Gambaran Kesejahteraan Psikologis pada Wanita Dewasa Madya ditinjau dari Grandparenting Style

(1)

! !

!

GAMBARAN KESEJAHTERAAN PSIKOLOGIS PADA WANITA DEWASA MADYA DITINJAU DARI GRANDPARENTING STYLE

SKRIPSI

Diajukan untuk memenuhi persyaratan Ujian Sarjana Psikologi

Oleh

FONDS NOVEL

111301105

FAKULTAS PSIKOLOGI

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

GENAP, 2014/2015


(2)

! !


(3)

! !


(4)

! !

Psychological Well-Being of Middle Aged Woman in terms of Grandparenting Style

Fonds Novel and Debby Anggraini Daulay

ABSTRACT

The role of grandparents was once portrayed as a weak, old, and helpless figure. In contrast to today, most people gain grandparent role during middle adulthood. In carrying out the grandparent role, each individual will possess their own interaction pattern with their grandchildren, which is called as grandparenting style. Grandparenting style consist of three types, namely remote, companionate, and involve. With the different style of grandparenting, generativity that can be reached will be different as well, which can affect psychological well-being. The purpose of this study is to see the description of psychological well-being among the three grandparenting style in middle aged woman. This study used quantitative approach with descriptive method. A total of 91 middle aged woman were chosen as samples through convenience sampling and required to fill up the scale of grandparenting style and psychological well-being. Result of the study showed that mean scores from groups of grandparenting style companionate (X=56.00) and involve (X=55.32) belongs in a high level of psychological well-being, whereas remote grandparenting style (X=51.87) fall into the category of moderate level of psychological well-being.

Keyword: psychological well-being, grandparenting style, middle adulthood. !


(5)

! !

!

Gambaran Kesejahteraan Psikologis pada Wanita Dewasa Madya ditinjau dari Grandparenting Style

Fonds Novel dan Debby Anggraini Daulay

ABSTRAK

Peran kakek nenek dahulu digambarkan sebagai sosok yang lemah, tua, dan tidak berdaya. Berbeda dengan zaman sekarang, rata-rata individu memperoleh peran kakek nenek pada masa dewasa madya. Dalam menjalankan peran kakek nenek, masing-masing individu akan memiliki pola interaksi dengan cucu yang berbeda, yang disebut dengan grandparenting style. Grandparenting

style terdiri atas tiga tipe, yakni remote, companionate, dan involve. Dengan

adanya pola interaksi yang berbeda, maka generativity yang dapat tercapai pun akan berbeda yang mana dapat mempengaruhi kesejahteraan psikologis seseorang. Penelitian ini bertujuan untuk melihat apakah gambaran kesejahteraan diantara ketiga grandparenting style tersebut pada wanita dewasa madya. Sebanyak 91 wanita dewasa madya dipilh sebagai sampel penelitian melalui teknik convenience sampling. Penelitian ini menggunakan pendekatan kuantitatif bersifat deskriptif. Pengumpulan data dilakukan melalui skala grandparenting

style dan kesejahteraan psikologis. Hasil penelitian menunjukkan bahwa

berdasarkan rata-rata skor kesejahteraan psikologis, grandparenting style

companionate (X=56.00) dan involve (X=55.32) tergolong dalam kategori tingkat

kesejahteraan psikologis tinggi, sedangkan grandparenting style remote (X=51.87) tergolong dalam kategori tingkat kesejahteraan psikologis sedang. Kata kunci: kesejahteraan psikolgis, grandparenting style, dewasa madya.


(6)

! !

KATA PENGANTAR

Puji syukur saya panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa karena atas berkat dan rahmat-Nya, saya memperoleh kesempatan untuk menyelesaikan skripsi ini. Penyusunan skripsi ini dilakukan dalam rangka memenuhi salah satu syarat untuk mencapai gelar Sarjana Psikologi Fakultas Psikologi USU Medan. Skripsi ini berjudul “Gambaran Kesejahteraan Psikologis pada Wanita Dewasa Madya ditinjau dari Grandparenting Style”.

Penulis menyadari bahwa skripsi ini tidak akan terwujud tanpa bantuan dan bimbingan dari berbagai pihak. Untuk itu pada kesempatan ini penulis ingin mengucapkan terima kasih kepada:

1. Prof. Dr. Irmawati, psikolog, selaku Dekan Fakultas Psikologi USU atas dukungan yang telah diberikan demi kesuksesan seluruh mahasiswa Fakultas Psikologi USU.

2. Ibu Debby Anggraini Daulay, M.Psi, psikolog selaku dosen pembimbing skripsi penulis atas segala bantuan, bimbingan, dukungan, waktu, dan usaha yang telah Ibu berikan sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini.

3. Pak Eka Danta Jaya Ginting, MA., psikolog selaku dosen yang selalu bersedia memberikan masukan serta saran sepanjang pengerjaan skripsi ini.

4. Ibu Juliana Irmayanti Saragih, M.Psi dan Ibu Ika Sari Dewi, S.Psi, psikolog selaku dosen penguji yang telah memberi masukan untuk perbaikan skripsi. 5. Ibu Rahmi Putri Rangkuti, M.Psi, psikolog selaku dosen yang selalu bersedia


(7)

! !

""!

6. Seluruh staf pengajar dan pegawai Fakultas Psikologi USU atas ilmu-ilmu yang telah Bapak dan Ibu ajarkan kepada penulis, serta bantuan yang telah diberikan kepada penulis selama proses perkuliahan.

7. Anggota keluarga penulis, khususnya kedua orang tua yang selalu memberikan dukungan yang tanpa henti kepada penulis.

8. Derry selaku kekasih dan sahabat yang selalu mendukung penulis selama pengerjaan skripsi ini.

9. Para sahabat Fakultas Psikologi USU tentunya Naomi, Fera, Chindy, Puspa, Vilya, dan Merry. Terima kasih atas segala bantuan serta pengalaman yang telah dilalui bersama selama 4 tahun ini.

10. Seluruh penulis buku dan peneliti yang namanya tercantum dan menjadi sumber referensi dalam skripsi ini.

11. Semua pihak yang terlibat dalam penyelesaian skripsi ini. Terima kasih atas bantuan dan kerja sama yang telah diberikan.

Penulis menyadari bahwa masih terdapat banyak kekurangan dalam skripsi ini. Oleh karena itu, penulis mengharapkan saran dan kritik yang membangun dari semua pihak sehingga skripsi ini dapat menjadi lebih baik lagi. Akhir kata penulis mengucapkan terima kasih dan semoga skripsi ini dapat bermanfaat.

Medan, April 2015 Penulis


(8)

! !

DAFTAR ISI

Halaman LEMBAR PENGESAHAN

PERNYATAAN KEASLIAN SKRIPSI ABSTRAK

KATA PENGANTAR ... i

DAFTAR ISI ... iii

DAFTAR TABEL ... vi

DAFTAR LAMPIRAN ... vii

BAB I PENDAHULUAN ... 1

A. Latar Belakang Masalah ... 1

B. Rumusan Masalah ... 12

C. Tujuan Penelitian ... 12

D. Manfaat Penelitian ... 12

E. Sistematika Penulisan ... 13

BAB II TINJAUAN PUSTAKA ... 15

A. Kesejahteraan Psikologis ... 15

1. Pengertian Kesejahteraan Psikologis ... 15

2. Dimensi Kesejahteraan Psikologis ... 17

3. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Kesejahteraan Psikologis ... 21

B. Grandparenting Style ... 26

1. Grandparenting ... 26

2. Grandparenting Style ... 29

C. Dewasa Madya ... 32


(9)

! !

"#!

D. Dinamika Gambaran Kesejahteraan Psikologis pada Wanita Dewasa Madya ditinjau dari Grandparenting

Style ... 36

BAB III METODE PENELITIAN ... 40

A. Identifikasi Variabel Penelitian ... 40

B. Definisi Operasional Variabel Penelitian ... 40

1. Grandparenting Style ... 40

2. Kesejahteraan Psikologis ... 42

C. Populasi dan Teknik Pengambilan Sampel ... 43

1. Populasi dan Sampel ... 43

2. Teknik Pengambilan Sampel ... 43

D. Metode Pengumpulan Data. ... 44

1. Skala Grandparenting Style ... 45

2. Skala Kesejahteraan Psikologis ... 46

E. Validitas dan Reliabilitas Alat Ukur. ... 48

1. Uji Validitas ... 48

2. Uji Daya Beda Aitem ... 48

3. Reliabilitas ... 49

F. Prosedur Pelaksanaan ... 50

1. Tahap Persiapan Penelitian ... 50

2. Tahap Pelaksanaan Penelitian ... 50

3. Tahap Pengolahan Data ... 51

G. Metode Analisis Data ... 53

BAB IV ANALISA DATA DAN PEMBAHASAN ... 54

A. Analisa Data ... 54

1. Gambaran Umum Subjek Penelitian ... 54

2. Hasil Penelitian ... 54

B. Pembahasan ... 57


(10)

! !

A. Kesimpulan ... 61

B. Saran ... 62

1. Saran Metodologis ... 62

2. Saran Praktis ... 62

DAFTAR PUSTAKA ... 64 LAMPIRAN


(11)

! !

#"!

DAFTAR TABEL

Halaman

Tabel 1. Blueprint Skala Grandparenting Style ... 45

Tabel 2. Kategorisasi Skor Grandparenting Style ... 46

Tabel 3. Blueprint Skala Kesejahteraan Psikologis ... 47

Tabel 4. Distribusi Aitem Skala Grandparenting Style setelah Uji Coba ... 51

Tabel 5. Distribusi Aitem Skala Kesejahteraan Psikologis setelah Uji Coba ... 52

Tabel 6. Distribusi Aitem Skala Kesejahteraan Psikologis setelah Penomoran Ulang ... 53

Tabel 7. Deskripsi Skor Kesejahteraan Psikologis ... 54

Tabel 8. Perbandingan Skor Mean Empirik dan Mean Hipotetik ... 55

Tabel 9. Kategorisasi Skor Kesejahteraan Psikologis ... 56

Tabel 10. Kategorisasi Kesejahteraan Psikologis berdasarkan Grandparenting Style ... 56


(12)

! !

DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran 1 Reliabilitas dan Daya Beda Aitem Skala Grandparenting Style Lampiran 2 Reliabilitas dan Daya Beda Aitem Skala Kesejahteraan Psikologis Lampiran 3 Data Mentah Subjek Penelitian pada Skala Grandparenting Style Lampiran 4 Data Mentah Subjek Penelitian pada Skala Kesejahteraan

Psikologis Lampiran 5 Hasil Penelitian

Lampiran 6 Contoh Aitem Skala Grandparenting Style dan Kesejahteraan Psikologis


(13)

! !

!

Psychological Well-Being of Middle Aged Woman in terms of Grandparenting Style

Fonds Novel and Debby Anggraini Daulay

ABSTRACT

The role of grandparents was once portrayed as a weak, old, and helpless figure. In contrast to today, most people gain grandparent role during middle adulthood. In carrying out the grandparent role, each individual will possess their own interaction pattern with their grandchildren, which is called as grandparenting style. Grandparenting style consist of three types, namely remote, companionate, and involve. With the different style of grandparenting, generativity that can be reached will be different as well, which can affect psychological well-being. The purpose of this study is to see the description of psychological well-being among the three grandparenting style in middle aged woman. This study used quantitative approach with descriptive method. A total of 91 middle aged woman were chosen as samples through convenience sampling and required to fill up the scale of grandparenting style and psychological well-being. Result of the study showed that mean scores from groups of grandparenting style companionate (X=56.00) and involve (X=55.32) belongs in a high level of psychological well-being, whereas remote grandparenting style (X=51.87) fall into the category of moderate level of psychological well-being.

