Uji Aktivitas Film Kitosan yang Mengandung Asiatikosida sebagai Penutup Luka Bakar terhadap Tikus Putih Betina (Rattus Norvegicus) Galur Sparague Dawley Secara In Vivo

(1)

UIN SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA

Uji Aktivitas Film Kitosan yang Mengandung

Asiatikosida sebagai Penutup Luka Bakar pada Tikus

Putih Betina (

Rattus Norvegicus)

Galur Sprague Dawley

Secara

In Vivo

SKRIPSI

MAHMUDAH

108102000072

FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN

PROGRAM STUDI FARMASI

JAKARTA

JULI 2013


(2)

UIN SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA

Uji Aktivitas Film Kitosan yang Mengandung

Asiatikosida sebagai Penutup Luka Bakar pada Tikus

Putih Betina (

Rattus Norvegicus)

Galur Sprague Dawley

Secara

In Vivo

SKRIPSI

Diajukan sebagai syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Farmasi

MAHMUDAH

108102000072

FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN

PROGRAM STUDI FARMASI

JAKARTA

JULI 2013


(3)

iii UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

HALAMAN PERNYATAAN ORISINALITAS

Skripsi ini adalah hasil karya saya sendiri,

dan semua sumber baik yang dikutip maupun dirujuk

telah saya nyatakan dengan benar.

Nama : Mahmudah

NIM : 108102000072

Tanda Tangan :


(4)

(5)

(6)

vi UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

Abstrak

NAMA : Mahmudah

NIM : 108102000072

JUDUL : Uji Aktivitas Film Kitosan yang Mengandung Asiatikosida sebagai Penutup Luka Bakar pada Tikus Putih Betina (Rattus Norvegicus) Galur Sprague Dawley Secara In Vivo

Telah dilakukan penelitian terhadap aktivitas penyembuhan luka bakar dari senyawa asiatikosida yang dihantarkan melalui penutup luka berupa film kitosan.Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mempelajari aktivitas film kitosan dan pengaruh konsentrasi asiatikosida terhadap penyembuhan luka bakar. Uji eksperimen dilakukan pada tikus betina galur Sprague Dawley (2-3 bulan, 180-250 gram) yang dibagi enam kelompok (kontrol negatif, kontrol suspensi asiatikosida, film kitosan yang mengandung asiatikosida 0% (FK), 10% (FA1), 20% (FA2), dan 30% (FA3)). Luka bakar derajat tiga dibuat dengan menggunakan logam panas yang berdiameter 1 cm pada punggung tikus, kemudian diuji sesuai masing-masing kelompok. Data penurunan luas area luka diukur pada hari ke-3,7 dan 14 yang diuji secara statisik menggunakan ANOVA, dan dilakukan uji histologi pada hari ke-7 dan 14 yang diamati secara deskriptif berupa jumlah sel-sel radang, neuvaskularisasi dan ketebalan serabut kolagen. Hasil statistik menunjukkan bahwa film FA2 dan FA3 memberikan persen

penurunan luas area luka yang lebih besar dan berbeda secara signifikan (p < 0,05) dibandingkan kontrol negatif, dan tidak berbeda secara signifikan (p >

0,05) dibandingkan kontrol positif. Berdasarkan hasil histologi bahwa film FA3 memiliki sel-sel radang yang lebih sedikit dibandingkan kelompok lain dan juga memiliki serabut kolagen yang lebih tebal dan padat dibandingkan film FA2 dan FA1. Film FA2 memiliki serabut kolagen yang tebal dan jumlah neuvaskularisasi yang lebih banyak dibandingkan film FA1. Dari hasil histologi tersebut menunjukkan semakin tinggi konsentrasi asiatikosida maka aktivitas penyembuhan luka bakar semakin baik. Kesimpulannya, formula film yang mempunyai aktivitas penyembuhan luka bakar yang lebih baik adalah film yang mengandung konsentrasi asiatikosida 20% dan 30%.


(7)

vii UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

NAMA : Mahmudah

NIM : 108102000072

JUDUL : Study Activity of Chitosan Film Containing Asiaticoside as a Burn Dressing on Female Rat of Sprague Daweley Strain (Rattus Norvegicus) by In Vivo

Research has done on the burns healing activity of asiaticoside compounds that are conducted through the wound dressing of the chitosan film. The purpose of this research was for studying the activity of chitosan film and influence of asiaticoside concentration on the burns healing. Study experimental was done on female rat of Sprague Dawley Strain (2-3 month, 180-250 gram) that divided into six groups (negative control, suspension asiaticoside control, chitosan film containing asiaticoside 0% (FK), 10% (FA1), 20% (FA2), and 30% (FA3)). A third degree burns were created by using hot metal with a diameter of 1 cm on the rats back, then was tested according to each group. A wound area was measured on the 3th, 7th and 14th days that was tested statistically using ANOVA and histology was done on 7th and 14th days that was observed by descriptive a number of inflammatory cells, neuvaskularisation and collagen fibers.The result of statistic showed that FA2 and FA3 films gave a percent of decrease wounds area bigger and significantly different (p < 0,05) than the negative control, and

wasn’t significantly different (p < 0,05) than the positive control (p > 0,05). The result of histology showed that FA3 film had inflammatory cells are less than other groups and also had collagen fibers are thicker and denser than the FA2 and FA1 films. FA2 film had collagen fibres that are thick and the number of neuvaskularisasi more than FA1 film. The results of histology showed that the higher the concentration asiaticoside so burns healing activity to be better. In conclusion, the formula films that had burn healing activity be better were chitosan films that containing asiaticoside concentration on 20% and 30%.


(8)

viii UIN Syarif Hidayatullah Jakarta KATA PENGANTAR

Saya mengucapkan puji dan syukur atas segala karunia dan nikmat yang telah di berikan oleh Allah Subhana Wa Ta’ala. Atas berkat dan rahmat-Nya, saya dapat menyelesaikan penelitian dan penulisan skripsi dengan judul Uji Aktivitas Film Kitosan yang Mengandung Asiatikosida sebagai Penutup Luka Bakar terhadap Tikus Putih Betina (Rattus Norvegicus) Galur Sparague Dawley Secara In Vivo. Shalawat dan salam senantiasa tercurah kepada Nabi kita, Muhammad Shallallahu ‘Alaihi Wasallam. Penulisan skripsi ini dilakukan dalam rangka memenuhi salah satu syarat untuk mencapai gelar Sarjana Farmasi pada Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan Universitas Islam negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.

Saya menyadari bahwa tanpa bantuan dan bimbingan dari berbagai pihak, dari masa perkuliahan sampai pada penyusunan skripsi ini, sulit bagi saya untuk menyelesaikan skripsi ini. Oleh karena itu, saya mengucapkan terima kasih kepada:

(1) Ibu Yuni Anggraeni M.Farm., Apt selaku pembimbing pertama dan Ibu Eka Putri, M.Si., Apt selaku pembimbing kedua yang telah memiliki andil besar dalam proses penelitian dan penyelesaian skripsi saya ini, semoga segala bantuan dan bimbingannya mendapat imbalan yang lebih baik di sisi-Nya. (2) Ibu dr. Woro yang telah memberikan andil dalam proses penelitian

khususnya dalam bidang Histologi.

(3) Bapak Prof. (hc). dr. MK. Tadjudin, Sp. And selaku Dekan Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.

(4) Bapak Drs. Umar Mansur, M.Sc., Apt selaku ketua Program Studi Farmasi Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.

(5) Ibu Zilhadia M.Si., Apt selaku dosen pembimbing akademik selama pendidikan.


(9)

ix UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

(6) Bapak dan Ibu staf pengajar dan karyawan yang telah memberikan bimbingan dan bantuan selama saya menempuh pendidikan di Program Studi Farmasi Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.

(7) Kedua orang tua saya tercinta, ayahanda Khanafi dan Ibunda Sulastri, Pakde saya Aminudin S.Pd beserta keluarga, Pakle Mustafid S.Pd beserta keluarga, Mba Yuli dan Mas Hofir, Le Apip, De tersayang Firmansyah dan Om Tugi

beserta keluarga yang telah memberikan dukungan, do’a, dan kasih sayang

selama ini.

(8) Pemerintah Daerah Musi Banyuasin dan Tim Pengelola Beasiswa Santri Jadi Dokter, khususnya (Alm) pak Syarifudin, pak Amri Siregar, pak Faidhol dan pak Nuh yang telah memberikan dukungan moril dan materil selama pendidikan. Ucapan beribu terimakasih, semoga ilmu yang saya terima dapat bermanfaat.

(9) Sahabat-sahabatku seperjuangan dalam penelitian Dina Haryanti, Dwinur Astria dan Sivia. Teman seperjalanan Dasyu Irmayanti, Aam amelia, Zikriah, Hesti chuy, dan Mega kuadrat yang senantiasa selalu bersama dalam suka maupun duka. Ade-adeku Misriana, Gianti dan Miza yang memberikan warna selama ini.

(10) Teman-teman seperjuangan Beasiswa Santri Jadi Dokter Musi Banyuasin angkatan 2008, Eva, Fani, Teguh, Syarah, Chou, Janah, Aniz dan Sherly. (11) Teman-teman Matrikulasi angkatan 2008, khususnya teman farmasi, Imam,

Roni, Fe’i, Doni, Labib, Jidin, Ukon, dan Fafa yang sama-sama menempuh ilmu dari awal perkuliahan. Rekan-rekan mahasiswa Farmasi angkatan 2008, khususnya kelas B atas dukungan, pertemanan dan kerjasamnya. (12) Semua pihak yang tidak dapat disebutkan namanya satu persatu yang turut

membantu menyelesaikan skripsi ini.

Penulis menyadari bahwa penyusunan skripsi ini belum sempurna. Oleh karena itu, dengan kerendahan hati, kritik dan saran yang bersifat membangun sangat penulis harapkan guna tercapainya kesempurnaan skripsi ini. Penulis juga berharap semoga hasil penelitian ini dapat bermanfaat khususnya bagi mahasiswa farmasi, dan juga bagi masyarakat.


(10)

x UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

Akhir kata, saya berharap Allah Subhana Wa Ta’ala berkenan membalas segala kebaikan semua pihak yang telah membantu. Semoga skripsi ini membawa manfaat bagi pengembangan ilmu.


(11)

xi UIN Syarif Hidayatullah Jakarta AKHIR UNTUK KEPENTINGAN AKADEMIS

Sebagai sivitas akademik Universitas Islam Negeri (UIN) Syrarif Hidayatullah Jakarta, saya yang bertanda tangan di bawah ini :

Nama : Mahmudah

NIM : 108102000072

Program Studi : Farmasi

Fakultas : Kedokteran dan Ilmu Kesehatan Jenis Karya : Skripsi

Demi perkembangan ilmu pengetahuan, saya menyetujui skripsi/karya ilmiah saya, dengan judul :

UJI AKTIVITAS FILM KITOSAN YANG MENGANDUNG

ASIATIKOSIDA SEBAGAI PENUTUP LUKA BAKAR PADA TIKUS PUTIH BETINA (Rattus Norvegicus) GALUR SPRAGUE DAWLEY SECARA IN VIVO

Untuk dipublikasikan atau ditampilkan di internet atau media lain yaitu Digital Library Perpustakaan Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta untuk kepentingan akademik sebatas sesuai dengan Undang-Undang Hak Cipta. Demikian pernyataan persetujuan publikasi karya ilmiah ini saya buat dengan sebenarnya.

