HUBUNGAN ANTARA MEMBACA PEMAHAMAN DENGAN KEMAMPUAN MENYELESAIKAN SOAL CERITA MATEMATIKA PADA SISWA KELAS IV SD SE-GUGUS KARANGMOJO III GUNUNGKIDUL.

(1)

1 BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Salah satu bagian dari pembangunan nasional adalah di bidang pendidikan. Pendidikan mempunyai peranan penting dalam menciptakan sumber daya manusia yang berkualitas. Sumber daya ini merupakan aset penting dalam melaksanakan pembangunan nasional sehingga dapat memajukan bangsa dan negara serta mampu bersaing di tengah kehidupan yang semakin global.

Sistem pendidikan di Indonesia diatur oleh Undang-undang Nomor 20 Tahun 2003. Pasal 17 ayat 1 tercantum bahwa pendidikan dasar merupakan jenjang pendidikan yang melandasi jenjang pendidikan menengah. Jelas, pendidikan dasar sebagai pondasi awal untuk melanjutkan jenjang pendidikan selanjutnya yang lebih tinggi.

Sekolah Dasar merupakan salah satu bentuk pendidikan dasar yang akan memberikan berbagai bekal bagi siswa. Suharjo (2006: 1) menambahkan pendidikan di Sekolah Dasar dimaksudkan untuk memberikan bekal kemampuan dasar kepada anak didik berupa pengetahuan, keterampilan, dan sikap yang bermanfaat bagi dirinya sesuai tingkat perkembangannya dan mempersiapkan mereka melanjutkan ke jenjang pendidikan sekolah menengah pertama.

Sebagai lembaga pendidikan, sekolah memegang peranan penting dalam menciptakan generasi penerus yang berkualitas. Di sinilah peran guru sangat penting dalam keberhasilan pembelajaran. Seperti pendapat Wina Sanjaya (2008: 15), keberhasilan suatu sistem pembelajaran, guru merupakan komponen yang


(2)

2

menentukan. Hal ini dikarenakan guru sebagai orang yang secara langsung berhadapan dengan siswa.

Tugas guru di Sekolah Dasar yaitu mendidik, mengajar, dan melatih. Mendidik merupakan tugas utama dalam menyiapkan siswa menjadi manusia yang berkepribadian baik. Selain itu, guru memiliki tugas untuk mengajarkan konsep-konsep dasar secara benar di setiap materi pembelajaran dan merancang lingkungan belajar sehingga siswa dapat belajar secara efektif dan efisien. Tugas guru yang lainnya yaitu melatih siswa dengan keterampilan dasar sebagai bekal hidup di masyarakat.

Di era seperti sekarang ini, siswa dituntut dapat menguasai berbagai ilmu pengetahuan dan teknologi. Kemajuan IPTEK tidak lepas dari peranan bahasa sebagai alat berkomunikasi baik lisan maupun tertulis. Sabarti Akhadiah, dkk (1992/1993: 2) mengemukakan, peranan bahasa yaitu sarana utama dalam berpikir dan bernalar. Manusia berpikir tidak hanya menggunakan otak, melainkan juga bahasa. Bahasa digunakan oleh manusia untuk mengemukakan pikiran, perasaan, dan sikapnya baik lisan maupun tertulis. Seperti halnya yang dikemukakan oleh Burhan Nurgiyantoro (2012: 351) bahwa dalam kenyataan kehidupan, sebagian besar informasi diterima manusia lewat saluran bunyi atau tulisan, maka betapa penting kompetensi berbahasa bagi kehidupan kita. Oleh karena itu, bahasa sangat berperan dalam kehidupan sehari-hari sehingga diperlukan keterampilan berbahasa.

Keterampilan berbahasa dikembangkan dalam pembelajaran Bahasa Indonesia di Sekolah Dasar. Tujuannya agar siswa memiliki kemampuan berbahasa Indonesia yang baik dan benar, secara lisan maupun tertulis. Ada empat aspek


(3)

3

keterampilan berbahasa yaitu menyimak, membaca, berbicara, dan menulis. Keempat keterampilan inilah sebagai modal siswa dalam berkomunikasi sehari-hari.

Membaca merupakan salah satu keterampilan berbahasa yang tidak dapat lepas dari kehidupan sehari-hari. Berbagai informasi sebagian besar disampaikan melalui media cetak bahkan yang melalui lisan pun juga bisa dilengkapi dengan tulisan. Melalui membaca, siswa dapat memperoleh pengetahuan, ilmu, dan informasi yang sebanyak-banyaknya. Farida Rahim (2008: 1) berpendapat bahwa masyarakat yang gemar membaca memperoleh pengetahuan dan wawasan baru yang akan semakin meningkatkan kecerdasannya sehingga mereka lebih mampu menjawab tantangan hidup pada masa-masa mendatang.

Pembelajaran membaca di Sekolah Dasar dibedakan menjadi dua yaitu membaca permulaan dan membaca lanjut. Membaca permulaan diberikan di kelas I dan II, sedangkan membaca lanjut diberikan sejak kelas III. Tujuan membaca lanjut menurut Sabarti Akhadiah, dkk (1992/1993: 37) adalah agar siswa mampu memahami, menafsirkan, dan menghayati isi bacaan. Pendapat tersebut juga didukung oleh Depdiknas (2009: 1) bahwa membaca lanjut menitikberatkan pada pemahaman teks. Pembelajaran membaca lanjut ini diberikan melalui subpokok bahasan membaca pemahaman.

Kemampuan membaca pemahaman tidak diperoleh secara turun-temurun, melainkan dari proses belajar secara tekun. Apabila pembelajaran membaca pemahaman diselenggarakan dengan baik, maka akan memberikan dampak positif terhadap keberhasilan belajar siswa pada masa mendatang. Melalui pembelajaran membaca pemahaman yang dirancang dan dilaksanakan dengan baik, siswa tidak


(4)

4

saja memperoleh peningkatan dalam kemampuan bahasanya, melainkan juga dalam kemampuan bernalar, kreativitas, dan penghayatannya tentang nilai-nilai moral (Sabarti Akhadiah, 1992/1993: 37).

Akan tetapi, pembelajaran membaca saat ini kurang mendapatkan perhatian yang baik. Seperti yang dikemukakan oleh Pelly (Haryadi dan Zamzani, 1996/1997: 75) pelajaran membaca dan menulis yang dulu merupakan pelajaran dan latihan pokok kini kurang mendapatkan perhatian, baik dari para siswa maupun para guru. Siswa kurang memiliki motivasi untuk membaca.

Di dalam proses pembelajaran, guru diharapkan dapat merancang kegiatan membaca sedemikian rupa sehingga mampu menumbuhkan motivasi siswa dalam belajar membaca. Siswa yang memiliki motivasi tinggi dalam membaca, akan semakin tinggi pula keterampilannya dalam memahami isi/informasi yang diperoleh. Untuk itu, diperlukan metode yang bervariasi dan menarik dalam pembelajaran membaca agar tidak terkesan monoton.

Kenyataan di lapangan, sebagian besar siswa kurang memiliki motivasi dalam membaca. Seperti dari observasi di dua Sekolah Dasar Gugus Karangmojo III bahwa pada jam istirahat siswa lebih senang jajan dan bermain bersama teman-temannya daripada mengunjungi perpustakaan untuk membaca buku. Siswa juga melakukan kegiatan membaca apabila ada tugas dari guru dan saat akan ulangan sedangkan pada waktu luang seperti sepulang sekolah atau hari libur, digunakan untuk bermain dan menonton televisi.

Dari hasil wawancara dengan guru kelas IV di SD Karangmojo III mengemukakan bahwa kemampuan membaca pemahaman siswa masih tergolong


(5)

5

rendah. Pada saat pembelajaran membaca pemahaman, siswa melakukan kegiatan membaca suatu bacaan. Selanjutnya siswa berdiskusi dengan teman satu meja untuk menemukan ide pokok dan menuliskan kalimat utama setiap paragraf dari bacaan. Di samping itu, siswa juga menjawab pertanyaan sesuai isi bacaan. Dalam kegiatan tersebut, siswa berkonsentrasi penuh agar dapat memahami bacaan. Akan tetapi, siswa cenderung kurang berkonsentrasi sehingga pemahaman terhadap isi bacaan menjadi kurang. Hal tersebut ditunjukkan dari sebagian besar siswa mengalami kesulitan dalam menemukan ide pokok dan menuliskan kalimat utama setiap paragraf meskipun guru telah menjelaskan sebelumnya. Jawaban yang diberikan siswa berkaitan dengan isi bacaan pun juga masih kurang tepat.

Selain itu, dari hasil wawancara dengan guru kelas IV SD Gendangan menjelaskan bahwa kemampuan siswa dalam memahami isi bacaan masih kurang. Pada saat siswa membaca suatu bacaan, ada beberapa siswa yang membacanya bersuara dengan disertai mulut bergerak dan menggunakan alat bantu dalam membaca seperti telunjuk tangan ataupun pena. Hampir semua siswa masih membuka kembali bacaan yang sudah dibaca untuk menjawab pertanyaan sesuai isi bacaan. Bahkan meskipun sudah membuka kembali bacaan, jawaban yang diberikan oleh siswa masih banyak yang kurang tepat.

Padahal kemampuan membaca pemahaman itu penting. Melalui kegiatan membaca pemahaman, siswa tidak hanya memperoleh wawasan luas, tetapi juga sebagai bekal dalam menguasai mata pelajaran lainnya. Burhan Nurgiyantoro (2012: 370) mengemukakan kompetensi membaca yang baik diperlukan dan menjadi prasyarat untuk dapat membaca dan memahami berbagai literatur mata pelajaran


(6)

6

yang lain. Senada dengan hal itu, Sabarti Akhadiah, dkk (1992/1993: 14) berpendapat, pengajaran membaca akan sangat membantu siswa dalam memahami bidang ilmu yang dipelajari melalui mata pelajaran lain. Contohnya mata pelajaran IPS, IPA, PKn, dan matematika khususnya pada soal cerita.

Menurut Ebbutt dan Straker (Marsigit, 2003: 2) mendefinisikan matematika sekolah yang selanjutnya disebut sebagai matematika merupakan kegiatan penelusuran pola dan hubungan, kreativitas yang memerlukan imajinasi, intuisi, dan penemuan, kegiatan pemecahan masalah, dan sebagai alat komunikasi. Melalui matematika diharapkan siswa memliki kemampuan berpikir logis, analitis, sistematis, kritis, dan kreatif, serta kemampuan bekerja sama dalam memecahkan masalah. Dalam memecahkan masalah perlu dikembangkan keterampilan memahami masalah, membuat model matematika, menyelesaikan masalah, dan menafsirkan solusinya.

Pemecahan masalah di dalam matematika terdapat dalam soal cerita. Seperti yang dikemukakan oleh Erman Suherman, dkk (2001: 85) pemecahan-masalah matematika termasuk dalam soal cerita. Melalui soal cerita, siswa dilatih untuk mengembangkan kemampuan berpikir logis, analitis, dan penalaran terhadap isi permasalahan. Isi permasalahan tersebut diambil dari kejadian sehari-hari yang lebih dekat dengan kehidupan anak (Erman Suherman, dkk, 2001: 88). Di sinilah keterampilan siswa dalam memahami soal cerita dibutuhkan. Siswa dapat memahami soal dengan baik melalui kegiatan membaca pemahaman.

Dari hasil observasi di gugus Karangmojo III hampir semua siswa menganggap matematika sebagai mata pelajaran yang sulit dan menakutkan sehingga siswa menjadi kurang tertarik untuk belajar. Akibatnya, siswa mengalami kesulitan


(7)

7

dalam mengerjakan soal cerita. Kesulitan tersebut dikarenakan kurangnya kemampuan siswa dalam memahami soal yang menjadi fokus permasalahan. Saat menyelesaikan soal cerita, siswa cenderung membutuhkan waktu yang lama. Ada juga yang berulang-ulang dalam membaca soal hanya untuk menemukan permasalahannya. Meskipun dapat menyelesaikan soal, tetapi jawabannya juga kurang tepat. Selain itu, ada siswa yang kurang teliti dalam mengerjakan soal karena ingin cepat selesai sehingga hanya membaca soal dengan sekilas. Padahal mengerjakan soal cerita dibutuhkan ketelitian baik teliti dalam memahami permasalahan dan menerjemahkan soal ke dalam kalimat matematika.

