KONSEP MAHAR DALAM AL QURAN : TELAAH TEMATIK.

(1)

KONSEP MAHAR DALAM AL-QURAN

(Telaah Tematik)

Skripsi:

Disusun untuk memenuhi tugas akhir guna memperoleh gelar Sarjana Strata Satu (S1) dalam Ilmu al-Quran dan Tafsir

Oleh:

LAILATUL MAGHFIROH NIM: E73213127

PRODI ILMU AL-QURAN DAN TAFSIR FAKULTAS USHULUDDIN DAN FILSAFAT UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SUNAN AMPEL

SURABAYA


(2)

(3)

(4)

(5)

(6)

ABSTRAK

Maghfiroh, Lailatul Konsep Mahar dalam al-Qura>n (sebuah kajian tematik). Masalah yang diteliti dalam penelitian ini adalah, Bagaimana Konsep Mahar dalam al-Qura>n serta Bagaimana kontekstualisasi Mahar dalam Masyarakat.

Tujuan penelitian ini adalah untuk menyajikan ayat-ayat al-Qura>n yang membahas tentang mahar dan menemukan konsep mahar dalam al-Qura>n serta kontekstualisasinya.

Mahar adalah pemberian wajib dari calon suami kepada calon istri sebagai ketulusan hati untuk menimbulkan rasa cinta kasih, baik dalam bentuk benda maupun jasa. sebenarnya tidak ada batas minimal atau batas maksimal yang harus diberikan oleh calon suami kepada calon istrinya. Tetapi Allah SWT memerintahkan agar calon suami mempersiapkan mahar dengan kadar yang pantas. Mahar yang diberikan juga harus penuh dengan kerelaan.

Penelitian ini dilakukan dengan menggunakan metode kualitatif, jenis penelitian ini adalah library research (penelitian kepustakaan). Penyajian tafsirnya dengan pendekatan tematik (maud}u’i). Pendekatan ini dilakukan untuk menjelaskan kandungan ayat al-Qura>n secara keseluruhan dengan jalan menghimpun ayat-ayat yang mempunyai pengertian yang sama.

Dengan demikian, hasil dari penelitian ini Mahar ialah pemberian wajib dari calon suami kepada calon istri sebagai pemberian suka rela tidak sebagai jual beli, dan mahar sepenuhnya hak istri, tidak ada batasan dalam memberikan mahar. Tapi yang terjadi saat ini berbeda dengan tuntunan ayat al-Qura>n dan Hadis Nabi, dimana orang-orang meninggikan maharnya.


(7)

DAFTAR ISI

SAMPUL DALAM ... i

PERSETUJUAN PEMBIMBING ... ii

PERSETUJUAN TIM PENGUJI ... iii

PERNYATAAN KEASLIAN ... iv

ABSTRAK ... v

MOTTO ... vi

PERSEMBAHAN ... vii

KATA PENGANTAR ... viii

DAFTAR ISI ... x

PEDOMAN TRANSLITERASI ... xii

BAB I: PENDAHULUAN A.Latar Belakang ... 1

B.Pebegasan Judul. ... 8

C.Identifikasi Masalah dan Batasan Masalah ... 9

D.Rumusan Masalah ... 10

E.Tujuan Penelitian ... 10

F. Kegunaan Penelitian ... 11

G.Telaah Pustaka ... 11

H.Metode Penelitian ... 12

I. Sistematika Pembahasan ... 15

BAB II: KONSEP UMUM TENTANG MAHAR A.Pengertian Mahar ... 17

B.Macam-macam Mahar ... 20

C.Syarat-syarat Mahar ... 22

D.Kadar (ukuran) Mahar ... 25

E.Hikmah disyariatkannya Mahar ... 32

BAB III: PENAFSIRAN DAN KONTEKSTUALISASI MAHAR DALAM AL-QURAN


(8)

A. Konsep Mahar dalam al-Qura>n ... 33

1. Substansi Mahar. ... 33

2. Fungsi Mahar dalam Perkawinan. ... 35

3. Ukuran Mahar. ... 55

4. Bentuk Mahar. ... 58

B. Kontekstualisasi Mahar. ... 61

BAB IV: PENUTUP A. Simpulan ... 66

B. Saran ... 67


(9)

BAB I

PENDAHULUAN

A.Latar Belakang

Manusia adalah makhluk yang dibekali oleh Allah SWT dengan perasaan, tabiat dan kecenderungan. Semua itu merupakan fitrah manusia. Jiwa dan perasaan manusia perlu disalurkan sedemikian rupa sebagaimana manusia memberikan hak-hak tertentu kepada akal dan tubuhnya.

Pernikahan merupakan Sunnatullah yang umum dan berlaku pada semua makhluk-Nya baik pada manusia, hewan, maupun tumbuh-tumbuhan. Pernikahan merupakan cara yang dipilih oleh Allah SWT sebagai jalan bagi makhluk-Nya untuk berkembang biak dan melestarikan hidupnya.1

Imam Haramain ra menegaskan bahwa pernikahan merupakan urusan syahwat, bukan tergolong urusan ibadah. Hal ini juga diisyaratkan Imam Syafi’i dalam al-Umm yang mengutip firman Allah SWT:

ُْزْ

ِْءاَسِلاَْنِمِْتاَوَهاشلاُْبُحِْساالِلَْنِي

2

Dijadikan indah pada (pandangan) manusia kecintaan kepada apa-apa yang diingini, yaitu: wanita-wanita.3

Allah yang Maha Bijaksana pemegang syariat agung, menggariskan syarat agar akad nikah menjadi sah harus ada mahar yang diberikan oleh laki-laki kepada

1

Tihami dan Sohari Sahrani, Fikih Munakahat Kajian Fikih Nikah Lengkap, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2010), 6.

2

al-Qur’an, 3: 14.

3

Tim Disbintalat, Al-Qur’an dan Terjemahan Indonesia, cet. XVII, (Jakarta: Sari Agung, 2002), 92.


(10)

2

wanita. Hanya saja tidak ada keterangan yang jelas tentang filsafat pemberian mahar. Hikmah yang besarlah yang menjelaskan kepentingannya, yakni sebagai hadiah untuk istri dan melunakkan hatinya, oleh karena itu maka mahar menjadi milik istri.4

Allah SWT menetapkan mahar sebagai salah satu bagian dari hukum dan pengaruh pernikahan. Mahar adalah pemberian dari calon suami kepada calon istri baik berbentuk barang, uang maupun jasa yang tidak bertentangan dengan hukum Islam. Pemberian tersebut sebagai syarat sahnya pernikahan sehingga hukum mahar adalah wajib. Sesuai firman Allah SWT dalam Q.S. an-Nisa’ ayat 4:

ْ فَ نُْه ِمْ ٍء يَشْ نَعْ مُكَلَْن بِطْ نِإَفًْةَل حِنْانِهِتاَقُدَصَْءاَسِلاْاوُتآَو

ْاًئيِرَمْاًئيَُِْوُلُكَفْاًس

(

2

)

5

Berikanlah maskawin (mahar) kepada wanita (yang kamu nikahi) sebagai pemberian dengan penuh kerelaan. kemudian jika mereka menyerahkan kepada kamu sebagian dari maskawin itu dengan senang hati, Maka makanlah (ambillah) pemberian itu (sebagai makanan) yang sedap lagi baik akibatnya.6

Adapun jenis dan kadar mahar berbeda-beda sesuai dengan kemampuan suami. Para ulama sepakat bahwa tidak ada batas maksimum dalam mahar. Bahkan, suami berhak membayar berapa saja mahar kepada istrinya sesuai kemampuan dan kerelaan hatinya. Ia membayar mahar kepada istrinya sebagai hadiah atau pemberian saat menikahinya. Tetapi disesuaikan dengan kemampuan suami dan kerelaan hatinya, dengan catatan tidak berlebihan dan tidak tergolong sikap tadzbir, khususnya di era sekarang. Rasulullah SAW bersabda:

4

Abdurrahman Abdul Khaliq, Kado Pernikahan Barokah, cet. II, (Yogyakarta: Al-Manar, 2004), 86.

5

al-Qur’an, 4: 4.

6


(11)

3

َنُُرَسْيَأ هقاَدَصلا ُرْ يَخ

Sebaik-baik mahar adalah yang paling mudah.(H.R. Baihaqi)7

Adapun tentang kadar minimum mahar, para ulama berbeda pendapat dalam masalah ini, diantaranya:

Menurut Imam Syafi’i batasan minimal mahar yang harus diberikan kepada istri beliau berpendapat:

رل لجر هكلهتسا ول امو سانلا لومتي ام لقا رهما ي زوج ام لق اف

امو ةميق هل تناك لج

مهنيب سانلا هعيابتي

Sekurang-kurangnya yang boleh dijadikan mahar adalah sedikitnya yang dipandang harta oleh manusia, dan kalau dirusakkan oleh seseorang, maka ada nilai harga (ganti rugi) baginya. Dan apa yang diperjual-belikan oleh manusia diantara sesama mereka.

Imam Syafi’i juga berpendapat bahwa segala yang boleh dijual atau disewakan boleh dijadikan mahar, dan yang tidak boleh dijual atau disewakan, maka tidak boleh dijadikan mahar. Ia membolehkan mahar dengan sesuatu yang dapat bermanfaat bagi calon istrinya, seperti mengajar membaca al-Qura>n atau yang lainnya.

Menurut Imam Malik paling sedikitnya mahar adalah seperempat dinar, sebagaimana pendapat beliau dalam kitab Al-Muwatta’:

ٌْكِلاَمَْلاَق

ْ:

َْأ رَم لاَْحَك ُ تْ نَأْىَرَأََْو

ِْهيفُْبِجَيْرا يدْعبرْنْْ،ٍراَيِدِْع بُرْ نِمْالَقَأِبُْة

ُْع طَق لا

.

Malik berkata: saya tidak pernah melihat seorang wanita dinikahkan dengan mahar kurang dari seperempat dinar. Dan itu adalah batas minimal yang mewajibkan adanya potong tangan.8

7

Muammal Hamidy, dkk, Nail al-Authar, juz 6, (Surabaya: Bina Ilmu, 1993), 312.

8


(12)

4

Imam Abu Hanifah berpendapat bahwa batasan minimal mahar adalah 10 dirham atau barang yang harganya senilai dengan 10 dirham. Pendapat ini juga diikuti oleh sebagian Hanafiyah. Imam Abu Hanifah berpendapat seperti itu karena menganalogikan dengan batasan minimal sariqah (batas minimal pencurian yang mengakibatkan seorang pencuri dipotong tangannya). Pendapatnya sama dengan Imam Malik. Penganalogian ini didukung dengan hadis Rasulullah SAW.:

ٍْرِباَجْ نَع

ْ,

َْلاَقَْمالَسَوِْه يَلَعُْهاْىالَصِْهاللاَْلوُسَرْانَأ

َْمِاَرَدِْةَرَشَعَْنوُدَْقاَدَصْ ََ

Dari Jabir, sesungguhnya Rasulullah SAW bersabda: Tidak ada mahar dengan jumlah yang kurang dari 10 dirham.9

Akan tetapi, fenomena sekarang yang terjadi adalah berubahnya pola hidup umat dengan mengikuti kebiasaan orang-orang asing ataupun adanya gengsi sebagian dari mereka sehingga sangat berpengaruh kepada umat lain yang ikut-ikutan menetapkan kadar mahar yang berlebihan. Akibatnya, banyak pemuda muslim yang telah berkeinginan menikah tertunda karena mahalnya mahar yang ditentukan oleh keluarga calon istrinya. Begitu juga perempuan-perempuan muslimah yang tidak menikah makin banyak.

Sebuah bencana besar jika hal itu terus terjadi di tengah umat Islam diseluruh dunia. Nilai-nilai luhur dan suci dari sebuah pernikahan sedikit demi sedikit akan hilang ditelan kebiasaan yang sangat memprihatinkan. Akibat yang lebih menakutkan lagi adalah berkurangnya umat Islam dan keturunannya kerena

9


(13)

5

minimnya pernikahan yang terjadi diantara mereka sehingga isi kandungan ayat ini tidak akan pernah dirasakan oleh mereka.