Dibuat di : Jakarta Pada Tanggal : 5 Juli 2013

Yang menyatakan,


(12)

xii UIN Syarif Hidayatullah Jakarta DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL ... ii

HALAMAN PERNYATAAN ORISINALITAS ... iii

HALAMAN PERSETUJUAN PIMBIMBING ... iv

HALAMAN PENGESAHAN .. ... v

ABSTRAK ... vi

ABSTRACT ... vii

KATA PENGANTAR ... viii

HALAMAN PERSETUJUAN PUBLIKASI KARYA ILMIAH ... xi

DAFTAR ISI ... xii

DAFTAR GAMBAR ... xiv

DAFTAR TABEL ... xv

DAFTAR LAMPIRAN ... xvi

BAB 1 PENDAHULUAN ... 1

1.2. Latar Belakang ... 1

1.3. Rumusan Masalah ... 3

1.4. Hipotesa ... 3

1.5. Tujuan Penelitian ... 3

1.6. Manfaat Penelitian ... 3

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA ... 4

2.1. Kulit ... 4

2.2. Luka ... 5

2.3. Luka Bakar ... 5

2.3.1. Definisi ... 5

2.3.2. Patofisiologi ... 6

2.3.3. Klasifikasi Luka Bakar ... 6

2.4. Penatalaksanaan Luka Bakar ... 8

2.4.1. Penyembuhan Luka ... 8

2.4.2. Infeksi ... 9

2.4.3. Penanganan Luka ... 10

2.5. Asiatikosida ... 12

2.6. Kitosan ... 13

2.6.1. Film Kitosan sebagai Penutup Luka... .. 14

2.7. Pemeriksaan Histopatologi ... 15

2.7.1. Pendahuluan ... 15

2.7.2. Cara pengambilan Bahan dan Pewarnaan ... 15

2.7.3. Prinsip Teknik Pembuatan Preparat Histologi ... 16

BAB 3 METODOLOGI PENELITIAN ... 19


(13)

xiii UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

3.2.1. Alat ... 19

3.2.2. Bahan ... 19

3.3. Hewan Percobaan ... 20

3.4. Pembuatan Film Kitosan - Asiatikosida dan Evaluasinya ... 21

3.4.1.Preparasi Pelarut ... 21

3.4.2.Preparasi Film Sambung Silang Kitosan - NaTPP ... 21

3.4.3.Evaluasi Ketebalan Film ... 21

3.5. Preparasi Larutan Asiatikosida ... 22

3.6. Perlakuan Hewan Percobaan ... 22

3.6.1.Perlakuan pada Tikus ... 23

3.6.2.Perlukaan pada Tikus ... 23

3.6.3.Pemberian Obat Luka ... 23

3.7. Evaluasi Patologi Anatomi ... 24

3.8. Preparasi Uji Histologi ... 24

3.8.1.Pengambilan Sampel Kulit ... 24

3.8.2.Pengamatan Histologi ... 26

3.9. Analisa Data ... 26

BAB 4 PEMBAHASAN ... 26

BAB 5 KESIMPULAN DAN SARAN ... 34

5.1. Kesimpulan ... 34

5.2. Saran ... 34

DAFTAR PUSTAKA ... 35


(14)

xiv UIN Syarif Hidayatullah Jakarta DAFTAR GAMBAR

Gambar 2.1. Histologi Kulit Normal... 5

Gambar 2.2. Derajat Luka Bakar... ... .. 7

Gambar 2.3. Struktur Kimia Kitosan... .. 12


(15)

xv UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

Tabel 3.1. Jumlah Kelompok Hewan Uji ... 20 Tabel 3.2. Formula Film Kitosan ... 22 Tabel 3.3. Jenis Perlakuan dan Pemberian Tiap Kelompok ... 23


(16)

xvi UIN Syarif Hidayatullah Jakarta DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran 1. Alur Kerja ... 40

Lampiran 2. Luas Area luka ... 41

Lampiran 3. Persentase Penurunan Luas Area Luka pada Tikus ... 42

Lampiran 4. Histopatologi Jaringan Kulit Hari ke-7 ... 44

Lampiran 5. Histopatologi Jaringan Kulit Hari ke-14 ... 45

Lampiran 6. Foto Hasil Pembuatan Luka Bakar ... 46

Lampiran 7. Hasil Statistik Penurunan Luas Area Luka Hari ke-3... 49

Lampiran 8. Hasil Statistik Penurunan Luas Area Luka Hari ke-7... 51


(17)

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Luka bakar merupakan salah satu trauma yang sering terjadi dalam kehidupan sehari-hari, bahkan sering kali merupakan kecelakaan massal (mass disaster). Luka bakar yang terjadi dapat disebabkan adanya kontak dengan sumber panas seperti api, air panas, bahan kimia, listrik dan radiasi sehingga mengalami kerusakan jaringan kulit (Moenadjat, 2003).

Kulit pada luka bakar akan mengalami kerusakan pada epidermis, dermis maupun jaringan subkutan tergantung faktor penyebab dan lamanya kontak kulit dengan sumber panas (Sabiston, 1995). Untuk meningkatkan efisiensi dan efektifitas dari perbaikan jaringan yang terluka perlu dikembangkan berbagai upaya untuk mempercepat dan menyempurnakan proses penyembuhan luka (Huttenlocher & Horwitz, 2007). Salah satu alternatif mengobati luka bakar yaitu dengan memanfaatkan tanaman berkhasiat seperti pegagan (Centella asiatica L. Urban) (Kim et al., 2009).

Kandungan utama senyawa aktif dari herba pegagan yang berperan dalam penyembuhan luka bakar adalah senyawa asiatikosida (Kim et al., 2009; Sikareepaisan et al., 2011). Selain itu, asiatikosida mempunyai khasiat dalam menyembuhkan berbagai penyakit kulit, insufisiensi vena, TBC dan gangguan mental (Jamil et al., 2007). Telah diteliti sebelumnya, aktifitas farmakologi senyawa asiatikosida dalam proses penyembuhan luka bakar adalah dengan meningkatkan sintesis kolagen tipe 1 yang dihasilkan fibroblas dan kekuatan tarik (tensile strength) yang berperan untuk menautkan tepi luka dan memperkuat jaringan luka (Shukla et al., 1999; Kwon et al., 2010; Sikareepaisan, et al., 2010). Oleh karena itu, asiatikosida dapat digunakan untuk menyembuhkan luka bakar yang terjadi terutama karena kerusakan jaringan ikat yang di dalamnya mengandung sel fibroblas.


(18)

2

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta Pada penelitian yang dilakukan oleh shukla et al., (1999) dalam penyembuhan luka mekanik terhadap kelinci percobaan, yaitu dengan menggunakan larutan asiatikosida 0,2% secara topikal dua kali sehari selama 7 hari dapat meningkatkan hidroksiprolin 56%, kekuatan tarik (tensile stength) 57%, meningkatkan kandungan kolagen, dan epitelisasi yang lebih baik. Selain itu, penggunaan asiatikosida dapat meningkatkan oksidasi pada tahap awal penyembuhan luka tipe eksisi yang diuji pada tikus (Suwantong et al., 2010). Pemanfaatan asiatikosida dalam sediaan topikal seperti krim, gel, dan salep telah dilakukan sebelumnya oleh Suratman et al., (1996) dalam menyembuhkan luka bakar pada tikus, maka untuk mengembangkan penghantaran asiatikosida dalam menyembuhkan luka bakar digunakan sistem penutup luka modern dalam bentuk sediaan film.

Dalam dekade terakhir, pengembangan jenis penutup luka modern meningkat karena konsep utama mempercepat penyembuhan luka adalah “moist healing” yaitu kondisi kelembaban luka yang dipertahankan. Dengan demikian, penutup luka yang dibutuhkan adalah mampu mengatur uap air dan gas yang keluar dari luka, agar daerah sekitar luka menjadi lembab sehingga proses penyembuhan luka bakar dapat berjalan dengan lebih cepat (Mutia, 2009). Untuk mengembangkan penutup luka film digunakan polimer dari senyawa alam turunan kitin yaitu kitosan yang telah diteliti sebelumnya mampu membentuk film dan menghantarkan obat (Dutta et al., 2004).

Kitosan merupakan turunan kitin melalui reaksi deasetilasi yang disusun dari glukosamin dan N-asetilglukosamin yang merupakan polimer yang bersifat biokompatibel, non toksik, dan antimikroba (Dutta et al., 2000; Elmotasem et al., 2007). Oleh karena itu, kitosan dalam bentuk film cocok sebagai penutup luka karena tidak mengiritasi kulit, mudah diterapkan, tidak menimbulkan trauma saat pergantian penutup luka, dan mencegah kontaminasi lingkungan luar.

Penggunaan film kitosan sebagai penutup luka harus disesuaikan dengan jenis luka, karena pada penelitian sebelumnya menggunakan penutup luka film kitosan yang mengandung asiatikosida kurang cocok dengan jenis luka terbuka mekanik yang merupakan jenis luka kering (Anggraeni, 2012). Film kitosan memiliki permeabilitas udara dan uap air yang cukup baik dan cukup absorbtif


(19)

(Khan et al., 2000; Sezer et al., 2007), sehingga film kitosan sebagai penutup luka bertujuan dapat diaplikasikan pada luka bakar derajat tiga yang mampu menyerap cairan eksudat dan menjaga kelembaban udara di daerah luka. Dengan adanya asiatikosida di dalam penutup luka film kitosan diharapkan dapat mempercepat proses penyembuhan luka bakar.

1.2. Rumusan Masalah

1. Apakah sediaan film kitosan yang mengandung asiatikosida mempunyai aktivitas mempercepat proses penyembuhan luka bakar?

2. Bagaimana pengaruh variasi konsentrasi asiatikosida terhadap aktivitas proses penyembuhan luka bakar yang diuji pada kulit punggung tikus?

1.3. Hipotesa

Penggunaan film kitosan sebagai penutup luka yang mengandung asiatikosida dapat meningkatkan proses penyembuhan luka bakar pada tikus.

1.4. Tujuan Penelitian

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui aktivitas film kitosan sebagai penutup luka bakar yang mengandung asiatikosida dan pengaruh variasi konsentrasi asiatikosida terhadap proses penyembuhan luka bakar.

1.5. Manfaat Penelitian

Penelitian ini diharapkan dapat meningkatkan kemajuan ilmu pengetahuan, khususnya bidang farmasi dalam pengobatan luka bakar dengan memanfaatkan asiatikosida dari herba pegagan dalam bentuk sediaan penutup luka film kitosan dan dapat dilanjutkan ke uji klinis.


(20)

4 UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Kulit

Kulit adalah lapisan atau jaringan yang menutupi seluruh tubuh dan melindungi tubuh dari berbagai trauma dan merupakan penahan terhadap bakteri, virus dan jamur. Kehilangan dan penyimpanan panas diatur oleh vasodilatasi atau sekresi kelenjar-kelenjar keringat dan tanpa adanya kulit, maka cairan tubuh yang penting akan menguap dan elektrolit tubuh akan hilang dalam beberapa waktu (Effendi, 1999).

Pembagian kulit secara garis besar tersusun atas tiga lapisan utama yaitu : lapisan epidermis atau kutikel, lapisan dermis (korium, kutis vera, true skin), dan lapisan subkutis (hypodermis). Tidak ada garis tegas yang memisahkan dermis dan subkutis, subkutis ditandai dengan adanya jaringan ikat longgar dan adanya sel dan jaringan lemak. Tiga lapisan kulit utama, antara lain :

1. Lapisan epidermis yang terdiri atas : Stratum korneum (lapisan tanduk), stratum lusidum (daerah sawar), stratum granulosum (lapisan keratohialin/lapisan seperti butir), stratum spinosum (stratum malpighi) atau disebut prikle cell layer (lapisan akanta), stratum germinativum (lapisan sel basal).

2. Lapisan dermis adalah lapisan di bawah epidermis yang jauh lebih tebal daripada epidermis. Lapisan ini terbentuk oleh lapisan elastik dan fibrosa padat dengan elemen selular, kelenjar dan folikel rambut. Secara garis besar dibagi menjadi dua bagian : pars papilare, pars retikulare.

