PESAN FILM "DI BALIK FREKUENSI" DALAM KONGLOMERASI MEDIA INDONESIA : ANALISIS SEMIOTIK MODEL CHARLES SANDER PIERCE.

(1)

SKRIPSI

Diajukan Kepada Universitas Islam Negeri Sunan Ampel Surabaya

Untuk Memenuhi Salah Satu Persyaratan Dalam Memperoleh

Gelar Sarjana Ilmu Komunikasi (S.I Kom)

Oleh

MOCHAMMAD MIRZA GELAR NUSANTARA

B06209047

PROGRAM STUDI ILMU KOMUNIKASI

FAKULTAS DAKWAH DAN KOMUNIKASI

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SUNAN AMPEL SURABAYA

2016


(2)

(3)

(4)

(5)

iv

MOTTO & PERSEMBAHAN

MOTTO

ي ع اوحبْصت ف ة لا ه جب امْو ق اوبيصت ْن أ اوني ب ت ف إ ب نب قسا ف ْمك ءا ج ْنإ اون مآ نيذلا ا هي أ ا نيمدا ن ْمتْل ع ف ا م ٰى ل

Hai orang-orang yang beriman, jika datang kepadamu orang fasik membawa suatu berita, maka periksalah dengan teliti agar kamu tidak menimpakan suatu musibah

kepada suatu kaum tanpa mengetahui keadaannya yang menyebabkan kamu menyesal atas perbuatanmu itu. 1

Hadist :

Cukup seseorang dinilai berbohong, dengan mengatakan setiap yang ia dengar. (HR. Muslim)2.

PERSEMBAHAN

Skripsi ini kupersembahkan untuk kedua orang tua Ibu, Bapak, dan Keluarga besar yang telah mendidik dan membesarkan sehingga mengerti makna tujuan

hidup yang sesungguhnya, Do’amu yang menjadikanku percaya dan yakin akan

masa depan dan semua guru yang telah membukakan mataku akan pentingnya

ilmu pengetahuan. Tidak lupa juga kepada rekan – rekan seperjuangan yang

terus menginspirasi dan memotifasi baik secara moral maupun material.

1

Tafsirq, tafsir Al – Quran Online Diakses dari http://tafsirq.com/49-al-hujurat/ayat-6 pada 4 Februari 2016

2


(6)

v

KATA PENGANTAR

Segenap puji syukur penulis sampaikan kepada Allah SWT, karena atas rahmat dan hidayah- Nya, perencanaan, pelaksanaan, dan penyelesaian skripsi sebagai salah satu syarat menyelesaikan program sarjana strata satu (S-1), dapat terselesaikan dengan lancar. Seiring dengan itu penulis sangat berterima kasih kepada kedua orang tua karena kesuksesan ini dapat penulis peroleh karena dukungan berbagai pihak. Oleh karena itu, penulis menyadari dan menyampaikan terima kasih yang sedalam-dalamnya kepada:

1. Bapak Prof. Dr. H. Abd. A’la, M.Ag.,selaku Rektor Universitas Islam Negeri Sunan Ampel Surabaya.

2. Ibu Dr. Hj. Rr. Suhartini, M. Si, Selaku Dekan Fakultas Dakwah dan KomunikasiUniversitas Islam Negeri Sunan Ampel Surabaya.

3. Ibu Wahyu Ilahi, M.Si. selaku kepala jurusan komunikasi, yang telah memberi izin dan persetujuan hingga penelitian ini dapat diuji pada level program pencapaian gelar sarjana.

4. Ibu Dr. Nikmah Hadiati Salisah, S.IP., M.Si selaku sekertaris jurusan,. 5. Bapak Advan Naviz Zubaidi, S.ST, M.Si. selaku ketua program studi Ilmu

Komunikasi.

6. Bapak Dr. Ali Nurdin, S.Ag., M.Si, dosen pembimbing skripsi yang senantiasa mengarahkan penulisan menuju perbaikan-perbaikan dan pemberian motivasi semangat dan dukungan dalam penyelesaian skripsi ini. 7. Bapak dan Ibu dosen pengampu Fakultas Dakwah dan Komunikasi

Universitas Islam Negeri Sunan Ampel Surabaya yang telah memberikan dan mencurahkan segala ilmunya.

8. Seluruh beluarga besar Hamdani Zubir (Alm) dan ibu Mukaromah tercinta, yang senantiasa memberikan support dan dan doa, “akhirnya anakmu telah meyelesaikan kuliah ”.

9. Untuk teman – teman spesial, teman teman seperjuangan dan sekaligus orang yang sudah penulis anggap sebagai saudara sendiri Ita Lutfiana, Varry


(7)

vi

masih banyak lainya yang selalu memberikan arti persahabatan sehingga hidupku lebih bermakna.

10.Untuk keluarga besar Pemuda Pancasila Indonesia. MPC GRESIK, IPPK UIN Surabaya, Pualam Band Usluhudin semoga kita mendapatkan kesuksesan bersama-sama.

Skripsi ini masih jauh dari sempurna, oleh karena itu penulis mengharapkan ada penelitan lebih lanjut untuk menyempurnakan khazanah keilmuan dalam pelaksanaan

analisis “ Pesan Konglomerasi Media Dalam Film Dokumenter Dibalik Frekuensi”

(Analisis Semiotika Model Charles Sander Pierce).

Surabaya, 15 Januari 2016


(8)

vii ABSTRAK

Mochammad Mirza Gelar Nusantara B06209047 Pesan Film Dokumenter “Di Balik Frekuensi” Dalam Konglomerasi Media Di Indonesia (ANALISIS SEMIOTIK MODEL CHARLES SANDER PIERCE)

Kata kunci : Semiotika, Charles Sander Pierce, Konglomerasi Media, Dibalik Frekuensi

Ada beberapa persoalan yang kompleks yang hendak dikaji dalam skripsi ini, yaitu bagaiman pesan konglomerasi media dalam film di balik frekuensi di sajikan.

Untuk mengungkap persoalan tersebut secara menyeluruh dan mendalam, metode yang digunakan adalah analisis semiotik sedangakan teknik pengumpulan data audio maupun visual sehingga melalui sign dan symbol dapat merepresentasikan data yang ada dalam film tersebut

Dari hasil penelitian, ditemukan bahwa Konglomerasi Media Massa yang dapat di identifikasi dengan semakin terpusatmya kepemilikan media di tangan dua belas

pemilik media yang hari ke hari semakin mendominasi frekuensi publik. Dalam film

dokumenter Di Balik Frekuensi yang merujuk pada tanda – tanda yang memuat fenomena konglomerasi media. Pesan konglomerasi media dalam film ini di kontruksi melalui tiga wacana pokok yang di uraikan dalam tiga eleman utama yang


(9)

viii

DAFTAR ISI

LEMBAR PERNYATAAN KEASLIAN KARYA ... i

LEMBAR PERSETUJUAN ... ii

LEMBAR PENGESAHAN... iii

MOTTO DAN PERSEMBAHAN ... iv

KATA PENGANTAR ... v

ABSTRAK ... vii

DAFTAR ISI ... viii

BAB I PENDAHULUAN ... 1

A. Latar Belakang ... 1

B. Rumusan Masalah ... 5

C. Tujuan Penelitian... 5

D. Manfaat Penelitian ... 5

E. Kajian Penelitian Terdahulu ... 6

F. Definisi Konsep ... 8

G. Kerangka Berfikir Penelitian ... 12

H. Metode Penelitian ... 13

I. Sistematika Pembahasan ... 18

BAB II PESAN FILM DOKUMENTER “DI BALIK FREKUENSI” DITINJAU DALAM SEMIOTIKA CHARLES SANDER PIERCE... ... 20 A. Semiotika Dan Konglomerasi Media Dalam Film


(10)

ix

“Di Balik Frekuensi”... 20

1. Analisis Semiotika... 20

2. Fenomena Konglomerasi Media ... 24

3. Ekonomi Dan Politik Industri Media ... 32

4. Sejarah Singkat Industri Media Di Indonesia ... 35

B. Konglomerasi Media dalam Perpektif Teori Semiotika Charles Sanders Peirce ... 40

BAB III DESKRIPSI UMUM PENELITIAN PESAN FILM DOKUMENTER “DI BALIK FREKUENSI” DALAM KONGLOMERASI MEDIA DI INDONESIA ... 42

A. Deskripsi Subyek Penelitian ... 42

1. Profil Film Dokumenter “Dibalik Frekuensi” ... 42

2. Profil Cipta Media Bersama ... 43

3. Profil Ford Foudation ... 45

4. Wiki Media Indonesia ... 47

5. Profil ICT Watch ... 50

6. Profil Aliansi Jurnalis Independen (AJI) ... 51

7. Penokohan dalam Film ... 54

8. Sinopsis Film ... 78


(11)

x

BAB IV ANALISISPESAN FILM DOKUMENTER “DI BALIK

FREKUENSI” DALAM KONGLOMERASI MEDIA DI

INDONESIA ... 95

A. Temuan Penelitian ... 95

B. Konfrmasi Temuan Dengan Teori ... 99

BAB V PENUTUP ... 103

A. Kesimpulan ... 103

B. Saran ... 103

DAFTAR PUSTAKA


(12)

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Film “Di Balik Frekuensi” adalah film bergenre Documentary1, Film ini menceritakan Luviana adalah seorang jurnalis yang telah bekerja 10 tahun di Metro TV, dianggap bermasalah karena mempertanyakan system manajemen yang tak berpihak pada pekerja dan mengkritis newsroom. Merasa diperlakukan tidak adil Luviana melakukan aksi demontrasi bersama serikat buruh dan pada akhirnya harus berhadapan dengan Surya Paloh sebagai pemilik stasiun televisi Metro TV yang pada waktu itu menjabat sebagai Ketua Umum Partai Nasional Demokrat. Kemudian Hari Suwandi & Harto Wiyono adalah dua orang warga lumpur sidoarjo yang melakukan aksi jalan kaki dari Sidoarjo – Jakarta untuk mencari keadilan bagi warga lumpur sidoarjo yang pembayar ganti ruginya belum dilunasi oleh PT. Menarak Lapindo Jaya milik Ir. H. Aburizal Bakrie yang juga pemilik stasiun TV ONE.

Film ini menyorot konglomerasi media yang dalam penyajiannya menunjukkan aktifitas pengusaha media dibalik semua kontruksi berita yang mewarnai industri media Indonesia. Sementara masyarakat menikmati berita grup pengusaha ini memanfaatkan medianya dan frekuensi publik untuk mencapai kepentingan politik dan ekonominya.

1

Larry Ward. Catatan Kuliah untuk BA di Radio-TV-Film(RTVF). 375: Dokumenter Film & Televisi. California State University, Fullerton (2008) Hal 4 – 12.


(13)

Pasca reformasi tahun 1998 corak industri media di Indonesia mengalami banyak sekali perkembangan pola dalam sistem perindustrian media yang pada masa orde baru seluruh media masa tidak memiliki hak yang luas untuk mengoptimalkan kebebasan pers. Kebebasan pers dimulai pada UU No. 40 tahun 1999 disebutkan bahwa kemerdekaan pers adalah salah satu wujud kedaulatan rakyat yang berdasarkan asas-asas demokrasi, keadilan dan supremasi hukum2

. Undang – undang inilah yang dijadikan landasan pacu pemilik media untuk memulai mengembangkan sayapnya industrinya.

