Analisis Putusan Sanksi Pidana Malpraktek Yang Dilakukan Oleh Bidan (Studi Kasus di Pengadilan Negeri Tulungagung)

(1)

ANAL

(

LISIS PU

YA

(Studi K

Diajukan k Untuk Me

UTUSAN

ANG DIL

Kasus di P

kepada Fak elengkapi T Guna Mem JA DEPAR F UNIVER

N SANK

LAKUK

Pengadi

SKR kultas Huk Tugas-Tuga mperoleh G DISUSUN AN BOSARM NIM : 0

RTEMEN H FAKULTA RSITAS SU ME 20

KSI PIDA

KAN OLE

lan Nege

RIPSI kum Univer as dan Mem Gelar Sarja

N OLEH :

MEN SINAG 90200103 HUKUM P AS HUKUM UMATERA DAN 013

ANA MA

EH BID

eri Tulun

rsitas Suma menuhi Sya ana Hukum GA PIDANA M A UTARA

ALPRAK

DAN

ngagung

atera Utara arat-Syarat m

KTEK

g)

a t


(2)

ANALISIS PUTUSAN SANKSI PIDANA MALPRAKTEK

YANG DILAKUKAN OLEH BIDAN

(Studi Kasus di Pengadilan Negeri Tulungagung)

SKRIPSI

Diajukan kepada Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara Untuk Melengkapi Tugas-Tugas dan Memenuhi Syarat-Syarat

Guna Memperoleh Gelar Sarjana Hukum

Disusun Oleh :

JAN BOSARMEN SINAGA NIM : 090200103

DEPARTEMEN HUKUM PIDANA

Disetujui Oleh :

KETUA DEPARTEMEN HUKUM PIDANA

Dr. M. Hamdan., S.H ,M.H NIP : 195703261986011001

DOSEN PEMBIMBING I DOSEN PEMBIMBING II

Prof. Dr. Ediwarman, S.H., M.Hum Syafruddin, S.H., M.H., D.F.M NIP : 195405251981031003 NIP : 196305111989031001

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN


(3)

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis sampaikan ke hadirat Tuhan Yang Maha Esa yang karena anugerah dan kasih-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan penulisan skripsi ini, yang merupakan salah satu syarat untuk mendapatkan gelar Sarjana Hukum pada Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

Skripsi ini berjudul : Analisis Putusan sanksi pidana malpraktek yang dilakukan oleh bidan (Studi Kasus di Pengadilan Negeri Tulungagung)

Berkat bimbingan dan arahan serta petunjuk dari dosen pembimbing sehingga penulis dapat menyelesaikan penulisan skripsi ini. Penulis menyadari bahwa dalam penulisan skripsi ini masih banyak ditemukan kelemahan-kelemahan serta kekurangan-kekurangannya, oleh karena itu penulis sangat mengharapkan saran-saran dan arahan-arahan yang bersifat membangun agar penulis dapat menjadi lebih baik lagi dikemudian hari.

Dalam penulisan skripsi ini, penulis banyak menerima bantuan, bimbingan dan motivasi dari berbagai pihak, untuk itu penulis mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada :

1. Bapak Prof. Dr. Runtung, S.H., M.Hum sebagai Dekan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara,

2. Bapak Prof. Dr. Budiman Ginting, S.H., M.Hum, sebagai Pembantu Dekan I Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara,

3. Bapak Syafruddin Hasibuan, S.H.,M.H, DFM, sebagai Pembantu Dekan II Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara,


(4)

4. Bapak Muhammad Husni, S.H., M.Hum sebagai Pembantu Dekan III Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara,

5. Dr. M. Hamdan,S.H.,MH sebagai Ketua Jurusan Departemen Hukum Pidana Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara,

6. Ibu Liza Erwina, S.H., M.Hum sebagai Sekretaris Departemen Hukum Pidana Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara,

7. Prof. Dr. Ediwarman, S.H., M.Hum sebagai Dosen Pembimbing I, yang membimbing dan mendukung penulis dalam masa penulisan sampai penyelesaian skripsi ini,

8. Bapak Syafruddin Hasibuan, S.H.,M.H, DFM, sebagai Dosen Pembimbing II, yang membimbing dan mendukung penulis dalam masa penulisan sampai penyelesaian skripsi ini,

9. Orangtua, Ayahku Yanser Sinaga, S.H dan Ibuku Dra. Raidou br.Purba untuk dukungan yang diberikan baik moril dan materil untuk penulis. Buat saudara-saudaraku dr. Rezkita Gloria br.Sinaga dan Silvia Sari Dewi br. Sinaga untuk motivasinya,

10.Joseph Tulus Purba, Hasiolan Purba, Simon Fresly Purba yang sejak kecil sampai sekarang menjadi saudara dan sahabat yang terus memberikan motivasi kepada penulis,

11.Teman-teman sepergerakan di GMKI yang selalu melayani baik dalam keadaan senang ataupun sulit, yang selalu memberikan dukungan kepada penulis. Teman-teman Mapala NATURAL JUSTICE yang selalu memberi dukungan kepada penulis,


(5)

12.Saudara-saudara saya di ALBUMED yang selalu menerima saya dalam keadaan baik atau tidak baik, untuk motivasi yang diberikan kepada penulis,

13.Bang bona, Yesaya Syahkata Singarimbun, Anggie Tumpak Hasoloan Sihotang, Ruth Sonya Oktavia Siahaan, Hardi Primadi Pakpahan yang selalu membantu penulis dalam bentuk moril dan spiritual,

14.Jefri Sihotang , Frans Sinarta, Julius Simanjuntak, Rony Pasha, Jonathan Sinaga, Rudi V,S , Scot, Fredrick, Frans Wardhana, Bobby, Arjuna, Mei , Merti, Defina, Dessy, yang selalu membantu penulis selama perkuliahan,

15.Samuel Pangaribuan S,H dan Donal Hutagaol S,E yang selalu memberikan bantuan moril dan materil kepada penulis,

Demikianlah skripsi ini penulis selesaikan, semoga bermanfaat. Sekian dan terimakasih.

Medan, Oktober 2013


(6)

DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR DAFTAR ISI

ABSTRAK

Halaman Bab I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang ... 1

B. Perumusan Masalah ... 4

C. Tujuan dan Manfaat Penulisan ... 4

D. Keaslian Penulisan... 5

E. Tinjauan Kepustakaan ... 6

F. Metode Penelitian ... 18

G. Sistematika Penulisan ... 19

Bab II PENGATURAN TINDAK PIDANA MALPRAKTEK MENURUT UU NO.36 TAHUN 2009 TENTANG KESEHATAN DAN KUHP. A. Pengaturan tindak pidana malpraktek menurut UU No.36 tahun 2009 ... 21


(7)

Bab III FAKTOR PENYEBAB TINDAK PIDANA

1. Faktor kelalaian (culpa) ... 44 2. Faktor kesengajaan (dolus/ intentional) ... 51 3. Factor Kesalahpahaman (dwaling) ... 57 4. Faktor Kekeliruan Penilaian Klinis (Non-neglicent clinical

error of judgment ) ... 59 5. Faktor Contributory negligence ... 59

Bab IV PENERAPAN KEBIJAKAN HUKUM TERHADAP TINDAK PIDANA MALPRAKTEK

A. Kebijakan Pidana Terhadap Tindak Pidana malpraktek

1. Kebijakan Penal ... 61 2. Kebijakan Non Penal ... 69 B. Penerapan sanksi pidana terhadap dalam kasus putusan MA

No.2101 K/Pid.Sus/2010 ... 73

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN

A. Kesimpulan ... 92 B. Saran ... 96 DAFTAR PUSTAKA ... 98


(8)

ABSTRAK

Jan Bosarmen Sinaga

Pertanggungjawaban tindak pidana malpraktek saat ini menjadi sorotan penting dikarenakan aturan hukum yang mengaturnya masih kabur. Hal ini dikarenakan pengaturan mengenai kualifikasi perbuatan malpraktek tidak jelas dicantumkan aturan hukumnya, perbuatan malpraktek ini tidak dapat dilihat dari satu sudut pandang keilmuan saja, melainkan dari segi ilmu hukum juga. Perbuatan malpraktek mengandung unsur pidana dan perdata hal ini seharusnya diperhatikan agar setiap pihak tidak memberikan penafsiran masing-masing menurut keilmuan masing-masing.

Faktor penyebab tindak pidana malpraktek ini masih simpang siur. Di satu sisi pelaku malpraktek tidak dapat dipersalahkan mengingat perbuatannya dilakukan untuk menyelesaikan suatu masalah akan tetapi perbuatannya tidak menjamin selesainya masalah tersebut. Di sisi lain kurangnya profesionalitas dalam menjalan profesi sehingga menimbulkan perbuatan malpraktek. Untuk itu penulis menjadikan faktor penyebab menjadi kajian dari skripsi ini.

Penelitian yang dilakukan adalah penelitian hukum normatif. Penulis mengumpulkan bahan hukum primer yakni UU No.36 tahun 2009 dan KUHP sebagai landasan peraturan hukum pidana, khususnya tindak pidana malpraktek. Untuk menemukan suatu kebenaran ilmiah dalam penulisan skripsi, maka penulis menggunakan metode pengumpulan data dengan cara studi kepustakaan, yaitu mengumpulkan, mempelajari dan menganalisa secara sitematis buku-buku, internet, putusan-putusan, peraturan perundang-undangan dan bahan-bahan lain yang berhubungan dengan materi yang dibahas dalam skripsi ini.

Hasil yang didapat dari penelitian dalam skripsi ini adalah bahwa Undang-undang nomor 36 tahun 2009 tentang kesehatan belum cukup untuk mengatur mengenai tindak pidana malpraktek, di dalam KUHP juga tida ditemukan mengenai kualifikasi dari perbuatan malpraktek yang ditemukan hanya kualifikasi akibat perbuatan malpraktek tersebut. Untuk itu menurut penulis, pengaturan mengenai tindak pidana malpraktek ini harus di bentuk baik dari segi kuaifikasi perbuatan malpraktek, akibat dari perbuatan malpraktek dan pertanggungjawaban pelaku tindak pidana malpraktek.

Kata kunci : Faktor penyebab tindak pidana malpraktek, pertanggungjawaban tindak pidana malpraktek.


(9)

ABSTRAK

Jan Bosarmen Sinaga

Pertanggungjawaban tindak pidana malpraktek saat ini menjadi sorotan penting dikarenakan aturan hukum yang mengaturnya masih kabur. Hal ini dikarenakan pengaturan mengenai kualifikasi perbuatan malpraktek tidak jelas dicantumkan aturan hukumnya, perbuatan malpraktek ini tidak dapat dilihat dari satu sudut pandang keilmuan saja, melainkan dari segi ilmu hukum juga. Perbuatan malpraktek mengandung unsur pidana dan perdata hal ini seharusnya diperhatikan agar setiap pihak tidak memberikan penafsiran masing-masing menurut keilmuan masing-masing.

Faktor penyebab tindak pidana malpraktek ini masih simpang siur. Di satu sisi pelaku malpraktek tidak dapat dipersalahkan mengingat perbuatannya dilakukan untuk menyelesaikan suatu masalah akan tetapi perbuatannya tidak menjamin selesainya masalah tersebut. Di sisi lain kurangnya profesionalitas dalam menjalan profesi sehingga menimbulkan perbuatan malpraktek. Untuk itu penulis menjadikan faktor penyebab menjadi kajian dari skripsi ini.

Penelitian yang dilakukan adalah penelitian hukum normatif. Penulis mengumpulkan bahan hukum primer yakni UU No.36 tahun 2009 dan KUHP sebagai landasan peraturan hukum pidana, khususnya tindak pidana malpraktek. Untuk menemukan suatu kebenaran ilmiah dalam penulisan skripsi, maka penulis menggunakan metode pengumpulan data dengan cara studi kepustakaan, yaitu mengumpulkan, mempelajari dan menganalisa secara sitematis buku-buku, internet, putusan-putusan, peraturan perundang-undangan dan bahan-bahan lain yang berhubungan dengan materi yang dibahas dalam skripsi ini.

Hasil yang didapat dari penelitian dalam skripsi ini adalah bahwa Undang-undang nomor 36 tahun 2009 tentang kesehatan belum cukup untuk mengatur mengenai tindak pidana malpraktek, di dalam KUHP juga tida ditemukan mengenai kualifikasi dari perbuatan malpraktek yang ditemukan hanya kualifikasi akibat perbuatan malpraktek tersebut. Untuk itu menurut penulis, pengaturan mengenai tindak pidana malpraktek ini harus di bentuk baik dari segi kuaifikasi perbuatan malpraktek, akibat dari perbuatan malpraktek dan pertanggungjawaban pelaku tindak pidana malpraktek.

Kata kunci : Faktor penyebab tindak pidana malpraktek, pertanggungjawaban tindak pidana malpraktek.