Keyword: psychological well-being, grandparenting style, middle adulthood. !


(14)

! !

Gambaran Kesejahteraan Psikologis pada Wanita Dewasa Madya ditinjau dari Grandparenting Style

Fonds Novel dan Debby Anggraini Daulay

ABSTRAK

Peran kakek nenek dahulu digambarkan sebagai sosok yang lemah, tua, dan tidak berdaya. Berbeda dengan zaman sekarang, rata-rata individu memperoleh peran kakek nenek pada masa dewasa madya. Dalam menjalankan peran kakek nenek, masing-masing individu akan memiliki pola interaksi dengan cucu yang berbeda, yang disebut dengan grandparenting style. Grandparenting

style terdiri atas tiga tipe, yakni remote, companionate, dan involve. Dengan

adanya pola interaksi yang berbeda, maka generativity yang dapat tercapai pun akan berbeda yang mana dapat mempengaruhi kesejahteraan psikologis seseorang. Penelitian ini bertujuan untuk melihat apakah gambaran kesejahteraan diantara ketiga grandparenting style tersebut pada wanita dewasa madya. Sebanyak 91 wanita dewasa madya dipilh sebagai sampel penelitian melalui teknik convenience sampling. Penelitian ini menggunakan pendekatan kuantitatif bersifat deskriptif. Pengumpulan data dilakukan melalui skala grandparenting

style dan kesejahteraan psikologis. Hasil penelitian menunjukkan bahwa

berdasarkan rata-rata skor kesejahteraan psikologis, grandparenting style

companionate (X=56.00) dan involve (X=55.32) tergolong dalam kategori tingkat

kesejahteraan psikologis tinggi, sedangkan grandparenting style remote (X=51.87) tergolong dalam kategori tingkat kesejahteraan psikologis sedang. Kata kunci: kesejahteraan psikolgis, grandparenting style, dewasa madya.


(15)

!

$!

BAB I

PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG MASALAH

Dalam era kehidupan modernisasi ini, bukanlah suatu hal yang mengherankan lagi apabila harapan hidup manusia ataupun yang sering disebut dengan life expectancy terus meningkat. Hal ini pada umumnya disebabkan oleh perkembangan dalam dunia medis dan juga kondisi nutrisi yang diterima masyarakat sekarang. Rata-rata harapan hidup di seluruh dunia pada tahun 2002 telah meningkat hingga usia 65.2 dibandingkan dengan tahun 1950-1955 yang berusia 46.5 (WHO, dalam Papalia, Olds, dan Feldman, 2007). Di Indonesia sendiri, angka harapan hidup telah meningkat dari usia 45.7 pada tahun 1971 hingga usia 72.6 pada tahun 2010 (Sensus Penduduk, dalam BKKBN, 2013).

Harapan hidup (life expectancy) merupakan usia dimana seseorang dalam generasi tertentu secara statistik memiliki kemungkinan untuk hidup berdasarkan rata-rata usia panjang dalam suatu populasi (Papalia dkk., 2007). Oleh sebab itu, ketika angka harapan hidup meningkat, maka lamanya manusia untuk hidup pun akan semakin panjang. Berdasarkan angka harapan hidup yang telah dipaparkan di atas, dapat dilihat bahwa di Indonesia dulunya rata-rata usia seseorang dapat bertahan hidup yaitu hingga usia 41.5, namun sekarang ini rata-rata usia seseorang dapat bertahan hidup telah mencapai usia 71.1 tahun. Dengan demikian, individu yang hidup pada zaman sekarang ini memiliki kesempatan yang lebih besar untuk memasuki rentang hidup baru, yakni masa dewasa madya.


(16)

%! !

Individu dewasa madya rata-rata memiliki kepuasan hidup yang cukup tinggi (Myers; Myers & Diener; Walker, Skowronski, & Thompson, dalam Papalia, 2007). Hal ini dapat dijelaskan karena segala emosi positif yang berhubungan dengan pengalaman yang menyenangkan akan cenderung bertahan, sedangkan emosi negatif yang berhubungan dengan pengalaman tidak menyenangkan akan memudar. Masa dewasa madya juga ditandai dengan masa dimana individu akan cenderung terlibat dalam berbagai peran, seperti dalam pekerjaan, komunitas atau organisasi sosial, dan keluarga (Sigelman & Rider, 2003). Dalam menjalankan berbagai peran tersebut, individu dewasa madya dapat memperoleh atau mencapai suatu tahapan normatif yang disebut dengan generativity.

Generativity merupakan sebuah tahapan dimana seseorang

mengembangkan perhatiannya untuk memandu dan memberi pengaruh kepada generasi selanjutnya (Erikson dalam Papalia dkk., 2007). Generativity muncul seiring dengan penyesuaian psikososial individu dalam berbagai tantangan ataupun peran yang dihadapi pada usia dewasa madya. Nilai utama dari tahapan

generativity adalah care. Individu akan memiliki komitmen yang lebih tinggi

untuk menjaga atau merawat produk-produk, ide-ide, dan individu lainnya, serta memandu generasi selanjutnya untuk melihat potensi diri mereka di masa depan. Generativity umumnya dianggap sebagai suatu tanda kematangan psikologis dan juga kesehatan mental (McAdams, dalam Papalia dkk., 2007). Ketika seseorang telah mencapai tahapan generativity, maka akan muncul perasaan dalam diri


(17)

&! !

!

lingkungannya, sehingga pada akhirnya dapat mempengaruhi kesejahteraan psikologis individu (Papalia dkk., 2007).

Kesejahteraan psikologis atau yang sering disebut sebagai psychological well being bukanlah hanya sebatas terhindarnya seseorang dari masalah-masalah ataupun perolehan akan kesenangan, namun Ryff (dalam Ryan & Deci, 2001) mendefinisikannya sebagai usaha individu untuk mencapai kesempurnaan yang menggambarkan kesadaran akan potensi dalam dirinya. Menurut Ryff, individu yang sehat secara psikologis memiliki sikap yang positif terhadap diri sendiri dan orang lain, mampu membuat keputusan dan meregulasi perilaku sendiri, serta mampu memilih atau membentuk lingkungannya agar sesuai dengan kebutuhannya. Individu juga memiliki goal atau tujuan yang dapat membuat hidupnya menjadi lebih bermakna, serta berjuang dengan cara mengeksplorasi dan mengembangkan diri mereka sebaik mungkin (Papalia dkk., 2007).

Pada usia dewasa madya, kesejahteraan psikologis seseorang sangatlah dipengaruhi oleh hubungannya dengan orang lain (Markus dkk., dalam Papalia dkk., 2007). Hubungan ini dapat berfungsi sebagai suatu sumber kesehatan dan kepuasan dalam hidup individu. Hal ini sejalan dengan tahapan generativity yang diungkapkan oleh Erikson, yang mana salah satu alasan seseorang melakukan tahapan generativity yakni karena ingin merasa dirinya diperlukan oleh orang lain.

Generativity, salah satu faktor yang berkontribusi cukup besar terhadap

kesejahteraan psikologis individu dewasa madya, dapat diwujudkan melalui berbagai hal, salah satunya yaitu melalui grandparenting atau pengasuhan cucu.


(18)

'! !

Rata-rata usia seseorang memperoleh peran kakek nenek kini berada pada rentang usia 47-an, yakni pada masa dewasa madya (Conner, dalam Sigelman & Rider, 2003). Dahulu pandangan akan peran kakek nenek merupakan individu yang berada pada usia tua, namun kini gambaran tersebut telah berubah, seperti kakek nenek telah menjadi lebih muda, aktif, energetik, penuh dengan ide, sehat, serta penuh antusias (Troll, dalam Craig, 1996; DeGenova, 2008).

Sebagian besar individu dewasa madya yang memperoleh peran kakek nenek pada umumnya menganggap pengalaman tersebut sebagai sesuatu yang menyenangkan (Somary & Stricker; Szinovacz, dalam Cavanaugh & Blanchard-Fields, 2006). Hal ini dikarenakan kakek nenek menganggap hal tersebut sebagai kesempatan kedua untuk menjadi orangtua, sehingga tidak heran apabila cukup banyak kakek nenek yang ingin terlibat dalam pengasuhan cucu. Dalam suatu hubungan yang terjalin antara kakek nenek dengan cucunya, individu yang memiliki kedekatan emosional dengan sang cucu akan cenderung memilih untuk tinggal dekat dengan cucunya dan bersikap lebih interaktif karena individu ingin terlibat dalam sebagian besar aktivitas yang dilakukan cucu (Griggs, Tan, Buchanan, Attar-Schwarts, & Flouri, 2010).

Beberapa manfaat yang dapat pula diperoleh dari peran pengasuhan cucu atau grandparenting, antara lain adalah keterlibatan dalam kehidupan dan aktivitas anak dan cucu, menyediakan dukungan extended family, menjadi seorang kakek nenek yang lebih baik dibandingkan ketika menjadi orangtua, dan memberi kesinambungan nilai yang dianut keluarga pada generasi selanjutnya (Mader,


(19)

(! !

!

bagi kakek nenek, seperti kesenangan dan perasaan bahwa hidupnya menjadi lebih bermakna. Hal ini seperti yang diungkapkan oleh dua responden:

“Awalnya lumayan susah. Capek. Terus cucu lasak lagi. Tapi kalau ngak dijaga kasihan juga. Orangtuanya pada sibuk kerja. Lama-lama jadi makin sayang sama cucu. Sekarang malah senang jaga cucu.”

(Komunikasi Personal, 29 April 2014)

“Dengan jaga cucu gini, saya bisa tetap aktif. Biar ngak cepat pikun juga. Meskipun agak sibuk tapi dengan jaga cucu gini saya senang karena bisa tetap dapat menjaga hubungan sama anak sama cucu saya. Daripada di rumah ngak ada kerjaan apa-apa.”

(Komunikasi Personal, 29 April 2014)

Di satu sisi adanya berbagai manfaat yang dapat diperoleh dalam pengasuhan cucu, di sisi lain, Pruchno & McKenney (2002) menemukan beberapa faktor yang dapat memunculkan afek negatif pada individu yang mengasuh cucu, terutama ketika beban atau tanggung jawab untuk mengasuh cucu semakin besar. Beberapa faktor tersebut, yakni kesehatan individu ketika mengasuh cucu dan kemungkinan adanya masalah perilaku atau perkembangan pada cucu, seperti anak berkebutuhan khusus (Hayslip, Shore, Henderson, & Lambert, 1998). Selain itu, usia cucu juga turut mempengaruhi.

Giarusso, Feng, Wang, & Silverstein (1996) menemukan bahwa kesejahteraan psikologis kakek nenek lebih memungkinkan untuk meningkat apabila mereka menjaga cucu yang berada dibawah usia 13 tahun. Hal ini dikarenakan mengasuh cucu yang lebih muda dapat memberikan suatu peran baru yang bermakna bagi kakek nenek (Giarusso dkk., 1996). Peran tersebut bahkan dapat menyangga hal yang kurang menyenangkan dalam hidup individu ketika


(20)

)! !

menjaga cucu. Sebaliknya, mengasuh cucu yang telah menginjak masa remaja dapat menimbulkan peran yang tidak diinginkan. Hal ini dikarenakan masa remaja sering diikuti dengan berbagai masalah yang muncul karena merupakan masa dimana teman sebayalah yang paling memberikan pengaruh terhadap diri seseorang (Giarusso dkk., 1996).