Kebebasan media juga memunculkan masalah pemusatan kepemilikan perusahaan media yang mengubah wajah kebebasan media dan kebutuhan informasi publik menjadi kebebasan menguasai pasar media. Dalam sejarah perkembangan media internasional menurut Ben H. Bagdikian, selama dekade 1980 – an, Amerika serikat menyaksikan semakin terpusatnya kepemilikan media ditangan sedikit orang atau perusahaan. Tidak pernah terjadi sebelumnya korporasi – korporasi media ini memiliki kekuasaan yang sangat besar hingga dapat membentuk landskap dan mempengaruhi sosial di Amerika3. Dari sejarah media yang dituturkan oleh Ben H. Bagdikian kondisi semacam itu kini juga terjadi di Indonesia era pasca reformasi sampai saat ini publik atau masyarakat diproyeksikan semacam pasar dan industri media

2

Elvinaro dan Lukiati komala Erdinaya, komunikasi massa suatu pengantar,( Bandung : Simbiosa Rekatama media, 2004 ), Hal 199

3


(14)

tidak ubahnya sebagai pabrik makanan yang seyogyanya memberikan asupan gizi terhadap masyarakat.

Namun pada faktanya asupan gizi yang dihasilkan oleh korporasi media memunculkan kontruksi realitas sehingga secara perlahan merubah ideologis masyarakat sesuai dengan ideologis media yang membela kelompok sealiran dan penyerangan terhadap kelompok yang berbeda halauan.4 Ideologi media dalam teori komunikasi masa disebutkan Agenda Setting Theory atau digambarkan dalam teori agenda seting terkait kemampuan media masa untuk mempengaruhi bahwasanya berita yang diberikan adalah berita penting, artinya dalam proses penyajian berita,penonton akan menganggap berita yang sering ditampilkan adalah berita yang lebih penting. Dengan membandingkan arti-penting dari isu-isu dalam isi berita dengan persepsi publik dari isu yang ada menurut Mc Combs dan Shaw mampu menentukan sejauh mana media yang menentukan opini publik5. Perebutan opini publik inilah yang mengusung istilah konglomerasi media, dimana para owner pemilik perusahaan media melakukan koorporasi dengan perusahaan media lain yang dianggap mempunyai visi yang sama. Pembentukan konglomerasi ini dengan cara kepemilikan saham, joint venture / merger, atau pendirian kartel komunikasi dalam skala besar. Jadi pada kesimpulannya konglomerasi media bertujuan untuk mendominasi

4

Ibnu Hamad KONTRUKSI REALITAS POLITIK Dalam MEDIA MASSA, Sebuah Study Critical Discourse Analysis terhadap Berita - berita Politik. (2004) Hal 26

5

McCombs, M; Shaw, D "The agenda-setting function of mass media". Public Opinion Quarterly


(15)

frekuensi publik dengan cara menguasai seluruh komponen media masa yang fungsinya sebagai penyampai ideologis media dalam kontruksi realitas yang membela kelompok sealiran ; dan penyerangan terhadap kelompok yang berbeda halauan6.

Ribuan media beraneka format, baik cetak, online, radio maupun televisi yang informasinya diserap 250 juta penduduk Indonesia, sehingga tahu bahwasanya apa yang digambarkan media saat ini tidak bisa dilepaskan dari peran serta masyarakat yang jelas memberikan sumbangsi yang besar dalam mempengaruhi frekuensi pengguna media masa, entah itu digital,elektronik maupun cetak. Dalam sebuah tinjauan sejarah, media masa berkontribusi besar dalam kontruksi sejarah peradapan umat manusia di era modern ini. Media masa yang diyakini menyebabkan kekerasan, pergaulan bebas dan berkontribusi dalam diskriminasi terhadap perempuan. Iklan media yang digunakan untuk menjual produk dan jasa. Berita media terkemuka telah terbukti secara signifikan mempengaruhi harga saham; menyebabkan runtuh perusahaan; penyebab jatuh dalam penjualan produk; mengakibatkan kemunduran perusahaan senior dan juga bahkan mampu menurunkan presiden7.

Berdasarkan fenomena diatas, banyaknya keterkaitan antara satu fenomena ke fenomena lainnya sesuai dengan yang dituliskan Mikhail Bakhtin teks pada dasarnya bersifat dialogis. Ketika bicara apa yang

6

Ibnu Hamad KONTRUKSI REALITAS POLITIK Dalam MEDIA MASSA, Sebuah Study Critical Discourse Analysis terhadap Berita - berita Politik, 2004. Hal 26

7


(16)

dikatakan terikat pada sesuatu yang pernah dikatakan sebelumnya,

keterkaitan inilah yang disebut intertekstualitas8. Selain dari

intertekstulitas fenomena seputar konglomerasi media masih banyak hal

yang perlu diulas mendetail dalam film dokumenter “Di Balik

Frekuensi” sehingga peneliti tertarik untuk mengangkat fenomena mengenai bagaimana pesan konglomerasi yang ada dalam film dokumenter “Di Balik Frekuensi”.

B. Rumusan Masalah

Bagaimana pesan Film Dokumenter “Di Balik Frekuensi” Dalam Konglomerasi Media Indonesia

C. Tujuan Penelitian

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pesan Film

Dokumenter “Di Balik Frekuensi” Dalam Konglomerasi Media

Indonesia

D. Manfaat Penelitian 1.Manfaat teoritik

a.Penelitian ini diharapkan dapat menambah wawasan keilmuan komunikasi media masa khususnya fenomena “konglomerasi media”.

b.Sebagai rujukan dalam memahami dan menganalisis pesan

“konglomerasi media” dalam film “dibalik frekuensi” 2.Manfaat praktis

8

Mikhail Bakhtin, The dialogic Imagination : Four Essays, Translated by Caryl Emerson and Michael Holquist, Austin :university of Texas Press, 1981, Hal 69


(17)

Bagi penulis

a. Penelitian ini akan memperluas wawasan dan pemahaman antara

dokumentasi fakta dengan penerapan teori komunikasi khususnya aplikasi analisis semiotik Model Sanders Peirce

b. Terpenuhinya salah satu syarat dalam menyelesaikan Skripsi

Program Studi Ilmu Komunikasi untuk meraih gelar sarjana.

Bagi akademisi

Penelitian ini akan mencoba memberikan kontribusi berupa

pemikiran dan temuan temuan empirik mengenai strategi penyampaian

pesan “konglomerasi media” dimata publik, sehingga nantinya

diharapkan dapat dijadikan refrensi bagi peneliti lain dalam melakukan penelitian sejenis

E. Kajian Penelitian Terdahulu

Adapun hasil penelitian terdahulu yang masih relevan dengan penelitian ini adalah sebagai berikut :

1. Skripsi berjudul “Konglomerasi Media Penyiaran Di

Indonesia, Analisis Ekonomi Politik Pada Group Media Nusantara Citraoleh Sagita Ning Tyas, Jurusan Komunikasi Dan Penyiaran Islam Fakultas Dakwah Dan Komunikasi, Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta 2010. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui bagaimanakah regulasi media penyiaran tentang implementasi kepemilikan di


(18)

“Media Nusantara Citra ? dan Bagaimana dampak

konglomerasi media di “Media Nusantara Citra” terhadap

proses komodifikasi, strukturasi, dan spasialisasi?

Penelitian yang gunakan adalah metode kulitatif dengan pardigma kritis yang menggabungkan pendekatan critical political economy yang melihat ekonomi, politik sejarah dan budaya sebagai sesuatu yang tidak dapat dipisahkan.

2. Skripsi berjudul “Representasi perlawanan terhadap pemilik

dan pengelola media televisi dalam film dokumenter Di Balik Frekuensioleh Putri Adityowati, 2013 Jurusan Jurnalistik, Fakultas Ilmu Komunikasi, Universitas PadjadjaranJatinangor. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui bagaimana cara sutradara film Di Balik Frekuensi merepresentasikan perlawanan terhadap pemilik dan pengelola media televisi. Metode penelitian yang digunakan adalah analisis wacana kritis model kognisi sosial Teun A. van Dijk yaitu penelitian terhadap teks, kognisi wartawan atau pembuat teks, dan konteks sosial masyarakat. Hasil penelitian menunjukkan adanya politik seleksi gambar dari realita yang terjadi untuk menonjolkan bagian-bagian tertentu yang merupakan wacana dalam teks. Peneliti menyimpulkan ada pemihakan pembuat film terhadap tokoh Luviana dan Hari Suwandi. Pembuat teks hendak menempatkan kedua tokoh sebagai sosok inspirasi bagi


(19)

masyarakat agar tidak lebih peka mengamati media di era kebebasan pers.

F. Definisi Konsep

1. Pesan Konglomerasi Media (Media Conglomeration)

Konglomerasi media adalah suatu istilah yang diungkapkan oleh Ben H. Bagdikian (1980) yang pada saat itu menangkap perubahan besar corak industri media masa. Konglomerasi media adalah situasi dimana para owner pemilik perusahaan media melakukan korporasi dengan perusahaan media lain yang dianggap mempunyai visi atau misi yang sama. Pembentukan konglomerasi ini dengan cara kepemilikan saham, bekerja sama/ penggabungan, atau pendirian kartel komunikasi dalam skala besar.

Korporasi pada jenis usaha media dapat dilihat pada MNCTV yang sebelumnya adalah TPI yakni salah satu pelopor stasiun televisi swasta di Indonesia milik PT Cipta Lamtoro Gung Persada yang didirikan pada tahun 1990 di Jakarta oleh Siti Hardijanti Rukmana. Pada Maret 2001, 75% TPI dimiliki oleh Media Nusantara Citra, kelompok perusahaan media yang juga memiliki RCTI dan Global TV. Pada 20 Oktober 2010, TPI resmi berganti nama menjadi MNCTV. Perubahan ini ternyata dikarenakan oleh perubahan fokus perusahaan yang tidak sesuai dengan konteks tertulis pada televisi tersebut pada awal berdirinya dahulu. Maka TPI berubah menjadi MNCTV untuk


(20)

mengubah citra TPI dimata masyarakat9. Seiring perkembangannya untuk memperbaiki kualitas acara pada tahun 2009 sampai dengan tahun 2010, MNCTV tidak menyiarkan acara olahraga. Tetapi, mulai tahun 2010 hingga 2013, MNCTV kembali menyiarkan acara olahraga yaitu Liga Utama Inggris namun pada tahun 2011, MNCTV juga memiliki hak siar dalam ajang sepak bola Liga Prima Indonesia, bersama RCTI dan Global TV.

Jadi pada kesimpulannya konglomerasi media bertujuan untuk mendominasi frekuensi publik dengan cara menguasai seluruh komponen media masa yang fungsinya sebagai penyampai ideologis media dalam kontruksi realitas yang membela kelompok sealiran ; dan penyerangan terhadap kelompok yang berbeda halauan10.

Di Indonesia fenomena konglomerasi media dimulai bisa diidentifikasi pasca reformasi dimana hukum tentang kebebasan pers dicanangngkan, hal ini tertera jelas pada UU No. 40 tahun 1999 disebutkan bahwa kemerdekaan pers adalah salah satu wujud kedaulatan rakyat yang berdasarkan asas-asas demokrasi, keadilan dan supremasi hukum11

. Namun kebebasan pers ini banyak sekali menuai pro dan kontra karena dalam aplikasinya mengusung opini, perampasan hak publik, dominasi dan bahaya media di tangan segelintir orang.

9

Profil MNCTV (di akses dari : http://profil.merdeka.com/indonesia/m/mnctv/ pada 4 februari 2016)

10

Ibnu Hamad KONTRUKSI REALITAS POLITIK Dalam MEDIA MASSA, Sebuah Study Critical Discourse Analysis terhadap Berita - berita Politik. 2004, Hal 26

11

Elvinaro dan Lukiati komala Erdinaya, komunikasi massa suatu pengantar,( Bandung : Simbiosa Rekatama media, 2004 ), Hal. 199


(21)

Dalam sejarah perkembangan ekonomi dan politik media di Indonesia kemunculan lembaga penyiaran komersil pertama di Indonesia pada sekitar tahun 1980 – an di era orde baru digunakan untuk memperkuat perekonomian Indonesia dalam mengantisipasi krisis migas.

