Kekerasan Dalam Rumah Tangga

BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar belakang Masalah
Walaupun tidak tahu pasti sejak kapan terjadinya kekerasan terhadap
perempuan khususnya dalam rumah tangga, namun yang jelas bahwa kasus-kasus
demikian sudah sejak lama terjadi. Harus diakui pula bahwa tidak semua
perempuan mengalami perlakuan keras dalam hidupnya, tetapi cukup banyak
perempuan yang mengalami perlakuan keras dan kejam dari suaminya.
Disisi lain, terjadi juga kekerasan oleh perempuan terhadap perempuan,
begitu pula kekerasan oleh laki-laki terhadap laki-laki atau bahkan kekerasan oleh
perempuan terhadap laki-laki. Tetapi bahasan dari tulisan ini, hanya memfokuskan
tentang kekerasan terhadap wanita dalam perkawinan atau kekerasan perempuan
dalam rumah tangga.
Kebudayaan manusia yang menghasilkan perempuan secara fisik dan psikis
menjadi atau merasa lemah, sehingga mudah sekali menjadi target dari kekerasan.
Mulai dari tindakan pelecehan, penyiksaan, kejahatan, sampai dengan perkosaan
yang brutal yang dialami perempuan. Kekerasan dapat terjadi pada setiap
perempuan, kaya miskin, tua muda, bisa terjadi dimana saja, dirumah atau diluar
rumah, mulai dari baru lahir sampai akhir ahayat dan dapat saja dilakukan oleh pria
manapun.
Yang menyedihkan adalah sangat banyak kejadian perempuan tidak berdaya

melawan kekerasan itu, baik secara fisik maupun secara psikis. Bahkan ada juga
yang menerimanya sebagai kodrat atau nasib, terdapat pendapat percuma melawan
kodrat atau nasib, padahal mendapat perlakuan keras dari pria bukanlah kodrat atau
ansib padahal mendapat perlakuan keras dari pria bukanlah kodrat atau nasib
perempuan. Teringat lirik lagu pada tahun lima puluhan yag kata-katanya antara
lain : “ ……. Sejak dulu wanita dijajah pria, dijadikan perhiasan sangkar
madu……” lagu yang melodinya cukup indah namun sangat menyedihkan karena
sampai sekarang, di era millennium ketiga ini, secara fsiik dan psikis banyak
perempuan masih dijajah oleh pria dan dijadikan perhiasan sanggar madu.
Kekerasan terhadap perempuan yagn paling menyedihkan apabila terjadi di
dalam rumah tangga. Lembaga perkawinan yang merupakan alat pembentukan
rumah tanga menurut pandangan bangsa Indonesia adalah lembaga sacral, menjadi
tempat terjadinya kekerasan dan penyiksaan terhadap perempuan. Harus diakui
bahwa didalam lembaga perkawinan banyak sekali terjadi kekerasan/penyiksaan
yang dialami oleh istri, yang tidak pernah diketahui oleh orang lain, antara lain
perkosaan dalam perkawinan, memperbudak istri, mengurung istri dirumah tanpa
member kesempatan untuk bersosiakusasi dengan masyarakat luar atau tidak diberi
untuk melakukan aktivitas ekonomi dan seringkali sampai akhir hayat para istri,
penderitaan itu terkubur bersama kasad mereka. Bukan hanya kekerasan fisik yang


dialami istri, juga banyak sekali terjadi kekerasan psikis yang lebih sulit lagi
diketahui oleh orang luar dan membuat istri sangat menderita.
Disadari atau tidak disadari oleh suami, perselingkuhan suami dengan
perempuan lain begitu sering diketahui oleh sang istri karena nalurinya istri tahu
bahwa ada “wanita lain”, tetapi karena berbagai macam alas an, sang istri tidak
memberikan reaksi dan bersikap seakan-akan tidak tahu, tetapi yang pasti didalam
batin seseorang istri terpendam sejumlah penderitaan. Para istri yang megalami
penyiksaan, secara fisik dan atau psikis oleh suami, banyak yang hanya berani
secara anonym untuk menyampaikan keluhan melalui rubric-rubrik di media cetak
yang menyediakan tempat untuk menampung keluhan atas kekerasan yang
dialaminya. Tetapi tidak dapat juga dipungkiri bahwa dalam perkawinan, suami
juga banyak yang mengalami penderitaan, walaupun kekerasan fisik yang
dilakukan istri sangat jarang lebih banyak terjadi kekerasan sperti itu, biasanya
berupaya mempertahankan perkawinan karena berbagai alas an.
Rumah tangga seyogianya menjadi tempat berlindung bagi seluruh anggota
keluaga, akan tetapi kenyataanya justru banyak rumah tangga menjadi tempat
penderitaan dan penyiksaan karena terjadi tindakan kekerasan. Kekerasan dalam
rumah tangga menurut pasal 1 Undang-undang nomor 23 tahun 1994 tentang
penghapusan kekersan dalam rumah tangga didefenisikan sebagai berikut, yaitu
setiap perbuatan terhadap seseorang terutama perempuan yang berakibat timbulnya

kesengsaraan dan penderitaan secara fisik, seksual, psikologis dan atau pelantaran
rumah tangga termasuk ancaman untuk melakukan perbuatan, pemaksaan atau
perampasan kemerdekaan secara melawan hukum dalam lingkup rumah tangga
termasuk ancaman unuk melakukan perbuatan, pemaksaan atau perampasan
kemerdekaan secara melawan hukum dalam lingkup rumah tangga.
Pasal 1 Undang- Undang nomor 1 tahun 1974 memberikan definisi
Perkawinan yang sangat indah yaitu : “Perkawinan adalah ikatan lahir batin antara
seseorang pria dan wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga
(rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan ketuhanan Yang maha Esa.”
Berdasarkan bunyi pasal 1 undang-undang nomor 1 tahun 1974 tentang
perkawinan menjadi kaidah tanpa arti sebab banyak suami/istri mengabaikan
ketentuan pasal tanpa sanksi tersebut.
Fakta ini kasus-kasus yang ditangani lembaga-lembaga yang peduli terhadap
masalah perempuan, misalnya : Data komnas perempuan menunjukkan bahwa pada
tahun 2001 terjadi 3.169 kasus kekerasan terhadap perempuan, kasus kekerasan
tersebut mengalami peningkatan menjadi 5.163 kasus pada tahun 2002 (naik 61
persen) kemudian pada tahun 2003 kembali mengalami peningkatan menjadi 7.787
kasus (naik 66 persen), tahun 2004 menjadi 14.020 kasus (naik 80 persen), tahun
2005 berjumlah 20.394 kasus (naik 69 persen) dan data terbaru yang dikeluarkan
pada 7 maret 2007 mencatat 22.512 kasus yang ditangani 257 lembaga di 32

provinsi. Persentase terbesar dari kasus kekerasan terhadap perempuan dilakukan
dalam lingkup rumah tangga, berupa kekerasan dalam rumah tangga (KDRT).
Data 2007 dari Komnas Perempuan menunjukkan, kasus KDRT menempati
urutan tertinggi dari keseluruhan bentuk kekerasan terhadap perempuan yakni,