َْرَوًْةادَوَمْ مُكَ يَ بَْلَعَجَوْاَه يَلِإْاوُُك سَتِلْاًجاَو زَأْ مُكِسُف نَأْ نِمْ مُكَلَْقَلَخْ نَأِْهِتاَيآْ نِمَو

ًْةَم ح

ِْلْ ٍتاَي ََْْكِلَذْيِفْانِإ

َْنوُراكَفَ تَ يٍْم وَق

(

42

)

10

Dan diantara tanda-tanda (kebesaran)-Nya ialah Dia menciptakan pasangan-pasangan untukmu dari jenismu sendiri, agar kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan Dia menjadikan di antaramu rasa kasih dan sayang. Sungguh, pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda (kebesaran Allah) bagi kaum yang berpikir.11

Yang penting di sini adalah menerangkan bahwa mahar itu merupakan syarat sahnya akad nikah dan menjadi hak sepenuhnya untuk pihak wanita. Tidak dibolehkan bagi ayahnya menentukan jumlah mahar sehingga memberatkan calon suami, atau mengambil dari mahar tersebut kecuali dengan izin anak wanitanya. Dan juga tidak diperbolehkan bagi laki-laki untuk meminta kembali, walaupun hanya sedikit dari mahar yang telah diberikan kecuali dengan izin istri. Perlu ditekankan bahwa mahar adalah hadiah atau pemberian bukan harga ganti. Sedang sebaik-baik mahar adalah yang jumlahnya paling sedikit serta sesuai dengan batas kekuatan dan kelapangan.12

Kami menyeru kepada para pemimpin agar mempermudah pernikahan, sehingga kehormatan para pemuda dan pemudi akan terjaga dengan baik. Dengan menikah, mereka akan terbebas dari perangkap setan. Mahar yang paling murah adalah mahar yang paling banyak banyak berkahnya bagi seorang wanita.13

10

al-Qur’an 30: 21.

11

Tim Disbintalat, Al-Qur’an dan Terjemahan, 257. 12

Abdurrahman, Kado Pernikahan, cet.II, 89. 13

M. Sayyid Ahmad al-Musayyar, Islam Bicara Soal Seks, Percintaan dan Rumah Tangga, (Kairo Mesir: Erlangga, 2008), 13.


(14)

6

Jika mengamati budaya masyarakat dalam masalah mahar, didapati mereka telah berubah dari sebelumnya. Dahulu mereka menyerahkan mahar yang bisa berupa tanah, kebun atau ternak. Namun sekarang, sifat saling membanggakan diri telah menjadi syi’ar sebuah keluarga dipedesaan.

Tentang pernikahan masyarakat pedesaan saat ini. “pernikahan sekarang berbeda ditinjau dari sisi sekundernya. Saat ini pernikahan cenderung mengutamakan penampilan dan membutuhkan banyak biaya. Sebab, suami memberikan ribuan uang kepada wali istrinya, pakaian-pakaian dan barang-barang lainnya. Kemudian pesta pernikahan dilangsungkan di bawah penerangan lampu ribuan watt yang menarik perhatian banyak orang. Hidangan mewah pun disediakan dengan menyembelih banyak hewan. Banyak yang diundang kesana, tetapi yang hadir sedikit, akibatnya banyak makanan yang terbuang sia-sia.”

Mahar menjadi sebuah simbol penghormatan kepada istri dan keluarganya. Dalam budaya tertentu, orang tua ikut serta dalam menentukan jumlah mahar yang dianggap sesuai dengan putrinya. Tidak jarang jumlah yang diinginkan membuat pria kesulitan untuk menyanggupi. Bahkan terkadang, sebuah pernikahan bisa batal karena ketidak sanggupan pria untuk memenuhi mahar yang ditetapkan.

Saperti yang dialami oleh seorang pemuda, bahwa ia telah menghabiskan waktu dengan penuh perjuangan dan penderitaan, ia menabung demi mempersiapkan mahar. Sementara itu ia juga harus bertanggung jawab membiayai keluarganya sepeninggal ayahnya. Inilah yang memaksa ia harus meninggalkan bangku sekolah dan harus bekerja demi memenuhi kebutuhan hidup mereka.


(15)

7

Takdir Allah memutuskan ia mendapat pekerjaan sedang dengan gaji yang tidak banyak perbulannya. Ia menyisihkan sebagian uangnya untuk ditabung dan sisanya digunakan untuk kebutuhan keluarganya. Setelah bertahun-tahun berhasil mengumpulkan uang ternyata itu belum cukup untuk menikah pada zaman sekarang yang kadar maharnya mencapai nilai tinggi. Oleh sebab itu, ia harus menunggu lagi sampai beberapa waktu sampai akhirnya ia bisa menikah. Setelah penderitaan yang cukup panjang, tentu ia habiskan semua uang yang ditabungnya.14

Allah SWT berfirman:

...

ٍْجَرَحْ نِمِْنيِدلاْيِفْ مُك يَلَعَْلَعَجْاَمَو

...

15

ْ

...dan Dia tidak menjadikan kesukaran untukmu dalam agama..

Syariat Islam didasari kemudahan, bukan kesulitan. Pernikahan merupakan sunnah dan tradisi kehidupan maka sikap mempersulit pernikahan dengan cara menaikkan kadar mahar dan sebagainya bertentangan dengan prinsip kemudahan yang ditetapkan Allah yang telah ditegaskan pada ayat di atas.16

Atas dasar itulah, Islam menyeru agar bersikap sederhana dalam menetapkan mahar dan memudahkan urusan pernikahan bagi para pemuda. Rasulullah SAW bersabda:

لوسرْنأْ،ةشئاعْنع

ْ

لاقْ،ملسوْهيلعْهاْىلصْها

ْ:

كربْحاك لاْمظعأْنإ

ْ رسيأْة

ةنوؤم

14

Abdul Wahid, Wawancara, Paciran, 16 Nopember 2016. 15

al-Qur’an, 22:78. 16


(16)

8

Dari Aisyah ra, Sesungguhnya Rasulullah SAW bersabda: Nikah teragung dan terbesar keberkahannya adalah yang paling sedikit biayanya. (H.R. Ahmad)17 Banyak sekali manusia yang tidak mengenal ajaran ini. Bahkan menyalahinya dan berpegang kepada adat Jahiliyah dalam pemberian mahar yang berlebih lebihan dan menolak menikahkan anaknya kecuali kalau dapat membayar mahar yang besar, memberatkan dan menyusahkan itu. Sehingga seolah-olah perempuan itu merupakan barang dagangan yang dipasang tarif dalam tiket perdagangan itu.

Kata mahar dalam al-Qura>n tidak ditemukan, yang digunakan adalah s}adaq, nihlah, farid}ah dan ajr. kata s}aduqa>t terdapat pada Q.S>. an-Nisa’: 4, kata nihlah terdapat pada Q.S. an-Nisa’: 4, kata farid}ah pada Q.S. al-Baqarah: 236, 237, an-Nisa’: 24, dan kata uju>rahunna pada Q.S> an-Nisa’: 24, 25, al-Maidah: 5, al-Ahzab: 50, al-Mumtahanah: 10, at-Thalaq: 6 dan lain sebagainya.

Kemudian disebutkan juga penggolongan dari sebab turunnya ayat-ayat al-Qura>n, yakni golongan Makiyah dan Madaniyah. Yang dimaksud golongan Makiyah ialah golongan ayat-ayat yang dirunkan di Makkah selama 12 tahun 5 bulan 13 hari. Sedangkan dolongan Madaniyah adalah golongan ayat-ayat yang diturunkan sesudah Nabi Muhammad SAW melakukan hijrah ke Madinah selama 9 tahun 9 bulan 9 hari. Ayat-ayat yang dipaparkan di atas masuk ke dalam golongan surah Madaniyah.

B.Penegasan Judul

17


(17)

9

Agar dapat diketahui secara mendetail, maka akan ditegaskan bagian kata dari judul tersebut:

Konsep : Suatu hal umum yang menjelaskan suatu peristiwa, objek, situasi, ide atau akal pikiran dengan tujuan untuk memudahkan komunikasi antar manusia dan memungkinkan manusia untuk berpikir lebih baik.18

Mahar : Mahar secara etimologi artinya maskawin.19 Secara terminologi mahar ialah pemberian wajib dari calon suami kepada calon istri sebagai ketulusan hati untuk menimbulkan rasa cinta kasih.20 Atau suatu pemberian yang diwajibkan bagi calon suami kepada calon istrinya, baik dalam bentuk benda maupun jasa.21

C.Identifikasi Masalah dan Batasan Masalah

Bertolak dari paparan di atas, masalah pokok yang terdapat dalam kajian ini adalah sikap al-Qura>n terhadap mahar. Adapun masalah-masalah yang teridentifikasi adalah:

1. Apa yang dimaksud dengan mahar?

2. Bagaimana pengertian mahar menurut para mufassir? 3. Apa dasar hukum mahar dalam al-Qura>n dan hadis? 4. Berapa batas minimal dan maksimal mahar?

5. Apa saja hal yang menyebabkan karusakan mahar?

18

W. J. S. Purwadarminta, Kamus Umum Bahasa Indonesia, (Jakarta: Pustaka, 1975), 250.

19

Mahmud Yunus, Kamus Arab Indonesia, 431. 20

Tihami dan Sohari Sahrani, Fikih Munakahat: Kajian Fikih Nikah Lengkap, (Jakarta: PT. Raja Grafindo persada, 2010), 36.

21


(18)

10

6. Apa yang terjadi jika mahar itu diberikan secara tunai atau kredit?

7. Apa hikmah disyari’atkannya mahar?

8. Apa saja macam-macam mahar?

9. Bagaimana konsep mahar dalam al-Qura>n? 10.Bagaimana konsep mahar dalam al-Sunnah?

11.Bagaimana penafsiran ayat tentang mahar dalam al-Qura>n? 12.Bagaimana Kedudukan Mahar dalam Pernikahan?

Berdasarkan identifikasi masalah di atas dapat diketahui bahwa mahar merupakan salah satu bagian yang berpengaruh dalam pernikahan. Dalam hal ini, agar pembahasan lebih terfokus, maka dibatasi pada pengertian mahar menurut para mufassir, penafsiran ayat-ayat yang membahas tentang mahar, konsep mahar dalam al-Qura>n dan kontekstualisasinya.

D.Rumusan Masalah

Dari gambaran umum latar belakang di atas dapat dirumuskan beberapa masalah sebagai berikut:

1. Bagaimana Konsep Mahar dalam al-Qura>n?

2. Bagaimana Kontekstualisasi Mahar dalam Masyarakat?

E.Tujuan Penelitian

Dari rumusan masalah di atas, Secara umum penelitian ini bertujuan untuk:


(19)

11

2. Untuk Menyajikan kontekstualisasi Mahar dalam Masyarakat

F. Kegunaan Penelitian

Penelitian ini diharapkan mampu memberikan sumbangan keilmuan dalam bidang tafsir. Agar hasil penelitian ini betul-betul jelas dan berguna untuk perkembangan ilmu pengetahuan, maka perlu dikemukakan kegunaan dari penelitian ini.

Adapun kegunaan hasil penelitian ini adalah:

1. Sebagai sumbangsih penulis untuk beradaptasi dalam mengembangkan pemikiran al-Qura>n khususnya dan pemikiran keIslaman pada umumnya, dalam rangka upaya mengakrabkan masyarakat Islam dengan pengembangan ilmu pengetahuan.

2. Guna menjelaskan bahwa mahar adalah salah satu bagian yang berpengaruh dalam pernikahan.

3. Implementasi penelitian ini diharapkan bisa memberi konstribusi agar dapat memberi solusi terhadap masyarakat muslim mengenai makna mahar dalam al-Qura>n, serta batas ukuran mengenai mahar.