3. Lapisan subkutis merupakan kelanjutan dermis, terdiri atas jaringan ikat longgar berisi sel-sel lemak di dalamnya. Sel lemak merupakan sel bulat, besar, dengan inti terdesak kepinggir karena sitoplasma lemak yang bertambah. Sel-sel ini membentuk kelompok yang dipisahkan satu dengan yang lainnya oleh trabekula yang fibrosa.


(21)

[Sumber : http://www.histology-world.com]

Gambar 2.1. Histologi kulit normal

Derajat keasaman (pH) kulit manusia berkisar antara 4,2 - 6,5. Keadaan asam ini sebagian besar disebabkan oleh adanya zat bersifat asam seperti asam amino dan asam lemak bebas misalnya asam laktat, yang merupakan sekresi dari kelenjar sebaseus. Lapisan bersifat asam ini dikenal dengan istilah mantel asam kulit yang dapat melindungi tubuh dari serangan bakteri dan zat kimia yang dapat merusak jaringan (Anief, 1997).

Fungsi kulit antara lain : sebagai pelindung, absorbsi cairan mudah menguap, ekskresi, pengindra (sensori), pengaturan suhu tubuh, pembentukan pigmen, sawar radiasi UV, dan sawar listrik (Harahap, 2000).

2.2. Luka

Luka dapat digambarkan sebagai kerusakan pada kulit, akibat pengaruh fisik dan termal, atau sebagai akibat dari kondisi medis atau fisiologis. Menurut Asosiasi Penyembuhan Luka, Luka adalah hasil dari gangguan struktur dan fungsi anatomi yang normal.

2.3. Luka Bakar 2.3.1. Definisi

Luka bakar merupakan respon kulit dan jaringan subkutis terhadap trauma suhu atau termal. Luka bakar dengan ketebalan parsial merupakan luka bakar


(22)

6

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta yang tidak merusak epitel kulit maupun hanya merusak sebagian dari epitel. Biasanya dapat pulih dengan penanganan konservatif. Luka bakar dengan ketebalan penuh merusak semua sumber-sumber pertumbuhan kembali epitel kulit dan bisa membutuhkan eksisi dan cangkok kulit jika luas (Grace & Broley, 2006).

2.3.2. Patofisiologi

Luka bakar pada suhu tubuh terjadi baik karena konduksi panas langsung atau radiasi elektromagnetik. Derajat luka bakar berhubungan dengan beberapa faktor, termasuk konduksi jaringan yang terkena, waktu kontak dengan sumber tenaga panas dan pigmentasi permukaan. Saraf dan pembuluh darah merupakan struktur yang kurang tahan terhadap konduksi panas, sedangkan tulang paling tahan.

Sel-sel dapat menahan temperatur sampai 44˚C tanpa kerusakan bermakna. Antara 44˚C dan 51˚C, kecepatan kerusakan jaringan berlipat ganda untuk tiap derajat kenaikan temperatur dan waktu penyinaran yang terbatas yang dapat ditoleransi. Di atas 51˚C, protein terdenaturasi dan kecepatan kerusakan jaringan sangat hebat. Temperatur di atas 70˚C menyebabkan kerusakan seluler yang sangat cepat dan hanya periode penyinaran sangat singkat yang dapat ditahan. Pada rentang panas yang lebih rendah, tubuh dapat mengeluarkan tenaga panas dengan perubahan sirkulasi, tetapi pada rentang panas lebih tinggi, hal ini tidak efektif (Sabiston, 1995).

2.3.3. Klasifikasi Luka Bakar

Kedalaman luka bakar ditentukan oleh tingginya suhu dan lamanya pajanan. Luka bakar dibedakan atas beberapa jenis (Moenadjat, 2003), yaitu : 1. Luka bakar derajat I

Luka bakar derajat I kerusakan terbatas pada bagian superfisial epidermis, kulit kering, hipermik memberikan efloresensi berupa eritema, tidak melepuh, nyeri karena ujung saraf sensorik teriritasi. Penyembuhan terjadi secara spontan selama 5-7 hari. Contohnya luka bakar akibat sengatan matahari.


(23)

2. Luka bakar derajat II

Kerusakan meliputi seluruh ketebalan epidermis dan sebagian dermis, berupa reaksi inflamasi akut disertai proses eksudasi, melepuh, dasar luka berwarna merah atau pucat, terletak lebih tinggi di atas permukaan kulit normal, nyeri karena ujung-ujung saraf teriritasi.

[Sumber : http://www.histology-world.com]

Gambar 2.2. Derajat luka bakar

Luka bakar derajat II dibedakan menjadi dua : Derajat II dangkal (superficial) yaitu kerusakan yang mengenai bagian superfisial dari dermis, terjadinya lepuh yang merupakan karektristik luka bakar derajat dua dangkal, apendises kulit seperti folikel rambut, kelenjar keringat. Penyembuhan dalam waktu 10-14 hari. Derajat II dalam (deep) yaitu kerusakan yang mengenai hampir seluruh bagian dermis, apendises kulit, kelenjar keringat, kelenjar sebasea. Penyembuhan terjadi dalam waktu > 2 minggu.

3. Luka bakar derajat III

Kerusakan meliputi seluruh ketebalan dermis dan lapisan yang lebih dalam, apendises kulit seperti folikel rambut, kelenjar keringat, kelenjar sebasea rusak,


(24)

8

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta kulit yang terbakar berwarna pucat atau lebih putih karena terbentuk eskar, tidak timbul rasa nyeri. Penyembuhan lama karena tidak ada proses epitelisasi spontan.

2.4. Penatalaksanaan Luka Bakar

Ada beberapa hal yang perlu diperhatikan dalam penatalaksanaan luka bakar yaitu : penyembuhan luka, infeksi dan penanganan luka (Effendi, 1999).

2.4.1. Penyembuhan Luka

Penyembuhan luka merupakan proses biologis tertentu terkait dengan fenomena umum yaitu pertumbuhan dan regenerasi jaringan. Penyembuhan luka berlangsung melalui serangkaian yang saling bergantung dan tumpang tindih di mana berbagai seluler dan komponen matriks bertindak bersama-sama untuk membangun kembali integritas jaringan yang rusak dan penggantian jaringan yang hilang. Proses penyembuhan luka telah ditinjau sebelumnya oleh Schultz yang terdiri dari lima tahap yang melibatkan biokimia kompleks dan proses seluler (Boateng et al., 2007; Schultz GS, 1999).

Hal ini digambarkan beberapa tahap dalam proses penyembuhan yaitu fase hemostasis, inflamasi, migrasi, proliferasi dan maturasi (Boateng et al, 2007). 1. Hemostasis dan Inflamasi (Peradangan)

Perdarahan biasanya terjadi saat kulit terluka dan berfungsi untuk mengeliminasi bakteri atau antigen dari luka. Selain itu, perdarahan mengaktifkan hemostasis dengan mengeluarkan komponen eksudat cairan seperti faktor pembekuan. Fibrinogen di dalam eksudat mengeluarkan mekanisme pembekuan yang dihasilkan oleh koagulasi dalam eksudat (darah tanpa sel dan platelet) dan bersama-sama dengan jaringan pembentukan fibrin menghasilkan gumpalan di dalam luka yang menyebabkan perdarahan berhenti.

Gumpalan yang mengering membentuk keropeng dan memberikan kekuatan terhadap cedera jaringan. Oleh karena itu, hemostasis memainkan peran sebagai pelindung serta memberikan kontribusi sepenuhnya terhadap penyembuhan luka.

Fase inflamasi terjadi secara stimultan dengan hemostasis, berlangsung beberapa menit dari cedera sampai 24 jam dan berlangsung selama sekitar 3 hari. Hal ini melibatkan respon baik seluler dan vaskular. Pelepasan protein eksudat ke


(25)

dalam luka menyebabkan vasodilatasi melalui pelepasan histamin dan serotonin, memungkinkan fagosit memasuki luka dan menelan sel-sel mati (jaringan nekrotik). Jaringan nekrotik yang sulit dicairkan oleh enzimatik untuk menghasilkan massa berwarna kekuningan.

2. Migrasi

Fase migrasi melibatkan pergerakan sel epitel dan fibroblas pada area luka untuk menggantikan jaringan yang rusak dan hilang. Sel-sel beregenerasi dan berkembang secara cepat dalam luka membentuk keropeng yang kering (bekuan) disertai dengan penebalan epitel.

3. Proliferasi

Fase proliferasi terjadi hampir secara stimultan hanya setelah fase migrasi (hari ke 3 dan seterusnya) dan proliferasi sel basal yang berlangsung antara 2 dan 3 hari. Jaringan granulasi dibentuk oleh pertumbuhan kapiler dan pembuluh limfatik di dalam luka, sedangkan sintesis kolagen oleh fibroblas yang memberikan kekuatan dan bentuk pada kulit. Pada hari kelima, maksimum pembentukan pembuluh darah dan jaringan granulasi telah terjadi. Penebalan epitel lebih lanjut dibutuhkan sampai kolagen menjembatani luka. Proliferasi fibroblas dan sintesis kolagen berlangsung sampai 2 minggu dimana pembuluh darah dan edema berkurang.

4. Maturasi

Fase ini disebut fase renovasi karena melibatkan pembentukan jaringan ikat selular dan kekuatan epitel baru yang menentukan sifat akhir dari bekas luka. Jaringan granular seluler diubah ke massa asellular dari beberapa bulan sampai sekitar 2 tahun.

2.4.2. Infeksi

Masalah utama yang seringkali dialami pasien luka bakar yaitu terjadinya infeksi. Infeksi secara klinis dapat didefinisikan sebagai pertumbuhan organisme pada luka yang berhubungan dengan reaksi jaringan dan tergantung pada banyaknya mikroorganisme patogen dan meningkatnya virulensi dan resistensi (Effendi, 1999).


(26)

10

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

2.4.3. Penanganan Luka Bakar

Penanganan luka merupakan hal yang sangat penting dalam menangani pasien luka bakar baik untuk mencegah infeksi maupun menghindari terjadinya sindrom kompartemen karena adanya luka bakar circumferencial (Effendi, 1999).

Ada beberapa hal yang dapat dilakukan dalam menangani luka bakar sesuai dengan keadaan luka yang dialami, yaitu :

1. Membersihkan luka

Pengobatan luka bakar dimulai dengan membersihkan luka. Membersihkan luka dengan hati-hati, menggunakan air dan menghilangkan kotoran atau bahan lain yang menempel dapat meminimalkan terjadinya trauma pada luka yang ditujukan untuk dilakukan debridemen. Membersihkan dengan menggosok secara kuat atau keras tidak dianjurkan karena akan merusak area lepuh, sel epitel dan pembuluh darah didalamnya.

Umumnya, zat antimikroba tidak diperlukan dan area luka bakar dicukur atau dibersihkan untuk meminimalkan resiko terkontaminasi bakteri. Hal ini tidak ditujukan untuk luka bakar ringan derajat satu dan pada kenyataannya mencukur juga dapat menyebabkan trauma tambahan pada permukaan epitel yang lepuh sehingga harus dihindari (Carrougher, 1998).

2. Debridemen

Prosedur debridemen yaitu dengan cara menghilangkan jaringan nekrosis atau bahan lain yang menempel pada luka. Dasar pemikiran untuk dilakukan debridemen adalah menggunakan krim antimikroba topikal yang dapat digunakan untuk mencegah infeksi dan mengobati luka. Cara ini didukung oleh penelitian laboratorium yang telah menentukan bahwa cairan blister (blister fluid) menekan fungsi kekebalan tubuh yang mempengaruhi fungsi normal neutrofil dan limfosit dan mengandung jumlah tinggi metabolit asam arakidonat yang meningkatkan respon inflamasi.