16.709 kasus atau 76 persen. Data serupa juga tercantum dalam laporan lembaga
Bantuan Hukum Asosiasi Perempuan Indonesia untuk Keadilan (LBH APIK). Pada
periode Januari-april 2007, terjadi 140 kasus KDRT itu artinya bahwa 35 kasus
terjadi setiap bulan atau 1 kauss perhari.
Tentunya kasus dengan jumlah sebanyak itu bias terjadi karena minimnya
perhatian baik pemerintah maupun masyarakat terhadap perempuan.
Ketidakpedulian masyarakat dan Negara terhadap masalah kekerasan dalam rumah
tangga karena adanya ideology gender dan budaya patriarhi. Gender adalah
perbedaan peran social dan karakteristik laki-laki dan perempuan yang
dihubungkan atas jenis kelamin (seks) mereka. (Rika Samwah 2006:3).
Pengertian patriarkhi adalah budaya yang menempatkan laki-laki sebagai
yang utama superior dibandingkan dengan perempuan. Adanya ideology gender
dan budaya patriarkhi kemudian oleh pemerintah dilegitimasi di semua aspek
kehidupan, misalnya bidang domestic seperti rumah tangga dan reproduksi
dikategorikan privat dan bersifat personal misalnya, relasi suami-istri keluarga dan

seksualitas. Hal-hal yang bersifat privat dan dimestic ini merupakan persoalan yang
berada diluar campur tangan masyarakat individu lain dan Negara.
Akibat budaya patriarkhi dan ideology gender diatas, sangat berpengaruh
pada ketentuan undang-undang perkawinan yang membedakan peran laki-laki
sebagai kepala rumah tangga dan perempuan sebagai ibu rumah tangga (pasal 31
undang-undang perkawinan) yang menimbulkan persepsi pada masyarakat seolaholah kekuasaan laki-laki sebagai suami sangat besar sehinga dapat memaksakan
semua kehendaknya termasuk melalui kekerasan.
Situasi ini menimbulkan akibat kekerasan dan pelanggaran terhadap hak-hak
perempuan yang terjadi didalam ruang lingkup privat/domestic menjadi tindakan
yang tidak dapat dijangkau oleh Negara. Tindakan-tindakan yang melanggar hak
perempuan dan seharusnya menjadi tanggung jawab Negara dana parat, justru
disingkirkan untuk menjadi urusan keluarga.
Pandangan bahwa kekerasan dalam rumah tangga merupakan urusan rumah
tangga timbul diantara suami istri yang hubungan hukum diantara individu tersebut
terjadi karena terikat didalam perkawinan yang merupakan lingkup hukum perdata.
Dengan demikian apabila terjadi pelanggaran didalam hubungan hukum antara
individu tersebut, penegakan hukumnya dilakukan dengan cara mengajukan
gugatan yang merasa dirugikan.
Undang-undang perkawinan tidak mengatur saksi yang dapat dijatuhkan
kepada pelaku kekrsan dalam rumah tangga seperti halnya hukum pidana.

Persoalan kekerasan atau penganiayaan yang terjadi dalam rumah tangga
menurut UU perkawinan merupakan salah satu penyebab putusnya suatu
perkawinan sebagaimana disebutkan pasal 38 UU perkawinan. Lembaga hukum
perdata digunakan didalam UU perkawinan untuk menyelesaikan penegakan
hukum kepada pelaku kekerasan rumah tangga yaitu dilakukan dengan cara
mengajukan gugatan oleh pihak yang merasa dirugikan. Sepanjang pihak yang
mengalami kekerasan dalam rumah tangga maka tidak akan muncul gugatan ke

pengadilan. Berbeda dengan hukum pidana yang memiliki sifat apabila terjadi
pelanggaran hukum, penegakkan hukumnya dilakukan oleh penguasa karena tujuan
hukum public adalah untuk menjaga kepentingan umum.
Meningkatnya angka kekerasan dalam rumah tangga dan akibat yang
ditimbulkan bagi korban menyebabkan sebagian masyarakat menghendaki pelaku
kekerasan dalam rumah tanga pidana melalui instrument ketentuan kitab undangundang hukum pidana (KUHP) yang mengatur tentang kekerasan adalah didalam
pasal 89 dan pasal 90 KUHP, akan tetapi kekerasan yang diatur dalam KUHP
adalah menyangkut kekerasan fisik. Selain itu KUHP juga tidak mengatur
kekerasan seksual yang dapat terjadi di rumah tangga antara suami-istri dan juga
tidak adanya perintah perlindungan atau perintah pembatasan gerak sementara yang
bias dikeluarkan oleh pengadilan untuk emmbuat pelaku melakukan kekearsan
dalam rumah tangga.

Kelemahan-kelemahan UU Perkawinan dan KUHP mendorong pemerintah
membuat aturan khusus mengenai kekerasan dalam rumah tangga yaitu dengan
menerbitkan UU No. 23 tahun 2004 tentang penghapusan kekerasan dalam rumah
tangga. Undang-undang tersebut merupakan tuntutan masyarakat yang telah sesuai
dengan tujuan pancasila dan UUD 1945 guna menghapus segala bentuk kekerasan,
di Indonesia, khususnya kekerasan dalam rumah tangga. Selain itu juga Indonesia
telah meratifikasi konversi perserikatan bangsa-bangsa tentang penghapusan
diksminasi terhadap perempuan melalui Undang-undang No.7 tahun 1974.
Seiring dengan diterbitkannya UU nomor 23 tahun 2004, terlihat adanya
perubahan pandangan dari pemerintah mengenai kekerasan yang terjadi di rumah
tangga bukan semata-mata persoalan privat, melainkan juga masalah public dan
urusan rumah tangga dalam UU perkawinan yang merupakan lingkup perdata
menjadi lingkup public.
Walaupun UU nomor 23 tahun 2004 tentang penghapusan kekerasan Dalam
rumah tangga tidak serta merta akan memenuhi harapan para perempuan yang
merupakan sebagian besar korban kekerasan dalam mendapatkan keadilan,
mengingat kondisi penegakkan hukum yang masih jauh adri harapan dan tidak lepas
dari praktik-praktik yang diskriminatif dan lbih menguntungkan pihak yang
mempunyai kekuasaan, baik kekuasaan ekonomi, social maupun budaya.
Pemahaman dan kesadaran bahwa kesadaran bahwa kekerasan dalam rumah

tangga sebagian suatu kejahatan harus disebarluaskan sehingga diperoleh kesatuan
pemahaman dalam masyarakat. Tanpa adanya pemahaman dan kesadaran dlam
penegakkan hukum yang diharapkan tidaka akan dapat berjalan dengan baik. Selain
itu, kaum perempuan sebagai bagian dari masyarakat juga harus memiliki kemauan
membawa kasusnya ke bidang peradilan pidan.
Menumbuhkan kemauan menuntut hak merupakan suatu langkah yang amat
berat bagi para korban kekerasan dalam rumah tangga karena banyak kendali yang
harus dihadapi, sebab tanpa dukungan dari anggota keluarga dan masyarakat dan
ataupun aparat hukum yang responsive, maka langkah yang akan ditempuh
perempuan para korban kekerasan dalam rumah tangga hanya akan berakhir sia-sia
ditengah jalan.

Selama ini, perempuan yang mengalami korban kekerasan dalam rumah
tangga lebih memilih menyelesaikan kasusnya melalui perceraian yang merupakan
lingkup hokum perdata dari pada menyelesaikan kasusnya secara pidana. Sangat
sedikit kasus kekerasan dalam rumah tangga yang dislesaikan scara pidana, hal ini
dikarenakan keengganan dari korban untuk menempuh penyelesaian kasusnya
kejalur pidan. Situasi ini menunjukkan bahwa banyak kendala yang harus dihadapi
perempuan yang menjadi korban kekerasan dalam rumah tangga, seperti peraturan
hukumnya, aparat hukumnya dan amsyarakat.

