan dunia akhirat dan masuk syurga di hari kemudian.
8Syaikh „Alauddin Ali bin Muhamma al-Khazin, Lubab at-Ta’wil fi Ma’ani at_Tanzil, Juz 1, hlm.
3 dalam Maktabah Syamilah
9Syaikh Abu Muhammad Husain bin Mas‟ud al-Baghawi, Ma’alim at-Tanzil, juz 1, hlm. 54 dalam
(23)
15
Sedangkan ikhtilāf taḍaḍḍ adalah makna-makna yang saling menafikan satu sama lain, dan tidak mungkin diterapkan secara bersamaan. Bila satu di antaranya diucapkan, maka yang lain harus ditinggalkan.10 Sebagai contoh adalah
ikhtilaf antara Imam Asy-Syafi‟i dengan Imam Ahmad pada ayat :
Dan jika kamu sakit atau sedang dalam musafir atau datang dari tempat buang air atau kamu telah menyentuh perempuan, kemudian kamu tidak mendapat air, maka bertayamumlah kamu dengan tanah yang baik (suci); sapulah mukamu dan tanganmu. Sesungguhnya Allah Maha Pema'af lagi Maha Pengampun.11
Lafadz (... ءاسنلا متسما وأ), menurut Imam Asy-Syafi‟i, menyentuh di situ makna hakiki karena tidak ada illat/sebab dan qorinah/petunjuk yang mengharuskan terjadinya pemalingan makna ke makna majazi,12 karenanya
menyentuh perempuan menurutnya membatalkan wudhu, sebaliknya menurut Imam Ahmad menyentuh di situ bersifat majazy berdasarkan pada ayat :
10Abdul Karim, Op.Cit.
11Al-Qur‟an al-Karim Surah an-Nisa‟ ayat 43.
12Majaz adalah "Lafadz yang digunakan bukan pada asal peletakannya." Seperti : singa untuk
laki-laki yang pemberani. Yang dimaksud dengan "yang digunakan" : yang tidak digunakan, maka tidak dinamakan hakikat dan majaz. Yang dimaksud dengan "bukan pada asal peletakannya" adalah Hakikat.Tidak boleh membawa lafadz pada makna majaznya kecuali dengan dalil yang shohih yang menghalangi lafadz tersebut dari maksud yang hakiki, dan ini yang dinamakan dalam ilmu bayan sebagai qorinah (penguat).
(24)
16
Jika kamu menceraikan isteri-isterimu sebelum kamu bercampur, maka bayarlah seperdua dari mahar yang telah kamu tentukan itu. kecuali jika isteri-isterimu itu mema'afkan atau dima'afkan oleh orang yang memegang ikatan nikah.13
Karenanya menurutnya menyentuh perempuan tidak membatalkan wudhu walaupun berdosa jika bukan mahramnya, karena hukum keduanya memang berbeda.14
C.Sebab-sebab Perbedaan Penafsiran
Hal-hal yang menyebabkan berbagai perbedaan dalam penafsiran yang muncul dapat digolongkan menjadi dua kelompok, yaitu faktor internal dan eksternal.15
1. Faktor internal
Faktor internal adalah hal-hal yang ada didalam teks Al-Qur‟a itu sendiri yang dianggap sebagai penyebab perbedaan penafsiran, antara lain:
a.Kondisi obyektif teks Al-qur‟an itu sendiri yang memungkinkan dibaca secara beragam.
13Al-Qur‟an al-Karim Surah an-Baqarah ayat 237.
14Beberapa Faktor Terjadinya Ikhtilaf „Ulama dalam http://musliminews.blogspot.com (Kamis, 05
Maret 2015: 12.45 WIB)
(25)
17
Dalam kajian ilmu tafsir perbedaan ragam dalam membaca al-Qur‟an disebut dengan qiraat. Qiraat berkonotasi sebagai suatu aliran yang melafalkan Al Qur‟an yang dipelopori oleh salah seorang Imam qiraat yang berbeda dari pembacaan imam-imam yang lain, dari segi pengucapan huruf-huruf atau hay’ahnya, tapi periwayatannya qiraat tersebut darinya serta jalur yang dilaluinya disepakati. Meskipun qiraat bukan satu-satunya yang dijadikan dasar dalam istinbath (penetapan hukum), namun tak dapat dipungkiri bahwa perbedaan qiraat ada yang berpengaruh besar terhadap produk hukum. Sebagai contoh penafsiran kata dalam ayat:
Dan janganlah kamu mendekati mereka, sebelum mereka suci. Apabila mereka telah suci, maka campurilah mereka itu di tempat yang diperintahkan Allah kepadamu16
Berkaitan dengan ayat di atas, di antara imam qira’at tujuh, sebagaimana Rosihan Anwar yang dikutip Ahmad Mukhlish_, yaitu Abu Bakar Syu‟bah (qira‟at „Ashim
(26)
18
riwayat Syau‟bah), Hamzah, dan al-Kisa‟i membaca kata “yathhurna” dengan memberi syiddah pada huruf tha’ dan ha. Maka, bunyinya menjadi “yuththahhirna”. Berdasarkan perbedaan qira‟at ini, para ulama fiqih berbeda pendapat sesuai dengan banyaknya perbedaan qira‟at. Ulama yang membaca “yathhurna” berpendapat bahwa seorang suami tidak diperkenankan berhubungan dengan istrinya yang sedang haid, kecuali telah suci atau telah berhenti dari keluarnya darah haid.17 Sedangkan berdasarkan qira‟at َنرَهَطَي
maka penafsiran akan bergeser menjadi “Janganlah kamu bersenggama dengan mereka sampai mereka bersuciرهطملا)). Kemudian ditambahkan Hassanuddin AF sebagaimana Izza Rohman_ bahwa, ulama masih berbeda pendapat dalam menafsirkan رهطتلا di sini. Ada yang menafsirkannya sebagai al-istighsal bi al-ma’i (mandi dengan air), ada yang menafsirkannya menjadi al-wudhu‟ (berwudhu), ghasl farj (mencuci farj), dan ghasl al-mauhi`wa al-wudhu’ (mencuci tempat keluarnya dan berwudhu).18
b. Kondisi obyektif dari kata-kata dalam Al-qur‟an yang memungkinkan untuk ditafsirkan secara beragam.