Kembali pada konteks tersebut televisi swasta untuk mendukung perkembangan industri media RCTI (Rajawali Citra Televisi) Indonesia yang diluncurkan pada 24 agustus tahun 1989 dan merupakan televisi swasta pertama di Indonesia. Selama tahun 1989 sampai dengan tahun 1985 keberadaan televisi swasta bermunculan disusul SCTV (Surya citra televisi), TPI (Televisi Pendidikan Indonesia), ANTV (Andalas Televisi), dan Indosiar (Indosiar Visual Mandiri). Dari kemunculan televisi swasta inilah bias penguasa orde baru tercipta yang pada saat itu contohnya RCTI dimiliki Oleh Bambang Trihatmojo (anak sulung Soeharto), SCTV dimiliki oleh Sudwikatmono (adik tiri Soehato), ANTV dimiliki oleh Bakri Brother Group, dan Indosiar dimiliki oleh Salim Group (partner bisnis keluarga Soeharto)12. Seiring perkembangannya media – media yang menjadi bias penguasa menjadikan peringatan tersendiri bagi publik. Media yang seharusnya menjadi kontrol sosial beralih fungsi sebagai alat penyalur kekuasaan.

12

Yanuar Nugroho Kepemilikan dan Intervensi Siaran,Yayasan tifa dan PR2 Media, 2014 Hal 8 - 9


(22)

2. Film Dokumenter “Di Balik Frekuensi”

Film Di balik Frekuensi karya sutradara Ucu Agustin ini mengungkap kondisi media, khususnya televisi pasca reformasi, Film ini menyoroti konglomerasi media dan penggunaan frekuensi publik di media televisi. Film berdurasi 144 menit 27 detik ini diproduksi hampir setahun, yakni sejak 15 Desember 2011 hingga 25 November 2012. Lokasi pengambilan gambar dilaksanakan di Jakarta, Bandung, Indramayu, Malang, dan Porong, Sidoarjo. Perekaman yang cukup panjang ini menghasilkan lebih dari 330 stok gambar.

Tema film terutama membicarakan media, khususnya media televisi yang menggunakan frekuensi publik. “Ada isu penting yang khusus diangkat setelah reformasi sekian lama. Bagaimana kondisi media, terutama pemilik media dan kepentingan politik dengan frekuensi yang dipakai saat itu,” Film ini menyorot konglomerasi media yang mewarnai industri media Indonesia. Ucu dengan riset yang cukup panjang menyajikan bagaimana media Indonesia yang berada ditangan segelintir kelompok pengusaha.

Grup pengusaha ini memanfaatkan medianya dan frekuensi publik untuk menggolkan kepentingan politik dan ekonominya.Ucu bersama produser Ursula Tumiwa menceritakan apa yang terjadi pada media televisi dan konglomerasi media melalui kisah Luviana, jurnalis Metro TV, yang dipecat sepihak oleh Metro TV, dan kisah Hari Suwandi-Harto


(23)

Wiyono yang berjuang menuntut keadilan dalam kasus ganti rugi lumpur Lapindo.

Melalui kisah mereka yang panjang, Ucu bergantian menyajikan bagaimana para jurnalis di lapangan memberitakan kasus-kasus itu. Menyajikan bagaimana frekuensi publik yang secara serakah dipergunakan para pemilik media untuk kepentingan politik dan ekonominya.

G. Kerangka Berfikir Penelitian

Bagan 1.1

Dari kerangka berfikir diatas bisa diidentifikasi sesuai dengan teori Charles Sanders Pierce yang membagi tanda menjadi 3 bagian yakni : ikon, indeks, dan symbol. Tanda disimpulkan dengan adanya

proses dialog pada film “Di Balik Frekuensi”, lalu indeks dapat dilihat

Produser Ucu Agustin

Realita Konglomerasi Media Film Dokumenter ͞Di Balik Frekuensi͟

Analisis semiotik Charles Sanders Peirce

Makna


(24)

pada alur “realita konglomerasi media di Indonesia”, dan symbol pada

alur “makna”.

Berangkat dari konteks kerangka berfikir diatas keterkaitan dengan realita tentang konglomerasi media yang terjadi di Indonesia, seorang Ucu Agustin sebagai produser berinisiatif memproduksi film

“Di Balik Frekuensi” untuk memberi tahu khalayak tentang adanya fakta yang tersembunyi dibalik eksistensi media masa yang berkembang saat ini.

Untuk mendukung proses penelitian inilah, peneliti menggunakan model analisis semiotika Charles Sanders Peirce. Karena dari analisis inilah peneliti mencoba mengungkap simbol – simbol tentang konglomerasi media beserta makna dari simbol – simbol tersebut sesuai dengan konteks situasi yang disajikan dalam film “Di Balik Frekuensi”. H. Metode Penelitian

1. Pendekatan Dan Jenis Penelitian

Dalam penelitian ini peneliti menggunakan pendekatan kritis, paradigma kritis menekankan pada konstelasi kekuatan yang terjadi proses produksi makna, individu tidak dianggap sebagai subjek yang netral yang bisa menafsirkan secara bebas sesuai

dengan pikirannya. “Karena sangat berhubungan dan dipengaruhi

oleh kekuatan sosial yang ada dalam masyarakat13”.

13


(25)

Paradigma Kritis merupakan suatu cara pandang terhadap realitas sosial yang senantiasa diliputi rasa curiga dan kritis terhadap realitas tersebut. Menurut Eriyanto, pandangan kritis memandang bahwa realitas kehidupan sosial, bukanlah relitas kehidupan yang netral, tetepi dipengaruhi oleh kekuatan ekonomi, politik, dan sosial yang ada dalam masyarakat.

Jenis penlitian ini tergolong penelitian dengan pendekatan

analisis teks media, karena metode tersebut merupakan metode

yang cukup tepat untuk mengetahui konstruksi makna dalam film.

2. Subyek, Dan Obyek Penelitan

Subyek dalam penelitian ini adalah Film “Di Balik

frekuensi”. Obyek penelitian adalah komunikasi teks media yang terdiri atas : gambar, setting, properti,& scene kamera yang ada dalam Film “Di Balik frekuensi”.

Dari obyek tersebut, pentingnya penentuan unit analisis ini, agar validitas dan reabilitas dapat terjaga. Sedangkan yang menjadi obyeknya yakni kajian dari ilmu komunikasi, khususnya

adalah pesan konglomerasi media yang disajikan dalam film “Di


(26)

3.Jenis dan Sumber Data

a. Data primer adalah hasil dari dokumentasi yang tertera di

video film “Di Balik Frekuensi”, baik berupa gambar,

teks, ataupun pers realese.

b. Data Skunder merupakan data yang bisa melengkapi data

utama, berupa info tentang film “Di balik Frekuensi” baik buku, surat kabar, jurnal, skripsi, dan media online yang relevan dengan penelitian ini.

4.Tahap Tahap Penelitian

Dalam tahapan penelitian yang sistematis, penelitian akan

dilakukan dengan cara observasi, adapun tahap – tahap yang

dilakukan sebagai berikut :

a.Mencari topik yang menarik

Dalam proses ini peneliti melakukan proses explorasi, pemilihan dari berbagai topik mengenai perkembangan media saat ini.

b. Tahap Analisis Data

Tahap ini berarti analisa data hanaya dilakukan setelah semua data terkumpul mulai dari observasi awal, mencari konteks penelitian berdasarkan opini yang berkembang di masyarakat yang khususnya terkait dengan media masa saat ini. Dengan kata lain telah dimulai sejak peneliti merumuskan dan menjelaskan masalah dan berlangsung


(27)

terus hingga penulisan laporan hasil penelitian.14

Observasi Terlibat (partisipatory observation).

c.Menyusun Rancangan Penelitian

Dalam hal ini, peneliti terlebih dahulu menemukan permasalahan yang dijadikan objek penelitian. Setelah

permasalahan ditemukan, peneliti membuat Concept Note

yang kemudian disetujui oleh sekertaris jurusan hingga menyusun rancangan penelitian dalam bentuk proposal penelitian yang siap disajikan.

5.Teknik Pengumpulan Data

Data yang dikumpulkan dalam penelitian ini diperoleh langsung dari beberapa aspek realitas, terutama untuk keperluan instruksi atau mempertahankan catatan yang ada dalam Film “Di

Balik Frekuensi” dengan cara mengambil scene yang dianggap memuat penyampaian pesan konglomerasi media kemudian ditranksip menjadi sebuah teks.

6.Teknik Analisis Data

Menurut Lexy J.Moeleong, analisis data adalah

mengorganisasikan dan mengurutkan data kedalam pola, kategori dan satuan uraian dasar sehingga dapat ditemukan tema dan dapat

dirumuskan hipotesis kerja seperti disarankan oleh data.15

14

Moch Nazir, Metode Penelitian (Jakarta: Ghalia Indonesia, 1999), Hal. 211. 15

Lexy J. Moeleong, Metodologi Pendidikan Kualitatif (Bandung: Remaja Roesdakarya, 2002), Hal.56.


(28)

Teknik analisis data yang diaplikasikan dalam penelitian ini adalah teori analisis semiotika strukturalisme model Charles Sander Pierce. Dalam Teori strukturalisme yang dikemukakan

oleh Charles Sanders Peirce mengungkapkan agenda – agenda

yang tersembunyi, aturan – aturan permainan yang menentukan

aksi. Ia menyusun aktivitas – aktivitas manusia16.

Charles Sander Peirce mengungkapkan dalam teorinya Triangle Meaning (segitiga makna) yang terdiri dari :

a. Tanda (sign) adalah bentuk fisik yang mampu ditangkap

oleh panca indra manusia dan sesuatu yang merujuk (merepresentasikan) hal lain diluar tanda itu sendiri. Acuan tanda ini disebut obyek. Sebagai contohnya :

gambar atau teks yang menunjukkan aktivitas

konglomerasi media pada film “Di Balik Frekuensi”

b. Acuan tanda (obyek) adalah konteks sosial yang menjadi

refrensi dari tanda atau sesuatu yang d rujuk tanda. Kembali pada konteksnya Objek dalam penelitian ini

adalah “Pesan Konglomerasi Media”

c. Penggunaan tanda (interpretan) adalah konsep pemikiran

dari orang yang menggunakan tanda dan menurunkannya ke suatu makna tertentu atau makna yang ada dalam benak seseorang tentang obyek yang dirujuk oleh

16

Alex Sobur, Analisis Teks Media: Suatu Pengantar untuk Analisis Wacana, Analisis Semiotik, dan Analisis Framing (2001). Hal. 103


(29)

tanda.yang dikupas dari teori segitiga makna milik Charles Sander Peirce adalah persoalan bagaimana makna muncul dari sebuah tanda ketika tanda tersebut digunakan orang pada saat berkomunikasi.

Berikut gambar konsep hubungan segitiga makna Charles

Sanders Pierce 17. Proses perubahan tanpa henti, yang disebut

proses semiosis tak terbatas yaitu proses penciptaan rangkaian

interpretant tanpa akhir dalam sebuah rantai produksi dan reproduksi tanda, yang didalamnya tanda terus berkembang

(Sobur,2003)18.Gambar 1.2 I. SISTEMATIKA PEMBAHASAN

Agar mempermudah penelitian dibutuhkan sistematika

pembahasan. Adapun sistematika pembahasan dalam penelitian ini dibagi menjadi lima bab meliputi.

17

Alex Sobur, Analisis Teks Media: Suatu Pengantar untuk Analisis Wacana, Analisis Semiotik, dan Analisis Framing (2001) Hal. 41

18

Alex Sobur,Semiotik Komunikasi, (Bandung : Remaja Rosdakarya,2003) Hal. xii-xiii

SIGN

OBJEK

INTERPRETANT


(30)

BAB I : PENDAHULUAN

Latar Belakang, Rumusan Masalah dan Fokus Penelitian, Tujuan Penelitian, Manfaat Penelitian, Kajian Hasil Penelitian Terdahulu, Definisi Konsep, Kerangka Pikir Penelitian, Metode Penelitian (pendekatan dan jenis penelitian, subyek, obyek, jenis dan sumber data, tahapan penelitian, teknik pengumpulan data, teknik analisis data, sistematika pembahasan).