Meskipun dengan adanya afek negatif yang dapat muncul dalam pengasuhan cucu, seperti gejala stress, beberapa bukti menunjukkan bahwa kakek nenek sering menikmati peran tersebut dan menerima tanggung jawab yang harus ia lakukan apabila ia memang memilih untuk terlibat secara ektensif untuk menjaga cucu. Dengan demikian, kesediaan kakek nenek untuk terlibat aktif dalam menyediakan pelayanan dan dukungan kepada cucu dapat bermanfaat dalam meningkatkan tujuan hidupnya, bahkan ketika mereka merasa peran tersebut melelahkan secara fisik dan emosional (Giarusso dkk., 1996; Statham, 2011).

Di samping adanya berbagai manfaat yang diperoleh dalam pengasuhan cucu, terdapat perbedaan intensitas dalam menjalankan peran tersebut ditinjau dari faktor gender. Hubungan antara nenek dengan cucu akan lebih kuat dan sering dibandingkan hubungan antara kakek dengan cucu (Chan & Elder, dalam Sigelman & Rider, 2003; DeGenova, 2008). Peran gender tradisional dapat membantu menjelaskan hal tersebut, yang mana wanita umumnya lebih sering menjadi seorang pengasuh dan menjaga atau mempertahankan hubungan dengan anggota keluarga (Matlin, 2008). Dengan demikian, seorang nenek akan


(21)

*! !

!

lebih sering memberikan nasihat ataupun menyalurkan nilai-nilai yang dianut keluarga, seperti halnya yang ditemukan dalam studi yang dilakukan oleh Hagestan (dalam Santrock, 2009) bahwa nenek memiliki hubungan yang lebih dekat dengan anak dan cucunya. Kakek lebih sering dianggap sebagai suatu figur otoritas. Kebanyakan cucu pun lebih sering mempersepsikan bahwa figur neneklah yang lebih sering merawat dan menjaganya daripada seorang kakek (Mann, Khan, & Leeson, 2009). Dengan demikian, nenek akan lebih menjalankan perannya dalam mengasuh cucu dibandingkan dengan kakek. Oleh sebab itulah, penelitian ini hanya akan ditujukan atau berfokus pada nenek.

Dalam menjalankan peran grandparenting, terdapat pola interaksi berbeda yang dapat terjadi antara nenek dengan cucu, yang mana disebut sebagai grandparenting style. Grandparenting style dapat diklasifikasikan oleh seberapa sering kontak yang terjadi antara nenek dengan cucu, dan jumlah pengaruh yang dapat diberikan nenek kepada cucu. Terdapat tiga grandparenting style yang dapat dilihat sebagai sebuah kontinum, yang mana ujung kontinum kiri berupa tipe yang tidak terlalu terlibat dengan cucu hingga pada ujung kontinum kanan dengan tipe yang sangat terlibat dengan cucu (Cherlin & Furstenberg, 1986; Wykle, Whitehouse, & Morris, 2005). Tiga tipe grandparenting style yang diungkapkan oleh Cherlin dan Furstenberg (dalam Sigelman & Rider, 2003), diantaranya yaitu remote, companionate, dan involved.

Tipe remote merupakan figur simbolik yang mana nenek jarang bertemu dengan cucunya. Nenek pada tipe ini tidak terlalu terlibat dengan kehidupan cucu. Kebanyakan nenek jarang mengunjungi cucu dikarenakan faktor geografis. Nenek


(22)

+! !

pun berharap agar bisa tinggal lebih dekat dengan cucunya (Sigelman & Rider, 2003). Meskipun jarang bertemu, ketika sekali berkunjung, nenek dapat menghabiskan waktu yang cukup intens dengan cucunya, misalnya selama sebulan liburan sekolah (Cherlin & Furstenberg, 1986). Beberapa nenek pada tipe remote di satu sisi karena tidak tinggal dekat dengan cucunya, maka dapat menyebabkan kurangnya kedekatan emosional atau afeksi terhadap cucu. Namun, di sisi lain beberapa nenek lainnya dapat saja membangun kedekatan emosional dengan cucu selama kunjungan yang dilakukan. Selain itu, nenek pun dapat mempertahankan hubungan dengan cucunya, misalnya melalui telepon yang rutin (Smith, 2005). Hal ini dapat dilihat dari pernyataan yang diungkapkan oleh beberapa responden:

“Yah karena cucu tinggal di Singapura jadinya susah ketemu. Ingin ketemu juga ngak bisa sering-sering kesana. Tiap kali pas telepon anak saya yang di Singapura, terus cucu saya tahus saya yang nelpon pasti dia lari-lari buat bicara sama saya. Pas dia pulang Medan juga nanti tinggal di rumah saya. Sering main bersama. Tidur pun di kamar saya. Pokoknya senang sekali pas bisa habisin waktu sama cucu.”

(Komunikasi Personal, 13 September 2014)

“Kangen sekali sama Lora. Pas Lora pulang senang banget lah. Ngak bisa dideskripsikan lagi senangnya. Lora paling pulang setiap hari ulang tahun saya saja atau pas natal. Pas pulang juga tinggal sama saya dan tidur di kamar saya. Jadi hampir habisin waktu bersama seharian tiap harinya. Di pagi atau siang gitu bisa nonton bareng, makan bareng, atau pergi jalan-jalan. Malamnya bisa ngobrol-ngobrol lagi. Tiap kali waktu Lora mau balik lagi pasti sedih banget. Biasanya tetap telpon-telponan biar ngak putus hubungan.”

(Komunikasi Personal, 17 September 2014)


(23)

,! !

!

tidak tinggal dengan cucu saya. Sampai sekarang juga masih bisa kangen sekali. Sering-sering telpon kesana deh buat nanya kabar cucu, gimana sehat ngak, sekolahnya gimana, dan pastinya ngobrol sama cucu. Pas cucu pulang Medan saya senang banget. Bisa main-main lagi sama cucu.”

(Komunikasi Personal, 18 September 2014)

Tipe kedua, companionate, dapat digambarkan dengan hubungan antara nenek dan cucu yang dekat, perhatian, dan sering melakukan aktivitas yang menyenangkan dengan cucu. Nenek tipe companionate cenderung tinggal dekat dengan cucunya sehingga sering berinteraksi dengan cucu. Tipe ini merupakan tipe yang paling umum yang sesuai dengan gambaran kebanyakan orang akan peran nenek, yakni hadir ketika diperlukan, misalnya menjaga cucu ketika orangtua memiliki urusan, dekat dengan cucunya, sering bermain bersama, memberi bantuan ketika diperlukan, namun tidak terlalu ikut campur dalam hal mendisiplinkan cucu atau mengenai bagaimana cara anaknya membesarkan cucunya (Cherlin & Furstenberg, dalam Sigelman & Rider, 2003).

Tipe ketiga, involved, merupakan tipe dimana nenek juga sering bertemu dengan cucunya dan bermain-main dengan sang cucu, namun disini nenek memiliki keterlibatan yang lebih besar dalam kehidupan cucu. Nenek memainkan peran aktif dalam mengasuh cucu, seperti menerapkan beberapa aturan yang harus dipatuhi, mendidik cucu agar mematuhi aturan tersebut, dan mendisiplinkan cucu. Peran nenek pada tipe ini hampir tidak berbeda dengan peran orangtua. Nenek memiliki tanggung jawab yang cukup besar dalam menjaga dan merawat cucu (Cherlin & Furstenberg, dalam Sigelman & Rider, 2003).

Kebanyakan nenek pada umumnya lebih memilih peran yang lebih mengutamakan kesenangan dan afeksi, dan di sisi lain memiliki tanggung jawab


(24)

$-! !

yang tidak terlalu besar untuk menjaga cucu, yakni tipe companionate. Mayoritas dari nenek menemukan bahwa peran seperti ini sangatlah menyenangkan, terutama ketika mereka dapat sering bertemu dengan cucunya (Peterson, dalam Sigelman & Rider, 2003). Hal ini seperti yang diungkapkan oleh salah satu responden:

“Dalam seminggu minimal ada ketemu tiga empat kali. Soalnya cucu biasanya kalau siap les pulang ke toko saya dulu sama anak saya. Jadi pas cucu sudah di toko saya gantian anak saya yang jaga toko jadi saya bisa main-main sama cucu. Kalau ngak main-main yah nonton kartun bareng sambil makan makanan ringan. Bisa habisin waktu sama cucu gini saya senang sekali. Dan lagian saya juga tidak bertanggung jawab untuk jaga mereka 24 jam, jadinya saya tidak terbebani sama hal itu. Cuma yah paling kadang-kadang dititipin pas mama mereka lagi sibuk. Kalau dititipin sesekali sih tidak apa-apa. Senang juga kok, apalagi pas lama-lama sekali cucu dititipin untuk nginap dengan saya.”

(Komunikasi Personal, 19 September 2014) Meskipun begitu, Giarusso dkk., (1996) juga menemukan bahwa individu yang lebih terlibat dan memiliki tanggung jawab yang lebih besar untuk menjaga dan merawat cucu, yakni tipe involved, dapat pula mempengaruhi kesejahteraan psikologis untuk menjadi lebih baik apabila memang terdapat kesediaan dalam diri individu untuk terlibat dalam peran tersebut. Hal ini disebabkan oleh adanya tanggung jawab baru untuk menjaga sang cucu dapat membuat nenek memiliki tujuan hidup yang lebih jelas, seperti halnya yang diungkapkan oleh salah satu responden:

“Yah punya tanggung jawab besar untuk menjaga cucu cukup melelahkan ya. Apalagi saya sudah seperti orangtua dari cucu saya berhubung orangtuanya sibuk sekali. Jadi hampir semua kehidupan cucu saya yang atur. Awalnya saya agak terbebani dengan jaga cucu gini. Tapi lama-lama saya terbiasa dan senang sekali hidup dengan cucu.”


(25)

$$! !

!

Pada tipe remote dapat dilihat bahwa nenek memiliki tanggung jawab yang rendah dalam menjaga dan merawat cucu, serta afeksi atau kedekatan emosional yang kurang, namun semasa kunjungan yang dilakukan, nenek dapat menghabiskan waktu yang cukup intensif dengan sang cucu sehingga beberapa nenek tetap dapat membangun kedekatan emosional dengan cucunya.

Dengan demikian, dapat dilihat bahwa pada tipe companionate nenek cenderung mengalami kesenangan dan kedekatan emosional dengan cucu, dan disisi lain memiliki tanggung jawab yang tidak terlalu tinggi untuk menjaga cucu. Pada tipe involved, nenek mengalami kesenangan, kedekatan emosional, serta tanggung jawab yang tinggi untuk menjaga cucu. Sedangkan pada tipe remote, nenek memiliki tanggung jawab yang rendah serta kedekatan emosional yang tidak terlalu tinggi, namun mereka dapat menikmati kesenangan selama menghabiskan waktu dengan sang cucu yang mana dapat membangun afeksi atau kedekatan emosional antar nenek dengan cucu. Oleh sebab itu, dengan adanya karakteristik yang berbeda dari setiap grandparenting style, maka kedekatan emosional yang terbangun dari interaksi tersebut pun menjadi berbeda, sehingga dapat memberikan sumbangan yang berbeda terhadap kesejahteraan psikologis individu.