Apabila lepuhan luka akan dihilangkan atau dibiarkan utuh, luka harus dibersihkan sebelum penutupan luka. Seperti yang dikatakan sebelumnya, metode terbaik dan paling murah untuk membersihkan luka adalah dengan air keran. Setelah semua jaringan nekrotik dan bahan lain yang menempel dihilangkan, penilaian luka harus dilakukan secara berulang. Jika adanya eskar pada luka bakar


(27)

dibutuhkan agen antimikroba, akan tetapi setelah bebas dari eskar penggunaan antimikroba topikal dapat dihentikan atau selanjutnya menggunakan salep berbasis petrolatum. Akan tetapi, kebanyakan pasien menggunakan penutup luka bersifat lembab untuk mengurangi rasa sakit.

3. Penutup luka dan antimikroba topikal

Tujuan dari penutup luka adalah melindungi, memberikan kenyamanan, dan penyerapan drainase. Penggunaan penutup luka oklusif menjadi penyerap yang baik. Beberapa dokter menganjurkan untuk menggunakan kasa atau penutup luka bersifat nonadheren untuk mengurangi rasa sakit, akan tetapi kelemahannya cenderung menahan protein yang beresiko terjadinya drainase pada luka setempat sehingga tidak dianjurkan. Luka bakar yang dirawat dengan metode terbuka dengan mengolesi zat antimikroba harus dicuci minimal sekali atau dua kali sehari untuk mengilangkan krim dan salep. Setelah dibersihkan, lapisan kulit dioleskan lagi dengan salep atau krim baru (Carrougher, 1998).

4. Penanganan alternatif luka bakar

Penutup luka sementara, baik jenis biosintesis (Biobrane) atau jenis sintetis (Omiderm, Omikron) dapat digunakan sebagai alternatif untuk agen antimikroba topikal. Penutup luka ini digunakan setelah luka dibersihkan dari semua kotoran dan jaringan nekrotik. Jika adanya jaringan eskar maka sebaiknya tidak digunakan. Luka yang bersih, berwarna merah muda, dermis dalam keadaan lembab setelah debridemen merupakan penerapan yang ideal untuk penutup luka. Kelebihan menggunakan penutup luka baik yang bersifat sintesis atau biosintesis adalah berkurangnya rasa sakit dengan menutupnya ujung saraf pada lapisan pelindung.

Setelah penerapan penutup luka baik bersifat sintetis atau biosintesis yang sesuai dengan keadaan luka, sebaiknya dibiarkan tak terganggu kecuali terjadinya infeksi dengan adanya bakteri. Penutup luka dapat diganti dengan menerapkan zat antimikroba topikal. Sebagai tepi pemisah penutup luka biosintesis atau sintesis, kelebihan pembatasan sebaiknya dijaga dengan cara dilapisi dengan bahan penutup luka lain untuk memudahkan mengamati perkembangan penyembuhan luka.


(28)

12

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta Penutup luka hidrokoloid merupakan alternatif lain dalam pengobatan luka bakar derjat 1 (superficial). Penutup luka bersifat hidrokoloid (seperti : Duoderm, Convatec) tidak mengutamakan manfaat antimikroba akan tetapi mengurangi rasa sakit dan mengobati (Carrougher, 1998).

2.5. Asiatikosida

Asiatikosida (C48H78O19) merupakan senyawa golongan glikosida triterpenoid, yang mengandung molekul gula yang terdiri dari satu molekul ramnosa dan dua molekul glukosa. Aglikon triterpen dari asiatikosida ini disebut asam asiatikat yang mempunyai gugus alkohol primer, glikol dan satu buah karboksilat teresterifikasi dengan gugus gula (Pramono, 1992). Senyawa asiatikosida bersifat polar karena adanya ikatan glikosida antara molekul gula dengan gugus benzena dan mempunyai BM 959,12.

Asiatikosida merupakan salah satu senyawa aktif yang terkandung dalam pegagan, di samping banyak senyawa-senyawa lain. Diantara kandungan ekstrak pegagan, asiatikosida merupakan senyawa yang paling aktif dalam proses pemyembuhan luka, luka bakar dan kelainan kulit lainnya karena dapat meningkatkan sintesis kolagen (Sikareepaisan, 2011).

[Sumber : http://www.sigmaaldrich.com]


(29)

Permasalahan kulit pada prinsipnya berkaitan dengan penurunan tingkat kolagen tipe 1 yang merupakan komponen utama dari kulit dermis. Asiatikosida bersama dengan asam asiatik dan asam madekasat telah diujikan pada kolagen fibroblas kulit manusia secara in vitro (Bonte F. et al., 1994). Dalam studi lain, penyembuhan luka tertunda dengan mengevaluasi tikus diabetes yang diinduksi streptozotosin. Akan tetapi, penggunaan topikal cairan asiatikosida 0,4% dapat meningkatkan penyembuhan luka seperti meningkatkan hidroksiprolin, kekuatan tarik (tensile strength), kandungan kolagen dan epitelisasi (Shukla et al., 1999).

Selain itu, penggunaan cairan asiatikosida secara topikal untuk penyembuhan luka mekanik pada kelinci percobaan dengan larutan asiatikosida 0,2% dua kali sehari selama 7 hari juga dapat meningkatkan hidroksiprolin 56%,

kekuatan tarik 57%, sintesis kolagen dan epitelisasi yang lebih baik (Shukla et al., 1999). Hidroksiprolin merupakan salah satu asam amino yang

berperan penting pada interaksi kolagen-trombosit. Interaksi ini merupakan tahap pertama terjadinya proses penyembuhan yaitu proses hemostasis.

2.6. Kitosan

Kitosan merupakan polisakarida yang disusun dari glukosamin dan N-asetilglukosamin yang diperoleh dari turunan kitin melalui reaksi deasetilasi, yang diekstraksi dari serbuk cangkang crustaceae seperti udang dan kepiting yang merupakan komponen terbesar dari kitosan. Kitosan adalah biopolimer alami

kedua yang berlimpah yang ditemukan di alam setelah selulosa (Moe T. et al., 2008).

Derajat deasetilasi merupakan salah satu sifat kimia yang penting, yang dapat mempengaruhi kegunaannya dalam berbagai aplikasi. Derajat deasetilasi menyatakan banyaknya gugus amino bebas dalam polisakarida.

Kitosan merupakan serat seperti selulosa. Namun, tidak seperti serat tanaman, kitosan memiliki sifat unik termasuk kemampuan untuk membentuk film, mempunyai karakteristik struktural optik dan masih banyak lagi. Kitosan memiliki muatan ion positif yang mampu mengikat secara kimia dengan muatan negatif seperti lemak, lipid dan asam empedu (Dutta et al., 2000).


(30)

14

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta Kitosan merupakan polimer tidak beracun, biodegradabel, biokompatibel dan dapat mengabsorbsi air. Selama beberapa tahun yang lalu, polimer kitin terutama kitosan menjadi perhatian yang sangat meningkat sebagai salah satu bahan polimer terbaru dalam aplikasi yang luas dalam bidang farmasi dan industri biomedis untuk imobilisasi enzim dan pemurnian, makanan, kosmetik, agrikultur dan lingkungan. Aktivitas antibakteri, antifungal dan antiviralnya terutama berguna dalam bidang biomedis seperti penutup luka, jahitan bedah, dan sebagai penunjang dalam operasi katarak dan pengobatan penyakit periodontal (Dutta et al., 2000; Elmotasem et al., 2007).

[Sumber : Dutta P. K, Dutta J, Triphaty V. S, 2004]

Gambar 2.4. Struktur kimia kitosan (DA – Derajat asetilasi)

Penelitian sebelumnya menggunakan kitosan pada beberapa jenis hewan menunjukkan bahwa kitosan mempunyai kemampuan untuk meningkatkan hemostasis, menurunkan fibroblasis, memfasilitasi osteogenesis dan meningkatkan regenerasi jaringan ( Moe T. et al., 2008).

2.6.1. Film Kitosan Sebagai Penutup Luka

Kemampuan kitosan membentuk film dapat digunakan secara luas dalam formulasi sediaan film atau sebagai sistem penghantaran obat. Film kitosan sebagai penutup luka harus memenuhi kriteria seperti tahan lama, tahan terhadap tarikan, lentur, lembut, dan elastis agar mudah dipasang dan tidak mengakibatkan trauma saat pasien sudah sembuh. Untuk pembentukan film kitosan, sama halnya pembentukan mekanik film penting yaitu mempunyai karakteristik yang beralasan seperti kemampuan terhadap tarikan (tensile properties), agar dapat melekat


(31)

penuh dan tahan terhadap berbagai kulit dengan berbagai kontur (Khan T. et al, 2000).

Penutup luka dari kitosan harus memiliki kemampuan adaptasi secara cepat dan menyeragamkan dengan berbagai sifat luka untuk mencegah masuknya air atau cairan lain. Kesegeraman kontur terhadap luka meminimalkan sakit, kontaminasi dari lingkungan luar, dan mencegah masuknya bakteri dari luar seperti halnya pada umumnya tujuan dari penutup luka.

Kitosan dapat dilarutkan dalam asam organik seperti asam laktat dan asam asetat dan merupakan prioritas dalam membentuk film. Pelarut film kitosan yang menggunakan asam laktat lebih baik daripada asam asetat karena lebih halus, lembut, fleksibel, dan lebih bioadhesif sehingga secara efektif mampu mengikat dan mengaglutinasi berbagai jenis sel mamalia. Selain itu, tidak beracun dan tidak menyebabkan alergi pada kulit sehingga film kitosan dengan asam laktat lebih cocok digunakan sebagai penutup luka atau perban untuk mempercepat pengeringan dan penyembuhan luka (Khan T. et al, 2000).

2.7. Pemeriksaan Histologi 2.7.1. Pendahuluan

Pemeriksaan histologi tidak kalah pentingnya bila dibandingkan dengan pemeriksaan penunjang yang lainnya, dalam peranannya menyokong atau menegakkan diagnosis. Bahkan tidak jarang diagnosis hanya dapat dipastikan dengan pemeriksaan histologi (Sularsito, 2007).

2.7.2. Cara Pengambilan Bahan dan Pewarnaan

Untuk pemeriksaan ini dibutuhkan potongan jaringan yang didapat dengan cara biopsi dengan pisau atau benda tajam yang steril, biasanya hanya pada lesi peradangan yang batasnya tidak jelas atau pada kasus-kasus yang ditandai oleh perubahan warna (vertiligo, melasma, dan lain-lain). Sedangkan pada tumor kulit, penyakit infeksi, dan dermatosis kulit, kulit normal tidak perlu diikutsertakan.

Sedapat-dapatnya diusahakan agar lesi yang akan dibiopsi adalah lesi primer yang belum mengalami garukan atau infeksi sekunder. Bila ada infeksi sekunder, sebaiknya diobati terlebih dahulu (Sularsito, 2007).


(32)

16

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

2.7.3. Prinsip Teknik Pembuatan Preparat Histologi

1. Pengambilan Bahan

Untuk mendapatkan hasil yang terbaik dalan sajian histologis, maka bahan yang harus diambil dari hewan yang sedang di anestesi atau segera setelah hewan itu mati.

2. Metode Irisan

Metode Irisan adalah suatu metode pembuatan sediaan dengan jalan membuat suatu irisan dengan tebal tertentu, sehingga dapat diamati dibawah mikroskop. Ada dua macam metode irisan yang dapat digunakan yaitu metode irisan dengan tangan dan metode irisan dengan mikrotom. Dalam metode irisan dengan mikrotom, sediaan didapat dari jaringan yang pengirisannya mempergunakan suatu alat yang disebut mikrotom. Keuntungan dari alat ini adalah tebal irisan dapat diatur menurut tujuan dan kehendak peneliti (Suntoro, 1983).