17Ahmad Mukhlish, Pengaruh perbedaan Qira‟at terhadap Istinbath Hukum dalam Al-Qur‟an
dalam (15 Maret 2015 14.20)
(27)
19
Di dalam al-Qur‟an sering kali satu kata mempunyai banyak arti, sebagaimana bahasa Arab yang kaya akan makna. Kadang suatu kata dapat berarti hakiki atau majazi. Seperti kata dharaba tidak selamanya berati „memukul tapi juga bisa berarti „membuat‟ atau „memberikan contoh‟.
c. Adanya ambiguitas atau makna ganda yang terdapat dalam Al-qur‟an.
Dengan adanya kata-kata musytarak (bermakna ganda) sperti kata al-Quru’ yang dapat berarti suci dapat pula haid. Demikian pula kata-kata yang dapat diartikan hakiki atau majas, seperti kata lamasa yang dalam kata aulamastum al-nisa’ dapat berarti menyentuh atau jimak.19
2. Faktor Eksternal
Faktor eksternal adalah faktor-faktor yang berada diluar teks Al-Qur‟an yaitu meliputi:
Kondisi subyektif si mufassir sendiri seperti kondisi sosio kultural, politik, dan bahkan keahlian atau ilmu yang ditekuninya. Termasuk pula riwayat-riwayat atau sumber yang dijadikan rujukan dalam menafsirkan suatu ayat. Seperti halnya al-Farra‟ dengan Ma’anil Qur’annya yang cenderung mengupas persoalan-persoalan
(28)
20
gramatik dalam al-Qur‟an20, tentu akan berbeda dengan
al-Zamakhsyari dengan al-Kasysyafnya yang lebih terkenal dengan pengungkapan kemu‟jizatan al-Qur‟an dalam balaghonya disamping bagaimana beliau membela mu‟tazilah yang diikutinya dengan ra’yu yang digunakannya21.
Persinggungan dunia Islam dengan peradaban di luar Islam seperti yunani, persia, dan dunia barat. Ini dapat kita lihat dengan jelas bagaimana tokoh-tokoh mufassir kontemporer dengan berbagai metode dan pemikirannya yang diambil dari Barat. Seperti Mahmoud Muhammad Thaha dengan teori evolusi syari‟ahnya, Shahrur dengan teori limitnya, Muhammad Arkoun dengan tiga pendekatan semiotik, antropologis dan historisnya, dan lain-lainya yang tentunya berbeda dengan penafsiran para mufassir di era klasik.22
Kondisi politik dan teologis yang ada melingkupi tempat mufassir23. Contoh pengaruh mencolok ini dapat kita lihat dalam
Tafsir fi Dzhilalil Qur’an karya Sayyid kutub yang ditulis dipenjara lantaran pembelaannya terhadap ikhwanul muslimin, tentu akan berbeda nuansanya dengan Tafsir al-Misbah misalnya, dimana Quraisy Shihab yang hidup di Indonesia dengan kondisi politik dan teologis seperti ini. Pada isi penafsiran Sayyid Qutub mengarah pada pergerakan. Beliau mulai menyerukan kebangkitan Islam dan
20Dosen Tafsir Hadits Fakultas Ushuluddin Uin Sunan Kalijaga Yogyakarta, Studi Kitab Tafsir,
edt. A.Rafiq, Yogyakarta: Teras, cet. 1, 2004, hlm.12
21Ibid. Hlm.59
22Sobirin dan Umma Farida, Op.Cit., hlm. 157-164 23Ibid., hlm.9-13
(29)
21
menyerukan dimulainya kehidupan berdasarkan Islam. Sayyid Quthb menyerukan kepada umat agar kembali aqidah salafush shalih. Pemikiran beliau sendiri adalah pemikiran salafi jihadi, yang bersih dari noda. Pemikirannya terfokus pada tema tauhid yang murni, penjelasan makna hakiki La Ilaaha illallah, penjelasan sifat hakiki iman seperti disebutkan al-Qur‟an dan as-Sunnah,dan kewajiban jihad.24
D.Perbedaan Penafsiran sebagai Problem
Penafsiran yang beranekaragam bentuk, corak, metodenya, orientasi ataupun motivasi penafsir satu sisi merupakan kekayaan khazanah Islam dalam tafsir. Akan tetapi di sisi lain keberadaannya merupakan sebuah masalah besar yang perlu mendapatkan perhatian karena al-Qur‟an yang dalam penururunannya merupakan petunjuk bagi segenap manusia namun pada keberadaannya penyikapan kepada Kitab Suci ini seringkali beruwujud pembelaan suatu kelompok untuk menyerang kelompok lain yang sama-sama beragama Islam.
Dalam hal ini ketika para mufassir melahirkan penafsiran yang berbeda-beda dan beraneka ragam, pemakalah melihat bahwa masalah yang ada dapat dikelompokkan ke dalam dua kelompok, yakni problem dalam penafsiran (dan sekitarnya) itu sendiri dan problem bagi kita sebagai orang yang hidup di saat sudah lahir berbagai macam penafsiran atau pemakalah sebut sebagai pembaca produk tafsir.
24Muh Natsir, Studi Analisis tentang Tafsir fi Dzilalil Qur’an, dalam
(30)
22
Yang pertama, dalam penafsiran tersendiri, problem tersebut dapat kita lihat ketika penyebab perbedaan penafsiran yang beraneka ragam sebagaimana disebutkan di atas, diantaranya muncul penafsiran yang tidak murni lagi sebagai upaya untuk menggali makna yang ada di dalam al-Qur‟an untuk nantinya dapat dipahami dan diamalkan kandungannya. Namun ada kalanya penafsiran sebagai akibat keasyikan mufassir yang membidangi ilmu tertentu sehingga pembahasan yang dilakukan jauh melebihi dari membuka tabir makna al-Qur‟an, akan tetapi sibuk berdiskusi tentang suatu tema yang ada dalam suatu ayat. Mereka menafsirkan ayat-ayat al-Qur‟an dengan menggunakan perangkat ilmu-ilmu kontemporer, seperti astronomi, geologi, kimia, biologi dan yang lainnya untuk menjelaskan sasaran dan makna-maknanya.