Perempuan korban kekerasan rumah tangga cenderung memilih penyelesaian
secara perdata (perceraian) karena prosesnyanya cepat, tetapi biaya yang harus
dikeluarkan agak banyak terutama bagi mereka yang tidak bekerja, sebab biaya
pendaftaran perkara perdata atau gugatan ke pengadilan ke pengadilan akan
menghabiskan dana yang bervariasi yaitu sekitar Rp. 1.000.000 – Rp 1.500.000.
Angka atau biaya ini cukup tinggi terutama bagi perempuan yang tidak memiliki
pekerjaan, dibandingkan dengan korban kekerasan dalam rumah tangga yang
membawa kasusnya ke penyelesaian pidana jumlahnya sangat sedikit.
1.2 Perumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang permasalahan yang telah diuraikan diatas,
untuk itu perlu dirumuskan masalah untuk diteliti yaitu :
a. Bagaimana penyelesaian hokum yang ditempuh korban kekerasan dalam
ruumah tangga di wilayah kota Meadan ?
b. Apakah factor-faktor pendukung dan penghambat penyelesaian kasus
kekerasan dalam rumah tangga melalui jalur hokum pidana ?
1.3 Tujuan Penelitian
Adapun tujuan penelitian ini adalah sebagai berikut :
a. Untuk mengetahui nbagaimana penyelesaian hokum yang ditempuh
korban kekerasan dalam rumah tangga di wilayah kota Medan.
b. Untuk mengetahui apakah factor-faktor pendukung dan penghambat

penyelesaian kasus kekerasan dalam rumah tangga melalui jalur hokum
pidana.
1.4 Manfaat Penelitian
Penelitian ini diharapkan akan berguna atau bermanfaat :
a. Untuk memberikan motivasi kepada kaum perempuan agar mau dan dapat
menyelesaikan kasus kekerasan dalam rumah tangga yang dihadapinya
melalui jalur peradilan pidana
b. Untuk mendorong pemerintah agar lebih mensosialisasikan bentuk-bentuk
penyelesaian kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) kepada masyarakat
luas.

BAB III
METODE PENELITIAN
III.I Sifat dan Pendekatan
Penelitian ini merupakan penelitian yang bersifat denkriptif nalitis, artinya
hasil penelitian ini bermaksud memberikan gambaran yang menyuruh dan sitematis
mengenai kekerasan dalam rumah tangga yang diselesaikan secara hokum perdata
dan hokum pidana. Bersifat analitis karena dilakukan sesuatu analisis atas
penyelesaian yang ditempuh korban kekerasan dalam rumah tangga dari hukum
perdata ke hukum pidana.

Sedangkan pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah yuridis
sosiologis yaitu merupakan gabungan antara penelitian lapangan yang
menggunakan data primer berupa kasus kekerasan dalam rumah tangga dan
penelitian kepustakaan yang menggunakan data sekunder berupa bahan-bahan
hokum.
III.2 Bahan atau Materi Penelitian
Penelitian ini memelurkan bahan atau materi yang dijadikan sebagai sumber
data, baik bahan hokum primer ataupun bahan hokum sekunder. Untuk keperluan
data primer diperlukan penelitian lapangan melalui penelitian di LBH APIK di
Sumatera Utara.
REsponden diambil dari klien LBH-APIK yang membawa kasusnya ke
penyelesaian pidana dalam kurun waktu tahun 2007, respon yang diwawancarai
hanya 4 orang. Sedikitnya jumlah responden yang diwawancarai karena dalam
kenyataan hanya sedikit perempuan korban kekersan yang membawa kasusnya ke
pengadilan untuk diproses scara pidana meskipun yang mengadukan kasusnya
berjumlah ratusan orang.
III.3 Alat Pengumpulan Data
Alat atau bahan pengumpulan data dalam penelitian ini ada dua bagian yaitu
sekunder dan primer. Pararel dengan itu diperlukan pula dua jenis data yaitu data
sekunder dan data primer. Data sekunder dengan studi kepeustakaan atas bahanbahan hukum seperti bahan hokum primer (bahan hokum yang bersifat mengikat).
Seperti Undang-undang penghapusan kekerasan dalam rumah tangga, KUH Pidana
dan undang-uandang perkawinan. Bahan hokum sekunder yaitu bahan hokum yang
member penjelasan mengenai bahan hokum primer, seperti putusan pengadilan,
data-data dari LBH-APIK Sumatera Utara, data di Kepolisian (Poltabes Medan),
penelitian terdahulu, kliping Koran dan literature lain yang berhubungan dengan
kekerasan dalam rumah tangga.

Bahan hukum tertier yaitu bahan hokum pendukung bahan hokum primer dan
sekunder berupa kamus dan ensiklopedia. Akan tetapi untuk melengkapi dan
memperjelas diperlukan alat peneliti yaitu daftar pertanyaan yang disusun secara
terstruktur dan jalannya peneliti dilakukan dengan wawancara secara lisan denagn
nara sumber dan wawancara menggunakan daftar pertanyaan tertulis kepada
responden.
III. 4 Lokasi Penelitian
Penelitian ini dilakukan pada wilayah kota Medan sebagai Ibukota Propinsi
Sumatera Utara. Terdapat beberapa alasan mengapa kota Medan dijadikan sebagai
lokasi penelitian antara lain :
1. Mengingat jumlah penduduk Kota Medan yang cukup padat, yaitu terdiri dari
1.027.807 orang laki-laki dan 1.039.681 orang perempuan dengan total rumah
tangga mencapai 465.218 rumah tangga (Data BPS tahun 2006).
2. Kota Medan merupakan kota yang dihuni oleh penduduk yang heterogen yaitu
terdiri dari berbagai etnis sehingga diprediksi angka kekerasan dalam rumah
tangga akan sangat tinggi, sebab berbagai perilaku manusia dari berbagai suku
dan etnis ada di kota Meadan.
3. Para peneliti tinggal dan bermukim di kota Medan, sehingga dengan demikian
akan sangat memudahkan dilaksanakannya kegiatan peneliti ini, karena
disamping merupakan daerah tempat tinggal peneliti, juga para peneliti sudah
mengenal dan memahami lebih jauh akan kondisi kota Medan.

BAB IV
PEMBAHASAN DAN HASIL
IV.I Penyelesaian Hukum Yang Ditempuh Korban kekerasan dalam Rumah
tangga
IV.1.A Penyelesaian kekerasan Dalam Rumah Tnagga
Pada bab sebelumnya telah diuraikan tentang makna/deenisi kekerasan yang
mempunyai arti yang berbeda-beda, dan oleh karma itu bentuk-bentuk kekerasan
menjadi berbeda-beda antara satusama lain.
Dari sekian bentuk kejahatan atau kekerasan terhadap perempuan yang
dihimpun dari poltabes Medan dari tahun 2006-2008 dapat diuraikan sebagai
berikut :
Tabel I
No.
1.

2.
3.