(10)

BAB I PENDAHULUAN A.LATAR BELAKANG

Malpraktek (malapraktek) atau malpraktik terdiri dari suku kata mal dan praktik atau praktek. Mal berasal dari kata Yunani, yang berarti buruk. Praktik (Kamus Umum Bahasa Indonesia, Purwadarminta, 1976) atau praktik (Kamus Dewan Bahasa dan Pustaka kementrian Pendidikan Malaysia, 1971) berarti menjalankan perbuatan yang tersebut dalam teori atau menjalankan pekerjaan (profesi). Jadi, malpraktik berarti menjalankan pekerjaan yang buruk kualitasnya, tidak lege artis, tidak tepat. Malpraktik tidak hanya terdapat dalam bidang kedokteran, tetapi juga dalam profesi lain seperti perbankan, pengacara, akuntan publik, dan wartawan. Dengan demikian, malpraktik medik dapat diartikan sebagai kelalaian atau kegagalan seorang dokter atau tenaga medis untuk mempergunakan tingkat keterampilan dan ilmu pengetahuan yang lazim dipergunakan dalam mengobati pasien atau orang cedera menurut ukuran di lingkungan yang sama.1

Kelalaian tersebut tidak hanya berfokus kepada profesi dokter saja, akan tetapi berlaku juga untuk tenaga medis lainnya, dalam skripsi ini yang dibahas adalah bidan yang sebagai salah satu tenaga medis yang berprofesi.

1

Hanafiah, M.Yusuf dan Amri Amir, Etika Kedokteran Dan Hukum Kesehatan, Kedokteran EGC, Jakarta, 1999, halaman : 96


(11)

Perkembangan pendidikan kebidanan berjalan seiring dan selalu berhubungan dengan perkembangan pelayanan kebidanan. Dalam perkembangannya, selalu mengikuti tuntutan atau kebutuhan masyarakat di satu sisi, di sisi lain pun mengikuti sistem manajemen modern serta pelayanan yang semakin modern pula.2

Bidan merupakan suatu profesi dinamis yang harus mengikuti perkembangan era ini. Oleh karena itu bidan harus berpartisipasi mengembangkan diri mengikuti permainan global. Partisipasi ini dalam bentuk peran aktif bidan dalam meningkatkan kualitas pelayanan, pendidikan dan organisasi profesi.3

Defenisi bidan menurut Internasional Confederation Of Midwives (ICM) ke 27, bulan Juli 2005, yang diakui oleh Who dan Federation of Internasional Gynecologist obstetrition (FIGO), “ Bidan adalah seseorang yang telah mengikuti program pendidikan bidan yang diakui di negaranya, telah lulus dari pendidikan tersebut, serta memenuhi kualifikasi untuk didaftar (register) dan atau memiliki izin yang sah (lisensi) untuk melakukan praktik bidan.4

Bidan diakui sebagai tenaga profesional yang bertanggung jawab dan akuntabel, yang bekerja sebagai mitra perempuan untuk memberikan dukungan , asuhan dan nasehat selama masa hamil, masa persalinan dan masa nifas, memimpin persalinan atas tanggung jawab sendiri dan memberikan asuhan kepada bayi baru lahir dan bayi. Asuhan ini mencakup upaya pencegahan, promosi persalinan normal, deteksi komplikasi kepada ibu dan anak , dan akses

2

Dwiana Estiwidani dkk, Konsep Kebidanan, Fitrimaya, Yogyakarta, 2009, halaman :25.

3

Ibid, halaman : 61.

4

Heni Puji Wahyuningsih , Etika Profesi Kebidanan, Fitrimaya, Yogyakarta, 2008, halaman : 100-101.


(12)

bantuan medis atau bantuan lain yang sesuai, serta melaksanakan tindakan kegawatan daruratan.

Bidan mempunyai tugas penting dalam konseling dan pendidikan kesehatan, tidak hanya kepada perempuan, tetapi juga kepada keluarga dan masyarakat. Kegiatan ini harus mencakup pendidikan antenatal dan persiapan menjadi orang tua serta dapat meluas pada kesehatan perempuan, kesehatan seksual atau kesehatan reproduksi.

Bidan dapat praktik di berbagai tatanan pelayanan, termasuk di rumah, masyarakat, rumah sakit, klinik atau unit kesehatan lainnya. IBI menetapkan bahwa bidan Indonesia adalah seorang perempuan yang lulus dari pendidikan bidan yang diakui pemerintah dan organisasi profesi di wilayah Negara Republik Indonesia serta memiliki kompetensi dan kualifikasi untuk diregister, sertifikasi dan atau secara sah mendapat lisensi untuk menjalankan praktik kebidanan.5

Mengingat besarnya tanggung jawab dan beban kerja bidan dalam melayani masyarakat, pemerintah bersama dengan IBI telah mengupayakan pendidikan bagi bidan agar dapat menghasilkan lulusan yang mampu memberikan pelayanan yang berkualitas dan dapat berperan sebagai tenaga kesehatan professional.6

Permasalahan yang dihadapi saat ini ialah semakin banyaknya bidan memiliki izin untuk melakukan kegiatan medis dengan begitu mudahnya, sehingga memungkinkannya muncul bidan-bidan yang tidak berkompeten dan dalam skripsi ini dibahas mengenai malpraktik yang terjadi akibat dari

5

Ibid, halaman : 101.

6


(13)

bidan yang tidak berkompeten tersebut. Penulis tertarik untuk membahas dari segi malpraktik dan hukum terhadap rumusan-rumusan masalah yang akan dibahas.

B. Perumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang di atas, perumusan masalah yang akan saya bahas dalam skripsi ini adalah sebagai berikut :

1. Bagaimana pengaturan tindak pidana malpraktek menurut UU kesehatan No.36 tahun 2009 dan KUHP.

2. Bagaimana faktor penyebab terjadinya tindak pidana malpraktek. 3. Bagaimana penerapan kebijakan hukum mengenai tindak pidana dalam

kasus malpraktek.

C.Tujuan dan Manfaat Penulisan

Berdasarkan hal-hal diatas yang menjadi tujuan penulisan skripsi ini adalah sebagai berikut :

1. Untuk mengetahui bagaiamana pengaturan tindak pidana malpraktek menurut UU kesehatan No.36 tahun 2009 dan KUHP.

2. Untuk mengetahui faktor penyebab terjadinya tindak pidana malpraktek. 3. Untuk mengetahui bagaimana penerapan kebijakan hukum mengenai

tindak pidana dalam kasus malpraktek.

Selanjutnya penulisan skripsi ini dapat bermanfaat sebagai berikut : 1. Manfaat secara teoritis


(14)

a. Menambah wawasan dan pengetahuan terhadap tindak pidana malpraktek yang dapat ditinjau dari segi medis dan kedokteran serta pertanggungjawaban terhadap tindak pidana malpraktik. b. Memberikan pencerahan kepada masyarakat tentang tindak pidana

malpraktik, kategori-kategori dikatakan sebagai tindak pidana malpraktik dan bagaiman pertanggungjawabannya khususnya di bidang kebidanan.

2. Manfaat Praktis

a. Dapat dijadikan sebagai pedoman bagi mahasiswa, tenaga medis dalam melakukan penelitian yang berhubungan dengan penulisan skripsi ini.

b. Dapat memberikan informasi yang tepat kepada masyarakat mengenai tindak pidana malpraktik dan kategori-kategori tindak pidana malpraktik serta pertanggungjawaban tindak pidana malpraktik khususnya dibidang kebidanan.

D.Keaslian Penulisan

Sepanjang yang diketahui dan dicermati oleh penulis, di lingkungan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara bahwa penulisan tentang Analisis Putusan Sanksi Pidana Malpraktek yang Dilakukan Oleh Bidan (Studi kasus di Pengadilan Negeri Tulungagung) belum pernah dilakukan sebelumnya namun penulisan tentang malpraktek sudah ada sebelumnya , perbedaannya terletak kepada kebijakan penanggulangan malpraktek. Penulisan mengenai


(15)

malpraktek membahas mengenai upaya-upaya pencegahan malpraktek dan kendala-kendala dalam menentukan malpraktek, sedangkan dalam skripsi ini membahas mengenai pertanggungjawaban dan kebijakan hukum dalam malpraktek. Hal ini sejalan dengan pemeriksaan di Perpustakaan Departemen Hukum Pidana, dan tidak ada judul yang sama. Dengan demikian, dilihat dari permasalahan serta tujuan yang ingin dicapai dalam penulisan ini, maka dapat dikatakan bahwa skripsi ini adalah merupakan karya penulis yang asli. Permasalahan yang dibahas di dalam skripsi ini adalah murni hasil pemikiran dari penulis yang dikaitkan dengan teori-teori hukum yang berlaku maupun doktrin-doktrin yang ada, dalam rangka melengkapi tugas dan memenuhi syarat guna memperoleh gelar Sarjana Hukum di Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara, dan apabila ternyata di kemudian hari terdapat judul dan permasalahan yang sama, maka penulis bertanggung jawab sepenuhnya terhadap skripsi ini.

E.Tinjauan Kepustakaan

1. Pengertian tindak pidana malpraktek.

Tidak ditemukan penjelasan tentang apa yang dimaksud dengan

strafbaar feit di dalam KUHP maupun di luar KUHP, oleh karena itu para ahli hukum berusaha untuk memberikan arti dan isi dari istilah itu, yang sampai saat ini belum ada keseragaman pendapat. Pengertian tindak pidana penting dipahami untuk mengetahui unsur-unsur yang terkandung di dalamnya. Unsur-unsur tindak pidana ini dapat menjadi patokan dalam


(16)

upaya menentukan apakah perbuatan seseorang itu merupakan tindak pidana atau tidak.7

Tindak pidana seringkali disebut sebagai peristiwa pidana. Menurut hukum positif, demikian Pompe, peristiwa pidana itu suatu peristiwa yang oleh undang-undang ditentukan mengandung handeling (perbuatan) dan

nalaten (pengabaian; tidak berbuat; berbuat pasif) biasanya dilakukan di dalam beberapa keadaan, merupakan bagian suatu peristiwa. Uraian perbuatan dan keadaan yang ikut serta, yang disebut gedragstype itulah disebut uraian delik.8

Adapun defenisi malpraktik medik pada intinya mengandung salah satu unsur berikut.9

1. Dokter atau tenaga medis kurang menguasai ilmu pengetahuan medis dan keterampilan yang sudah berlaku umum di kalangan profesi medis. 2. Dokter dan tenaga medis memberikan pelayanan medik di bawah

standar (tidak lege artis).

3. Dokter dan tenaga medis melakukan kelalaian berat atau kurang hati-hati, yang dapat mencakup :

a. Tidak melakukan sesuatu tindakan yang seharusnya dilakukan, atau

b. Melakukan sesuatu tindakan yang seharusnya tidak dilakukan.

7

Mohammad Ekaputra, Dasar-dasar Hukum Pidana ,USU Pers, Medan, 2010, halaman : 74.

8

H.A.Zainal Abidin Farid, Hukum Pidana 1, Sinar Grafika, Jakarta , 2007, halaman : 226.

9


(17)

4. Melakukan tindakan medik yang bertentangan dengan hukum.

Dalam praktiknya banyak sekali hal yang dapat diajukan sebagai malpraktik, seperti salah diagnosis atau terlambat diagnosis karena kurang lengkapnya pemeriksaan, pemberian terapi yang sudah ketinggalan zaman, kesalaha teknis waktu melakukan pembedahan, salah dosis obat, salah metode tes atau pengobatan, perawatan yang tidak tepat, kelalaian dalam pemantauan pasien, kegagalan komunikasi, dan kegagalan peralatan.

Malpraktik medik adalah kelalaian seorang dokter atau tenaga medis untuk mempergunakan tingkat keterampilan dan ilmu pengetahuan yang lazim dipergunakan dalam mengobati pasien atau orang yang terluka menurut ukuran di lingkungan yang sama. Yang dimaksud dengan kelalaian di sini ialah sikap kurang hati-hati, yaitu tidak melakukan apa yang seseorang dengan sikap hati-hati melakukannya dengan wajar, atau sebaliknya melakukan apa yang seorang dengan sikap hati-hati tidak akan melakukannya dalam situasi tersebut. Kelalaian diartikan pula dengan melakukan tindakan kedokteran di bawah standar pelayanan medik.

2. Pelaku-pelaku tindak pidana malpraktek.

Pelaku-pelaku tindak pidana malpraktek medik ialah para tenaga medis yang dalam penulisan skripsi ini adalah bidan. Keberadaan bidan di Indonesia sangat diperlukan untuk meningkatkan kesejahteraan ibu dan janinnya. Pelayanan


(18)

kebidanan berada di mana-mana dan kapan saja selama ada proses reproduksi manusia.

Ada beberapa pengertian tentang bidan. Dari berbagai pengertian tersebut dapat disimpulkan bahwa bidan adalah profesi yang khusus, dinyatakan suatu pengertian bahwa bidan adalah orang pertama yang melakukan penyelamat kelahiran sehingga ibu dan bayinya lahir dengan selamat. Tugas yang diemban oleh bidan, berguna untuk kesejahteraan manusia.

Bidan juga dinamakan midwife atau pendamping isteri. Kata bidan berasal dari bahasa Sansekerta “Wirdhan” yang artinya “Wanita Bijaksana”.10

Bidan sebagai profesi memiliki ciri-ciri sebagai berikut : 1. Mengembangkan pelayanan yang unik kepada masyarakat.