3. Fiksasi

Fiksasi adalah suatu usaha untuk mempertahankan jaringan maupun elemen-elemen sel di dalam jaringan pada tempatnya, mempertahankan bentuk maupun ukurannya kemudian juga mempunyai sifat mengeraskan jaringan sehingga memudahkan pengirisan. Cairan fiksasi berperan sebagai pengawet, mencegah perubahan autolisis dan perkembangan bakteri.

Cairan fiksasi yang digunakan dapat berupa larutan yang mengandung satu macam zat saja seperti formalin 10%, merkuri klorida, dan sebagainya. Sedangkan larutan yang mengandung lebih dari satu macam zat seperti larutan Bouin yang mengandung asam pikrat, formalin dan asam asetat glasial.

4. Dehidrasi

Istilah dehidrasi berarti penarikan molekul air dari dalam jaringan. Proses ini sangat penting terutama untuk jaringan-jaringan yang akan dibuat preparat irisan.

Setiap sel dalam jaringan hidup mengandung air sejumlah kira – kira 85 % dari sitoplasma. Di dalam jaringan terdapat air yang cukup banyak sehingga harus dilakukan proses dehidrasi agar dapat bercampur dengan parafin. Apabila


(33)

proses dehidrasi tidak sempurna akan didapatkan irisan jaringan yang tidak utuh sehingga tidak sesuai dengan jaringan yang akan diamati. Proses dehidrasi dilakukan secara perlahan – lahan dengan menggunakan alkohol bertingkat, dimulai dengan alkohol persentase rendah, misalnya alkohol 70%, 80%, 90% dan 100% (alkohol absolut).

Waktu yang diperlukan untuk setiap tingkatan alkohol tergantung dari

besar kecilnya jaringan. Alkohol absolut mempunyai kemampuan

memperkeras jaringan, oleh karena itu jaringan tidak boleh ditinggalkan terlalu lama di dalam alkohol absolut atau alkohol persentase tinggi lainnya. Sebaiknya jangan di tinggalkan lebih dari 1 atau 2 jam untuk jaringan berukuran biasa (2 – 4 mm).

5. Penjernihan (Clearing)

Proses ini membuat jaringan menjadi jernih dan transparan. Pada pembuatan sediaan irisan jaringan dengan metode parafin, proses ini merupakan perantara antara proses dehidrasi dan proses penanaman (embedding).

Waktu yang dipergunakan untuk proses penjernihan tergantung dari tebal jaringan dan zat penjernih yang di gunakan.

6. Penanaman rangkap (Embedding)

Metode ini sebenarnya hanya digunakan untuk materi-materi yang sukar, bila ditanam dengan parafin saja. Biasanya materi -materi yang diperlukan dengan metode ini adalah materi-materi yang kecil atau materi kecil yang akan dibuat irisan seri, seperti arthropoda kecil (Suntoro, 1983).

7. Pewarnaan

Metode pewarnaan disesuaikan dengan tujuan mempelajari sel atau jaringan khusus seperti jaringan ikat. Pewarna yang biasanya dipakai dikatakan bersifat asam atau basa, tetapi sebenarnya mereka merupakan garam-garam netral karena mempunyai radikal asam maupun radikal basa.

I. Pewarna inti yang paling umum adalah hematoksilin, yang sifat memulasnya tergantung pada adanya hasil oksidasi dalam larutan sebelum dipergunakan. Bila dipulas dengan zat ini, inti – inti tampak biru.


(34)

18

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta II. Pewarna anilin seperti azure A, biru toluidin, dan biru metilen digunakan dalam menafsirkan proteoglikans (mukopolisakarida) yang terpulas secara metakromatis. Apabila proteoglikans dipulas dengan salah satu zat warna ini, akan mendapatkan warna yang berbeda dari warna asal pewarna. Contoh : Musin, matriks tulang rawan dan granula sel mast.

III. Pewarna asam, seperti : eosin, asam pikrat, azo, biru tripan, merah tripan dan lain sebagainya. Contoh : sitoplasma.

IV. Pewarna kombinasi asam-basa

a. Hematoksilin dan eosin (H dan E) yang paling umum digunakan untuk memulas setiap struktur inti menjadi ungu tua atau biru, struktur sitoplasma dan substansi intraseluler menjadi merah muda.

b. Metode trikrom seperti pulasan Mallory untuk jaringan ikat, pulasan Mallory-Azan dapat membedakan struktur sitoplasma dari zat-zat intraseluler. Untuk memulas serat-serat jaringan ikat menjadi biru terang, inti menjadi merah atau jingga dan berbagai unsur sel menjadi biru, merah, jingga, atau ungu.

c. Metode trikrom menggunakan pulasan Masson untuk memulas jaringan ikat menjadi hijau, inti menjadi biru atau ungu, dan struktur sitoplasma menjadi merah.

d. Metode trikrom menggunakan pewarna anilin merupakan metode untuk kolagen lebih jelas dibanding lainnya (Leeson, 1996).


(35)

BAB 3

METODOLOGI PENELITIAN

3.1. Waktu dan Tempat Penelitian

Penelitian ini dilaksanakan dari bulan September 2012 sampai dengan bulan Maret 2013 di Laboratorium Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan UIN Syarif hidayatullah Jakarta yaitu : Laboratoirum Bioavaibility dan Bioequivalensi (PBB) Program Studi Farmasi, Laboratorium Multiguna Program Studi Pendidikan Dokter, Laboratorium Enviromental Health (HEN) Program Studi Kesehatan Masyarakat, Laboratorium Animal House Program Studi Pendidikan Dokter dan Laboratorium Patologi dan Anatomi Universitas Indonesia.

3.2. Alat dan Bahan 3.2.1. Alat

Alat-alat yang digunakan dalam sediaan film kitosan yaitu : Timbangan analitik, spuit, hot plate stirer (Wigen Hauser), pH meter (Horiba), oven (Eyela NDO-400), sonikator (Bransonic 5510), buret, pengaduk magnetik, gelas kimia, gelas ukur, labu ukur, spatula, dan pipet mikro (Wigen Hauser).

Untuk uji in vivo terhadap hewan tikus yaitu : Alat bedah, kandang tikus, kertas, jarum suntik, kapas, toples, plat logam, sedangkan untuk pembuatan sediaan histologi yaitu gelas objek dan gelas penutup, penangas air, mikrotom, tissue processor dan mikroskop cahaya.

3.2.2. Bahan

Serbuk asiatikosida (Xi’an Guanyo Bio-tech, Cina), kitosan (PT. Biotech Surindo), asam laktat (PT. Bratachem), natrium tripolifosfat (NaTPP) (PT. Wako, Japan), natrium hidroksida (NaOH), gliserin (PT. Bratachem), sorbitol (PT. Bratachem), dan silika gel digunakan untuk pembuatan film kitosan dan evaluasi.

Untuk fiksasi kulit dan uji in vivo dengan menggunakan etanol 96%, eter, larutan buffer formalin 10%, larutan hematoksilin, larutan eosin, xylol, alkohol


(36)

20

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta dengan konsentrasi bertingkat, parafin, alkohol 70%, xylazine 2%, dan ketamin

HCl 2%.

3.3. Hewan Percobaan

Hewan percobaan yang digunakan adalah tikus putih betina (Rattus novergicus L.) galur Sprague Dawley yang sehat berumur 2-3 bulan dengan berat badan 180 - 250 gram. Hewan percobaan terdiri dari 6 kelompok perlakuan dengan masing- masing tiap kelompok ditentukan dengan cara sebagai berikut.

Tabel 3.1. Jumlah kelompok hewan uji

No. Kelompok Jenis perlakuan luka

1 KN Tanpa pengobatan (kontrol negatif)

2 KP Diberi suspensi asiatikosida 0,2% (kontrol positif)

3 FK Diberi film kitosan tanpa asiatikosida

4 FA1 Diberi film kitosan dengan asiatikosida 10%

5 FA2 Diberi film kitosan dengan asiatikosida 20%

6 FA3 Diberi film kitosan dengan asiatikosida 30%

I. Prinsip Rumus Federer, yaitu

(n-1) (t-1) ≥ 15

(n-1) (6-1) ≥ 15

(n-1) ≥ 3

n ≥ 4

Jadi jumlah minimum ulangan perlakuan yang diperlukan dalam setiap kelompok adalah 4 kali pada hewan coba.

Pada percobaan ini menggunakan 3 kelompok (luka) dalam 1 tikus, sedangkan untuk 6 kelompok yang digunakan untuk 1 ulangan perlakuan adalah 2 ekor tikus. Untuk evaluasi penurunan luas luka dalam 4 ulangan adalah 8 ekor dan

keterangan :

n : jumlah ulangan

t : jumlah kelompok perlakuan terhadap binatang coba


(37)

untuk evaluasi histologi dalam 2 ulangan adalah 4 ekor, sehingga jumlah tikus yang digunakan sebanyak 12 ekor.

3.4. Pembuatan Film Kitosan - Asiatikosida dan Evaluasinya 3.4.1. Preparasi Pelarut

1. Larutan kitosan + 1%

Kitosan ditimbang 4 gram dengan menggunakan kaca arloji, kemudian kitosan dimasukkan ke dalam gelas kimia yang berisi aquadest 300 ml, ditambahkan larutan asam laktat 4% (4 ml asam laktat digenapkan hingga 100 ml aquadest) dan diaduk dengan pengaduk magnetik hingga larut. Setelah itu, larutan kitosan disaring dengan bantuan vacum menggunakan corong porselen yang dilapisi kain.

2. Larutan NaTPP 0,1%

Sebanyak 1 gram ditimbang dengan menggunakan kaca arloji, kemudian dilarutkan dengan aquadest dalam gelas kimia. Setelah itu dimasukkan dalam labu ukur 1 L dan digenapkan dengan aquadest sampai tanda batas.

3. Larutan NaOH 0,1 N

NaOH sebanyak 4 gram ditimbang dengan menggunakan kaca arloji, kemudian dilarutkan dengan aquadest dalam gelas kimia. Setelah itu dimasukkan dalam labu ukur 1 liter dan digenapkan dengan aquadest hingga tanda batas.

3.4.2. Preparasi Film Sambung Silang Kitosan - TPP yang Mengandung Asiatikosida

Sebanyak 25 ml larutan kitosan 1% dimasukkan ke dalam gelas kimia, kemudian dilakukan pengadukan dengan menggunakan pengaduk magnetik dan pengadukan ini terus dilakukan selama proses pembuatan film. Setelah itu ditambahkan larutan NaTPP 0,1% kedalam larutan kitosan tersebut dengan menggunakan buret hingga 30 ml, kemudian ditambahkan NaOH 0,1 N ke dalam campuran tersebut dan dilakukan pengecekan secara berulang sampai pH 5 (dicek dengan pH meter). Setelah homogen sebagian larutan dipindahkan pada gelas kimia yang berbeda dan ditambahkan serbuk asiatikosida sedikit demi sedikit


(38)

22

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta pada gelas kimia semula yang sedang diaduk menggunakan pengaduk magnetik

hingga homogen. Setelah itu masukkan plasticizer sorbitol dan gliserin (1 : 1) sebanyak 187,5 µL sedikit demi sedikit ke dalam gelas kimia larutan campuran kitosan – asiatikosida dengan menggunakan mikropipet. Setelah itu ditambahkan sisa campuran larutan pada gelas kimia kedua sedikit demi sedikit ke dalam larutan campuran yang mengandung asiatikosida dan diaduk hingga homogen. Kemudian dilakukan sonikasi selama 10 menit agar gelembung-gelembung kecil dalam larutan campuran dapat naik ke permukaan. Gelembung-gelembung kecil yang terbentuk dihilangkan dengan menggunakan spatula. Setelah itu, tuangkan larutan campuran ke dalam cetakan atau wadah yang permukaannya rata dan keringkan pada temperatur 60˚C selama + 45 jam. Untuk menjaga kelembaban tetap konstan, film yang terbentuk dilakukan penyimpanan selanjutnya dalam wadah yang mengandung silika gel.