BAB II : KAJIAN TEORITIS

Membahas tentang kajian pustaka dan kajian teori

BAB III : PENYAJIAN DATA

Berisi tentang diskripsi lokasi penelitian, data subjek penelitian dan

diskripsi tentang data penelitian.

BAB IV : ANALISIS DATA

Pada analisis data dijelaskan tentang temuan penelitian dan konfirmasi temuan dengan teori.

BAB V : PENUTUP

Pada bab ini menjelaskan tentang kesimpulan dan rekomendasi dari penelitian ini.


(31)

BAB II

PESAN FILM DOKUMENTER “DI BALIK FREKUENSI” DITINJAU DALAM SEMIOTIKA CHARLES SANDER PEIRCE

A. Semiotika Dan Konglomerasi Media Dalam Film “Di Balik Frekuensi” 1. Analisis Semiotika

a. Pengertian Semiotika

Semiotik adalah suatu ilmu atau metode analisis untuk mengkaji tanda1. Secara etimology menurut Jenz Dan Cobley istilah semiotik

berasal dari kata “semeion” yang berarti tanda atau “seme” yang artinya

penafsiran tanda. Menurur Eco, secara terminoliogy semiotik dapat didefinisikan sebagi ilmu yang mempelajari sederetan luas obyek – obyek, peristiwa – peristiwa, seluruh kebudayaan sebagai tanda2. Dalam spesifikasinya semiotika visual (visual Semiotic) adalah salah satu bidang studi yang membahas khusus pada penyelidikan terhadap “segala jenis makna yang disampaikan melalui sarana indra lihatan (visual

senses)”3

.Berdasarkan objeknya Charles Sanders Peirce membagi tanda atas icon (icon), index (indeks), dan symbol (simbol) untuk mempermudah identifikasi tanda, Icon (icon) dijelaskan sebagai hubungan kemiripan antara tanda dan obyek ; misalnya potret dan peta.

Index (indeks) adalah tanda yang menunjukan hubungan alamiah antara tanda dengan petanda atau hubungan sebab akibat, atau tanda yang

1

Alex Sobur, Semiotika Komunikasi (Bandung : Remaja Rosdakarya, 2013) Hal.15 2

Alex Sobur, Analisis Teks Media, “Suatu Pengantar untuk Analisis Wacana, Analisis semiotik

dan Analisis Framing”. (Bandung : Remaja Rosdakarya, 2006) Hal. 95 3

Kris Budiman.Semiotika Visual; Konsep,Isu,Dan Problem Ikonisitas, (Yogyakarta:Jalasutra 2011) Hal.9


(32)

langsung mengacu pada kenyataan ; contoh yang lebih spesifik ialah adanya asap sebagai tanda adanya api. Tanda seperti itu adalah tanda konvensional yang biasa disebut dengan symbol (simbol). Jadi symbol

(simbol) adalah hubungan yang menunjukkan hubungan alamiah antara penanda dengan petandanya. Hubungan ini bersifat arbriter atau semena, hubungan berdasarkan konvensi (perjanjian )masyarakat. Berbeda dengan Peirce, Ferdinand de Saussure sebagai ahli linguistik yang mengatakan dalam prinsipnya bahwa bahasa adalah suatu tanda dan

“tandalah yang merupakan fakta dasar dari bahasa”4

.

Menurut Saussure bahasa sebagai sistem (tanda) sign, baik itu suara manusia, hewan ataupun bunyi – bunyian tersebut berfungsi bilamana suara atau bunyi tersebut mengekspresikan, menyatakan atau menyampaikan ide – ide dan pengertian – pengertian tertentu. Bahasa sebagai tanda pada dasarnya menyatukan sebuah konsep (concept) dan suatu citra suara (sound image), bukan menyatakan sesuatu dengan sebuah nama, suara yang muncul dari sebuah kata yang d ucapkan adalah penanda (signifier), sedangkan konsepnya adalah petanda (signified).Jadi suara atau bunyi – bunyian dapat diidentifikasi sebagai tanda ketika ada persetujuan dari sistem konvesi atau kesepakatan untuk membetuk suatu kesatuan bentuk (penanda) signifier dengan (petanda) signified. Dengan

kata lain “suara yang bermakna” atau “coretan yang bermakna”.Secara

linguistik baik semiologi maupun semiotika kedua istilah ini

4

Culler, Jonathan. Structuralist poetics; Structuralism, Linguistic and the Study of Literature.


(33)

mengandung istilah yang persis sama walaupun penggunaan istilah ini cenderung menunjukkan pemikiran pemakainya. Misalnya Element De Semiologi adalah judul yang dipakai Roland Barthes (1964) yang tidak lain berada pada kubu Saussure. Sementara istilah semiotika dimunculkan pada akhir abad ke 19 oleh filsuf ajaran pragmatik Amerika, Charles Sanders Peirce.5 Jadi Menurut Masinambow

“perbedaan Istilah itu” menunjukkan perbedaan orientasi yang pertama (semiologi) yang mengacu pada tradisi Eropa yang bermula pada Ferdinand de Saussure(1857 - 1913) dan (semiotika) yang mengacu pada tradisi Amerika yang bermula pada Charles Sanders Peirce (1839 - 1914).6

Adapun menurut Umberto Eco (1979 :4 – 5) ” pada prinsipnya semiotika adalah disiplin ilmu yang digunakan untk mengkaji segala sesuatu yang dapat digunakan untuk mendustai, mengelabui, atau

mengecoh”7. Lantas dipertegas kembali “Dikatakan oleh Arthur Asa

Berger : Semiotika menaruh perhatian pada apapun yang dapat dinyatakan sebagai tanda. Sebuah tanda adalah semua hal yang dapat diambil sebagai penanda yang mempunyai arti penting untuk menggantikan sesuatu yang lain. Sesuatu yang lain tersebut tidak perlu harus ada, atau tanda itu secara nyata ada di suatu tempat pada suatu waktu tertentu. Dengan begitu semiotika pada prinsipnya adalah sebuah

5

Alex Sobur, Semiotika Komunikasi (Bandung : Remaja Rosdakarya, 2013) Hal.13 6

Masinambow & Rahayu S. Hidayat (ed.). Semiotik; Kumpulan Makalah Seminar. (Depok : Pusat Penelitian Kemasyrakatan dan Budaya Lembaga Penelitian Universitas Indonesia 2000) Hal. Iii -x 7

Eco, Umberto A Theory Of Semiotic (Bloomington:Indiana University Press, 1979, Penerjemah Yudi Santoso, Pustaka Promethea. Surabaya, 2001) Hal 9 -17


(34)

disiplin yang mempelajari apapun yang bisa digunakan untuk menyatakan suatu kebohongan.Jika sesuatu tersebut tidak dapat digunakan untuk mengatakan sesuatu kebohongan, sebaliknya, tidak bisa

digunakan untuk mengatakan kebenaran”. Berger menunjukkan beberapa

cara untuk menyesatkan orang atau lebih tepatnya berbohong, melalui tanda – tanda.Berger menunjukkan beberapa cara untuk menyesatkan ora ng atau lebih tepatnya berbohong melalui tanda – tanda :Tabel 2.1 Area

dan Tanda – tanda yang menyesatkan8

AREA TANDA – TANDA YANG MENYESATKAN

RAMBUT PALSU

(WIG)

Orang botak / atau gundul atau seseorang dengan warna rambut berbeda

Sepatu Hak Tinggi Orang pendek yang kelihatan tinggi

Pewarna Rambut Si Rambut Coklat menjadi pirang, pirang menjadi rambut kemerahan

Penipu Ulung Pura – pura menjadi dokter, pengacara, atau

apapun

Peniru Pura – pura menjadi orang lain, mencuri

identitas

Teater Pura – pura berperasaan, percaya seperti

apapun yang diperankannya

Makanan Kepiting, udang, Lobster Imitasi,dsb

Kata – kata Penjahat mengatakan untuk tidak menyakiti

orang

b. Aplikasi Semiotika Dalam Film

Film sebagai media penyampai pesan merupakan kajian yang sangat relevan bagi analisis struktural atau semiotika.Metode

8

Arthur Asa Berger. Media Analysis Techniques.(Yogyakarta, Universitas Atma Jaya,2000) Hal 11 – 12


(35)

pengambilan gambar dalam film bisa dikategorikan ke dalam ikonitas yakni” tanda – tanda yang menggambarkan sesuatu9”. Film dibangun oleh berbagai macam tanda, gambar dan suara yang dikombinasikan secara serentak hingga menimbulkan efek visual yang dapat dicerna oleh panca indera manusia sehingga proses pencernaan ini bisa dikategorikan

sebagai interpretasi atau proses pembentukan makna. Dalam

menganalisis film perlu adanya perhatian, mengingat dalam proses memproduksi film tidak dapat dipisahkan dengan realitas yang ada, karena pada dasarnya film bercerita layaknya karya teks naratif seperti narasi berita, cerpen atau novel, sehingga film pun memiliki kategori fiksi dan non fiksi sesuai dengan apa yang dikatakan Van Zoest

(1999:112)“konsep – konsepnya dapat dipinjam dari teori bercerita dan

berkisah yang berorientasikan semiotika”.

2. Fenomena Konglomerasi Media

a. Pengertian Konglomerasi Media

Secara perkembangan bisnis usaha istilah konglomerasi adalah sejumlah pelaku konglomerat yang menanamkan sahamnya pada tumbuhnya kelompok (GRUP) perusahaan dalam satu tangan, sedemikian rupa sehingga praktis seluruh kebijakan manajemen yang pokok ditentukan oleh satu pusat10.

9

Van Zoest. Semiotika; Tentang tanda, cara Kerjanya dan Apa yang Kita Lakukan Dengannya.

Penerjemah Ani Soekowati (Yayasan Sumber Agung, Jakarta, 1993) Hal. 109 10

Drs. Djafar H. Assegaf, Konglomerasi, Taipan, dan Koneksi Bisnis (Jakarta: Warta Ekonomi, 1994) Hal. 263


(36)

Media memiliki tugas untuk melindungi dan memungkinkan warga untuk menggunakan haknya dengan cara mempertahankan karakter publik dan menyediakan ruang untuk keterlibatan sipil. Akan tetapi, tugas suci ini kerap diabaikan karena kepentingan bisnis yang menyetir industri media. Di Indonesia, hal ini ditandai dengan terjadinya konglomerasi dan konsentrasi kepemilikan kelompok media di semua sektor media. Dalam teori jaringan, struktur dengan bentuk seperti ini mencerminkan sebuah kendali tinggi pada tindakan maupun aliran informasi dari titik pusat hingga ke periferal. Jaringan seperti yang digambarkan diatas tidak hanya menampilkan hubungan konsentrasi kepemilikan dalam kerja media, tetapi juga memperlihatkan ecara logis bagaimana kendali medium dan konten terjadi dapat dilihat pada gambar2.1 .11

11

Yanuar Nugroho, Kepemilikan dan Intervensi Siaran,(Yayasan tifa dan PR2 Media, 2014) Hal. 57


(37)

Bagan 2.1 Struktur konsentrasi kepemilikan media12

Konglomerasi media adalah suatu istilah yang diungkapkan oleh Ben H. Bagdikian (1980) yang pada saat itu menangkap perubahan besar corak industri media masa. Konglomerasi media adalah situasi dimana para owner pemilik perusahaan media melakukan koorporasi dengan perusahaan media lain yang dianggap mempunyai visi atau misi yang sama. Pembentukan konglomerasi ini dengan cara kepemilikan saham,

bekerja sama/ penggabungan, atau pendirian kartel komunikasi dalam skala besar.Jadi pada kesimpulannya konglomerasi media bertujuan

12

Yanuar Nugroho, Kepemilikan dan Intervensi Siaran,(Yayasan tifa dan PR2 Media, 2014) Hal. 57


(38)

untuk mendominasi frekuensi publik dengan cara menguasai seluruh komponen media masa yang fungsinya sebagai penyampai ideologis media dalam kontruksi realitas yang membela kelompok sealiran ; dan penyerangan terhadap kelompok yang berbeda halauan13. Indikasi konglomerasi kempilikan media di Indonesia dapat dilihat melalui bagan 2.2, oleh Merlyna Lim (2012) 14.