G.Telaah Pustaka

Telaah pustaka dalam penelitian ini dimaksudkan untuk mengetahui keorisinilan penelitian yang akan dilakukan. Dalam penelitian ini, setelah dilakukan telaah pustaka penulis menemukan beberapa karya yang membahas


(20)

12

masalah yang serupa dengan penelitian ini, akan tetapi berbeda dengan penelitian dalam skripsi ini:

1. Analisis Hukum Islam terhadap Mahar oleh Orang Tua Skripsi karya Siti Zainab Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri Sunan Ampel Surabaya tahun 2014. Merupakan hasil penelitian lapangan tentang alasan penentuan mahar yang dilakukan oleh orang tua dengan menjadikan hak anak.

2. Studi Perbandingan Pendapat Imam Malik dan Imam al-Auza’i tentang Penundaan Pembayaran Mahar Skripsi karya Harun Abdullah program studi Ahwal al-Syahsiyah Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri Sunan Ampel Surabaya, 2015. Merupakan hasil penelitian lapangan tentang perbandingan pendapat masalah penundaan pembayaran mahar.

Berdasarkan penelusuran dari beberapa penelitian yang telah peneliti kemukakan di atas, maka peneliti memilih judul dengan alasan belum pernah dibahas oleh peneliti terdahulu. Setelah dilihat dari beberapa literatur belum ada buku yang membahas tentang Mahar secara spesifik, yang ada hanya pembahasan secara umum tentang Mahar. Dari sinilah penulis mencoba untuk mengembangkan tentang pembahasan tersebut.

H.Metode Penelitian

Setiap kegiatan yang bersifat ilmiah, memerlukan adanya suatu metode yang sesuai dengan masalah yang dikaji, karena metode merupakan cara


(21)

13

bertindak agar kegiatan penelitian bisa dilaksanakan secara rasional dan terarah demi mencapai hasil yang maksimal.22 Adapun metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah:

1. Jenis Penelitian

Jenis penelitian ini adalah library research (penelitian kepustakaan) yaitu serangkaian kegiatan yang berkenaan dengan metode pengumpulan data pustaka, membaca dan mencatat serta mengolah bahan penelitian, yaitu dengan mengumpulkan teori-teori dalam kitab-kitab, pendapat para ahli dan karangan ilmiah lainnya yang ada relevansinya dengan pembahasan dengan karya skripsi ini. Maka teknik pengumpulan data pada penelitian ini adalah metode dokumentasai, dengan memperoleh data dari benda-benda tertulis seperti buku, majalah, dokumen, peraturan, notulen rapat, catatan harian dan sebagainya.23

2. Metode penelitian

Penelitian ini bersifat kualitatif sebuah metode penelitian atau inkuiri naturalistik atau alamiyah, perspektif ke dalam dan interpreatif.24 Inkuiri naturalistik adalah pertanyaan yang muncul dari diri penulis terkait persoalan tentang permasalahan yang sedang diteliti. Perspektif ke dalam adalah sebuah kaidah dalam menemukan kesimpulan khusus yang semula didapatkan dari pembahasan umum. Sedangkan interpretatif adalah

22

Anton Bakker, Metode Penelitian, (Yogyakarta: Kanisius, 1992), 10. 23

Fadjrul Hakam Chozin, Cara Mudah Menulis Karya Ilmiyah,(Ttp: Alpha, 1997),66.

24Lexy J. Moleong, Metodologi Penelitian Kualitatif (Bandung: Remaja Rosda Karya,


(22)

14

penterjemahan atau penafsiran yang dilakukan oleh penulis dalam mengartikan maksud dari suatu kalimat, ayat atau pernyataan.

3. Sumber Data

Mengingat penelitian ini menggunakan metode Library Research, maka diambil data dari berbagai sumber tertulis. Dalam pembahasan skripsi ini menggunakan sumber data yang terbagi menjadi sumber data primer dan sumber data skunder, yang perinciannya sebagai berikut:

a. Sumber Data Primer

Sumber primer adalah sumber yang berasal dari tulisan buku-buku yang berkaitan langsung dengan buku ini. Sumber utama penelitian ini adalah al-Qura>n dan kitab-kitab tafsir, yaitu antara lain:

- Tafsir al-Maraghi karya Ahmad Mustafa al-Maraghi - Tafsir al-Azhar karya Hamka

- Tafsir fi Dzilalil Qur’an karya Sayyid Quthb

- Tafsir al-Mishbah karya M. Quraish Shihab b. Sumber Data Skunder

Sumber data skunder adalah buku-buku kepustakaan yang erat kaitannya dengan judul skripsi ini, antara lain:

- Eksistensi Mahar dan walimah karya Darmawan

- Fiqh Munakahat karya Abdul Aziz Muhammad Azam dan Abdul Wahid Sayyed Hawwas

- Islam Bicara Soal Seks, Percintaan dan Rumah Tangga karya M. Sayyid Ahmad Al-Musayyar


(23)

15

- Fiqih Munakahat Praktis karya Rosidin

- Fikih Munakahat (Kajian Fikih Nikah Lengkap) karya Tihami dan Sohari Sahrani

4. Teknik Analisis Data

Setelah data terkumpul secara lengkap dari berbagai sumber referensi, kemudian penulis membahas dengan menggunakan metode sebagai berikut:

- Maud}u>’i: menurut bahasa adalah meletakkan, menjadikan atau

membuat-buat. Sedangkan menurut istilah adalah suatu metode yang berusaha mencari ayat al-Qura>n tentang suatu masalah tertentu dengan jalan menghimpun seluruh ayat-ayat yang dimaksud, lalu menganalisanya melalui pengetahuan yang relevan dengan masalah yang dibahas, kemudian melahirkan konsep yang utuh dari al-Qura>n tentang masalah tersebut.25

- Langkah-langkah untuk menerapkan tafsir maud}u>’i: menetapkan masalah yang akan dibahas, menghimpun ayat-ayat yang berkaitan dengan masalah tertentu, menyusun runtutan ayat-ayat sesuai masa turunnya disertai dengan sebab turunnya ayat, memahami kolerasi antara surah yang satu dengan surah yang lain, menyusun atau menyempurnakan pembahasan judul atau topik kemudian dibagi ke dalam beberapa bagian yang berhubungan, mempelajari ayat-ayat

25

Abd al-Hayy al-Farma>wi>, Metode Tafsir Mawdlu>’i>y, (Jakarta: PT. Grafindo Persada,


(24)

16

secara keseluruhan dengan jalan menghimpun ayat-ayat yang mempunyai pengertian yang sama.26

I. Sistematika Pembahasan

Dalam menguraikan pembahasan penelitian ini, diperlukan suatu sistematika agar memudahkan dalam penelitian meupun memudahkan dalam memahamkan pembaca. Maka sistematika pembahasan pada skripsi ini terbagi ke dalam lima bab, dengan rincian sebagai berikut:

Bab Satu, Pendahuluan Meliputi Latar Belakang Masalah, Penegasan Judul, Identifikasi Masalah dan Batasan Masalah, Rumusan Masalah, Tujuan Penelitian, Kegunaan Penelitian, Telaah Pustaka, Metode Penelitian, Sistematika Pembahasan.

Bab Dua, Konsep Umum tentang Mahar, Berupa Pengertian Mahar, Macam-macam Mahar, Syarat-syarat Mahar, Kadar (ukuran) Mahar dan Hikmah disyariatkannya Mahar.

Bab Tiga, Penafsiran dan Kontekstualisasi Mahar dalam al-Qura>n. Meliputi, Konsep Mahar dalam al-Qura>n dan Kontekstualisasi Mahar

Bab Empat, merupakan Penutup dari keseluruhan bab yang berisikan kesimpulan dan saran.

26


(25)

BAB II

KONSEP UMUM TENTANG MAHAR

A.Pengertian Mahar

Secara bahasa mahar merupakan bentuk mufrad dan jamaknya adalah

muhur atau disebut juga al-s}ida>qu yang berarti maskawin.1

Demikian juga dalam istilah bahasa Arab kata Mahar lebih dikenal dengan nama: S{adaq, nihlah, faridhah, hiba’, ajr, uqar dan alaiq.2

1. S{adaq atau s}idqun yakni kebenaran untuk membenarkan cinta suami kepada istrinya, bisa juga diartikan penghormatan kepada istri3 dan inilah pokok dalam kewajiban mahar atau maskawin. Allah SWT berfirman:

ًْةَل حِنْانِهِتاَقُدَصَْءاَسِلاْاوُتآَو

Dan berikanlah maskawin (mahar)kepada perempuan (yang kamu nikahi) sebagai pemberian yang penuh kerelaan.

2. Nihlah, artinya pemberian suka rela, atau bisa diartikan juga sebagai kewajiban.

3. Ajr berasal dari kata ijarah yang berarti upah.

...

ْ

ْانَُروُجُأْانُوُتآَف

...

...berilah maskawin mereka...

1Ahmad Warson Munawir, Al-Munawwir: kamus Arab Indonesia, (Surabaya: Pustaka

Progressip, 1997), 1363.

2

Tihami dan Sohari Sahrani, Fikih Munakahat Kajian Fiqih Nikah Lengkap, (Jakarta: Rajawali Press, 2010),36.


(26)

18

Ajr adalah mahar yang diberikan seorang laki-laki kepada wanita sebagai konpensasi dari hak laki-laki itu untuk mendapatkan kenikmatan dari wanita tersebut.

4. Faridhah, berasal dari kata faradha yang artinya kewajiban. Dalam Alqur’an disebutkan.

.

...

ْ

ًْةَضيِرَفْانَُروُجُأْانُوُتآَف

...

...berikanlah kepada mereka maharnya (dengan sempurna), sebagai suatu kewajiban..

Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia mahar adalah pemberian wajib berupa uang atau barang dari mempelai laki-laki kepada mempelai perempuan ketika dilangsungkan akad nikah.4

Secara terminologi mahar ialah pemberian wajib dari calon suami kepada calon istri sebagai ketulusan hati untuk menimbulkan rasa cinta kasih.5 Atau suatu pemberian yang diwajibkan bagi calon suami kepada calon istrinya, baik dalam bentuk benda maupun jasa.6

Mahar menurut syara’ adalah sesuatu yang wajib sebab nikah atau bercampur atau keluputan yang dilakukan secara paksa seperti menyusui dan ralat para saksi.7

Menurut Buya HAMKA bahwa kata S{idaq atau S{aduqat dari rumpun kata S{idiq. Dalam maknanya terkandung perasaan jujur atau putih hati. Jadi artinya

4

Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa Indonesia, edisi II, (Jakarta: Balai Pustaka, 1995), 613.

5Tihami dan Sohari Sahrani, Fikih Munakahat: Kajian Fikih Nikah Lengkap, (Jakarta:

PT. Raja Grafindo persada, 2010), 36.

6Zakiah Daradjat, Ilmu Fiqh, (Yogyakarta: PT. Dana Bakti Wakaf, 1995), 83.

7Abdul Aziz Muhammad Azzam dan Abdul Wahhab Sayyed Hawwas, Fiqh Munakahat


(27)

19

harta yang diberikan dengan putih hati, hati yang suci, muka jernih dari suami kepada calon istri. Artinya yang mendalam bahwa mahar itu adalah laksana cap atau stempel karena nikah sudah di materaikan.8

Sayyid Sabiq berpendapat bahwa mahar adalah pemberian wajib dari suami pada istri sebagai jalan yang menjadikan istri berhati senang dan rida menerima kekuasaan suaminya kepada Istrinya.9

Menurut Al-Hamdani mahar ialah pemberian seorang suami kepada istri sebelum, sesudah atau pada waktu berlangsungnya akad sebagai pemberian wajib yang tidak diganti dengan lainnya.10

Sebagian ulama Hanafiah mendefinisikan mahar sebagai berikut:

ءطولاوا حاكنلا دقعب ةءرما هقحتسي ام و رهما

Mahar adalah sesuatu yang berhak dimiliki oleh seorang wanita sebab adanya akad nikah atau wati.11

Menurut sebagian ulama Malikiyah mahar adalah:

ج ام و رهما

هب اتمتسَا رين ةجوولل لع

Mahar adalah sesuatu yang dijadikan (dibayarkan) kepada istri sebagai imbalan atas jasa pelayanan seksual.12

Imam Syafi’i mengatakan bahwa mahar adalah sesuatu yang wajib diberikan oleh seorang laki-laki kepada perempuan untuk dapat menguasai seluruh anggota badannya.13

8HAMKA, Tafsir al-Azhar, vol. IV, (Jakarta: Pustaka Panjimas, 1983), 332.