2. Anggota-anggotanya dipersiapkan melalui suatu program pendidikan, yang ditujukan untuk maksud profesi yang bersangkutan.

3. Memiliki serangkaian pengetahuan ilmiah.

4. Anggota-anggotanya menjalankan tugas profesinya sesuai dengan kode etik yang berlaku.

5. Anggota-anggotanya bebas mengambil keputusan dalam menjalankan profesinya.

6. Anggota-anggotanya wajar menerima imbalan jasa atas pelayanan yang diberikan.

7. Memiliki suatu organisasi profesi yang senantiasa meningkatkan kualitas pelayanan yang diberikan kepada masyarakat oleh anggotanya.

10


(19)

I. Arti dan Ciri Jabatan Profesional

Secara populer seseorang pekerja dibidang apapun sering diberi predikat profesional dalam bahasa keseharian tersebut adalah seorang pekerja yang terampil atau cakap dalam kerjanya, biarpun ketrampilan atau kecakapan tersebut produk dari fungsi minat dan belajar dari kebiasaan.

Pengertian jabatan profesional perlu dibedakan dari jenis pekerjaan yang menuntut dan dapat dipenuhi lewat pembiasaan melakukan ketrampilan tertentu (magang, keterlibatan langsung dalam situasi kerja di lingkungannya, dan ketrampilan kerja sebagai warisan orang tuanya atau pendahulunya). Seseorang pekerja profesional perlu dibedakan dari seorang teknisi keduanya (pekerja profesional dan teknisi) dapat saja terampil dalam unjuk kerja yang sama (misalnya : menguasai teknik kerja yang sama dapat memcahkan masalah-masalah teknis dalam bidang kerjanya), tetapi seorang pekerja profesional dituntut menguasai visi yang mendasari ketrampilannya. Dari kesimpulan di atas dapatlah ditarik kesimpulan bahwa bidan tergolong jabatan profesional karena memnuhi ketiga macam persyaratan di atas.

Secara lebih rinci, ciri-ciri jabatan profesional tersebut adalah sebagai berikut (termasuk bidan).11

1. Bagi pelakunya secara nyata (defacto) dituntut berkecakapan kerja (keahlian) sesuai dengan tugas-tugas khusus serta tuntutan dari jenis jabatannya (cenderungke spesialisasi).

11


(20)

2. Kecakapan atau keahlian seseorang pekerja profesional bukan sekedar hasil pembiasaan atau latihan rutin yang terkondisi, tetapi perlu didasari oleh wawasan keilmuan yang mantap. Jabatan yang terprogram secara relevan serta berbobot, terselanggara secara efektif-efesien, dan tolok ukur evaluatifnya terstandar.

3. Pekerja profesional dituntut berwawasan sosial yang luas, sehingga pilihan jabatan serta kerjanya didasari oleh kerangka nilai tertentu, bersikap positif terhadap jabatan dan perannya, dan bermotivasi serta berusaha untuk berkarya sebaik-baiknya. Hal ini mendorong pekerja profesional yang bersangkutan untuk selalu meningkatkan (menyempurnakan) diri serta karyanya. Orang tersebut secara nyata mencintai profesinya dan memiliki etos kerja yang tinggi.

4. Jabatan profesional perlu mendapat pengesahan dari masyarakat dan atau negaranya. Jabatan profesional memiliki syarat-syarat serta kode etik yang harus dipenuhi oleh pelakunya, hal ini menjamin kepantasan berkarya dan sekaligus merupakan tanggung jawab sosial pekerja profesional tersebut.

Sehubungan dengan profesionalisme jabatan bidan, perlu dibahas bahwa bidan jabatan profesional. Jabatan dapat ditinjau dari dua aspek, yaitu jabatan struktural dan jabatan fungsional. Jabatan struktural adalah jabatan yang secara tegas ada dan diatur berjenjang dalam suatu organisasi, sedangkan jabatan fungsional adalah jabatan yang ditinjau serta dihargai dari aspek fungsinya yang vital dalam kehidupan masyarakat dan negara. Selain fungsi dan perannya yang vital dalam kehidupan masyarakat jabatan fungsional juga berorientasi kualitatif.


(21)

Dalam konteks inilah jabatan bidan adalah jabatan fungsional profesional, dan wajarlah apabila bidan tersebut mendapat tunjangan fungsional.

II. Bidan adalah Jabatan Profesional

Sesuai dengan uraian tersebut diatas, sudah jelas bahwa bidan adalah jabatan profesional. Persyaratan dari bidan sebagai jabatan profesional telah dimiliki oleh bidan tersebut. Persyaratan tersebut adalah :

1. Memberikan pelayanan kepada masyarakat yang bersidat khusus atau spesialis.

2. Melalui jenjang pendidikan yang menyiapkan bidan sebagai tenaga profesional.

3. Keberadaannya diakui dan diperlukan oleh masyarakat.

4. Mempunyai kewenangan yang disyahkan atau diberikan oleh pemerintah.

5. Mempunyai peran dan fungsi yang jelas. 6. Mempunyai kompetensi yang jelas dan terukur. 7. Memiliki organisasi profesi sebagai wadah. 8. Memiliki kode etik bidan.

9. Memiliki etika kebidanan. 10.Memiliki standar kebidanan. 11.Memiliki standar praktek.

12.Memiliki standar pendidikan yang mendasar dan mengembangkan profesi sesuai dengan kebutuhan pelayanan.


(22)

13.Memiliki standar pendidikan berkelanjutan sebagai wahan pengembangan kompetensi.

3. Pertanggungjawaban tindak pidana malpraktek.

I. Kekhilafan dan pertanggungjawaban pidana

12

Menurut Bambang Poernomo, S.H. (Guru Besar Hukum Pidana pada Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada Yogyakarta) dalam bukunya asas-asas hukum pidana, terbitan Ghalia Indonesia halaman 132 menyebutkan : “ Bahwa seseorang melakukan perbuatan bersifat melawan hukum, atau melakukan sesuatu perbuatan mencocoki dalam rumusan undang-undang pidana sebagai perbuatan pidana, belumlah berarti bahwa dia langsung dipidana. Dia mungkin dipidana, yang tergantung kepada kesalahannya.

Untuk dapat mempidana seseorang, terlebih dahulu harus ada dua syarat yang menjadi satu keadaan, yaitu perbuatan yang bersifat melawan hukum sebagai sendi perbuatan pidana, dan perbuatana yang dilakukan dapat dipertanggungjawabkan sebagai sendi kesalahan. Putusan untuk menjatuhkan pidana harus ditentukan adanya perbuatan pidana dan adanya kesalahan yang terbukti dari alat bukti dengan keyakinan Hakim terhadap tertuduh yang dituntut.13

Dari pembatasan tersebut dapat dipahami dengan sederhana, bahwa untuk dapat mempidana seseorang harus berdasarkan atas dua hal, yaitu seseorang itu harus melakukan perbuatan yang melawan hukum dan seseorang tersebut harus dapat dipertanggungjawabkan menurut hukum.

Pengetian perbuatan melawan hukum dalam konteks ilmu hukum pidana dalam bingkai legalitas adalah perbuatan pidana itu sendiri. Prof. Moeljatno, S.H. mengartikan bahwa yang dimaksud dengan perbuatan pidana adalah perbuatan yang dilarang dan diancam pidana, barangsiapa melanggar larang tersebut.14

12 Poernomo, Bambang, Asas-Asas Hukum Pidana, Ghalia Indonesia, Yogyakarta, 1978, halaman : 132.

13

Waluyadi , Ilmu Kedokteran Kehakiman dalam Perspektif Peradilan dan Aspek Hukum Praktik Kedokteran, Djambatan, Jakarta, 2005, halaman : 120.

14


(23)

Jadi kita berpedoman pada pengertian tentang perbuatan pidana sebagaimana diungkapkan oleh Prof. Moeljatno tersebut di atas, yang kemudian kita hubungkan dengan ketentuan pasal 359 dan 360 KUHPidana yang menggunakan kalimat “Barangsiapa” dapat dikategorikan bahwa dokter dan tenaga medis dalam hal ini bidan telah melakukan perbuatan pidana. Yang menjadi persoalan selanjutnya adalah apakah ia dapat dipertanggungjawabkan (dianggap bersalah).

Secara sederhana dapat disebutkan, bahwa mampu bertanggungjawab adalah ia ( seseorang itu) tidak masuk dalam kriteria seseorang yang apabila melakukan tindak pidana ada alasan untuk tidak dipidana.

Untuk memberikan penjelasan yang lebih rinci tentang unsur dari kesalahan, berikut saya kutipkan pendapat dari beberapa ahli :

1. Menurut Jonkres bahwa secara garis besar kesalahan tersebut, dapat dibagi menjadi tiga bagian15 :

a. Selain kesengajaan atau kealpaan (opzet schuld)

b. Meliputi juga sifat melawan hukum ( de wederrechtelijkheid) c. Dan kemampuan bertanggungjawab ( de teorekenbaarheid)

2. Menurut Pompe, pengertian kesalahan mempunyai tanda sebagai hal

tercela (verwijtbaarheid) yang pada hakekatnya tidak mencegah (vermijdbaarheid) kelakuan yang bersifat melawan hukum ( der wederrechtelijke gedeaging). Kemudian dijelaskannya pula hukum hakekat tidak mencegah kelakuan yang bersifat melawan hukum

15


(24)

(vermijdbaarheid der wederrechtelijke gesraging) di dalam perumusannya pada hukum positif di situ mempunyai kesengajaan dan kealpaan (opzet en onachtzaamheid0 yang mengarah kepada sifat melawan hukum (wederrechtlijkheid) dan kemampuan bertanggungjawab (toerekenbaarheid).16

3. Menurut Vos memandang kesalahan mempunyai tiga tanda khusus, yaitu :17

a. Kemampuan bertanggungjawab dari orang yang melakukan perbuatan (toerekenigsvatbaarheid van de deader).

b. Hubungan bathn tertentu dari orang yang berbuat, yang perbuatannya itu dapat berupa kesengajaan atau kealpaan.

c. Tidak terdapat dasar alasan yang menghapuskan pertanggungjawaban bagi si pembuat atas perbuatannya itu.

4. Menurut E.Mezger memandang bahwa pengertian kesalahan terdiri dari :

a. Kemampuan bertanggungjawab (zurechnungsfahingist)

b. Adanya bentuk kesalahan (Schuldform) yang berupa kesengajaan (Vorzate) dan Culpa (Fahrlassigkeit)

c. Tak ada alasan penghapus kesalahan (keinen

Schuldausschiesungsgrunde). II. Kemampuan Bertanggung jawab

16

Ibid, halaman : 135.

17


(25)

Dengan pemahaman yang relatif minimal, masyarakat awam sulit membedakan antara risiko medik dengan malpraktik. Hal ini berdasarkan bahwa suatu kesembuhan penyakit tidak semata berdasarkan tindakan petugas kesehatan, namun juga dipengaruhi faktor-faktor lain seperti kemungkinan adanya komplikasi, daya tahan tubuh yang tidak sama, kepatuhan dalam penatalaksanaan

regiment therapeutic.

Kecenderungan masyarakat lebih melihat hasil pengobatan dan perawatan, padahal hasil dari pengobatan dan perawatan tidak dapat diprediksi secara pasti. Petugas kesehatan dalam praktiknya hanya memberikan jaminan proses yang sebaik mungkin (ispanningverbintenis), sama sekali tidak menjanjikan hasil (resultaatverbintenis). Kesalahpahaman semacam ini seringkali berujung pada gugatan malpratik. Menurut Paulus Yanuar disebutkan bahwa terdapat formula malpraktik (malpractice formula) bila terdapat tiga unsur utama malpraktik yaitu18 :

1. Terbukti terjadi pelanggaran standar pelayanan.

2. Terbukti pasien mengalami kerugian atau kerusakan setelah menjalani perawatan.

3. Terbutki ada hubungan sebab-akibat antara pelaksanaan praktik yang tidak sesuai standar dengan kerugian yang dialami pasien.

Dalam beberapa literatur untuk membuktikan terjadinya malpraktik haru memenuhi rumusan 4D :

a. Duty ; kewajiban

18

Ta’adi, Ns, Hukum Kesehatan Pengantar Menuju Perawarat Profesional, Penerbit Buku Kedokteran EGC, Jakarta, 2009, halaman :63.


(26)

b. Dereliction of duty ; mentelantarkan kewajiban c. Damage ; rusaknya kesehatan seseorang / kecacatan

d. Direct causation between damage with dereliction of duty ;

adanya hubungan langsung antara tindakan menelantarkan kewajiban dengan rusaknya kesehatan / kecacatan.

Belum ada jaminan bahwa, pelayanan kesehatan yang diberikan petugas dapat memberikan kepuasan. Pada saat tertentu pelayanan tersebut justru menimbulkan kerugian besar pada pasien (cacat,mati). Kerugian tersebut merupakan risiko para pihak (salah satunya sebagai pemberi pelayanan).