13

Ibnu Hamad , KONTRUKSI REALITAS POLITIK Dalam MEDIA MASSA, Sebuah Study

Critical Discourse Analysis terhadap Berita - berita Politik (2004). Hal 26

14

Lim, M.

The League of Thirteen: Media Concentration in Indonesia. Research report. Tempe, AZ: Participatory Media Lab at Arizona State University (2012). Hal.2


(39)

Gambar 2.2 The League of Thirteen: Media Concentration in Indonesia: 15

15

Lim, M.


(40)

Kasus bocornya rekaman kongkalikong televisi swasta nasional dan parpol untuk kepentingan pencitraan politik di media internet adalah salah satu bukti media telah menyalahgunakan frekuensi milik publik.Problem kepemilikan media oleh para politisi semacam ini sudah jadi rahasia umum.Sudah sejak lama pemilik selalu mengintervensi kebijakan dan pilihan media.

Dua pola intervensi, bila bukan untuk kepentingan politik, tentu untuk kepentingan akumulasi kapital.Tentu, dalam level internal, memberitakan kepentingan pemilik media adalah hal tabu.16

Mengutip perkataan wataran veteran Bill Moyers “(siapa yang pada

akhirnya menikmati pengeluaran jutaan dolar untuk iklan tersebut) untuk menyiarkan kebijakan deregulasi dan anti monopoli industri, segala sesuatu yang terkait dengan internet, kekayaan intelektual, globalisasi, dan perdagangan bebas, bahkan upah minimum, tindakan yang sah, dan

kebijakan lingkungan….Pada masa ini , ketika jeratan ekonomi yang semakin kuat membuat media tergantung pada sumbangan Negara, dunia

bisnis melihat dirinya sedang berperang dengan jurnalisme”.17

Media bukan lagi mengusung idealismenya: menjadi corong bagi mereka yang tertindas. Media menjadi alat untuk kepentingan mereka yang berkuasa.

16

Masduki.Dinamika Pers dan Pemilu 2014(Analisis terhadap Kecenderungan Pemberitaan4 Grup Media Nasional di IndonesiaJurnal Dewan Pers Edisi 09, 2014) Hal. 44

17


(41)

b. Implikasi Konglomerasi Media

Salah satu fenomena mutakhir dalam industri media adalah konglomerasi media, dimana sebuah grup media memiliki perusahaan-perusahaan media dengan jumlah yang cukup banyak, tersebar mulai dari media televisi, radio, koran, majalah, online, dan sebagainya.Buku yang paling gambling menjelaskan hal ini adalah Media Monopoly karya Ben Bagdikian, yang telah direvisi berkali-kali untuk terus memutakhirkan data mengenai perkembangan kepemilikan media di Amerika Serikat. Menurut Bagdikian, jumlah pemilik media di Amerika pada tahun 1983 berjumlah 50 perusahaan. Namun, 20 tahun kemudian, tepatnya pada tahun 2003, 50 perusahaan media tersebut telah diakuisisi oleh lima perusahaan besar yang memonopoli industri media di Amerika, yaitu AOLTime Warner, Disney, Viacom, The News Corporation, dan Bertelsmann.18

Kelima raksasa media tersebut, ditambah Vivensi dan Sony Columbia, menguasai studio – studio film utama di Amerika,hampir seluruh jaringan televisi Amerika, 80-85% pasar musik dunia, sejumlah besar satelit penyiaran seluruh dunia, sejumlahbesar penerbitan buku dan majalah, hamper semua saluran televisi kabel komersial, dan masih banyak lagi.

18


(42)

Apa dampak konglomerasi media ini? Yang jelas, para konglomerat ini menjadikan media sebagai bisnis besar untuk mengumpulkan laba sebesar – besarnya dengan wilayah garapan seluas – luasnya.

Namun, implikasi konglomerasi media tidak hanya dalam ranah bisnis, namun juga pada ranah politik. Di Amerika Serikat, lobi-lobi para raksasa media kepada para politisi sangat ampuh, terlebih jika lawan politik mereka adalah publik yang tidak berdaya. Chesney (2006)

menegaskan, ”....it makes the media giant. perticularly effective political lobbyists at the national, regional, and global levels. The media giants have had a heavy hand in drafting these laws and regulations,and the

public tends to have little or no input.”19

Konglomerasi media juga memiliki implikasi yang sangat mendasar dalam pemberitaan. Contoh paling nyata adalah bias kepentingan pemilik modal dalam dukungan Murdoch melalui The Sun dan The Times of London untukkampanye Thatcher pada 1998, serta dukungan melalui New York Times untuk Reagan. Contoh lain, Norman Chandler menyediakan Los Angeles Times sebagai media kampanye Nixon sepanjang karir politiknya.

Jadi bagi para konglomerat pemilik industri media, kekuasaan mereka bukan lagi berasal dari akses namun kepemilikan atas media itu sendiri20.

19

Robert McChesney, “Global Media, Neoliberalism & Imperialism”, 2006, www.thirdworldtraveler.

com/Robert_McChesney_page.html.

20

James Lull, Media, Communication, Culture: A Global Approach, Cambridge: (Polity Press, 1995) Hal. 9 - 16


(43)

Bias pemberitaan juga terlihat dari hilangnya daya kritis media di hadapan para pemilik modal. Dalam hal ini, media cenderung mengangkat sebuah isu dengan perspektif yang sejalan dengan kepentingan pemilik modal.Selain itu, media cenderung memilih isu-isu yang tidak bertentangan dengan kepentingan pemilik modal.

3. Ekonomi Dan Politik Industri Media

Aspek ekonomi dan politik seperti halnya kepemilikan dan pengendalian media adalah hal yang mengaitkan antara satu indutri media dengan media lainnya.Sesuai dengan yang di paparkan Philip Elliot dalam kajian ekonomi politik media yang melihat bahwa maksud yang terkandung dalam pesan pesan media ditentukan oleh dasar – dasar ekonomi dari organisasi media yang memproduksinya21.

Menurut Chris Barker ekonomi dan politik adalah “A domain of

knowledge concerned with power and at distribution of economic resources. Political economy explores the question of who owns and controls the institutions of economy, society, and culture” (Sebuah ilmu

pengetahuan yang berhubungan dengan kekuatan ditribusi dari pada sumber daya ekonomi.Ekonomi politik membahas pertanyaan tentang siapa yang memiliki dan mengontror institusi ekonomi, sosial dan budaya).22

Hal ini juga di singgung dalam paradigma Vincent Moscow yang menuturkan bahwasanya ekonomi politik dapat di artikan sebagai kajian

21

Agus Sudibyo, Ekonomu Politik Media Penyiaran (LKIS, Jakarta, 2000) Hal. 65 22

Chris Barker, Cultural Studies Theory And Practice (London : SAGE Publication, 2004) Hal. 445


(44)

tentang hubungan sosial, khususnya yang berhubungan dengan kekuasaan dalam bidang produksi, distribusi dan konsumsi sumber daya dalam komunikasi. 23 Vincent merumuskan empat karateristik ekonomi politik.

Pertama, ekonomi politik merupakan bagian dari studi mengenai perubahan sosial dan transformasi sejarah. Dalam hal ini ada dua varian teori yang berbeda yakni ;

critical political economy yang pada penerapannya lebih secara khusus menginvestifigasi dan mendikripsikan pada late capitalism yang isi – isu dan fokusnya mengenai cara – cara bagaimana aktifitas komunikasi distrukturkan oleh distribusi yang tidak merata mengenai sumber daya material dan simbolik24.

liberal political economy mengartikan bahwa ekonomi politik adalah perubahan sosial dan transformasi sejarah yang didalamnya terdapat suatu doktrin dan seperangkat prinsip untuk mengorganisirdan menangani ekonomi pasar guna untuk tercapainya suatu efisiensi yang maksimum, pertumbuhan ekonomi dan kesejahteraan individu.

Kedua ekonomi politik mempunyai minat menguji keseluruhan sosial atau totalitas dari hubungan sosial yang meliputi bidang ekonomi, politik, sosial, dan budaya dalam suatu masyarakat serta menghindari dari

23

Vincent Mosco, The Political Economy Of Comunication (London : SAGE Pubication, 1996) Hal. 25

24

Graham Murdock dan Peter Golding, Political Economy of Mass Comunication (A Division of Holder & Stoughten 1992) Hal. 16 - 18


(45)

kecenderungan mengabstraksikan realitas – realitas sosial kedalam bidang teori ekonomi maupun politik.

Ketiga berhubungan dengan filsafat moral, artinya mengacu pada nilai

– nilai sosial (wants abaout wants) dan konsepsi mengenai praktek sosial. Prinsip – prinsip keadilan, kesetaraan, dan public good merupakan refrensi utama dari pertanyaan moral mendasar ekonomi politik. Perhatian ini tidak hanya ditujukan pada “what is” (apa itu), tetapi “what ought be” (apa yang sehaarusnya). Misalnya saja studi ekonomi politik kritis yang concernterhadab peranan media dalam membangun konsesus dalam masyarakat kapitalis yang ternyata penuh dengan distorsi.Dalam masyarakat yang tidak sepenuhnya egaliter, kelompok – kelompok marginal tidak mempunyai banyak pilihan selain menerima dan bahkan mendukung sistem yang memelihara subordinasi mereka terhadap kelompok yang dominan.25

Keempat, Karateristiknya praxis, yakni suatu ide yang mengacu kepada aktivitas manusia dan secara khusus mengacu pada aktivitas kreatif dan bebas, dimana orang dapat menghasilkan dan mengunah dunia dan diri mereka.26Golding dan Murdock menambahkan bahwa ekonomi politik juga concern keseimbangan antara organisasi kapitalis dan intervensi atau campur tangan publik.27

25

Agus Sudibyo, ekonomi politik Media Penyiaran, (Yogyakarta: LkiS, 2004) Hal. 8 – 9

26

Vincent Mosco, The Political Economy of Comunication (London:SAGE Pubication, 1996) Hal. 27 - 37

27

Boyd Barret, Oliver, The political Economy Approach, in Approaches to Media A Reader,


(46)

Jadi berdasarkan definisi diatas pada kesimpulannya terdapat dua poin penting dalam pondasi ekonomi politik, yang pertama adalah (power) kekuatan, dan pembagian sumber daya ekonomi (distribution of economy resources) baik dalam lingkup intitusi ekonomi, sosial, dan budaya.

Satu Prinsip yang harus diperhatikan disini adalah sistem - sistem industri kapitalis, media massa harus di beri fokus perhatian yang memadai sebagaimana institusi – institusi produksi dan distribusi yang lain. Kondisi – kondisi yang ditentukan pada level kepemlikan media , praktik – praktik pemberitaan, dinamika industri radio, televisi, perfilman, dan periklanan mempunyai hubungan yang saling menentukan dengan kondisi – kondisi ekonomi spesifik yang berkembang di suatu Negara, serta pada gilirannya juga dipengaruhi oleh kondisi – kondisi ekonomi politik global.28

4. Sejarah Singkat Industri Media Di Indonesia

Dalam sejarah perkembangan ekonomi dan politik media di Indonesia kemunculan lembaga penyiaran komersil pertama di Indonesia pada sekitar tahun 1980 – an di era orde baru digunakan untuk memperkuat perekonomian Indonesia dalam mengantisipasi krisis migas. Kembali pada konteks tersebut televisi swasta untuk mendukung perkembangan industri media RCTI (Rajawali Citra Televisi) Indonesia yang diluncurkan pada 24 agustus tahun 1989 dan merupakan televisi swasta

28 Dedy N. Hidayat “

Jurnalis, Kepentingan Modal dan Perubahan Sosial”, dalam Dedy N.