Depdiknas (2009: 111) berpendapat, pada umumnya soal cerita kurang dapat dikuasai oleh para siswa. Penyebabnya adalah siswa kurang paham terhadap tahapan-tahapan dalam menyelesaikan suatu soal cerita. Tahapan yang dimaksud antara lain mendata hal-hal yang diketahui, mencermati apa yang ditanyakan, dan menyelesaikan masalah yang termuat dalam soal. Ketiga tahapan itu membutuhkan kemampuan memahami soal sehingga nantinya dapat menyelesaikan soal dengan benar. Kemampuan memahami soal inilah yang dilakukan siswa melalui membaca pemahaman.

B. Identifikasi Masalah

Berdasarkan latar belakang masalah, maka permasalahan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut.

1. Kurangnya motivasi siswa dalam membaca.

2. Rendahnya kemampuan membaca pemahaman siswa kelas IV. 3. Kurangnya konsentrasi siswa dalam membaca pemahaman.


(8)

8

4. Anggapan siswa bahwa mata pelajaran matematika itu sulit dan menakutkan. 5. Kurangnya kemampuan siswa kelas IV dalam menyelesaikan soal cerita

matematika.

6. Ketidaktelitian siswa dalam menyelesaikan soal cerita matematika. C. Pembatasan Masalah

Berdasarkan identifikasi masalah di atas, maka peneliti membatasi pada kemampuan membaca pemahaman siswa kelas IV dan kemampuan menyelesaikan soal cerita matematika.

D. Rumusan Masalah

Berdasarkan pembatasan masalah di atas, maka rumusan masalah dalam penelitian ini adalah sebagai berikut. Sejauh mana hubungan antara membaca pemahaman dengan kemampuan menyelesaikan soal cerita matematika pada siswa kelas IV SD se-Gugus Karangmojo III Gunungkidul?

E. Tujuan Penelitian

Berdasarkan rumusan masalah di atas, maka tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui hubungan antara membaca pemahaman dengan kemampuan menyelesaikan soal cerita matematika pada siswa kelas IV SD se-Gugus Karangmojo III Gunungkidul.

F. Manfaat Penelitian 1. Manfaat Teoritis

Menambah wawasan untuk digunakan pada penelitian selanjutnya. 2. Manfaat Praktis


(9)

9

Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan masukan kepada sekolah agar lebih meningkatkan motivasi siswa dalam membaca.

b. Guru

Dapat menciptakan lingkungan belajar yang nyaman dan menyenangkan agar siswa dapat mengembangkan kemampuan membaca terlebih membaca pemahaman sehingga dapat memudahkan siswa dalam menguasai ilmu lain. c. Siswa

1) Menumbuhkan motivasi siswa agar gemar membaca.

2) Memberikan pemahaman kepada siswa bahwa kemampuan membaca pemahaman itu penting dalam rangka menguasai ilmu lainnya, salah satunya dalam memecahkan masalah matematika dalam bentuk soal cerita.

d. Masyarakat

1) Memberikan pengetahuan bagi masyarakat tentang pentingnya membaca dan kaitannya dengan ilmu lain.

2) Memotivasi masyarakat dalam meningkatkan kegiatan membaca. G. Definisi Operasional Variabel

1. Membaca pemahaman adalah suatu kegiatan siswa sehingga dapat menjawab pertanyaan sesuai isi bacaan, menyebutkan contoh penerapan ide/isi bacaan dalam kehidupan sehari-hari, menentukan kalimat utama setiap paragraf, dan menentukan ide pokok setiap paragraf.


(10)

10

2. Kemampuan menyelesaikan soal cerita adalah keterampilan menyelesaikan soal-soal matematika dalam bentuk cerita atau bacaan pada materi penjumlahan dan pengurangan bilangan bulat yang berkaitan dengan kehidupan sehari-hari.


(11)

11 BAB II KAJIAN TEORI

A. Membaca

1. Pengertian Membaca

Membaca adalah suatu proses yang dilakukan serta dipergunakan oleh pembaca untuk memperoleh pesan yang hendak disampaikan oleh penulis melalui media kata-kata/bahasa tulis (Henry Guntur Tarigan, 2008: 7). Pendapat tersebut didukung oleh Sabarti Akhadiah, dkk (1992/1993: 22), membaca adalah suatu kesatuan kegiatan yang terpadu yang mencakup beberapa kegiatan seperti mengenali huruf dan kata-kata, menghubungkannya dengan bunyi serta maknanya, serta menarik kesimpulan mengenai maksud bacaan.

Menurut Soedarso (2005: 4) membaca adalah aktivitas yang kompleks dengan mengerahkan sejumlah besar tindakan yang terpisah-pisah, misalnya pembaca harus menggunakan pengertian dan khayalan, mengamati, dan mengingat-ingat untuk memperoleh informasi dalam bacaan. Senada dengan pendapat tersebut, Anderson, dkk, 1985 (Sabarti Akhadiah, dkk (1992/1993: 22) menjelaskan membaca adalah suatu proses untuk memahami makna suatu tulisan. Kemampuan membaca merupakan kemampuan yang kompleks yang menuntut kerja sama antara sejumlah kemampuan. Untuk dapat membaca suatu bacaan, seseorang harus dapat menggunakan pengetahuan yang sudah dimilikinya.

Pada saat membaca, mata akan mengenali kata sedangkan pikiran menghubungkannya dengan maknanya. Makna-makna kata dihubungkan menjadi makna frase, klausa, kalimat, dan pada akhirnya makna seluruh bacaan. Pembaca akan memperoleh pemahaman bacaan secara menyeluruh dengan cara


(12)

12

menghubungkan pengetahuan yang telah dimiliki sebelumnya, misalnya konsep-konsep pada bacaan tentang bentuk kata, struktur kalimat, ungkapan, dan lain-lain. Oleh karena itu, pada waktu membaca, pikiran juga sekaligus memproses informasi dalam bacaan sehingga membaca merupakan suatu proses yang kompleks.

Menurut Nurhadi (2010: 13-14) membaca adalah suatu proses yang kompleks dan rumit. Kompleks artinya dalam proses membaca terlibat berbagai faktor internal dan faktor eksternal pembaca. Faktor internal dapat berupa intelegensi (IQ), minat, sikap, bakat, motivasi, tujuan membaca, dan sebagainya. Faktor eksternal bisa dalam bentuk sarana membaca, teks bacaan (sederhana-berat, mudah-sulit), faktor lingkungan, atau faktor latar belakang sosial ekonomi, kebiasaan, dan tradisi membaca. Rumit bahwa faktor internal dan eksternal saling bertautan atau berhubungan, membentuk semacam koordinasi yang rumit untuk menunjang pemahaman terhadap bacaan.

Berdasarkan pendapat di atas, dapat disimpulkan membaca adalah suatu proses yang kompleks dan rumit dalam memahami makna tulisan yang mencakup beberapa kegiatan seperti mengenali huruf dan kata-kata, menghubungkannya dengan bunyi dan maknanya, serta menarik kesimpulan dengan tujuan memperoleh pesan yang disampaikan oleh penulis.

2. Jenis-jenis membaca

Henry Guntur Tarigan (2008: 13) membedakan jenis-jenis membaca menjadi dua macam, yaitu: 1) membaca nyaring dan 2) membaca dalam hati. Untuk keterampilan pemahaman, yang paling tepat adalah membaca dalam hati, yang terdiri dari:


(13)

13 1) membaca ekstensif, dan

2) membaca intensif.

Membaca ekstensif berarti membaca secara luas. Objeknya meliputi sebanyak mungkin teks dalam waktu yang sesingkat mungkin. Tuntutan kegiatan membaca ekstensif adalah untuk memahami isi yang penting-penting dengan cepat sehingga dengan demikian membaca secara efisien dapat terlaksana (Henry Guntur Tarigan, 2008: 32). Membaca ekstensif meliputi membaca survei, sekilas, dan dangkal.

Membaca intensif lebih mengutamakan pada pengertian, pemahaman yang mendalam, dan terperinci (Henry Guntur Tarigan, 2008: 37). Membaca intensif dibagi atas membaca telaah isi dan telaah bahasa. Membaca telaah isi meliputi membaca teliti, pemahaman, kritis, dan membaca ide-ide sedangkan membaca telaah bahasa terdiri dari membaca bahasa dan sastra. Berdasarkan jenis-jenis membaca yang telah diuraikan di atas, maka dalam penelitian ini difokuskan pada jenis membaca pemahaman.

3. Membaca Pemahaman

Samsu Somadayo (2011: 11) menyatakan membaca pemahaman adalah kegiatan membaca yang berusaha memahami isi bacaan/teks secara menyeluruh. Menurut Syafi’ie (Samsu Somadayo, 2011: 9) membaca pemahaman adalah suatu proses membangun pemahaman wacana tulis. Proses ini terjadi dengan cara menjodohkan atau menghubungkan skemata pengetahuan dan pengalaman yang telah dimiliki sebelumnya dengan isi informasi dalam wacana. Pengetahuan dan pengalaman tersebut nantinya akan memudahkan pembaca dalam membentuk pemahaman terhadap wacana yang dibaca.


(14)

14

Membaca pemahaman menurut Henry Guntur Tarigan (2008: 58) adalah sejenis membaca yang bertujuan untuk memahami standar-standar atau norma-norma kesastraan, resensi kritis, drama tulis, dan pola-pola fiksi. Smith (Samsu Somadayo, 2011: 9) berpendapat, membaca pemahaman adalah suatu kegiatan atau aktivitas yang dilakukan oleh pembaca untuk menghubungkan informasi baru dengan informasi lama dengan maksud untuk mendapatkan pengetahuan baru. Selain menghubungkan informasi dengan pengetahuan baru pada bacaan, pembaca juga melakukan kegiatan memahami bacaan yang dapat diklasifikasikan menjadi pemahaman literal, interpretasi, kritis, dan kreatif.

Menurut Hafner dan Jolly (Pramila Ahuja dan G.C. Ahuja, 2010: 52), pemahaman terhadap bacaan sudah berlangsung ketika seorang siswa dapat:

a) menjawab pertanyaan atas materi yang dibaca,

b) mengidentifikasi kalimat topikal/kalimat utama dan gagasan utama, c) menguraikan hubungan isi bacaan yang dibaca dengan masalah lain, dan d) menerapkan apa yang dibaca (Macmillan, Pramila Ahuja dan G.C. Ahuja,

2010: 62).

Sedangkan Burns (Samsu Somadayo, 2011: 22) berpendapat bahwa siswa memahami suatu bacaan apabila dapat membuat simpulan, misalnya gagasan utama bacaan, kalimat topik/ kalimat utama dalam paragraf, hubungan sebab akibat, dan analisis bacaan.

Berdasarkan berbagai pendapat tersebut, maka untuk mengungkap data membaca pemahaman dalam penelitian ini akan peneliti ukur melalui beberapa indikator yaitu:


(15)

15 a) menjawab pertanyaan sesuai isi bacaan,

b) menyebutkan contoh penerapan ide/isi bacaan dalam kehidupan sehari-hari, c) menentukan kalimat utama setiap paragraf, dan

d) menentukan ide pokok setiap paragraf. 4. Tujuan Membaca Pemahaman

Sabarti Akhadiah, dkk (1992/1993: 37) mengemukakan tujuan membaca pemahaman adalah agar siswa mampu memahami, menafsirkan, serta menghayati isi bacaan. Lebih lanjut Sabarti Akhadiah menjelaskan, melalui pembelajaran membaca pemahaman yang dirancang dan dilaksanakan dengan baik, siswa tidak saja memperoleh peningkatan dalam kemampuan bahasanya, melainkan juga dalam kemampuan bernalar, kreativitas, dan penghayatannya tentang nilai-nilai moral.

Membaca pemahaman yang menitikberatkan pada pemahaman bacaan, dapat menambah dan mengembangkan pengetahuan siswa dari sumber bacaan yang dibacanya. Kemampuan ini menjadi bekal bagi siswa dalam memahami berbagai bacaan yang terdapat dalam berbagai mata pelajaran (Depdiknas, 2009:1). Menurut Burhan Nurgiyantoro (2012: 370), kompetensi membaca yang baik diperlukan dan menjadi prasyarat untuk dapat membaca dan memahami berbagai literatur mata pelajaran yang lain. Senada dengan hal itu, Sabarti Akhadiah, dkk (1992/1993: 14) berpendapat, pembelajaran membaca akan sangat membantu siswa dalam memahami bidang ilmu yang dipelajari melalui mata pelajaran lain. Oleh karena itu, siswa sebagai generasi penerus diharapkan memiliki kompetensi membaca yang baik sehingga dapat memahami bidang ilmu pada mata pelajaran lain.