Pro kontra pun tak dapat dihindari di kalangan ulama. Sebagian yang tidak setuju berpendapat bahwa al-Qur‟an bukanlah buku ilmu pengetahuan, melainkan kitab petunjuk untuk ummat manusia. Masalahnya adalah, jika seseorang berupaya melegitimasi teori-teori ilmu pengetahuan dengan ayat-ayat al-Qur‟an, maka dikhawatirkan jika teori itu runtuh oleh teori yang baru, maka akan menimbulkan kesan bahwa ayat itu pun ikut runtuh, dan bahkan seolah kebenaran ayat al-Qur‟an dapat dipatahkan oleh teori baru ilmu pengetahuan.25 Al-Qur‟an bukanlah buku ilmu pengetahuan, tapi di dalamnya mengandung banyak ayat yang mengandung pesan-pesan moral akan pentingnya mengembangkan ilmu pengetahuan.
(31)
23
Ada juga diantara penafsiran yang dihasilkan oleh orang dari kalangan madzhab tertentu baik fikih ataupun kalam, mereka dengan teguh membela madzhabnya dalam menafsirkan ayat-ayat tertentu, dengan tidak segan menggunakan penakwilan makna suatu kata dalam ayat yang dhohir untuk disesuaikan dengan prinsip madzhabnya, dan bahkan demi menyerang madzhab lain. Sebagaimana para mufassir Mu‟tazilah dalam menyikapi ayat:
Wajah-wajah orang mukmin pada hari itu berseri-seri. Kepada Tuhnnya mereka melihat.26
Mereka mengatakan sebagaimana dikutip Shobirin dan Umma Farida, “Ketahuilah bahwa saudara-saudara kami dengan tegas menyangkal apa yang diduga oleh orang-orang yang meyakini kemungkinan melihat Allah (ru’yah) dengan alasan firman Allah tersebut, dengan mengajukan beberapa argumen. Mereka menjelaskan bahwa kata nazhar di sini tidak berarti melihat, dan melihat tidak merupakan salah satu makna dari nazhar. Nazhar itu bermacam-macam, antara lain:
1. menggerakkan biji mata ke arah suatu benda untuk melihatnya 2. menunggu
3. simpati dan berbaik hati
4. berfikir dan merenung. Mereka mengatakan, “jika melihat (ru’yah) bukan salah satu bagian dari nazhar, berarti pendapat yang mempersamakan arti nazhar dengan ru’yah tidak relevan dengan arti
26
(32)
24
lahiriah tersebut. Sehingga diperlukan mencari ta‟wil ayat dengan arti lain selain ru‟yah itu. Sebagian dari tokoh mu‟tazilah memberikan pena‟wilan dengan arti menunggu pahala meskipun kenyatannya pahala yang ditunggu itu tidak disebut dalam ayat di atas.27
Adapun yang ke dua, problem yang ada ketika banyak sekali perbedaan dalam penafsiran, terkadang menjadikan pembaca bingung dalam memahami al-Qur‟an. Maka, pembaca harus cermat dan cerdas memilih dan memilah pendapat mufassir dalam menyingkap makna al-Qur‟an untuk dijadikan petunjuk. Karena Ummat Islam dapat menjadi lebih baik apabila mereka senantiasa berpedoman kepada Kitabullah sebagaimana yang telah dilakukan oleh para salafus sholih, membacanya dengan benar dari segi bacaan, menghayati dan memahaminya, baik di masjid, musholla atau rumah-rumah, di dalam sholat atau di luarnya, sehingga nampaklah bekasan-bekasan bacaan al-Qur‟an pada diri mereka.28
Perbedaan/ikhtilaf penafsiran dapat diartikan sebagai ketidaksepakatan para pengkaji Qur‟an dalam memahami penunjukan suatu ayat atau lafazh al-Qur‟an terkait dengan kesesuaiannya dengan kehendak Allah Ta’ālā dari ayat itu, dimana sang mufassir kemudian menyimpulkan sebuah makna yang tidak disimpulkan oleh mufassir lainnya.
Adapun penyebab terjadinya perbedaan penafsiran banyak sekali yang dapat digolongkan ke dalam faktor internal yang ada dalaal-Qur‟an itu sendiri, dan di luar al-Qur‟an sebagai faktor eksternal. Kemudian masalah yang muncul
27Ibid., hlm. 85
28Teungku M. Hasbi ash-Shiddieqy, Ilmu-Ilmu Al-Qur’an,Jakarta: Pustaka Rizki Putra, cet. 5,
(33)
25
dari perbedaan penafsiran dapat dikelompokkan ke dalam dua kelompok, yakni problem dalam penafsiran (dan sekitarnya) itu sendiri dan problem bagi pembaca produk tafsir.
E.Pengertian Nafs Wa@hidah
Nafs Wa@hidah secara bahasa berarti “jiwa yang satu”, mayoritas ulama
tafsir memahami istilah ini dalam arti “Adam”. Pemahaman tersebut menjadikan kata Zauja “pasangan” adalah istri Adam as. Yang biasa di sebut hawa. Karena ayat ini menyatakan bahwa pasangan itu diciptakan dari Nafs Wa@hidah, yaitu
Adam, maka sebagian mufassir memahami bahwa istri Adam diciptakan dari Adam sendiri. Pemahaman ini melahirkan pandangan negative terhadap perempuan dengan menyatakan bahwa perempuan adalah bagian dari laki-laki.
Ada pula sebagian ulama mengartikan atau memahami Nafs Wa@hidah
dalam arti jenis manusia laki dan perempuan. Pemahaman demikian melahirkan pendapat bahwa pasangan adam diciptakan dari jenis manusia juga, kemudian dari keduanya lahirlah manusia yang ada dibumi ini.