Hidayat et.al,Pers Dalam Rvolusi Mei Runtuhnya Sebuah Hegemoni,(Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, 2000) Hal. 441


(47)

pertama di Indonesia. Selama tahun 1989 sampai dengan tahun 1985 keberadaan televisi swasta bermunculan disusul SCTV (Surya citra televisi), TPI (Televisi Pendidikan Indonesia), ANTV (Andalas Televisi), dan Indosiar (Indosiar Visual Mandiri). Dari kemunculan televisi swasta inilah bias penguasa orde baru tercipta yang pada saat itu contohnya RCTI dimiliki Oleh Bambang Trihatmojo (anak sulung Soeharto), SCTV dimiliki oleh Sudwikatmono (adik tiri Soehato), ANTV dimiliki oleh Bakri Brother Group, dan Indosiar dimiliki oleh Salim Group (partner bisnis keluarga Soeharto)29.Imbas dari konvergensi media di Indonesia adalah faktor kongkrit mengapa pemilik media swata di Indonesia melakukan konglomerasi media.

Meskipun banyak sekali hal yang mewarnai perkembangan industri media di Indonesia, indenpensi penyiaran seharusnya dapat di pertahankan demi terjaga stabilitas demokrasi yang menunjang pertumbuhan masyarakat yang dinamis. Di era Konvergensi sebagai contohnya media internet sendiri, sebagai suatu media baru (new media), pada gilirannya juga telah menghadirkan sekian macam bentuk jurnalisme yang sebelumnya tidak di kenal. Salah satunya adalah yang disebut sebagai jurnalisme warga atau citizen journalism.

Dengan biaya relatif murah, kini setiap pengguna Internet pada

dasarnya bisa menciptakan media tersendiri.“Setiap warga adalah juga

29

Yanuar Nugroho, Kepemilikan dan Intervensi Siaran,Yayasan tifa dan PR2 Media, 2014 Hal 8 - 9


(48)

seorang jurnalis”30

mereka dapat melakukan semua fungsi jurnalistik sendiri, mulai dari merencanakan liputan, meliput, menuliskan hasil liputan, mengedit tulisan, memuatnya dan menyebarkannya di berbagai situs Internet atau di weblog yang tersedia gratis.

Dengan demikian, praktis sebenarnya semua orang yang memiliki akses terhadap Internet sebenarnya bisa menjadi “jurnalis dadakan,” meski tentu saja kualitas jurnalistik mereka masih bisa diperdebatkan.Yang jelas, orang tidak dituntut harus lulusan Fakultas Ilmu Komunikasi atau

sekolah jurnalistik, untuk menjadi “jurnalis dadakan” di dunia maya.

Suka atau tidak, tren munculnya “jurnalisme warga” dan “jurnalis

dadakan” semacam ini tampaknya makin kuat.

Munculnya media – media alternatif yang memperkuat citizen jurnalistik

juga menimbulkan permasalahan – permasalahn baru tentang kelemahan media besar di zaman yang lebih yang interaktif dimotori oleh warga. Bisakah media korporasi, yang dirancang lebih untuk mengendalikan jalur – jalur isi berita dan meraup keuntungan, bisa merespon publik yang ingin terlibat lebih jauh dalam berita dan informasi? Bisakah media yang tumbuh dari peninggalan merger korperasi bisa benar – benar adil atau berimbang? Atau meletakkan setiap masalah dalam argument partisan benar – benar mampu melahirkan wacana politik yang lebih

30

Danny Schechter, Matinya Media, Perjuangan Menyelamatkan Demokrasi (Yayasan Obor Indonesia, Jakarta 2007) Hal. 87


(49)

besar guna menemukan solusi dari masalah – masalah yang ada di masyarakat ?.31

Berdasarkan dari gejala konvergensi media, sejarah perubahan media di Indonesia mulai dari media konvensional seperti surat kabar, televisi dan radio menjadi media digital atau internet dapat di lihat dari landscape perkembangan industri media di Indonesia di bawah ini:

31

Danny Schechter, Matinya Media, Perjuangan Menyelamatkan Demokrasi (Yayasan Obor Indonesia, Jakarta 2007) Hal. 90


(50)

Gambar 2.3 Landscape Perkembangan media mulai tahun 1960 sampai saat ini32

32

Yanuar Nugroho, Kepemilikan dan Intervensi Siaran,(Yayasan tifa dan PR2 Media, 2014) Hal. 43


(51)

B. Konglomerasi Media dalam Perpektif Teori Semiotika Charles Sanders Peirce

Semiotika Berangkat dari tiga eleman utama yang disebut Peirce teori segitiga makna atau triangle meaning. Lihat pada gambar 1.4

a. Tanda

Adalah sesuatu yang berbentuk Fisik yang dapat diungkap oleh panca indera manusia dan merupakan sesuatu yang merujuk (merepresentasikan) hal lain diluar tanda itu sendiri. Acuan tanda ini disebut objek.

b. Acuan Tanda (Oyjek)

Adalah konteks sosial yang menjadi refrensi dari tanda atau sesuatu yang dirujuk tanda

c. Pengguna Tanda (Interpretant)

Konsep pemikiran dari orang yang menggunakan tanda dan menurunkannya ke suatu makna tertentu atau makna yang ada dalam benak seseorang tentang objek yang di rujuk tanda.

Gambar 2.4

SIGN Film Dokumenter "Di Balik Frekuensi"

OBJECT Fenomena Konglomerasi

Media di Indonesia INTERPRETANT

Sikap dan pola pemikiran Ucu Agustin sebagai


(52)

Ucu Agustin sebagai Film Maker atau sutradara berusaha mengungkap pola kepemilikan media yang terjadi di Indonesia dimulai dengan mendokumentasikan konflik internal yang terjadi pada dua stasiun televisi swasta yakni TV ONE & Metro TV. Berangkat dari tokoh Luviana yang tidak lain seorang jurnalis yang telah bekerja 10 tahun di Metro TV, dianggap bermasalah karena mempertanyakan system manajemen yang tak berpihak pada pekerja dan mengkritis newsroom. Kemudian Hari Suwandi & Harto Wiyono adalah dua orang warga lumpur sidoarjo yang melakukan aksi jalan kaki dari Sidoarjo – Jakarta untuk mencari keadilan bagi warga lumpur sidoarjo yang pembayar ganti ruginya belum dilunasi oleh PT. Menarak Lapindo Jaya milik Ir. H. Aburizal Bakrie yang juga pemilik stasiun TV ONE. Ucu Agusti menyajikan pesan konglomerasi media dalam Film Dokumenternya


(53)

BAB III

DESKRIPSI UMUM PENELITIAN PESAN FILM DOKUMENTER “DI

BALIK FREKUENSI” DALAM KONGLOMERASI MEDIA DI INDONESIA

A.Deskripsi Subjek Penelitian

1. Profil Film Dokumenter “Dibalik Frekuensi”

Produser : Ursula Tumiwa Ucu Agustin

Eksekutif Produser :Ucu Agustin Ursula Tumiwa

Produser Pelaksana : Sidik Ilmawan

Sinematografi : Affan Diaz

Editor : Darwin Nugraha

Online Editor : Juan Mayo

Oppening Design : Affan Diaz Erickson Siregar

Ditulis dan disutradarai : Ucu Agustin

Karakter Yang Ditampilkan dalam Film : Luviana

Avi Pranantha Sholeh Ali


(54)

Bonaparte Situmorang Winuranto Adi Surya Paloh Aburizal Bakrie Hari Suwandi Harto Wiyono Paring Waluyo Hari Tanoe Soedibjo Ezki Tri Rezeki Widianti

Ignatius Haryanto Yanuar Nugroho Umar Idris Betrix Hendra Sugeng Suparwoto

Film dokumenter Di Balik Frekuensi merupakan wujud dari realisasi dana hibah dari Ford Foundation yang kemudian difasilitasi oleh beberapa organisasi pers independen yakni, Wikimedia Indonesia, ICT Watch dan Aliansi Jurnalis Independen (AJI). Dengan disponsori oleh FORD FOUNDATION, bersama ketiga organisasi pendukungnya berafiliasi untuk membuat proyek kreatif bernama CIPTA MEDIA BERSAMA.

2. Profil Cipta Media Bersama

Cipta Media Bersama adalah proyek yang didanai oleh hibah Ford Foundation untuk Wikimedia Indonesia.Cipta Media Bersama adalah proyek selama 18 bulan berupa hibah terbuka dengan dukungan sebesar


(55)

satu juta dolar AS bagi inisiatif-inisiatif yang dapat menjadi contoh praktek terbaik dalam kebhinekaan, kesetaraan, kebebasan dan etika bermedia1. Ford Foundation didukung oleh beberapa lembaga diantaranya

a) Wikimedia Indonesia b) ICT Watch

c) Aliansi Jurnalis Independen (AJI)

Wikimedia Indonesia, ICT Watch, Aliansi Jurnalis Independen (AJI) meluncurkan Program Cipta Media Bersama yang tidak lain merupakan program hibah terbuka yang mengajak individu atau organisasi memunculkan ide baru dan segar dalam praktek bermedia yang mampu membuat perbaikan media di Indonesia. Setiap ide yang akan mengikuti program ini harus memilih salah satu dari 4 topik berikut:

1. Meretas batas – kebhinekaan bermedia

2. Keadilan dan kesetaraan akses terhadap media 3. Kebebasan dan etika bermedia

4. Pemantauan media

1

Kategori Hibah - Cipta Media Bersama, https://www.facebook.com/ciptamedia (diakses pada 25 APRIL 2015).


(56)

Skema pembentukan Cipta media bersama dapat di lihat pada gambar 3.1 .

:

Gambar 3.1

3. Profil Ford Foudation

The Ford Foundation membuka kantor perwakilan di Jakarta pada tahun 1953 dengan fokus awal pada pendidikan, pelatihan guru dan pengembangan keahlian dibidang ekonomi dan pertanian. Seiring pergantian rezim pemerintah pada tahun 1960an, dibentuk program-program baru ditingkat nasional, yang memberikan dukungan untuk program keluarga berencana, penelitian seputar beras, dan pembangunan pedesaan.Tema-tema ini terus dikerjakan sepanjang tahun 1970an hingga akhirnya Indonesia mencapai swasembada beras.


(57)

Selama tahun 1980an, dalam rangka menanggapi kebutuhan dan guna melibatkan masyarakat pedesaan, The Ford Foundation mulai memberikan dukungan pada program-program yang berkenaan dengan pemajuan pengelolaan sumber daya lahan dan air berbasis komunitas, peningkatan produktivitas ekosistem-agraris dan pengembangan wirausaha mikro oleh perempuan. Salah satu ciri khusus dari periode tersebut adalah dukungan bagi oganisasi-organisasi masyarakat sipil yang beroperasi diluar kerangka Pemerintah untuk memperjuangkan keprihatinan berkenaan dengan hukum dan HAM, lingkungan hidup, kepentingan konsumen dan kesetaraan gender. Penting pula dicatat bahwa pada masa ini dukungan akan kerja bagi pelestarian dan vitalitas budaya semakin mendalam, yakni usaha untuk mempelajari, mendokumentasikan, dan mempertahankan kelangsungan tradisi Indonesia yang beragam dan penuh daya hidup.