9Sayyid Sabiq, Fikih Sunnah, Alih Bahasa M.Thalib, vol. VII, (Bandung: Dar al-Ma’arif,

1990), 53.

10Al-Hamdani, Risalah Nikah Hukum Perkawinan Islam,(Jakarta: Pustaka Amani, 1989),

110.

11Wahbah al-Zuhaili, Al-Fiqh Al-Islami wa Adillatuhu, vol. IX, (Beirut: Dar al-Fikr, t.t),

6758.


(28)

20

Imam Zakariya Al-Anshari mendefinisikan mahar sebagai berikut:

اضراك ارهق عضب طيوفت وا ءطولا وا حاكنب بجو ام

Sesuatu yang diwajibkan sebab nikah, persetubuhan atau hilangnya budu’ dengan

terpaksa seperti terjadinya susuan.

Dalam Kompilasi Hukum Islam mahar adalah pemberian calon mempelai pria kepada calon mempelai wanita baik berbentuk barang, uang atau jasa yang tidak bertentangan dengan hukum Islam.

Dr. Hamuda dalam bukunya The Family Structur in Islam menyatakan bahwa mahar merupakan bentuk pembayaran yang bersifat simbolis. Simbol tanggung jawab dari pihak lelaki untuk menjamin keamanan hak dan kesejahteraan keluarga setelah perkawinan terwujud.14

Apabila diperhatikan pengertian-pengertian tentang mahar di atas maka dapat disimpulkan bahwa mahar adalah harta yang diberikan oleh suami kepada istri sebagai pemberian wajib dalam ikatan perkawinan yang sah dan merupakan tanda persetujuan serta kerelaan mereka untuk hidup sebagai suami istri.

Para ulama telah sepakat bahwa mahar hukumnya wajib bagi seorang laki-laki yang hendak menikah, baik mahar tersebut disebutkan atau tidak disebutkan sehingga si suami harus membayar mahar mitsil.

B.Macam-macam Mahar

Mengenai macam-macamnya, ulama fiqh sepakat bahwa mahar itu bisa dibedakan menjadi dua, yaitu:

13Abdurrahman al-Jaziri, Al-Fiqh ‘ala Madzahib al-Arba’ah, vol. 4, 94.


(29)

21

1. Mahar Musamma

Mahar musamma adalah mahar yang disebutkan (mahar yang

disepakati kedua pihak)15 atau dijanjikan kadar dan besarnya ketika akad nikah. Jika akad nikah tidak disebutkan berapa besar jumlah yang diberikan kepada istri maka perkawinannya tetap sah, kemudian yang wajib atas suami adalah batasan mahar mithil.16

Ulama Syafi’iyah berpendapat bahwa mahar yang wajib adalah mahar yang disebutkan dalam akad, karena akad inilah mahar menjadi wajib. Yang wajib adalah yang disebutkan dalam akad, baik sedikit atau banyak.

Ulama Malikiyah berpendapat, jika kedua belah pihak bersepakat pada mahar tersembunyi dan dalam pengumuman berdeda dengan yang pertama, maka yang dipedomani adalah yang disepakati kedua belah pihak yang tersembunyi tersebut. Yang tersembunyi inilah yang wajib diberikan kepada istri dan yang disepakati dalam pengumuman tidak diberlakukan.

Ulama Hanabilah berpendapat, jika kedua belah pihak bersepakat pada mahar sebelum akad kemudian mereka mengadakan akad setelah kesepakatan tersebut yang lebih banyak dari mahar yang disepakati. Karena penyebutan yang benar pada akad yang benar pula, mahar yang disebutkan dalam akad wajib diberikan kepada istri dan tidak usah memperhatikan penyebutan yang disepakati sebelum akad.

15Azzam, Fiqh Munakahat,184. 16Darmawan, Eksistensi Mahar, 20.


(30)

22

2. Mahar Mithil

Mahar Mithil (mahar yang sama atau sepadan) adalah mahar yang tidak disebutkan besar kadarnya, pada saat ataupun ketika terjadi pernikahan. Bila terjadi demikian, mahar itu mengikuti maharnya saudara perempuan pengantin wanita, bibinya dan sebagainya. Apabila tidak ada maka mithil itu beralih dengan acuan wanita yang sederajat dengan dia.17

Dalam menetapkan jumlah mahar yang sepadan (mahar mithil) hendaknya juga mempertimbangkan kedudukan seseorang dalam kehidupannya, status sosial, maupun pihak-pihak yang menikah itu, kondisi dan situasi dapat berbeda dari satu tempat ke tempat lain, dari satu negeri ke negeri yang lain.

Dalam hal ini janganlah dianalogikan bahwa mahar adalah harga yang dibayarkan untuk mendapatkan suatu ikatan perkawinan dan jangan pula dianggap perkawinan itu sebagai bentuk jual beli. Dalam perkawinan, Islam betul-betul memelihara hak istri atau suatu kedudukan ekonomi yang sesuai dengan kedududkan sosialnya sendiri.

C.Syarat-syarat Mahar

Mahar yang diberikan suami kepada istri harus memenuhi syarat-syarat sebagai berikut:18

1. Berupa Harta atau Benda yang Berharga

17Darmawan, Eksistensi Mahar, 21. 18Ibid.,17.


(31)

23

Tidak sah mahar dengan sesuatu yang tidak memiliki nilai harga, walaupun tidak ada ketentuan banyak atau sedikitnya mahar, mahar sedikit tetapi memiliki nilai tetap sah disebut mahar. Wahbah al-Zuhaili menggunakan bahasa lain “mahar itu harus berupa sesuatu yang boleh dimiliki dan dapat dijual”.

2. Barang Suci dan Bisa Diambil Manfaatnya

Tidak sah mahar dengan khamar, babi, darah, dan bangkai, karena semua itu haram, najis dan tidak berharga menurut pandaat syari’at Islam. Walaupun menurut sebagian orang hal tersebut bernilai (berharga). Disamping khamar, babi, darah dan bangkai tidak boleh dimiliki oleh orang-orang Islam sehingga tidak mungkin hal tersebut dijadikan mahar ketika ijab.19

3. Barang Bukan Barang Ghasab

Ghasab berarti mengambil barang milik orang lain tanpa seizinnya, namun tidak bermaksud untuk memilikinya karena berniat untuk mengembalikannya.

Memberikan mahar dengan barang hasil ghasab adalah tidak sah, tetapi akadnya tetap sah dan bagi calon istrinya wajib ada mahar mitsil.

Tetapi seluruh golongan Malikiyah berpendapat apabila ketika akad disebutkan mahar berupa barang ghasab, jika kedua mempelai mengetahui kalau mahar tersebut barang ghasab dan keduanya rasyid

(pandai) maka akadnya rusak sebelum dukhul, dan wajib membayar

19


(32)

24

mahar mithil. Sedangkan kalau yang mengetahui hanya suaminya saja, maka nikahnya sah. Tapi kalau pemilik benda (yang dibuat mahar) mengambil benda tersebut maka suami wajib mengganti benda yang dijadikan mahar tersebut.

Sedangkan menurut golongan Hanafiyah, akad dan penyebutan maharnya sah baik keduanya mengetahui atau tidak, bahwa benda yang dibuat mahar adalah ghasab. Jika pemilik barang membolehkan benda tersebut dijadikan mahar, maka benda tersebut menjadi mahar, tapi jika pemilik barang tidak membolehkan maka suami wajib mengganti sesuai dengan harga benda tersebut dan tidak membayar mahar mithil.

4. Bukan Barang yang Tidak Jelas Keadaannya

Tidak sah memberikan barang yang tidak jelas keadaannya atau tidak disebutkan jenisnya. Imam Syafi’i mengatakan bahwa “mahar itu tidak boleh kecuali dengan sesuatu yang maklum (diketahui keadaan dan jenisnya).”20

Mahar itu tidak disyaratkan harus berupa emas atau perak, tetapi boleh dengan menggunakan harta dagangan atau yang lainnya seperti hewan, bumi (tanah), rumah dan sesuatu yang mempunyai nilai harta. Seperti halnya dengan benda-benda (materi) diperbolehkan mahar dengan menggunakan manfaat (non materil) seperti menggunakan manfaat rumah, hewan ataupun mengajar al-Qura>n.21

20

Darmawan, Eksistensi Mahar, 21.

21


(33)

25

D.Kadar (ukuran) Mahar

Agama tidak menetapkan jumlah minimum dan maksimum dari mahar.22 Ukuran mahar diserahkan kepada kemampuan suami sesuai dengan pandangannya yang sesuai.23 Hal ini disebabkan oleh perbedaan tingkatan kemampuan manusia dalam memberinya. Orang yang kaya mempunyai kemampuan untuk memberi maskawin yang lebih besar jumlahnya kepada calon istrinya. sebaliknya, orang yang miskin ada yang hampir tidak mampu memberinya. Oleh karena itu, pemberian mahar diserahkan menurut kemampuan yang bersangkutan disertai kerelaan dan persetujuan masing-masing pihak yang akan menikah untuk menetapkan jumlahnya. Mukhtamar Kamal menyebutkan “Janganlah hendaknya ketidak sanggupan membayar maskawin karena besar jumlahnya menjadi penghalang bagi berlangsungnya suatu perkawinan”,24 Tidak ada dalam syara’ suatu dalil yang membatasi mahar sampai dan tidak boleh melebihinya. Sebagaimana firman Allah SWT:

ٍْج وَزَْلاَد بِت ساُْمُت دَرَأْ نِإَو

َناَكَم

ْ

ْاًئ يَشُْه ِمْاوُذُخ أَتْ َََفْاًراَط ِقْانُاَد حِإْ مُت يَ تآَوٍْج وَز

ًْم ثِإَوْاًناَت هُ بُْهَنوُذُخ أَتَأ

ْاًيِبُمْا

(

42

ْ)

ْ ٍض عَ بْىَلِإْ مُكُض عَ بْىَض فَأْ دَقَوُْهَنوُذُخ أَتَْف يَكَو

ْاًظيِلَغْاًقاَثيِمْ مُك ِمَْن ذَخَأَو

(

42

)

25

Dan jika kamu ingin mengganti istrimu dengan istri yang lain, sedangkan kamu telah memberikan kepada seorang diantara mereka harta yang banyak maka janganlah kamu mengambil kembali dari padanya barang sedikitpun. Apakah kamu akan mengambilnya kembali dengan jalan tuduhan yang dusta dan dengan (menanggung) dosa yang nyata? Bagaimana kamu akan mengambilnya kembali, padahal sebagian kamu telah bergaul (bercampur) dengan yang lain sebagai

22Tihami, Fiqh Munakahat, 40. 23Azzam, Fiqh Munakahat, 179.

24Mukhtamar Kamal, Asas-asas Hukum Islam tentang Perkawinan, (Jakarta: Bulan

Bintang, 1974), 82.

25


(34)

26

suami-istri. Dan mereka (istri-istrimu) telah mengambil dari kamu perjanjian yang kuat.26

Fuqaha sepakat bahwa tidak ada batas maksimal dalam mahar, tetapi setogyanya tidak berlebihan, khususnya di era sekarang. Rasulullah SAW bersabda:

ًْةَكَرَ بْانُُرَ ث كَْْاًر وُهُمْانُهُلَ قَأ

Wanita yang sedikit maharnya lebih banyak berkahnya.

Sunnahnya menurut syara’ tidak berlebih-lebihan dalam mahar, karena hal itu akan mendatangkan orang berpaling dari nikah yang diikuti kerusakan secara umum. Ulama sepakat tidak ada batas maksimal dalam mahar dan berbeda dalam ukuran minimal.