2006
147

Tahun
2007
203

2008
226

Kekerasan dalam

88

190

192

Perdagangan

3

1

5

394

423

Keterangan
Kejahatan seksual,

perkosaan, perbuatan
cabul/pelecehan
rumah tangga

perempuan (hukan
trafficking)

Jumlah
238
Sumber : Unit PPA Sat Reskrim Poltabes Medan

Dari tabel diatas dapat dilihat bahwa kasus-kasus kekerasan rumah tangga setiap
tahunnya meningkat tajam setiap tahunnya.
Menurut kanit PPA Poltabes Medan munculnya kasus kekerasan dalam rumah
tangga disebabkan beberapa factor antara lain : Pertengkaran, minuman keras
(Miras), ekonomi, perselingkuhan, masalah mendidik anak, suami tidak betah
dirumah, serta istri kurang merawat diri, sedangkan timbulnya kasus asusila adalah
disebabkan factor situs/film porno, miras materialism korban lelaki hidung belang,
penginapan/kafe-kafe, serta pergaulan bebas sementara itu untuk kasus hum,an
trafficking factor penyebabnya mencakup rendahnya pendidikan, factor

kemiskinan, mudahnya dibujuk rayu, keluarga berantakan (Broken Home),
pengaruh lingkungan serta jaringan pelaku terorganisir.
Salah satu kendala penyelesaian dalam rumah tangga melalui institusi polri
adalah banyaknya masyarakat ksnya kaum perempuan tidak mengetahui sebuah
institusi polri dapat menangani kasus-kasus kekerasan terhadap perempuan dan
anak dapat diatasi.
Menurut direktur LBH Asosiasi perempuan Indonesia untuk keadilan
(APIK) sumut bahwa tahun 2007 sebanyak 2007 sebanyak 1.146 Perempuan
mengalami kekerasan dengan berbagai bentuk kekerasan antara lain : kekerasan
dalam rumah tangga, kejahatan seksualitas, pembunuhan, penganiayaan, Human
Traffiking.
Jika diperhatikan jumlah kasus kekerasan terhadap perempuan yang
ditangani institusi polri dan LBH APIK terjadi perbedaan tajam sekali adalah akibat
ketidak tahuan perempuan bahwa institusi polri dapat menangani kasus kekerasan
terhadap perempuan.
Untuk mengetahui bagaimana proses atau kemauan seseorang perempuan
korban kekerasan melaporkannya ke aparat hokum hingga berlanjut ke pengadilan
pidana, maka dalam bagian ini disampaikan 4 kasus berkaiatan dengan kekerasan
rumah tangga di pengadilan Negeri Medan yaitu tahun 2007 sampai dengan tahun
2008.
1. Kasus nomor : 902/pid.B/2007/PN-Medan
a. Duduk Perkara
Candra gunawan alias acan, umur 22 tahun tempat lahir Medan, tempat
tinggal JL. KL. Yos Sudarso Gg. Famili, Agama Islam, kebangsaan
Indonesia, pekerjan karyawan swasta, pendidikan SLTA bahwa pada hari
senin tanggal 22 Desember 2006 sekitar pukul 11.00 yang masih termasuk
dalam wilayah hokum pengadilan Negeri Medan, melakukan perbatan fisik
dalam rumah tangga sebagaimana dimaksud dalam pasal 5 huruf a yakni
terhadap saksi korban yakni Mayasari. Perbuatan tersebut dilakukan terdakwa
dengan cara sebagai berikut :
Pada hari senin tanggal 25 Desember 2006 sekitar pukul 11.00 wib ketika
saksi korban dan terdakwa sedang berada ditempat tidur didalam kamar.
Kemudian sanksi korban bertanya tentang Hnad phone yang dijual terdakwa,
akan tetapi terdakwa malah marah terhadap sanksi korban dan mengatakan
agar sanksi korban terjadi pertengkaran mulut dan saat posisi berhadapan
ditempat tidur dengan jarak lebih kurang 30 cm, terdakwa menampar pipi
korban, menumbuk rahang kiri saksi korban sebanyak 1 kali dengan
menggunakan tangannya. Akibat perbuatan terdakwa sanski korban
mengalami luka memar dipipi kiri bawah 2x2 cm. Sesuai dengan visum et
repertum No. 010/V/RSU/BS/2007 tanggal 25 desember 2006 ditanda
tangani oleh Dr. Dian dari RSU Bina Sejahtera dengan kesimpulan luka
memar tersebut akibat benda tumpul.
b. Tuntutan jaksa
Tuntutan dari penuntut umum pada kejaksaan negeri Medan adalah sebagai
berikut :

1. Menyatakan bahwa Candra Gunawan alas an bersalah melakukan tindak
pidana melakukan kekerasan fisik dalam lingkup rumah tangga sebagai
mana diatur dan diancam dapal pasal 5 huruf adipidana dengan pidana
penjara paling lama 5(lima) tahun atau denda paling banyak Rp.
15.000.000 9lima belas juta rupiah)
2. Menyatakan bahwa terdakwa Chandra Gunawan alasan terbukti berslah
secara sah tindak pidana kekerasan fisik dalam rumah tangga sebagai
mana diatur dalam pasal 44 (1) UU No. 23 tahun 2004.
3. Agar menjatuhkan pidana terhadap Chandra Gunawan alas an dengan
pidana selama 1 tahun 8 bulan penjara potong tahanan.
4. Menetapkan supaya terdakwa dibebankan membayar biaya perkara Rp.
1.000
c.

Pertimbangan Hakim
1. Menimbang bahwa atas tuntutan pidana tersebut, terdakwa mengajukan
permohonan yang pada pokoknya mohon agar dijatuhkan hukuman yang
seringan-ringanya.
2. Menimbang bahwa terdakwa didakwakan penuntut umum berdasarkan
sundakwaan tanggal 8 maret 2007 No. 135/Rp.9/ep.1/02/2007
3. Menimbang bahwa untuk menguatkan dakwaan tersebut penuntut umum
telah menguatkan saksi-saksi yaitu :
- Yuni
- Mayasari
- Lena
- Iriani
Saksi-saksi tersebut memberikan keterangan dibawah sumpah yang pada
pokoknya sama dengan BAP
4. Mebimbang bahwa berdasarkan keterangan saksi-saksi dan keterangan
terdakwa dihubungkan dengan barang bukti, majelis hakim berpendapat
bahwa terdakwa telah melakukan perbuatan yang memenuhi semua unsure
pasal 44 (1) UU no.23 tahun 2004
5. Menimbang bahwa oleh karena itu terdakwa dinyatakan terbukti secara sah
dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana dan oleh karena itu
harus dijatuhi pidana
6. Menimbang bahwa majelis hakim dalam persidangan tidak menemukan
alasan pemaaf atau alasan pembenaran dan terdakwa dapat dipertanggung
jawabkan atas perbuatan yang telah dilakukan oleh karena terdakwa harus
dijatuhi pidana
7. Menimbang bahwa mengenai barang barang bukti yang diajukan oleh
penuntut umum dipersidangan akan ditetapkan dalam amar putusan
8. Menimbang bahwa oleh karena itu terdakwa dinyatakan bersalah maka
dinyatakan membayar uang perkara.
9. Yang meringankan
- Terdakwa belum pernah dihukum
- Terdakwa mengaku tersu terang perbuatannya dan merasa menyesal
- Terdakwa berlaku sopan dipersidangan
- Terdakwa telah berdamai dengan sanksi korban