(16)

16

Tujuan utama membaca pemahaman (Samsu Somadayo, 2011: 11) adalah memperoleh pemahaman. Seorang dikatakan memahami bacaan secara baik apabila memiliki kemampuan sebagai berikut.

a. Kemampuan menangkap arti kata dan ungkapan yang digunakan penulis. b. Kemampuan menangkap makna tersurat dan tersirat.

c. Kemampuan membuat simpulan.

Anderson (Samsu Somadayo, 2011: 12) menyatakan bahwa membaca pemahaman memiliki tujuan untuk memahami isi bacaan dalam teks. Tujuan tersebut antara lain:

a) membaca untuk memeroleh rincian-rincian dan fakta-fakta, b) membaca untuk mendapatkan ide pokok,

c) membaca untuk mendapatkan urutan organisasi teks, d) membaca untuk mendapatkan kesimpulan,

e) membaca untuk mendapatkan klasifikasi, dan

f) membaca untuk membuat perbandingan atau pertentangan.

Berdasarkan beberapa pendapat di atas dapat disimpulkan pada dasarnya tujuan membaca pemahaman adalah memperoleh pemahaman terhadap bacaan secara utuh dan menyeluruh meliputi informasi maupun pengetahuan sehingga siswa tidak hanya memperoleh kemampuan berbahasa melainkan juga kemampuan bernalar dan kreativitas yang dapat digunakan untuk menguasai bidang ilmu pada mata pelajaran lain.

5. Prinsip-Prinsip Membaca Pemahaman

Menurut McLaughlin & Allen, 2002 (Farida Rahim, 2008: 3-4) prinsip-prinsip membaca yang paling mempengaruhi pemahaman membaca ialah:

a) pemahaman merupakan proses konstruktivis sosial,

b) keseimbangan kemahiraksaraan adalah kerangka kerja kurikulum yang membantu perkembangan pemahaman,


(17)

17

c) guru membaca yang profesional (unggul) mempengaruhi belajar siswa, d) pembaca yang baik memegang peranan yang strategis dan berperan aktif

dalam proses membaca,

e) membaca hendaknya terjadi dalam konteks yang bermakna,

f) siswa menemukan manfaat membaca yang berasal dari berbagai teks pada berbagai tingkat kelas,

g) perkembangan kosakata dan pembelajaran mempengaruhi pemahaman membaca,

h) pengikutsertaan adalah suatu faktor kunci pada proses pemahaman, i) strategi dan keterampilan membaca bisa diajarkan, dan

j) asesmen yang dinamis menginformasikan pembelajaran membaca pemahaman.

Pembaca yang baik pada prinsipnya yaitu berpartisipasi secara aktif dalam kegiatan membaca. Tujuan yang hendak dicapai dalam membaca juga jelas sehingga akan diperoleh informasi yang bermakna sesuai dengan tujuan pembaca. Strategi pemahaman diperlukan dalam proses membaca dengan tujuan mempermudah dalam memperoleh makna pada bacaan. Strategi tersebut mencakup tinjauan, membuat pertanyaan sendiri, membuat hubungan, memvisualisasikan, mengetahui bagaimana kata-kata membentuk makna, memonitor, meringkas, dan mengevaluasi (Samsu Somadayo, 2011: 17).

Membaca pemahaman diperlukan pengetahuan yang sudah dimiliki pembaca sebelumnya untuk mengintegrasikan informasi yang terdapat pada bacaan. Oleh karena itu, pembaca yang baik mampu mengintegrasikan informasi dari bacaan dengan pengetahuan yang dimiliki sebelumnya sehingga diperoleh makna yang utuh. B. Bentuk Tes Membaca Pemahaman

Tes kemampuan membaca dimaksudkan untuk mengukur kompetensi peserta didik memahami isi informasi yang terdapat dalam bacaan (Burhan Nurgiyantoro, 2012: 371). Oleh karena itu, bacaan yang diujikan hendaknya mengandung informasi yang menuntut untuk dipahami.


(18)

18

Burhan Nurgiyantoro (2012: 376-377) mengemukakan ada dua macam tes kompetensi membaca yaitu tes kompetensi membaca dengan merespon jawaban dan mengonstruksi jawaban.

1. Tes Kompetensi Membaca dengan Merespon Jawaban

Tes kompetensi membaca dengan cara ini mengukur kemampuan membaca siswa dengan cara memilih jawaban yang telah disediakan oleh pembuat soal. Bentuk soal berupa objektif pilihan ganda sehingga siswa menjawab soal dengan cara memilih opsi jawaban. Langkah membuat soal yaitu menentukan kompetensi dasar, indikator, kisi-kisi, dan dilanjutkan memilih bacaan yang tepat yang dapat berasal dari berbagai sumber. Soal yang dibuat dapat bervariasi tingkat kesulitannya. Contoh tes dengan merespon jawaban antara lain tes pemahaman wacana prosa, dialog, kesastraan, surat, tabel, dan iklan.

2. Tes Kompetensi Membaca dengan Mengonstruksi Jawaban

Tes kompetensi membaca dengan mengonstruksi jawaban tidak sekadar meminta siswa memilih jawaban yang benar dari sejumlah jawaban yang disediakan, melainkan harus mengemukakan jawaban sendiri dengan mengkreasikan bahasa berdasarkan informasi yang diperoleh dari bacaan yang diteskan. Pemahaman terhadap isi pesan bacaan adalah prasyarat untuk dapat mengonstruksi jawaban sehingga siswa dituntut untuk memahami bacaan. Contoh tes kompetensi membaca dengan cara ini yaitu dengan pertanyaan terbuka dan menceritakan kembali isi pesan yang terkandung dalam bacaan.

Untuk tingkatan tes membaca menurut Ahmad Rofi’uddin dan Darmiyati Zuhdi (2002: 178) menggunakan taksonomi Bloom. Bloom membedakan tiga ranah


(19)

19

(domain) yaitu ranah kognitif, psikomotor, dan afektif. Ranah kognitif dibedakan menjadi enam tingkatan yaitu ingatan, pemahaman, penerapan, analisis, sintesis, dan evaluasi. Tingkatan tersebut dapat dijelaskan seperti berikut.

a. Tes membaca tingkat ingatan (C1)

Tes membaca tingkat ingatan ini siswa dituntut menyebutkan kembali fakta, definisi, atau konsep yang terkandung dalam wacana.

b. Tes membaca tingkat pemahaman (C2)

Dalam tes membaca tingkat pemahaman siswa dituntut untuk dapat memahami wacana yang dibacanya, memahami isi bacaan, mencari hubungan antarhal, hubungan sebab-akibat, perbedaan, dan persamaan antarhal dalam wacana.

c. Tes membaca tingkat penerapan (C3)

Tes membaca tingkat penerapan menuntut siswa untuk dapat menerapkan pemahamannya pada situasi atau hal lain yang berkaitan. Siswa dituntut untuk dapat menerapkan atau memberi contoh baru dari suatu konsep, ide, pengertian, atau pikiran yang terdapat dalam teks bacaan.

d. Tes membaca tingkat analisis (C4)

Tes membaca tingkat analisis menuntut siswa untuk menganalisis informasi yang terdapat dalam wacana, mengenali, mengidentifikasi, serta membedakan pesan dengan informasi. Pemahaman pada tes ini lebih bersifat kritis dan terinci, di antaranya berupa penentuan pikiran pokok dan pikiran penjelas dalam wacana, penentuan kalimat yang berisi ide pokok, penentuan jenis alinea, dan penentuan tanda penghubung antaralinea.


(20)

20 e. Tes membaca tingkat sintesis (C5)

Tes membaca tingkat sintesis menuntut siswa untuk menghubungkan dan mengeneralisasikan antarhal, konsep, masalah, atau pendapat yang terdapat dalam wacana. Pada tes ini dituntut kemampuan berpikir secara kritis dan kreatif, kemampuan penalaran, kemampuan menghubungkan berbagai fakta atau konsep, serta menarik generalisasi.

f. Tes membaca tingkat evaluasi (C6)

Tes membaca tingkat evaluasi menuntut siswa untuk dapat memberikan penilaian terhadap wacana yang dibacanya, baik dari segi isi atau permasalahan yang dikemukakan maupun dari segi bahasa serta cara penuturannya.

Berdasarkan tingkatan di atas, maka peneliti memilih tingkatan C1, C2, C3, dan C4.

C. Pembelajaran Matematika 1. Pengertian Pembelajaran

Pengertian pembelajaran menurut I Nyoman Sudana Degeng (Hamzah B. Uno, 2006: 2) adalah upaya untuk membelajarkan siswa. Sudjana (Sugihartono, dkk, 2007: 80) menjelaskan pembelajaran adalah setiap upaya yang dilakukan dengan sengaja oleh pendidik yang dapat menyebabkan peserta didik melakukan kegiatan belajar.

Senada dengan pendapat di atas Gulo (Sugihartono, dkk, 2007: 80) mengemukakan pembelajaran adalah usaha untuk menciptakan sistem lingkungan yang mengoptimalkan kegiatan belajar. Penciptaan sistem lingkungan berarti


(21)

21

menyediakan seperangkat kondisi lingkungan yang dapat merangsang siswa untuk melakukan aktivitas atau kegiatan belajar (Suprihadi Saputro, dkk, 2000: 2).

Pembelajaran juga dijelaskan oleh Wina Sanjaya (2010: 26) yaitu:

proses kerja sama antara guru dan siswa dalam memanfaatkan segala potensi dan sumber yang ada baik potensi yang bersumber dari dalam diri siswa itu sendiri seperti minat, bakat, dan kemampuan dasar yang dimiliki termasuk gaya belajar maupun potensi yang ada di luar diri siswa seperti lingkungan, sarana, dan sumber belajar sebagai upaya untuk mencapai tujuan belajar tertentu.

Sri Anitah W, dkk (2008: 1.18) menjelaskan pembelajaran adalah proses interaksi peserta didik dengan pendidik dan sumber belajar pada suatu lingkungan belajar. Lingkungan belajar merupakan suatu sistem yang terdiri dari unsur tujuan, bahan pelajaran, strategi, alat, siswa, dan guru. Semua unsur tersebut saling berkaitan dan mempengaruhi untuk mencapai tujuan.

Berdasarkan beberapa pendapat di atas dapat disimpulkan pembelajaran adalah upaya membelajarkan siswa melalui proses kerja sama atau interaksi yang dilakukan oleh guru maupun siswa dalam memanfaatkan dan mengoptimalkan segala potensi dan sumber baik potensi yang ada di dalam maupun luar diri siswa sebagai upaya untuk mencapai tujuan belajar tertentu.

2. Pengertian Matematika

Menurut Ebbutt dan Straker (Marsigit, 2003: 2) mendefinisikan matematika sekolah yang selanjutnya disebut sebagai matematika sebagai berikut.

a. Matematika sebagai kegiatan penelusuran pola dan hubungan.

b. Matematika adalah kreativitas yang memerlukan imajinasi, intuisi dan penemuan.


(22)

22

d. Matematika merupakan alat berkomunikasi. 3. Pengertian Pembelajaran Matematika

Pembelajaran matematika adalah proses memberikan pengalaman belajar kepada siswa dengan memanfaatkan dan mengoptimalkan segala potensi dan sumber potensi pada siswa melalui serangkaian kegiatan terencana sehingga siswa dapat mencapai kompetensi matematika yang akan dicapai. Pembelajaran matematika harus dirancang dengan baik sesuai dengan tingkat perkembangan kognitif siswa SD yang masih berada pada tahap operasional konkret. Untuk memahami konsep-konsep matematika diperlukan manipulasi benda-benda konkret dan ilustrasi konkret dari konteks kehidupan nyata di sekitar siswa agar siswa lebih mudah memahami (Antonius Cahya Prihandoko, 2006: 9). Dengan begitu, siswa akan tertarik untuk mempelajari matematika.