Tabel 3.2. Formula film kitosan

Keterangan : Nilai % (b/b) asiatikosida dihitung terhadap berat kitosan 3.5. Preparasi Suspensi Asiatikosida (Kontrol Positif)

Sebanyak 0,2 gram asiatikosida ditimbang, kemudian dilarutkan dengan cairan steril NaCl dan digenapkan hingga volume 100 ml.

3.6. Perlakuan Hewan Percobaan 3.6.1 Perlakuan pada Tikus

Tikus diaklimatisasi selama 1 minggu sebelum percobaan dengan di berikan pakan dan minuman ad libitum. Kemudian, setiap ekor tikus diberi tanda pengenal agar tidak salah dalam perlakuan.

Kel. Larutan Kitosan 1% Larutan NaTPP 0,1% Larutan NaOH 0,1 N

Plasticizer Asiatikosida Gliserin : Sorbitol

(1 : 1)

Konsentrasi Berat

FA1 25 ml 30 ml qs 187,5 µl 10% 25 mg

FA2 25 ml 30 ml qs 187,5 µl 20% 50 mg

FA3 25 ml 30 ml qs 187,5 µl 30% 75 mg


(39)

3.6.2. Perlukaan pada Tikus

Pembentukan luka bakar ini dilakukan dengan mencukur rambut bagian punggung hewan yang sebelumnya dibius dengan 0,5 ml/100 gramBB tikus dosis kombinasi Xylazine 2% dan Ketamin HCl 2% (1,5 : 10). Prosedur yang dilakukan untuk membentuk luka bakar derajat tiga menggunakan plat logam berdiameter 1 cm yang dipanaskan pada suhu 100˚C kemudian ditempelkan pada punggung tikus selama 30 detik (Shuid et al., 2005). Luka ditunggu selama 10 menit lalu oleskan omiderm (debridemen enzimatis) dan ditunggu hingga 3 hari (Dihitung sebagai hari ke-0), kemudian diberi perlakuan bahan uji sesuai kelompoknya masing-masing.

3.6.3. Pemberian Obat Luka

Tabel 3.3. Jenis perlakuan dan pemberian tiap kelompok

No. Kelompok Jenis perlakuan luka Cara pemberian

1 KN Tanpa pengobatan

(kontrol negatif)

Tidak diberi obat

2 KP Diberi suspensi asiatikosida

0,2% (kontrol positif)

Diteteskan pada area luka 2 kali sehari

3 FK Diberi film kitosan tanpa

asiatikosida

Tempelkan FK pada area luka

4 FA1 Diberi film kitosan dengan

asiatikosida 10%

Tempelkan FA1 pada area luka

5 FA2 Diberi film kitosan dengan

asiatikosida 20%

Tempelkan FA2 pada area luka

6 FA3 Diberi film kitosan dengan

asiatikosida 30%

Tempelkan FA3 pada area luka


(40)

24

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

3.7. Evaluasi Penurunan Luas Area Luka

Masing-masing tikus diamati setiap kelompok yang mengalami luka bakar pada punggungnya dengan memperhatikan perubahan luas area luka pada hari ke- 0, 3, 7 dan 14. Kemudian dihitung persentase penurunan luas area luka tikus (Datta et al., 2009), berdasarkan rumus sebagai berikut :

W0 = berat kertasyang sesuai dengan gambar luas area luka

Wt = berat rata-rata kertas bentuk lingkaran berdiameter 1,5 cm

1,76625 = luas lingkaran diameter 1,5 cm

3.8. Preparasi dan Uji Histologi

3.8.1. Pengambilan Sampel Kulit (Biopsi)

Biopsi kulit dilakukan pada luka bakar yang mulai menutup di setiap kelompok yang diambil pada hari ke-0, 7 dan 14 pasca perlukaan setelah tikus dibuat kondisi euthanasi dengan menggunakan eter dosis berlebih. Kemudian kulit area luka dipotong dengan menggunakan gunting tajam yang telah disterilkan terlebih dahulu.

Kulit yang telah di potong dengan ukuran 1,5 cm x 1,5 cm di fiksasi dengan menggunakan larutan BNF (Buffer Netral formalin) 10%. Kemudian potongan sediaan kulit dimasukkan ke dalam kaset tissue dan didehidrasi dengan cara merendam sediaan berturut – turut ke dalam alkohol 70%, 80%, 90%, alkohol absolut 1, alkohol absolut II, xylol 1, xylol II, parafin I, dan terakhir parafin II.

% Penurunan Luas Luka hari ke – n = 100% – ( –

x

100%)

Luas area luka =

x L

=


(41)

Pemotongan dengan mikrotom dilakukan dengan ketebalan 2 - 4 mikron. Selanjutnya dilakukan pewarnaan umum Haematoksilin Eosin sebagai dasar pemulasan dan untuk mengamati jaringan ikat.

3.8.2. Pengamatan Histologi

Pengamatan histologi dilakukan pada sampel kulit dari sayatan tiap kelompok yang telah diambil pada hari ke-0, 7 dan 14 dengan mengamati kandungan pada jaringan ikat berupa jumlah sel-sel radang, neovaskularisasi, tebal serabut kolagen.

4.1. Analisa Data

Hasil pengamatan penurunan luas area luka diuji secara statistik menggunakan ANOVA. Dan hasil pengamatan histologi berupa perubahan pada jaringan ikat seperti seperti sel-sel radang, neuvaskularisasi dan serabut kolagen diuji secara deskriptif.


(42)

26 UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

BAB 4

HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1. Hasil

4.1.1. Persentase Penurunan Luas Luka

Tabel 4.2. Persen penurunan luas area luka

Kelompok Rata – rata penurunan luas area luka (%) hari ke-

3 7 14

KN 19,77 42,73 80,37

KP 30,93 41,87 95,30

FK 34,40 47,29 86,92

FA1 17,46 40,87 90,92

FA2 21,64 41,15 95,00

FA3 26,07 56,15 98,31

Keterangan : KN : Kontrol negatif, KP : Kontrol positif, FK : Film tanpa asiatikosida, FA1 : Film kitosan yang mengandung asiatikosida 10%, FA2 : Film kitosan yang mengandung asiatikosida 20%, FA3 : Film kitosan yang mengandung kitosan 30%

Gambar 4.2. Grafik penurunan luas area luka setiap kelompok

0 20 40 60 80 100 120

0 3 7 14

P erse n pe nurun an luas a re a luka ( % ) KN KP FK FA1 FA2 FA3 Hari pengamatan


(43)

4.1.2. Pemeriksaan Histologi

Tabel 4.3. Hasil pengamatan histologi pada tikus

Keterangan :

- : tidak ada, + : sedikit, ++ : sedang, +++ : banyak/luas

Parameter Kelompok dan Hari pengamatan

KN KP FK FA1 FA2 FA3

0 7 14 0 7 14 0 7 14 0 7 14 0 7 14 0 7 14

Nekrosis +++ - - +++ - - +++ - - +++ - - +++ - - +++ - -

Jumlah sel-sel radang

- +++ ++ - ++ + - ++ + - ++ + - ++ + - + +

Jumlah neuvaskulari

sasi

- - ++ - + + - ++ + - + + - ++ + - +++ +

Tebal serabut kolagen


(44)

28

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

4.2. Pembahasan

4.2.1. Hasil Penurunan Luas Area Luka

Pada penelitian ini dilakukan uji aktivitas film kitosan yang mengandung asiatikosida konsentrasi 0% (FK), 10% (FA1), 20% (FA2) dan 30% (FA3) yang digunakan sebagai penutup luka bakar derajat tiga kemudian dibandingkan dengan kontrol negatif (KN), kontrol positif (KP). Kemudian pengamatan penurunan luas area luka dilakukan pada hari ke- 3, 7 dan 14.

Luka bakar yang dihasilkan dengan menggunakan logam panas bersifat gosong kehitaman sehingga perlu memakai debridemen enzimatis berupa omiderm untuk mempercepat pemisahan jaringan nekrosis. Setelah dilakukan debridemen, kulit yang terkena luka bakar dibersihkan dengan larutan NaCl yang bertujuan untuk membersihkan sisa-sisa zat debridemen dan jaringan nekrosis kemudian diuji sesuai kelompok masing-masing.

Metode pembuatan luka bakar dengan logam panas mempunyai beberapa kekurangan karena menghasilkan jaringan nekrosis tanpa mengalami pengelupasan kulit sehingga perlu adanya zat debridemen. Dengan adanya debridemen memerlukan waktu hingga 3 hari sebelum dilakukan uji setiap kelompok. Selain itu, penggunaan logam panas yang diterapkan dalam satu punggung tikus dengan tiga area luka menghasilkan pengerutan kulit yang mempengaruhi jarak antar luka sehingga dapat mempersulit penerapan film kitosan dan pengamatan masing-masing kelompok.

Berdasarkan pengamatan hari ke-3, nilai persen penurunan luas luka yang paling besar adalah kelompok film tanpa asiatikosida (FK) yaitu 34,40% dan kontrol positif yaitu 30,94%. Hasil uji statistik menunjukkan terdapat perbedaan yang signifikan antara FA1 dengan kontrol positif dan FK, dimana nilai persen penurunan luas luka FA1 adalah 12,46%. FA2 menunjukkan terdapat perbedaan yang signifikan dengan FK (p < 0,05), dimana nilai persen penurunan luas luka FA1 adalah 21,67%. Dan FA3 menunjukkan tidak terdapat perbedaan yang signifikan dengan semua kelompok (P > 0,05), dimana nilai persen penurunan luas luka FA3 adalah 26,07%.

Berdasarkan data tersebut bahwa penerapan film yang mengandung asiatikosida 10%, 20% dan 30% belum menunjukkan aktivitas penyembuhan luka


(45)

bakar yang lebih baik dibandingkan kontrol positif dan film tanpa asiatikosida (FK) karena nilai persen penurunan luas luka film yang mengandung asiatikosida lebih rendah dari FK dan kontrol positif. Film yang mengandung asiatikosida belum berpengaruh secara signifikan dalam memperbaiki penyembuhan luka bakar dibandingkan kontrol negatif, akan tetapi nilai persen penurunan luas luka kontrol negatif lebih rendah yaitu 19,77% dari FA2 dan FA3..

Secara makroskopis pada hari ke-3, Jaringan luka menimbulkan gumpalan kering atau keropeng yang bersifat eritema, bengkak dan rasa nyeri yang menandakan masih terjadinya fase inflamasi atau peradangan dan berlangsung dari hari pertama setelah terkena luka bakar (Martin P, 1997). Peran penting dalam fase inflamasi adalah neutrofil yang bertugas memfagosit debris,

mikroorganisme, dan memberikan pertahanan terhadap infeksi yang

mempengaruhi proses penyembuhan luka bakar (Diegalmann, 2004). Pada kondisi luka bakar yang menghasilkan eksudat dibutuhkan penutup luka yang mampu menyerap cairan eksudat yang menyebabkan infeksi. Dalam hal ini, penutup luka film tanpa asiatikosida memberikan aktivitas yang lebih baik dibandingkan kelompok yang lain (p < 0,05) dan juga mempunyai persen penurunan luas area luka yang paling besar yaitu 34,40%.

Berdasarkan pengamatan hari ke-7, nilai persen penurunan luas luka yang paling besar adalah kelompok FA3 yaitu 56,15%. Hasil uji statistik menunjukkan tidak terdapat perbedaan yang signifikan antara FA1, FA2 dan FA3 dengan kelompok lain (p > 0,05), dan juga tidak terdapat perbedaan yang signifikan antara semua kelompok (p > 0,05).