d. Putusan Hakim
1. Menyatakan bahwa terdakwa Chandra Gunawan alasan tersebut telah
terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana
kekerasan fisik dalam rumah tangga
2. Menjatuhkan pidana kepada terdakwa oleh karena itu dengan pidana
penjara 1 (satu) tahun
3. Menetapkan masa penahanan yang telah dijalani oleh terdakwa
dikurangkan seluruhnya dari pidana yang dijatuhkan
4. Menetapkan terdakwa ditahan
5. Membebankan kepada terdakwa membayar biaya perkara sebesar Rp.
1.000 (seribu rupiah)
e. Pemabahasan Kasus
Kekerasan yang dialami korban adalah kekerasan bersifat
emosional/psycologis karena korban dan suami korban sering bertengkar
hanya karena masalah sepele dan suami korban sering melakukan
penganiayaan terhadap korban suami korban pun pernah meninggalkan
korban ketika korban hamil 7 bulan dan setelah anaknya lahir setelah
berumur 7,5 bulan korban suami korban rujuk kembali dengan perjanjian
korban tidak lagi melakukan penganiayaan. Berdasarkan Undang-undang
penghapusan kekerasan dalam rumah tangga tindakan pelaku terhadap
korban adalah kekerasan fisik. Dalam pasal 44 ayat 1 undang-undang
penghapusan kekerasan dalam rumah tangga, seseorang yang melakukan
kekerasan fisik dapat dipidana 5 (lima) tahun atau denda paling banyak Rp.
15.000.000 (lima belas juta rupiah). Menurut penulis seharusnya ancaman
yang diberikan harus lebih tinggi guna memberikan efek jera kepada pelaku.
2. Kasus Nomor : 1.308/Pid.B/2007/PN Medan
a. Duduk perkara
Harapan Erwin Batubara, umur 41 tahun, tempat lahir Balige, tempat tinggal
jati 3 Gg. Srikandi Medan, Agama Kristen, kebangsaan Indonesia,
pekerjaan tidak ada.
Bahwa pada hari sabtu 17 Februari 2007, sekira pukul 8.30 WIB atau
setidak-tidaknya pada suatu waktu dalam bulan Februari 2007 bertempat di
Jl. Jati 3 Gg. Srikandi Medan atau setidaknya dalam daerah hukum
Pengadilan Negeri Medan melakukan kekerasan fisik dalam lingkup rumah
tangga sebagaimana dimaksud dalam pasal 5 huruf a dengan cara, pada hari
sabtu 17 Februari 2007 pada saat terdakwa ada dlam rumah, saksi korban
Elva Tampubolon (Istri Harapan Batubara, terdakwa) menyuruh terdakwa
mencari pekerjaan namun tiba-tiba saja terdakwa marah, sehingga antara
terdakwa saksi korban terjadi pertengkaran mulut, kemudian terdakwa
mengambil cangkir yang terbuat dari perak yang terletak diatas bofet, lalu
terdakwa melakukan perbuatan kekerasan fisik terhadap istrinya dengan
cara memukulkan cangkir tersebut kekepala korban sebanyak 1 (satu) kali,
sehingga saksi korban mengalami sakit dan luka sehingga mengeluarkan
darah, sesuai dengan hasil Fisum Et Repertum. Luka Robek pada
pertengahan kepala dan sudah dijahit 2 jahitan. Akibat perbuatan tersebut
terjadi dengan paksa keras dan benda tumpul dan Qs dapat melakukan

pekerjaan sehari-hari sebagaimana tertuang dalam pasal 89 dan pasal 90
KUHP.
KUHP tidak mengenal istilah kekerasan dalam rumah tangga dan rumusan
atau ketentuan pasal-pasalnya belum menjalankan bentuk-bentuk kekerasan
selain kekearasan fisik, seperti emosional atau kekerasan psicologis,
ekonomi dan seksual. Akibatnya pasal yang digunakan juga terbatas. Istilah
kekrasan dalam rumah tangga tidak dikenal dalam KUHP karena
masyarakat selalu menanamkan harmonisasi dalam keluarga sehingga tidak
menganggap serius adanya kekerasan dalam rumah tangga dipandang
sebagai masalah domestic atau privat.
b. Tuntutan Jaksa
Tuntutan dari penuntut umum pada kejaksaan negeri medan adalah seabgai
berikut :
- Menyatakan terdakwa Harapan Erwin Batubara telah terbukti secara
sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana kekerasan
dalam rumah tangga sebagaimana di atur dan di ancam pidana dalam
pasal 44 ayat (1) UU No. 23 tahun 2004 tentang penghapusan kekerasan
dalam rumah tangga.
- Menjatuhkan pidana terhadap terdakwa Harapan Erwin batubara
dengan pidana penjara selama 5 ( lima ) bulan penjara dengan perintah
Terdakwa tetap di tahan.
- Menyatakan barang bukti berupa : 1 ( satu ) buah cangkir terbuat dari
perak, di rampas untuk di musnahkan.
- Menyatakan agar terdakwa di bebani untuk membayar ongkos perkara
sebesar Rp.1000 ( seribu rupiah )
c. Pertimbangan hakim
- Bahwa terdakwa melalui nota pembelaan mengakui terus terang
perbuatannya dan berjanji tidak akan mengulangi lagi dan memohon
hukuman yang seringan ringannya.
- Bahwa menimbang dakwaan penuntut umum ter dakwa telah di dakwa
melanggar pasal 44 ayat (1) No.23 thn 2004.
- Menimbang bahwa keterangan yang telah didengar dari saksi saksi
yang telah di sumpah dan para saksi membenarkan keterangan yang
telah diberikan kepada penyidik didepan persidangan sebagaimana
diuraikan oleh penuntut umum dalam surat dakwaannya.
- Menimbang bahwa dipersidangan terdakwa telah memberikan
keterangan keseluruhan para saksi dan membenarkan telah melakukan
suatu tindakan pidana sebagaimana diuraikan didalam surat dakwaan
oleh penuntut umum.
- Menimbang bahwa dari keterangan saksi-saksi dan terdakwa
dihubungkan dengan barang bukti, majelis hakim telah menemukan
adanya fakta-fakta yudiris yaitu adanya persesuaian antara keterangan
saksi saksi dan keterangan terdakwa yang telah terjadi tindak pidana
kekerasan dalam rumah tangga.
- Menimbang bahwa majelis hakim berdasarkan pertimbangan
hokum,maka terdakwa teelah terbuki secara sah dan meyakinkan

bersalah melakukan tindak pidana sebagaimana yang didakwakan
dalam dakwaan pertama, melanggar pasal 44 ayat (satu) UU No.23
tahun 2004 dan oleh karenanya tidak ada alasan pemaaf dan
pembenaran daloam perbuatan terdakwa serta terdakwa dapat
dipertanggung jawabkan atas perbuatan yang telah dilakukannya. Maka
terdakwa harus dijatuhi pidana yang setimpal dwengan perbuatannya
yang telah dilakukannya.
- Hal-hal yang memberatkan
 Perbuatan terdakwa dapat meresahkan masyarakat
- Hal-hal yang meringankan
 Terdakwa mengakui dan menyesali perbuatannya.
 Terdakwa belum pernah dihukum.
d. Putusan Hakim
- Menyatakan terdakwa harapan Erwin Batubara telah terbukti secara sah
dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana kekerasan dalam
rumah tangga.
- Menjatuhkan pidana terhadap terdakwa dengan pidana penjara selama
3 (tiga) bulan.
- Memerintahkan masa penahanan yang telah dijalani terdakwa sebelum
putusan ini mempunyai kekuatan hokum yang telah dikurangkan
seluruhnya dari pidana yang dijatuhkan.
- Menetapkan agar terdakwa tetap ditahan.
- Memerintahkan agar barang bukti berupa: 1 (satu) buah cangkir terbuat
dari perak dirampas untuk dimusnahkan.
- Membebani terdakwa dengan biaya perkara sejumlah Rp.1000.
e. Pembahasan kasus
Jenis kekerasan yang dialami korban adalah kekerasan secara ekonomi dan
fisik.Meski kekerasan secara ekonomi tidak terungkap secara jelas tetapi
berdasarkan pengakuan terdakwa bahwa ia melakukan kekerasan fisik
karena terdakwa jengkel kepada istri karena jengkel terdakwa diminta oleh
korban untuk meminjam uang kepada keluarganya untuk membeli beca
sehingga membuat ia marah.
Hal ini telah mengindikasikan adanya kebutuhanekonomi yang tidak
terpenuhi. Masyarakat pada umumnya berpendapat bahwa tanggung jawab
suami didalam keluarga adalah mencari nafkah untuk keluarganya meski
tidakn selalu suami bertindak sebagai kepala keluarga yang juga mencari
nafkah atau penopang utama kehidupan keluarganya. Persoalan ekonomi
yang telah berlangsung lama dan memuncak dengan tindakan fisik kepada
korban. Konisi instabilitas dalam rumah tangga rupanya menjadi pemicu
terjadinya kekerasan dalam rumah tangga. Hal ini menunjukkan bahwa
budaya kekerasan dalam rumah tangga dalam bentuk fisik rupanya menjadi
penyelesaian yang paling mudah dipilih oleh pelaku yang menyebabkan istri
mengalami luka-luka.
3. Kasus nomor : 1947/Pid.b/2007/PN-Medan
a. Duduk perkara
Tarzi nasution, lahir di padang, umur 24 tahun, jenis kelaminm laki-laki,
kebangsaan Indonesia,agama islam,,pendidikan SMP, pada hari minggu