Di dalam KUHPidana tidak menyebutkan secara tersurat maupun tersirat mengenai apa sesungguhnya yang dimaksud dengan pengertian mampu bertanggung jawab. Pengertian tentang itu, dapat kita temukan dalam ilmu pengetahuan tentang hukum yang diungkapkan oleh para sarjana.

F. Metode Penelitian

1. Jenis Penelitian

Penelitian yang dilakukan adalah penelitian hukum normatif. Penelitian hukum normatif yang didasarkan pada bahan hukum sekunder yaitu inventarisasi peraturan-peraturan yang berkaitan dengan pertanggungjawaban tindak pidana malpraktik , selain itu juga bahan-bahan tulisan berkaitan dengan persoalan ini.


(27)

Jenis data yang dipakai dalam penelitian ini adalah data sekunder. Data sekunder yang diperoleh dari :

a. Bahan hukum primer yaitu ketentuan-ketentuan dalam peraturan perundang-undangan yang mempunyai kekuatan hukum mengikat, baik peraturan yang diadaptasi oleh Pemerintah Republik Indonesia, yaitu Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) maupun peraturan yang khusus yang mengatur tentang kesehatan, UU No.36 tahun 2009, dan KEPMENKES RI No.900/MENKES/SK/VII/2002.

b. Bahan hukum sekunder yaitu bahan-bahan hukum yang erat kaitannya dengan bahan hukum primer seperti seminar-seminar, jurnal-jurnal hukum, majalah-majalah, Koran-koran, karya tulis ilmiah, dan beberapa sumber dari internet yang berkaitan dengan persoalan diatas.

c. Bahan hukum tersier yaitu semua dokumen yang berisi konsep-konsep dan keterangan-keterangan yang mendukung bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder, seperti kamus, ensiklopedia, dan lain-lain. 3. Teknik Pengumpulan Data

Dalam penulisan skripsi ini digunakan metode Library Research (studi kepustakaan). Metode Library Research yaitu mempelajari dan menganalisa secara sistematis buku-buku, majalah-majalah, surat kabar, internet, peraturan perundang-undangan dan bahan-bahan lain yang berhubungan dengan materi yang akan dibahas dalam skrispsi ini.

Data yang diperoleh melalui studi pustaka dikumpulkan dan diurutkan, kemudian diorganisasi dalam satu pola, kategori dan satu uraian dasar. Analisa


(28)

data dalam skripsi ini adalah analisa dengan cara kualitatif yaitu menganalisa secara lengkap dan kompeherensif keseluruhan data sekunder yang diperoleh sehingga dapat menjawab permasalahan-permasalahan dalam skripsi ini.

G.Sistematika Penulisan

Penulisan penelitian ini secara garis besar terdiri dari lima bab dan sub-sub bab yang diuraikan sebagai berikut :

BAB I. PENDAHULUAN

Bab ini berisi tentang latar belakang, , perumusan masalah, keaslian penulisan, tujuan penulisan, manfaat penulisan, tinjauan kepustakaan, metode penelitian, dan yang terakhir sistematika penulisan.

BAB. II PENGATURAN HUKUM MENGENAI TINDAK

PIDANA MALPRAKTIK.

Bab ini berisi aturan hukum tindak pidana malpraktik dalam KUHP dan UU No.36 Tahun 2009 dan undang-undang atau aturan lain yang mengatur tentang tindak pidana malpraktik, etika profesi kebidanan.

BAB. III FAKTOR PENYEBAB TINDAK PIDANA

MALPRAKTIK


(29)

BAB. IV PENERAPAN KEBIJAKAN HUKUM TERHADAP TINDAK PIDANA MALPRAKTIK.

Pada bab ini akan dibahas mengenai kebijakan hukum penal dan non penal terhadap tindak pidana malpraktik ditinjau dari Putusan MA No.2101 K/Pid.Sus/2010).

BAB. V PENUTUP

Bab ini merupakan bab terakhir, yaitu sebagai bab kesimpulan dan saran yang berisi keseimpulan mengenai permasalahan yang dibahas dan saran-saran dari penulis berkaitan dengan pembahasan skripsi.


(30)

BAB II

PENGATURAN TINDAK PIDANA MALPRAKTEK MENURUT UU NO.36 TAHUN 2009 TENTANG KESEHATAN DAN KUHP. A. Pengaturan tindak pidana malpraktek menurut UU.No.36 Tahun 2009.

Kesehatan merupakan Hak Azasi Manusia (HAM) dan merupakan salah satu unsur dari upaya pemerintah untuk mensejahterahkan masyarakatnya yang tertuang dalam pembukaan UUD 1945 yaitu demi mewujudkan kesejahteraan umum. Dengan tubuh yang sehat maka kesejahteraan tersebut akan menjadi lebih baik lagi. Untuk lebih mewujudkan usaha kesejahteraan tersebut, pemerintah membuat suatu aturan yang konkret mengenai kesehatan. Hal ini dilakukan agar tidak adanya multi tafsir dari berbagai pihak dalam memberikan pemahaman mengenai kesehatan mengingat kesehatan tersebut tidak dapat dilihat dari satu sisi saja akan tetapi dari sisi yang lain juga.

Aturan yang konkret tersebut juga berfungsi untuk menciptakan suatu kegiatan dalam upaya memelihara dan meningkatkan kesehatan masyarakat dan dalam rangka pembentukan sumber daya manusia serta meningkatkan ketahanan dan daya saing bangsa bagi pembangunan nasional dalam bidang kesehatan. Besarnya dampak kesehatan dalam perkembangan nasional menuntut adanya perhatian untuk kesehatan di nusantara. Ganguan kesehatan akan menimbulkan kerugian ekonomi negara. Upaya peningkatan derajat kesehatan masyarakat juga berarti investasi bagi pembangunan negara. Upaya peningkatan kesehatan tersebut harus berdasarkan pengetahuan yang luas tentang kesehatan demi peningkatan


(31)

kesejahteraan (kesehatan) masyarakat. Seiring dengan perkembangan zaman aturan mengenai kesehatan yang terdahulu yakni UU. No.23 Tahun 1992 tidak sesuai lagi dengan perkembangan, tuntutan, kebutuhan hukum maka dibentuklah UU.No.36 tahun 2009 yang lebih sesuai dengan kebutuhan hukum saat ini.

Dalam menjaga kesehatan tentu seringkali ditemukan beberapa tindakan-tindakan yang mengancam kesehatan tersebut dapat berupa kesengajaan, kelalaian, ataupun kecelakaan. Hal-hal seperti ini dapat dikategorikan sebagai malpraktek yang lebih ditekankan kepada tindak pidana malpraktek. Didalam UU Kesehatan tidak dicantumkan pengertian tentang Malpraktek, namun didalam Ketentuan Pidana pada Bab XX diatur didalam Pasal 190 yang berbunyi:

(1) Pimpinan fasilitas pelayanan kesehatan dan/atau tenaga kesehatan yang melakukan praktik atau pekerjaan pada fasilitas pelayanan kesehatan yang dengan sengaja tidak memberikan pertolongan pertama terhadap pasien dalam keadaan gawat darurat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 32 ayat (2) atau Pasal 85 ayat (2) dipidana dengan pidana penjara paling lama 2 (dua) tahun dan denda paling banyak Rp.200.000.000 (dua ratus juta rupiah).

(2) Dalam hal perbuatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mengakibatkan terjadinya kecacatan atau kematian, pimpinan fasilitas pelayanan kesehatan dan/atau tenaga kesehatan tersebut dipidana dengan pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun dan denda paling banyak satu miliar rupiah.

Pada pasal 63 UU No.36 Tahun 2009 jelas diatur mengenai upaya penyembuhan penyakit dan upaya untuk pemulihan kesehatan sebagai tolak ukur


(32)

perbuatan malpraktek menurut ketentuan pidana yang terdapat pada pasal 190 diatas.

Pasal 63

(1) Penyembuhan penyakit dan pemulihan kesehatan diselenggarakan untuk mengembalikan status kesehatan akibat penyakit, mengembalikan fungsi badan akibat cacat atau menghilangkan cacat.

(2) Penyembuhan penyakit dan pemulihan kesehatan dilakukan dengan pengobatan dan atau perawatan.

(3) Pengobatan dan atau perawatan dapat dilakukan berdasarkan ilmu kedokteran dan ilmu keperawatan atau cara lain yang dapat dipertanggungjawabkan.

(4) Pelaksanaan pengobatan dan atau perawatan berdasarkan ilmu kedokteran atau ilmu keperawatan hanya dapat dilakukan oleh tenaga kesehatan yang mempunyai keahlian dan kewenangan untuk itu.

(5) Pemerintah melakukan pembinaan dan pengawasan terhadap pelaksanaan pengobatan dan atau perawatan berdasarkan cara lain yang dapat dipertanggungjawabkan.

Pembentukan perundang-undangan di bidang pelayanan kesehatan diperlukan, hal ini dilakukan supaya tindak pidana malpraktek dapat dijerat dengan ketentuan yang tegas. Motif yang ada pada pembentuk perundang-undangan untuk menyusun peraturan-peraturan mengenai bidang-bidang kehidupan tertentu sangat bervariasi. Demikian pula halnya dengan dorongan-dorongan untuk menyusun perundang-undangan pelayanan kesehatan.


(33)

Landasan-landasannya adalah antara lain, sebagai berikut ( W.B.van der Mijn, 1982:15, dan seterusnya):19

1. Kebutuhan akan pengaturan pemberian jasa keahlian.

Saat ini ada anggapan kuat bahwa tindakan-tindakan yang harus dilakukan untuk memlihara dan menanggulangi penyakit harus diberikan oleh pihak-pihak yang memang memperoleh pendidikan untuk itu. Pembentuk perundang-undangan dapat mengeluarkan peraturan-peraturan yang mewajibkan orang-orang yang membutuhkan jasa itu meminta bantuan kepada pihak-pihak tertentu.

Di samping itu, peraturan-peraturan tersebut dapat pula mewajibkan para ahli untuk menjalani pendidikan pasca atau purnapasca tertentu. Pembentuk perundang-undangan dapat mewajibkan organisasi-organisasi profesional tertentu untuk mewajibkan anggota-anggotanya mengikuti pendidikan tersebut atau menyelenggarakan sendiri pendidikan itu. Hanya orang-orang yang telah diakui keahliannya yang diizinkan untuk memberikan jasa-jasa keahlian di bidang pelayanan kesehatan, atas dasar pengakuan formal dan material terhadap kemampuan dan kecakapannya.

2. Kebutuhan akan tingkat kualitas keahlian tertentu.

Kewajiban untuk menjalani keahlian kadang-kadang tidak menjamin tingkat kualitas tertentu yang dikehendaki atau dibutuhkan. Seseorang yang memerlukan pelayanan kesehatan seyogyanya percaya

19

Soerjono Soekanto,dkk, Pengantar Hukum Kesehatan, Remadja Karya, Bandung, 1987, halaman : 33.


(34)

akan keahlian pihak-pihak yang dimintainya bantuan. Hal ini disebabkan karena warga masyarakat biasanya benar-benar awam mengenai ilmu kesehatan dan teknologinya. Untuk mempertahankan dan meningkatkan kualitas keahlian dan kepercayaan masyarakat, diperlukan peraturan-peraturan tertentu, misalnya adanya hukum disipliner atau hukum pengendalian. Penerapan peraturan-peraturan hukum disipliner atau hukum pengendalian dapat dipercayakan kepada organisasi profesional yang diakui secara resmi.

3. Kebutuhan akan keterarahan (doelmatigheid).

Syarat berarti berpegang pada jalur tertentu untuk mencapai tujuan yang telah ditetapkan terlebih dahulu. Untuk itu diperlukan perumusan tujuan yang benar dengan upaya-upaya yang direncanakan untuk memenuhi tujuan itu. Dengan demikian kualitas keahlian dapat dipertahankan dan kebutuhan-kebutuhan warga masyarakat akan terpenuhi.

4. Kebutuhan akan pengendalian biaya.

Pembiayaan kesehatan masyarakat maupun kesehatan individual bukan merupakan hal yang murah dan sederhana. Biaya penyelenggaraan kesehatan, terutama yang bersifat kuratif dan rehabilitatif, tidak murah. Apabila kalau hal itu dikaitkan dengan teraf daya beli masyarakat. Biaya yang mahal itu tidak hanya berkaitan dengan harga obat, tetapi juga dengan imbalan jasa keahlian maupun tempat perawatan.


(35)

5. Kebutuhan akan kebebasan warga masyarakat untuk menentukan kepentingannya dan identifikasi kewajiban pemerintah.

Dalam suatu negara hukum dan kesejahteraan dengan pemerintahan konstitusional, pemerintah berkewajiban untuk menyelenggarakan kesehatan. Sudah tentu kewajiban ini dapat diserasikan dengan tanggung jawab sektor swasta. Kewajiban itu tidak bersifat sepihak, tetapi senantiasa harus diserasikan dengan hak warga masyarakat. Hak warga masyarakat untuk memilih salah satu metode pelayanan kesehatan tertentu merupakan salah satu hak asasi baginya. 6. Kebutuhan pasien akan perlindungan hukum.