4. Pembelajaran Soal Matematika Bentuk Cerita

Sugondo (Muhammad Ilman Nafi’an, 2011) menjelaskan soal cerita matematika merupakan soal-soal matematika yang menggunakan bahasa verbal dan umumnya berhubungan dengan kegiatan sehari-hari. Menurut Tambunan (Muhammad Ilman Nafi’an, 2011) kemampuan siswa dalam menyelesaikan soal cerita merupakan keterampilan yang dimiliki seseorang untuk dapat menyelesaikan suatu soal cerita matematika.

Berdasarkan pendapat-pendapat di atas, dapat disimpulkan kemampuan menyelesaikan soal cerita matematika adalah keterampilan dalam menyelesaikan soal-soal matematika dalam bentuk cerita atau bacaan yang berkaitan dengan kehidupan sehari-hari. Soal cerita dapat digunakan untuk melatih siswa


(23)

23

menyelesaikan masalah dalam kehidupan sehari-hari (Akbar Sutawidjaja, dkk, 1992/1993: 48-49). Dengan begitu, siswa akan terbiasa untuk mengambil keputusan dengan cepat dan tepat apabila suatu saat siswa menjumpai masalah dalam kehidupan sehari-harinya.

Depdiknas (2009: 111) menyebutkan tahapan-tahapan dalam menyelesaikan soal cerita sebagai berikut.

a. Mendata hal-hal yang diketahui berdasarkan keterangan dalam soal. b. Mencermati apa yang ditanyakan termasuk satuan-satuan yang ditanyakan. c. Menyelesaikan permasalahan berdasarkan apa yang diketahui dan ditanyakan.

Menurut Akbar Sutawidjaja, dkk (1992/1993: 50) langkah-langkah bagi siswa sekolah dasar untuk menyelesaikan soal cerita antara lain:

a) temukan (cari) apa yang ditanyakan oleh soal cerita itu, b) cari informasi (keterangan) yang esensial,

c) pilih operasi yang sesuai,

d) tulis kalimat matematikanya, dan

e) nyatakan jawab itu dalam bahasa Indonesia sehingga menjawab pertanyaan dari soal cerita tersebut.

Menurut Polya (Erman Suherman, dkk, 2001: 84) langkah-langkah dalam menyelesaikan soal pemecahan masalah yaitu memahami masalah, merencanakan penyelesaian, menyelesaikan masalah sesuai rencana, dan melakukan pengecekan kembali terhadap semua langkah yang telah dikerjakan.

Pemahaman masalah membantu siswa menetapkan apa yang diketahui dan ditanyakan pada permasalahan. Pada tahap ini diperlukan strategi mengidentifikasi informasi melalui membaca untuk memperoleh pemahaman informasi pada soal.

Langkah berikutnya membuat rencana untuk menyelesaikan masalah. Strategi pemecahan masalah yang tepat sangat diperlukan agar dapat menyelesaikan masalah


(24)

24

dengan benar. Strategi pemecahan masalah matematika menurut Nyimas Aisyah, dkk (2007: 5.11) sebagai suatu teknik penyelesaian soal-soal pemecahan masalah matematika yang bersifat praktis. Strategi tersebut antara lain: a) strategi beraksi, b) membuat gambar atau diagram, c) membuat pola, d) membuat tabel, e) menghitung semua kemungkinan secara sistematis, f) menebak dan menguji, g) bekerja mundur, h) mengidentifikasi informasi yang diinginkan dan diberikan, i) menulis kalimat terbuka, j) menyelesaikan masalah yang lebih sederhana atau serupa, dan k) mengubah pandangan. Agar dapat menentukan strategi pemecahan masalah dengan tepat maka diperlukan pemahaman yang baik tentang materi.

Apabila sudah dibuat rencana penyelesaian masalah, dilanjutkan melaksanakan penyelesaian masalah. Kemampuan memahami substansi materi dan keterampilan melakukan perhitungan sangat membantu siswa dalam menyelesaikan langkah ini (Nyimas Aisyah, dkk, 2007: 5.21). Langkah terakhir yaitu memeriksa ulang jawaban yang diperoleh.

Dari beberapa pendapat, maka dapat disimpulkan bahwa dalam menyelesaikan soal cerita diperlukan beberapa kemampuan sebagai berikut.

a. Kemampuan membaca soal agar memperoleh pemahaman masalah untuk menemukan apa saja yang diketahui dan ditanyakan.

b. Kemampuan merencanakan penyelesaian yaitu mengubah bahasa sehari-hari sesuai soal ke dalam kalimat matematika maupun simbol pada matematika (operasi hitung).

c. Kemampuan melaksanakan rencana penyelesaian yaitu mengerjakan perhitungan sehingga memperoleh jawaban.


(25)

25

d. Kemampuan menuliskan kalimat jawaban dan memeriksa ulang jawaban yang diperoleh.

5. Indikator Kemampuan Menyelesaikan Soal Cerita Matematika

Indikator kemampuan menyelesaikan soal cerita matematika kelas IV semester II dengan materi penjumlahan dan pengurangan bilangan bulat sesuai pendapat T. Wakiman (2001: 60) antara lain:

a) menjumlahkan dua bilangan bulat positif, b) menjumlahkan dua bilangan bulat negatif,

c) menjumlahkan bilangan bulat positif dengan bilangan bulat negatif, d) menjumlahkan bilangan bulat nol dengan bilangan bulat negatif, e) mengurangkan dua bilangan bulat positif,

f) mengurangkan dua bilangan bulat negatif, g) nol dikurangi bilangan bulat positif, h) nol dikurangi bilangan bulat negatif, i) bilangan bulat positif dikurangi nol, j) bilangan bulat negatif dikurangi nol,

k) bilangan bulat positif dikurangi bilangan bulat negatif, dan l) bilangan bulat negatif dikurangi bilangan bulat positif. D. Karakteristik Siswa Sekolah Dasar

Menurut Piaget (Rita Eka Izzaty, dkk, 2008: 34) perkembangan kognitif adalah hasil gabungan dari kedewasaan otak dan sistem saraf, serta adaptasi pada lingkungan kita. Lebih lanjut menurut Piaget (Rita Eka Izzaty, dkk, 2008: 35) menguraikan empat tahap perkembangan kognitif pada anak yaitu sensorimotor,


(26)

26

preoperational, concrete operational, dan formal operational. Adapun tahapan

tersebut akan dijelaskan satu per satu sebagai berikut. 1. Tahap Sensori-Motor (Lahir - 18 Bulan)

Pada tahap ini, seorang anak akan belajar untuk menggunakan dan mengatur kegiatan fisik dan mental menjadi rangkaian perbuatan yang bermakna. Pemahaman anak sangat bergantung pada kegiatan (gerakan) tubuh, alat-alat indera, belajar melalui perasaan, dan refleks.

2. Pra-Operasional (18 Bulan - 6 Tahun)

Pada tahap ini, seorang anak hanya dapat memfokuskan pada satu variabel pada satu waktu, ide yang dimilikinya masih berdasarkan persepsinya, dan menyamaratakan berdasarkan pengalaman terbatas karena tahap ini anak masih sangat dipengaruhi oleh hal-hal khusus yang didapat dari pengalaman menggunakan indera, sehingga ia belum mampu untuk melihat hubungan-hubungan dan menyimpulkan sesuatu secara konsisten.

3. Operasional Konkret (6 - 12 Tahun)

Pada tahap ini, umumnya anak sedang menempuh pendidikan di sekolah dasar. Di tahap ini, seorang anak dapat membuat kesimpulan dari suatu situasi nyata (ide berdasarkan pemikiran) atau dengan menggunakan benda konkret, dan mampu mempertimbangkan dua aspek dari suatu situasi nyata secara bersama-sama.

4. Operasional Formal (12 Tahun atau Lebih)

Pada tahap ini, kegiatan kognitif seseorang tidak mesti menggunakan benda nyata. Tahap ini anak sudah mampu melakukan abstraksi, dalam arti mampu


(27)

27

menentukan sifat atau atribut khusus sesuatu tanpa menggunakan benda nyata. Pada permulaan tahap ini, kemampuan bernalar secara abstrak mulai meningkat, sehingga seseorang mulai mampu untuk berpikir secara deduktif.

Berdasarkan tahap-tahap perkembangan kognitif di atas, siswa Sekolah Dasar berada pada tahap operasional konkret. Pada tahap ini siswa sudah dapat memecahkan masalah-masalah yang bersifat konkret, mampu berpikir logis, dan menghitung.

Tim dosen FIP IKIP Malang, 1980 (Suharjo, 2006: 37) menambahkan bahwa anak SD memiliki karakteristik pertumbuhan kejiwaan sebagai berikut.

1. Pertumbuhan fisik dan motorik maju pesat.

2. Kehidupan sosialnya diperkaya selain kemampuan dalam hal kerja sama juga dalam hal bersaing dan kehidupan kelompok sebaya.

3. Semakin menyadari diri selain mempunyai keinginan dan perasaan tertentu juga semakin bertumbuhnya minat tertentu.

4. Kemampuan berpikirnya masih dalam tingkatan persepsional.

5. Dalam bergaul, bekerja sama, dan kegiatan bersama tidak membedakan jenis, yang menjadi dasar adalah perhatian dan pengalaman yang sama. 6. Mempunyai kesanggupan untuk memahami hubungan sebab akibat. 7. Ketergantungan kepada orang dewasa semakin berkurang dan kurang

memerlukan perlindungan orang dewasa.

Masa anak-anak sekolah dasar dapat dibedakan menjadi dua yaitu masa kelas rendah sekolah dasar, kira-kira umur 6 atau 7 tahun sampai 9 atau 10 tahun dan masa kelas tinggi sekolah dasar, kira-kira umur 9-10 tahun sampai kira-kira umur 12 atau 13 tahun. Siswa kelas IV termasuk kelas tinggi. Oleh karena itu, Syaiful Bahri Djamarah (2011: 125) menjabarkan masa kelas tinggi sebagai berikut.

1. Adanya minta terhadap kehidupan praktis sehari-hari yang konkret. 2. Amat realistik, ingin tahu, dan ingin belajar.

3. Menjelang akhir masa ini telah ada minat terhadap hal-hal dan mata pelajaran khusus.

4. Sampai kira-kira umur 11 tahun anak membutuhkan guru atau orang-orang dewasa lainnya.


(28)

28

5. Gemar membentuk kelompok sebaya, biasanya untuk dapat bermain bersama-sama.

E. Hasil Penelitian yang Relevan

1. Amalina Harjanti (2012) dengan judul korelasi antara membaca pemahaman dengan prestasi belajar IPS siswa kelas IV SD Negeri se-Kecamatan Kokap Kabupaten Kulonprogo. Hasil penelitian menunjukkan ada korelasi positif dan signifikan antara kemampuan membaca pemahaman dengan prestasi belajar IPS ditunjukkan dengan koefisien diperoleh

r

xy (0,618) > rtabel (0,306) pada taraf signifikansi 0,01 (1%).

2. Anita Yuliana D.N. (2012) dengan judul hubungan penguasaan kosakata dengan kemampuan menyelesaikan soal cerita penjumlahan dan pengurangan bilangan cacah siswa kelas II SD se-Kecamatan Ponjong Kabupaten Gunungkidul Tahun 2012. Hasil penelitian menunjukkan terdapat hubungan yang signifikan antara penguasaan kosakata dengan kemampuan menyelesaikan soal cerita matematika ditunjukkan dengan harga r sebesar 0,446 pada taraf signifikansi 5% yang berarti korelasinya sedang dan koefisien diterminan sebesar 19,9%, berarti penguasaan kosakata berdistribusi sebesar 19,9% terhadap kemampuan menyelesaikan soal cerita matematika.

F. Kerangka Pikir

Kemampuan membaca yang dikembangkan di kelas IV sudah pada tingkat membaca pemahaman. Membaca pemahaman sebagai proses menghubungkan pengetahuan dan pengalaman yang dimiliki sebelumnya dengan informasi baru pada bacaan untuk memperoleh informasi atau makna dari bacaan tersebut. Siswa dikatakan dapat memahami bacaan dengan baik apabila dapat memahami isi bacaan


(29)

29

sehingga memperoleh informasi secara utuh dan menyeluruh, mampu memahami makna dalam bacaan, memperoleh rincian dan fakta, maupun ide pokok dalam setiap paragraf. Hal tersebut sesuai dengan tujuan dalam membaca pemahaman.