Berdasarkan pemaparan di atas, maka dapat dilihat bahwa dengan adanya karakteristik yang berbeda dari setiap grandparenting style, maka kedekatan emosional yang terbangun dari interaksi tersebut pun menjadi berbeda, sehingga dapat memberikan sumbangan yang berbeda terhadap kesejahteraan psikologis individu karena faktor emosi merupakan hal yang penting dalam kesejahteraan


(26)

$%! !

psikologis. Oleh sebab itu, peneliti bermaksud untuk melihat gambaran kesejahteraan psikologis pada wanita dewasa madya ditinjau dari pengadopsian grandparenting style yang berbeda.

B. RUMUSAN MASALAH

Berdasarkan latar belakang di atas, adapun rumusan masalah dalam penelitian ini adalah: “Bagaimanakah gambaran kesejahteraan psikologis pada wanita dewasa madya ditinjau dari grandparenting style?”

C. TUJUAN PENELITIAN

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui gambaran kesejahteraan psikologis pada wanita dewasa madya ditinjau dari grandparenting style.

D. MANFAAT PENELITIAN

Penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat baik dari segi teoritis maupun dari segi praktis, yaitu:

1. Manfaat Teoritis

Secara teoritis, penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbangan pengetahuan yang bermanfaat bagi perkembangan ilmu psikologi perkembangan, khususnya dalam bidang Kesejahteraan Psikologis dan Grandparenting.


(27)

$&! !

! 2. Manfaat Praktis

a. Bagi Keluarga

Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi kepada keluarga mengenai grandparenting style manakah yang memiliki perkembangan kesejahteraan psikologis yang lebih baik pada seorang nenek.

b. Bagi Peneliti Penelitian

Hasil penelitian ini juga diharapkan dapat dijadikan referensi bagi peneliti selanjutnya yang ingin meneliti lebih lanjut mengenai grandparenting style.

E. SISTEMATIKA PENULISAN

Adapun sistematika penulisan peneilitian ini adalah: BAB I PENDAHULUAN

Bab ini terdiri dari latar belakang masalah penelitian, perumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian, dan sistematika penulisan penelitian.

BAB II LANDASAN TEORI

Bab ini menguraikan teori yang mendasari masalah yang menjadi variabel dalam penelitian yang kemudian diakhiri dengan pengajuan hipotesa penelitian.


(28)

$'! !

BAB III METODE PENELITIAN

Bab ini menjelaskan mengenai metode-metode dasar dalam penelitian, yaitu identifikasi variabel penelitian, defenisi operasional, populasi dan teknik pengambilan sampel, metode dan alat pengumpulan data, dan metode analisis data.

BAB IV ANALISA DAN INTERPRETASI DATA

Bab ini berisikan tentang uraian data yang diperoleh dari hasil penelitian dan analisisnya.

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN

Bab ini berisikan kesimpulan dan saran penulis sehubungan penelitian yang dilakukan.


(29)

!

$(!

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. KESEJAHTERAAN PSIKOLOGIS (PSYCHOLOGICAL WELL BEING) 1. Pengertian Kesejahteraan Psikologis

Kesejahteraan psikologis atau psychological well being merupakan pembahasan yang penting dalam kesehatan mental manusia (Huppert, 2009). Secara tradisional, kesejahteraan psikologis diartikan sebagai suatu kondisi yang bebas dari rasa cemas, depresi, dan gejala distres lainnya. Namun seiring dengan berkembangnya zaman, kesejahteraan psikologis telah didefinisikan menjadi lebih positif, yakni meliputi kualitas positif yang dimiliki oleh seorang individu sehingga mampu mencapai kesehatan mental yang baik (Keyes & Magyar-Moe, 2003).

Menurut Ryff dan Singer (1998), kesehatan positif merupakan kondisi dimana seseorang tidak hanya terhindari dari penyakit-penyakit. Hal ini sejalan dengan yang dinyatakan oleh Cacioppo dan Bernston (dalam Ryan & Deci, 2001) bahwa afek positif bukan merupakan sesuatu yang berlawanan dengan afek negatif. Huppert (2009) juga menyatakan bahwa kesejahteraan seseorang dilihat lebih dari ketidakhadiran dari penyakit-penyakit. Selain itu, beberapa penelitian terkini telah berpindah fokus dari penekanan akan gangguan dan disfungsional sebelumnya, menuju fokus kesejahteraan dan kesehatan mental positif. Hal ini dapat juga dilihat dari definisi kesehatan yang dirumuskan oleh WHO (2013), yakni merupakan suatu kondisi yang lengkap akan kesejahteraan


(30)

$)! !

fisik, mental, dan sosial, sehingga kesehatan bukan hanya sebatas ketidakhadiran dari penyakit-penyakit.

Ryff (dalam Ryan & Deci, 2001) menyatakan bahwa kesejahteraan psikologis tidak hanya sebatas perolehan akan kesenangan, namun merupakan usaha individu untuk mencapai kesempurnaan yang menggambarkan kesadaran akan potensi dalam dirinya. Ryff dan Singer (1996) selanjutnya merumuskan enam dimensi dari kesejahteraan psikologis yang mana enam dimensi tersebutlah yang mendefinisikan kesejahteraan psikologis, yakni kondisi dimana individu memiliki sikap positif terhadap diri sendiri ataupun penerimaan diri yang baik, mampu membangun hubungan yang positif dengan orang lain, tidak tergantung kepada orang lain dalam pengambilan keputusan, memiliki kemampuan untuk mengontrol lingkungan di sekitarnya, memiliki tujuan hidup yang jelas dan mampu mengembangkan dirinya sendiri.

Huppert (2009) menambahkan bahwa kesejahteraan psikologis merupakan kehidupan seseorang yang berlangsung dengan baik. Keberlangsungan kesejahteraan psikologis seseorang tidak membutuhkan individu untuk merasa positif akan hidupnya untuk setiap saat, namun berbagai pengalaman emosi yang menyakitkan, seperti kekecewaan dan kegagalan, juga merupakan hal yang esensial untuk kesejahteraan psikologis. Pengalaman emosi negatif hanya akan menganggu kesejahteraan psikologis seseorang ketika pengalaman tersebut dialami untuk waktu yang cukup lama dan menganggu keberfungsian seseorang dalam kehidupannya. Secara umum,


(31)

$*! !

!

Jarden (2012) mendefenisikan kesejahteraan psikologis sebagai kebahagiaan, kepuasan hidup, dan pertumbuhan pribadi.

Berdasarkan uraian di atas, maka kesejahteraan psikologis dapat diartikan sebagai suatu kondisi dimana individu memaksimalkan potensi dirinya demi mencapai tujuan yang diharapkan dengan menyadari kemampuan yang ada di dalam dirinya.

2. Dimensi Kesejahteraan Psikologis

Terdapat enam dimensi dalam kesejahteraan psikologis yang diungkapkan oleh Ryff dan Singer (1996), diantaranya yaitu:

a. Penerimaan Diri (Self-Acceptance)

Penerimaan diri menekankan pada adanya sikap positif terhadap diri sendiri, menerima berbagai bagian dalam diri sendiri, dan juga memiliki pandangan positif terhadap masa lalu. Individu yang memiliki tingkat penerimaan diri yang baik ditandai dengan sikap yang positif baik terhadap diri sendiri maupun terhadap kehidupannya di masa lalu serta mengetahui dan menerima segala kelebihan maupun kekurangan dalam diri.

Sebaliknya, individu yang memiliki tingkat penerimaan diri yang kurang baik ditandai dengan perasaan tidak puas terhadap diri sendiri dan kehidupan masa lalu, serta memiliki keinginan untuk tidak menjadi dirinya. b. Hubungan Positif dengan Orang Lain (Positive Relation with Others)

Ryff menyimpulkan bahwa dimensi ini menekankan seseorang untuk memiliki kehangatan, hubungan yang memuaskan dengan orang lain, memperhatikan kesejahteraan orang lain, empati, perhatian, membangun


(32)

$+! !

hubungan dekat dengan orang lain, dan memahami hubungan timbal balik dari suatu hubungan. Individu yang memiliki nilai positif pada dimensi ini digambarkan sebagai seseorang yang mampu memiliki hubungan yang hangat atau intim dengan orang lain, mampu membangun kepercayaan dalam suatu hubungan, memiliki rasa empati, serta perhatian kepada orang lain.

Sebaliknya, individu dengan dimensi hubungan positif yang rendah dengan orang lain cenderung kurang cakap dalam membangun hubungan interpersonal, terisolasi, susah untuk terbuka dan peduli terhadap orang lain, tertutup dan tidak berkeinginan untuk mempertahankan hubungan dengan orang lain.

c. Otonomi (Autonomy)

Dimensi ini mencerminkan kemandirian, menentukan jalan hidup sendiri, mampu untuk menhadapi tekanan sosial untuk berpikir ataupun bertindak dengan cara atau pola tertentu, serta mampu untuk bebas dari norma atau aturan yang mendasari kehidupan sehari-harinya. Individu yang memiliki tingkatan otonomi yang baik ditunjukkan dengan pribadi yang mandiri, mampu bertahan dari tekanan sosial, menentukan sendiri perilaku yang akan dimunculkan, dan memiliki kemampuan untuk mengevaluasi diri sendiri.

Sebaliknya, individu yang rendah pada dimensi ini cenderung mempertimbangkan penilaian orang lain ketika memutuskan sesuatu, tidak


(33)

$,! !

!

mandiri, mudah melakukan konformitas, mudah terpengaruh oleh tekanan sosial ketika mengambil keputusan.

d. Penguasaan Lingkungan (Enviromental Mastery)

Dimensi ini menekankan kemampuan untuk menciptakan ataupun mengatur lingkungan sekitarnya agar sesuai dengan keinginan atau kebutuhannya. Ryff menyatakan bahwa individu yang memiliki penguasaan lingkungan yang baik akan menunjukkan kemampuan untuk memanipulasi, mengontrol, dan dapat menggunakan sumberdaya dan kesempatan yang ada dengan efektif.

Sebaliknya, individu yang rendah dalam dimensi ini akan mengalami kesulitan mengatur lingkungan di sekitarnya agar sesuai dengan kebutuhan dirinya, merasa tidak mampu untuk mengubah atau meningkatkan apa yang ada diluar dirinya, serta tidak menyadari adanya peluang di sekitarnya. e. Tujuan Hidup (Purpose in Life)

Dimensi ini menekankan pada adanya tujuan yang ingin dicapai dalam kehidupan, adanya sense of direction dalam kehidupan seseorang, merasa bahwa kehidupan sekarang dan masa lalu bermakna, dan memiliki alasan untuk tetap hidup. Individu dengan tujuan hidup yang tinggi telah menentukan target dan cita-cita yang akan ia capai serta merasa bahwa baik kehidupan masa lalu maupun kini adalah kehidupan yang bermakna.

Sebaliknya, individu dengan tujuan hidup yang rendah tidak memiliki target dan cita-cita yang ingin dicapai, tidak mengetahui arah yang akan


(34)

%-! !

dituju, serta tidak melihat adanya makna dari kehidupannya di masa lalu maupun masa kini.

f. Pertumbuhan Diri (Personal Growth)

Dimensi pengembangan personal merujuk kepada sejauh mana individu mampu menyadari potensi yang dimilikinya, dan memiliki keinginan untuk terus mengembangkan dirinya ke arah yang lebih positif. Individu yang tinggi pada dimensi ini akan menunjukkan adanya rasa akan keperluan untuk melanjutkan peningkatkan diri, melihat diri sendiri dengan pandangan yang lebih baik dan terbuka untuk pengalaman baru, dan berkembangnya self-knowledge dan efektivitas diri.

Sebaliknya, individu yang rendah pada dimensi ini memandang dirinya sebagai seseorang yang tidak dapat berkembang, mengalami stagnasi, kehilangan keinginan untuk mempelajari hal-hal baru yang dapat memperkaya dirinya.