Menurut Imam Syafi’i mahar termasuk syarat sahnya nikah, sehingga tidak boleh mengadakan persetujuan untuk meniadakannya. Imam Syafi’i juga berpendapat bahwa nikah dan jual beli adalah berbeda. Hal ini tercermin dalam pendapat beliau:

ْوْقادصْةضيرفْريغبْحصيْحاك لاْدقعْنا

ْدقعْنمْىلعَْاْعقيَْقَطلاْناْكلاذ

ْنيبْفَخلاْىلعْليلدْاذهفْتبثيفْرهمْريغبْحاك لاْدعقيْناْزاجْاذاوْهحاكن

رهمْريغبْدقع يْحاك لاوْمولعمْنمثبَْاْدقع تَْعويبلاوْعويبلاوْحاك لا

Sesungguhnya akad nikah itu sah tanpa ditentukan maskawinnya yang demikian itu, bahwa talak itu tidak jatuh, kecuali bagi oramg yang telah melakukan akad nikah. apabila akad nikah boleh dilakukan tanpa mahar, lalu berbeda. Jual beli tidak terjadi tanpa ditetapkan harga pastinya dan akad nikah itu sah dengan tanpa menyebutkan mahar.27

26Tim Disbintalat, Al-Qur’an dan Terjemahan Indonesia, cet. XVII, (Jakarta: Sari

Agung, 2002), 146.


(35)

27

Dengan demikian jelas bahwa Iman Syafi’i membedakan antara akad nikah dengan jual beli. Sehingga mahar yang diberikan suami kepada calon istrinya bukan sebagai alat beli kehormatan istri, melainkan sebagai tanda cinta suami kepada istrinya.

Mengenai batasan minimal mahar yang harus diberikan kepada istri beliau berpendapat:

امو ةميق هل تناك لجرل لجر هكلهتسا ول امو سانلا لومتي ام لقا رهما ي زوج ام لق اف

مهنيب سانلا هعيابتي

Sekurang-kurangnya yang boleh dijadikan mahar adalah sedikitnya yang dipandang harta oleh manusia, dan kalau dirusakkan oleh seseorang, maka ada nilai harga (ganti rugi) baginya. Dan apa yang diperjual-belikan oleh manusia diantara sesama mereka.

Imam Syafi’i juga berpendapat bahwa segala yang boleh dijual atau disewakan boleh dijadikan mahar, dan yang tidak boleh dijual atau disewakan, maka tidak boleh dijadikan mahar. Ia membolehkan mahar dengan sesuatu yang dapat bermanfaat bagi calon istrinya, seperti mengajar membaca al-Qura>n atau yang lainnya. Pendapat tersebut berdasarkan hadis Nabi SAW:

َْلاَقٍْد عَسِْن بِْل هَسْ نَع

ْ:

ْ تَلاَقَ فَْمالَسَوِْه يَلَعُْهاْىالَصِْهاللاِْلوُسَرْىَلِإٌْةَأَر ماِْتَءاَج

ْ:

َْ فْ، ًَيِوَطْ تَماَقَ فْيِس فَ نْ نِمُْت بَ َوْيِنِإ

ٌْلُجَرَْلاَق

ْ:

ٌْةَجاَحْاَهِبَْكَلْ نُكَتْ مَلْ نِإْاَهيِ جِوَز

َْلاَق

ْ:

َْلاَقْ؟اَهُ قِد صُتٍْء يَشْ نِمَْكَد ِعْ لَ

ْ:

َْلاَقَ فْيِراَزِإْ اَِإْيِد ِعْاَم

ْ:

ُْاايِإْاَهَ ت يَط عَأْ نِإ

َْلاَقَ فْاًئ يَشْ سِمَت لاَفَْكَلَْراَزِإَََْْت سَلَج

ْ:

اًئ يَشُْدِجَأْاَم

ْ

َْلاَقَ ف

ْ:

ْ نِمْاًمَتاَخْ وَلَوْ سِمَتلا

َْلاَقَ فْ، دِجَيْ مَلَ فٍْديِدَح

ْ:

َْلاَقْ؟ٌء يَشِْنآ رُقلاَْنِمَْكَعَمَأ

ْ:

ْ،اَذَكُْةَروُسَوْ،اَذَكُْةَروُسْ، مَعَ ن

َْلاَقَ فْ،اَاامَسٍْرَوُسِل

ْ:

ْاَمِبْاَهَكاَ جاوَزْ دَق

َْكَعَم

ْ

ِْنآ رُقلاَْنِم

ْ

Dari Sahl bi As’ad, Sahl berkata: seorang perempuan pernah datang kepada


(36)

28

maka wanita itu tetap berdiri dalam waktu yang lama, maka seorang lelaki

berkata “Kawinkanlah dia denganku jika engkau tidak berminat kepada dia”, maka Rasulullah SAW berkata “adakah engkau memiliki sesuatu yang dapat disedakahkan untuknya?”, lelaki itu menjawab “saya tidak punya sesuatu pun kecuali kainki ini”, maka Rasulullah SAW berkata “jika kain itu kau berikan

kepadanya, maka kamu akan duduk tanpa memakai kain. Maka carilah sesuatu

yang lain” lelaki itu berkata “saya tidak mendapatkan sesuatu pun” maka Rasulullah SAW berkata “carilah walaupun sebuah cincin dari besi”, tetapi lelaki

itu tidak mendapatka sesuatu pun. Lalu Rasulullah SAW bertanya “Apakah engkau hafal surat dari al-Qura>n?” laki-laki itu menjawab “ya, saya hafal surat

ini, surat ini,” beberapa ayat disebutkannya. Maka Rasulullah SAW berkata

“telah kunikahkan kamu dengan mahar surat al-Qura>n yang engkau hafal.28

Hadis tersebut menunjukkan bahwa mahar itu boleh dalam jumlah yang sedikit, termasuk cincin dari besi atau mengajar al-Qura>n. Bahkan Imam Syafi’i membolehkan mahar dengan sepasang sandal atau segenggam gandum.

Imam Syafi’i tidak membatasi jumlah maksimal mahar, tetapi ia menganjurkan agar kadar mahar yang diberikan kepada istri tidak melebihi lima ratus dirham, karena mencari barakah dengan menyesuaikan perbuatan yang diperbuat oleh Rasulullah SAW. menurut Imam Syafi’i makruh hukumnya lebihan dalam memberikan mahar kepada wanita. Maksudnya, berlebih-lebihan hingga sampai menyulitkan suami. Hal itu sesuai dengan hadis Nabi SAW:

ًْةَنوُؤَمُُْرَس يَأًْةَكَرَ بِْحاَكِلاَْمَظ عَأْانِإ

(

دمحأْ اور

)

Perkawinan yang paling besar berkahnya ialah yang paling ringan maskawinnya29

28Abi ‘Abdillah Muhammad bin Isma’il Al-Bukhari, Shahih al-Bukhari, vol. 7 (Surabaya:

Al-Hidayah, t.t), 64.

29Ahmad bin Hanbal, Musnad al-Imam Ahmad bin Hanbal, vol. VI, (Beirut: Dar


(37)

29

Menurut Imam Malik mahar termasuk rukun nikah, dan nikah sah tanpa menyebutkan mahar pada waktu akad nikah. beliau berpendapat bahwa tidak ada batasan maksimal dari jumlah mahar yang wajib diberikan kepada istri, pendapat tersebut berdasarkan firman Allah SWT:

اًراَط ِقْانُاَد حِإْ مُت يَ تآَو

30

Dan kamu telah memberikan kepaa salah seorang mereka (istri-istri) mahar yang banyak.

Sedangkan paling sedikitnya mahar adalah seperempat dinar, sebagaimana pendapat beliau dalam kitab Al-Muwatta’:

ُْع طَق لاِْهيِفُْبِجَيْاَمْىَن دَأَْكِلذَوْ،ٍراَيِدِْع بُرْ نِمْالَقَأِبُْةَأ رَم لاَْحَك ُ تْ نَأْىَرَأََْ

saya tidak pernah melihat seorang wanita dinikahkan dengan mahar kurang dari seperempat dinar. Dan itu adalah batas minimal yang mewajibkan adanya potong tangan31

Imam Malik berpendapat bahwa dalam perkawinan terdapat anggota tubuh yang dihalalkan karena harta, oleh karenanya mahar harus ditentukan batas (terendah) harta yang dicari untuk dapat menghalalkan adanya hukuman potong tangan bagi sariqah.32

Imam Abu Hanifah berpendapat bahwa batasan minimal mahar adalah 10 dirham atau barang yang harganya senilai dengan 10 dirham. Pendapat ini juga diikuti oleh sebagian Hanafiyah. Imam Abu Hanifah berpendapat seperti itu karena menganalogikan dengan batasan minimal sariqah (batas minimal pencurian yang mengakibatkan seorang pencuri dipotong tangannya).

30

al-Qur’an, 4:20.

31Malik bin Anas, al-Muwatta’, vol. III, (Beirut: Dar al-Fikr, t.t), 119. 32Darmawan, Eksistensi Mahar, 47.


(38)

30

Pendapatnya sama dengan Imam Malik. Penganalogian ini didukung dengan hadis Rasulullah SAW.:

َْمِاَرَدِْةَرَشَعَْنوُدَْقاَدَصْ ََ

Tidak ada mahar dengan jumlah yang kurang dari 10 dirham33

Menurut Imam Abu Hanifah hadis tersebut dilihat dari sanadnya, maka statusnya adalah hasan. Kalau seorang suami dalam akad nikah memberikan mahar kurang dari 10 dirham, maka pernikahannya dianggap sah tetapi tetap wajib membayar 10 dirham (dalam perjalanan pernikahannya terutama setelah terjadinya khalwat atau dukhul). Hal ini didasarkan pada hadis Rasulullah SAW. di atas. Sedangkan dalam menanggapi hadis Rasulullah SAW. yang membolehkan mahar dengan “cincin yang terbuat dari besi”, Imam Abu Hanifah mengatakan bahwa, hadis itu dikhususkan pada pembayaran mahar yang mu’ajjam (kontan), sebagai bentuk formalitas tentang pembayaran mahar, karena bagaimanapun tetap disunnahkan dalam akad nikah ada mahar yang disebutkan dan dibetikan, kalau tidak bisa membayar langsung sebanyak 10 dirham, maka minimal cincin yang terbuat dari besi, sedangkan sisanya sampai melunasi 10 dirham tetap wajib dibayarkan dalam pernikahan, karena di anggap sebagai dain (hutang).

Islam tidak menyukai mahar yang berlebihan, bahkan sebaliknya kalau mahar itu lebih murah tentu akan memberi barakah dalam kehidupan suami istri. Dan mahar yang murah adalah menunjukkan kemurahan hati perempuan.

لوسرْنأْ،ةشئاعْنع

ْ

لاقْ،ملسوْهيلعْهاْىلصْها

ْ:

ْ رسيأْةكربْحاك لاْمظعأْنإ

ةنوؤم


(39)

31

Dari Aisyah ra, Sesungguhnya Rasulullah SAW bersabda: Nikah teragung dan terbesar keberkahannya adalah yang paling sedikit biayanya. (H.R. Ahmad)34 Banyak sekali manusia yang tidak mengenal ajaran ini. Bahkan menyalahinya dan berpegang kepada adat Jahiliyah dalam pemberian mahar yang berlebih lebihan dan menolak menikahkan anaknya kecuali kalau dapat membayar mahar yang besar, memberatkan dan menyusahkan itu. Sehingga seolah-olah perempuan itu merupakan barang dagangan yang dipasang tarif dalam tiket perdagangan itu.

Islam tidak menyukai penentuan mahar yang terlalu berat atau di luar jangkauan kemampuan seorang laki-laki karena dapat membawa pengaruh negatif, antara lain:35

1. Menjadi hambatan berlangsungnya pernikahan bagi laki-laki dan perempuan, terutama bagi mereka yang sudah merasa cocok dan telah mengikat janji, akibatnya kadang-kadang mereka putus asa dan nekat mengakhiri hidupnya.

2. Mendorong atau memaksa pihak laki-laki untuk berhutang. Hal ini bisa berakibat kesedihan bagi suami istri dan menjadi beban hidup mereka karena mempunyai hutang yang banyak.