Pada masa lampau ada anggapan kuat bahwa kedudukan hukum pasien lebih rendah daripada tenaga kesehatan (misalnya bidan). Tenaga kesehatan, misalnya bidan, dianggap ahli yang mahatau sehingga pasien hanya boleh pasrah saja. Dengan perkembangan ilmu dan teknologi kesehatan yang pesat, risiko yang dihadapi pasien semakin tinggi. Oleh karena itu, dalam hubungan antara bidan dengan pasien, misalnya, terdapat kesederajatan. Di samping bidan, maka pasien juga memerlukan perlindungan hukum yang proporsional yang diatur di dalam perundang-undangan. Perlindungan tersebut terutama diarahkan kepada kemungkinan-kemungkinan bahwa bidan melakukan kekeliruan karena kelalaian yang lazimnya disebut medical- malpractise (malpraktek medis).


(36)

Kebutuhan pasien akan perlindungan hukum disertai dengan hak dan kewajiban pasien.

 Hak pasien adalah hak-hak pribadi yang dimiliki manusia sebagai pasien 20:

a. Pasien berhak memperoleh informasi mengenai tata tertib dan Peraturan yang berlaku di Rumah sakit atau institusi pelayanan kesehatan.

b. Pasien berhak atas pelayanan yang manusiawi adil dan makmur.

c. Pasien berhak memperoleh pelayanan kebidanan sesuai dengan profesi bidan tanpa diskriminasi.

d. Pasien berhak memperoleh asuhan kebidanan sesuai dengan profesi bidan tanpa diskriminasi.

e. Pasien berhak memilih bidan yang akan menolongnya sesuai dengan keinginannya.

f. Pasien berhak mendapatkan informasi yang meliputi kehamilan persalinan, nifas dan bayinya yang baru dilahirkan.

g. Paien berhak mendapat pendampingan suami selama proses persalinan berlangsung.

h. Pasien berhak memilih dokter dan kelas perawatan sesuai dengan keinginannya dan sesuai dengan peraturan yang berlaku di rumah sakit.

20


(37)

i. Pasien berhak dirawat oleh dokter secara bebas menentukan pendapat kritis dan mendapat etisnya tanpa campur tangan dari pihak luar.

j. Pasien berhak menerima konsultasi kepada dokter lain yang terdaftar di rumah sakit tersebut (second opinion) terhadap penyakit yang dideritanya, sepengetahuan dokter yang merawat.

k. Pasien berhak meminta atas “privacy” dan kerahasian penyakit yang diderita termasuk data-data medisnya.

l. Pasien berhak mendapat informasi yang meliputi: 1) Penyakit yang diderita.

2) Tindakan kebidanan yang dilakukan. 3) Alternatif terapi lainnya.

4) Prognosanya.

5) Perkiraan biaya pengobatan.

m. Pasien berhak menyetujui / memberikan izin atas tindakan yang akan dilakukan oleh dokter sehubungan dengan penyakit yang dideritanya.

n. Pasien berhak menolak tindakan yang hendak dilakukan terhadap dirinya dan mengakhiri pengobatan serta perawatan atas tanggung jawab sendiri sesudah memperoleh informasi yang jelas tentang penyakit.


(38)

p. Pasien berhak menjalankan ibadah sesuai agama / kepercayaan yang dianutnya selama itu tidak mengganggu pasien lainnya. q. Pasien berhak atas keamanan dan keselamatan dirinya selama

dalam perawatan di rumah sakit.

r. Pasien berhak menerima atau menolak bimbingan moril maupun spiritual.

s. Pasien berhak mendapatkan perlindungan hukum atas terjadinya kasus malpraktek.

t. Hak untuk menentukan diri sendiri (the right to self determination), merupakan dasar dari seluruh hak pasien.

u. Pasien berhak melihat rekam medik.

 Kewajiban pasien sebagai berikut :

a. Pasien dan keluarganya berkewajiban untuk mentaati segala peraturan dan tata tertib rumah sakit atau institusi pelayanan kesehatan.

b. Pasien berkewajiban untuk mematuhi segala instruksi dokter,bidan,perawat yang merawatnya,

c. Pasien dan atau penanggungnya berkewajiban untuk melunasi semua imbalan atas jasa pelayanan rumah sakit atau institusi pelayanan kesehatan, dokter, bidan, dan perawat.

d. Pasien dan atau penanggungnya berkewajiban memenuhi hal-hal yang selalu disepakati/ perjanjian yang telah dibuatnya.


(39)

7. Kebutuhan akan perlindungan hukum bagi para ahli.

Para ahli dalam bidang kesehatan, misalnya tenaga medis, dalam melaksanakan profesinya melakukan suatu pekerjaan yang kadang-kadang penuh risiko. Kalau yang bersangkutan telah melakukan tugasnya dengan benar menurut tolak ukur profesional (standar profesi), maka yang bersangkutan harus mendapat perlindungan hukum. Dalam hal ini pembentuk perundang-undangan tidak hanya harus membentuk peraturan-peraturan yang ketat mengenai kualitas profesi, tetapi diperlukan pula usaha-usaha untuk melindungi profesi itu (termasuk tenaga ahlinya).

Kebutuhan perlindungan hukum tidak terlepas dari hak dan kewajiban yang dimilikinya, bidan sebagai tenaga medis memiliki hak dan kewajibannya.

 Hak-hak bidan21 :

a. Bidan berhak mendapat perlindungan hukum dalam melaksanakan tugas sesuai dengan profesinya.

b. Bidan berhak untuk bekerja sesuai dengan standar profesi pada setiap tingkat / jenjang pelayanan kesehatan.

c. Bidan berhak menolak keinginan pasien / klien dan keluarga yang bertentangan dengan peraturan perundangan, dan kode etik profesi.

21


(40)

d. Bidan berhak atas privasi / kedirian dan menuntut apabila nama baiknya dicemarkan baik oleh pasien, keluarga maupun profesi lain.

e. Bidan berhak atas kesempatan untuk meningkatkan jenang karir dan jabatan yang sesuai.

f. Bidan berhak mendapat kompensasi dan kesejahteraan yang sesuai.

 Kewajiban- kewajiban bidan :

a. Bidan wajib mematuhi peraturan rumah sakit sesuai dengan hubungan hukum antara bidan tersebut dengan rumah sakit bersalin dan sarana pelayanan dimana ia bekerja.

b. Bidan wajib memberikan pelayanan asuhan kebidanan sesuai dengan standar profesi dengan menghormati hak-hak pasien. c. Bidan wajib merujuk pasien dengan penyulit kepada dokter

yang mempunyai kemampuan dan keahlian sesuai dengan kebutuhan pasien.

d. Bidan wajib memberi kesempatan kepada pasien untuk didampingi oleh suami atau keluarga.

e. Bidan wajibmemberikan kesempatan kepada pasien untuk menjalankan ibadah sesuai dengan keyakinannya.

f. Bisan wajib merahasiakan segala sesuatu yang diketahuinya tentang seorang pasien.


(41)

g. Bidan wajib memberikan informasi yang akurat tentang tindakan yang akan dilakukan serta resiko yang mungkin dapat timbul.

h. Bidan wajib meminta persetujuan tertulis (informad Consent) atas tindakan yang akan dilakukan.

i. Bidan wajib mendokumentasikan asuhan kebidanan yang diberikan.

j. Bisan wajib mengikuti perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi serta menambah ilmu pengetahuannya melalui pendidikan formal dan non formal.

k. Bidan wajib bekerja sama dengan proesi lain dan pihak yang terkait secara timbal balik dalam memberikan asuhan kebidanan.

8. Kebutuhan akan perlindungan hukum bagi pihak ketiga.

Dalam hubungan-hubungan antar bidan dengan pasien mungkin tersangkut pihak ketiga. Pihak ketiga itu mungkin tenaga paramedis, tenaga perawatan, atau tenaga kesehatan lainnya. Pihak ketiga itu berperan serta, baik dalam kegiatan diagnostik maupun terapeutik. Apabila terjadi kesalahan yang berakibat negatif pada pasien, siapakah yang bertanggung jawab? Jangan sampai terjadi pihak ketiga sama sekali tidak mendapat perlindungan hukum yang wajar.


(42)

Tidak mustahil bahwa kepentingan para ahli kesehatan tidak serasi dengan kepentingan masyarakat atau kepentingan umum. Artinya, ada kemungkinan bahwa apa yang diharapkan oleh masyarakat, umpamanya, tidak sejalan dengan kode etik. Seorang penjahat yang terkenal kejamnya tertembak dan luka parah sehingga memerlukan perawatan di rumah sakit. Tenaga kesehatan terikat pada sumpah dan kode etik, tetapi masyarakat mungkin mempunyai anggapan bahwa sebaiknya penjahat yang kejam itu dibiarkan mati saja. Masalah semacam ini juga menghendaki pengaturan yang benar, yang menyerasikan pelbagai kepentingan, termasuk kepentingan umum.

B. Pengaturan tindak pidana malpraktek menurut KUHP

Pelayanan kesehatan yang diberikan seorang tenaga medis kepada pasien merupakan tindakan profesi tenaga medis. Tindakan medis merupakan suatu tindakan yang penuh dengan risiko. Risiko tersebut dapat terjadi disebabkan oleh sesuatu yang tidak dapat diprediksikan sebelumnya atau risiko yang terjadi akibat tindakan medis yang salah. Dikatakan tindakan salah apabila tenaga medis tidak melakukan pekerjaannya sesuai dengan standar profesi medik & prosedur tindakan medik. Apabila seorang tenaga medis melakukan tindakan salah, maka tenaga medis tersebut dapat dikategorikan melakukan tindakan malpraktik, sehingga dapat menyangkut aspek hukum pidana.


(43)

Tenaga medis adalah suatu profesi yang memiliki persyaratan tertentu karena dalam pelaksanaan profesi ini penuh dengan risiko. Persyaratan tertsebut meliputi persyaratan teknis yang berkaitan dengan kemampuan (berkaitan dengan ‘basic science’ serta keterampilan teknik) serta persyaratan yuridis, berkaitan dengan kompetensi.

Profesi tenaga medis mengandung risiko tinggi karena bentuk, sifat & tujuan tindakan yang dilakukan oleh seorang tenaga medis dapat berpotensi menimbulkan bahaya bagi seseorang. Undang-undang memberikan kewenangan secara mandiri kepada tenaga medis untuk melakukan & bertanggung jawab dalam melaksanakan ilmu medis menurut sebagian atau seluruh ruang lingkupnya serta memanfaatkan kewenangan tersebut secara nyata. Seorang tenaga medis dinyatakan melakukan kesalahan profesional apabila melakukan tindakan yang menyimpang atau lebih dikenal sebagai malpraktik.

Dalam pengertian sempit, disebut juga sebagai malpraktik kriminal. Suatu tindakan dikatakan sebagai malpraktik kriminal apabila memenuhi kriteria sebagai berikut :

1. Perbuatan tersebut merupakan perbuatan tercela (actus reus). 2. Dilakukan dengan sikap batin yang salah (mens rea).

3. Merupakan perbuatan yang sengaja (intensional), ceroboh (recklessness), atau kealpaan (negligence).


(44)

Apabila tindakan tersebut tidak didasari dengan motif untuk menimbulkan akibat buruk, maka tindakan tersebut adalah tindakan kelalaian. Akibat yang ditimbulkan dari suatu kelalaian sebenarnya terjadi di luar kehendak yang melakukannya.

Dalam hal tindak pidana malpraktik tidak diatur dengan jelas dalam KUHP. Pengaturan di dalam KUHP lebih kepada akibat dari perbuatan malpraktek tersebut.

Pada pasal 360 ayat 1 dan ayat 2 serta pasal 361.

22

Pasal 360

Ayat 1 : “Barangsiapa karena kesalahannya menyebabkan orang luka berat dihukum dengan penjara selama-lamanya lima tahun atau hukuman kurungan selama-lamanya satu tahun”.

Ayat 2 : “Barangsiapa karena kesalahannya menyebabkan orang luka sedemikian rupa sehingga orang itu menjadi sakit sementara atau tidak dapat menjalankan jabatannya atau pekerjaannya sementara, dihukum dengan hukuman penjara selama-lamanya sembilan bulan atau hukuman kurungan selama-lamanya enam bulan atau hukuman denda setinggi-tingginya Rp.4.500,-

Pada pasal 360 memiliki perbedaan dengan pasal 359, yakni pada pasal 359 dijelaskan akibat dari perbuatan yang menyebabkan “kematian” orang sedangkan dalam pasal 360 adalah :

22

R.Soesilo , Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, POLITEIA, Bogor, 2007 , halaman : 248.


(45)

a. Luka berat

Di dalam pasal 90 KUHP dijelaskan mengenai luka berat atau luka parah yakni :

1. 23Penyakit atau luka yang tidak boleh diharap akan sembuh lagi dengan sempurna atau dapat mendatangkan bahaya maut. Jadi luka atau sakit bagaimana besarnya, jika dapat sembuh kembali dengan sempurna dan tidak mendatangkan bahaya maut itu bukan luka berat. 2. Terus menerus tidak cakap lagi melakukan jabatan atau pekerjaan.