Kemampuan membaca pemahaman sebaiknya diselenggarakan dengan baik karena akan memberikan dampak positif terhadap keberhasilan belajar siswa pada masa mendatang. Melalui pembelajaran membaca pemahaman, siswa memperoleh informasi yang seluas-luasnya dan informasi tersebut dapat digunakan dalam mengembangkan potensi yang ada pada dirinya. Membaca pemahaman juga dapat meningkatkan kemampuan berbahasa, bernalar, kreativitas, maupun penghayatan terhadap nilai-nilai moral.

Kemampuan membaca pemahaman sangat penting karena kemampuan tersebut tidak diperoleh secara turun temurun ataupun tiba-tiba, melainkan melalui proses belajar secara tekun. Siswa yang memiliki kemampuan membaca pemahaman yang baik sangat membantu dirinya dalam memahami berbagai literatur pada mata pelajaran lain. Salah satu contohnya yaitu mata pelajaran matematika khususnya pada soal cerita.

Soal cerita matematika merupakan soal matematika yang berbentuk cerita atau bacaan yang berkaitan dengan kehidupan sehari-hari. Oleh karena itu, langkah utama yang diperlukan dalam menyelesaikan soal cerita adalah pemahaman masalah melalui membaca. Kegiatan membaca tersebut termasuk dalam membaca pemahaman karena bertujuan untuk memperoleh pemahaman makna atau informasi secara utuh dan mendalam pada soal.


(30)

30

Melalui kegiatan membaca pemahaman inilah, siswa akan memperoleh pemahaman makna atau informasi berupa identifikasi apa yang diketahui dan ditanyakan untuk menyelesaikan soal tersebut. Tanpa adanya pemahaman terhadap masalah, maka siswa tidak akan mampu menyelesaikan masalah tersebut. Artinya kunci utama agar dapat menyelesaikan soal cerita matematika dengan benar yaitu kemampuan siswa dalam membaca soal cerita untuk memperoleh pemahaman terhadap masalah.

Siswa yang memiliki pemahaman yang baik terhadap bacaan, maka akan mudah dalam memahami masalah sehingga dapat menyelesaikan soal cerita dengan baik pula. Artinya jika siswa memiliki kemampuan membaca pemahaman yang baik, maka akan diikuti dengan kemampuan menyelesaikan soal cerita matematika yang baik pula. Begitu sebaliknya, apabila siswa memiliki kemampuan membaca pemahaman rendah, maka kemampuan menyelesaikan soal cerita matematika juga akan rendah.

G. Hipotesis

Sugiyono (2009: 64) mengemukakan bahwa hipotesis adalah jawaban sementara terhadap rumusan masalah penelitian, di mana rumusan masalah penelitian telah dinyatakan dalam bentuk kalimat pertanyaan. Selain itu, Suharsimi Arikunto (2010: 110) berpendapat bahwa hipotesis adalah suatu jawaban yang bersifat sementara terhadap pemasalahan penelitian, sampai terbukti melalui data yang terkumpul. Jadi dapat disimpulkan bahwa hipotesis adalah jawaban sementara terhadap rumusan masalah penelitian.


(31)

31

Berdasarkan kajian teori dan kerangka pikir di atas, maka hipotesis dalam penelitian ini adalah sebagai berikut. Ada hubungan yang positif dan signifikan antara membaca pemahaman dengan kemampuan menyelesaikan soal cerita matematika pada siswa kelas IV SD se-Gugus Karangmojo III Gunungkidul.


(32)

32 BAB III

METODE PENELITIAN

A. Pendekatan Penelitian

Jenis penelitian ini adalah penelitian kuantitatif karena data pada penelitian ini berupa angka-angka dan analisis menggunakan statistik. Menurut Juliansyah Noor (2011: 38), penelitian kuantitatif merupakan metode untuk menguji teori-teori tertentu dengan cara meneliti hubungan antar variabel. Variabel tersebut diukur dengan menggunakan instrumen penelitian sehingga data yang terdiri angka-angka dianalisis berdasarkan prosedur statistika. Seperti yang dikemukakan oleh Sugiyono (2009: 8), metode penelitian kuantitatif adalah metode penelitian yang berlandaskan pada filsafat positivisme, digunakan untuk meneliti pada populasi atau sampel tertentu, pengumpulan data menggunakan instrumen penelitian, analisis data bersifat kuantitatif/statistik, dengan tujuan untuk menguji hipotesis yang telah ditetapkan. Di samping itu, Suharsimi Arikunto (2002: 10) juga mengemukakan, penelitian kuantitatif banyak menuntut menggunakan angka, mulai dari pengumpulan data, penafsiran terhadap data tersebut, serta penampilan dari hasilnya.

B. Desain Penelitian

Jenis desain penelitian ini termasuk dalam ex-postfacto. Menurut Sukardi (2004: 165), penelitian ini disebut demikian karena sesuai dengan arti ex-postfacto, yaitu “dari apa dikerjakan setelah kenyataan”, maka disebut sebagai penelitian sesudah kejadian. Penelitian ini juga sering disebut after the fact atau sesudah fakta dan ada pula yang menyebutnya sebagai retrospective study atau studi penelusuran kembali.


(33)

33

Penelitan ex-postfacto merupakan penelitian di mana hubungan antar variabel baik variabel bebas dengan variabel bebas maupun variabel bebas dengan variabel terikat telah terjadi secara alami, peneliti ingin menelusuri kembali sejauh mana hubungan antar variabel tersebut dalam penelitian ini.

Sukardi (2004: 165) membedakan penelitian ex-postfacto menjadi dua jenis yaitu sebagai berikut.

1. Correlational study (causal research)

2. Criterion group study (comparative research)

Correlational study atau penelitian korelasi adalah suatu penelitian yang

melibatkan tindakan pengumpulan data guna menentukan, apakah ada hubungan dan tingkat hubungan antara dua variabel atau lebih (Sukardi, 2004: 166). Di samping itu, Suharsimi Arikunto (2002: 239) berpendapat penelitian korelasi bertujuan untuk menemukan ada tidaknya hubungan dan apabila ada, berapa eratnya hubungan serta berarti atau tidaknya hubungan itu. Causal comparative menurut Sukardi (2004: 175) adalah kegiatan penelitian yang berusaha mencari informasi tentang mengapa terjadinya hubungan sebab akibat.

Berdasarkan kedua jenis penelitian ex-postfacto di atas, maka penelitian ini adalah penelitian korelasi. Dikarenakan tujuan dalam penelitian ini untuk mengetahui hubungan antara dua variabel yaitu membaca pemahaman dan kemampuan menyelesaikan soal cerita matematika.

C. Variabel Penelitian

Menurut Sutrisno Hadi (2000: 4) variabel adalah objek yang diselidiki. Senada dengan pendapat tersebut, Suharsimi Arikunto (2002: 96) mengemukakan


(34)

34

variabel adalah objek penelitian atau apa yang menjadi titik perhatian suatu penelitian. Sugiyono (2009: 38) menjelaskan variabel penelitian pada dasarnya adalah segala sesuatu yang berbentuk apa saja yang ditetapkan oleh peneliti untuk dipelajari sehingga diperoleh informasi tentang hal tersebut, kemudian ditarik kesimpulannya.

Berdasarkan pendapat-pendapat di atas dapat disimpulkan variabel penelitian adalah segala sesuatu yang ditetapkan dan dipelajari oleh peneliti sebagai objek penelitian sehingga diperoleh informasi, kemudian ditarik kesimpulannya.

Sugiyono (2009: 39) mengemukakan macam-macam variabel menurut hubungan antara satu variabel dengan variabel yang lain yaitu sebagai berikut.

1. Variabel bebas (independent variable) merupakan variabel yang mempengaruhi atau yang menjadi sebab perubahannya atau timbulnya variabel dependent (terikat).

2. Variabel terikat (dependent variable) merupakan variabel yang dipengaruhi atau yang menjadi akibat karena adanya variabel bebas.

3. Variabel moderator adalah variabel yang mempengaruhi (memperkuat dan memperlemah) hubungan antara variabel independen dengan dependen.

4. Variabel intervening adalah variabel yang secara teoritis mempengaruhi hubungan antara variabel independen dengan dependen menjadi hubungan yang tidak langsung dan tidak dapat diamati dan diukur.

5. Variabel control adalah variabel yang dikendalikan atau dibuat konstan sehingga pengaruh variabel independen terhadap dependen tidak dipengaruhi oleh faktor luar yang tidak diteliti.


(35)

35

Berdasarkan macam-macam variabel di atas, dalam penelitian ini terdapat dua variabel yaitu membaca pemahaman sebagai variabel bebas (X) dan kemampuan menyelesaikan soal cerita matematika sebagai variabel terikat (Y). Adapun hubungan kedua variabel dapat dilihat di bawah ini.

Gambar 1. Hubungan antara X dan Y Keterangan:

X: Membaca pemahaman

Y: Kemampuan menyelesaikan soal cerita matematika D. Waktu dan Tempat Penelitian

1. Waktu penelitian

Penelitian dilaksanakan pada semester II tahun ajaran 2013/2014. Pelaksanaan uji coba instrumen pada minggu ketiga bulan Februari 2014 dan pelaksanaan penelitian pada minggu pertama bulan Maret 2014.

2. Tempat penelitian

Penelitian ini dilaksanakan di SD se-Gugus Karangmojo III, Kecamatan Karangmojo, Kabupaten Gunungkidul. Adapun SD di gugus ini yaitu sebagai berikut.


(36)

36 Tabel 1. SD di Gugus Karangmojo III

No Nama Sekolah Dasar 1. SD Karangmojo III

2. SD Pangkah 3. SD Gedangan I 4. SD Muh Sumberejo 5. SD Karangwetan 6. SD Gedangan

E. Populasi dan Sampel Penelitian 1. Populasi Penelitian

Populasi menurut Suharsimi Arikunto (2002: 108) adalah keseluruhan subjek penelitian. Populasi dalam penelitian ini adalah seluruh siswa kelas IV SD se-Gugus Karangmojo III, Kecamatan Karangmojo, Kabupaten Gunungkidul tahun pelajaran 2013/2014. Seluruh populasi berjumlah 108 siswa yang terbagi dalam enam SD. Rincian populasi di setiap SD dapat dilihat pada tabel di bawah ini.

Tabel 2. Populasi Penelitian

No Nama Sekolah Jumlah Siswa

1. SD Karangmojo III 31

2. SD Pangkah 15

3. SD Gedangan I 16

4. SD Muh Sumberejo 24

5. SD Karangwetan 5

6. SD Gedangan 17

Jumlah 108

2. Sampel Penelitian

Sering kali terjadi dalam suatu penelitian seorang peneliti tidak dapat melakukan penelitian terhadap semua anggota kelompok (populasi), kecuali hanya mampu mengambil sebagian dari jumlah populasi yang ada. Sebagian dari jumlah populasi yang ada tersebut diambil datanya dan dari data yang terkumpul kemudian


(37)

37

dianalisis. Hasil akhir penelitian yang didapatkan kemudian digunakan untuk merefleksikan keadaan populasi yang ada (generalisasi).

Sukardi (2004: 54) menjelaskan sebagian dari jumlah populasi yang dipilih untuk sumber data disebut sampel atau cuplikan. Suharsimi Arikunto (2002: 109) mengemukakan sampel adalah sebagian atau wakil populasi yang diteliti. Di samping itu, Sutrisno Hadi (2000: 221) juga mengemukakan sampel adalah sejumlah penduduk yang jumlahnya kurang dari jumlah populasi.

Penelitian ini hanya akan meneliti sebagian dari populasi, maka penelitian ini disebut penelitian sampel. Dinamakan penelitian sampel karena dapat digeneralisasikan hasil penelitian sampel tersebut pada populasi, artinya adalah mengangkat kesimpulan penelitian sebagai suatu yang berlaku bagi populasi. Jadi dapat disimpulkan sampel adalah sebagian atau wakil populasi yang diteliti.

Menurut Sugiyono (2009: 86) jumlah anggota sampel sering dinyatakan dengan ukuran sampel. Untuk menentukan ukuran sampel, peneliti menggunakan rumus William G. Cochran (2005: 85) adalah sebagai berikut.

n =

t2PQ d2 1 +1

N t2PQ

d2 −1 Keterangan:

n : Jumlah sampel N : Jumlah populasi

d : Taraf eror % yaitu 0,05

P : Proporsi siswa yang memiliki kemampuan membaca pemahaman dan menyelesaikan soal cerita yang tinggi (0,5)


(38)

38

Q : Proporsi siswa yang memiliki kemampuan membaca pemahaman dan menyelesaikan soal cerita yang rendah (1 – P)

t : Tingkat kepercayaan Z score (1,96) 1 : Bilangan konstan

Hasil perhitungan dari jumlah populasi 108 siswa dengan menggunakan taraf signifikansi 5% maka diperoleh jumlah sampel sebanyak 84,5 dan dibulatkan menjadi 85 siswa. Jumlah sampel hasil perhitungan tersebut digunakan sebagai dasar perbandingan untuk menentukan sampel di setiap SD. Adapun perbandingannya sebagai berikut.

