D 902009101 BAB VIII

Pariwisata Bagi Masyarakat Lokal 

Bab 8
Dinamika Pengembangan Pariwisata Berbasis
Komunitas di Sulawesi Utara: Sebuah Sintesa
Pendahuluan
Salah satu keberhasilan pengembangan pariwisata adalah
dukungan masyarakat di sekitar obyek wisata. Pariwisata tanpa
dukungan masyarakat sekitar biasanya tidak bertahan lama atau
dengan kata lain akan memunculkan masalah keberlanjutan
(sustainability). Dukungan masyarakat sangat tergantung pada
partisipasi mereka dalam pariwisata. Saya mau membangun
argumen bahwa masalah partisipasi dapat teratasi jika
pengembangan pariwisata memberi manfaat ekonomi kepada
masyarakat. Bab ini menyajikan sintesa yang menjadi temuan dari
tiga lokasi penelitian, Bunaken, Kimabajo, dan Tangkoko. Proses
sintesa ini mencoba menemukan beberapa konsep yang nantinya
menjadi dasar yang memnberikan gambaran dinamika
pengembangan pariwisata di tiga lokasi tersebut. Gambaran yang
kita peroleh dapat dianggap sebagai model pariwisata yang
berkembang di tiga wilayah tersebut. Dari model ini kita akan

memperoleh hambatan yang muncul ketika pariwisata berbasis
masyarakat dikembangkan.

Peluang Kerja dan Peluang Usaha
Ketika pariwisata belum berkembang, Kimabajo, dan
Bunaken hanyalah dua desa nelayan tradisonal, sedangkan
Tangkoko sedikit berbeda, sebelum masuk pariwisata adalah desa
para nelayan dan petani. Penduduk di tiga wilayah ini
menggantungkan hidup mereka dari menangkap ikan dan ada juga
yang bercocok tanam hanya untuk memenuhi kebutuhan hidup
169 
 

Pariwisata Bagi Masyarakat Lokal 

sehari hari. Sebagai nelayan sudah dapat dibayangkan pendapatan
masyarakat tidak stabil karena berbagai masalah. Salah satu
masalah adalah kelembagaan yang berkaitan dengan hasil
tangkapan. Hasil tangkapan ada yang dijual namun karena mata
rantai niaga yang panjang menyebabkan pendapatan para nelayan

tidak meningkat. Pada umumnya bisnis ikan melibatkan jaringan
disribusi yang cukup panjang. Selain itu ada juga masalah dengan
cuaca. Ketika musim angin barat gelombang laut cukup tinggi
sehingga para nelayan hampir tidak mungkin melaut. Keadaan ini
yang membuat pendapatan para nelayan pada musim tertentu
mengalami masa paceklik. Pada musim seperti inilah livelihood
masyarakat nelayan terganggu. Beberapa penelitian yang pernah
dilakukan telah menunjukkan bahwa nelayan tradisional hampir
tidak mungkin lepas dari kemiskinan (Panayotou, 1982). Wilson
Therik (2007) dalam penelitian di Pulau Rote menemukan para
nelayan tetap hidup dalam kemiskinan dalam cengkraman
juragan. Temuan Therik jelas menunjukan bahwa nelayan
terbelenggu dalam suatu struktur sosio-ekonomi yang sifatnya
eksploitatif. Oleh karena itu apa yang pernah dialami para nelayan
di Kimabajo, Bunaken, dan Tangkoko adalah gambaran umum
nasib nelayan di kebanyakan wilayah daerah lain di Indonesia.
Masuknya pariwisata membantu perekonomian sebagian besar
masyarakat di tiga wilayah tersebut.
Pariwisata mempunyai dampak positif dan negatif
terhadap suatu masyarakat. Dalam beberapa kajian kedua dampak

tersebut sudah dibahas (Meyer 2006; Neto 2003; Cattarinich, 2001;
Gee, et al, 1989). Dalam bagian ini saya hanya mengulas dampak
positif, sedangkan dampak negatif akan dibahas dibagian lain.
Pariwisata memainkan peran secara positif di Kimabajo, Bunaken
dan Tangkoko. Dua hal yang paling dirasakan dengan kehadiran
pariwisata di tiga wilayah tersebut, adalah terbukanya peluang
kerja dan peluang usaha. Memang kedua peluang tersebut tidak
hadir secara merata di masing masing wilayah, ada wilayah yang
170 
 

Pariwisata Bagi Masyarakat Lokal 

lebih dominan peluang kerja dan ada wilayah tertentu yang
dominan peluang usaha. Contoh pariwisata yang berhasil
mendorong peluang kerja adalah Kimabajo. Hampir semua
penduduk di wilayah ini bergantung pada daya serap dua resort
yang beroperasi di sana. Semua keluarga di wilayah ini berharap
salah satu anggota keluarga dapat bekerja di sektor pariwisata yang
berkembang di sana. Hal lain yang menarik adalah kehadiran

aktivitas pariwisata bukan saja memberi pendapatan tapi juga
mengangkat status sosial masyarakat. Hal ini dirasakan masyarakat
Kimabajo.Menjadi petani dan nelayan oleh masyarakat setempat
dianggap sebagai profesi yang mempunyai status lebih rendah
disbanding dengan status pegawai. Hal ini yang membuat
penduduk sangat bersikap positif dan mau berkompromi dengan
berbagai tuntutan pengusaha yang beroperasi di sana.
Gambaran pengembangan pariwisata di Kimabajo sedikit
berbeda dengan kenyataan pengembangan yang ada di Bunaken.
Pengembangan pariwisata di Bunaken menempatkan orang lokal
sebagai orang asing di tempat mereka sendiri. Tidak banyak orang
lokal yang bekerja pada resort yang dibangun di sana. Kebanyakan
para pekerja mereka berasal dari luar pulau dan penduduk lokal
termarjinalisasikan. Para pengusaha di Bunaken tampaknya belum
peduli dengan masyarakat lokal. Hal ini karena resort yang
dibangun terpisah dari penduduk sehingga mereka jarang
berhubungan dengan penduduk lokal. Para pengusaha tersebut
tidak merasa terancam oleh penduduk lokal karena memang tidak
pernah diganggu. Para pengusaha dari luar selalu merasa lebih
menguntungkan menggunakan tenaga kerja dari luar Bunaken

daripada orang dari Bunaken. Ini ada hubungannya dengan
masalah control kinerja. Pada umumnya para pekerja pendatang
mempunyai ketergantungan yang tinggi terhadap majikan
sehingga mereka mudah diatur. Hal ini berbeda dengan pekerja
lokal yang mempunyai akar sosial dalam masyarakat tersebut dan
lebih independen dan tidak mudah diatur (Breman, 1986). Ini
171 
 