Kalau hanya buat sementara saja bolehnya tidak cakap melakukan pekerjaannya itu tidak masuk luka berat. Penyanyi misalnya jika rusak kerongkongannya, sehingga tidak dapat menyanyi selama-lamanya itu masuk luka berat.

3. Tidak lagi memakai (kehilangan) salah satu pancaindera. 4. Verminking atau cacat sehingga jelek rupanya.

5. Verlamming (lumpuh) artinya tidak bisa menggerakkan anggota badannya.

6. Pikirannya terganggu melebihi empat minggu.

7. Menggugurkan atau membunuh bakal anak kandungan ibu.

b. Luka yang menyebabkan jatuh sakit (ziek) atau terhalang pekerjaan sehari-hari.

23


(46)

Sedangkan karena salahnya (kurang hati-hatinya) menyebabkan orang luka ringan tidak dikenakan pasal ini.

Pasal 361

“Jika kejahatan yang diterangkan dalam bab ini dilakukan dalam melakukan sesuatu jabatan atau pekerjaan, maka hukuman dapat ditambah dengan sepertiganya dan sitersalah dapat dipecat dari pekerjaannya, dalam waktu mana kejahatan itu dilakukan dan hakim dapat memerintahkan supaya keputusannya itu diumumkan”.

Yang dikenakan pasal ini misalnya dokter, bidan, ahli-obat, sopir, kusir dokar, masinis yang sebagai orang ahli dalam pekerjaan mereka masing-masing dianggap harus lebih berhati-hati dalam melakukan pekerjaannya. Apabila mereka itu mengabaikan peraturan-peraturan atau keharusan-keharusan dalam pekerjaannya, sehingga menyebabkan mati (pasal 359) atau luka berat (pasal 360), maka akan dihukum lebih berat.

Sehubungan dengan aturan tindak pidana malpraktik maka diperlukan pembuktian terhadap tindak pidana malpraktik tersebut. Pembuktian dalam hal malpraktik merupakan upaya untuk mencari kepastian yang layak melalui pemeriksaan dan penalaran hukum tentang benar tidaknya peristiwa itu terjadi dan


(47)

mengapa mengapa peristiwa itu terjadi. Jadi tujuan pembuktian ini adalah untuk mencari dan menemukan kebenaran materil, bukan mencari kesalahan terdakwa. Berdasarkan Pasal 184 KUHAP yang dapat digunakan sebagai alat bukti yang sah adalah keterangan saksi, keterangan ahli, surat, petunjuk dan keterangan terdakwa. Berdasarkan Pasal 183 KUHAP hakim dapat menjatuhkan pidana dengan syarat ada dua alat bukti yang sah dan keyakinan hakim yang diperoleh dari dua alat bukti tersebut atau sistem pembuktian menurut teori ‘negative wetelijk’, karena menggabungkan antara unsur keyakinan hakim & unsur alat-alat bukti yang sah menurut UU.

A. Keterangan saksi

Berdasarkan Pasal 1 butir 26 KUHAP, saksi adalah orang yang dapat memberikan keterangan tentang suatu perkara pidana yang ia dengar sendiri, ia lihat sendiri & ia alami sendiri. Keterangan saksi ini menurut Pasal 1 butir 27 KUHAP merupakan salah satu dari alat bukti dalam perkara. Untuk menggunakan keterangan saksi sebagai alat bukti diperlukan paling sedikit 2 orang saksi, karena satu saksi bukan saksi (unus testis nullus testis). Dalam kasus ini beberapa saksi dapat diajukan di dalam persidangan pidana antara lain saksi korban, dokter anestesi & perawat yang turut dalam tindakan operasi. Keluarga penderita tidak dapat dijadikan saksi karena mereka termasuk memiliki hubungan keluarga/semenda sampai derajat ketiga dengan terdakwa yang dilarang


(48)

menjadi saksi berdasarkan Pasal 168 KUHAP dgn kekecualian Pasal 169.24

B. Keterangan ahli

Keterangan ahli adalah keterangan yang diberikan oleh seorang yang berkeahlian khusus tentang hal yang diperlukan untuk membuat terang suatu perkara pidana guna kepentingan pemeriksaan. Seorang dokter yang sederajat keahliannya dapat dijadikan pemberi keterangan ahli & dalam penunjukannya akan lebih baik apabila berkonsultasi dengan IDI. Mereka termasuk dalam kelompok yang memiliki keahlian khusus dalam bidang tertentu seperti yang dimaksudkan dalam Pasal 1 butir 28, Pasal 120, & Pasal 179 ayat (1) KUHAP. Keterangan ahli pada kasus ini diperlukan untuk membuat suatu perkara pidana malpraktik tersebut menjadi lebih terang & jelas.

C. Alat bukti surat

Rekam medik penderita selama menjalani perawatan di sarana kesehatan dapat dijadikan alat bukti surat, karena rekam medik dibuat berdasarkan undang-undang (UU no.29/2004). Dari rekam medik ini akan dapat dilihat apa yang dilakukan dokter selama operasi berlangsung dari laporan operasi yang dibuat oleh dokter.

24

http://hukumkes.wordpress.com/2008/03/15/aspek-hukum-pidana-dalam-pelayanan-kesehatan/ akses tanggal 13 Agustus 2013, jam : 13:43 WIB.


(49)

D. Alat bukti petunjuk

Alat bukti petunjuk merupakan alat bukti berupa perbuatan, kejadian atau keadaan, yang karena persesuaiannya baik antara yang satu dengan yang lain maupun dengan tindak pidana itu sendiri, menandakan telah terjadi suatu tindak pidana & siapa pelakunya.

E. Keterangan terdakwa

Keterangan terdakwa merupakan pernyataan terdakwa tentang perbuatan yang ia lakukan atau yang ia ketahui sendiri atau yang ia alami sendiri. Keterangan dokter yang melakukan tindakan medik dapat dijadikan alat bukti yang kebenarannya dapat dicocokkan dengan rekam medik.


(50)

BAB III

FAKTOR PENYEBAB TINDAK PIDANA MALPRAKTEK

Dalam media massa kita sering membaca tentang “malpraktek” dan “kelalaian” di bidang medik. Namun belum ada terbaca istilah “kecelakaan medik”. Apa yang dimaksud dengan’kecelakaan”? The Oxford Illustrated Dictionary (1975) mengatakan :

“suatu peristiwa yang tak terduga, tindakan yang tidak disengaja (acccident, mishp, misfortune, bad fortune, mischance, ill luck). Dan peristiwa yang terjadi tak terduga itu adalah sesuatu yang tidak enak, tidak menguntungkan, bahkan men”celakakan”, membawa malapetaka. Hal ini bukan saja bisa terjadi di jalan raya, tetapu juga di bidang medik.

Timbul pertanyaan : apa bedanya “kelalaian medik: dan : kecelakaan medik”? Dengan pertanyaan ini kita sudah menginjak bidang disiplin hukum medik yang sedang berkembang dan akan dikembangkan. Pembedanya adalah “kecelakaan medik” merupakan sesuatu yang dapat dimengerti dan dimaafkan, tidak dipersalahkan dan tidak dihukum. Lain halnya dengan kelalaian medik (medical neglience) yang bisa juga termasuk delik pidana.

Jangkauan hukum medik menyangkut berbagai cabang hukum. Hukum Perdata, Hukum Pidana, Tata Usaha Negara, di samping disiplin, dan juga etik. Untuk mengetahui apa yang dimaksudkan dengan kecelakaan medik harus kita melihat kepada literatur hukum pidana. Kecelakaan adalah lawan dari kesalahan, kelalaian (schuld, error). Tegasnya dalam arti kelalaian tidak termasuk kecelakaan (accident) yang juga terjadi walaupun sudah dilakukan dengan baik dan hati-hati.


(51)

Jika suatu peristiwa naas terjadi karena ada unsur kelalaian, maka hal itu termasuk kesalahan (schuld, dalam arti negligence). Maka perlu kita mengetahui ciri-ciri apa saja yang termasuk kesalahan, sehingga kita dapat memilah-milahkan antara kecelakaan dan kelalaian.

Menurut Jonkers suatu kesalahan (schuld) mengandung 4(empat) unsur, yaitu :

1. Bahwa tindakan itu bertentangan dengan hukum, (wederrrechtelijkheid),

2. Bahwa akibatnya sebenarnya dapat dibayangkan sebelumnya, (voorzienbaarheid),

3. Akibat itu sebenarnya dapat dicegah atau dihindarkan, (vermijdbaarheid),

4. Sehingga timbulnya akibat itu dapat dipersalahkan kepada si pelaku (verwijtbaarheid).25

Dari uraian Jonkers di atas dapat ditarik kesimpulan bahwa suatu peristiwa yang tidak mengandung keempat unsur tadi, bukanlah kesalahan (negligence, schuld), dengan perkataan lain termasuk kecelakaan. Dalam hubungan tenaga medis dan pasien, seorang tenaga medis hanya wajib berusaha sedapat mungkin untuk menyembuhkan pasiennya ( Inspanningsverbintenis ) dengan mempergunakan segala ilmu, pengetahuan, kepandaian, pengalaman yang dimiliki serta perhatian. Namun ia sama sekali tidak dapat memberikan jaminan akan penyembuhannya.

25


(52)

Setiap tindakan medik, antara mana di bidang operasi dan anestesi selalu mengadung resiko. Ada resiko yang dapat dicegah dan diperhitungkan sebelumnya. Ada pula resiko yang tidak dapat diperhitungkan sebelumnya , seperti anafilaktik shock, maka resiko itu harus diminimalisir mungkin. Kemungkinan timbulnya akibat-akibat pada pasien demikianharuslah diperhitungkan sebelumnya. Inilah yang dimaksudkan bekerja dengan hati-hati dan teliti, sehingga jika sampai akibat itu benar-benar timbul, maka hal-hal yang berkenaan dengan tindakan antisipasi sudah dipersiapkan sebelumnya dan dapat segera dilakukan. Jika sudah dilakukan dintakan pencegahan tetapi masih juga terjadi han hasilnya negatif, maka hal ini tidka dapat dipersalahkan kepada tenaga medisnya dan termasuk resiko yang harus ditanggung oleh pasien (inherent risk). Maka pada titik inilah sering terjadi perbedaan paham dan salah penafsiran. Ada sementara masyarakat yang beranggapan bahwa suatu tindakan medik harus selalu berhasil. Jika tidak berhasil maka terdapat kelalaian pada tenaga medisnya. Pendapat ini tidaklah benar. Memang harus diakui bahwa ada sementara oknum tenaga medis yang bertindak lalai atau kurang teliti dan hati-hati. Dan ada juga yang berani dan secara sadar melanggar peraturan. Tetapi tidak lantas dapat kita menggeneralisir terhadap seluruh profesi medis. Ada hal-hal yang terletak di luar jangkauan dan kemampuan tenaga medisnya, seperti terjadinya kecelakaan, walaupun telah bekerja dengan hati-hati dan teliti.

Kecelakaan medik tersebut tidaklah terjadi begitu saja, ada beberapa hal yang menjadi faktor-faktor terjadinya kecelakaan medik yang lazim disebut juga


(53)

dengan tindak pidana malpraktek. Perbuatan kecelakaan medik ataupun tindak pidana malpraktek tersebut dapat disebabkan oleh 2 faktor :

1. Faktor kelalaian (culpa).

Secara sederhana kelalaian dapat dikatakan merupakan salah satu bentuk kesalahan yang timbul karena pelakunya tidak memenuhi standar perilaku yang telah ditentukan. Kelalaian itu timbul karena faktor orangnya atau perilakunya. Dalam pelayanan kesehatan faktor penyebab timbulnya kelalaian adalah karena kurangnya pengetahuan, kurangnya kesungguhan serta kurangnya ketelitian tenaga medis pada waktu melaksanakan perawatan.

Kelalaian menurut hukum pidana terbagi dua macam. Pertama,

“kealpaan perbuatan”. Maksudnya ialah apabila hanya dengan melakukan perbuatannya itu sudah merupakan suatu peristiwa pidana, maka tidak perlu melihat akibat yang timbul dari perbuatan tersebut sebagaimana ketentuan Pasal 205 KUHP. Kedua , “ kealpaan akibat”. Kealpaan akibat ini baru merupakan suatu peristiwa pidana kalau akibat dari kealpaan itu sendiri sudah menimbulkan akibat yang dilarang oleh hukum pidana, misalnya cacat atau matinya orang lain seperti yang diatur dalam Pasal 359,360,361 KUHP.

Kealpaan yang disadari terjadi apabila seseorang tidka berbuat sesuatu, padahal dia sadar bahwa akibat perbuatan (termasuk tidak berbuat) yang dilarang oleh hukum pidana itu pasti timbul. Sedangkan kealpaan yang tidak disadari ada kalau pelaku tidak memikirkan


(54)

kemungkinan akan adanya suatu akibat atau keadaan tertentu, sedangkan ia sepatutnya telah memikirkan hal itu maka ia tidak akan melakukannya.