Sampel di SD A =populasi siswa di SD A

total populasi × total sampel

Berdasarkan perbandingan di atas, maka jumlah sampel di setiap SD dapat dilihat sebagai berikut.

Tabel 3. Rincian Sampel Penelitian

No Nama Sekolah Sampel

1. SD Karangmojo III 24

2. SD Pangkah 12

3. SD Gedangan I 13

4. SD Muh.Sumberejo 19

5. SD Karangwetan 4

6. SD Gedangan 13

Jumlah 85

Berbagai teknik penentuan sampel pada dasarnya adalah cara-cara untuk memperkecil kekeliruan generalisasi dari sampel ke populasi. Hal ini dapat dicapai kalau diperoleh sampel yang representatif, yaitu sampel yang benar-benar mencerminkan populasi.


(39)

39

Ada dua teknik pengambilan sampel yang sering dilakukan, yaitu sebagai berikut.

1. Random sampling merupakan teknik pengambilan sampel secara random atau acak sehingga semua anggota populasi mendapatkan kesempatan yang sama untuk dipilih menjadi anggota sampel.

2. Non random sampling merupakan teknik pengambilan sampel tidak secara acak sehingga tidak semua anggota populasi mendapatkan kesempatan yang sama untuk dipilih menjadi anggota sampel.

Teknik pengambilan sampel dalam penelitian ini adalah proportional random sampling. Teknik ini digunakan apabila populasi terdiri dari beberapa sub-populasi

dan setiap sub-populasi terwakili dalam penelitian. Proportional artinya pemilihan sampel dari setiap sub-populasi ditentukan seimbang atau sebanding dengan banyaknya subjek dalam sub-populasi tersebut. Sub-populasi yang dimaksud dalam penelitian ini adalah populasi di setiap SD. Hasil dari teknik proportional ini dapat dilihat pada tabel 3. Sedangkan random sampling adalah pengambilan sampel secara acak atau random sehingga setiap anggota dalam populasi diberi kesempatan yang sama untuk dipilih menjadi anggota sampel. Dalam penelitian ini, random sampling menggunakan undian. Pelaksanaan undian ini dilakukan dengan cara seluruh populasi penelitian diberi kesempatan yang sama untuk mengerjakan instrumen penelitian (tes). Selanjutnya dibuat kertas kecil-kecil yang ditulisi nomor urut siswa pada setiap SD untuk setiap kertas. Kertas tersebut kemudian digulung dan tanpa prasangka, diambil sesuai dengan jumlah sampel yang telah ditentukan pada setiap


(40)

40

SD. Nomor pada kertas yang terambil merupakan subjek sampel yang akan diambil datanya.

F. Teknik Pengumpulan Data

Menurut Suharsimi Arikunto (2002: 136) teknik pengumpulan data adalah cara yang digunakan oleh peneliti dalam mengumpulkan data penelitiannya. Juliansyah Noor (2011: 138) juga mengemukakan teknik pengumpulan data merupakan cara mengumpulkan data yang dibutuhkan untuk menjawab rumusan masalah penelitian. Jadi, teknik pengumpulan data adalah cara untuk mengumpulkan data guna menjawab rumusan masalah penelitian. Teknik pengumpulan data dalam penelitian ini adalah tes.

Tes adalah serentetan pertanyaan atau latihan serta alat lain yang digunakan untuk mengukur keterampilan, pengetahuan inteligensi, kemampuan atau bakat yang dimiliki oleh individu atau kelompok (Suharsimi Arikunto, 2002: 127). Ditinjau dari sasaran atau objek yang akan dievaluasi, Suharsimi Arikunto (2002: 127-128) membedakan beberapa macam tes dan alat ukur lain sebagai berikut.

1. Tes kepribadian (personality test) yaitu tes yang digunakan untuk mengungkap kepribadian seseorang.

2. Tes bakat (aptitude test) yaitu tes yang digunakan untuk mengukur atau mengetahui bakat seseorang.

3. Tes inteligensi (intelligence test) yaitu tes yang digunakan untuk mengadakan estimasi atau perkiraan terhadap tingkat intelektual seseorang dengan cara memberikan berbagai tugas kepada orang yang akan diukur inteligensinya.

4. Tes sikap (attitude test) disebut juga skala sikap yaitu alat yang digunakan untuk mengadakan pengukuran terhadap berbagai sikap seseorang.

5. Teknik proyeksi (projective technique), contohnya metode tetesan tinta yang diciptakan oleh Rorschach.

6. Tes minat (measures of interest) adalah alat untuk menggali minat seseorang terhadap sesuatu.

7. Tes prestasi (achievement test) yaitu tes yang digunakan untuk mengukur pencapaian seseorang setelah mempelajari sesuatu.


(41)

41

Berdasarkan macam-macam tes di atas, maka tes dalam penelitian ini termasuk tes prestasi karena digunakan untuk mengukur dan mengetahui pencapaian siswa dalam kemampuan membaca pemahaman dan menyelesaikan soal cerita matematika.

G. Instrumen Penelitian

Menurut Suharsimi Arikunto (2002: 136) instrumen penelitian merupakan alat atau fasilitas yang digunakan oleh peneliti dalam mengumpulkan data agar pekerjaannya lebih mudah dan hasilnya lebih baik, dalam arti lebih cermat, lengkap, dan sistematis sehingga lebih mudah diolah. Dalam penelitian ini, alat yang digunakan oleh peneliti sebagai pengumpul data yaitu soal tes pilihan ganda untuk membaca pemahaman dan kemampuan menyelesaikan soal cerita matematika dengan jumlah soal masing-masing sebanyak 35 butir.

Untuk soal yang berbentuk pilihan ganda, skor 1 untuk butir soal dijawab benar dan skor 0 untuk butir soal yang dijawab salah, sedangkan skor total merupakan jumlah dari skor untuk semua butir soal yang membangun soal tersebut (Suharsimi Arikunto, 2012: 90).

Sebagai pedoman dalam membuat soal, maka peneliti terlebih dahulu menyusun kisi-kisi instrumen yang diambil dari kajian teori. Berikut kisi-kisi instrumen membaca pemahaman dan kemampuan menyelesaikan soal cerita matematika.


(42)

42

Tabel 4. Kisi-kisi Tes Membaca Pemahaman Kelas IV

No. Indikator Nomor Butir Jumlah

C1 C2 C3 C4

1.

Menjawab

pertanyaan sesuai isi bacaan

1,7,12,19 ,24,30

2,8,13,

20,25,31 12

2.

Menyebutkan contoh penerapan

ide/konsep yang terdapat dalam bacaan di kehidupan sehari-hari 9,14, 21,26, 32 5 3. Menentukan kalimat utama setiap paragraf 3,5,10,15 ,18,23, 28,34 8 4. Menentukan ide pokok setiap paragraf 4,6,11, 16,17,22, 27,29,33, 35 10


(43)

43

Tabel 5. Kisi-kisi Tes Kemampuan Menyelesaikan Soal Cerita Matematika Kelas IV

No. Indikator Nomor Butir Jumlah

1. Menjumlahkan dua bilangan bulat positif 1,2 2 2. Menjumlahkan dua bilangan bulat negatif 3,4,5 3 3. Menjumlahkan bilangan bulat positif dengan

bilangan bulat negative 6,7,8 3

4. Menjumlahkan nol dengan bilangan bulat negatif 9,10,11 3 5. Mengurangkan dua bilangan bulat positif 12,13,14 3 6. Mengurangkan dua bilangan bulat negatif 15,16,17,18 4 7. Mengurangkan nol dengan bilangan bulat positif 19,20,21 3 8. Mengurangkan nol dengan bilangan bulat negatif 22,23,24 3 9. Mengurangkan bilangan bulat positif dengan nol 25,26 2 10. Mengurangkan bilangan bulat negatif dengan nol 27,28,29 3 11. Mengurangkan bilangan bulat positif dengan

bilangan bulat negatif 30,31,32 3

12. Mengurangkan bilangan bulat negatif dengan

bilangan bulat positif 33,34,35 3

Jumlah Soal 35

H. Uji Coba Instrumen

Instrumen harus diujicobakan terlebih dahulu sebelum digunakan untuk mengumpulkan data. Tujuan uji coba instrumen adalah untuk mendapatkan instrumen yang benar-benar baik. Menurut Suharsimi Arikunto (2002:144), instrumen yang baik harus memenuhi dua persyaratan penting yaitu valid dan reliabel. Instrumen yang valid dan reliabel merupakan syarat mutlak untuk mendapatkan hasil penelitian yang valid dan reliabel (Sugiyono, 2009: 122).

Instrumen yang akan diuji yaitu tes membaca pemahaman dan kemampuan menyelesaikan soal cerita matematika. Uji coba instrumen dilaksanakan pada hari Rabu tanggal 19 Februari 2014 di SD Wiladeg kelas IV. SD Wiladeg merupakan SD di luar subjek penelitian yang terdiri dari 41 siswa kelas IV. Peneliti memilih SD di


(44)

44

luar subjek penelitian dikarenakan apabila subjek uji coba diambil dari subjek penelitian yang tidak dikenai penelitian jumlahnya hanya sedikit yaitu sebesar 23 siswa. Sedangkan menurut Suharsimi Arikunto (2002: 185) jumlah subjek uji coba yaitu 25-40. Berpijak pada dasar tersebut, sehingga peneliti memilih SD Wiladeg yang juga memiliki karakteristik relatif sama dengan SD yang dijadikan subjek penelitian. Karakteristik tersebut baik dalam hal kondisi sosial budaya, tingkat usia siswa, maupun letaknya yang tidak jauh dari SD untuk subjek penelitian.

1. Validitas

Menurut Syaifuddin Azwar (2012: 173) validitas adalah sejauh mana ketepatan dan kecermatan suatu instrumen pengukur (tes) dalam melakukan fungsi ukurnya. Instrumen yang valid berarti alat ukur yang digunakan untuk mendapatkan data (mengukur) itu valid. Valid berarti instrumen tersebut dapat digunakan untuk mengukur apa yang seharusnya diukur (Sugiyono, 2009: 121).

Teknik untuk menghitung validitas yaitu menggunakan teknik korelasi product moment dengan angka kasar. Rumus korelasi tersebut menurut Suharsimi Arikunto (2012: 87) yaitu:

rxy = N XY− X Y

N X2− X 2 N Y2− Y 2 Keterangan:

rxy : koefisien korelasi antara variabel X dengan Y, dua variabel yang dikorelasikan

N : jumlah subjek


(45)

45

Y : jumlah skor total

X2 : jumlah X kuadrat

Y2 : sigma Y kuadrat

XY : jumlah perkalian X dengan Y

Setiap butir soal dikatakan valid apabila koefisien korelasi ≥ 0,3 sedangkan apabila koefisien korelasinya < 0,3, maka butir dalam instrumen tersebut tidak valid (Sugiyono, 2009: 134).

Berdasarkan uji coba instrumen, diperoleh hasil perhitungan validitas yang diolah dengan menggunakan program SPSS 16.0 for Windows. Untuk instrumen membaca pemahaman, dari 35 butir soal yang diujicobakan, sebanyak 31 butir soal dinyatakan valid. Butir soal yang tidak valid yaitu nomor 12, 22, 26, dan 31. Untuk instrumen kemampuan menyelesaikan soal cerita matematika, dari 35 butir soal, sebanyak 32 butir soal yang dinyatakan valid. Butir soal yang tidak valid yaitu nomor 4, 22, dan 35. Butir soal yang dinyatakan valid selanjutnya digunakan untuk mengumpulkan data penelitian sedangkan butir soal yang tidak valid dihilangkan.

2. Reliabilitas

Reliabilitas menunjuk pada satu pengertian bahwa instrumen cukup dapat dipercaya untuk digunakan sebagai alat pengumpul data karena instrumen tersebut sudah baik (Suharsimi Arikunto, 2002: 154). Instrumen yang sudah dapat dipercaya (reliabel) akan menghasilkan data yang dapat dipercaya juga. Instrumen yang reliabel adalah instrumen yang yang bila digunakan beberapa kali untuk mengukur objek yang sama, akan menghasilkan data yang sama.