Pariwisata Bagi Masyarakat Lokal 

barangkali menjadi alasan para pengusaha lebih memprioritaskan
pekerja dari luar daripada pekerja di Bunaken sendiri. Dengan
kata lain pariwisata yang berkembang di Bunaken kurang
memberi manfaat kepada masyarakat lokal jika ditinjau dari
penyediaan kesempatan kerja.
Perkembangan usaha pariwisata di Tangkoko menunjukan
gambaran yang lain. Pariwisata yang berkembang di Tangkoko
tidak banyak membantu penyerapan tenaga kerja lokal. Hal ini
karena pengusaha yang beroperasi di sana masih sedikit dan

belum membutuhkan tenaga kerja lokal. Jika dibanding dengan
Kimabajo dan Bunaken, Tangkoko lebih jauh dari Kota Manado
dengan fasilitas yang masih terbatas. Selain itu para turis yang ke
Sulawesi Utara lebih berminat ke aktivitas menyelam dan dalam
hal ini Bunaken dan Kimabajo lebih beruntung. Turis yang
tertarik dengan satwa dan fauna atau kegiatan khusus lain di alam
masih terbatas dan jumlah mereka masih sedikit. Para turis yang
datang juga membawa alat perlengkapan perkemahan sendiri
sehingga tidak terlalu membutuhkan penginapan. Hal ini yang
membuat belum banyak pengusaha dari luar yang tertarik
menanamkan modal di Tangkoko. Memang pengembangan
pariwisata di Tangkoko menjadi perdebatan atau menjadi paradox
tersendiri. Di satu pihak ada keinginan pemerintah agar obyek ini
tumbuh dan dapat menarik lebih banyak wisatawan, namun di
lain pihak maka jumlah turis yang banyak mungkin akan
mengganggu habitat satwa di sana. Masalah yang dimunculkan
adalah terbatasnya kapasitas (carrying capacity) obyek wisata ini
untuk menerima wisatawan lebih banyak. Dengan demikian,
dalam kontroversi semacam ini obyek wisata Tangkoko dalam
jangka panjang belum dapat diandalkan menyerap tenaga kerja

lokal seperti Kimabajo dan Bunaken.
Dari uraian di atas, dari sisi penyerapan tenaga kerja lokal
hanya Kimabajo yang menunjukan gambaran yang positif. Tingkat
partisipasi tenaga kerja yang tinggi di Kimabajo karena pengusaha
172 
 

Pariwisata Bagi Masyarakat Lokal 

yang beroperasi di sini membuat kebijakan memprioritaskan
perekrutan penduduk lokal sebagai pekerja. Kebijakan ini sangat
tepat yang membuat perusahan mendapat dukungan masyarakat
lokal untuk tetap beroperasi di sana. Hal ini tidak terjadi di
Bunaken, pengusaha luar belum memprioritaskan tenaga kerja
lokal sehingga dukungan terhadap perusahan rendah. Lain hal
dengan Tangkoko, pariwisata di daerah ini belum berkembang
secara maksimal sehingga penyerapan tenaga kerja masih rendah.
Oleh karena itu belum terlihat peran tenaga kerja dalam aktivitas
pariwisata di sana.
Lebih lanjut, pengembangan Pariwisata di Kimabajo,

Bunaken, dan Tangkoko mendorong munculnya peluang usaha
baru baik bagi masyarakat lokal maupun masyarakat luar. Seperti
telah diungkapkan sebelumnya para pengusaha dari luar
memanfaatkan peluang usaha yang ada dengan mendirikan resort
dan usaha penyelaman. Usaha seperti ini didominasi masyarakat
dari luar. Namun demikian, kita melihat juga upaya masyarakat
lokal memanfaatkan peluang usaha ketika pengembangan
pariwisata berlangsung. Pada umumnya usaha mereka membuat
pondok sederhana melayani wisatawan penggelandang. Dalam
bagian ini saya akan melihat bagaimana pengembangan pariwisata
mendorong peluang usaha bagi masyarakat lokal di masingmasing wilayah tersebut.
Tidak seluruh masyarakat Kimabajo menggantungkan
hidupnya sebagai tenaga kerja pada resort yang beroperasi di sana.
Kehadiran kedua resort tersebut menciptakan peluang usaha baru
kepada masyarakat. Peluang usaha yang muncul di Kimabajo
adalah potensi permintaan dari para pekerja lokal. Ada beberapa
ibu yang melihat peluang ini dan membuka usaha melayani
permintaan pekerja tersebut. Memang beberapa usaha yang
berkembang di sini dilakukan oleh perempuan. Peluang usaha
yang muncul di Kimabajo lebih menunjukan permintaan tidak

langsung dari kehadiran dua resort yang ada di sana. Usaha yang
173 
 

Pariwisata Bagi Masyarakat Lokal 

berkembang bukan karena permintaan langsung para wisatawan
yang datang ke Kimabajo tapi oleh penduduk lokal yang
memperoleh pendapatan dari kehadiran pariwisata. Walaupun
demikian ada perbedaan karakter usaha di Kimabajo dibanding
dengan Bunaken dan Tangkoko. Usaha yang berkembang di
Kimabajo lebih bersifat sambilan oleh karena sebagian besar
masyarakat tidak hanya bergantung pada usaha tapi pekerjaan
lain. Dengan demikian dari sisi penciptaan kesempatan usaha,
kehadiran pariwisata cukup positif di Kimabajo walaupun hanya
bersifat komplementer.
Pengalaman di pulau Bunaken ada sedikit berbeda. Secara
menyeluruh yang memanfaatkan peluang untuk berusaha adalah
masyarakat Bunaken sendiri. Hal ini mungkin karena tidak
banyak masyarakat lokal yang terserap sebagai tenaga kerja pada

resort yang dibangun pengusaha luar. Masyarakat lokal di sana
membuka penginapan murah bagi wisatawan backpackers, dan
membuka rumah makan sederhana melayani tamu lokal dan asing
dengan anggaran terbatas. Hal ini menggembirakan karena jika
mereka terserap menjadi tenaga kerja, barangkali mereka tidak
berpikir mendirikan usaha sendiri. Tentu usaha yang mereka
bangun sekedar untuk memenuhi kebutuhan ekonomi mereka
sehari hari karena kebanyakan dari mereka tidak mempunyai
pekerjaan lain sehingga lebih menggantungkan kebutuhan harihari dari usaha di sektor pariwisata. Memang ada beberapa
keluarga yang membangun usaha dimana istrinya menjalankan
usaha, sedang suaminya tetap menjadi nelayan, sehingga mereka
tidak terlalu bergantung pada hasil dari usaha. Di satu pihak ada
keprihatinan masyarakat lokal kurang terlibat sebagai pekerja,
namun ini dapat dikatakan sebagai blessing in disguise karena
situasi ini mendorong masyarakat lokal menjadi pengusaha,
walaupun kecil-kecilan.
Lain hal di Tangkoko, pengembangan pariwisata di daerah
ini baru pada tahap awal sehingga belum banyak aktivitas usaha
174 
 


Pariwisata Bagi Masyarakat Lokal 

yang berkembang di sana. Namun demikian sudah ada inisiatif
beberapa pengusaha lokal melayani para wisatawan yang masih
terbatas jumlahnya. Keadaan ini mendorong berkembangnya
entrepreneurship lokal. Pengusaha lokal tertarik memulai usaha
kecil-kecilan karena melihat peluang usaha. Perkembangan
entrepreneur di Tangkoko sedikit berbeda dengan Bunaken. Di
Tangkoko enterpreneur tumbuh karena peluang terbuka lebar
sedang di Bunaken karena diskriminasi. Sebenarnya dalam
beberapa kasus agak sulit membedakan pengusaha dan para
pekerja di Tangkoko. Misalnya, para pemandu wisata dapat
digolongkan sebagai pengusaha. Sebagai pemandu mereka
sebenarnya menjalankan usaha sendiri dan tidak bekerja pada
orang lain. Oleh karena itu mereka dapat digolongkan sebagai
pengusaha dengan menjadikan diri mereka sebagai pekerja.
Mereka bahkan mengeluarkan dana sendiri untuk memperbaiki
fasilitas publik yang ada di sana agar bisa menarik lebih banyak
wisatawan. Keputusan yang mereka ambil dapat diibaratkan
sebagai keputusan seorang pengusaha melakukan investasi untuk
masa yang akan datang.
Dari uraian di atas, maka secara umum pariwisata telah
meningkatkan pendapatan masyarakat di Kimabajo, Bunaken, dan
Tangkoko. Kehadiran kegiatan pariwisata mendorong peningkatan
kestabilan pendapatan masyarakat di sana. Sebelum pariwisata
masuk, pendapatan masyarakat sebagai nelayan dan petani tidak
bersifat tetap. Namun setelah sektor pariwisata berkembang,
pendapatan mereka lebih teratur baik sebagai pekerja maupun
sebagai pengusaha. Keadaan ini tentu akan lebih menjamin
perbaikan kesejahteraan masyarakat dari pada mereka terus
berkutat dengan sektor tradisional. Dengan kata lain dari segi
pemenuhan kebutuhan sehari-hari (livelihood) masyarakat merasa
tertolong dengan adanya kehadiran pariwisata. Paling tidak ada
sumber pendapatan alternatif di luar pendapatan dari sektor
tradisional seperti pertanian dan nelayan. Karena sumber
175 
 