Dalam pelayanan kesehatan, kelalaian yang timbul dari tindakan seorang tenaga medis adalah “ kelalaian akibat”. Oleh karena itu yang dipidana adlaah penyebab dari timbulnya akibat, misalnya, tindakan seorang tenaga medis yang menyebabkan cacat atau matinya orang yang berada dalam perawatannya, sehingga perbuatan tersebut dapat dicelakan kepadanya. Untuk menentukan apakah seorang dokter telah melakukan peristiwa pidana sebagai akibat, harus terlebih dahulu dicari keadaan-keadaan yang merupakan sebab terjadinya peristiwa pidana itu. Umpamanya karena kelalaian tenaga medis yang memberikan perawatan yang salah kepada pasiennya menyebabkan cacat atau matinya pasien tersebut. Disamping itu harus pula dilihat apakah perawatan yang diberikan kepada pasien merupakan suatu kesengajaan untuk tidak memberikan pelayanan yang baik, padahal dia sadar sepenuhnya bahwa pasien tersebut sangat membutuhkannya. Jika hal ini terjadi, maka kesalahan tersebut disebabkan karena tindakan tenaga medis berupa kesengajaan, karena ia telah bersikap kurang hati-hati dan ceroboh. Kesengajaan seperti ini oleh P.A.F. Lamintang (1984:323) dalam bukunya ditulisnya dengan bewuste schuld. Hal ini dapat terjadi apabila si pelaku telah membayangkan tentang kemungkinan timbulnya suatu akibat atau keadaan lain yang menyertai


(55)

tindakannya, akan tetapi ia tidak percaya bahwa tindakan yang akan dilakukannya itu dapat menimbulkan akibat seperti yang telah ia bayangkan sebelumnya, walaupun ia sebenarnya dapat atau haru menyadari bahwa seharusnya ia tidak bersikap demikian.

Sedangkan apabila kita berbicara mengenai kealpaan dalam perundang-undangan, kelapaan diartikan sebagai bagian dari peristiwa pidana. Biasanya kealpaan itu di dalam pasal-pasal KUHP selain dirumuskan sebagai “kealpaan” juga dirumuskan dengan perkataan “seharusnya mengetahui atau dapat mengetahui atau menyadari” seperti yang terdapat dalam pasal-pasal KUHP. Dapat disimpulkan bahwa kealpaan itu paling tidak memuat tiga unsur.

1. Pelaku berbuat lain dari apa yang seharusnya diperbuat menurut hukum tertulis maupun tidka tertulis, sehingga sebenarnya ia telah melakukan suatu perbuatan (termasuk tidka berbuat) yang melawan hukum)

2. Pelaku telah berlaku kurang hati-hati, ceroboh, dan kurang berpikir panjang.

3. Perbuatan pelaku itu dapat dicela, oleh karenanya pelaku harus bertanggung jawab atas akibat perbuatannya tersebut.26

Berpedoman kepada unsur-unsur kealpaan tersebut, dapat dipahami bahwa kealpaan dalam pelayanan kesehatan mengandung pengertian normatif yang mudah dilihat, artinya perbuatan atau tindakan kealpaan

26

Johan,Bahder Nasution, Hukum Kesehatan Pertanggungjawaban Dokter, Rineka Cipta, Jakarta, 2005, halaman :58-59.


(56)

itu selalu dpaat diukur dengan syarat-syarat yang lebih dahulu sudah dipenuhi oleh seorang tenaga medis. Ukuran normatifnya adalah bahwa tindakan tenaga medis tersebut setidak-tidaknya sama dengan apa yang diharapkan dapat dilakukan profesi tenaga medis lainnya dalam situasi yang sama yang dalam penulisan skripsi ini tenaga medis yang dimaksud adalah bidan.

Jadi, untuk mengukur secara objektif tindakan seorang tenaga medis dari sikap tindaknya terlihat apakah ia sudah menerapkan sikap kehati-hatian dan melaksanakan ilmunya, kemampuan, keterampilan, dan pengalamannya, disertai dengan pertimbangan yang dimiliki oleh tenaga medis yang sama dalam situasi yang sama pula. Jika hal tersebut tidak dipenuhi oleh seorang tenaga medis dalam melakukan pelayanan kesehatan atau perawatan terhadap pasiennya, tenaga medis tersebut dapat dikategorikan telah melakukan kelalaian atau kealpaan yang penyebabnya dapat dimintakan pertanggungjawaban pidana.

Menurut ketentuan yang diatur dalam hukum pidana bentuk-bentuk kesalahan terdiri dari berikut ini.

1. Kesengajaan, yang dapat dibagi menjadi :

a. Kesengajaan dengan maksud , yakni di mana akibat dari perbuatan itu diharapkan timbul, atau agar peristiwa pidan itu sendiri terjadi;

b. Kesengajaan dengan kesadaran sebagai suatu keharusan atau kepastian bahwa akibat dari perbuatan itu sendiri akan


(57)

terjadi, atau dengan kesadaran sebagai suatu kemungkinan saja.

c. Kesengajaan bersyarat (dolus eventualis). Kesengajaan bersyarat di sini diartikan sebagai perbuatan yang dilakuakan dengan sengaja dan diketahui akibatnya, yaitu yang mengarah pada suatu kesadaran bahwa akibat yang dilarang kemungkinan besar terjadi. Kesengajaan beryarat ini disebut juga dengan teori “apa boleh buat” sebab di sini keadaan batin dari si pelaku mengalami dua hal, yaitu :

1) Akibat itu sebenarnya tidak dikehendaki, bahkan ia benci atau takut akan kemungkinan timbulnya akibat tersebut;

2) Akan tetapi meskipun ia tidak menghendakinya, namun apabila akibat atau keadaan itu timbul juga, apa boleh buat, keadaan itu harus diterima. Jadi berarti bahwa ia sadar akan resiko yang harus diterimanya. Maka di sini pun terdapat suatu pertimbangan yang menimbulkan kesadaran yang sifatnya lebih sekadar suatu kemungkinan biasa saja. Sebab sengaja dalam dolus eventualis ini, juga mengandung unsur-unsur mengetahui dan menghendaki, walaupun sifatnya sangat samar sekali atau dapat dikatakn hampir tidak terlihat sama sekali.


(58)

Perbedaan malpraktek dan Kelalaian (Negligence)

Malpraktek adalah suatu istilah yang mempunyai konotasi buruk, stigmatis. Praktek buruk dari seorang yang memegang suatu profesi dalam arti umum. Tidak hanya profesi kedokteran saja, sehingga jika ditujukan kepada profesi kedokteran, seharusnya disebut “malpraktek medik”. Namun entah kenapa, ternyata di mana-mana juga di luar negeri istilah malpraktek selalu diasosiasikan kepada profesi medis.

Ada beberapa penulis otoritas yang mengatakan bahwa sukar untuk mengadakan pembedaan antara negligence dan malpractise. Menurut pendapat mereka lebih baik malpractise dianggap sinonim saja dengan professional negligence (Creighton,167).

Memang di dalam literatur penggunaan kedua istilah itu sering dipakai secara bergantian seolah-olah artinya sama. “Malpractise is a term qhich is increasingly widely used as a synonym for ‘ medical negligence’ ” (Mason-McCall Smith,339).27

Menurut hemat saya, malpraktek tidak sama dengan kelalaian. Kelalaian termasuk dalam arti malpraktek, tetapi di dalam malpraktek tidak selalu terdapat unsur kelalaian. Jika dilihat beberapa defenisi di bawah ini ternyata bahwa :malpractise mempunyai pengertian yang lebih luas daripada negligence. Karena selain mencakup arti kelalaian, istilah malpraktek juga mencakup tindakan-tindakan yang dilakukan dengan sengaja (intentional, dolus, opzettelijk) dan

27

Guwandi,J, Kelalaian Medik, Balai Penerbit Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, Jakarta, 1990, halaman : 10.


(59)

melanggar undang-undang; sedangkan arti negligence lebih berintikan ketidaksengajaan (culpa), kurang hati-hati, tak acuh, tak peduli, di samping akibat yang ditimbulkan pun bukan merupakan tujuannya.

Harus diakui bahwa kasus malpraktek yang murni (criminal malpractise), dalam arti ada kesengajaan (dolus) yang sampai ke pengadilan tidaklah banyak. Namun perbedaan itu tetap ada. Maka dapat ditarik kesimpulan bahwa malpraktek dalam arti luas dapat dibedakan antara perbuatan yang dilakukan :

a. Dengan sengaja (dolus, intentional, Vorsatz, willens en wetens handelen), yang dilarang oleh peraturan perundang-undangan. Malpraktek dalam arti sempit, misalnya tanpa indikasi medis, melakukan euthanasia, memberikan surat keterangan yang isinya tidak benar, dsb.

b. Tidak dengan sengaja (negligence, culpa), atau kelalaian, misalnya menelantarkan pasien dan tidak memeriksanya sehingga pasien meninggal.

Perbedaan yang lebih jelas tampak kalau kita melihat pada motif tindakan yang dilakukan, yaitu :28

a. Pada malpraktek ( sempit) : tindakannya dilakukan dengan sadar, dan tujuan tindakan memang sudah terarah kepada akibat yang hendak ditimbulkan, walaupun ia mengetahui atau seharusnya mengetahui bahwa tindakannya itu bertentangan dengan hukum yang berlaku,

Sedangkan

28


(60)

b. Pada kelalaian : tidak ada motif atau pun tujuan untuk menimbulkan akibat yang terjadi. Akibatnya yang timbul disebabkan karena adanya kelalaian yang sebenarnya terjadi diluar kehendaknya

2. Faktor kesengajaan.

Apabila melihat ketentuan dalam KUHP, maka tidak ada secara eksplisit dijelaskan tentang apa yang dimaksud dengan kesengajaan. Penjelasan tentang apa yang dimaksud opzet dijumpai MvT. Menurut MvT., opzet diartikan sebagai “wiles an weten” (menghendaki dan mengerti / mengetahui). Dengan demikian menurut MvT. Seseorang dikatakan “sengaja” melakukan perbuatan apabila orang tersebut menghendaki dan mengerti dilakukannya perbuatan tersebut, atau kata lain dapat dikatakan, bahwa seseorang yang melakukan perbuatan dengan sengaja haruslah menghendaki perbuatan itu, dan juga harus mengerti akan akibat dari perbuatannya itu.

Jadi apabila orang dipaksa orang lain untuk melakukan suatu perbuatan, maka terhadap orang tersebut tidak dapat dikatakan bahwa ia menghendaki perbuatan itu dan karenanya tidak dapat dikatakan orang tersebut sengaja melakukan perbuatan tersebut. Sehingga dalam diri orang tersebut juga dianggap tidak ada kesalahan.

Berkaitan dengan pengertian opzet yang diberikan oleh MvT tersebut muncul 2 (dua) paham di dalam wacana ilmu pengetahuan hukum pidana yaitu29 :

a. Teori Kehendak (Wils---Theories)

29

A.Fuad dan Tongat , Pengantar Hukum Pidana, Universitas Muhamadiyah Malang Pers, Malang, 2004, halaman :79.


(61)

Paham ini menafsirkan kesengajaan sebagai kehendak. Menurut paham ini, apabila seseorang melakukan suatu perbuatan untuk menimbulkan suatu akibat, yang dikehendaki orang tersebut bukan dengan perbuatannya saja, tetapi juga akibat dari perbuatan itu. Jalan pikiran ini memberikan seseorang, bahwa apabila orang itu tidak menghendaki timbulnya akibat perbuatannya, dengan demikian orang tersebut tidak akan melakukan perbuatan itu.

b. Teori Menggabungkan (Voorstellings Theories)

Sementara dalam teori ini, “akibat” tidak dapat dikehendaki, akibat hanya dapat “diharapkan/dibayangkan”.

A. Bentuk-bentuk opzet30 1. Opzet sebagai Tujuan

Bentuk opzet ini terjadi apabila seseorang melakukan suatu perbuatan dengan sengaja, sedang perbuatan itu memang menjadi tujuan si pelaku. Atau dalam hal, delik materiil, bila seseorang melakukan perbuatan dengan sengaja untuk menimbulkan akibat, sedang akibat itu memang merupakan tujuan dari si pelaku.

30


(62)

Contoh : A melepaskan tembakan dengan sengaja terhadap B, dengan tujuan menimbulkan matinya si B. Dalam hal ini perbuatan si A merupakan kesengajaan sebagai tujuan”.

2. Opzet dengan Tujuan yang Pasti atau yang Merupakan Keharusan. Bentuk opzet ini terjadi apabila seseorang melakukan perbuatan mempunyai tujuan untuk menimbulkan suatu akibat tertentu. Tetapi disamping akibat yang dituju tersebut si pelaku insyaf/menyadari bahwa dengan melakukan perbuatan untuk mencapai/menimbulkan akibat lain (yang tidak dikehendaki).