Dengan demikian, berdasarkan pemaparan di atas maka dapat dilihat bahwa terdapat enam aspek dalam kesejahteraan psikologis, yakni penerimaan diri, hubungan positif dengan orang lain, otonomi, penguasaan lingkungan, tujuan hidup, dan pertumbuhan diri.


(35)

%$! !

!

3. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Kesejahteraan Psikologis

Beberapa faktor yang dapat mempengaruhi kesejahteraan psikologis seseorang, diantaranya yaitu:

a. Usia

Ryff dan Keyes (1995) menemukan bahwa usia dapat mempengaruhi kesejahteraan psikologis seseorang. Aspek tertentu dari kesejahteraan psikologis, yakni penguasaan lingkungan, otonomi, dan hubungan positif menunjukkan pola peningkatan sejalan dengan bertambahnya usia seseorang. Aspek pertumbuhan diri dan tujuan hidup menunjukkan pola penurunan, terutama pada masa lansia. Sedangkan, pada aspek penerimaan diri, tidak ditemukan adanya perbedaan antar kelompok usia dewasa awal, madya, dan akhir.

b. Jenis Kelamin

Ryff dan Singer (1996) menyatakan bahwa terdapat perbedaan kesejahteraan psikologis antara wanita dan pria. Wanita cenderung akan memiliki kesejahteraan psikologis yang lebih tinggi pada dimensi hubungan positif dengan orang lain dan dimensi pertumbuhan diri. Hal tersebut dapat dijelaskan dari pengaruh stereotype gender yang telah tertanam dalam diri individu, bahwa sejak kecil, anak laki-laki digambarkan sebagai sosok yang agresif dan mandiri, sementara anak perempuan digambarkan sebagai sosok yang pasif dan bergantung pada orang lain, serta sensitif terhadap perasaan orang lain (Matlin, 2008). Selain itu, diketahui pula bahwa wanita cenderung mengalami tingkat depresi yang lebih tinggi. Namun, dengan


(36)

%%! !

tingkat depresi yang lebih tinggi, wanita ditemukan memiliki kemampuan untuk coping dengan lebih baik. Hal inilah yang menyebabkan wanita memiliki nilai yang lebih tinggi pada dimensi pertumbuhan diri (Ryff & Singer, 1996).

c. Status Sosial Ekonomi

Ryff dan Singer (1996) menyatakan bahwa status sosial ekonomi, yakni pendidikan, pendapatan, dan pekerjaan seseorang berhubungan dengan kesejahteraan psikologis. Individu yang memiliki tingkat pendidikan yang lebih tinggi memiliki tingkat kesejahteraan psikologis yang lebih tinggi pula, khususnya pada dimensi tujuan hidup dan pertumbuhan diri. Selain itu, status pekerjaan juga turut mempengaruhi tingkat kesejahteraan psikologis seseorang. Ryff (dalam Ryan dan Deci, 2001) menemukan bahwa status sosial ekonomi seseorang dapat berdampak pada kesejahteraan psikologis, khususnya pada dimensi penerimaan diri, tujuan hidup, penguasaan lingkungan, dan pertumbuhan diri. Meskipun begitu, Ryan dan Deci (2001) menyatakan bahwa hubungan status sosial ekonomi dengan kesejahteraan seseorang masih rendah. Namun, tidak dapat disangkal pula bahwa dukungan materi dapat meningkatkan akses seseorang ke sumber daya yang penting untuk mencapai kebahagiaan.

d. Budaya

Kesejahteraan psikologis dapat dipengaruhi oleh budaya setempat. Pada masyarakat individualistik yang sangat berfokus pada diri sendiri, maka


(37)

%&! !

!

budaya barat yang lebih individualistik (Ryff & Singer, 1996). Sebaliknya, pada masyarakat kolektivistik yang sangat bergantung satu sama lain, maka dimensi hubungan positif dengan orang lain akan lebih menonjol dalam konteks budaya timur yang cenderung kolektif.

e. Kepribadian

Kepribadian seseorang merupakan prediktor terbesar dalam menentukan tipe emosi yang akan ia munculkan. Individu dengan kepribadian neuroticism selalu identik dengan tipe emosi yang negatif. Sebaliknya, individu extraversion identik dengan emosi yang lebih positif (Diener, Suh, Lucas & Smith, 1999). Penelitian yang dilakukan oleh Abbott, Croudace, Ploubidis, Kuh, Wadsworth, Richards, dan Huppert (2008) menemukan bahwa kepribadian extraversion memiliki pengaruh positif yang besar terhadap kesejahteraan psikologis, sedangkan neuroticism memiliki efek negatif terhadap kesejahteraan psikologis yang dimediasi oleh distres psikologis.

f. Status Marital

Seseorang yang telah menikah cenderung memiliki kepuasan hidup dan kesehatan psikologis yang lebih tinggi (Dolan, Peasgood, & White, dalam Huppert, 2009). Bierman, Fazio dan Milkie (2006) meneliti mengenai salah satu dimensi dalam kesejahteraan psikologis, yaitu tujuan hidup. Mereka menemukan bahwa individu yang telah menikah memiliki nilai yang lebih tinggi pada dimensi tersebut dibandingkan dengan individu yang tidak menikah.


(38)

%'! !

g. Multiple Roles

Ahrens dan Ryff (2006) menemukan bahwa ketika seseorang memiliki keterlibatan peran yang lebih besar, maka hal tersebut akan berpengaruh terhadap kesejahteraan seseorang. Hal ini dikarenakan dengan meningkatnya jumlah peran seseorang maka ia akan memperoleh koneksi sosial yang lebih luas, power, prestige, kepuasan emosi, dan juga dapat meningkatkan sumber daya seseorang. Oleh sebab itulah, peningkatan jumlah peran seseorang akan berhubungan dengan rendahnya tingkat psychological distress.

h. Relatedness

Relatedness dianggap sebagai need dasar yang penting bagi tiap

manusia (Baumeister & Leary, 1995). Kebutuhan akan relatedness dapat diwujudkan melalui kedekatan atau hubungan seseorang dengan orang lain yang dianggap penting dalam hidupnya (Deci & Ryan, 1991). Kasser dan Ryan (1996) juga menemukan bahwa relatedness berhubungan dengan meningkatnya kesejahteraan seseorang. Individu yang terjalin dalam interaksi sosial dan merasa puas akan hubungannya dengan orang lain cenderung hidup lebih lama dan memiliki kesehatan mental dan fisik yang lebih baik (Reis, Sheldon, Gable, Roscoe, & Ryan, 2000). Sebaliknya, kesepian yang diakibatkan oleh kurangnya interaksi individu dengan orang lain juga secara konsisten behubungan negatif dengan kepuasan hidup seseorang (Lee & Ishii-Kuntz, dalam Ryan & Deci, 2001). Relatedness


(39)

%(! !

!

pertemanan, keluarga, atau lingkup sosial yang lebih luas (Kasser & Ryan, 1999; Furrer & Skinner, 2003; Kagitcibasi, 2005).

i. Generativity

Generativity merupakan suatu tahapan normatif yang diungkapkan oleh Erikson, yang mana umumnya lebih sering dicapai pada masa dewasa madya (Papalia dkk., 2007). Individu yang mencapai tahapan generativity akan mengembangkan sebuah minat untuk memandu dan memberi pengaruh pada generasi selanjutnya. Lawan dari generativity adalah

stagnation. Individu yang tidak menemukan sarana untuk melakukan

generativity akan menjadi self-absorbed atau stagnan. Nilai utama dari

tahapan generativity adalah care. Individu akan memiliki komitmen yang semakin tinggi untuk menjaga orang-orang, produk-produk, dan ide-ide, serta memandu generasi selanjutnya untuk melihat potensi diri mereka di masa depan. Berbagai peneliti menemukan bahwa individu dewasa madya cenderung memiliki tingkat generativity yang lebih tinggi dibandingkan dengan individu dewasa awal dan akhir. Selain itu, dari hasil penelitian tersebut juga ditemukan bahwa wanita cenderung memiliki generativity yang lebih tinggi dibandingkan pria (Papalia dkk., 2007).

Generativity dapat muncul pada dewasa madya karena adanya

keinginan akan imortalitas, keinginan untuk merasa diperlukan, dan juga digabungkan dengan permintaan eksternal untuk memberikan perhatian kepada generasi selanjutnya. Ketika seseorang telah mencapai tahapan generativity, maka akan muncul perasaan dalam diri individu bahwa ia telah


(40)

%)! !

melakukan kontribusi yang bermanfaat bagi lingkungannya, sehingga pada akhirnya dapat mempengaruhi kesejahteraan psikologis individu (Papalia dkk., 2007).

Berdasarkan pemaparan di atas, maka dapat disimpulkan bahwa terdapat beberapa faktor yang dapat mempengaruhi kesejahteraan psikologis seseorang, yakni faktor demografis (usia, jenis kelamin, status sosial ekonomi, dan budaya), faktor kepribadian, status marital, orientasi religius, multiple roles, relatedness, dan generativity.

B. GRANDPARENTING STYLE

1. Grandparenting

Sekarang ini, gambaran stereotipe mengenai kakek nenek telah berubah yang mana dulunya orang-orang cenderung berasumsi bahwa seorang kakek nenek merupakan individu yang lemah, namun kini gambaran mengenai kakek nenek telah menjadi lebih muda, aktif, energetik, penuh dengan ide, sehat, dan penuh antusiasme (Troll, dalam Craig, 1996; DeGenova, 2008). Selain itu, rentang usia dalam memperoleh peran kakek nenek pun telah meluas dikarenakan kemajuan dalam bidang teknologi dan nutrisi (Szinovacz, dalam DeGenova, 2008). Conner (dalam Sigelmen & Rider, 2003) menyatakan bahwa rata-rata usia seseorang memperoleh peran kakek nenek yaitu pada usia 47. Dengan demikian, seseorang akan memperoleh peran kakek nenek pada masa dewasa madya (Botwinick, dalam Lemme, 1995).


(41)

%*! !

!

Pentingnya peran kakek nenek telah menjadi perhatian yang meningkat sekarang ini. Berbagai ilmuwan sosial menganggap kakek nenek sebagai pusat dari dinamika keluarga dan sumberdaya dalam suatu keluarga (Ingersoll-Dayton & Neal, dalam DeGenova, 2008). Ketika seseorang telah menjadi kakek nenek maka hal tersebut merepresentasikan adanya perolehan akan peran baru. Pada umumnya, pengalaman ini dianggap sebagai pengalaman yang menyenangkan untuk sebagian orang (Somary & Stricker; Szinovacz, dalam Cavanaugh, 2006). Hal ini dikarenakan berbagai manfaat yang dapat diperoleh kakek nenek dari peran tersebut, antara lain seperti keterlibatan dalam kehidupan dan aktivitas anak dan cucu, menyediakan dukungan extended family, menjadi seorang kakek nenek yang lebih baik dibandingkan ketika menjadi orangtua, dan memberi kesinambungan nilai yang dianut keluarga pada generasi selanjutnya (Mader, 2007). Peran kakek nenek juga dapat memberikan rasa bangga pada diri mereka ketika cucu berhasil meraih suatu pencapaian (Albrecht; Kahana & Kahana, dalam Pruchno & Johnson, 1996).