tanggal 4 februari 2007,jam 15.00 WIB bertempat dijalan Chaidir Blok J
No.53 Kp. Nelayan indah, kecamatan Medan Labuhan yang merupakan
wilayah hokum Pengadilan Negeri Medan , telah melakukan kekerasan
dalam rumah tangga terhadap istri bernama Ika yang dilakukan dengan cara
berikut:
Ketika terdakwa baru pulang dari melaut pada hari, tanggal 4 februari 2007,
terdakwa lalu makan dan selanjutnya berbincang-bincang itu terdakwa lalu
menanyakan keada saksi korban apakah saksi korban sering meninggalkan
anak-anak dengan berpergian dengan laki-laki lain, lalu terdakwa terus
mendesak saksi korban sehingga saksi korban mengaku bahwa dengan
mengatakan “saya tidak ada berjalan dengan laki-laki lain”, yang ada saya
berjalan dengan kaki ka yang bekerja dicafe dengan tujuan saya berjalan
dengan kaki ka untuk mencari pekerjaan.” Karena jawaban saksi korban
tidak memuaskan terdakwa, terdakwa kemudian emosi kemudian
menendang paha saksi korban sebanyak 2(dua) kali dengan mempergunakan
kaki kanan terdakwa, lalu saksi korban saksi meninggalkan terdakwa dan
mengajukan kejadian tersebut kerumah orang tuanya dan tak lama kemudian
datang beberapa orang tetangga diantaranya saksi Iskandar alias His dan
saksi Juliana Rohi Aalias juli bersama-sama dengan ibu korban mala lalu ibu
saksi korban bertanya kepada terdakwa : “apa yang terjadi sebetulnya, kok
sering kali kalian bertengkar” lalu dijawab oleh terdakwa :’ ibu sendirian tau
bagaimana tingkah laku si Yunita (saksi korban)’, namun ibu saksi korban
diam saja selanjutnya terdakwa pergi masuk kedalam rumah bahwa akibat
perbuatan terdakwa tersebut saksi korban mengalami luka memar pada paha
sesuai dengan VER No. 020/V/RSUBS/02/2007 tanggal 5 februari 2007
yang ditandatangani oleh Dr. Ridwan dokter rumah sakit Bina sehjahtera
labuhan. Dalam dakwaan jaksa terdakwa didakwa melanggar pasal 44 (1)
UU No. 23 tahun 2004 tentang penghapusan kekerasan dalam rumah tangga
9dakwaan kesatu) sedangkan dalam dakwaan kedua terdakwa didakwa
melanggar pasal 356 ke (1) KUHP.
b. Tuntutan Jaksa
Tuntutan dari penuntut umum pada kejaksaan Negeri Belawan adalah
sebagai berikut :
- Menyatakan terdakwa Tazri Nasution terbukti secara sah dan
meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana “ kekerasan fisik dalam
rumah tangga “sebagaimana diatur dan diancam pidana dalam pasal 44
(1) UU No. 23 tahun 2004 tentang penghapusan kekerasan dalam
rumah tangga.
- Menjatuhkan pidana terdakwa pidana penjara 1 (satu) tahun 10 bulan
dikurangi selama terdakwa berada dalam tahanan.
- Menyatakan dan menetapkan agar terdakwa dibebani biaya perkara
sebesar Rp. 1000 (seribu rupiah)
c. Pertimbangan Hakim
Menimbang bahwa dari keterangan para saksi yang pada pokoknya
dibenarkan oleh terdakwa sehingga memberatkan terdakwa sehingga
memberatkan terdakwa dihubungkan dengan keterangan terdakwa yang
secara terus menerus akan diperbuatannya dihubungkan lagi dengan visum

et repertum juga yang dibenarkan oleh terdakwa telah melakukan tindak
pidana yang memenuhi unsure pasal 44 (1) UU No. 23 tahun 2004.
- Yang memberatkan :
 Perbuatan terdakwa mengakibatkan saksi korban Yunita terluka
- Yang meringankan
 Terdakwa sangat menyesali perbuatannya dan tidak mengulanginya lagi
 Terdakwa belum pernah dihukum
 Dalam persidangan saksi korban telah memaafkan terdakwa sebagai
suaminya.
d. Putusan Hkaim
- Menyatakan terdakwa Tazri Nasution telah terbukti secara sah dan
meyakinkan melakukan tindak pidana “kekerasan dalam rumah
tangga”
- Menjatuhkan pidana kepada terdakwa oleh karena itu dengan pidana
penjara 1 (satu) tahun
- Menetapkan masa penahanan yang telah dijalani oleh terdakwa
dikurangi seluruhnya dari pidana yang dijatuhkan
- Membebankan kepada terdakwa untuk membayar biaya perkara
sebesar Rp. 1.000 (seribu rupiah)
e. Pembahasan Kasus
Dalam kasus ini yang menonjol adalah kekearsan fisik dan psikologis yang
dilakukan oleh terdakwa sebagai tindakan menendang paha istri dengan kaki
terdakwa sehingga menimbulkan luka memar. Alasan terjadinya
percekcokan adalah karena terdakwa mendengar bahwa saksi korban yaitu
istri terdakwa selingkuh dengan pria lain, terdakwa akhirnya emosional
sehingga melakukan kekerasan fisik. Namun dalam pertimbangan hakim
persoalan perselingkuhan tidak disinggung oleh hakim.
4. Kasus Nomor : 1720/Pid.b/2007/PN-Medan
a. Duduk Perkara
Terdakwa tumpal Purba jenis kelamin laki-laki lahir di Medan 36 tahun
agama Kristen, tempat tinggal jalan tuamang Nomor 210 A Medan Kel.
Siderejo Hilir Kecamatan Medan Tembung pekerjaan Karyawan swasta.
Dakwaaan Pertama :
- Bahwa ia terdakwa Tumpal purba pada hari senin tanggal 06 Nopember
2006 sekira pukul 17.30 atau setidak-tidaknya pada waktu lain dibulan
Nopember 2006 bertempat di jalan Tuamang No. 210 A Medan Kel.
Siderejo Hilir Kec Medan Tembung atau setidak-tidaknya pada tempat
lain yang termasuk dalam daerah hukum Pengadilan Negeri Medan
melakukan perbuatan kekerasan fisik dalam lingkup rumah tangga,
perbuatan mana dilakukan oleh terdakwa dengan cara sebagai berikut :
- Bahwa berawal pada tanggal 3 juli 1999 terdakwa dengan saksi korban
Julita Br. Simbolon menikah 2 (dua) tahun yang lalu terjadi
pertengkaran antara saksi korban dengan terdakwa sehingga terdakwa
tidak lagi tinggal serumah dengan saksi korban. Kemudian kira-kira
bulan September 2006 terdakwa menjemput anak-anak terdakwa dari
saksi korban yang selama ini tinggal bersama saksi korban untuk
tinggal bersama terdakwa dirumah orang tua terdakwa yang terletak