Pariwisata Bagi Masyarakat Lokal 

pendapatan alternatif ini yang membuat masyarakat lolos dari
jeratan rentenir. Singkatnya, pariwisata baik langsung maupun
tidak langsung telah meningkatkan kualitas hidup (quality of live)
masyarakat di sana. Walaupun sektor pariwisata menjanjikan
namun ada juga masyarakat yang tidak mau hanya
menggantungkan dari sektor tersebut. Hal ini terjadi baik di
Kimabajo, Bunaken, dan Tangkoko. Pilihan ini sangat berkaitan
erat dengan strategi pemenuhan kebutuhan sehari-hari
(livelihood). Mereka yang hanya menggantungkan dari satu
sumber pendapatan akan lebih rentan terhadap gejolak ekonomi
daripada mereka yang melakukan diversifikasi pada kegiatan
ekonominya dalam hal diversifikasi sumber pendapatan. Oleh
karena itu dalam menjamin pemenuhan kebutuhan sehari-hari
masyarakat lokal tidak hanya mengandalkan sektor pariwisata
saja, tapi mereka mencari sektor lain sebagai sumber pendapatan
alternatif.
Dari perspektif jender maka pengembangan pariwisata
mendorong perempuan untuk terlibat dalam dunia usaha. Pada
umumnya perempuan terlibat karena sampai derajat tertentu
mereka adalah penyangga kebutuhan rumah tangga sehari-hari
(livelihood) (Ashley, 2000). Inilah yang menjadi alasan
kebanyakan sektor usaha kecil dan menengah dikendalikan
perempuan. Temuan saya di tiga lokasi tersebut menunjukan
semakin banyak perempuan yang terlibat dalam dunia usaha.
Daerah yang paling menonjol dengan pengusaha perempuan
adalah Kimabajo. Perempuan yang masuk ke sektor usaha di
Kimabajo terdorong membantu ekonomi keluarga tanpa harus
mengorbankan urusan rumah tangga. Walaupun para suami
bekerja di resort yang ada di sana, namun gaji mereka hanya
cukup memenuhi kebutuhan primer sehingga jika ada kesempatan
perempuan ikut mencari pendapatan tambahan. Di Bunaken,
banyak perempuan terlibat mencari nafkah tapi masih dalam
usaha keluarga. Sering usaha tersebut atas nama suami yang
176 
 

Pariwisata Bagi Masyarakat Lokal 

dikelola bersama, sehingga belum merupakan suatu usaha yang
murni dicirikan perempuan. Keterlibatan khususnya perempuan
dalam usaha belum nampak di Tangkoko. Hal ini karena belum
banyak usaha yang berkembang di sana. Tapi melihat
perkembangan di tempat lain ada kemungkinan pada masa depan
akan muncul perempuan menjadi pengusaha dengan melihat
peluang usaha di Tangkoko.
Hubungan pembangunan pariwisata dengan penciptaan
lapangan kerja telah ditulis Bardgett (2000). Pengembangan
pariwisata membuka peluang kerja di sektor perhotelan, rumah
makan, biro perjalanan, dan berbagai tempat rekreasi. Neto,
(2003) mengungkapkan bahwa pariwisata memberi peluang kerja
bagi masyarakat dari berbagai kualifikasi, yaitu mereka yang
berpendidikan rendah hingga yang berpendidikan tinggi. Dalam
hal ini pengembangan pariwisata membuka peluang kerja bagi
masyarakat lokal di tiga wilayah tersebut. Pada saat ini mereka
yang terserap dalam pasar tenaga kerja lebih banyak yang
berpendidikan rendah. Oleh karena itu pandangan Bardgett dan
Neto dapat kita temui di Bunaken, Kimabajo dan Tangkoko. Lebih
lanjut Neto (2000), mengatakan pengembangan pariwisata
memberi peluang kepada perempuan berkiprah sebagai tenaga
kerja. Pada umumnya perempuan bisa terlibat baik langsung
maupun tidak langsung dalam sektor pariwisata. Sektor pariwisata
mendorong perempuan memberdayakan diri sehingga mereka bisa
bekerja untuk diri sendiri (self-employed). Dari kajian lapangan
kita mendapati banyak perempuan yang terlibat dalam sektor
pariwisata. Mereka bisa menjadi pelayan dan tukang masak di
rumah makan kecil. Selain itu ada yang juga membuka usaha kecil
dan mereka sendiri yang menjadi pekerjanya. Banyak usaha kios
dijaga sendiri sehingga mereka dapat termasuk kedalam kategori
bekerja untuk diri sendiri seperti yang dikatakan Neto.
Pengembangan pariwisata sering menyerap tenaga kerja
yang cukup banyak. Hal ini karena sifat industri pariwisata yang
177 
 

Pariwisata Bagi Masyarakat Lokal 

lebih banyak menggunakan tenaga kerja daripada mesin. Selain itu
industri pariwisata juga menyerap tenaga kerja dari berbagai
kualifikasi, dari mereka yang mempuyai pendidikan rendah
hingga yang tinggi. Lebih lanjut industri pariwisata banyak
memperkerjakan perempuan sehingga banyak perempuan yang
mengalami pemberdayaan melalui sektor ini. Oleh karena
perempuan memainkan peran penting dalam ekonomi rumah
tangga, maka keterlibatan mereka dalam usaha akan dengan
sendirinya ikut mengurangi kemiskinan pada aras rumah tangga
(Neto, 2003). Dalam kaitan dengan peluang usaha, Meyer (2006),
menemukan di Karibia usaha masyarakat tumbuh karena ada
permintaan barang dan jasa oleh para wisatawan, hotel dan
restoran. Selain itu perkembangan pariwisata akan mendorong
hubungan kemitraan antar pengusaha. Pengusaha lokal dapat
menjadi mitra usaha pengusaha dari luar daerah. Lebih lanjut
membangun relasi usaha dengan masyarakat lokal akan berarti
para pengusaha besar mewujudkan tanggung jawab sosial mereka
dengan lingkungan usaha mereka. Mitra usaha seperti yang
digambarkan Meyer belum nampak di tiga lokasi penelitian. Pada
umumnya mereka yang berusaha di sini adalah masih masuk
dalam kategori usaha kecil yang langsung menjual produknya ke
konsumen akhir.