(34)
BAB III
AYAT-AYAT YANG BERHUNGAN DENGAN
NAFS
WA@HIDAH
DAN PENAFSIRANNYA
A.Surat An-Nisa’ Ayat 1
Hai sekalian manusia, Bertakwalah kepada Tuhanmu yang telah menciptakan kamu dari diri yang satu, dan dari padanya Allah menciptakan isterinya; dan dari pada keduanya Allah memperkembang biakkan dari keduanya laki-laki dan perempuan yang banyak. Dan bertakwalah kepada Allah yang dengan nama-Nya kamu saling meminta satu sama lain, dan (pelihara pula)
hubungan silaturrahim. Sesungguhnya Allah Maha Me ngawasi kamu.1
Munasabah
Pada surat Ali imron, Allah memerintahkan Umat islam untuk bertakwa, pada ayat ini yang merupakan awal surat, perintah takwa itu dipertegas.2
Tafsir ayat
Di dalam ayat ini Allah memerintahkan kepada manusia agar bertaqwa kepada Allah, yang memelihara manusia dan melimpahkan nikmat karunianya. Dialah yang menciptakan manusia dari seorang diri yaitu Adam. Dengan
demikian, menurut jumhur mufassir, Adam adalah manusia pertama yang
diciptakan oleh Allah. Kemudian dari diri yang satu itu Allah menciptakan pula
1Departemen agama RI, Al-Quran dan Terjemahnya, hal 114 2 Kementerian Agama RI. Alquran dan tafsirnya. Jilid 2. Hal 110
(35)
27
pasangan yang biasa disebut dengan hawa. Dari Adam dan Hawa berkembang biaklah manusia.3
Menurut Ibnu Katsir Allah memerintahkan ciptaan-Nya agar bertakwa kepada-Nya, yaitu dengan beribadah hanya kepada-Nya yang tidak memiliki
sekutu, sambil mengingatkan mereka atas kekuasan-Nya yang mampu
menciptakan mereka dari diri yang satu, yaitu Âdam as (dan menciptakan darinya pasangannya), yaitu Hawâ. yang diciptakan dari tulang rusuk kiri Âdam tanpa sepengetahuannya, ketika ia tidur. Kemudian ia terbangun dan melihat Hawâ„,
Âdam terkagum, keduanya pun saling mencintai4
Pendapatnya itu didasarkan pada sebuah riwayat yang berasal dari Qatadah, al-Sadi dan Ibn Ishaq yang menyatakan bahwa Hawa diciptakan Allah dari tulang rusuk Adam sebelah kiri ketika dia sedang tidur
ْىاف ه
ا
ْعأ عل
ضلا يف ءْييش ج ْعأ ْىإ علض ْيه ْتقلخ ةأْرولْا
ِ
ىإ
َ
تْسا ايب تْعتْوتْسا ْىإ وتْرسك ووْيقت تْبىر
ج ع ايْيف ايب تْعتْو
Sesungguhnya wanita diciptakan dari tulang rusuk. Dan tulang rusuk yang paling bengkok adalah bagian yang paling atas. Jika engkau memaksakan untuk meluruskannya, maka engkau akan mematahkan-nya, tetapi jika engkau bersenang senang dengannya, maka bersenang-senanglah dengannya, sedangkan
engkau padanya terdapat kebengkokan5
Seruan Tuhan pada ayat ini tertuju kepada sekalian manusia, tidak mengenal Negeri atau pun Benua, Bangsa atau kulit. Diperingatkan disini dua hal, pertama supaya bertakwa kepada Allah kedua supaya mengeti, bahwa sekalian
3 Al-Quran dan Tafsirnya Kementerian Agama jilid 2 hal 110. 4 Tafsir Ibnu Katsir Jilid 2. Hal 1.
(36)
28
manusia ini dibagian bumi yang manapun mereka berdiam, namun mereka adalah satu belaka. Tegasnya Allah adalah satu dan kemanusiaan pun satu.6
“Dan dari padanya dijadikannya isterinya.” yaitu dari diri satu itu juga ditimbulkan pasangannya. Baik juga kita ketahui, bahwasannya tafsir yang umum sejak dahulu, ialah bahwa yang dimaksud diri yang satu itu ialah Adam, yang dari padanya dijadikan jodohnya
“Dia telah menjadikan kamu dari diri yang satu”
Ialah bahwa seluruh manusia itu, laki-laki dan perempuan, dibenua manapun mereka diam. Dan betapa pun warna kulitnya, namun mereka adalah diri yang satu. Sama-sama berakal, sama-sama menginginkan yang baik dan tidak menyukai yang buruk, sama-sama suka yang elok dan tidak suka yang jelek. Oleh sebab itu hendaklah dipandang orang lain itu sebagai diri kita sendiri juga7
“Wahai manusia, bertakwalah kepada Tuhanmu yang telah menciptakan kamu dari diri yang satu”, yakni Adam atau jenis yang sama, tidak ada perbedaan dari segi kemanusiaan antara seorang manusia dan yang lain, “dan” Allah ”menciptakan darinya”, yakni dari diri yang satu itu “pasangannya”, dari keduanya, yakni Adam dan isterinya atau lelaki dan perempuan yang berpasangan itu Allah “memperkembang biakkan laki-laki yang banyak dan perempuan” pun demikian. “Dan berakwalah kepada Allah yang dengan namanya kamu saling meminta dan” pelihara pula “hubungan silaturrahmi”. Jangan putuskan hubungan
6Hamka Tafsir Al-Azhar, Juzu‟ 4-5-6- hal. 216 7Ibid, 219.
(37)
29
tersebut karena apa pun yang terjadi “sesungguhnya Allah” terus-menerus maha mengawasimu8.
Dalam menafsirkan penggalan ayat, alladzî khalaqa lakum min nafsin wâhidah (Dia yang telah menciptakan kamu dari diri yang satu), Rasyid Ridha
mengemukakan bahwa ayat itu sebenarnya merupakan ungkapan tentang qudrah
(kekuasaan Allah Swt). Akan tetapi, menurut Muhammad Abduh, penggalan ayat itu merupakan tamhîd (pembuka/pengantar) untuk kalimat berikutnya yang menerangkan tentang tanggung jawab terhadap anak yatim. Abduh mengatakan, awal ayat ini bisa dipahami sebagai berikut:
“Wahai sekalian manusia, takut dan bertakwa-lah kepada Allah yang telah menetapkan apa yang kamu lakukan, dan ketahuilah bahwasanya kamu sekalian bersaudara, kamu berasal dari satu nasab dan akan kembali pada asal yang satu. Maka selalu berbuat baik-lah kepada yang lemah, seperti anak yatim yang tidak mempunyai orang tua, dan peliharalah hak-hak mereka.”