(46)

46

Untuk mengetahui reliabilitas, dalam penelitian ini menggunakan rumus Alpha yaitu sebagai berikut.

r11 = k

k−1 1−

��2 �12 Keterangan:

r11 : reliabilitas instrumen

k : banyaknya butir pertanyaan atau banyaknya soal

b2 : jumlah varians butir

12 : varians total (Suharsimi Arikunto, 2002: 171)

Suatu instrumen dikatakan reliabel jika koefisien reliabilitas yang diperoleh

 0,70. Berdasarkan uji reliabilitas instrumen dengan menggunakan program SPSS 16.0 for Windows, diperoleh hasil sebagai berikut.

Tabel 6. Hasil Uji Reliabilitas Variabel Koefisien

Reliabilitas

Indeks

Reliabilitas Keterangan Membaca

pemahaman 0,869 0,70 Reliabel

Kemampuan menyelesaikan soal cerita matematika

0,874 0,70 Reliabel

Hasil uji reliabilitas pada kedua instrumen di atas menunjukkan koefisien reliabilitas yang diperoleh lebih besar daripada indeks reliabilitas. Oleh karena itu, instrumen membaca pemahaman dan kemampuan menyelesaikan soal cerita matematika memenuhi syarat reliabilitas sehingga dapat digunakan sebagai instrumen pengumpulan data.


(47)

47 I. Teknik Analisis Data

Menurut Sugiyono (2009:147) analisis data merupakan kegiatan setelah data dari seluruh responden atau sumber data lain terkumpul. Teknik analisis data dalam penelitian kuantitatif menggunakan statistik. Adapun analisis data dalam penelitian ini adalah sebagai berikut.

1. Analisis Data Deskriptif

Data yang telah terkumpul selanjutnya dideskripsikan dengan melihat mean (rerata), modus, median, standar deviasi, dan distribusi frekuensi dari masing-masing variabel.

2. Uji Prasyarat Analisis

Penelitian ini bertujuan menguji ukuran populasi melalui data sampel sehingga statistik yang digunakan adalah statistik parametris. Menurut Sugiyono (2009: 172) statistik parametris mensyaratkan data setiap variabel yang akan dianalisis harus berdistribusi normal. Berdasarkan syarat tersebut, maka sebelum uji hipotesis terlebih dahulu dilakukan uji normalitas data dengan menggunakan rumus Chi Kuadrat yaitu sebagai berikut.

�2 = ��− �ℎ 2

�ℎ

Keterangan:

�2: Chi Kuadrat fo : frekuensi observasi

fh : frekuensi harapan

Taraf signifikansi sebagai batas menolak atau menerima keputusan normal tidaknya distribusi data dalam penelitian ini adalah 5%. Selanjutnya oleh Suharsimi


(48)

48

Arikunto (2002: 289) dijelaskan apabila harga 2 yang diperoleh lebih kecil dari harga 2 tabel, maka distribusi data dinyatakan normal. Sebaliknya apabila 2 yang diperoleh lebih besar dari 2 tabel, maka distribusi data dinyatakan tidak normal. 3. Uji Hipotesis

Menurut Sutrisno Hadi (2000: 285) salah satu teknik statistik yang kerap kali digunakan untuk mencari hubungan antar dua variabel adalah teknik korelasi. Pada teknik tersebut, korelasi dinyatakan dalam angka yang disebut koefisien korelasi dan diberi simbol rxy. Koefisien korelasi memiliki dua makna yaitu kuat lemahnya hubungan dan arah hubungan antar variabel. Kedua makna tersebut dijelaskan oleh Syaifuddin Azwar (2012: 47-48) sebagai berikut.

Kuat lemahnya hubungan antara dua variabel ditunjukkan oleh besarnya harga mutlak koefisien korelasi yang bergerak antara 0 sampai 1. Semakin mendekati angka 0 berarti hubungan semakin lemah dan semakin mendekati angka 1 berarti hubungan semakin kuat. Arah hubungan ditunjukkan oleh tanda positif atau negatif di depan koefisien korelasi. Tanda positif menunjukkan hubungan positif, yaitu naiknya angka pada satu variabel diikuti oleh naiknya angka pada variabel yang lain dan turunnya angka pada satu variabel diikuti oleh turunnya angka pada satu variabel lain. Tanda negatif menunjukkan hubungan negatif, yaitu naiknya angka pada satu variabel diikuti oleh turunnya angka pada variabel lain dan turunnya angka pada satu variabel diikuti oleh naiknya angka pada variabel lain.

Teknik korelasi dalam penelitian ini menggunakan korelasi product moment dengan rumus angka kasar untuk menguji hipotesis. Menurut Sutrisno Hadi (2000: 294) rumus tersebut adalah sebagai berikut.

rxy = N XY− X Y

N X2− X 2 N Y2− Y 2 Keterangan:


(49)

49 N : jumlah subjek

X : jumlah X

X2 : jumlah X kuadrat

Y : jumlah Y

Y2 : jumlah Y kuadrat

XY : jumlah perkalian X dengan Y

Setelah nilai rxy diperoleh maka langkah selanjutnya adalah mengkonsultasikan dengan nilai r tabel pada taraf signifikansi 5%. Apabila nilai r hitung lebih besar atau sama dengan r tabel maka variabel tersebut memiliki hubungan. Sebaliknya apabila r hitung lebih kecil dari r tabel maka tidak terdapat hubungan. Sutrisno Hadi (2000: 302) juga menambahkan apabila nilai r yang kita peroleh sama dengan atau lebih besar daripada r tabel, maka nilai r yang kita peroleh itu signifikan.

Menurut Suharsimi Arikunto (2002: 245) untuk dapat memberi interpretasi terhadap koefisien korelasi yang diperoleh atau r hitung, maka dapat digunakan pedoman interpretasi di bawah ini.

Tabel 7. Tabel Interpretasi Nilai r

Besarnya Nilai r Interpretasi

Antara 0,800 sampai dengan 1,00 Tinggi Antara 0,600 sampai dengan 0,800 Cukup Antara 0,400 sampai dengan 0,600 Agak rendah Antara 0,200 sampai dengan 0,400 Rendah


(50)

50 BAB IV

HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

A. Hasil Penelitian 1. Deskripsi Data

Penelitian ini dilaksanakan di SD se-Gugus Karangmojo III yang meliputi enam SD, antara lain SD Karangmojo III, SD Gedangan, SD Pangkah, SD Muh. Sumberejo, SD Gedangan I, dan SD Karangwetan. Subjek penelitian sejumlah 85 siswa kelas IV tahun ajaran 2013/2014. Dalam penelitian ini ada dua variabel yaitu membaca pemahaman (X) dan kemampuan menyelesaikan soal cerita matematika (Y). Data dari dua variabel tersebut diperoleh dari hasil tes yang selanjutnya dianalisis menggunakan korelasi product moment. Analisis ini dilakukan untuk mengetahui hubungan antara membaca pemahaman dengan kemampuan menyelesaikan soal cerita matematika.

Untuk menghitung korelasi dengan product moment ini dilakukan dengan dua cara yaitu dengan cara manual dan dibantu dengan program SPSS 16.0 for Windows. Adapun dengan cara manual, peneliti membuat tabel-tabel penolong untuk memudahkan dalam menghitung. Nilai r hitung yang telah diperoleh, kemudian dikonsultasikan dengan nilai r tabel product moment. Apabila nilai r hitung lebih besar atau sama dengan r tabel maka kedua variabel tersebut memiliki hubungan yang positif. Begitu pula sebaliknya, apabila r hitung lebih kecil dari r tabel maka tidak terdapat hubungan positif.

Berdasarkan hasil perolehan dari tabel penolong yang dapat dilihat di lampiran 19, selanjutnya hasil tersebut dimasukkan ke dalam korelasi product moment dengan rumus angka kasar berikut ini.


(51)

51

rxy = N XY− X Y

N X2X 2 N Y2Y 2

rxy = 85 402.843 − 5949 (5662)

85 425.863 − 5949 2 85 3885185662 2

rxy = 34.241.655−33.683.238

36.198.355−35.390.601 33.024.030−32.058.244 rxy =

558.417

807.754 965.786

rxy = 558.417

780.117.504.644 rxy =

558.417 883.242,608 rxy = 0,632

Menurut hasil analisis korelasi di atas, diperoleh nilai r hitung sebesar 0,632. Nilai tersebut kemudian dikonsultasikan dengan nilai r tabel product moment dengan taraf signifikan 5% dan N sebesar 85, diperoleh nilai r tabel sebesar 0,213. Diketahui nilai r hitung (0,632) lebih besar daripada nilai r tabel (0,213) pada taraf signifikansi 5%, sehingga membaca pemahaman dengan kemampuan menyelesaikan soal cerita terdapat hubungan yang positif dan signifikan. Di samping menggunakan rumus di atas, peneliti juga menggunakan bantuan program SPSS 16.0 for Windows. Dari hasil analisis dengan SPSS 16.0 for Windows diperoleh nilai r hitung yang sama dengan hasil perhitungan manual yaitu sebesar 0,632 pada taraf signifikansi 5% dan nilai signifikansinya sebesar 0,000. Hasil perhitungan menggunakan SPSS 16.0 for Windows dapat dilihat di lampiran 19. Setelah diperoleh nilai r hitung, selanjutnya

diinterpretasikan sesuai pedoman interpretasi nilai r menurut Suharsimi Arikunto. Nilai r hitung sebesar 0,632 termasuk kategori tingkat hubungannya cukup.


(52)

52 a. Membaca Pemahaman

Data untuk mengetahui kemampuan siswa kelas IV semester II tahun ajaran 2013/2014 dalam hal membaca pemahaman diperoleh dari tes yang terdiri dari 31 butir soal yang telah diuji validitas dan reliabilitasnya. Kemungkinan nilai tertinggi yang diperoleh siswa adalah 100 sedangkan kemungkinan nilai terendah adalah 0. Nilai yang diperoleh dari membaca pemahaman, kemudian dikategorikan ke dalam lima kategori. Menurut Zainal Arifin (2012: 236), pengkategorian tersebut yaitu:

1) Mean + 1,5 (standar deviasi) A (sangat baik) 2) Mean + 0,5 (standar deviasi) B (baik)

3) Mean – 0,5 (standar deviasi) C (cukup) 4) Mean – 1,5 (standar deviasi) D (kurang) 5) Kurang dari perhitungan nilai D E (kurang sekali)

Adapun hasil dari perhitungan kategori nilai membaca pemahaman siswa kelas IV SD se-Gugus Karangmojo III, dapat disajikan ke dalam tabel distribusi frekuensi berikut ini.

Tabel 8. Distribusi Frekuensi Nilai Membaca Pemahaman Siswa Kelas IV SD se-Gugus Karangmojo III

No Nilai Frekuensi Persentase Cumulative

Persen Kategori

1. 86 – 100 7 8,24 8.24 Sangat baik

2. 75 – 85 17 20,00 28.24 Baik

3. 65 – 74 41 48,24 76.48 Cukup

4. 54 – 64 16 18,82 95.30 Kurang

5. < 54 4 4,71 100.01 Kurang sekali


(53)

53

Dari data nilai membaca pemahaman siswa kelas IV SD se-Gugus Karangmojo III yang diperoleh, diketahui nilai tertinggi adalah 97 dan nilai terendah adalah 45 sehingga range nilai membaca pemahaman adalah 52. Di samping itu, mean nilai membaca pemahaman siswa adalah 69,99 dan standar deviasinya adalah 10,636. Median dari nilai membaca pemahaman siswa adalah 68 sedangkan modusnya adalah 68. Data selengkapnya dapat dilihat pada lampiran 17.