Partisipasi Masyarakat dalam Pariwisata
Pengalaman menunjukan bahwa paritisipasi masyarakat
merupakan salah satu elemen penting dalam keberhasilan
pengembangan pariwisata. Partisipasi masyarakat yang dimaksud
adalah keterlibatan anggota masyarakat baik langsung maupun
tidak langsung mendorong berkembangnya pariwisata di daerah
mereka. Tingkat keterlibatan masyarakat lokal tergantung pada
manfaat yang mereka peroleh dari pengembangan pariwisata
tersebut. Partisipasi bisa dilakukan dalam bentuk selalu menjaga
lingkungan sekitar sehingga bersih, atau juga menjaga ketenangan
178 
 

Pariwisata Bagi Masyarakat Lokal 

lingkungan sosial yang aman sehingga para wisatawan merasa
betah, atau melakukan upaya menjaga keselamatan tamu yang
tinggal di sana. Dalam bagian ini saya hanya membahas partisipasi
masyarakat menjaga lingkungan sosial dan keselamatan tamu di
Kimabajo, Bunaken, dan Tangkoko. Keterlibatan masyarakat
menjaga lingkungan akan dibahas pada bagian lain.
Hal yang menonjol dari proses pengembangan pariwisata
adalah partisipasi masyarakat menjaga lingkungan sosial agar tamu
betah tinggal di daerah mereka. Sering terjadi masalah antara
wisatawan dan penduduk lokal karena gaya hidup atau budaya
berpakaian para tamu belum dapat diterima secara positif oleh
masyarakat. Dari tiga wilayah penelitian, hanya dua wilayah yang
masyarakatnya menunjukan tingkat partisipasi yang tinggi
menjaga kenyamanan tamu, yaitu, Kimabajo dan Tangkoko (lihat
Tabel 8.1). Misalnya, ketika para tamu mengeluh tentang pengeras
suara baik dari mesjid maupun gereja, masyarakat Kimabajo mau
kompromi mengarahkan pengeras suara tersebut ke arah yang
berlawanan dengan posisi resort, sehingga para tamu tidak
terganggu.
Hal semacam ini hampir tidak mungkin terjadi di wilayah
lain di Indonesia yang derajat keagamaan masih tinggi. Simbol
simbol keagamaan masih sangat sensitif di Indonesia dan tuntutan
semacam ini bisa dianggap sebagai pencemaran terhadap simbol
tersebut yang bisa memicu konflik. Pada tahun 2002 anggota umat
dari gereja katolik di Maumere, Flores, Nusa Tenggara Timur
mengamuk karena seorang anak buah kapal yang mengantar para
wisatawan yang berkunjung ke daerah ini dituduh melecehkan
hosti yang dianggap sakral dalam gereja Katolik. Masyarakat
Tangkoko juga menunjukan tingkat partisipasi yang cukup tinggi
mendukung pengembangan pariwisata di daerah mereka. Ada
beberapa anggota masyarakat yang secara sukarela mengumpulkan
uang untuk menyumbang tenaga memperbaiki fasilitas publik

179 
 

Pariwisata Bagi Masyarakat Lokal 

yang rusak di sana. Hal ini mereka lakukan dalam rangka ikut
memberi kenyamanan kepada para wisatawan.
Seharusnya fasilitas publik seperti ini wajib disiapkan
pemerintah, namun karena pemerintah belum berbuat sesuatu di
sana, masyarakat berinisiatif membangun fasilitas tersebut. Seperti
dalam bab 7, fasilitas yang dibangun penduduk adalah tempat
pembuangan sampah dan perbaikan bangunan untuk kamar kecil.
Tentu menjadi pertanyaan apa alasan masyarakat mau berkorban,
padahal ini semestinya dilakukan pemerintah. Alasan yang dapat
diterima adalah adanya harapan masyarakat Tangkoko agar daerah
mereka menjadi daerah tujuan wisata seperti dua daerah lain
dalam penelitian ini. Pengorbanan yang dilakukan masyarakat
dapat diibaratkan sebagai investasi untuk perbaikan kesejahteraan
atau perbaikan nasib mereka di masa depan.
Tabel 8.1
Tingkat Parisipasi Masyarakat Menjaga Kenyamanan Tamu
Daerah/Tingkat
Partisipasi

Bunaken

Tinggi

Kimabajo

Tangkoko

X

X

Menengah
Rendah

X

Sumber: diolah dari data primer

Partisipasi dari masyarakat Bunaken yang berkaitan
dengan kenyamanan wisatawan tidak terlalu nampak seperti
Kimabajo dan Tangkoko. Hal ini karena kehadiran pengusaha
asing di sana sejak awal sudah bermasalah dengan penduduk lokal.
Wilayah yang menjadi lokasi resort merupakan sebuah enclave
yang terpisah dari penduduk lokal. Akibatnya penduduk tidak
180 
 

Pariwisata Bagi Masyarakat Lokal 

merasa mempunyai tanggung jawab terhadap kenyamanan
wisatawan. Sampai saat ini belum terjadi konflik terbuka antara
wisatawan dengan penduduk lokal, namun keadaan ini mungkin
menyimpan ketegangan yang bisa pecah suatu ketika. Singkatnya,
penduduk akan terlibat dalam menjaga ketenangan lingkungan
sosial jika mereka memperoleh manfaat langsung dari kehadiran
pengembangan pariwisata itu sendiri. Walaupun demikian, dalam
hal kesadaran lingkungan, masyarakat Bunaken cukup aktif.
Pembahasan tentang lingkungan akan diuraikan dalam bagian
berikut.
Partisipasi tidak bisa lepas dari modal sosial yang dibangun
dalam masyarakat. Kekuatan modal sosial ini dapat dilihat dari
keinginan bersama menjaga kenyamanan tamu. Jika ada keluhan
masyarakat dari berbagai golongan dan latar belakang duduk
bersama mencari solusi bersama. Dalam masyarakat yang
heterogen seoerti ini biasanya sulit menggalang dukungan dari
semua pihak. Di sini peran modal sosial menjadi sangat penting.
Dari beberapa kepustakaan bentuk modal sosial yang berkembang
di Bunaken dan Kimabajo adalah bridging social capital. Sedang
yang berkembang di Tangkoko lebih mengarah pada bonding
social capital. Kedua bentuk modal sosial di atas diungkapkan oleh
Putnam (2000), dalam bukunya yang menjadi acuan mereka yang
mempelajari topik ini.

Kesadaran Masyarakat Menjaga Lingkungan
Lingkungan menjadi masalah yang mendapat perhatian
dalam pengelolaan pariwisata di berbagai negara. Memang dalam
pengelolaan pariwisata yang berkelanjutan (sustainable tourism),
lingkungan selalu menjadi perhatian para pengambil kebijakan.
Perhatian terhadap lingkungan sebagai akibat tuntutan para
wisatawan yang lebih menghendaki keaslian suatu obyek wisata
(authenticity) (Wang, 1999). Suatu obyek wisata yang masih
terjaga keaslian akan menjadi incaran para wisatawan karena
181 
 

Pariwisata Bagi Masyarakat Lokal 

mereka sadar bahwa pada masa mendatang obyek seperti ini bisa
punah karena berbagai alasan. Misalnya, kebijakan pemerintah
yang keliru, pertumbuhan penduduk, dan kebijakan Tata Ruang
yang kurang jelas mempunyai potensi menghancurkan otensitas
sebuah obyek wisata. Dengan demikian pengembangan pariwisata
tidak bisa mengabaikan pelestarian lingkungan. Pembahasan lebih
lanjut adalah bagaimana kesadaran masyarakat lokal terhadap
lingkungan. Bentuk-bentuk partisipasi apa yang dilakukan
masyarakat menjaga lingkungan.
Tabel 8.2
Perbandingan Masalah Lingkungan di Bunaken, Kimabajo, dan
Tangkoko
Daerah/Kualitas
Masalah