Sedangkan menurut Muhammad Abduh dalam Tafsir Al-Manar, mengatakan bahwa Menurut Abduh, kata nafs wâhidah baik secara tekstual maupun kontekstual, adalah bukan Adam. Menurutnya apabila telah disepakati oleh para ahli tafsir bahwa setiap panggilan yang menggunakan yâ ayyuha an-nâs sebagai panggilan khusus bagi penduduk kota Mekah atau suku Quraisy, boleh jadi yang dimaksud nafs wâhidah adalah penduduk Quraisy atau suku „Adnan. Apabila yang dikehendaki dengan ayat tersebut adalah masyarakat Arab pada
(38)
30
umumnya, maka yang dimaksud dengan kata tersebut adalah semua bangsa Arab atau Qahthan. Akan tetapi, apabila kita sepakat bahwa khithab tersebut ditujukan khusus untuk orang Islam atau untuk seluruh umat Islam, tidak diragukan lagi bahwa setiap umat akan memahami apa yang mereka yakini. Orang meyakini bahwa seluruh umat manusia adalah keturunan Adam, mereka mungkin akan memahami "diri yang satu" tersebut adalah Adam.
Akan tetapi, berdasarkan indikasi-indikasi (qorînah) ayat, Muhammad Abduh tetap meyakini bahwa yang dimaksud dengan nafs wâhidah pada ayat tersebut bukan Adam. Alasan Abduh adalah kata wa bassa minhumâ rijâlan
katsâra wa nisâan adalah dalam bentuk nakirah (kata benda yang masih umum).
Bagaimana bisa ditentukan bahwa khithab ayat itu adalah untuk seluruh umat9
Memang telah terjadi banyak perbedaan ulama dalam menanggapi ayat nafs wâhidah, namun, menurut Abduh setidaknya ada dua hal yang harus diperhatikan, antara lain:
1. zhohir ayat tersebut sendiri menunjukkan bahwa yang dimaksud
adalah bukan Adam karena akan bertentangan dengan temuan-temuan ilmiah pengetahuan dan sejarah.
2. dalam al-Qur'an tidak ditemukan teks yang pasti (qoth'i) bahwa seluruh manusia berasal dari keturunan Adam.
penafsiran nafs wahidah kepada Adam bukan inti dari kandungan ayat tersebut. Apabila konteks tersebut dipahami Adam, maka konsekuensinya, kata
9
(39)
31
yang datang sesudahnya harus ma‟rifat, akan tetapi kenyataannya makna yang sesudahnya adalah nakirah.10
Muhammad „Abduh mengatakan: konteks ayat tersebut menunjukkan bahwa yang dimaksud di sini dengan diri yang satu bukanlah Âdam. Firman Allah
“Allah memperkembangbiakkan dari keduanya laki-laki yang banyak dan
perempuan” diungkapkan dengan infinitive (nakirah). Dengan bentuk ungkapan
seperti ini, akan sesuai jika difirmankan-Nya: “Allah memperkembangbiakkan
dari keduanya semua laki-laki dan perempuan”. Karena bagaimana mungkin
al-Qur‟an menyebut diri (nafs) yang tertentu, padahal konteks pembicaran tersebut bersifat umum ditujukan kepada semua bangsa. Penentuan ini tidak dikenal oleh mereka semua, karena di antara manusia ada yang tidak mengenal nama Âdam maupun Hawa`, bahkan mereka tidak pernah mendengar nama keduanya sama sekali.
Garis keturunan yang dikenal di kalangan anak-cucu Nûh ini, misalnya, terambil dari kalangan orang-orang Ibrani karena merekalah yang menjadikan manusia keterkaitan sejarah dengan Âdam dan mereka batasan waktu singkat dalam sejarah manusia. Penduduk China malah mengaku memiliki hubungan keturunan dengan nenek moyang yang lain dan dengan sejarahnya mereka bahkan melampaui batas waktu yang seperti yang diyakini oleh kalangan orang-orang Ibrani. Ilmu dan penelitian tentang sejarah peninggalan-peninggalan manusia bisa menjelaskan sisi kekeliruan dalam sejarah kalangan orang-orang Ibrani. Kita sebagai orang Islam tidak perlu memaksakan diri untuk membenarkan sejarah
10
(40)
32
Yahudi, meskipun mereka mengklaim sejarah mereka memiliki keterkaitan dengan Musa a.s., karena kita tidak bisa mempercayai bahwa sejarah mereka berasal dari Taurat dan tetap utuh sebagaimana yang dibawa oleh Musa11
B.Surat Al-An-aam ayat 98
Dan Dialah yang menciptakan kamu dari seorang diri, maka (bagimu) ada tempat tetap dan tempat simpanan. Sesungguhnya telah Kami jelaskan tanda-tanda kebesaran Kami kepada orang-orang yang mengetahui.12
Munasabah
Pada ayat-ayat sebelumnya dijelaskan mengenai hal-hal yang bersangkutan dengan kebenaran agama tauhid, yang diperjuangkan oleh para nabi. Untuk perjuangan itu mereka diberi kenabian agar mereka mempunyai kekuatan hati dalam membimbing umat. Disamping itu mereka telah diberi kitab sebagai pedoman dalam membimbing umat. Pada ayat ini dijelaskan kepada umat manusia tentang keunikan kejadian jagat raya dan segenap isinya sebagai bukti keesaan Allah, kekuasaan, pengetahuan serta kebijakan dan kearifan.13
11 Wardani. penciptaan perempuan dalam al-Aquran. Analisis terhadap Penafsiran M. Quraish
Shihab. Hal, 66
12 Departemen agama Al-Quran dan terjemanhnya RI, hal, 203 13 Kementerian Agama RI Al-quran dan Tafsirnya Jilid 3 hal 186.