3. Mendorong terjadinya kawin lari.

Demikianlah Islam sangat menganjurkan perempuan agar tidak meminta mahar yang terlalu berlebihan atau memberatkan laki-laki. Mahar bukan tujuan

34Imam Ahmad, Musnad Ahmad, vol. 24, 446.

35


(40)

32

dari pernikahan, melainkan hanya simbol ikatan cinta kasih. Pernikahan dengan mahar yang ringan bisa membawa keberkahan dalam rumah tangga.

E.Hikmah Disyariatkannya Mahar

Hikmah disyariatkannya mahar dalam nikah adalah sebagai ganti dari dihalalkannya wanita atau dihalalkannya bersetubuh dengan suaminya. Disamping itu pula mahar juga sebagai tanda hormat sang suami kepada pihak wanita dan sebagai tanda kedudukan wanita tersebut telah menjadi hak suami.36

Mahar disyariatkan oleh Allah SWT untuk mengangkat derajat wanita dan memberi penjelasan bahwa akad pernikahan ini mempunyai kedudukan yang tinggi. Oleh karena itu, Allah SWT mewajibkannya kepada laki-laki bukan kepada wanita, karena laki-laki lebih mampu berusaha. Mahar diwajibkan pada laki-laki seperti halnya juga seluruh beban materi. Istri pada umumnya dinafkahi dalam mempersiapkan dirinya dan segala perlengkapannya yang tidak dibantu oleh ayah dan kerabatnya, tetapi manfaatnya juga kembali kepada suami. Oleh karena itu, merupakan sesuatu yang relevan suami dibebani mahar untuk diberikan kepada sang istri. Mahar ini dalam segala bentuknya menjadi penyebab suami tidak terburu-buru menjatuhkan talak kepada istri karena yang ditimbulkan dari mahar tersebut seperti penyerahan mahar yang di akhirkan, penyerahan mahar bagi wanita yang dinikahinya setelah itu dan juga sebagai jaminan wanita ketika ditalak.37

36Saleh al-Fauzan, Fiqh Sehari-hari, (Depok: Gema Insani, 2006), 674. 37Azzam, Fiqh Munakahat, 178.


(41)

BAB III

PENAFSIRAN DAN KONTEKSTUALISASI MAHAR DALAM

AL-QURAN

A.Konsep Mahar

Konsep tentang mahar adalah bagian yang esensial dalam pernikahan. Tanpa mahar tidak dinyatakan telah melaksanakan pernikahan dengan benar. Mahar harus ditetapkan sebelum pelaksanaan pernikahan.1

Ada hal yang harus diperhatikan dalam konsep mahar yaitu mahar harus ada dalam pernikahan tetapi disesuaikan dengan keputusan budaya masing-masing dan yang wajib memberikan mahar adalah laki-laki.

1. Substansi Mahar

Mahar biasanya disebut sebagai pemberian calon suami kepada calon istri, perlu digaris bawahi bahwa bukan hanya pemberian materi belaka tetapi sebuah bentuk ketulusan niat melakukan ibadah dan memuliakan wanita serta keseriusan dalam akad, termasuk siap menanggung apa yang terjadi setelah pernikahan.

ًةَلْهِ َنههِاَقُدَص َءاَسِنلا اوُتآَو

ْ نِإَف

اًئيهرَم اًئيهنَ ُوُلُكَف اًسْفَ ن ُهْنهم ٍءْيَش ْنَع ْمُكَل َْْهط

ُ

4

َ

2

Berikanlah maskawin (mahar) kepada wanita (yang kamu nikahi) sebagai pemberian dengan penuh kerelaan. kemudian jika mereka menyerahkan kepada kamu sebagian dari maskawin itu dengan senang hati, Maka

1

Istibsyaroh, Hak-hak Perempuan, (Jakarta: Teraju, 2004), 101.

2


(42)

34

makanlah (ambillah) pemberian itu (sebagai makanan) yang sedap lagi baik akibatnya.3

Diriwayatkan oleh Ibnu Abi Hatim yang bersumber dari Abi Saleh, bahwa biasanya kaum bapak menerima dan menggunakan maskawin tanpa seizin putri-putrinya. Maka turunlah surah an-Nisa’ ayat 4 sebagai larangan terhadap perbuatan tersebut.4

ًةَلْهِ َنههِاَقُدَص َءاَسِنلا اوُتآَو

Islam mewajibkan suami memberikan maskawin sebagai nihlah

(pemberian yang khusus kepada wanita) dan harus dengan hati yang tulus dan lapang dada, sebagaimana halnya memberikan hibah (pemberian).5

Dalam ayat ini diarahkan kepada para suami. Artinya berikanlah kepada wanita-wanita yang telah kalian ikat dengan mahar suatu hibah

(pemberian), sebagai pelambang kasih yang mendasari hubungan kalian berdua. Pemberian tersebut sebagai pertanda cinta dan eratya hubungan, di samping jalinan yang seharusnya meliputi rumah tangga yang kalian bangun.6

Pada kalangan banyak orang telah menjadikan tradisi mereka tidak cukup hanya dengan pemberian mahar saja, tetapi dibarengi dengan aneka ragam hadiah lainnya, baik berupa makanan, pakaian atau lainnya, sebagai

3

Tim Disbintalat, Al-Qur’an dan Terjemahan Indonesia, vol. XVII, (Jakarta: Sari Agung, 2002), 141.

4

Shaleh, dkk, Asbabun Nuzul, (Bandung: Diponegoro,1998), 121.

5

Sayyid Quthb, Tafsir fi Dhilalil Qur’an, vol. II, 283.

6

Ahmad Mustafa al-Maraghi, Terjemah Tafsir al-Maraghi, vol. IV, (Semarang: Toha


(43)

35

penghargaan dari calon suami kepada calon istri tercinta yang bakal mendampingi hidupnya.7

ْ نِإَف

اًئيهرَم اًئيهنَ ُوُلُكَف اًسْفَ ن ُهْنهم ٍءْيَش ْنَع ْمُكَل َْْهط

Apabila mereka merasa suka memberimu sesuatu dari maharnya tanpa merasa dirugikan dan tanpa ada unsur tipuan, maka makanlah pemberian itu dengan senang hati olehmu. Tidak ada dosa bagimu untuk mengambil dan menerimanya. 8

Substansi mahar adalah suatu pemberian dari calon suami kepada calon istrinya baik berupa uang, barang, jasa ataupun yang lainnya dengan suka rela dan tanpa ada paksaan.

2. Fungsi Mahar dalam Perkawinan

Banyak sekali fungsi mahar dalam al-Qura>n, diantaranya adalah: a. Mahar adalah kewajiban suami

Kewajiban membayarkan mahar pada hakikatnya tidak hanya untuk mendapatkan kesenangan namun lebih kepada penghormatan dan pemberian dari calon suami kepada calon isteri sebagai awal dari sebuah pernikahan dan sebagai tanda bukti cinta kasih seorang laki-laki, dijelaskan dalam firman Allah:

 Q.S. an-Nisa’: 4.

ًةَلْهِ َنههِاَقُدَص َءاَسِنلا اوُتآَو

ْ نِإَف

اًئيهرَم اًئيهنَ ُوُلُكَف اًسْفَ ن ُهْنهم ٍءْيَش ْنَع ْمُكَل َْْهط

ُ

4

َ

9

7

Mustafa al-Maraghi, Terjemah Tafsir al-Maraghi, vol. IV, 330.

8

Ibid., 330.

9


(44)

36

Berikanlah maskawin (mahar) kepada wanita (yang kamu nikahi) sebagai pemberian dengan penuh kerelaan. kemudian jika mereka menyerahkan kepada kamu sebagian dari maskawin itu dengan senang hati, Maka makanlah (ambillah) pemberian itu (sebagai makanan) yang sedap lagi baik akibatnya.10

Diriwayatkan oleh Ibnu Abi Hatim yang bersumber dari Abi Saleh, bahwa biasanya kaum bapak menerima dan menggunakan maskawin tanpa seizin putri-putrinya. Maka turunlah surah an-Nisa’ ayat 4 sebagai larangan terhadap perbuatan tersebut.11

Maskawin menjadi kewajiban suami, bahkan membelanjai istri dan keluarga, karena demikian itulah kecenderungan jiwa manusia yang normal, bahkan binatang. Pernahkan anda melihat ayam betina menyodorkan makanan untuk ayam jantan? Bukanlah ayam jantan yang menyodorkan makanan untuk kemudian merayu dan menikahinya? Demikian tabiat/kodrat yang ditetapkan Allah SWT. Bahkan, wanita yang tidak terhormat sekalipun enggan –paling tidak, enggan terlihat atau diketahui- membayar sesuatu untuk kekasihnya. Sebaliknya, rasa harga diri lelaki menjadikannya enggan untuk dibiayai wanita. Ini karena naluri manusia yang normal merasa bahwa dialah sebagai pria yang harus menanggung beban itu.12

 Q.S. an-Nisa’ ayat 24.

ْ حُم لاَو

َْءاَرَوْاَمْ مُكَلْالِحُأَوْ مُك يَلَعِْهاللاَْباَتِكْ مُكُناَم يَأْ تَكَلَمْاَمْ اَِإِْءاَسِلاَْنِمُْتاََص

ْانُوُتآَفْانُه ِمِْهِبْ مُت عَ ت مَت ساْاَمَفَْنيِحِفاَسُمَْر يَغَْنيِِص حُمْ مُكِلاَو مَأِبْاوُغَ ت بَ تْ نَأْ مُكِلَذ

10

Tim Disbintalat, Al-Qur’an dan Terjemahan, 141.

11

Shaleh, dkk, Asbabun Nuzul, 121.

12


(45)

37

َْضيِرَفْانَُروُجُأ

ْاًميِلَعَْناَكَْهاللاْانِإِْةَضيِرَف لاِْد عَ بْ نِمِْهِبْ مُت يَضاَرَ تْاَميِفْ مُك يَلَعَْحاَُجْ َََوًْة

ْاًميِكَح

(

42

َ

13

Dan (diharamkan juga kamu mengawini) wanita yang bersuami, kecuali budak-budak yang kamu miliki (Allah telah menetapkan hukum itu) sebagai ketetapan-Nya atas kamu. dan Dihalalkan bagi kamu selain yang demikian (yaitu) mencari isteri-isteri dengan hartamu untuk dikawini bukan untuk berzina. Maka isteri-isteri yang telah kamu nikmati (campuri) di antara mereka, berikanlah kepada mereka maharnya (dengan sempurna), sebagai suatu kewajiban; dan Tiadalah mengapa bagi kamu terhadap sesuatu yang kamu telah saling merelakannya, sesudah menentukan mahar itu. Sesungguhnya Allah Maha mengetahui lagi Maha Bijaksana.14

Diriwayatkan oleh Muslim, Abu Dawud, Tirmidzi dan An-Nasa’i yang bersumber dari Abi Sa’id al-Khudri, bahwa kaum muslimin mendapat tawanan wanita yang mempunyai suami dari peperangan Authas. Mereka tidak mau dicampuri oleh yang berhak terhadap tawanan itu. Maka bertanyalah kaum muslimin kepada Rasulullah SAW hingga turunlah Surah an-Nisa’ ayat 24 sebagai penegasan hukumnya.15

Setelah membicarakan ketentuan dalam mencari istri dengan menggunakan harta, maka dibicarakan kembali bagaimana mencari kesenangan dengan harta itu,

ةَضيهرَف َنَُروُجُأ َنُوُتآَف َنُهْ نهم هههب ْمُتْعَ تْمَتْسا اَمَف

Maka istri-istri yang telah kamu nikmati (campuri) diantara mereka, berikanlah kepada maharnya (dengan sempurna), sebagai suatu kewajiban. Allah menjadikan mahar wanita ini sebagai suatu kewajiban, sebagai imbalan dari bersenang-senang (menikmati) wanita yang halal dinikahi, maka jalannya ialah dengan mencarinya untuk menjaganya melalui

13

al-Qur’an, 4: 24.

14

Tim Disbintalat, Al-Qur’an dan Terjemahan, 148.