Bunaken

Sangat
Bermasalah
Cukup

Kimabajo

Tangkoko

X

X

X

Bermasalah
Kurang
Bermasalah
Sumber: diolah dari data primer

Kondisi lingkungan yang dihadapi Kimabajo, Tangkoko,
dan Bunaken berbeda antara satu dengan yang lain. Dari Tabel 8.2
kita melihat tantangan yang dihadapi Bunaken lebih berat
dibandingkan dengan Kimabajo dan Tangkoko. Masalah
lingkungan yang di Bunaken adalah abrasi pantai dan sampah
yang mendarat di pantai. Pantai terus menyusut dengan cepat dan
ombak laut sudah hampir menerpa rumah penduduk. Masalah
aberasi ini adalah murni gejala alam yang tidak bisa diselesaikan
182 
 

Pariwisata Bagi Masyarakat Lokal 

masyarakat Bunaken. Masyarakat sendiri merasa frustrasi karena
mereka yang sering disalahkan sebagai penyebab abrasi.
Masyarakat sering dipersalahkan berkaitan dengan abrasi. Mereka
dituduh mengambil pasir untuk bangunan rumah sehingga pantai
yang tadinya landai berubah menjadi lebih curam. Penduduk
tidak menerima tuduhan tersebut. Mereka merasa bahwa abrasi
yang dialami merupakan dampak pemanasan global yang
membuat air laut naik lebih tinggi dari biasanya. Oleh karena itu
jangan ada yang disalahkan karena kondisi tersebut di luar
kekuasaan mereka. Terlepas dari itu semua penduduk berharap
ada upaya dari pemerintah mengatasi masalah abrasi. Namun dari
sisi lain pemerintah sendiri juga bingung dengan fenomena aberasi
ini dan belum banyak berbuat untuk berusaha mengatasinya
karena mungkin anggaran masih terbatas. Pemerintah belum
membangun pemecah ombak seperti yang diharapkan masyarakat
untuk menekan tingkat abrasi di sana.
Masalah lingkungan lain adalah sampah yang mengotori
pantai di Bunaken. Pada musim angin barat pantai Bunaken
dipenuhi sampah rumah tangga yang dibawa arus dan mengotori
beberapa pulau termasuk Bunaken. Penduduk merasa mereka
menjadi korban sampah kiriman dari kota Manado. Oleh karena
itu mereka merasa pemerintah daerah harus mengatasi masalah di
Manado agar Bunaken lepas dari kiriman sampah. Hal ini belum
terpecahkan karena masalah sampah menyangkut kesadaran
masyarakat mengelola sampah rumah tangga. Masih banyak
rumah tangga yang membuang sampah di sungai yang pada musim
hujan akan terbawa ke laut dan kemudian terbawa arus ke pulau
di sekitar kota Manado. Walaupun sudah ada penyadaran kepada
masyarakat, namun masih terjadi pembuangan sampah secara
sembarangan. Ketika sampah terdampar di Bunaken bukan saja
menjadi beban penduduk Bunaken sekarang, tapi dalam jangka
panjang akan menjadi masalah bagi pengembangan pariwisata itu
sendiri. Bagi masyarakat Bunaken lingkungan sudah mengancam
183 
 

Pariwisata Bagi Masyarakat Lokal 

tempat tinggal dan sekaligus tempat usaha mereka sehingga
mereka juga peduli terhadap masalah ini. Namun masalah yang
dihadapi masyarakat Bunaken menyangkut gejala alam di luar
kekuasaan mereka maka untuk pemecahan mereka meminta
bantuan dari pihak luar (pemerintah dan LSM). Temuan ini
sejalan dengan pendapat Denman bahwa ketika masyarakat
menghadapi masalah lingkungan yang mengancam eksistensi
mereka maka mereka akan sungguh-sungguh memberi perhatian.
Masalah lingkungan juga terlihat di Tangkoko namun
belum separah di Bunaken. Masalah yang sering ditemui di sana
adalah sampah plastik dan kaleng yang ditinggalkan para
wisatawan ketika mengunjungi hutan Tangkoko. Sampah yang
dibiarkan berserakan bukan saja mengganggu pemandangan tapi
mengancam habitat satwa dan tanaman yang ada di sana. Memang
ini masih menjadi masalah karena belum ada fasilitas pembuangan
sampah yang memadai. Memang pada awalnya pemerintah
membuat tempat penampungan sampah namun setelah beberapa
waktu tempat sampah tersebut rusak dan tidak ada pergantian.
Kondisi ini yang menyebabkan para wisatawan (pada umumnya
wisatawan lokal) membuang sampah di sembarang tempat.
Kimabajo yang memang paling tidak merasakan masalah
lingkungan secara serius. Daerah ini belum mengalami abrasi
seperti yang terjadi di Bunaken. Memang ada masalah sampah
kiriman tapi tidak separah Bunaken. Selain itu hampir seluruh
wilayah Kimabajo menjadi daerah pemukiman sehingga penduduk
dapat mengelola sampah dengan baik dan lingkungan lebih terjaga
dengan baik. Selain itu resort yang ada di daerah ini tidak
membuang sampah sembarangan yang membuat polusi di
Kimabajo. Kimabajo adalah salah satu contoh masyarakat dengan
modal sosial yang kuat berusaha menjaga lingkungan agar tertata
secara baik.

184 
 

Pariwisata Bagi Masyarakat Lokal 

Dari paparan di atas, suatu hal yang menarik adalah
melihat hubungan kegiatan pariwisata dan pelestarian lingkungan.
Masyarakat dengan secara sukarela mengatasi masalah sampah
agar lingkungan mereka selalu terjaga. Dengan kata lain, inisiatif
membersihkan lingkungan berasal dari masyarakat sendiri dan
bukan oleh pemerintah. Inisiatif masyarakat ini muncul karena
kehidupan ekonomi mereka sangat tergantung pada pelestarian
lingkungan. Oleh karena itu mereka secara spontan terlibat
membersihkan lingkungan dari sampah agar satwa dan fauna yang
ada di sana jangan sampai terkontaminasi virus atau penyakit.
Selain itu masyarakat juga menjaga agar satwa dan fauna yang
hidup di sana jangan sampai dirusak para wisatawan. Singkatnya,
ketergantungan masyarakat Tangkoko terhadap alam mendorong
mereka menjaga habitat yang ada di lingkungan mereka. Memang
ini menarik karena walaupun hutan tersebut milik pemerintah
tapi pelestarian hutan dilakukan masyarakat. Hubungan antara
pariwisata dan lingkungan merupakan suatu hubungan yang
sifatnya simbiosis. Lingkungan yang baik mendorong pariwisata
berkembang dan sebaliknya pariwisata mendorong masyarakat
menjaga lingkungan mereka. Keterlibatan masyarakat menjaga
lingkungan sudah diungkapkan beberapa penulis (Denman, 2001;
Davies dan Cahill, 2000). Pada intinya para penulis tersebut
mengatakan bahwa masyarakat yang berada di sekitar obyek
wisata mempunyai kepedulian yang tinggi terhadap pelestarian
lingkungan. Oleh karena itu pelibatan masyarakat sekitar dalam
pelestarian lingkungan menjadi penting. Seluruh masyarakat dari
tiga lokasi penelitian ini menunjukkan kepeduliannya terhadap
lingkungan. Yang paling menonjol kepeduliannya terhadap
lingkungan adalah masyarakat Tangkoko oleh karena sumber
pendapatan mereka sangat tergantung pada lingkungan yang
lestari. Temuan ini mendapat dukungan dari pendapat Davies dan
Cahill.