(41)
33
Tafsir ayat
Allah mengajak manusia untuk memikirkan kejadian diri mereka sendiri yaitu mereka diciptakan oleh Allah dari diri yang satu. Penjelasan ini memberikan pengertian bahwa semua manusia yang terdiri dari berbagai Bangsa dan Suku dengan beraneka ragam bentuk dan warna kulitnya, berpangkal dari satu asal yaitu Adam dan Hawa. Mereka ini diciptakan oleh Allah dari satu jenis (dari tanah)14 seperti juga dijelaskan dalam firmannya:
Wahai sekalian manusia, bertakwalah kepada Tuhanmu yang telah menciptakan kamu dari diri yang satu, dan menciptakan darinya pasangannya; Allah memperkembang biakkan dari keduanya laki-laki yang banyak dan perempuan15
Kemudian Allah menjelaskan proses pengembang biakan manusia, bahwa proses pengembangbiakan itu terjadi atas kuasa Allah pula. Manusia diciptakan dari sperma dan ovum. Sperma berasal dari laki-laki dan ovum berasal dari wanita. Sperma yang terpancar dari laki-laki membuahi ovum, yang dalam beberapa waktu lamaya berada dalam rahim wanita; sesudah melalaui proses tertentu lahirlah seorang banyi. Sejak saat itu hidup di alam dunia sampai ajal tiba, lalu kembali ke alam baka.16
14Ibid. hal. 186
15 Departemen agama Al-Quran dan terjemanhnya RI, hal, 114 16 Kemeterian Agama RI, Alquran dan Tafsirnya jilid. 3 hal. 191.
(42)
34
Penjelasan ini merupakan perluasan dari ayat-ayat yang lalu agar manusia mendapat penjelasan secara terperinci, bahwa kekuasaan Allah tidak hanya berlaku pada benda-benda mati akan tetapi juga berlaju bagi makhluk-mahkluk yang hidup. Hal ini pun dapat dipahami oleh orang-orang yang suka memahami
Menurut Ibnu Katsir
Dan Dialah yang menciptakan kamu dari seorang diri,
Maksudnya nabi Adam as.17
عدْ تْسه
رقتْسوف
ٌ
maka (bagimu) ada tempat tetap dan tempat simpanan
tempat tetap maksudnya tulang sulbi. Tempat simpanan adalah rahim wanita
ى يقْفي مْ قل تايْ
ْ
ا انْل
صف ْذق
َ
Sesungguhnya telah Kami jelaskan tanda-tanda kebesaran Kami kepada orang-orang yang mengetahui.
Artinya, orang-orang yang mengerti dan memahami kalamullah serta makna yang terkandung di dalamnya
Menurut prof. Hamka kita orang Islam, dan sejarah Ahlul kitab, Yahudi dan Nasrani, bahwasannya kita manusia ini adalah berasal dari satu diri, yaitu Nabi Adam maka diri yang satu itulah yang berkembang biak memenuhi dan meratai dunia, dengan berbagai bangsa dan bahasa dan warna kulit karena
(43)
35
pengaruh iklim. Kita ditumbuhkan sejak dari setetes air mani, lalu berarsur tumbuh mejadi segumpal nuthfah, kemudian alaqah, kemudian itu tumbuh menjadi mudghah, kemudian itu lahir menjadi manusia. Maka sebagai mana tumbuhnya biji kecil, sampai menjadi pohon besar yang rindang, demikian pulalah pertumbuhan manusia. Kemudian ditetapkan sementara waktu tinggal didunia ini, setelah itu ditumpangkan didalam kubur yang sunyi sampai datang masa panggilan. “sesungguhnya telah kami jelaskan ayat-ayat bagi kaum yang
mau memahamkan”18
Dalam tafsir Al-Misbah “Dia juga yang menciptakan kamu”, wahai umat
manusia, “dari seorang diri”, yakni Adam as. Yang melalui isterinya kamu berkembang biak atau menciptakan kamu dari jenis yang satu, “maka ada” bagi setiap orang di antara kamu “tempat menetap dan” ada “juga tempat simpanan”. Sesungguhnya telah kami jelaskan dengan beraneka macam cara “tanda-tanda” kebesaran dan kekuasaan “kami kepada orang orang yang mengetahui secara dalam” dan terliti.19
Ayat ini berbicara tentang asal kejadian manusia yang sama dari seorang ayah dan ibu atau sperma Ayah dan ovum ibu, tetapi tekanannya pada persamaan hakikat kemanusiaan orang per orang karena masing-masing, walau berbeda-beda ayah dan ibunya, unsur dan proses kejadiannya sama.20
C.Surat Al-A’raf ayat 189
18 Hamka. Tafsir Al-Azhar juzu‟ 7-8-9 Hal. 290. 19 M. Quraish Shihab. Tafsir Al-Misbah Jilid. 3 hal. 572 20 Ibid., hal 573
(44)
36
Dialah Yang menciptakan kamu dari diri yang satu dan dari padanya Dia menciptakan isterinya, agar dia merasa senang kepadanya. Maka setelah dicampurinya, isterinya itu mengandung kandungan yang ringan, dan teruslah dia merasa ringan (beberapa waktu). Kemudian tatkala dia merasa berat, keduanya (suami-isteri) bermohon kepada Allah, Tuhannya seraya berkata: "Sesungguhnya jika Engkau memberi kami anak yang saleh, tentulah kami termasuk orang-orang yang bersyukur."21
Munasabah
Pada ayat yang telah lalu Allah SWT menerangkan tingkah laku dan sikap mental orang musyrik mekah yang menyimpang dari fitrahnya. Mereka ingkar kepada keesaan
Allah swt, kepada kenabian dan kepada hari kiamat. Pada ayat ini Allah