Berdasarkan tabel distribusi frekuensi nilai membaca pemahaman, diketahui ada 7 orang siswa termasuk kategori A (sangat baik), 17 orang siswa termasuk kategori B (baik), 41 orang siswa termasuk kategori C (cukup), 16 orang siswa termasuk kategori D (kurang), dan 4 orang siswa termasuk kategori E (kurang sekali). Mean nilai membaca pemahaman siswa tersebut apabila dimasukkan ke dalam kategori pada tabel di atas, maka kemampuan siswa kelas IV SD se-Gugus Karangmojo III dalam hal membaca pemahaman termasuk kategori cukup.

b. Kemampuan Menyelesaikan Soal Cerita Matematika

Data untuk mengetahui kemampuan menyelesaikan soal cerita matematika pada siswa kelas IV semester II tahun ajaran 2013/2014 diperoleh dari tes yang terdiri dari 32 butir soal yang telah diuji validitas dan reliabilitasnya. Kemungkinan nilai tertinggi yang diperoleh siswa adalah 100 sedangkan kemungkinan nilai terendah adalah 0. Nilai yang diperoleh dari kemampuan menyelesaikan soal cerita matematika, kemudian dikategorikan ke dalam lima kategori. Menurut Zainal Arifin (2012: 236), pengkategorian tersebut yaitu:


(1)

63

satunya dapat menguasai dan menyelesaikan soal cerita matematika secara maksimal.

E. Keterbatasan

Penelitian ini telah membuktikan adanya hubungan yang positif dan signifikan antara membaca pemahaman dengan kemampuan menyelesaikan soal cerita matematika. Namun peneliti menyadari bahwa penelitian ini memiliki keterbatasan yaitu sebagai berikut.

1. Penelitian ini meneliti hubungan antara membaca pemahaman dengan kemampuan menyelesaikan soal cerita matematika, khususnya pada penjumlahan dan pengurangan bilangan bulat pada siswa kelas IV SD se-Gugus Karangmojo III karena keterbatasan waktu, tenaga, dan biaya.

2. Instrumen yang digunakan dalam penelitian ini berupa tes pilihan ganda sehingga membatasi siswa dalam memberikan jawaban.


(2)

64 BAB V

KESIMPULAN DAN SARAN A. Kesimpulan

Berdasarkan hasil analisis data, pengujian hipotesis penelitian yang diajukan, dan pembahasan, maka dapat disimpulkan sebagai berikut. Ada hubungan yang positif dan signifikan antara membaca pemahaman dengan kemampuan menyelesaikan soal cerita matematika pada siswa kelas IV SD se-Gugus Karangmojo III Gunungkidul. Hal tersebut ditunjukkan dari hasil analisis korelasi product moment diperoleh nilai rhitung (0,632) > rtabel (0,213) dengan nilai signifikansi (0,00) lebih kecil dari 0,05 pada taraf signifikansi 5%. Hubungan yang positif ini menunjukkan setiap kenaikan nilai dari variabel membaca pemahaman akan diikuti dengan kenaikan nilai variabel kemampuan menyelesaikan soal cerita matematika. Begitu juga sebaliknya apabila ada penurunan nilai dari variabel membaca pemahaman, maka akan diikuti dengan penurunan nilai variabel kemampuan menyelesaikan soal cerita matematika. Adapun tingkat hubungan antara membaca pemahaman dengan kemampuan menyelesaikan soal cerita matematika pada siswa kelas IV SD se-Gugus Karangmojo III Gunungkidul termasuk dalam kategori cukup. B. Saran

Berdasarkan kesimpulan di atas, peneliti memberikan saran kepada beberapa pihak yaitu sebagai berikut.

1. Sekolah

Menyediakan fasilitas yang memadai kepada siswa agar dapat mengembangkan kemampuan membacanya.


(3)

65 2. Guru

a. Memberikan latihan-latihan agar kemampuan siswa dalam membaca pemahaman dapat meningkat.

b. Mendorong siswa untuk rajin membaca.

c. Memberikan berbagai latihan soal cerita dalam pembelajaran matematika agar siswa mampu membiasakan diri untuk membaca.

3. Siswa

a. Meningkatkan kemampuan membaca.

b. Meluangkan waktu untuk membaca karena manfaat membaca sangat penting dalam memahami dan menguasai berbagai mata pelajaran lain, salah satunya matematika pada pembelajaran soal cerita.


(4)

66

DAFTAR PUSTAKA

Ahmad Rofi’uddin dan Darmiyati Zuhdi. (2002). Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia di Kelas Tinggi. Malang: Universitas Negeri Malang.

Akbar Sutawidjaja, dkk. (1992/1993). Pendidikan Matematika 3. Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi.

Antonius Cahya Prihandoko. (2006). Memahami Konsep Matematika secara Benar

dan Menyajikannya dengan Menarik. Jakarta: Depdiknas.

Burhan Nurgiyantoro. (2012). Penilaian Pembelajaran Bahasa. Yogyakarta: BPFE. Depdiknas. (2009). Panduan untuk Guru: Membaca Lanjut untuk Sekolah Dasar

Kelas 4, 5, 6. Jakarta: Depdiknas.

________. (2009). Pedoman Pembelajaran Matematika di Sekolah Dasar. Jakarta: Depdiknas.

Erman Suherman, dkk. (2001). Strategi Pembelajaran Matematika Kontemporer. Bandung: JICA-UPI.

Farida Rahim. (2008). Pengajaran Membaca di Sekolah Dasar. Jakarta: Bumi Aksara.

Hamzah B. Uno. (2006). Perencanaan Pembelajaran. Jakarta: Bumi Aksara.

Haryadi dan Zamzani. (1996/1997). Peningkatan Keterampilan Berbahasa

Indonesia. Yogyakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Direktorat

Jenderal Pendidikan Tinggi.

Henry Guntur Tarigan. (2008). Membaca sebagai Suatu Keterampilan Berbahasa. Bandung: Angkasa.

Juliansyah Noor. (2011). Metodologi Penelitian: Skripsi, Tesis, Disertasi, dan Karya

Ilmiah. Jakarta: Kencana.

Marsigit. (2003). Wawasan tentang Strategi dan Aplikasi Pembelajaran Matematika Berbasis Kompetensi. Makalah, Seminar. Yogyakarta: FMIPA UNY.

Muhammad Ilman Nafi’an. (2011). Kemampuan Siswa Dalam Menyelesaikan Soal Cerita Ditinjau dari Gender di Sekolah Dasar. Prosiding, Seminar Nasional. Yogyakarta: FMIPA UNY.


(5)

67

Nyimas Aisyah, dkk. (2007). Pengembangan Pembelajaran Matematika SD. Jakarta: Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi Departemen Pendidikan Nasional. Pramila Ahuja dan G. C. Ahuja. (2010). Membaca secara Efektif dan Efisien.

Bandung: Kiblat Buku Utama.

Rita Eka Izzaty, dkk. (2008). Perkembangan Peserta Didik. Yogyakarta: UNY Press. Sabarti Akhadiah, dkk. (1992/1993). Bahasa Indonesia 1. Jakarta: Departemen

Pendidikan dan Kebudayaan Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi.

____________________. (1992/1993). Bahasa Indonesia 2. Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi.

Samsu Somadayo. (2011). Strategi dan Teknik Pembelajaran Membaca. Yogyakarta: Graha Ilmu.

Soedarso. (2005). Speed Reading: Sistem Membaca Cepat dan Efektif. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama.

Sugihartono, dkk. (2007). Psikologi Pendidikan. Yogyakarta: UNY Press.

Sugiyono. (2009). Metode Penelitian Kuantitatif Kualitatif dan R&D. Bandung: Alfabeta.

_______. (2010). Statistika untuk Penelitian. Bandung: Alfabeta.

Suharjo. (2006). Mengenal Pendidikan Sekolah Dasar: Teori dan Praktek. Jakarta: Departemen Pendidikan Nasional Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi. Suharsimi Arikunto. (2002). Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktek. Jakarta:

Rineka Cipta.

________________. (2012). Dasar-dasar Evaluasi Pendidikan. Jakarta: Bumi Aksara.

Sukardi. (2004). Metodologi Penelitian Pendidikan Kompetensi dan Praktiknya. Jakarta: Bumi Aksara.

Suprihadi Saputro, dkk. (2000). Strategi Pembelajaran. Malang: Departemen Pendidikan Nasional Universitas Negeri Malang.

Sutrisno Hadi. (2000). Statistik Jilid 1. Yogyakarta: Andi. ___________. (2000). Statistik Jilid 2. Yogyakarta: Andi.


(6)

68

Sri Anitah W. (2008). Strategi Pembelajaran di SD. Jakarta: Universitas Terbuka. Syaifuddin Azwar. (2012). Tes Prestasi. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Syaiful Bahri Djamarah. (2011). Psikologi Belajar. Jakarta: Rineka Cipta.

T. Wakiman. (2001). Alat Peraga Pendidikan Matematika 1. Yogyakarta: FIP UNY. William G. Cochran. (2005). Teknik Penarikan Sampel. Penerjemah: Rudiansyah dan

Erwin R. Osman. Jakarta: UI Press.

Wina Sanjaya. (2008). Perencanaan dan Desain Sistem Pembelajaran. Jakarta: Kencana Prenada Media Group.

Zainal Arifin. (2012). Evaluasi Pembelajaran: Prinsip, Teknik, Prosedur. Bandung: PT Remaja Rosdakarya.


Dokumen yang terkait

ANALISIS KESALAHAN SISWA DALAM MENYELESAIKAN SOAL CERITA MATEMATIKA MATERI PECAHAN PADA SISWA KELAS IV DI SD NEGERI SE GUGUS LODAN SEMARANG UTARA

7 96 227

HUBUNGAN ANTARA PEMAHAMAN OPERASI HITUNG DAN KEMAMPUAN MEMBUAT MODEL MATEMATIKA DENGAN HUBUNGAN ANTARA PEMAHAMAN OPERASI HITUNG DAN KEMAMPUAN MEMBUAT MODEL MATEMATIKA DENGAN KEMAMPUAN MENYELESAIKAN SOAL CERITA MATEMATIKA SISWA KELAS 1 SMP MUHAMMADIYAH 1

0 1 16

BAB 1 PENDAHULUAN HUBUNGAN ANTARA PEMAHAMAN OPERASI HITUNG DAN KEMAMPUAN MEMBUAT MODEL MATEMATIKA DENGAN KEMAMPUAN MENYELESAIKAN SOAL CERITA MATEMATIKA SISWA KELAS 1 SMP MUHAMMADIYAH 1 CILACAP.

0 1 10

PENINGKATAN KEMAMPUAN MENYELESAIKAN SOAL CERITA MATEMATIKA DENGAN PENDEKATAN REALISTIC Peningkatan Kemampuan Menyelesaikan Soal Cerita Matematika Dengan Pendekatan Realistic Mathematics Education (RME) Pada Siswa Kelas IV SD Negeri 1 Gempol Karanganom Kl

0 1 15

PENGARUH KETRAMPILAN MEMBACA PEMAHAMAN TERHADAP KEMAMPUAN MENYELESAIKAN SOAL CERITA MATEMATIKA SISWA KELAS IV SEKOLAH DASAR GUGUS IV KECAMATAN PENGASIH.

4 19 133

HUBUNGAN KEMAMPUAN MEMBACA DENGAN KEMAMPUAN PEMECAHAN SOAL CERITA MATEMATIKA SISWA KELAS V SEKOLAH DASAR NEGERI GUGUS III KECAMATAN KOKAP KABUPATEN KULON PROGO TAHUN AJARAN 2015/2016.

0 0 169

PENGARUH KEMAMPUAN MEMBACA PEMAHAMAN TERHADAP KEMAMPUAN MENYELESAIKAN SOAL CERITA MATEMATIKA SISWA KELAS V SEKOLAH DASAR SE-GUGUS 3 KECAMATAN SEYEGAN KABUPATEN SLEMAN.

0 0 199

HUBUNGAN KECERDASAN VERBAL DAN KECERDASAN LOGIKA MATEMATIKA DENGAN KEMAMPUAN MENYELESAIKAN SOAL CERITA MATEMATIKA SISWA SD Muncarno

0 1 11

PENGARUH KEMAMPUAN PEMAHAMAN MEMBACA SOAL DAN KEMAMPUAN MENYELESAIKAN SOAL CERITA MATEMATIKA TERHADAP PRESTASI BELAJAR MATEMATIKA DI KELAS IV SD NEGERI SINDANGSARI 01 MAJENANG

0 0 15

BAB II KAJIAN TEORI A. Hakekat Membaca - PENGARUH KEMAMPUAN PEMAHAMAN MEMBACA SOAL DAN KEMAMPUAN MENYELESAIKAN SOAL CERITA MATEMATIKA TERHADAP PRESTASI BELAJAR MATEMATIKA DI KELAS IV SD NEGERI SINDANGSARI 01 MAJENANG - repository perpustakaan

0 0 24