Pada era 1990an, semakin jelas terlihat kebangkitan oposisi dari berbagai sektor masyarakat walaupun masih terfragmentasi, dan juga bahwa kesenjangan ekonomi, korupsi oleh para pejabat negara, serta kurangnya keterbukaan menjadi permasalahan yang makin pelik. Semakin lama semakin banyak Penerima hibah The Ford Foundation yang menyuarakan keprihatinan akan keadilan sosial melalui pengakuan akan keberadaan kelompok budaya minoritas dan "hak mereka untuk berbeda", gerakan perempuan menuntut pemenuhan kesehatan reproduksi dan penghidupan yang lebih baik, warga masyarakat dan wartawan memajukan kebebasan berekspresi, serta tuntuan masyarakat adat akan pengakuan hak


(58)

mereka atas sumber daya hutan. Transformasi demokratis yang terjadi di Indonesia sejak tahun 1998 telah menawarkan banyak kesempatan, dan juga tantangan, seiring perjalanan menuju bangsa yang adil dan inklusif. Untuk mempertahankan capaian demokratis, ekonomi dan sosial yang telah diraih sampai saat ini, diperlukan lebih banyak dukungan untuk memajukan pelembagaan demokrasi dinegara dengan populasi muslim terbesar ini. Dengan mendukung proses desentralisasi dan reformasi yang berkelanjutan di Indonesia, The Ford Foundation dalam kerjasama dengan mitra-mitranya, berusaha untuk menciptakan kesempatan ekonomi baru bagi mereka yang miskin dan terpinggirkan, memperbaiki penerapan kebijakan desentralisasi administratif, dan menawarkan kepada masyarakat Indonesia peranan yang sejati guna memperoleh stabilitas dan demokrasi. Kerja ini berfokus pada tiga konstituen inti, yakni perempuan, mereka yang terpinggirkan secara sosial, dan masyarakat miskin.2

4. Wiki Media Indonesia

Organisasi Wikimedia Indonesia adalah sebuah organisasi perkumpulan nirlaba berbasis anggota yang berdiri pada 5 September 2008 dan berpusat di Jakarta, Indonesia. Organisasi ini disahkan secara resmi pada 7 Oktober 2008 sebagai mitra lokal local chapter Wikimedia Foundation Inc., Amerika Serikat, oleh Board of Trustees (Dewan Pengawas) Wikimedia Foundation, Inc. Peluncuran Wikimedia Indonesia secara resmi dilakukan pada tanggal 20 Maret 2009 dengan didukung oleh Depkominfo sekaligus

2


(59)

memperkenalkan Duta Bebaskan Pengetahuan, Christian Sugiono. Wikimedia Indonesia tidak memiliki kontrol dan tidak memiliki Wikipedia bahasa Indonesia.Wikimedia Indonesia juga merupakan organisasi mitra lokal yang independen terhadap Wikimedia Foundation.Mitra-mitra lokal Wikimedia Foundation secara keseluruhan di dunia merupakan badan-badan independen yang didirikan (diantaranya) untuk mendukung dan mempromosikan proyek-proyek Wikimedia dalam cakupan geografi tertentu (negara). Seperti Wikimedia Foundation, mitra-mitra lokal memiliki misi untuk "memperkuat dan memberikan kemampuan agar masyarakat di seluruh dunia dapat mengumpulkan dan mengembangkan bahan pendidikan dengan lisensi bebas atau domain umum, dan menyebarkannya secara efektif dan menyeluruh".

Wikimedia Indonesia awalnya dicetuskan untuk didirikan pada pertemuan (kopi darat) sukarelawan penulis Wikipedia Bahasa Indonesia pada 22 November 2006 yang dihadiri oleh tujuh orang pengguna. Setelah melalui kurang lebih empat belas pertemuan, pada 2 Mei 2008 upaya ini dikukuhkan dengan penulisan Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga organisasi. Pada awalnya bentuk organisasi adalah yayasan namun setelah berkonsultasi lalu ditentukan bahwa bentuk organisasi yang paling tepat adalah berupa perkumpulan dengan kekuasaan terbesar berada di tangan anggota.Wikimedia Indonesia didirikan oleh 19 orang yang kemudian dikenal sebagai "pendiri". Wikimedia Indonesia mengumpulkan dana dari ke-19 pendiri ini sebesar lima juta rupiah. Organisasi ini berdiri


(60)

tanpa dukungan dana dari luar dan murni inisiatif para pendirinya. Jabatan Direktur Eksekutif pertama (yang kemudian diubah dengan AD/ART revisi tahun 2011 menjadi Ketua Umum) adalah Ivan Lanin. Pada tahun 2013, posisi Ketua Umum Wikimedia Indonesia dijabat oleh Siska Doviana.

Pada tahun 2008, Wikimedia Indonesia resmi berdiri dan disahkan melalui akta notaris. Diakhir tahun 2010, revisi anggaran dasar dari pemerintah Indonesia melalui Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia diadopsi oleh organisasi dan disahkan pada tahun 2011.Organisasi ini didirikan dengan tujuan membina pengetahuan pada umumnya, dan sumber terbuka pada khususnya. Keanggotaan perkumpulan berdasarkan kesukarelaan, kekeluargaan, dan kejujuran.Anggota diharapkan aktif memberi masukan dan berkontribusi pada organisasi berupa tenaga, pikiran, dan waktu.Wikimedia Indonesia adalah organisasi independen dan secara hukum tidak terkait dengan organisasi apapun juga. Walaupun berdiri sendiri, berdasarkan sejarahnya organisasi didirikan dengan misi pengetahuan bebas yang sama dengan asosiasi-asosiasi dibelahan dunia lain dan secara internasional yang mendukung misi ini. Wikimedia Indonesia di tahun yang sama pendiriannya pada tahun 2008 diakui sebagai mitra lokal Wikimedia Foundation, Inc., sebuah yayasan nirlaba bebas pajak di Amerika Serikat, yang menaungi proyek-proyek kolaborasi wiki terbesar di dunia, termasuk Wikipedia, sebuah ensiklopedia daring yang bebas dan gratis. Wikimedia Indonesia mendukung tapi tidak


(61)

menaungi proyek-proyek wiki Wikimedia Foundation dalam bahasa Indonesia dan bahasa-bahasa lain yang digunakan di Indonesia. Walaupun memiliki tujuan yang seiring sejalan, Wikimedia Indonesia bukanlah cabang dari Wikimedia Foundation, dan berdiri secara independen.3.

5. Profil ICT Watch

ICT Watch Indonesia (Information and Communication Technology)

adalahasosiasi Kemitraan (ICT Watch) yang didirikan dalam rangka mengembangkan, memberdayakan dan mendukung individu, organisasi masyarakat sipil dan multistakeholder di Indonesia untuk sarana informasi mereka.

Motif ICT adalah membangun Internet sebagai media paling kuat untuk memfasilitasi keterlibatan warga dalam membangun masyarakat demokratis dan mempromosikan berbagai hak asasi manusia.

Oleh karena itu, ICT Watch memberikan informasi kepada masyarakat tentang dinamika dan potensi manfaat internet melalui kampanye, publikasi dan berbagai kegiatan masyarakat. ICT Watch berdiri jelas pada menentang kebijakan jelas melanggar sensor di Internet, dan melindungi akses ke informasi bagi masyarakat. Selanjutnya merangsang penggunaan Internet yang aman dan bijaksana di Indonesia. ICT Watch dimulai pada tahun 2002 dan terdaftar secara hukum pada tanggal 31 Desember 2008 di Jakarta.4

3

Sejarah WIKIMEDIA INDONESIA https://www.wikimedia.org/ (diakses pada 25 APRIL 2015).

4

Sejarah ICT (Information and Comunication Technolgy)http://internetsehat.id/diakses pada 25 APRIL 2015)


(62)

Visi

Pembentukan ekosistem internet dan pemerintahan di Indonesia yang menerapkan perlindungan dan pemenuhan hak atas informasi, hak untuk memiliki kebebasan ekspresi dan pemanfaatan teknologi informasi dan Komunikasi (TIK) dan Internet strategis, sebagaimana diamanatkan olehKonstitusi Indonesia.

Misi

INTERNET SAFETY” Untuk mengembangkan kesadaran masyarakat Indonesia, penekanan pada anak-anak dan keluarga, pada penggunaan ICT dan latihan Internet dengan aman dan bijaksana.

“INTERNET RIGHT” Untuk memberdayakan masyarakat sipil Indonesia, khususnya informasi dan aktivis hak asasi manusia, dengan mendukung mereka untuk menggunakan TIK dan internet sebagai mereka adalah alat yang memungkinkan dalam memenuhi hak atas informasi.

“INTERNET GOVERNANCE Untuk mendukung dialog multi pihak

Indonesia di ICT dan Internet Governance sementara menjunjung tinggi prinsip-prinsip kunci dari transparansi, akuntabilitas, kesetaraan, kerjasama dan profesionalisme.

6. Profil Aliansi Jurnalis Independen (AJI)

Aliansi Jurnalis Independen (AJI) lahir sebagai perlawanan komunitas pers Indonesia terhadap kesewenang-wenangan rejim Orde Baru. Mulanya adalah pembredelan Detik, Editor dan Tempo, 21 Juni 1994. Ketiganya dibredel karena pemberitaannya yang tergolong kritis kepada penguasa.


(63)

Tindakan represif inilah yang memicu aksi solidaritas sekaligus perlawanan dari banyak kalangan secara merata disejumlah kota.

Setelah itu, gerakan perlawanan terus mengkristal. Akhirnya, sekitar 100 orang yang terdiri dari jurnalis dan kolumnis berkumpul di Sirnagalih, Bogor, 7 Agustus 1994. Pada hari itulah mereka menandatangani Deklarasi Sirnagalih. Inti deklarasi ini adalah menuntut dipenuhinya hak publik atas informasi, menentang pengekangan pers, menolak wadah tunggal untuk jurnalis, serta mengumumkan berdirinya AJI.

Pada masa Orde Baru, AJI masuk dalam daftar organisasi terlarang. Karena itu, operasi organisasi ini dibawah tanah.Roda organisasi dijalankan oleh dua puluhan jurnalis-aktivis.Untuk menghindari tekanan aparat keamanan, sistem manajemen dan pengorganisasian diselenggarakan secara tertutup. Sistem kerja organisasi semacam itu memang sangat efektif untuk menjalankan misi organisasi, apalagi pada saat itu AJI hanya memiliki anggota kurang dari 200 jurnalis.

Kode Etik AJI

1. Jurnalis menghormati hak masyarakat untuk memperoleh informasi yang benar.

2. Jurnalis senantiasa mempertahankan prinsip-prinsip kebebasan dan keberimbangan dalam peliputan dan pemberitaan serta kritik dan komentar.

3. Jurnalis memberi tempat bagi pihak yang tidak memiliki daya dan kesempatan untuk menyuarakan pendapatnya.


(64)

4. Jurnalis hanya melaporkan fakta dan pendapat yang jelas sumbernya.

5. Jurnalis tidak menyembunyikan informasi penting yang perlu diketahui oleh masyarakat.

6. Jurnalis menggunakan cara-cara yang etis untuk memperoleh berita, foto dan dokumen.

7. Jurnalis menghormati hak nara sumber untuk memberi informasi latar belakang, off the records dan embargo.

8. Jurnalis segera melarang setiap pemberitaan yang diketahui tidak akurat.

9. Jurnalis menjaga kerahasiaan sumber informasi konfidensial, identitas korban kejahatan seksual, dan pelaku tindak pidana dibawah umur.

10.Jurnalis menghindari kebencian, prasangka, sikap merendahkan, diskriminasi dalam masalah suku, ras, bangsa, jenis kelamin, orientasi seksual, bahasa, agama, pandangan politik, cacat/sakit jasmani, cacat/sakit mental, atau latar belakang sosial lainnya. 11.Jurnalis menghormati privasi, kecuali hal itu bisa merugikan

masyarakat.

12.Jurnalis tidak menyajikan berita dengan mengumbar kecabulan, kekejaman, kekerasan fisik dan seksual.

13.Jurnalis tidak memanfaatkan posisi dan informasi yang dimilikinya untuk mencari keuntungan pribadi.