15


(46)

38

pernikahan, bukan dengan jalan lain. Ia harus memberikan mahar kepadanya sebagai suatu kewajiban yang pasti, bukan sunnah, bukan suka rela dan bukan sebagai penanaman jasa.16

Setelah menetapkan hak bagi wanita dan kewajiban bagi lelaki, dibiarkanlah pintu terbuka untuk hal-hal yang saling mereka sukai sesuai dengan tuntutan hidup bersama mereka, serta sesuai dengan perasaan dan keinginan yang satu terhadap yang lain.17

هةَضيهرَفْلا هدْعَ ب ْنهم هههب ْمُتْيَضاَرَ ت اَميهف ْمُكْيَلَع َحاَنُج َََو

Tiadalah mengapa bagi kamu terhadap sesuatu yang kamu telah saling merelakannya, sesudah menentukan mahar itu.

Maka, tidaklah mengapa bagi mereka kalau istri merelakan sebagian maharnya atau seluruhnya, setelah dijelaskan dan ditentukan besarnya, dan setelah menjadi hak yang murni baginya untuk dipergunakan secara leluasa sebagaimana ia memperguanakan harta yang lain. Juga tidak mengapa atas mereka kalau si suami menambahi jumlah mahar untuk si istri. Karena ini sudah menjadi urusan kasus mereka, yang mereka lakukan dengan suka rela, penuh kebebasan dan lapang dada.18

Dari penjelasan ayat-ayat di atas, penulis menyimpulkan bahwa mahar adalah kewajiban yang harus diberikan oleh calon suami kepada calon istrinya yang hendak menikah.

b. Mahar adalah Hak Istri  Q.S. an-Nisa’ ayat 4

16

Sayyid Quthb, Tafsir fi Dhilalil Qur’an, vol. II, 328.

17

Ibid., 328.

18


(47)

39

ًةَلْهِ َنههِاَقُدَص َءاَسِنلا اوُتآَو

ْ نِإَف

اًئيهرَم اًئيهنَ ُوُلُكَف اًسْفَ ن ُهْنهم ٍءْيَش ْنَع ْمُكَل َْْهط

ُ

4

َ

19

Berikanlah maskawin (mahar) kepada wanita (yang kamu nikahi) sebagai pemberian dengan penuh kerelaan. kemudian jika mereka menyerahkan kepada kamu sebagian dari maskawin itu dengan senang hati, Maka makanlah (ambillah) pemberian itu (sebagai makanan) yang sedap lagi baik akibatnya.20

Diriwayatkan oleh Ibnu Abi Hatim yang bersumber dari Abi Saleh, bahwa biasanya kaum bapak menerima dan menggunakan maskawin tanpa seizin putri-putrinya. Maka turunlah surah an-Nisa’ ayat 4 sebagai larangan terhadap perbuatan tersebut.21

Ayat ini memberikan hak yang jelas kepada wanita dan hak keberdataan mengenai maskawinnya. Juga mengkonfirmasikan realitas yang terjadi dalam masyarakat Jahiliyah dimana hak ini dirampas dalam berbagai bentuknya. Misalnya, pemegang hak maskawin ini ditangan wali dan ia berhak mengambilnya untuk dirinya, seakan-akan wanita itu merupakan objek jual beli, sedang si wali sebagai pemiliknya. Maka Islam mengharamkan pernikahan model ini secara total dan menjadikan pernikahan sebagai pertemuan dua jiwa yang saling mencintai atas kehendak mereka. Dan menjadikan maskawin sebagai hak wanita untuk dimilikinya, bukan milik wali.22

Islam mewajibkan maskawin dan memastikannya, untuk dimiliki wanita sebagai suatu kewajiban dari lelaki kepadanya yang tidak boleh ditentang. Apabila istri merelakan maskawin itu –sebagian atau

19

al-Qur’an, 4: 4.

20

Tim Disbintalat, Al-Qur’an dan Terjemahan, 141.

21

Shaleh, dkk, Asbabun Nuzul,121.

22


(48)

40

seluruhnya- kepada suaminya, maka istri itu mempunyai hak penuh untuk melakukannya dengan senang dan rela hati, dan suami boleh menerima dan memakan apa yang diberikan istrinya itu dengan senang hati. Karena hubungan suami istri seharusnya didasarkan pada kerelaan yang utuh, kebebasan yang mutlak, kelapangan dada dan kasih sayang yang tidak terluka dari kedua belah pihak.23

Dari ayat ini dipahami adanya kewajiban suami membayar maskawin buat istri dan bahwa maskawin itu adalah hak istri secara penuh. Dia bebas menggunakannya dan bebas pula memberi seluruhnya atau sebagian darinya kepada siapapun, termasuk kepada suaminya.

 Q.S. an-Nisa’ ayat 20-21

ٍْج وَزَْلاَد بِت ساُْمُت دَرَأْ نِإَو

َناَكَم

ْ

ْاًئ يَشُْه ِمْاوُذُخ أَتْ َََفْاًراَط ِقْانُاَد حِإْ مُت يَ تآَوٍْج وَز

ْاًيِبُمْاًم ثِإَوْاًناَت هُ بُْهَنوُذُخ أَتَأ

(

42

ْ)

ْ عَ بْىَلِإْ مُكُض عَ بْىَض فَأْ دَقَوُْهَنوُذُخ أَتَْف يَكَو

ْاًظيِلَغْاًقاَثيِمْ مُك ِمَْن ذَخَأَوٍْض

(

42

)

24

Dan jika kamu ingin mengganti istrimu dengan istri yang lain, sedang kamu telah memberikan kepada seorang diantara mereka harta yang banyak, maka jangan kamu mengambil kembali dari padanya barang sedikitpun. Apakah kamu akan mengambilnya kembali dengan jalan tuduhan yang dusta dan dengan (menanggung) dosa yang nyata?.

Bagaimana kamu akan mengambilnya kembali, padahal sebagian kamu telah bergaul (bercampur) dengan yang lain sebagai suami istri. Dan mereka (istri-istrimu) telah mengambil dari kamu perjanjian yang kuat.25

Orang-orang Jahiliyah apabila bercerai dengan istrinya biasanya mengambil kembali harta-harta yang telah diberikannya sebagai mahar. Setelah Islam datang ke tengah-tengah mereka, cara ini masih sering

23

Sayyid Quthb, Tafsir fi Dhilalil Qur’an, vol. II, 283.

24

al-Qur’an, 4: 20-21.

25


(49)

41

terjadi di kalangan kaum muslimin. Oleh sebab itu, pada suatu ketika Umar bin Khattab berkata: ”Ingatlah!. Jangan sekali-kali kamu mengambil kembali harta yang telah kamu berikan kepada istrimu. Sebab yang demikian itu perbuatan yang mulia di dunia dan termasuk takwa kepada Allah.” Sehubungan dengan perkataan Umar bin Khattab ini Allah SWT menurunkah Surah an-Nisa’ ayat 20-21 sebagai ketegasan tentang larangan mengambil kembali harta yang telah diberikan kepada istri sebagai mahar apabila seorang bermaksud menceraikannya. (H.R. Ahmad dari Isma’il dari Salamah).26

Dalam hal ini yang disebutkan adalah suami, jika sang suami menalak istrinya sedangkan ia tidak bernaksud kawin lagi dengan wanita lainnya, ia hanya memilih hidup menyendiri dan tidak terikat dengan wanita manapun juga, karena kebutuhan mereka banyak. Maka dalam keadaan seperti itu sang suami tidak diperkenankan mengambil sesuatu dari hartanya.27

Kebiasaan kaum Jahiliyyah yaitu bila bermaksud mentalaq istrinya. dan mau menebus dirinya dari sang suami dengan mengembalikan mahar yang pernah is berikan kepadanya.

ٍْض عَ بْىَلِإْ مُكُض عَ بْىَض فَأْ دَقَوُْهَنوُذُخ أَتَْف يَكَو

Sesungguhnya keadaan mereka yang menghalalkan mengambil mahar-mahar wanita bilamana mereka bermaksud berpisah dengan melalui

26

A. Mujab Mahali, Asbabun Nuzul, cet. I, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2002), 216.

27


(50)

42

talak, bukan karena suatu dosa yang telah dilakukan oleh wanita-wanita itu. Juga bukan karena mereka tidak menegakkan batasan-batasan Allah.28

Hanya karena pendapat lelaki itu sendiri dan hawa nafsunya, di samping sudah bosan hidup bersama mereka. Sunggh aneh, bagaimana mereka memperkenankan diri mau mengambil hal tersebut dari kaum wanita, sesudah berhubungan suami istri terjalin dengan ikatan yang kuat.  Q.S. an-Nisa’ ayat 24

اَم ْمُكَل َلهحُأَو ْمُكْيَلَع ههَللا َباَتهك ْمُكُناََْْأ ْتَكَلَم اَم ََهإ هءاَسِنلا َنهم ُتاَنَصْحُمْلاَو

َْءاَرَو

ْمُكهلَذ

اوُغَ تْبَ ت ْنَأ

ًةَضيهرَف َنَُروُجُأ َنُوُتآَف َنُهْ نهم هههب ْمُتْعَ تْمَتْسا اَمَف َنهحهفاَسُم َرْ يَغ َنهنهصُُْ ْمُكهلاَوْمَأهب

اًميهكَح اًميهلَع َناَك َهَللا َنهإ هةَضيهرَفْلا هدْعَ ب ْنهم هههب ْمُتْيَضاَرَ ت اَميهف ْمُكْيَلَع َحاَنُج َََو

ُ

44

َ

29

Dan (diharamkan juga kamu mengawini) wanita yang bersuami, kecuali budak-budak yang kamu miliki (Allah telah menetapkan hukum itu) sebagai ketetapan-Nya atas kamu. dan Dihalalkan bagi kamu selain yang demikian (yaitu) mencari isteri-isteri dengan hartamu untuk dikawini bukan untuk berzina. Maka isteri-isteri yang telah kamu nikmati (campuri) di antara mereka, berikanlah kepada mereka maharnya (dengan sempurna), sebagai suatu kewajiban; dan Tiadalah mengapa bagi kamu terhadap sesuatu yang kamu telah saling merelakannya, sesudah menentukan mahar itu. Sesungguhnya Allah Maha mengetahui lagi Maha Bijaksana.30

Diriwayatkan oleh Ibnu Jarir dari Mas’ud bin Sulaiman yang bersumber dari bapaknya, bahwa orang Hadlrami membebani kaum laki-laki membayar mahar (maskawin) dengan harapan dapat memberatkannya (sehingga tidak dapat membayar pada waktunya untuk mendapatkan tambahan pembayaran). Maka turunlah Surah an-Nisa’ ayat 24 sebagai ketentuan pembayaran mahar atas keridlaan kedua belah pihak.

28

Mustafa al-Maraghi, Terjemah Tafsir al-Maraghi, vol. IV, 388.

29

al-Qur’an, 4: 24.

30


(51)

43

Dibalik wanita yang haram dinikahi sebagaimana disebutkan, maka menikahinya adalah halal. Bagi orang-orang yang menghendakinya, dipersilahkan untuk mencari wanita untuk dinikahinya, dengan memberikan harta kepadanya sebagai maskawin, bukan untuk membeli kemaluannya, tanpa pernikahan.31 Karena itulah Allah berfirman:

َنهحهفاَسُم َرْ يَغ َنهنهصُُْ

untuk dinikahi bukan untuk berzina.