185 
 

Pariwisata Bagi Masyarakat Lokal 

Pengembangan Kapasitas Masyarakat
Ketika membahas tentang partisipasi dalam kaitan dengan
perkembangan pariwisata kita harus memperhatikan kapasitas
masyarakat. Sering terjadi masyarakat menjadi penonton ketika
pariwisata berkembang di suatu daerah mereka karena kapasitas
mereka untuk terlibat dalam kegiatan pariwisata. Kapasitas yang
dimaksud di sini adalah ketrampilan dan pengetahuan yang
dimiliki anggota masyarakat yang memungkinkan mereka ambil
bagian dalam kegiatan pariwisata baik sebagai pekerja maupun
sebagai pengusaha. Dengan kata lain kapasitas masyarakat
berkaitan erat dengan modal manusia yang ada dalam masyarakat
tersebut. Sebagai bagian dari modal manusia maka stok kapasitas
yang dimiliki anggota masyarakat bisa dilihat sebagai bentuk
investasi yang dilakukan keluarga atau pemerintah. Investasi
modal manusia yang dilakukan keluarga dengan maksud
mempersiapkan anggota keluarga agar bisa mandiri secara
ekonomi sehingga dapat membantu ekonomi keluarga pada masa
depan. Jika pemerintah daerah yang melakukan investasi tentu
dengan maksud agar tenaga tersebut dapat berpartisipasi dalam
aktivitas pembangunan di daerah tersebut. Berikut ini saya akan
membahas program pengembangan kapasitas di tiga wilayah yang
menjadi obyek penelitian.
Berdasarkan pengamatan empiris di tiga wilayah,
Bunaken, Kimabajo, dan Tangkoko, kapasitas yang dimiliki
masyarakat lokal untuk berpartisipasi dalam kegiatan pariwisata
masih lemah. Hal ini yang membuat mengapa pada awal
pengembangan pariwisata di masing-masing daerah itu
masyarakat lokal cenderung menjadi penonton. Memang ada
diantara anggota masyarakat mencapai jejang pendidikan formal
tertentu, pada umumnya tamatan sekolah menengah umum
(SMU), sehingga tidak mempunyai pengetahuan dan ketrampilan
khusus yang berkaitan dengan pariwisata. Dalam situasi
kekosongan ketrampilan seperti ini mau tidak mau pengusaha
186 
 

Pariwisata Bagi Masyarakat Lokal 

akan mendatangkan pekerja dari luar daerah. Disini muncul
dilema karena di satu pihak ada keinginan agar pengembangan
pariwisata dapat menyerap tenaga kerja lokal namun dari sisi
modal manusia mereka tidak memenuhi syarat. Sebaliknya jika
tidak diijinkan maka kemungkinan besar para pengusaha siap
membatalkan keputusan berusaha di daerah tersebut.
Akhirnya, masyarakat lokal juga harus berkompromi agar
pengusaha merekrut tenaga khusus yang memang tidak tersedia di
daerah tersebut, dan masyarakat lokal harus bisa menerima
menduduki posisi yang kurang strategis. Setelah mendapatkan
gambaran kapasitas yang dimiliki masyarakat lokal di tiga wilayah
penelitian yang masih lemah, kita dapat menarik kesimpulan
bahwa masyarakat membutuhkan pengembangan kapasitas. Tabel
8.3 menunjukan proses pemberdayaan berlangsung di Bunaken,
Kimabajo, dan Tangkoko.
Hal yang menarik di sini adalah masyarakat lokal belum
merasakan proses pemberdayaan yang dilakukan pemerintah.
Dari hasil wawancara di tiga daerah tersebut tidak ada satu pun
informan yang menyinggung bahwa masyarakat lokal pernah
merasakan proses pemberdayaan yang dilakukan pemerintah. Dari
hasil wawancara di tiga daerah tersebut tidak ada satu pun
informan yang menyinggung program pemberdayaan pemerintah
dalam rangka pengembangan pariwisata di tempat mereka
masing-masing. Barangkali upaya pemerintah telah melakukan
pemberdayaan untuk sektor lain tapi khusus sektor pariwisata
pemerintah belum menunjukkan peran mereka.
Sebaliknya di Bunaken, Kimabajo, dan Tangkoko untuk
masyarakat sangat berperan dalam pengembangan kapasitas
anggota rumah tangga mereka sendiri. Salah satu ketrampilan
yang banyak dibiayai masyarakat adalah peningkatan kemampuan
berbahasa Inggris. Pada umumnya masyarakat mau membiayai
sendiri kursus ini karena mereka butuhkan untuk menjalankan
187 
 

Pariwisata Bagi Masyarakat Lokal 

usaha atau bekerja. Keinginan membayar sendiri dapat dilihat
sebagai suatu kesadaran masyarakat tentang perlunya ketrampilan
tertentu jika mereka ingin turut berpartisipasi dalam kegiatan
pariwisata. Mereka sadar bahwa tidak mungkin ada perusahan
Tabel 8. 3
Pengembangan Kapasitas
Daerah/Pihakpihak Terkait

Bunaken

Kimabajo

Tangkoko

Pemerintah
LSM

X
X

Perusahan
Masyarakat

X

X

X

X

Sumber: diolah dari data primer

yang mau merekrut mereka jika tidak mempunyai ketrampilan
yang dibutuhkan. Dari sini jelas penduduk lokal mengetahui
tentang tuntutan dunia kerja yang professional yang didasarkan
pada prestasi. Kesadaran inilah yang menyebabkan penduduk
tidak protes jika perusahan merekrut tenaga kerja dari luar karena
ketrampilan yang dibutuhkan tidak tersedia dalam masyarakat
tersebut. Kursus bahasa Inggris tidak hanya diikuti mereka yang
mau bekerja pada resort tapi oleh mereka yang membuka usaha
penginapan kecil-kecilan. Ketrampilan berbahasa dibutuhkan para
pengusaha agar mereka bisa melayani tamu di penginapan mereka.
Peran aktif dari Lembaga Swadaya Masyarakat di dalam
pengembangan kapasitas masyarkat lokal dalam penelitian ini
dapat kita lihat di daerah Bunaken dan Tangkoko. Barangkali dua
daerah ini menjadi pilihan pemberdayaan karena yang menonjol
188 
 

Pariwisata Bagi Masyarakat Lokal 

di sana adalah masalah lingkungan. Biasanya lingkungan menjadi
masalah global yang mendapatkan perhatian lembaga-lembaga
internasional. Termasuk LSM juga berperan memberdayakan
penduduk lokal melestarikan hutan dan berbagai satwa dan fauna
yang hidup di dalamnya. Hal ini bisa dilihat pada pengalaman
Bunaken. LSM di Tangkoko sangat berperan melatih penduduk
menjadi guide yang menjaga lingkungan dan satwa dan fauna
yang ada di dalamnya. Namun karena hutan tersebut milik negara
sering terjadi ketegangan antara jagawana dan petugas dari Dinas
Kehutanan di sana.
Pengembangan kapasitas masyarakat sekitar wilayah
obyek wisata sudah dibahas oleh Cupples (2005), dan Aref dan
Redzuan (2009). Mereka berpendapat defisit kapasitas di suatu
daerah bisa menyebabkan dominasi pekerja dari luar daerah
terhadap pekerja lokal. Oleh karena itu perlu ada pengembangan
kapasitas masyarakat lokal sehingga mereka tidak menjadi
penonton kegiatan pariwisata di daerah mereka sendiri. Selain itu
pengembangan kapasitas akan turut menghapus kemiskinan di
suatu daerah wisata (Ashley, 2001). Hasil penelitian ini
menunjukan ada pengembangan kapasitas yang dilakukan LSM
dan masyarakat sendiri. LSM berkepentingan untuk upaya
mengembangkan kapasitas masyarakat Tangkoko karena
keprihatinan mereka dengan pelestarian lingkungan. Sejalan
dengan pendapat Ashley, LSM dan masyarakat melakukan
pengembangan ketrampilan masyarakat sekitar obyek wisata di
Bunaken, Kimabajo, dan Tangkoko agar masyarakat bisa
memperbaiki kesejahteraan ekonomi mereka. Dalam hal
pengembangan kapasitas pemerintah belum berbuat banyak.