(1)

digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id

103

BAB V

PENUTUP

A. KESIMPULAN

Dengan penjelasan secara terperinci baik kajian teoritis maupun dari fakta yang ditemukan, ada beberapa kesimpulan tentang bagaimana pesan

konglomerasi media dalam film dokumenter “Di Balik Frekuensi” yang

dapat diutarakan. Beberapa kesimpulan mendasar terkait fenomena konglomerasi media yang ada di Indonesia diantaranya adalah :

1. Dengan banyaknya media massa di Indonesia, semakain jelas

jumlah konsumsi masyarakat akan kadar kebenaran suatu berita yang mereka dapatkan. Dengan demikian maka alangkah baiknya jika pemilik media sebagai pemilik kepentingan yang besar tidak egois dalam menyampaikan kepentingannya kepada masyarakat dengan memonopoli informasi. Seharusnya jika ada kepentingan yang luhur dalam visi media tersebut maka adanya kompetisi antar pemilik media adalah kompetisi yang sehat, yang saling mencerdaskan dengan menyuguhkan kebenaran yang bermanfaat masyarakat, memberikan bukan hanya sekedar tontonan melainkan tuntunan.

B. SARAN

Berangkat dari kesimpulan diatas, dengan bersikap moderat dengan tidak berpihak dengan ideologis film dokumenter yang menyudutkan


(2)

beberapa pemilik media dan tidak pula berpihak pada asumsi masyarakat yang setuju akan profil media massa di indonesia yang dewasa ini dipandang bobrok. Mengingat keterbatasan penelitian, ada beberapa saran yang dapat diberikan, bagaimana seharusnya dalam menanggapi realita pemberitaan media massa yang ada di indonesia, sebagai berikut :

1. Masyarakat sebagai stake holder dalam demokrasi seharusnya

ambil andil besar dalam pembangunan karakter keberagaman

dengan menyadarkan peran sosial masyarakat sebagai citizen

journalism (jurnalisme warga) aktif yang independen dalam memberikan informasi yang valid.

2. Setiap lapisan masyarakat punya andil dalam mengawasi

kinerja media massa, sehingga apapun yang menyimpang dari

fakta diteliti kebenarnnya. Berasaskan dari konsep citizen

jounalism pada dasarnya adalah warga yang turut memainkan peran aktif dalam proses pengumpulan, pelaporan, dan menyebarkan berita dan informasi.

2. Pemberian pelatihan literasi media bagi masyarakat berfungsi

untuk memahami, menganalisis, dan mendekonstruksi

pencitraan media. Pelatihan ini ditujukan agar masyarakat sebagai konsumen media tanpa terkecuali anak-anak menjadi sadar tentang cara media dikonstruksi dan diakses. Hal ini di


(3)

digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id

105

konsumen media mejadi sadar tentang bagaiman media di konstruksi dan di buat.

3. Konsumsi fakta oleh masyarakatpun bisa di katakan mengalami krisis sehingga apapun berita yang diterima tidak bisa diterima mentah sebagai kebenaran. Perlu diingat bahwasanya dalam konteks hukum agama islam dalam Al – Quran telah diterangkan “Hai orang-orang yang beriman, jika datang kepadamu orang fasik membawa suatu berita, maka periksalah dengan teliti agar kamu tidak menimpakan suatu musibah kepada suatu kaum tanpa mengetahui keadaannya yang menyebabkan kamu menyesal atas perbuatan mu itu.”(QS.Al-Hujurat:6).

Ayat tersebut menjelaskan pentingnya mencari kebenaran (tatsabbut) berita yang didapat dari pihak lain. Hal ini sebagai langkah antisipatif dari kesalahan berita yang dapat merugikan orang lain. Al-Qur’an mengingatkan, bila kewajiban ini ditinggalkan, akan menjadikan pelakunya menyesal sebab ketergesaan dan kecerobohannya. Karena itulah Nabi Muhammad SAW bersabda, “Barang siapa tergesa – gesa, akan salah.” (HR. Al-Hakim) Dalam hadits lain juga disebutkan, “Cukup seseorang dinilai berbohong, dengan mengatakan setiap yang ia dengar.” (HR. Muslim)1.

1


(4)

DAFTAR PUSTAKA

Anam, Faris Khoirul.2015., FIQIH INFORMASI, (Koran Kompas - Islamia, Kamis, 16 April).

Assegaf, Djafar H. 1994. Konglomerasi, Taipan, dan Koneksi Bisnis (Jakarta: Warta Ekonomi).

Bagdikian, Ben H.1997. The New Media Monopoly, Beacon Press.

Bakhtin, Mikhail.1981. The Dialogic Imagination : Four Essays, Transalated by Caryl Emerson and Michail Holquist, Austin : University of Texas Press.

Baran, Stanley J.2008. Pengantar Komunikasi Massa (Penerbit Erlangga, Jakarta).

Barker, Chris. 2004. Cultural Studies Theory And Practice (London : SAGE Publication).

Berger, Arthur Asa. 2000. Media Analysis Techniques.(Yogyakarta, Universitas Atma Jaya)

Budiman, Kris.2011. Semiotika Visual; Konsep,Isu,Dan Problem Ikonisitas, (Yogyakarta:Jalasutra).

Boyd Barret, Oliver. 1995. The political Economy Approach, in Approaches to Media A Reader, Oliver Boyd Barret and Chris Newbold, (New York : Arnold).

Culler, Jonathan.1982. Structuralist poetics; Structuralism, Linguistic and the Study of Literature. Ithaca : University Press.

Eco, Umberto.2001. A Theory Of Semiotic (Bloomington:Indiana University Press, 1979, Penerjemah Yudi Santoso, Pustaka Promethea. Surabaya).

Elvinaro dan Lukiati komala Erdinaya.2004. komunikasi massa suatu pengantar,( Bandung : Simbiosa Rekatama media.

Eriyant.2001. Analisis wacana: Pengantar analisis teks media. Yogyakarta: PT LKiS Pelangi Aksara.

Erianto.2013. Analisis Naratif, Dasar – dasar dan penerapannya dalam Analisis Teks Berita Media.

Eriyanto.2001. Analysis Wacana Pengantar Analisis Teks Media. Yogyakarta : LKIS.

Graham Murdock dan Peter Golding. 1992. Political Economy of Mass Comunication (A Division of Holder & Stoughten).

Hamad, Ibnu.2004. KONTRUKSI REALITAS POLITIK Dalam MEDIA MASSA, Sebuah Study Critical Discourse Analysis terhadap Berita - berita Politik.

Ibid.

Iswi Hariyani , R. Serfianto, & Cita Yustisia , Merger, Konsolidasi, Akuisisi, & Pemisahan Perusahaan (Jakarta : Visi Media, 2011) Lim.2012. M.The League of Thirteen: Media Concentration in Indonesia. R

esearch report. Tempe, AZ: Participatory Media Lab at Arizona State University.


(5)

digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id

Lull, James.1995. Media, Communication, Culture: A Global Approach, Cambridge: (Polity Press).

Masduki.2014. Dinamika Pers dan Pemilu (Analisis terhadap Kecenderungan Pemberitaan4 Grup Media Nasional di IndonesiaJurnal Dewan Pers Edisi 09) Hal. 44

Masinambow & Rahayu S. Hidayat (ed.) .2000. Semiotik; Kumpulan Makalah Seminar. (Depok : Pusat Penelitian Kemasyrakatan dan Budaya Lembaga Penelitian Universitas Indonesia).

Midah, Agus. 2010. Dinamika Hukum Ketenagakerjaan Indonesia (Medan, Usu pers).

Moeleong , Lexy J.2002. Metodologi Pendidikan Kualitatif (Bandung:

Remaja Roesdakarya).

Mosco, Vincent.1996. The Political Economy Of Comunication (London : SAGE Pubication).

Namara, Mc.2003. Efek Media Masa: Sebuah Tinjauan 50 Tahun Media Effects Research.

Nazir, Moch.1999. Metode Penelitian (Jakarta: Ghalia Indonesia)

Nugroho, Yanuar.2014. Kepemilikan dan Intervensi Siaran,(Yayasan tifa dan PR2 Media).

Schechter, Danny.2007.Matinya Media, Perjuangan Menyelamatkan Demokrasi (Yayasan Obor Indonesia, Jakarta).

Sudibyo, Agus. 2000. Ekonomi Politik Media Penyiaran (LKIS, Jakarta) Sobur, Alex. 2001. Analisis Teks Media: Suatu Pengantar untuk Analisis

Wacana, Analisis Semiotik, dan Analisis Framing.

Sobur, Alex. 2013. Semiotika Komunikasi (Bandung : Remaja Rosdakarya). Zoest, Van.1993. Semiotika; Tentang tanda, cara Kerjanya dan Apa yang Kita Lakukan Dengannya. Penerjemah Ani Soekowati (Yayasan Sumber Agung, Jakarta).

Ward, Larry.2008. film non-fiksi untuk memberikan pendapat, dan pesan tertentu, sesuai dengan fakta-fakta yang di sajikan .

Fiskie, Jhon.1997. Television Culture, London and Newyork :Routledge.

Kategori Hibah - Cipta Media Bersama,

https://www.facebook.com/ciptamedia (diakses pada 25 APRIL 2015) Keluh kesah luviana,

http://www.jaringnews.com/keadilan/umum/10943/ini-keluh-kesah-luviana-kepada-metro-tv , (diakses pada 26 APRIL 2015).

Profil MNCTV (di akses dari

:http://profil.merdeka.com/indonesia/m/mnctv/ pada 4 februari 2016) Robert McChesney, “Global Media, Neoliberalism & Imperialism”, 2006,

www.thirdworldtraveler. com/Robert_McChesney_page.html. (diakses pada 25 APRIL 2015).

Sejarah FORD FOUNDATION www.fordfoundation.org (diakses pada 25 APRIL 2015).

Sejarah WIKIMEDIA INDONESIA https://www.wikimedia.org/ (diakses pada 25 APRIL 2015).


(6)

Sejarah ICT (Information and Comunication Technolgy) http://internetsehat.id/ diakses pada 25 APRIL 2015)


Dokumen yang terkait

Analisis Semiotika Pesan Moral Dalam Film Jokowi

8 66 109

Interpretasi Penonton Terhadap Konglomerasi Media Dalam Film (Analisis Resepsi Interpretasi Penonton Terhadap Konglomerasi Media Dalam Film Dokumenter Di Balik Frekuensi)

0 46 197

KONSTRUKSI DAKWAH DALAM FILM KU KEJAR CINTA KE NEGERI CINA (Analisis Semiotik Charles Sanders Pierce Tentang Konstruksi Pesan dan Metode Dakwah).

0 8 138

PESAN DAKWAH MELALUI BULETIN AT TAKHOBBAR EDISI 128-129 BULAN JANUARI 2015 : ANALISIS SEMIOTIK MODEL CHARLES SANDER PEIRCE.

0 0 116

Interpretasi Penonton Terhadap Konglomerasi Media Dalam Film (Analisis Resepsi Interpretasi Penonton Terhadap Konglomerasi Media Dalam Film Dokumenter Di Balik Frekuensi)

1 6 18

Interpretasi Penonton Terhadap Konglomerasi Media Dalam Film (Analisis Resepsi Interpretasi Penonton Terhadap Konglomerasi Media Dalam Film Dokumenter Di Balik Frekuensi)

0 0 2

Interpretasi Penonton Terhadap Konglomerasi Media Dalam Film (Analisis Resepsi Interpretasi Penonton Terhadap Konglomerasi Media Dalam Film Dokumenter Di Balik Frekuensi)

0 0 9

Interpretasi Penonton Terhadap Konglomerasi Media Dalam Film (Analisis Resepsi Interpretasi Penonton Terhadap Konglomerasi Media Dalam Film Dokumenter Di Balik Frekuensi)

1 4 30

Interpretasi Penonton Terhadap Konglomerasi Media Dalam Film (Analisis Resepsi Interpretasi Penonton Terhadap Konglomerasi Media Dalam Film Dokumenter Di Balik Frekuensi)

0 0 4

Interpretasi Penonton Terhadap Konglomerasi Media Dalam Film (Analisis Resepsi Interpretasi Penonton Terhadap Konglomerasi Media Dalam Film Dokumenter Di Balik Frekuensi)

0 0 72