Contoh : seseorang bermaksud menembak mati lawannya yang sedang duduk di ruang tamu rumahnya yang berjendela dan berpintu kaca dalam keadaan terkunci. Untuk dapat menembak lawannya itu, mau tidak mau ia harus memcahkan kaca jendela/ pintu yang sebenarnya bukan merupakan tujuannya. Sekalipun bukan merupakan tujuan pelaku sadar, bahwa untuk dapat mencapai tujuannya (kematian lawannya) itu tembakan yang ditujuakn terhadap lawannya tersebut pasti akan menimbulkan akibat lain (yaitu rusaknya kaca).

Dengan demikian dalam hal ini perbuatan si pelaku tersebut telah menimbulkan dua akibat, yaitu :

a. Akibat yang tertentu (yang merupakan tujuan si pelaku)

b. Akibat lain yang dilarang dan diancam dengan hukuman, oleh karena itu yang pasti/ harus timbul dengan dilakukannya perbuatan untuk mencapai tujuan tertentu itu.


(63)

3. Opzet dengan kesadaran akan kemungkinan atau dolus eventualis.

Opzet ini disebut juga opzet dengan syarat (scorwaardelijk opzet). Jenis opzet ini terjadi apabila seseorang melakukan suatu perbuatan dengan maksud untuk menimbulkan suatu akibat tertentu, tetapi orang tersebut sadar bahwa apabila ia melakukan perbuatan untuk mencapai akibat tertentu itu, perbuatannya tersebut “mungkin” menimbulkan akibat lain yang juga dilarang dan diancam pidan atau Undang-undang. Terhadap akibat lain, mana, bukan merupakan tujuan yang dikehendaki, tetapi harus disadari kemungkinan terjadinya. Perbedaan antara opzet dengan tujuan pasti dengan opzet dengan kesadaran akan kemungkinan tidaklah nampak secara jelas. Batas kedua jenis opzet tersebut sangat tipi dan tidak pasti (kabur).

B. Sifat Opzet31

Selain dapat dilihat dari bentuk-bentuknya tersebut di atas, opzet juga dapat dilihat dari isinya. Berkaitan dengan isi opzet ini (dahulu) kita mengenal apa yang disebut Dolus Malus. Dolus malus memberikan dasar pemikiran, bahwa agar orang yang melakukan suatu perbuatan yang dilarang dan diancam pidana oleh Undang-undang dapat dipersalahkan sehingga karenannya dapat dihukum, maka terhadap orang –orang tersebut:

31


(64)

a. Tidak harus dipersyaratkan harus menghadapi perbuatan itu,

b. Harus menginsyafi/ menyadari bahwa perbuatan yang dilakukannya itu merupakan perbuatan yang dilarang dan diancam dengan pidana oleh Undang-undang.

Konsep demikian tersebut sekarang sudah ditinggalkan, sebab terlalu sulit mengikuti pemikiran tersebut. Berkaitan dengan opzet ini, ajaran dolus malus telah ditinggalkan, dan sekarang dianut ajaran tentang sifat opzet. Ajaran sifat opzet ini, memberikan dasar pemikiran, bahwa opzet itu merupakan suatu pengertian yang tidak berwarna (klaurloss), artinya :

Opzet dianggap sebagai telah ada, apabila seseorang sekalipun tidak menginsyafi/menyadari bahwa perbuatan itu merupakan perbuatan yang dilarang menghendaki melakukan perbuatan yang dilarang dan diancam pidana oleh Undang-undang.

C. Opzet dalam Doktrin

Dalam wacana ilmu pengetahuan hukum pidana (doktrin) kita mengenal beberapa istilah yang berkaitan dengan opzet, antar lain :

a. Dolus Generalis atau Opzet Umum

Dolus generalis adalah “opzet yang tidak terbatas”. Contoh :


(1)

pimpinan fasilitas pelayanan kesehatan dan/atau tenaga kesehatan tersebut dipidana dengan pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun dan denda paling banyak satu miliar rupiah.

Pembentukan perundang-undangan di bidang pelayanan kesehatan diperlukan, hal ini dilakukan supaya tindak pidana malpraktek dapat dijerat dengan ketentuan yang tegas. Landasan-landasan penyusunan perundang-undangan ini adalah :

1. Kebutuhan akan pengaturan pemberian jasa keahlian.

2. Kebutuhan akan tingkat kualitas keahlian tertentu.

3. Kebutuhan akan keterarahan (doelmatigheid).

4. Kebutuhan akan pengendalian biaya.

5. Kebutuhan akan kebebasan warga masyarakat untuk menentukan kepentingannya dan identifikasi kewajiban pemerintah.

6. Kebutuhan pasien akan perlindungan hukum.

7. Kebutuhan akan perlindungan hukum bagi para ahli.

8. Kebutuhan akan perlindungan hukum bagi pihak ketiga.

9. Kebutuhan akan perlindungan bagi kepentingan umum.


(2)

Dalam hal tindak pidana malpraktik tidak diatur dengan jelas dalam KUHP. Pengaturan di dalam KUHP lebih kepada akibat dari perbuatan malpraktek tersebut.

Pada pasal 360 ayat 1 dan ayat 2 serta pasal 361.

Pasal 360

Ayat 1 : “Barangsiapa karena kesalahannya menyebabkan orang luka berat dihukum dengan penjara selama-lamanya lima tahun atau hukuman kurungan selama-lamanya satu tahun”.

Ayat 2 : “Barangsiapa karena kesalahannya menyebabkan orang luka sedemikian rupa sehingga orang itu menjadi sakit sementara atau tidak dapat menjalankan jabatannya atau pekerjaannya sementara, dihukum dengan hukuman penjara selama-lamanya sembilan bulan atau hukuman kurungan selama-lamanya enam bulan atau hukuman denda setinggi-tingginya Rp.4.500,-

II. Penyebab Tindak Pidana Malpraktek. 1. Faktor kelalaian (culpa).

Kelalaian menurut hukum pidana terbagi dua macam, yakni:


(3)

a. “kealpaan perbuatan”. Maksudnya ialah apabila hanya dengan melakukan perbuatannya itu sudah merupakan suatu peristiwa pidana, maka tidak perlu melihat akibat yang timbul dari perbuatan tersebut sebagaimana ketentuan Pasal 205 KUHP.

b. “ kealpaan akibat”. Kealpaan akibat ini baru merupakan suatu peristiwa pidana kalau akibat dari kealpaan itu sendiri sudah menimbulkan akibat yang dilarang oleh hukum pidana, misalnya cacat atau matinya orang lain seperti yang diatur dalam Pasal 359,360,361 KUHP. 2. Faktor kesengajaan.

Kesengajaan, yang dapat dibagi menjadi : a. Kesengajaan dengan maksud.

b. Kesengajaan dengan kesadaran.

c. Kesengajaan bersyarat (dolus eventualis). 3. Faktor kesalahpahaman (dwaling).

4. Faktor Kekeliruan Penilaian Klinis (Non-neglicent clinical error of judgment ).

5. Faktor Contributory negligence.

III. Kebijakan hukum terhadap tindak pidana malpraktek. 1. Kebijakan penal.


(4)

Kebijakan penal pada tindak pidana malpraktek lebih menitikberatkan pada akibat dari perbuatan malpraktek tersebut.

2. Kebijakan non penal.

Jalur nonpenal, yaitu dengan cara :

a. Pencegahan tanpa pidana (prevention without punisment), termasuk di dalamnya penerapan sanksi administratif dan sanksi perdata.

b. Mempengaruhi pandangan masyarakat mengenai kejahatan dan pembinaan lewat media massa (influencing views of society on crime and punishment).

B. Saran

Sebagai penutup dari skripsi ini berdasarkan kesimpulan-kesimpulan yang dijelaskan di atas, penulis ingin memberikan saran terhadap permasalahan di atas sebagai masukan kepada pihak yang membaca skripsi ini.

1. Perlu pengaturan hukum yang jelas terhadap tindak pidana malpraktek ini, sejauh ini aturan yang ada hanya bersinggungan dengan akibat dari tindak pidana malpraktek tersebut. Bahkan di dalam undang-undang yang mengatur mengenai kesehatan tidak dicantumkan kriteria-kriteria tindak pidana malpraktek tersebut. Sejauh ini analisis tindak pidana hanya


(5)

berdasarkan atas peristiwa yang terjadi, tidak ada aturan yang jelas mengaturnya.

2. Sebaiknya para tenaga medis harus dapat mempertanggungjawabkan tindakan-tindakan medis yang akan dilakukan, jangan ada unsur “coba-coba” dalam mengambil tindakan medis, hal ini akan sangat berbahaya mengingat yang ditangani adalah nyawa manusia. Perlunya pengetahuan yang mendalam terhadap bidang medis yang digelutinya.

3. Sebaiknya kasus tindak pidana malpraktek ini tidak langsung dibawa ke jalur pengadilan karena pengadilan tidak dapat menafsirkan kualifikasi dari tindak pidana malpraktek tersebut, hal ini dikarenakan perbedaan keilmuan, seharusnya dibawakan terlebih dahulu ke lembaga yang berwenang menyelesaikan sengketa ini sesuai dengan keilmuannya.


(6)

DAFTAR PUSTAKA

A.BUKU :

A.Fuad dan Tongat. 2004 , Pengantar Hukum Pidana. Malang :Universitas Muhamadiyah Malang Pers.

Bahder, Johan Nasution. 2005, Hukum Kesehatan Pertanggungjawaban Dokter.

Jakarta : Rineka Cipta.

Ekaputra, Mohammad. 2010, Dasar-dasar Hukum Pidana. Medan :USU Pers. Dwiana Estiwidani, dkk. 2009, Konsep Kebidanan, Yogyakarta : Fitrimaya.

Guwandi, J (a). 1990, Kelalaian Medik. Jakarta: Balai Penerbit Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.

_________ (b). 2008 ,Hukum dan Dokter. Jakarta :Sagung Seto.

Hanafiah, M.Yusuf dan Amri Amir. 1999, Etika Kedokteran Dan Hukum Kesehatan. Jakarta : Kedokteran EGC.

H.A.Zainal Abidin Farid. 2007, Hukum Pidana 1. Jakarta : Sinar Grafika. Hamdan, 2012, Alasan Penghapus Pidana. Bandung : Refika Aditama. Marlina. 2011, Hukum Penitensir. Bandung : Refika Aditama.

Mulyadi, Lilik. (a) 2010, Seraut Wajah Putusan Hakim dalam Hukum Acara Pidana Indonesia. Bandung : Citra Aditya Bakti.

____________ (b) 2004, Kapita Selekta Hukum Pidana Kriminologi. Jakarta : Djambatan.

Nawawi, Barda Arief. 2011, Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana. Jakarta : Prenada Media Group.


Dokumen yang terkait

Analisa Hukum Penetapan Ahli Waris (Studi Kasus Putusan Pengadilan Agama Medan No. 1229/Pdt.G/2010/PA/Mdn)

10 177 117

Penerapan Sanksi Pidana Pada Kasus Kelalaian Pengemudi Yang Menimbulkan Kecelakaan Lalu Lintas (Studi Putusan Pengadilan Negeri Medan No.854 /Pid.B/2012/Pn.Mdn )

2 81 84

Penyelesaian Tindak Pidana Malpraktek Yang Dilakukan Oleh Bidan Dalam Perawatan Pasiennya (Analisis Kasus No. 3344/pid.B/2006/PN Mdn)

6 166 101

Penyelesaian Tindak Pidana Malpraktek Yang Dilakukan Oleh Bidan Dalam Perawatan Pasiennya (Analisis Kasus No. 3344/pid.B/2006/PN Mdn)

3 71 101

ANALISIS PUTUSAN PENGADILAN NEGERI TANJUNG KARANG TERHADAP TINDAK PIDANA PENCURIAN YANG DILAKUKAN OLEH ANAK (Studi Putusan Pengadilan Negeri Nomor: 46/Pid.B(A)/2012/PN.T.K.)

0 45 52

TINDAK PIDANA PERKOSAAN YANG DILAKUKAN OLEH AYAH KANDUNG TERHADAP ANAKNYA. (Studi Kasus di Pengadilan Negeri Surakarta).

0 0 16

PUTUSAN PIDANA OLEH HAKIM TERHADAP TINDAK PIDANA PSIKOTROPIKA YANG DILAKUKAN OLEH REMAJA DI KOTA PADANG (Studi Kasus Di Pengadilan Negeri Padang).

0 1 7

FAKTOR PENYEBAB TIMBULNYA TINDAK PIDANA PENCURIAN YANG DILAKUKAN OLEH ANAK (Studi Kasus Di Pengadilan Negeri Padang).

0 1 8

ANALISIS HUKUM PIDANA ISLAM TERHADAP SANKSI ABORSI YANG DILAKUKAN OLEH ANAK DI BAWAH UMUR : STUDI PUTUSAN PENGADILAN NEGERI GRESIK NO.368/PID. B/2012/PN.GRESIK.

0 1 76

TINJAUAN TERHADAP PUTUSAN PENGADILAN BERUPA PIDANA PENJARA DALAM KASUS TINDAK PIDANA PENGGUNAAN NARKOTIKA YANG DILAKUKAN OLEH ANAK (STUDI KASUS DI PENGADILAN NEGERI SEMARANG) - Unika Repository

0 0 14