Konflik dalam Pengembangan Pariwisata
Pengembangan pariwisata tidak lepas dari konflik baik
antara masyarakat dengan wisatawan, pengusaha, pemerintah dan
bahkan antara anggota masyarakat sendiri. Konflik yang dimaksud
189 
 

Pariwisata Bagi Masyarakat Lokal 

di sini bisa berupa perlawanan yang sifatnya terbuka hingga
ketegangan sosial antar dua kelompok sosial. Perlawanan terbuka
bisa berupa perlawanan fisik. Sedangkan ketegangan sosial bisa
berupa protes sosial baik secara terbuka maupun tersembunyi.
Sebenarnya protes tersebut juga bisa dilihat sebagai bentuk
perlawanan seperti yang diungkapkan oleh James Scott (2000).
Khusus mengenai Scott akan dibahas lebih lanjut pada bagian lain
dalam bab ini.
Potensi konflik antara masyarakat dengan wisatawan bisa
muncul sebagai akibat perbedaan nilai kultural. Misalnya, ada
komunitas masyarakat belum bisa menerima jika wisatawan yang
mengenakan pakaian minim berkeliling di sekitar tempat tinggal
penduduk. Konflik juga bisa terjadi antara masyarakat dengan
pengusaha. Konflik semacam ini karena perebutan lahan ekonomi
karena adanya Pariwisata. Lebih lanjut konflik bisa terjadi juga
antara pemerintah dengan kelompok masyarakat lokal. Kebijakan
pemerintah juga bisa diterima masyarakat secara negatif karena
kebijakan tersebut mengancam sumber ekonomi mereka. Mereka
juga bisa melawan karena dampak kebijakan yang dibuat
pemerintah telah menempatkan mereka sebagai pemain pinggiran
dalam pengembangan pariwisata. Akhirnya, konflik juga bisa
terjadi antar masyarakat karena kompetisi mendapatkan tamu.
Dalam bagian ini kita akan coba melihat peta konflik karena
pengembangan pariwisata di tiga wilayah penelitian dan karena
penyebabnya.
Dari tabel 8.4 terlihat bahwa potensi konflik antara
masyarakat dan pemerintah terjadi di hampir semua daerah
sedangkan konflik dengan pengusaha hanya terjadi di Bunaken.
Konflik yang terjadi di Bunaken antara masyarakat dengan
pemerintah, dan pengusaha karena masyarakat merasa seolah-olah
tersingkir dari wilayah mereka dengan kehadiran pengusaha dari
luar. Penduduk yang merasa sebagai orang asli yang selama ini
190 
 

Pariwisata Bagi Masyarakat Lokal 

mendiami Bunaken hanya menjadi penonton ketika pariwisata
berkembang. Pemerintah daerah dianggap tidak berpihak kepada
penduduk lokal tapi lebih berpihak pada kepentingan pengusaha
Tabel 8. 4
Potensi Konflik berdasarkan Daerah
Daerah/Intensitas
Konflik

Bunaken

Kimabajo

Tangkoko

Pemerintah

X

X

X

Pengusaha

X

Antar Masyarakat
Sumber: diolah dari data primer

Ibarat makan roti, para pengusaha makan roti yang enak
dan penduduk makan remah-remah. Di sini kemudian muncul
potensi perlawanan masyarakat terhadap pemerintah dan
pengusaha. Memang sampai saat ini perlawanan tersebut masih
terkontrol karena kebutuhan sehari-hari masih mudah diperoleh,
namun keadaan ini bisa berubah menjadi konflik terbuka pada
masa mendatang jika sumber kehidupan sehari-hari sudah tidak
bisa terpenuhi.
Hubungan antara pemenuhan kebutuhan pokok dan
konflik pernah dibahas oleh James Scott (1981). Scott dalam
tulisan ini mencoba memperbaiki kelompok Marxist yang
berpendapat bahwa eksploitasi kelompok masyarakat dominan
selalu berakhir pada perlawanan masyarakat tertindas. Scott
mencoba memperbaiki pendapat di atas bahwa tidak semua
bentuk eksploitasi serta merta akan selalu mendapat perlawanan.
Dalam buku tersebut Scott melihat bahwa masyarakat baru
melawan jika kebutuhan subsisten mereka mulai terancam. Dalam
191 
 

Pariwisata Bagi Masyarakat Lokal 

hal ini dia melihat perlawanan terhadap negara karena pajak yang
dikenakan kepada masyarakat sudah mengancam pemenuhan
kebutuhan subsisten. Lebih lanjut, dalam bukunya yang kemudian
Scott mulai memperbaiki teorinya dengan mencoba memilah
bentuk perlawanan menjadi beberapa macam. Bentuk perlawanan
bisa keras dan terbuka dan bisa juga halus dan tersembunyi.
Bentuk perlawanan yang terjadi sehari-hari biasanya halus dan
tersembunyi, dan baru menjadi keras dan terbuka jika kebutuhan
pokok mereka terganggu. Dalam penelitian ini bentuk perlawanan
keras dan halus seperti yang diungkapkan Scott belum nampak di
Bunaken. Namun ketidakpuasan sudah mulai nampak dari obrolan
masyarakat lokal. Walaupun ini hanya baru berupa gerutuan
masyarakat namun sudah bisa dikatakan sebagai suatu bentuk
perlawanan kognitif. Bentuk perlawanan seperti ini terasa masih
tersebar secara individual dan belum terlihat merupakan gerakan
perlawanan bersama. Namun kondisi ini dapat menjadi cikal bakal
aksi perlawanan bersama jika masyarakat dapat mengorganisir diri
atau diorganisir pihak lain.
Konflik juga berkembang di Tangkoko antara jagawana
dan pegawai Dinas Kehutanan. Konflik mereka berkenaan dengan
kompetisi mengantar wisatawan yang ingin melihat satwa dan
fauna yang ada di Tangkoko. Jagawana pada umumnya adalah
masyarakat lokal yang kebanyakan juga adalah nelayan dan
petani. Mereka secara otodidak belajar bahasa Inggris dan belajar
tentang berbagai jenis satwa dan fauna yang ada di Tangkoko
sebagai modal menjadi pemandu wisata. Namun mereka selalu
bersaing dengan pegawai petugas Dinas Kehutanan yang merasa
mempunyai otoritas terhadap hutan Tangkoko. Di sini posisi
pegawai kehutanan lebih baik daripada pemandu wisata karena
pegawai kehutanan merasa mempunyai legitimasi kekuasaan dari
negara. Padahal seharusnya tidak terjadi demikian, karena pada
saat pegawai kehutanan menjalankan profesi sebagai pemandu
posisi mereka sama dengan masyarakat lokal yang menjadi
192 
 