Untuk hal ini Allah membuat suatu ketentuan dan syarat untuk mencari istri itu dengan harta. Dia tidak menganggap cukup menentukan ketentuan ini dengan menggunakan kalimat aktif positif muhs}ini>n untuk

menikahi bahkan segera mengiringinya dengan menafikan bentuk lain, ghaira musa>fihi>n bukan untuk berzina untuk menambah ketegasan dan kejelasannya, di dalam menyampaikan syariat dan peraturan ini. Selanjutnya untuk melukiskan tabiat hubungan pertama yang disukai dan dikhendaki-Nya, yaitu hubungan pernikahan, dan menggambarkan tabiat hubungan lain yang dibenci dan ditiadakan-Nya, yaitu hubungan pergundikan dan pelacuran. Kedua-duanya ini sudah populer dikalangan masyarakat jahiliyah, juga pada masyarakat sekarang.32

 Q.S. an-Nisa’ ayat 25

ْنَمَو

اَم ْنهمَف هتاَنهمْؤُمْلا هتاَنَصْحُمْلا َحهكْنَ ي ْنَأ ًَْوَط ْمُكْنهم ْعهطَتْسَي ََْ

ْ تَكَلَم

ْنهم ْمُكُناََْْأ

َو َنهههلَْأ هنْذهإهب َنُوُحهكْناَف ٍضْعَ ب ْنهم ْمُكُضْعَ ب ْمُكهناَْهإهب ُمَلْعَأ ُهَللاَو هتاَنهمْؤُمْلا ُمُكهتاَيَ تَ ف

َنُوُتآ

وُجُأ

َْنَ تَأ ْنهإَف َنهصْحُأ اَذهإَف ٍناَدْخَأ هتاَذهخَتُم َََو ٍتاَحهفاَسُم َرْ يَغ ٍتاَنَصُُْ هفوُرْعَمْلاهب َنَُر

31

Sayyid Quthb, Tafsir fi Dhilalil Qur’an, vol. II, 327.

32


(52)

44

ْمُكْنهم َتَنَعْلا َيهشَخ ْنَمهل َكهلَذ هباَذَعْلا َنهم هتاَنَصْحُمْلا ىَلَع اَم ُفْصهن َنههْيَلَعَ ف ٍةَشهحاَفهب

رْ يَخ اوُهِْصَت ْنَأَو

ميهحَر روُفَغ ُهَللاَو ْمُكَل

ُ

42

َ

33

Dan Barangsiapa diantara kamu (orang merdeka) yang tidak cukup perbelanjaannya untuk mengawini wanita merdeka lagi beriman, ia boleh mengawini wanita yang beriman, dari budak-budak yang kamu miliki. Allah mengetahui keimananmu; sebahagian kamu adalah dari sebahagian yang lain, karena itu kawinilah mereka dengan seizin tuan mereka, dan berilah maskawin mereka menurut yang patut, sedang merekapun wanita-wanita yang memelihara diri, bukan pezina dan bukan (pula) wanita yang mengambil laki-laki lain sebagai piaraannya; dan apabila mereka telah menjaga diri dengan kawin, kemudian mereka melakukan perbuatan yang keji (zina), Maka atas mereka separo hukuman dari hukuman wanita-wanita merdeka yang bersuami. (Kebolehan mengawini budak) itu, adalah bagi orang-orang yang takut kepada kemasyakatan menjaga diri (dari perbuatan zina) di antara kamu, dan kesabaran itu lebih baik bagimu. dan Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.34

Setelah berbicara tentang wanita-wanita merdeka, ayat di atas berbicara tentang wanita-wanita yang berstatus budak yang pada masa turunnya al-Qura>n masih sangat banyak. Seakan-akan Allah berfirman: itulah petunjuk mengawini wanita-wanita merdeka.35

Dalam ayat ini diatur bagaimana cara menikahi mereka dan dalam kondisi apa diperbolehkan menikahinya itu, Islam sangat mengutamakan nikah dengan wanita merdeka kalau mampu. Hal itu disebabkan wanita merdeka itu akan dijaga oleh kemerdekaannya dan diajarinya bagaimana seharusnya ia memelihara kehormatannya dan kehormatan suaminya. Mereka inilah yang dimaksud dengan muhshanat yakni wanita merdeka yang terpelihara kehormatannya dan terjamin kehidupannya.36

33

al-Qur’an, 4: 25.

34

Tim Disbintalat, Al-Qur’an dan Terjemahan, 148.

35

Departemen Agama Republik Indonesia, Al-Qur’an dan Terjemahannya, (Surabaya: Mahkota, 1989), 156.


(1)

66

BAB IV

PENUTUP

A.Simpulan

Dari pembahasan pada bab-bab sebelumnya dapat diambil beberapa

kesimpulan, diantaranya adalah:

1. Konsep mahar menjadi bagian yang penting dalam pernikahan.

Tanpa adanya mahar dalam pernikahan maka pelaksaan pernikahan

itu dinyatakan tidak benar. Konsep mahar meliputi: Substansi

mahar yakni suatu pemberian yang diberikan oleh calon suami

kepada calon istrinya sebagai pemberian dengan penuh kerelaan

dan tanpa ada paksaan. Fungsi mahar dalam perkawinan diamana

mahar menjadi kewajiban seorang suami dan merupakan

sepenuhnya hak istri. al-Qura>n memerintahkan untuk sederhana

dalam menentukan mahar dan tidak berlebih-lebihan, Serta bentuk

mahar bisa berupa jasa atau berupa harta, benda bahkan

memerdekakan budak.

2. Islam tidak menentukan jumlah besar atau kecilnya mahar, hal ini

disebabkan adanya perbedaan kemampuan antara sesama manusia.

jadi ukuran mahar diserahkan kepada kemampuan suami dengan

pandangan yang sesuai. Mahar menjadi simbol penghormatan

kepada istri dan keluarganya, tetapi tidak jarang jumlah yang


(2)

67

B.Saran

Membicarakan masalah mahar memang sangat penting, terutama

menjelang melaksanakan pernikahan. Terkadang hanya karena masalah mahar

akhirnya bisa menjadi bahan pembicaraan yang kurang berkenan di hati mempelai

bahkan di lingkungan masyarakat.

Berkaitan dengan penulisan skripsi ini, penulis memberi saran sebagai

berikut:

1. Hendaknya para calon mempelai ketika ingin melakukan pernikahan

perlu membicarakan mahar sesuai dengan kesepakatan antara kedua

pihak.

2. Para calon mempelai perlu memahami bahwa mahar merupakan suatu

cara untuk mempererat tali kasih sayang diantara mereka serta simbol

ketulusan hati seorang suami kepada istri.

3. Hendaknya permasalahan mahar jangan dijadikan kendala bagi manusia

yang sudah ada keinginan untuk melaksanakan pernikahan. Dan Islam

sangat menganjurkan perempuan agar tidak meminta mahar yang

berlebihan atau memberatkan laki-laki.

Setelah melakukan penyajian tentang Konsep Mahar dalam al-Qur>an

(Telaah Tematik), saya menyarankan untuk para pembaca agar dapat mempelajari

dan memahami skripsi ini secara mendalam. Sebab ini merupakan ilmu yang

Insya Allah akan menghantarkan seseorang untuk mampu menggunakan secara


(3)

68

Skripsi ini sudah ditulis secara sungguh-sungguh, meskipun demikian

Penulis menyadari bahwa skripsi ini masih jauh dari kata sempurna. Apabila

dalam penulisan skripsi ini terdapat kekeliruan yang tidak disadari, kritik dan

saran yang konstruktif sangat diharapkan demi proses belajar untuk menjadi


(4)

DAFTAR PUSTAKA

Anas, Malik bin. al-Muwatta. Vol. III. Beirut: Dar al-Fikr, t.t.

Asyarie, Sukmadjadja dan Rosy Yusuf. Indeks Al-Qur’an. Bandung: Pustaka,

1984.

Al-‘Ati, Hammuda Abd. Keluarga Muslim. Surabaya: PT. Bina Ilmu, 1984.

Azzam, Abdul Aziz Muhammad dan Abdul Wahhab Sayyed Hawwas. Fiqh

Munakahat (Khitbah, Nikah, dan Talak). cet. II. Jakarta: Amzah, 2011.

Al-Bukhari, Abi ‘Abdillah Muhammad bin Isma’il. Shahih al-Bukhari. vol. 7. Surabaya: Al-Hidayah, t.t.

Bakker, Anton. Metode Penelitian. Yogyakarta: Kanisius, 1992.

Chozin, Fadjrul Hakam. Cara Mudah Menulis Karya Ilmiah, Ttp: Alpha, 1997.

Daradjat, Zakiah. Ilmu Fiqh. Yogyakarta: PT. Dana Bakti Wakaf, 1995.

Darmawan. Eksistensi Mahar dan Walimah. Surabaya: Avisa, 2011.

al-Daruqutny, Ali bin Umar. Sunan al-Daruqutny. vol. II,. Beirut: Dar al-Fikr, t.t

Departemen Agama Republik Indonesia. Al-Qur’an dan Terjemahannya.

Surabaya: Mahkota, 1989.

al-Farma>wi>, Abd al-Hayy. Metode Tafsir Mawdlu>’i>y. Jakarta: PT. Grafindo

Persada, 1994.

___________________, Metode Tafsir Maudlu’i. Suatu pengantar. Jakarta: PT.

Grafindo Persada, 1996.

al-Fauzan, Saleh. Fiqh Sehari-hari. Depok: Gema Insani, 2006.

Hadi, Sutrisno. Metodologi Reseacrh. Yogyakarta: Andi Offset, 1989.

Al-Hamdani. Risalah Nikah Hukum Perkawinan Islam. Jakarta: Pustaka Amani,

1989.


(5)

70

Hamka. Tafsir al-Azhar. juz V. Jakarta:Pustaka Panjimas, 1983.

Hanbal, Ahmad bin. Musnad al-Imam Ahmad bin Hanbal. vol. VI. Beirut: Dar

al-Kutub al-Ilmiyah, 1989.

al-Jaziri, Abdurrahman. Al-Fiqh ‘ala Madzahib al-Arba’ah. vol. 4

Kamal, Mukhtamar. Asas-asas Hukum Islam tentang Perkawinan. Jakarta: Bulan Bintang, 1974.

Khaliq, Abdurrahman Abdul. Kado Pernikahan Barokah. cet. II. Yogyakarta: Al-Manar, 2004.

Mahali, A. Mujab. Asbabun Nuzul. Cet. I. Jakarta: PT Raja Grafindo, 2002.

al-Maraghi, Ahmad Mustafa. Terjemah Tafsir al-Maraghi. vol. II. Semarang:

Toha Putra, 1993.

____________________, Terjemah Tafsir al-Maraghi. vol. IV. Semarang: Toha

Putra, 1993.

___________________, Terjemah Tafsir al-Maraghi. vol. XX. Semarang: Toha

Putra, 1993.

___________________, Terjemah Tafsir al-Maraghi. vol. XXVIII. Semarang:

Toha Putra, 1993.

al-Musayyar, M. Sayyid Ahmad. Islam Bicara Soal Seks, Percintaan dan Rumah

Tangga. Kairo Mesir: Erlangga, 2008.

Purwadarminta. Kamus Umum Bahasa Indonesia. Jakarta: Pustaka, 1975.

al-Qattan, Manna’ Khalil. Studi Ilmu-ilmu Qur’an. Bogor: Litera Antar Nusa, 2013.

Quthb, Sayyid. Tafsir fi Zhilalil Qur’a. Vol. II. Jakarta: Gema Insani Press, 2002.

Rofiq, Ahmad. Hukum Perdata Islam di Indonesia. Jakarta: Rajawali Press, 2013.

Rosidin. Fikih Munakahat Praktis. Malang: Litera Ulul Albab, 2013.

Sabiq, Sayyid. Fikih Sunnah. Alih Bahasa M.Thalib. vol. VII. Bandung: Dar al-Ma’arif, 1990.


(6)

71

Shihab, M. Quraish. Membumikan al-Qur’an. Bandung: Mizan, 1995.

___________________, Tafsir al-Mishbah. vol. II. akarta: Lentera hati, t.t.

Al-Syafi’i. al-Umm. vol. 5

Tihami dan Sohari Sahrani. Fikih Munakahat Kajian Fikih Nikah Lengkap.

Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2010.

Tim Disbintalat. Al-Qur’an dan Terjemahan Indonesia. cet. XVII. Jakarta: Sari

Agung, 2002.

Yusuf, Ahmad Muhammad. Ensiklopedi Tematis Ayat Al-Qur’an dan Hadis. vol.

VII. Jakarta: Widya Cahaya, 2009.

al-Zuhaili, Wahbah. Al-Fiqh Al-Islami wa Adillatuhu. juz IX. Beirut: Dar al-Fikr, t.t.