Mayoritas dari kakek nenek menemukan peran mereka sangat menyenangkan (Peterson, dalam Sigelmen & Rider, 2003). Meskipun begitu, terdapat perbedaan gender pada tingkat kepuasan yang dialami seseorang dalam menjalankan peran kakek nenek. Thomas (dalam Hoyer, Rybash, & Roodie, 1999) menemukan bahwa seorang nenek akan memiliki tingkat kepuasan yang lebih tinggi akan peran mereka dibandingkan seorang kakek. Selain itu, seorang nenek pun akan lebih cenderung untuk menganggap


(42)

%+! !

grandparenting sebagai kesempatan kedua untuk mengasuh dibandingkan

dengan seorang kakek, sehingga nenek akan cenderung lebih bersedia untuk menjaga dan merawat cucu, serta mentransmisikan nilai-nilai, tradisi, dan sejarah keluarga kepada sang cucu dibandingkan dengan seorang kakek. Troll (dalam Hoyer dkk., 1999) menyatakan bahwa seorang kakek cenderung berperan sebagai kepala keluarga, sedangkan seorang nenek cenderung berperan sebagai pengasuh keturunan (Cohler & Grunebaum, dalam Hoyer dkk., 1999).

Peran dalam pengasuhan cucu dapat mempengaruhi kesejahteraan psikologis seseorang. Hal ini dapat disebabkan oleh cucu yang berperan sebagi sumber emosional positif yang penting bagi kakek nenek, seperti kesenangan yang dialami ketika menghabiskan waktu bersama cucu (Bass & Caro; Brandon; Treoir; Silverstein dkk., dalam Arpino & Bordone, 2014). Selain itu, kemungkinan gejala stress juga dapat meningkat pada kakek nenek yang memiliki berbagai beban dan tanggung jawab dalam mengasuh cucu (Franklin, 1999; Szinovacz, DeViney, & Atkinson, 1999). Namun, Giarusso, Feng, Wang, dan Silverstein (1996) menemukan bahwa kakek nenek yang bersedia menerima beban dan tanggung jawab yang besar dalam mengasuh cucu dapat saja meningkatkan kesejahteraan psikologis. Hal ini dikarenakan hal tersebut dapat meningkatkan tujuan hidup kakek nenek sehingga membuat hidup mereka menjadi lebih bermakna (Giarusso dkk., 1996; Statham, 2011).


(43)

%,! !

!

pertama, sebagai sumber akan reward biologis dan tanda dari kontinuitas seseorang. Disini, seorang kakek atau nenek dapat merasa kembali menjadi muda ataupun merasa hidupnya kembali bermanfaat demi masa depan cucu dan keluarga. Kedua, sebagai sumber pemenuhan emosional diri sendiri. Disini, seorang kakek atau nenek dapat memperoleh perasaan kepuasan dan kedekatan yang telah hilang sebelumnya semasa hubungannya dengan anaknya yang telah memasuki masa dewasa. Kivnick (dalam Hoyer & Roodin, 2009) juga menyatakan bahwa beberapa orang dapat mengalami tingkat kepuasan dengan peran kakek nenek karena mereka dapat melakukan kembali hal yang sering terlewatkan ketika mereka berperan sebagai orangtua dalam pengasuhan anaknya.

2. Grandparenting Style

Neugarten dan Weinstein (dalam Cavanaugh, 2006) mendefinisikan

grandparenting style sebagai cara bagaimana seseorang berinteraksi dengan

cucunya yang dapat diklasifikasikan oleh seberapa sering kontak yang terjadi dan jumlah pengaruh yang dapat terjadi antara kakek nenek terhadap cucu. Terdapat tiga grandparenting style yang diungkapkan oleh Cherlin dan Furstenberg (dalam Sigelman & Rider, 2003) yang mana dapat dilihat sebagai sebuah kontinum, dengan ujung kontinum kiri berupa tipe yang tidak terlalu terlibat dengan cucu hingga pada ujung kontinum kanan dengan tipe yang sangat terlibat dengan cucu, diantaranya yakni:


(44)

&-! !

a. Remote

Merupakan figur simbolik yang mana kakek nenek jarang bertemu dengan cucunya. Kakek nenek pada tipe ini tidak terlalu terlibat dengan kehidupan cucu. Kebanyakan kakek nenek jarang mengunjungi cucu dikarenakan faktor geografis. Kakek nenek pun berharap agar bisa tinggal lebih dekat dengan cucunya (Sigelman & Rider, 2003). Meskipun jarang bertemu, ketika sekali berkunjung, kakek nenek dapat menghabiskan waktu yang cukup intens dengan cucunya, misalnya selama sebulan liburan sekolah (Cherlin & Furstenberg, 1986). Beberapa kakek nenek pada tipe karena tidak tinggal dekat dengan cucunya, maka dapat menyebabkan kurangnya kedekatan emosional atau afeksi terhadap cucu. Namun, beberapa kakek nenek lainnya dapat saja memiliki kedekatan emosional dengan cucu yang muncul dari kunjungan yang dilakukan. Selain itu, kakek nenek pun dapat mempertahankan hubungan dengan cucunya, misalnya melalui telepon yang rutin (Smith, 2005).

Dengan demikian, kakek nenek pada tipe remote memiliki tanggung jawab untuk menjaga cucu yang relatif rendah, memiliki kedekatan emosional yang tidak terlalu tinggi, namun beberapa kakek nenek lainnya bisa saja membangun kedekatan emosional yang cukup tinggi ketika menghabiskan waktu untuk melakukan aktivitas yang menyenangkan dengan cucu selama berkunjung.


(45)

&$! !

!

b. Companionate

Pada umumnya, tipe ini dapat digambarkan dengan hubungan kakek nenek yang dekat, perhatian, dan sering melakukan aktivitas yang menyenangkan dengan cucu. Kakek nenek companionate cenderung tinggal dekat dengan cucunya sehingga sering berinteraksi dengan cucu. Tipe ini merupakan tipe yang paling umum yang sesuai dengan gambaran kebanyakan orang akan peran kakek nenek, yakni hadir ketika diperlukan, misalnya menjaga cucu ketika orangtua memiliki urusan, dekat dengan cucunya, sering bermain bersama, memberi bantuan ketika diperlukan, namun tidak terlalu ikut campur dalam hal mendisiplinkan cucu ataupun mengatur kehidupan cucu (Sigelman & Rider, 2003).

Dengan demikian, kakek nenek pada tipe companionate mengalami kesenangan dan kedekatan emosional dengan cucu, serta tanggung jawab untuk menjaga cucu yang tidak terlalu tinggi.

c. Involved

Pada tipe ini, kakek nenek juga sering bertemu dengan cucunya dan bermain-main dengan sang cucu, namun disini kakek nenek memiliki keterlibatan yang lebih besar dalam kehidupan cucu. Kakek nenek memainkan peran aktif dalam mengasuh cucu, seperti menjaga atau merawat cucu, menerapkan beberapa aturan yang harus dipatuhi, mendidik cucu agar mematuhi aturan tersebut, mendisiplinkan dan mengatur kehidupan cucu, seperti mengatur perkembangan intelektual, misalnya dalam masalah pendidikan, ataupun dalam hal menyediakan dukungan


(46)

&%! !

finansial, tempat tinggal, makanan, permainan. Peran kakek nenek pada tipe ini hampir tidak berbeda dengan peran orangtua. Pada tipe involved, kakek nenek sering berperan sebagai pengganti orangtua sehingga kesejahteraan kakek nenek dapat terganggu karena stress yang muncul apabila tanggung jawab yang harus dijalankan terlalu besar (Sigelman & Rider, 2003). Meskipun begitu, apabila terdapat kesediaan kakek nenek untuk terlibat dalam peran tersebut, maka tanggung jawab yang harus dijalankan pun tidak menjadi masalah karena hal tersebut dapat meningkatkan tujuan hidup kakek nenek (Giaruso dkk., 1996).

Dengan demikian, pada tipe ini kakek nenek akan memiliki kedekatan emosional dengan cucu, mengalami kesenangan, dan di satu sisi juga memiliki tanggung jawab yang cukup tinggi untuk menjaga serta merawat cucu.

Berdasarkan pemaparan di atas dapat dilihat bahwa grandparenting style terdiri atas tiga tipe, yakni remote, companionate, dan involved.

C. DEWASA MADYA

1. Pengertian Dewasa Madya

Secara sederhana, dapat dikatakan bahwa seseorang telah mencapai tahap dewasa apabila pertumbuhan fisiknya telah sempurna serta mencapai kematangan psikologis sehingga mampu hidup dan berperan bersama dengan orang dewasa lainnya (Mubin & Cahyadi, 2006). Umumnya, masa dewasa


(47)

&&! !

!

dewasa madya biasanya ditandai dengan semakin sempitnya pilihan hidup dan juga jenjang karir yang menjadi semakin jelas (Berk, 2007). Masa dewasa madya dapat didefinisikan secara kontekstual, yakni usia dimana individu memiliki anak yang telah memasuki masa dewasa dan orangtua lanjut usia. Hurlock (2003) menyatakan bahwa masa dewasa madya dimulai dari usia 40 hingga 60 tahun. Menurut Feldman (dalam Mubin & Cahyadi, 2006), masa dewasa madya berlangsung dari sekitar usia 40 sampai sekitar usia 65 tahun. Berk (2007) dan Papalia dkk. (2007) juga berpendapat sama bahwa masa dewasa madya dimulai dari usia 40 hingga 65 tahun.

Individu dewasa madya rata-rata memiliki kepuasan hidup yang cukup tinggi (Myers; Myers & Diener; Walker, Skowronski, & Thompson, dalam Papalia, 2007). Hal ini dapat dijelaskan karena segala emosi positif yang berhubungan dengan pengalaman yang menyenangkan akan cenderung bertahan, sedangkan emosi negatif yang berhubungan dengan pengalaman tidak menyenangkan akan memudar.

Selain itu, individu yang telah memasuki masa dewasa madya pada umumnya telah beradaptasi dengan berbagai rintangan, sehingga kesejahteraan psikologis individu pun akan semakin baik (Lucas; Diener, dalam Papalia, 2007). Dukungan sosial, religius, pekerjaan, aktivitas luang, dan hubungan dengan orang lain merupakan faktor penting bagi kesejahteraan individu dewasa madya.


(48)

&'! !

2. Tugas Perkembangan Dewasa Madya

Tugas perkembangan merupakan tanggung jawab yang ditetapkan secara kultural yang menandakan kompetensi atau pencapaian yang penting bagi kebahagiaan dan penyesuaian individu (Lefrançois, 1990). Tugas perkembangan berbeda untuk setiap tahapan rentang kehidupan. Newman dan Newman (2006) mengungkapkan beberapa tugas perkembangan masa dewasa madya, yakni:

a. Mengatur Karir

Pekerjaan merupakan konteks yang cukup luas dalam masa perkembangan dewasa. Masa dewasa madya membawa tantangan baru, serta reformulasi ambisi dan tujuan-tujuan, sehingga individu dewasa madya perlu mengatur karirnya agar mencapai tingkat kompetensi baru dalam dunia pekerjaannya. Individu dewasa madya juga perlu untuk menyeimbangkan kehidupan pekerjaan dan keluarga, fleksibel dengan perubahan karir yang dialami, dan mampu menyesuaikan diri dari dampak pengangguran.

b. Menjaga Hubungan Intimasi

Kebahagiaan yang diperoleh dari hubungan intimasi merupakan prediktor yang lebih kuat bagi kesejahteraan individu dibandingkan dengan kepuasan dalam pekerjaan. Pernikahan dan hubungan intimasi yang lainnya merupakan hubungan yang dinamis, yang mana dapat berubah seiring dengan semakin dewasanya kedua pasangan, ataupun karena berubahnya


(49)

&(! !