Pariwisata Bagi Masyarakat Lokal 

pemandu. Oleh karena itu dalam persaingan ini para pegawai
kehutanan selalu dalam posisi lebih baik.
Persaingan antara para guide sebagai pemandu wisata
lokal dengan jagawana belum sampai pada konflik terbuka karena
masih ada hubungan keluarga diantara mereka. Para pemandu
lokal masih berhubungan kekeluargaan dengan para pegawai
kehutanan/jagawana tersebut melalui ikatan tali perkawinan.
Oleh karena masyarakat di sini masih beretika menjunjung tinggi
senioritas maka biasanya para pemandu yang rata-rata masih
muda memilih mengalah kepada senior mereka agar hubungan
kekeluargaan tidak hancur. Selain itu, para pemandu wisata masih
masih mempunyai sumber pendapatan alternatif yaitu, selain
menjadi pemandu juga bekerja sebagai petani dan nelayan.
Walaupun pendapatan sebagai petani dan nelayan tidak selalu
dapat diandalkan namun jika terjadi situasi yang mendesak kedua
pekerjaan tersebut dapat menopang kehidupan mereka seharihari. Situasi seperti yang digambarkan di atas yang dapat meredam
konflik terbuka antara masyarakat lokal dengan pegawai Dinas
Kehutanan yang nota bene adalah aparat pemerintah.
Tidak selamanya pengembangan pariwisata menimbulkan
konflik antara masyarakat dengan pengusaha. Kimabajo adalah
contoh masyarakat lokal menghindari konflik dengan pengusaha
luar. Memang relasi pengusha dan masyarakat lokal agak unik
dibanding dengan dua wilayah lain. Masyarakat Kimabajo
menunjukan tingkat ketergantungan yang tinggi terhadap dua
resort yang ada di sana. Dengan kata lain masyarakat Kimabajo
tidak mungkin menolak kehadiran pengusaha karena sumber
ekonomi utama mereka berasal dari sana. Selain itu kehadiran dua
resort tersebut telah mengangkat status mereka dari petani
menjadi pekerja. Memang terjadi ketegangan dengan aparat
pemerintah yang dianggap tidak transparan dalam pertanggung
jawaban keuangan tapi tidak sampai menjadi pertentangan

193 
 

Pariwisata Bagi Masyarakat Lokal 

terbuka. Namun secara menyeluruh terlihat hampir tidak terjadi
ketegangan yang berarti di Kimabajo.
Singkatnya, konflik yang terjadi berbeda antara satu
wilayah dengan wilayah yang lain. Masing-masing wilayah
menunjukkan pola dan intensitas konflik yang berbeda. Konflik
yang terjadi di Kimabajo lebih banyak melibatkan penduduk
dengan pejabat namun hampir tidak terjadi konflik dengan para
pengusaha. Usaha yang dikembangkan di Kimabajo berada di
tengah pemukiman penduduk, sehingga penduduk merasa usaha
resort tersebut adalah bagian dari penduduk. Di Tangkoko konflik
muncul sebagai akibat persaingan antara petugas dan para
pramuwisata. Di Tangkoko belum banyak pengusaha yang masuk
sehingga konflik dengan pengusaha hampir tidak ada. Lain hal di
Bunaken, konflik justru muncul antara pengusaha dan penduduk
lokal. Pemerintah juga ikut berperan meningkatkan konflik
dengan membuat kebijakan yang lebih berpihak pada pengusaha.
Kehadiran resort di Bunaken sebagai sebuah enclave yang terpisah
dari masyarakat menyebabkan masyarakat merasa tidak memiliki
usaha resort yang ada. Resort milik pengusaha adalah benda asing
di mata penduduk. Masyarakat yang juga berusaha dalam
penginapan, berkompetisi dengan pengusaha dari luar. Keadaan
ini yang menambah intensitas konflik dengan pengusaha semakin
kuat di Bunaken.
Lebih lanjut kemudian dari penelitian lapangan saya
hampir tidak menemukan konflik antar masyarakat lokal di tiga
wilayah tersebut. Hal ini tidak berarti tidak ada potensi konflik
antar masyarakat. Saya mengira ada konflik antar masyarakat
berkaitan dengan pengembangan pariwisata di masing-masing
daerah, namun konflik ini tidak muncul ke permukaan karena
cepat diselesaikan masyarakat sendiri. Jika memang demikian saya
menduga modal sosial di tiga wilayah tersebut ikut berperan
meredam konflik antar anggota masyarakat. Dalam masyarakat
pedesaan, modal sosial masih kuat dalam rangka menjaga
194 
 

Pariwisata Bagi Masyarakat Lokal 

ketentraman sosial. Hal ini dapat terlihat di Bunaken, Kimabajo
dan Tangkoko. Namun modal sosial yang berkembang di
Kimabajo lebih condong ke bridging social capital, Putnam (2000),
karena masyarakat ini berbeda beda dari segi etnis dan agama.
Sedang modal sosial yang berkembang di Bunaken dan Tangkoko
dapat disebut sebagai bonding social capital, Putnam, (2000),
karena masyarakat yang hidup di sana mempunyai ikatan
keluarga dari tali- temali perkawinan.
Hal yang juga menarik adalah penolakan masyarakat dari
ketiga wilayah tersebut terhadap masyarakat luar untuk bekerja
atau berusaha di daerah mereka. Masyarakat lokal menganggap
kehadiran pariwisata selayaknya dinikmati mereka yang berdiam
di daerah itu. Penolakan ini menunjukan bahwa masyarakat lokal
menganggap kehadiran pariwisata sebagai berkah yang disediakan
untuk mereka. Penolakan terhadap orang luar dapat dilihat
sebagai upaya masyarakat lokal mengurangi kompetisi antar
mereka (masyarakat lokal sendiri). Sebelum orang luar datang
kompetisi sudah muncul antar sesama anggota masyarakat dan jika
orang luar dibiarkan masuk kompetisi akan semakin ketat. Jika
kompetisi semakin ketat bisa terjadi masyarakat akan menjadi
sangat individualistis yang pada akhirnya melemahkan modal
sosial masyarakat. Dengan kata lain, penolakan terhadap orang
luar adalah strategi masyarakat lokal memelihara modal sosial
yang hidup di daerah mereka masing-masing.
Beberapa penelitian telah menunjukan konflik yang
muncul sebagai akibat pengembangan pariwisata (Rowe, et al,
2002; Ashley, 2000; Pandey, et al, 1995). Misalnya, Ashley dalam
penelitian di Namibia menemukan konflik antara masyarakat
lokal dengan petugas konservasi. Hal yang sama saya temukan di
Tangkoko, penduduk lokal berbenturan kepentingan dengan
petugas dari Dinas Kehutanan. Dari Kimabajo saya menemukan
penduduk sempat tegang dengan pengusaha karena akses ke
pantai terhambat bangunan resort. Hal ini juga ditemukan Karim
195 
 

Pariwisata Bagi Masyarakat Lokal 

(2008), yang melihat penduduk memprotes pembangunan sarana
pariwisata di Kenya menghambat akses penduduk terhadap
sumber mata air minum. Selain itu Uddhammar (2006),
mengungkapkan ketidakpuasan masyarakat terhadap pemerintah
Afrika Selatan karena hak masyarakat atas hutan tidak diakui.
Masalah yang diungkapkan terakhir ini juga dialami penduduk
Bunaken dan Tangkoko.

Kebijakan Pengembangan Pariwisata
Kebijakan pariwisata di Provinsi Sulawesi Utara selama ini
le