Berdasarkan data tersebut, kelompok yang diberi perlakuan dan kelopmpok yang tidak diberi perlakuan belum memberikan aktivitas yang berpengaruh secara signifikan terhadap peningkatan penyembuhan luka bakar. Proses penyembuhan luka bakar pada hari ke-7 berlangsung lambat yang memungkinkan masih terjadinya fase inflamasi atau peradangan sehingga perlu didukung dengan data histologi. Secara prinsip fase inflamasi terjadi hingga hari ke-3 untuk penyembuhan luka primer seperti luka terbuka (Boateng, 2007), sedangkan penyembuhan luka sekunder seperti luka bakar berlangsung lebih lama


(46)

30

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta dibandingkan dengan luka primer karena terjadi kerusakan yang lebih ekstensif menghasilkan jaringan nekrotik dan eksudat jaringan (Chandrasoma, 2005).

Berdasarkan pengamatan hari ke-14, nilai persen penurunan luas luka yang paling besar adalah kelompok FA3 yaitu 98,31%. Hasil uji statistik menunjukkan bahwa FA1 tidak terdapat perbedaan yang signifikan dengan semua kelompok (p > 0,05), dimana nilai persen penurunan luas luka FA1 adalah 90,92%. FA2 dan FA3 menunjukkan terdapat perbedaan yang signifikan dengan kontrol negatif (p < 0,05), dimana nilai persen penurunan luas luka FA2 adalah 95% dan kontrol negatif adalah 80,37%.

Dari hasil statistik menghasilkan bahwa FA2 yang mengandung asiatikosida 20% dan FA3 yang mengandung asiatikosida 30% mengalami perbaikan penyembuhan luka bakar dibandingkan kontrol negatif. Pada tabel persen penurunan luas luka hari ke-14 rata-rata semua kelompok hampir mengalami penyembuhan, akan tetapi nilai persen penurunan luas luka yang paling besar adalah FA3 yang merupakan kelompok film dengan konsentrasi asiatikosida yang paling tinggi yaitu 30%. Hal tersebut menunjukkan adanya asiatikosida di dalam penutup luka film berpengaruh dalam meningkatkan penyembuhan luka bakar derajat tiga.

Hasil fase akhir luka bakar derajat tiga biasanya terjadi pembentukan jaringan parut berupa massa atau jaringan kulit berwarna putih, hal ini sesuai dengan hasil pengamatan makroskopik pada penelitian ini.

4.2.2. Pengamatan Histologi

Pewarnaan jaringan menggunakan hematoksilin-eosin (HE) dalam mengamati perubahan yang terjadi secara deskriptif seperti banyaknya sel-sel radang, neuvaskularisasi, dan tebal serabut kolagen pada jaringan ikat di hari ke- 0, 7 dan 14. Pengamatan histologi hari ke-0 dilakukan untuk meyakinkan metode pembuatan luka bakar. Hasil histologi hari ke-0 menghasilkan terjadinya koagulasi nekrosis pada lapisan dermis hingga jaringan subkutan, serta ditandai dengan hilangnya lapisan epidermis lengkap dengan bagiannya. Hal tersebut menandakan telah terjadinya cedera luka bakar derajat tiga (Hermans MHE, 2005).


(47)

Hasil pengamatan hari ke-7 didapatkan adanya perubahan secara histologi dengan dipenuhi sel-sel radang pada semua kelompok. Penerapan film FA1, FA2 dan FA3 menunjukkan adanya jumlah sel-sel radang yang lebih sedikit dibandingkan kontrol negatif yang memiliki jumlah sel-sel radang yang lebih banyak atau luas, dan tidak berbeda jumlah sel-sel radangnya dibandingkan kontrol positif. FA3 menunjukkan adanya perbedaan jumlah sel-sel radang yang lebih sedikit dibandingkan FA1 dan FA2. Hal ini menunjukkan bahwa keberadaan sel-sel radang didalam jaringan luka pada semua kelompok masih terjadinya fase inflamasi yaitu makrofag yang menggantikan peran neutrofil hingga hari ketiga dalam membersihkan daerah luka dari benda asing dan bakteri (Diegalmann, 2004). Selain itu, adanya kandungan asiatikosida dalam sediaan film FA3 berpengaruh terhadap proses perbaikan penyembuhan luka bakar pada fase inflamasi yang memiliki jumlah sel-sel radang lebih sedikit dibandingkan kelompok lainnya.

Berdasarkan pengamatan hari ke-7, dalam jaringan ikat ditemukan dengan adanya vaskularisasi yang terdiri atas kapiler yang baru terbentuk dan mengisi daerah cedera pada saat debris nekrotik dihilangkan. Pada jaringan luka yang diobati baikdengan penerapan film maupun dengan kontrol positif menunjukkan adanya neuvaskularisasi (pembuluh darah baru) dibandingkan jaringan luka yang tidak diobati (kontrol negatif) belum ditemukan adanya neuvaskularisasi, pembentukan neuvaskularisasi ini dimulai pada hari ke-4 atau 5. FA1 yang mengandung asiatikosida konsentrasi 10% menunjukkan lebih sedikit jumlah neuvaskularisasinya dibandingkan FA2 yang mengandung asiatikosida konsentrasi 20%, dan FA2 menunjukkan jumlah neuvaskularisasi lebih sedikit dibandingkan dengan FA3 yang mengandung asiatikosida 30%. Berdasarkan pengamatan tersebut bahwa FA1, FA2 dan FA3 menunjukkan adanya perbaikan penyembuhan luka bakar dibandingkan kontrol negatif.

Hasil pengamatan hari ke-14, dalam jaringan ikat menunjukkan adanya perbedaan yang signifikan dari hari ke-7 dengan ditemukannya sel-sel radang dan pembuluh darah yang minimal terjadi pada semua kelompok. Hal tersebut menunjukkan telah terjadinya migrasi dari proses inflamasi ke proses fibroblas dengan mensintesis kolagen. Berdasarkan pembentukan serabut kolagen


(48)

32

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta menunjukkan bahwa FA3 memiliki serabut kolagen yang lebih padat dan tebal dibandingkan FA2 dan FA1, kemudian FA2 memiliki serabut kolagen yang lebih padat dibandingkan dengan FA1. Hasil pengamatan menunjukkan bahwa penerapan film FA1, FA2 dan FA3 berpengaruh pada pembentukan kolagen yang tebal dan padat dibandingkan kontrol negatif dan kontrol positif yang menunjukkan terbentuk kolagen yang longgar dan tipis. Berdasarkan pembentukan apendesisnya seperti folikel rambut, kelenjar minyak dan kelenjar keringat pada lapisan jaringan ikat didapatkan bahwa pemberian kontrol positif menunjukkan terbentuk apendesis yang hampir sempurna seperti jaringan normal dibandingkan kelompok lain. Namun, pembentukan serabut kolagen memiliki pengaruh besar dalam perbaikan penyembuhan luka yang dibandingkan dengan pembentukan apendesis.

Dari hasil pengamatan hari ke-7 dan 14, dalam jaringan ikat menunjukkan adanya perubahan dalam pembentukan serabut kolagen yang menyebar dan tipis menjadi serabut kolagen yang padat dan tebal. Dalam jaringan normal, kolagen berfungsi memberikan kekuatan, integritas dan struktur kulit. Ketika jaringan

mengalami kerusakan, kolagen dibutuhkan untuk memperbaiki dan

mengembalikan fungsi dan struktur anatomis (Diegelmann, 2004). Kandungan kolagen jaringan granulasi meningkat sejalan dengan waktu tanpa adanya perlakuan (Chandrasoma, 2005), akan tetapi menurut Shukla et al., (1999) dengan adanya kandungan asiatikosida dapat meningkatkan produk kolagen, kekuatan tarik (tensile strength), hidroksiprolin dan epitelisasi yang berfungsi memberikan kontraksi dan kekuatan regangan pada fase akhir yang membentuk jaringan parut pada kulit.

Berdasarkan pengamatan hasil persen penurunan luas luka dan histologi jaringan luka menunjukkan bahwa dengan adanya asiatikosida di dalam penutup luka film kitosan dapat mempercepat proses penyembuhan luka. Luka bakar memerlukan penanganan khusus karena masalah utama yang dialami penderita luka bakar adalah infeksi yang disebabkan oleh mikroorganisme cairan eksudat pada luka (Effendi, 1999), akan tetapi dari hasil pengamatan makroskopis tidak ditemukan infeksi yang bermakna karena bantuan debridemen dan penutup luka film kitosan yang mempunyai sifat antibakteri (Dutta, 2004).


(49)

Proses penyembuhan luka bakar derajat tiga dari penelitian ini termasuk mengalami penyembuhan yang cepat dibandingkan luka bakar yang mengalami infeksi berat karena dilakukan penanganan khusus seperti menggunakan debridemen enzimatis berupa omiderm, kondisi pembuatan luka bakar yang meminimalkan kontaminasi pada awal cedera dan penerapan penutup luka film. Penutup luka yang baik adalah mampu melekat dan tahan pada kondisi berbagai luka, tidak menimbulkan trauma saat pergantian dan menjaga kelembaban, hal ini sangat penting bagi sifat mekanik film kitosan mempunyai kemampuan kekuatan tarikan (tensile porperties).

Dari hasil pengamatan didapatkan bahwa pada kondisi awal cedera luka bakar hingga hari ketiga, penutup luka film yang mengandung asiatikosida maupun tanpa asiatikosida memberikan fungsi yang baik dengan menjaga kelembaban kondisi luka yang dapat menempel dan menyerap cairan eksudat tanpa menimbulkan trauma. Dalam hal ini, menurut Bhumkar (2006) peran sambung silang film kitosan dengan natrium tripolifosfat memberikan peningkatan sifat mekanik berupa kemampuan kekuatan tarikan dan efisiensi pelepasan asiatikosida dalam penutup luka, dan memberikan kelembaban karena kitosan memiliki sejumlah besar ikatan hidrogen (Moe T. et al., 2008). Akan tetapi, setelah hari ketiga film kitosan tidak menempel secara maksimal karena kondisi luka yang kering sehingga film kitosan belum memberikan efek yang maksimal sebagai penutup luka dalam menjaga kelembaban hingga akhir proses penyembuhan.


(50)

34 UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

BAB 5

KESIMPULAN DAN SARAN

5.1. Kesimpulan

1. Hasil statistik menunjukkan film kitosan yang mengandung asiatikosida 20% dan 30% yaitu kelompok FA2 dan FA3 memiliki aktivitas

penyembuhan luka yang lebih baik dan berbeda secara signifikan (p < 0,05) terhadap kontrol negatif, dan tidak berbeda secara signifikan (p > 0,05) terhadap kontrol positif.

2. Hasil histologi menunjukkan semakin tinggi konsentrasi asiatikosida maka aktivitas penyembuhan luka bakar semakin baik.

3. Formula film kitosan yang mengandung asiatikosida tidak berbeda secara signifikan dibandingkan dengan formula lainnya yaitu, FA1 terhadap FA2 dan FA3 (p > 0,05), FA2 terhadap FA3 (p > 0,05).

5.2. Saran

1. Perlu dilakukan uji aktifitas film secara in vitro untuk memastikan penggunaannya sebagai penutup luka bakar dan perlu cari metode pembuatan luka bakar yang mudah penanganannya dan praktis terhadap hewan percobaan.

2. Perlu dilakukan uji secara kuantitatif untuk meyakinkan hasil mikroskopis seperti menghitung jumlah sel-sel radang, tebal serabut kolagen dan jumlah neuvaskularisasi.