mengungkapkan sejarah penyimpangan manusia dari fitrahnya, yang sebenarnya telah ada jauh sebelum zaman Quraisy di mekkah itu.22
Tafsir ayat
Dalam ayat ini Allah menjelaskan bahwa manusia itu diciptakan dari jenis yang satu, dan dari jenis yang satu itu diciptakan pasangannya, maka hidup mereka berpasangan pria-wanita (suami-isteri) dan tenteramlah mereka dengan isterinya itu. Hidup berpasangan suami isteri merupakan tuntutan kodrati manusia rohaniyah dan jasmaniah. bila seseorang telah mencapai usia dewasa, timbullah keinginan untuk hidup berpasangan sebagai suami isteri, dan dia akan mengalami
21 Departemen Agama RI, Al-Quran dan Terjemahnya hal, 253 22 Kementerian Agama RI. Alquran dan Tafsirnya.Jilid 3 Hal. 547
(45)
37
keguncangan hidup batin apabila keinginan itu tidak tercapai. Sebab dalam berpasangan suami-isteri itulah terwujud ketentraman. Ketentraman tidak akan terwujud dalam diri manusia diluar hidup berpasangan suami-istri. Maka tujuan hidup seorang istri pada seorang laki-laki di dalam Agama Islam ialah menciptakan hidup berpasangan itu sendiri. Islam mensyariatkan manusia agar mereka hidup berpasangan suami-istri, karena dalam situasi hidup demikian itu
manusia menemukan ketentraman dan kebahagiaan rohaniayah dan jasmaniah.23
Bila kedua suami-istri itu kumpul, mulailah istrinya mengandung benih. Saat permulaan dari pertumbuhan benih itu terasa ringan. Pertama-tama terhentinya haid dan selanjutnya benih itu berproses, perlahan-lahan maka ketika kandungannya mulai berat, ibu bapak melanjutkan doa kepada Allah agar keduanya dianugerahi anak yang sholeh, sempurna jasmani, berbudi luhur, cakap melaksanakan tugas kewajiban sebagai manusia. Kedua, isteri itu berjanji akan mewajibkan atas dirinya sendiri untuk bersyukur kepada Allah karena menerima nikmat itu dengan perkataan, perbuatan dan keyakinan.24
Menurut Ibnu Katsir Allah Swt. Mengingatkan, sesungguhnya dia telah menciptakan semua umat manusia dari Adam a.s. dialah pula yang menciptakan istrinya –yaitu Hawa- dari dirinya, kemudian Allah menyebarkan manusia dari keduanya.
ايْيلإ يكْسيل ايجْ ز ايْنه لعج
23 Kementerian Agama RI. Al-Quran dan Tafsirnya Jilid 4. hal. 547. 24 Kementerian Agama RI Al-Quran dan Tafsirnya Hal. 547.
(1)
63
pelimpah karunia buat mereka berdua seraya berkata: demi kekuasaan dan keagungan-mu jika engkau menganugerahi kami anak yang sempurna, tentulah kami termasuk kelompok yang bersyukur. Maka, tatkala dia, yakni Allah swt, menganugerahi untuk keduanya anak yang sempurna, maka keduanya, yakni pasangan itu menjadikan baginya sekutu seperti berhala, bintang, matahari, alam dan lain-lain terhadap apa, yakni anak yang telah dia nugerahkannya kepada keduanya. Yakni mereka tidak bersyukur bahkan menyatakan bahwa anak itu diperolehnya bukan anugerah dari Allah semata, tetapi berkat pahala dan hukum-hukum alam. Maka, maha tinggi Allah dari apa yang mereka persekutukan.
Dalam konteks pada penafsiran ayat ini M.Quraish shihab mengartikan
Nafs Wa@hidahdengan jiwa yang satu atau dengan jenis yang satu karena kalau pada ayat ini diartikan dengan Nafs Wa@hidah adalah Adam dan Zaujaha adalah Hawa maka akan bertentangan dengan ayat selajutnya yang mengatakan bahwa mereka berdua menyekutukan Allah dengan mengatakan bahwa anak yang lahir bukanlah anugerah dari Allah tetapi hasil dari hukum alam.
(2)
BAB V
PENUTUP
A.KesimpulanProblem penafsiran Nafs Wa@hidah sampai detik ini masih menjadi misteri.
Misalnya Nafs Wa@hidah ditafsirkan dengan Nabi Adam, ada pula yang
menjelaskan bahwa Nafs Wa@hidah tersebut, bukan dimaknai sebagai Adam karena
tidak ada korelasinya dengan terciptanya Adam. Berdasarkan pemaparan diatas,
penulis dapat menyimpulkan beberapa hal:
1. Sebagian pendapat, khsusnya mufasir klasik menafsirkan bahwa Nafs
Wa@hidah diartikan sebagai Adam dengan landasan al-Quran dan Hadis. Namun, ulama kontemporer menafsirkan bahwa ayat tersebut
bukan dimaknai sebagai Adam, sebab ayat tersebut secara literal
merujuk kepada semua manusia menggunakan awalan
“yaayyuhannas”. Tidak mungkin kiranya, jika ayat tersebut hanya ditujukan kepada Adam. Muhammad Abduh dalam kitabnya, Tafsir al
Manar menjelaskan bahwa menafsirkan Nafs Wa@hidah dengan Adam
tidak ada korelasinya, justru nanti akan menimbulkan tafsir yang
berbeda pada ayat selanjutnya. Alasan yang kedua, Kalau yang
dimaksudkan ayat itu adalah Adam, maka Adam, makaAdam yang mana? Adam sendiri masih merupakan misteri di kalangan ulama tafsir. Kalangan mufassir mengisyaratkan adanya Adam-Adam sebelum Nabi Muhammad,
seperti dikemukakan oleh al-Alusi dalam Tafsir uh al-Ma'ani, sesungguhnya
(3)