-

-

dijalan Tuamang No. 210 A Medan Kel. Sidorejo Hilir Kec. Medan
Tembung. Lalu saksi korban mendengar bahwa anak saksi korban
sedang sakit kemudian pada hari senin tanggal 06 Nopember 2006
sekira pada pukul 17.30 Wib saksi korban mendatangi rumah orang tua
terdakwa dan diruang tamu rumah tersebut saksi korban bertemu
dengan terdakwa yang baru pulang dari pesta dengan membawa anak
terdakwa dan saksi korban yang sedang sakit. Lalu saksi korban
bertemu dengan anak terdakwa dan saksi korban yang sedang sakit.
Lalu saksi korban akan membawa anak mereka dengan maksud untuk
dibawa berobat akan tetapi terdakwa tidak mengijinkan sehingga terjadi
pertengkaran mulut antara terdakwa dengan saksi korban. Kemudian
terdakwa mendekati saksi korban dan angsung memukul berulang kali
kearah kepala dan badan saksi korban dengan menggunakan kedua
tangannya sehingga saksi korban menjerit kesakitan lalu terdakwa
menendang badan saksi korban dipintu depan sehingga saksi korban
keluar teras rumah akibat perbuatan terdakwa maka saksi korban
mengalami bengkak dibagian kepala belakang dengan ukuran 3 x 3cm
dan bengkak didahi kiri dengan ukuran 3 x 3 sesuai dengan surat Visum
Et Repertum No. 17/LPV/11/2006 yang dikeluarkan oleh rumah sakit
umum “ Martondi” yang ditanda tangani oleh Dr. Lusi N. Nst
Perbuatan terdakwa diatur dan diancam pidana dalam pasal 44 ayat (1)
UU No. 23 tahun 2004 tentang pengahpusan kekerasan dalam rumah
tangga.
Bahwa ia terdakwa tumpal purba pada hari senin tanggal 06 Nopember
2006 sekira pukul 17.30 WIB atau setidak-tidaknya pada waktu lain
dibulan Nopember 2006 bertempat di jalan Tuamang No. 210 A Medan
Kel. Sidorejo Hilir Kec. Medan Tembung atau setidak-tidaknyatidaknya pada tempat lain yang termasuk dalam daerah hokum
Pengadilan Negeri Medan dengan sengaja melakukan penganiayaan
terhadap saksi korban julita Br. Simbolon perbuatan dilakukan oleh
terdakwa dengan cara sebagai berikut :
Bahwa pada hari senin pada tanggal 06 Nopember 2006 sekira pukul
17.30 wib saksi korban mendatangi rumah orang tua terdakwa dan
diruang tamu tersebut saksi korabn bertemu dengan terdakwa yang baru
pulang adri pesta dengan membawa anak terdakwa dan saksi korban
yang sedang sakit. Lalu saksi korban akan membawa anak terdakwa
dengan maksud untuk dibawa berobat akan tetapi terdakwa tidak
mengizinkan sehingga terjadi pertengkaran mulut antara terdakwa
dengan saksi korban.kemudian terdakwa mendekati saksi korban dan
langsung memukul berulang kali kearah kepala dan badan saksi korban
dengan menggunakan kedua tangannya sehingga saksi korban menjerit
kesakitan lalu terdakwa menendang badan saksi korban di depan pintu
sehingga saksi korban keluar keteras rumah.Akibat perbuatan terdakwa
maka saksin korban mengalami bengkak kepala dibagian belakang
dengan ukuran 3x 3cm dan bengkak didahi kiri dengan ukuran 3x3 cm
sesuai dengan surat Visum Et Repertum No.:17/LPV/XI/2006 tanggal
6 november 2006 yang dikeluarkan oleh rumah sakit umum “ Martondi
“ yang ditanda tangani oleh Dr.Lusi N,nst.

-

b.

c.
d.

Perbuatan terdakwa diatur dan diancam dalam pasal 351 ayat ( 1 )
KUHP.
Tuntutan jaksa
- Menyatakan terdakwa terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah
melakukan tinda pidana”melakukan kekerasan fisik dalam rumah
tangga” menurut pasal 44 ( 1) No. 23 tahun 2004 tentang penghapusan
kekerasan dalam rumah tangga dalam dakwaan pertama.
- Menghukum terdakwa dengan pidana denda sebesar Rp. 1.000.000 (
satu juta rupiah ) subsidair 1 ( satu ) bulan kurungan.
- Menetapkan barang bukti nihil.
- Menghukum terdakwa membayar biaya perkara sebesar Rp. 500 ( lima
ratus rupiah ).
Keterangan saksi dan terdakwa
Para saksi berjumlah 4 orang menerangkan sesuai dengan BAP polisi.
Keterangan terdakwa
- Bahwa benar pada tanggal 3 juli 1999 terdakwa dengan saksi korban
julita Br. Simbolon menikah dan 2 ( dua ) tahun yang lalu terjadi
pertengkaran antara terdakwa dengan saksi korban julita Br. Simbolon
( istri terdakwa ) sehingga terdakwa dengan saksi korban tidak tinggal
serumah lagi. Lalu saksi korban mendengar bahwa anak saksi korban
sedang sakit dirumah orang tua terdakwa yang terletak di jalan tuamang
No. 210 A Medan Kel. Sidorejo Hilir Kec.Medan Tembung.
- Bahwa benar kemudian di hari senin tanggal 06 Nopember 2006 sekira
pukul 17.30 wib saksi korban mendatangi rumah orang tua terdakwa
untuk membawa anak mereka dengan amksud berobat akan tetapi
terdakwa tidak mengizinkan sehingga terjadi pertengkaran mulut antara
tidak mengizinkan sehingga terjadi pertengkaran mulut antara terdakwa
dengan saksi korban
- Bahwa benar kemudian terdakwa mendekati saksi korban dan langsung
memukul berulang kali kearah kepala dan badan saksi korban dengan
menggunakan kedua tangannya hingga saksi korban menjerit kesakitan
lalu terdakwa menendang badan saksi korban dipintu depan sehingga
saksi korban keluar keteras rumah.
e. Pertimbangan Hakim
- Menimbang bahwa dari keterangan masing-maisng saksi dibawah
sumpah yang pada pokoknya hamper sama dalam keterangan berita
acara dan keterangan terdakwa dan dihubungkan barang bukti, majelis
hakim berpendapat bahwa terdakwa telah melakukan perbuatan yang
memenuhi unsure pasal 44 (1) UU No. 23 tahun 2004.
- Menimbang bahwa oleh karena itu terdakwa dinyatakan terbukti secara
sah dan meyakinkan melakukan tindak pidana, dan oleh karenanya
harus dijatuhi pidana
- Yang memberatkan
Akibat perbuatan terdakwa terhadap saksi korban
- Yang meringankan :
Akibat perbuatan terdakwa terhadap saksi korban
Terdakwa telah melakukan perdamaian dengan saksi korban
Terdakwa sopan dalam persidangan