! c. Mengatur Rumah Tangga

Individu dewasa madya perlu mengatur sumber daya dan memenuhi kebutuhan yang diperlukan dalam keluarga. Mengatur rumah tangga berhubungan dengan segala perencanaan, pemecahan masalah, dan aktivitas yang harus dilaksanakan oleh individu untuk mengurus diri sendiri serta orang lain yang dipercayakan kepada diri individu.

d. Memperluas Hubungan Caring

Individu dewasa madya memiliki kesempatan untuk mengekspresikan

caring dalam berbagai peran, diantaranya adalah parenting, menjaga

orangtua yang telah menua, serta grandparenthood. Berbagai peran tersebut dapat menantang sumber daya intelektual, emosional, serta fisik dari individu dewasa madya.

Menurut Havighurst (dalam Hurlock, 2003), terdapat beberapa tugas perkembangan yang harus dipenuhi pada masa dewasa madya:

a. Mencapai tanggung jawab sosial dan dewasa sebagai warga negara.

b. Membantu anak-anak remaja belajar untuk menjadi orang dewasa yang bertanggung jawab dan bahagia.

c. Mengembangkan kegiatan-kegiatan pengisi waktu senggang untuk orang dewasa.

d. Menghubungkan diri sendiri dengan pasangan hidup sebagai seorang individu.

e. Menerima dan menyesuaikan diri dengan perubahan-perubahan fisiologis yang terjadi.


(50)

&)! !

f. Mencapai dan mempertahankan prestasi yang memuaskan dalam pekerjaan.

g. Menyesuaikan diri dengan orang tua yang semakin tua.

D. KESEJAHTERAAN PSIKOLOGIS PADA WANITA DEWASA MADYA DITINJAU DARI GRANDPARENTING STYLE

Kesejahteraan psikologis pada dasarnya merujuk kepada keberfungsian psikologis dan pengalaman yang optimal pada manusia (Ryan & Deci, 2001). Ryff (dalam Ryan & Deci, 2001) menyatakan kesejahteraan psikologis tidak hanya sebatas perolehan akan kesenangan, namun merupakan usaha individu untuk mencapai kesempurnaan yang menggambarkan kesadaran akan potensi dalam dirinya. Ryff dan Singer (1996) selanjutnya merumuskan enam dimensi dari kesejahteraan psikologis yang mana enam dimensi tersebutlah yang mendefinisikan kesejahteraan psikologis, yakni kondisi dimana individu memiliki sikap positif terhadap diri sendiri ataupun penerimaan diri yang baik, mampu membangun hubungan yang positif dengan orang lain, tidak tergantung kepada orang lain dalam pengambilan keputusan, memiliki kemampuan untuk mengontrol lingkungan di sekitarnya, memiliki tujuan hidup yang jelas dan mampu mengembangkan dirinya sendiri.

Penelitian yang dilakukan oleh Ryff dan Keyes (1995) menjelaskan bahwa usia dan jenis kelamin seseorang dapat mempengaruhi kesejahteraan psikologis. Selanjutnya, Ryff dan Singer (1996) juga menyatakan bahwa status sosial


(51)

&*! !

!

penelitian lainnya pun telah dilakukan untuk mengetahui faktor-faktor yang mempengaruhi kesejahteraan psikologis, diantaranya faktor kepribadian (Abbott dkk., 2008; Diener dkk., 1999), faktor relatedness (Baumeister & Leary, 1995; Nezlek, dalam Ryan & Deci, 2001), faktor multiple roles (Ahrens & Ryff, 2006), faktor status marital (Bierman dkk., 2006; Dolan dkk., dalam Huppert, 2009), serta tahapan generativity yang diungkapkan oleh Erikson (Papalia dkk., 2007).

Dalam usia dewasa madya, individu dapat mencapai suatu tahapan normatif yang disebut dengan generativity. Generativity merupakan sebuah tahapan dimana seseorang mengembangkan perhatiannya untuk memandu dan memberi pengaruh kepada generasi selanjutnya (Erikson dalam Papalia dkk., 2007). Nilai utama dari tahapan generativity adalah care. Individu akan memiliki komitmen yang semakin tinggi untuk menjaga orang-orang, produk-produk, dan ide-ide, serta memandu generasi selanjutnya untuk melihat potensi diri mereka di masa depan. Lawan dari generativity adalah stagnation. Individu yang tidak menemukan sarana untuk melakukan generativity akan menjadi self-absorbed atau stagnan.

Ketika seseorang telah mencapai tahapan generativity, maka akan muncul perasaan dalam diri individu bahwa ia telah melakukan kontribusi yang bermanfaat bagi lingkungannya, sehingga pada akhirnya dapat mempengaruhi kesejahteraan psikologis individu (Papalia dkk., 2007). Selain itu, generativity dapat mempengaruhi kesejahteraan psikologis dewasa madya karena usia madya sangat dipengaruhi oleh hubungan seseorang dengan orang lain (Markus dkk.,


(52)

&+! !

2004 dalam Papalia dkk., 2007). Generativity dapat diwujudkan melalui berbagai hal, salah satunya yaitu melalui grandparenting atau pengasuhan cucu.

Dalam menjalankan peran grandparenting akan terdapat beberapa pola interaksi yang dapat terjadi antara seorang nenek dengan cucunya, yang mana disebut sebagai grandparenting style. Terdapat tiga grandparenting style yang diungkapkan oleh Cherlin dan Furstenberg (1986), diantaranya yaitu remote, companionate, dan involved.

Tipe remote merupakan figur simbolik yang mana nenek jarang bertemu dengan cucunya. Hal ini biasanya disebabkan oleh kejauhan geografis tempat tinggal antar nenek dengan cucunya. Meskipun jarang bertemu, nenek dapat membangun kedekatan emosional yang dapat muncul ketika menghabiskan waktu dengan cucu selama berkunjung ataupun melaui telepon yang rutin. Tipe kedua, companionate, merupakan tipe yang paling umum dari grandparenting. Pada tipe ini, nenek sering bertemu dengan cucunya dan menikmati melakukan aktivitas bersama. Nenek pada tipe ini hadir ketika diperlukan, namun tidak terlalu ikut campur dalam hal mendisiplinkan cucu. Tipe ketiga, involved, merupakan tipe yang mana nenek juga sering bertemu dengan cucunya dan melakukan aktivitas menyenangkan dengan sang cucu, namun disini nenek lebih terlibat dalam kehidupan cucu sehingga sering memberikan bantuan untuk menjaga cucu, serta memainkan peran aktif dalam mendisiplinkan cucu. Pada tipe involved, nenek sering berperan sebagai pengganti orangtua.


(53)

&,! !

!

dan disisi lain memiliki tanggung jawab yang tidak terlalu tinggi untuk menjaga cucu. Pada tipe involved, nenek mengalami kesenangan, kedekatan emosional, serta tanggung jawab yang tinggi untuk menjaga cucu. Sedangkan pada tipe remote, nenek memiliki tanggung jawab yang cukup rendah dan kedekatan emosional yang tidak terlalu tinggi, namun mereka dapat menikmati kesenangan selama menghabiskan waktu dengan sang cucu selama berkunjung sehingga dapat membangun kedekatan emosional antar kakek nenek dan cucu.

Berdasarkan pemaparan di atas, dengan adanya pola pengasuhan terhadap cucu atau grandparenting style yang berbeda, maka memungkinkan generativity yang dapat disalurkan dari nenek kepada cucu pun akan berbeda, yang mana generativity merupakan salah satu faktor yang dapat mempengaruhi kesejahteraan psikologis seseorang. Oleh sebab itu, peneliti tertarik untuk melihat gambaran kesejahteraan psikologis ditinjau grandparenting style pada wanita dewasa madya.


(54)

!

BAB III

METODE PENELITIAN

A. IDENTIFIKASI VARIABEL PENELITIAN

Untuk dapat menguji hipotesa penelitian, terlebih dahulu dilakukan identifikasi variabel-variabel yang ada pada penelitian ini. Dalam penelitian ini, terdapat dua variabel yang menjadi fokus utama, diantaranya yaitu grandparenting style dan kesejahteraan psikologis.

B. DEFINISI OPERASIONAL VARIABEL PENELITIAN

Definisi operasional adalah suatu definisi mengenai variabel yang dirumuskan berdasarkan karakteristik-karakteristik variabel tersebut yang dapat diamati (Azwar, 2010). Oleh karena itu, definisi operasional mengenai variabel penelitian perlu dirumuskan sebagai berikut:

1. Grandparenting Style

Grandparenting style merupakan pola interaksi antara seorang nenek

dengan cucunya yang dapat diklasifikasikan oleh seberapa sering kontak atau interaksi langsung yang terjadi dan jumlah pengaruh atau keterlibatan yang diberikan ke dalam hidup cucu, seperti menjaga atau merawat cucu, menerapkan beberapa aturan yang harus dipatuhi, mendidik cucu agar mematuhi aturan tersebut, mendisiplinkan dan mengatur kehidupan cucu,


(55)

'$! !

!

tinggal, makanan, permainan. Grandparenting style terdiri atas tiga tipe, yakni

remote, companionate, dan involved, yang mana dapat dilihat sebagai suatu

kontinum yang dimulai dari tipe yang tidak terlalu memberi pengaruh atau keterlibatan dalam kehidupan cucu, yakni tipe remote hingga pada tipe yang sangat memberi pengaruh dalam kehidupan cucu, yakni tipe involve.

a. Remote

Pola pengasuhan yang dikarakteristikkan dengan nenek yang tinggal jauh dengan cucunya, memiliki tanggung jawab yang relatif rendah dalam menjaga cucu, memiliki kedekatan emosional yang tidak terlalu tinggi, namun dapat saja membangun kedekatan emosional yang cukup tinggi ketika menghabiskan waktu yang cukup lama bersama dengan cucu selama berkunjung.

b. Companionate

Pola pengasuhan yang dikarakteristikkan dengan hubungan nenek dengan cucu yang memiliki kedekatan emosional, sering bertemu dan melakukan aktivitas menyenangkan bersama, hadir ketika diperlukan, namun tidak terlalu terlalu ikut campur dalam hal mendisiplinkan atau mengatur kehidupan cucu.

c. Involved

Pola pengasuhan yang mana kakek nenek sering bertemu dan melakukan aktivitas yang menyenangkan bersama dengan cucu, namun di sisi lain memiliki keterlibatan yang cukup besar dalam kehidupan cucu. Kakek nenek berperan sebagai pengganti orangtua sehingga memainkan


(56)

'%! !

peran aktif dalam menjaga cucu, menerapkan aturan-aturan, mendidik cucu, mendisiplinkan dan mengatur kehidupan cucu.

Grandparenting style akan didata melalui skala yang disusun oleh

peneliti dan diisi sebelum mengisi skala kesejahteraan psikologis. Penyusunan skala grandparenting style disusun berdasarkan ciri-ciri dari masing-masing tipe dan menggunakan skala Likert. Hal ini dikarenakan grandparenting style dapat dilihat dalam sebuah kontinum. Skala grandparenting style terdiri atas tiga rentang jawaban dengan total skor jawaban yang terkategorisasi tinggi akan mewakili tipe Involved, skor sedang akan mewakili tipe Companionate, dan skor terendah akan mewakili tipe Remote.