64
2. Peradaban yang berbeda akan membuahkan tafsir yang berbeda pula.
Peranan horizontal (budaya, politik, peradaban, dogma, dll) menjadi
pemicu lahirnya perbedaan sebuah produk tafsir. Begitu pula dengan
penafsiran Nafs Wa@hidah Qs. An-Nisa; 1, Qs. Al-An’am; 98, Qs. Al
-A’raf; 189, Qs. Luqman; 28,Qs. Az-Zumar 6. Ayat tersebut
menyinggung persoalan Nafs Wa@hidah, ada yang mengartikan sebagai
Adam dan ada pula yang menyebutkan bahwa ayat tersebut sama sekali
tidak menyinggung Adam. Adapun perbedaan produk tafsir tersebut,
sebut saja penafsiran Jalaluddin As-Suyuti, IbnuKatsir, Qurtubu, Al-Bika’i, dan Abu As-Su’ud, jelas tokoh tersebut merupakan tokoh klasik
yang menafsirkan bahwa Nafs Wahidah merupakan Adam. Sementara
tokoh modern seperti Muhammad Abduh menafsirkan bahwa ayat
tersebut tidak menjelaskan Adam seperti yang telah yang dijelaskan di
bab sebelumnya. Hal itu terjadi, penulis memberikan hipotesis bahwa
peranan horizontal yang menjadikan situasi pemikiran tersebut berbeda
dan pendekatan yang dilakukan keduanya
B.Saran-saran
Kepada pembaca dan mahasiswa, penelitian mengenai ayat tentang Nafs
Wa@hidah perlu diadakan penelitian ulang dengan tokoh penafsiran yang berbeda. Sebab pemahaman tentang penciptaan perempuan, seiring dengan berkembangnya
zaman dan budaya, baik dari mufassir klasik maupun kontemporer sering
(4)
65
Penulis menyadari bahwa “tiada gading yang tak retak” begitu juga dengan penulisan skripsi ini yang banyak terdapat kekurangan dan jauh dari
sempurna. Untuk itu kritik dan saran yang bersiafat membangun sangat penulis
harapkan. Akhirnya hanya kepada Allah swt, penulis memohon petunjuk dan
(5)
DAFTAR PUSTAKA
Al-Qur’an dan Terjemahnya, Kementerian Agama RI Semarang: PT. Karya Thoha Putra Semarang.
Al-Qur’an dan Tafsirnya, Kementerian Agama RI, Jakarta:tp, tt.
‘Abduh, Muhammad, RasyîdRidhâ. Tafsîr al-Qur`ân al-Hakîm juz 4(al-Manâr), Kairo: Dar al-Fikr, 1947.
Al-Farmāwī, Abdul Hayy.Metode Tafsir Mauḍū’ī, Suatu Pengantar. terj. Suryan Jamrah, Jakarta: PT Grivindo Persada. 1994.
Alu syakh, Muhammad.Terjemah tafsir ibnu katsir, Jakarta: Pustaka Imam Syafi’i, 2009.
Anwar, Rosihan. Samudera Al Quran, Bandung: PustakaSetia, 2001.
Ahmad Warson Munawwir, Al-Munawwir :Kamus Arab-Indonesia, Surabaya:
Pustaka progresif, cet. 14, 1997.
Baidan, Nashruddin. Tafsir bi al-Ra‟yi: Upaya Penggalian Konsep Wanitadalam al- Qur‟an, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1999.
Chalik, Chaerudji Abd. Ulum al-Qur’an, Jakarta: Diadit Media, 2007.
Dosen Tafsir Hadits Fakultas Ushuluddin Uin Sunan Kalijaga Yogyakarta, Studi
Kitab Tafsir, edt. A.Rafiq, Yogyakarta: Teras, cet. 1, 2004.
Hamka. Tafsir al-Azhar, Jakarta: Pustaka Panjimas. 2000.
Ichwan, Mohammad Nor. TafsirIlmiy: Memahami Al Qur’an Melalui Pendekatan Sains Modern, Jogjakarta: Menara Kudus, 2004.
IbnuKatsir, Imaduddin Abu Fida Ismail.Tafsir Al-quran al-Adhim, Lebano: Dar al-Kutub al-Ilmiyah, 1994.
Munawar, Said Aqil Husein Al, al-Qur’an Membangun Tradisi Kesalehan Hakiki, Jakarta: Ciputat Press, 2002.
(6)
Mustaqim, Abdul. Dinamika Sejarah Tafsir al-Qur’an: Studi Aliran-Aliran Tafsir dari Periode Klasik, Pertengahan, hingga Modern-Kontemporer, Jogyakarta: Pondok Pesantren LSC ar-Rahmah, 2012.
Mansur, Muhammad. Ma’anil Al-Qur’an Karya Al-Farra’ dalam Studi Kitab Tafsir,
edit. A. Rofiq, Yogyakarta: Teras, cet. 1, 2004.
Qaţṭan, Mannā’ Khalīl. Studi Ilmu-Ilmu Qur’an.terj. Mudzakir AS. cet. 14, Jakarta: Litera Antar Nusa-Halim Jaya, 2011.
Shihab, M. Quraish. Membumikan al-Qur’an: Fungsi dan Peran Wahyu dalam Kehidupan Masyarakat. Bandung: Mizan, 1995
_______. Wawasan al-Qur’an, Bandung: Mizan, 1997.
_______. Tafsir al-Mishbah: Pesan, Kesan, danKeserasian al-Qur’an, Jakarta: LenteraHati, 2000.
Shobuni, Moh Ali Al, Pengantar Ilmu al-Qur’an, Surabaya: al-Ikhlas: 1999.
Syaikh Abu Muhammad Husain bin Mas’ud al-Baghawi, Ma’alim at-Tanzil, juz 1, hlm. 54 dalam Maktabah Syamilah
Syaikh‘Alauddin Ali bin Muhamma al-Khazin, Lubab at-Ta’wil fi
Ma’aniat_Tanzil,Juz 1, hlm. 3 dalamMaktabahSyamila
Teungku M. Hasbi ash-Shiddieqy, Ilmu-Ilmu Al-Qur’an,Jakarta: Pustaka Rizki Putra,
cet. 5, 2013
Wardani. Kontroversi Penafsiran Tentang Penciptaan Perempuan Dalam al-Qur’an. Analisis Terhadap Penafsiran M. Quraish Shihab.
Zarkasyi, Imam Badruddin Muhammad bin Abdullah Al. al-Burhan fi ‘Ulum al -Qur’an, Beirut-Lebanon: Dar al-Fikr, tt.