f. Putusan Hakim
- Menyatakan terdakwa tumpal purba telah terbukti secara sah dan
menyakinkan bersalah melakukan tindak pidana : “melakukan
kekerasan fisik dalam rumah tangga.”
- Menjatuhkan pidana terhadap terdakwa oleh karena itu dengan pidana
denda sebesar Rp. 1.000.000 (satu juta rupiah) dengan ketentuan jika
denda tidak dibayar harus diganti denagn pidana kurungan selama I
(satu) bulan
- Memerintahkan barang bukti berupa Nihil
- Membebankan biaya perkara kepada Terdakwa Rp. 500 (lima ratus
rupiah)
g. Analisa Kasus
Kekerasan yang dialami korban adalah kekerasan yang bersifat
emosi/psikologis karena suami korban (terdakwa) selama 2 tahun yang
lalu tidak serumah lagi dengan korban. Selanjutnya kira-kira bulan
September 2006 suami korban atau terdakwa menjemput 2 orang
anaknya yang selama itu tinggal dengan korban. Saksi korban mencoba
mendatangi anaknya karena saksi korban mendengar anaknya sakit dan
ingin membawanya.
Melihat alasan suami korban (terdakwa) melakukan pemukulan merasa
suami korban tidak bertanggung jawab kepada anak-anaknya yang
sudah tentu munculnya kemarahan kepada saksi korban. Selain itu juga
budaya patriarki atau ideology gender yang melekat pada pola piker
pelaku menyebabkan yang bersangkutan tersinggung dan merasa
direndahkan. Apabila dilihat dari putusan hakim yang hanya
menjtuhkan hukuman pidana denda sebesar Rp. 1.000.000 (satu juta
rupiah) dengan ketentuan jika tidak dibayar denda harus diganti
kurungan selama 1 (satu) bulan kurungan adalah tidak adil. Dalam
membuat putusannya hakim tidak mempertimbangkan bahwa perbuatan
terdakwa meresahkan masyarakat. Hal ini tidak sesuai dengan sifat dari
hukuman pidana yang bertujuan untuk melindungi kepentingan umum
dari perbuatan terdakwa. Kemudian, pertimbangan bahwa terdakwa
seharusnya melindungi istrinya dapat dikategorikan kedalam
pertimbangan yang bersifat perdata karena yang memicu peristiwa
tersebut adalah dikarenakan kedua-duanya yaitu terdakwa dan saksi
korban tidak saling menghormati kedudukannya sebagai suami dan istri.
IV.2 Faktor-faktor pendukung dan penghambat penyelesaian kasus
kekerasan dalam rumah tangga melalui jalur hukuman pidana
Berdasarkan putusan pengadilan maupun hasil wawancara dengan LBHAPIK Sumatera Utara dapat diketahui bahwa factor-faktor yang mendukung dan
menghambat diselesaikannya kasus kekerasan rumah tangga melalui jalur hukum
pidana seabgai berikut :
1.

Faktor pendukung yang utama untuk membawa dan menyelesaikan kasus
rumah tangga melalui hukum pidana adalah korban sndiri. Korban yang

2.
3.

4.

5.

sudah menyadari bahwa kekerasan dalam rumah tangga yang menimpa
dirinya adalah suatu hal yang benar. Korban harus menyadari bahwa ia
memiliki hak not to be abused. kekerasan demikian pada hakikatnya
menghina harkat dan amrtabatnya sebagai perempuan sehingga korban punya
hak untuk mengubah situasi, selain itu kesadaran dari korban punya hak asasi
yang memudahkan korban untuk melaporkan kekerasan yang terjadi kepada
pihak yang berwenang, seperti ketua RT/RW, atasan atau polisi langkah
korban untuk melaporkan kepada pihak yang berwenang akan semakin
mudah apabila di dukung oleh keluarga dekatnya misalnya ayah,ibu dan
saudara dan masyarakat baik secara perorangan maupun lembaga. Hak-hak
korban yang demikian juga dijamin dalam undang undang penghapusan
kekerasan dalam rumah tangga yang di aur dalam pasal 10 yang menentukan
bahwa
korban
berhak
mendapat
perlindungan
dari
pihak
keluarga,kepolisian,kejaksaan,pengadilan/advokat lembaga social,atau oihak
lainnya. Baik sementara maupun berdasarkan penetapan perintah
perlindungan dari pengadilan. Selain itu juga tindakan dengan mengantarkan
korban ke rumah sakit atau mengantar ke polisi, membantu memanggil
pelaku untuk mencari penyelesaian,member dukungan dana untuk
meringankan beban nafkah,pendampingan selama proses hukum ditingkat
kepolisian,kejaksaan dan di pengadilan sangat membantu korban yang
melaporkan kasusnya keaparat penegak hukum untuk menyelesaikan
kasusnya melalui pengadilan pidana.
Faktor penghambat yang berasal dari korban sendiri antara lain seperti korban
tidak tega melihat suaminya ditahan tidak ada lagi pencari nafkah,menjaga
nam suami/keluarga ataupun menjaga perasaan anak anak .
Faktor penghambat yang datang dari masyarakat itu sendiri yang sering
menyalahkan korban sebagai penyebab terjadinya kekerasan dan menuduh
korban yang melaporkan suami sendiri kepada polisi. Kondisi ini sudah tentu
tak mendukung dan sering kali menyebabkan korban kemudian mencabut
laporannya.
Faktor penghambat yang datang dari penegak hukum seperti polisi yang
dinilai kurang serius memperhatikan kasus-kasus dengan korban perempuan
Aparat kepolisian serig memiliki persepsi yang cenderung menyalahkan
korban ketika terjadi kasus kekerasan yang menimpa perempuan. Persepsi
demikian juga terjadi dalam kasus kekerasan dalam rumah tangga, perempuan
lebih sering disalahkan sebagai penyebab suaminya melakukan kekearsan.
Akan tetapi dalam perkembangannya dewasa ini telah ada kemajuan dari
pihak kepolisian untuk lebih aktif dalam menangani korban kekerasan, selain
itu juga ditandai dengan adanya ruang pelayanan khusus (RPK) dan pusat
pelayanan terpadu (PPT) di rumah sakit polri menunjukkan adanya
kepedulian pemerintah dalam melayani dan menangani korban kekerasan
yang berbasis gender.
Factor penghambat yang datang dari aparat penegak hukum yang lain yaitu
jaksa penuntut umum dan hakim yang masih memandang bahwa
penganiayaan yang dilakukan oleh suami terhadap istri berbeda dengan
penganiayaan yang dilakukan oleh orang terhadap orang lain yang tidak
mempunyai hubungan suami istri. Perbedaan yang dimaksud karena jaksa
penuntut umum dan hakim melihat bahwa diantara suami istri tersebut

ternyata masih ada rasa saying sehingga menimbulkan anggapan bahwa
kekerasan yang dilakukan oleh suami terhadap istrinya tidak dilauakn
sungguh-sungguh, berbeda dengan penganiayaan oleh orang lain yang benarbenar dilandasi rasa benci dan keinginan untuk menyakiti atau membunuh.

BAB V
KESIMPULAN DAN SARAN
V. A Kesimpulan
Adapun yang menjadi kesimpulan dalam penelitian ini adalah :
1. Bahwa jumlah kasus kekerasan terhadap perempuan yang ditandatangani
institusi polri dan LBH APIK terjadi perbedaan yang tajam sekali. Hal ini
disebabkan ketidaktahuan perempuan memiliki kemauan untuk menyelesaikan
kasus kekerasan yang dihadapinya melalaui jalur pidana.
2. Bahwa factor pendukung dan penghambat penyelesaian kasus kekearsan dalam
rumah tangga melalui hukum pidana adalah :
a. Faktor kemauan dari korban sendiri
b. Factor yang datang dari masyarakat
c. Factor yang datang dari penegak hukum seperti polisi
d. Factor yang datang dari aparat penegak hukum seperti jaksa dan hakim
V.B Saran-saran
1. Agar UU kekerasan dalam rumah tangga lebih disosialisasikan lagi terhadap
perempuan dan laki-laki sehingga semakin menimbulkan kesadaran untuk saling