2. Kesejahteraan Psikologis

Kesejahteraan psikologis didefinisikan sebagai kemampuan diri nenek untuk mengoptimalkan potensi dirinya demi mencapai tujuan yang diharapkan, yang mana dapat terlihat dari adanya sikap positif terhadap diri sendiri atau penerimaan diri yang baik, mampu membangun hubungan yang positif dengan orang lain, tidak tergantung kepada orang lain dalam pengambilan keputusan, memiliki kemampuan untuk mengontrol lingkungan di sekitarnya, memiliki tujuan hidup yang jelas, dan mampu mengembangkan dirinya sendiri. Kesejahteraan psikologis akan diukur dengan modifikasi skala kesejahteraan psikologis yang disusun oleh Wieny Delvonia berdasarkan teori Ryff dengan tujuan untuk memenuhi persyaratan ujian Sarjana Psikologi pada tahun 2014. Skala tersebut terdiri dari aitem-aitem yang dapat mengukur keenam dimensi


(57)

'&! !

!

orang lain, otonomi, penguasaan lingkungan, tujuan hidup dan pertumbuhan pribadi.

Semakin tinggi skor yang dihasilkan pada skala, semakin tinggi pula tingkat kesejahteraan psikologis yang dirasakan oleh individu dewasa madya. Sebaliknya, semakin rendah skor yang dihasilkan pada skala, maka semakin rendah pula tingkat kesejahteraan psikologisnya.

C. POPULASI DAN TEKNIK PENGAMBILAN SAMPEL 1. Populasi dan Sampel

Populasi didefinisikan sebagai kelompok subjek yang hendak dikenai generalisasi hasil penelitian (Azwar, 2010). Populasi dalam penelitian ini adalah wanita dewasa madya, yakni berusia sekitar 40 hingga 65 tahun di Medan.

Sampel adalah sebagian dari populasi dan harus memiliki ciri-ciri yang dimiliki populasi (Azwar, 2010). Mengingat keterbatasan peneliti untuk menjangkau keseluruhan populasi, maka peneliti hanya meneliti sebagian dari keseluruhan populasi yang dijadikan sebagai subjek penelitian, yakni sampel. Adapun karakteristik sampel yang akan digunakan dalam penelitian ini adalah: a. Telah memiliki cucu dan usia cucu berada di bawah 13 tahun.

b. Tidak memiliki masalah kesehatan fisik yang berarti. 2. Teknik Pengambilan Sampel

Teknik pengambilan sampel atau teknik sampling adalah cara yang digunakan untuk mengambil sampel dari populasi dengan menggunakan


(58)

''! !

prosedur tertentu, dalam jumlah yang sesuai, dan dengan memperhatikan sifat-sifat serta penyebaran populasi agar diperoleh sampel yang benar-benar mewakili populasi (Hadi, 2000).

Teknik pengambilan sample yang digunakan dalam penelitian ini adalah teknik non-probabilitas convenience sampling dimana peneliti mengambil sampel berdasarkan ketersediaan dan kemudahan untuk mendapatkan sampel. Dengan kata lain, sampel diambil atau dipilih karena sampel tersebut berada pada tempat dan waktu yang tepat (Sugiarto dkk., 2003).

D. METODE PENGUMPULAN DATA

Metode pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah dengan menggunakan metode skala. Skala merupakan kumpulan-kumpulan pernyataan mengenai suatu objek. Azwar (2012) menguraikan beberapa karakteristik skala sebagai alat ukur psikologi, yaitu:

1. Stimulus berupa pertanyaan atau pernyataan yang tidak langsung mengungkap atribut yang hendak diukur, melainkan mengungkap indikator perilaku dari atribut yang bersangkutan.

2. Dikarenakan atribut psikologis diungkap secara tidak langsung lewat indikator-indikator perilaku, sedangkan indikator-indikator perilaku diterjemahkan dalam berntuk aitem-aitem, maka skala psikologi selalu berisi banyak aitem.

3. Respon subjek tidak diklasifikasikan sebagai jawaban "benar" atau "salah". Semua jawaban dapat diterima sepanjang diberikan secara jujur dan


(59)

sungguh-'(! !

!

Dalam penelitian ini, digunakan dua buah skala, yaitu skala grandparenting style yang disusun oleh peneliti dan modifikasi dari skala kesejahteraan psikologis yang disusun oleh Wieny Delvonia berdasarkan teori Ryff dengan tujuan untuk memenuhi persyaratan ujian Sarjana Psikologi pada tahun 2014.

1. Skala Grandparenting Style

Penyusunan skala grandparenting style akan disusun berdasarkan ciri-ciri dari masing-masing tipe dan menggunakan skala Likert (Azwar, 2012), dengan landasan bahwa grandparenting style dapat dilihat dalam sebuah kontinum. Skala grandparenting style disusun dengan tiga alternatif pilihan jawaban, yaitu Tidak Setuju, Netral, dan Setuju dengan total skor jawaban yang terkategorisasi tinggi akan mewakili tipe involved, skor sedang akan mewakili tipe companionate, dan skor terendah akan mewakili tipe remote. Berikut merupakan tampilan blueprint dari skala grandparenting style.

Tabel 1. Blueprint Skala Grandparenting Style No. Dimensi Indikator Nomor Aitem

(Favourable)

Nomor Aitem (Unfavourable) 1. Jumlah

kontak

Berinteraksi langsung dengan

cucu

3 1,8

2. Jumlah pengaruh atau keterlibatan yang diberikan dalam hidup cucu Mengatur kesehatan cucu 2 Mendisiplinkan cucu

4 10

Mengatur kehidupan sehari-hari 5,6,7 Megatur pendidikan cucu 9


(60)

')! !

Dengan demikian, skala grandparenting style disusun atas 10 aitem dengan aitem favourable berjumlah 7 aitem dan aitem unfavourable berjumlah 3 aitem. Untuk subskala favourable penilaiannya adalah jawaban Tidak Setuju akan diberi skor 1, Netral akan diberi skor 2, dan Setuju akan diberi skor 3. Sebaliknya, untuk subskala unfavourable penilaiannya adalah jawaban Tidak Setuju akan diberi skor 3, Netral akan diberi skor 2, dan Setuju akan diberi skor 1.

Selanjutnya pengkategorisasian skor ke dalam masing-masing

grandparenting style akan menggunakan kategorisasi jenjang atau ordinal.

Pengkategorisasian dapat dimulai dengan terlebih dahulu menghitung mean teoretik (µ) dan standar deviasi teoretik (!). Kategorisasi skor grandparenting style dapat dilihat pada Tabel 2.

Tabel 2. Kategorisasi Skor Grandparenting Style

Grandparenting Style Skor Rumus

Remote Rendah X<(µ-1.0 !)

Companionate Sedang (µ-1.0 !) "X<(µ+1.0 !)

Involve Tinggi (µ+1.0 !) "X

Dengan demikian, apabila total skor yang diperoleh oleh subjek berada di bawah (µ-1.0!) maka akan dikategorisasikan ke dalam tipe remote, apabila total skor berada diantara (µ-1.0!) dan (µ+1.0!) maka akan dikategorisasikan ke dalam tipe companionate, dan apabila total skor lebih besar dari (µ+1.0!) maka akan dikategorisasikan ke dalam tipe involve.


(1)

./0*1$ ,&+232$

,&+232$ ,&+232$

!"# $%&%#&%'()#*+),%)#

'+-./.0%)#0%&%#1+0'(-.)# /(*%'#0+-+)*%-%/#*+),%)# 23%),#4%()"#

# # # #

5"# 6.)/./%)#'+7(*.-%)# 0+7%3(87%3(#0+3(),#

1+19.%/#0%&%#1+3%0%#/%'# 9+3*%&%"#

# # # #

:"# $%&%#/(*%'#&%'()#9(0%# 1+19.;.'#23%),#4%()# .)/.'#1+4%'.'%)#

-+3.9%7%)#&%),#*%-%/# 1+3(),%)'%)#9+9%)#0%&%"#


(2)

! !

!"#$ %&'()*+**($ ,*(-*+$

./0*1$ ,&+232$

./0*1$ ,&+232$

,&+232$ ,*(-*+$ ,&+232$

!"# $%&%#'%'()#

'*+,%-%+.#/*0/%1%.# 2%+11)+1#,%3%/#&%+1# %4%#4%-%'#5*6.4)(%+# 7%&%"#

# # # #

8"# $%&%#7*+%+1#

'*-%5)5%+#6%-96%-#

&%+1#2.4%5#(*0+%6#7%&%# -%5)5%+#7*/*-)'+&%"#

# # # #

:"# $%&%#'*0%7%#2*-%6# '%'()#'*-%5)5%+# 6%-96%-#&%+1#

7*/*-)'+&%#2.4%5# '%'()#7%&%#-%5)5%+"#


(3)

/%,0/%,#1%2.#&%)*#3%4%5# +(+1%)5.#+()*%'%/# -(+%+4.%)#'%&%#

+('-64.)#5(2*7,7)*# '.,65"#

8"# $%&%#+()6-+%56#

4(29%-%4%)#3%)# -(*6%5%)#1(2'%+%# 3()*%)#-(,.%2*%#

+%.4.)#5(+%)05(+%)"#

# # # #

:"# $%&%#+(2%'%#'.,65#.)5.-#

+(+4(25%/%)-%)# /.1.)*%)#&%)*#1%6-#


(4)

! ! ! !

!"#$ %&'()*+**($ ,*(-*+$

./0*1$ ,&+232$

./0*1$ ,&+232$

,&+232$ ,*(-*+$ ,&+232$

!"# $%&'&$()(*+*,*$-./.&0$ '&01$*01*0$2*3&4&*$ 2&+&($5*2.4$*0*#$

$ $ $ $

!!# $%&'&$()(*+*,*$

6&03&01&0$()01)0&*$ +&01,&5$&4&$'&01$ 5&6.7$2*&(8*+$.0-.,$ ()03&4&*$-./.&0$'&01$ *01*0$2*3&4&*#$

$ $ $ $

!9# $%&'&$()(*+*,*$6)03&0&$ (&7&$2)4&0$2&0$

8)6.7&5&$.0-.,$ ():./.2,&00'&#$


(5)

!"# $%&'&$()*+,$,),-*-.-$ /&,(&0&1$'&1/$2)*&3$ ,)1/)1&-$&4&$'&1/$ -1/-1$3&'&$5&4&-$6&*&,$ 7-6+4#$

$ $ $ $

!8# $%&'&$-1/-1$,)12&*&1-$ 7-6+4$3)()(&31'&$ 9&14&$7&0+3$9)0-.&9$ 4&6&$0)15&1&#$

$ $ $ $

!:# $;.9-<-9&3$3)7&0-=7&0-$ ()03&,&$9),&1$6&1$ .)*+&0/&$3&'&$9)0&3&$ 9-6&.$4)19-1/#$


(6)

!

"#$%&'(!&#)*(+%!,(-(*(.!/.0(1!,(.2(.! '()3(%!(0(!3#$.4(5((.!4(.2!5#$+#-(5&(.!

!

6#$%)(!&('%7!!!

!"#$ %&'()*+**($ ,*(-*+$

./0*1$ ,&+232$

./0*1$ ,&+232$

,&+232$ ,*(-*+$ ,&+232$

!"# $%&'&$()*&+&$

,)*+'-.-*$/)01&0$&2&$ '&01$+&'&$(343.3$

/&4&($.)53/-2&0$303#$

$ $ $ $

!6# $%&'&$()*&+&$2)*7&'&$ /3*3$/)01&0$/3*3$+&'&$ +&&8$303#$

$ $ $ $

!9# $%&'&$()*&+&$.-*&01$ ,)*-08-01$:3.&$

/3,&0/301.&0$/)01&0$ .)53/-2&0$;*&01$4&30#$