(51)

DAFTAR PUSTAKA

Ashok, K. & VIKAS, R. 2010. linked Chitosan Films: Effect of Cross-linking Density on Swelling Parameters. Department of Pharmaceutical Sciences and Drug Research, Punjabi University. Vol. 23 (4) : 443-448 Anggraeni, Y. 2012. Preparasi dan Karakterisasi Film Sambung Silang

Kitosan-Tripolifosfat yang Mengandung Asiatikosida Sebagai Pembalut Bioaktif Untuk Luka. Tesis. Program Magister Ilmu Kefarmasian Universitas Indonesia, Depok

Bonte F. et al., 1994. Influence of asiatic acid, madecassic acid and asiaticoside on human collagen I synthesis. Planta Med. 60, pag. 133-135.

Boateng, J.S., Kerr, H.M., Howard, N.E.S., and Gillian, M.E. 2007. Wound Healing Dressings and Drug Delivery Systems: A Review. Journal of Pharmaceutical Sciences, Vol. 97, Page: 2892-2923.

Carrougher GJ. 1998. Burn Care and Therapy. University of Washington Burn Center, Seattle. Hal : 443 – 446

Datta, H.S., Mitra, S.K., & Patwardhan, B. 2009. Wound healing activity of topical application forms based on ayurveda. eCAM. September 21, 2011. http://www.iaim.edu.in/pdf/eCAM-Hema-WH-09.pdf

Dhanikula, A. & Panchagnula, R. 2004. Development and Characterization of Biodegradable Chitosan Films for Local Delivery of Paclitaxel. The AAPS Journal Vol. 6 (3) : 1-12

Diegelmann, R. F. et al. 2004. Wound Healing: An Overview of Acute, Fibrotic and Delayed Healing. Frontiers in Bioscience, 9 : 283-289

Dutta P K, Dutta J, Triphaty V S. 2004. Chitin and Chitosan : Chemistry and Applications.Journal of scientific & Industrial Research, Vol 63, 20-31

Effendi C. 1999. Perawatan Pasien Luka Bakar. Jakarta : EGC

Eldin, M. S. et al. 2008. Chitosan Modified Membranes for Wound Dressing Applications : Preparation, Characterization and Bio-Evaluation. Vol 22 (3) : 158-168


(52)

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta Elmotasem. 2008. Chitosan–Alginate Blend Films for The Transdermal Delivery

of Meloxicam. Asian Journal of Pharmaceutical Sciences, 3 (1): 12-29 Gupta, Bhuvanesh. 2010. Textile-Based Smart Wound Dressings. Indian Journal

of Fibre & Textile Research, Vol. 35, Pages: 175-176 http://www.sigmaaldrich.com

Jamil S, Nizami Q, Salam M. 2007. Centella asiatica (Linn.) Urban o’A Review. Natural Product Radiance, Vol 6 (2), pp. 158-170

Jain P K, Agrawal R K, 2008. High Performance Liquid Crhomatographic Analysis of Asiaticoside in Centella asiatica (L.) Urban. Chiang Mai J. Sci. 35(3) : 521 - 525

Junqueira, L. 2007. Histologi Dasar : Teks dan atlas; alih bahasa. ed. 10. Jakarta : EGC

Khan T, Peh K, Ch’ng H. 2000. Mechanical strength and Biological Evaluations of Chitosan film for Wound Dressing. J Pharm Pharmaceut Sci, 3 : 303-311

Kwon M. et al. 2012. Enhancement of the Skin-Protective Activities of Centella asiatica L. Urban by a Nano-encapsulation Process. Journal of Biotechnology, 157 : 100-106

Kim W. et al. 2009. Extraction of Bioactive Components from Centella asiatica using Subcritical Water. The Journal of Supercritical Fluids, 48 : 211–216 Khan, T.A., Kok, K.P., Hung, S.C. 2000. Mechanical, Bioadhesive Strength and

Biological Evaluation of Chitosan Films for Wound Dressing. Journal Pharmacy Pharmaceutical Science 3 (3), Page: 303-304.

Lou, Ching-Wen. 2008. Process Technology and Properties Evaluation of a Chitosan-coated Tencel/cotton Nonwoven Fabric as a Wound Dressing. Fibers and Polymers, Vol.9 No.3, Page: 286-292.

Leeson C, Leeson R, Paparo A. 1996. Buku Ajar Histologi. Jakarta : EGC

Lee J. et al., 2006. Asiaticoside Induces Human Collagen I Synthesis through TGF beta receptor I k inase-independent Smad Signaling. Planta Med. 72 (4), pag. 324-328.


(1)

Lampiran 8.

Hasil Statistik Penurunan Luas Area Luka Hari ke-3

Tests of Normality

Kelomp

Kolmogorov-Smirnova Shapiro-Wilk

Statistic Df Sig. Statistic df Sig.

L.Luka(Hari3) 1 .310 4 . .916 4 .515

2 .308 4 . .823 4 .149

3 .286 4 . .864 4 .276

4 .287 4 . .931 4 .598

5 .250 4 . .945 4 .683

6 .310 4 . .833 4 .177

Keterangan: Signifikansi > 0,05 data terdistribusi normal

Test of Homogenity of Variances

L.Luka(Hari3)

Levene Statistic df1 df2 Sig.

.826 5 18 .547

Keterangan: Signifikansi > 0,05 data terdistribusi homogen

ANOVA

L.Luka(Hari3)

Sum of Squares Df Mean Square F Sig.

Between Groups 908.333 5 181.667 3.332 .026

Within Groups 981.500 18 54.528

Total 1889.833 23


(2)

Post Hoc Tests

Multiple Comparisons

L.Luka(Hari3) LSD

(I) Kelompo k

(J) Kelompo k

Mean Difference

(I-J) Std. Error Sig.

95% Confidence Interval

Lower Bound Upper Bound

1 2 -11.50000* 5.22148 .041 -22.4699 -.5301

3 -15.25000* 5.22148 .009 -26.2199 -4.2801

4 2.00000 5.22148 .706 -8.9699 12.9699

5 -2.50000 5.22148 .638 -13.4699 8.4699

6 -6.25000 5.22148 .247 -17.2199 4.7199

2 1 11.50000* 5.22148 .041 .5301 22.4699

3 -3.75000 5.22148 .482 -14.7199 7.2199

4 13.50000* 5.22148 .019 2.5301 24.4699

5 9.00000 5.22148 .102 -1.9699 19.9699

6 5.25000 5.22148 .328 -5.7199 16.2199

3 1 15.25000* 5.22148 .009 4.2801 26.2199

2 3.75000 5.22148 .482 -7.2199 14.7199

4 17.25000* 5.22148 .004 6.2801 28.2199

5 12.75000* 5.22148 .025 1.7801 23.7199

6 9.00000 5.22148 .102 -1.9699 19.9699

4 1 -2.00000 5.22148 .706 -12.9699 8.9699

2 -13.50000* 5.22148 .019 -24.4699 -2.5301

3 -17.25000* 5.22148 .004 -28.2199 -6.2801

5 -4.50000 5.22148 .400 -15.4699 6.4699

6 -8.25000 5.22148 .132 -19.2199 2.7199

5 1 2.50000 5.22148 .638 -8.4699 13.4699

2 -9.00000 5.22148 .102 -19.9699 1.9699

3 -12.75000* 5.22148 .025 -23.7199 -1.7801

4 4.50000 5.22148 .400 -6.4699 15.4699


(3)

6 1 6.25000 5.22148 .247 -4.7199 17.2199

2 -5.25000 5.22148 .328 -16.2199 5.7199

3 -9.00000 5.22148 .102 -19.9699 1.9699

4 8.25000 5.22148 .132 -2.7199 19.2199

5 3.75000 5.22148 .482 -7.2199 14.7199

Keterangan: Signifikansi < 0,05 data berbeda secara bermakna

Lampiran 9

.

Hasil Statistik Penurunan Luas Area Luka Hari ke-7

Tests of Normalityb

Kelompo k

Kolmogorov-Smirnova Shapiro-Wilk

Statistic df Sig. Statistic Df Sig.

L.Luka(Hari7) 1 .385 3 . .750 3 .000

2 .221 4 . .935 4 .625

3 .312 4 . .783 4 .075

4 .300 4 . .923 4 .554

5 .260 4 . .827 4 .161

6 .232 4 . .927 4 .575

Keterangan: Signifikansi > 0,05 data terdistribusi normal

Test of Homogeneity of Variances

L.Luka(Hari7)

Levene Statistic df1 df2 Sig.

1.566a 5 17 .223

Keterangan: Signifikansi > 0,05 data terdistribusi homogen

ANOVA

L.Luka(Hari7)

Sum of Squares Df Mean Square F Sig.

Between Groups 680.458 6 113.410 .928 .500

Within Groups 2076.500 17 122.147

Total 2756.958 23


(4)

Lampiran 10

.

Hasil Statistik Penurunan Luas Area Luka Hari ke-14

Tests of Normality

Kelompo k

Kolmogorov-Smirnova Shapiro-Wilk

Statistic Df Sig. Statistic df Sig.

L.Luka(Hari14) 1 .251 4 . .927 4 .574

2 .306 4 . .772 4 .061

3 .250 4 . .958 4 .769

4 .214 4 . .981 4 .910

5 .175 4 . .980 4 .900

6 .441 4 . .630 4 .001

Keterangan: Signifikansi > 0,05 data terdistribusi normal

Keterangan: Signifikansi > 0,05 data terdistribusi homogen

ANOVA

L.Luka(Hari14)

Sum of Squares Df Mean Square F Sig.

Between Groups 851.375 5 170.275 2.850 .046

Within Groups 1075.250 18 59.736

Total 1926.625 23

Keterangan: Signifikansi < 0,05 data berbeda secara bermakna

Test of Homogeneity of Variances

luasluka14

Levene Statistic df1 df2 Sig.


(5)

Post Hoc Tests

Multiple Comparisons

L.Luka(Hari14) LSD

(I) Kelompo k

(J) Kelompo k

Mean Difference

(I-J) Std. Error Sig.

95% Confidence Interval

Lower Bound Upper Bound

1 2 -14.75000* 5.46517 .015 -26.2319 -3.2681

3 -6.50000 5.46517 .250 -17.9819 4.9819

4 -10.25000 5.46517 .077 -21.7319 1.2319

5 -14.50000* 5.46517 .016 -25.9819 -3.0181

6 -17.75000* 5.46517 .004 -29.2319 -6.2681

2 1 14.75000* 5.46517 .015 3.2681 26.2319

3 8.25000 5.46517 .149 -3.2319 19.7319

4 4.50000 5.46517 .421 -6.9819 15.9819

5 .25000 5.46517 .964 -11.2319 11.7319

6 -3.00000 5.46517 .590 -14.4819 8.4819

3 1 6.50000 5.46517 .250 -4.9819 17.9819

2 -8.25000 5.46517 .149 -19.7319 3.2319

4 -3.75000 5.46517 .501 -15.2319 7.7319

5 -8.00000 5.46517 .160 -19.4819 3.4819

6 -11.25000 5.46517 .054 -22.7319 .2319

4 1 10.25000 5.46517 .077 -1.2319 21.7319

2 -4.50000 5.46517 .421 -15.9819 6.9819

3 3.75000 5.46517 .501 -7.7319 15.2319

5 -4.25000 5.46517 .447 -15.7319 7.2319

6 -7.50000 5.46517 .187 -18.9819 3.9819

5 1 14.50000* 5.46517 .016 3.0181 25.9819

2 -.25000 5.46517 .964 -11.7319 11.2319

3 8.00000 5.46517 .160 -3.4819 19.4819

4 4.25000 5.46517 .447 -7.2319 15.7319


(6)

6 1 17.75000* 5.46517 .004 6.2681 29.2319

2 3.00000 5.46517 .590 -8.4819 14.4819

3 11.25000 5.46517 .054 -.2319 22.7319

4 7.50000 5.46517 .187 -3.9819 18.9819

5 3.25000 5.46517 .559 -8.2319 14.7319


Dokumen yang terkait

Uji Efek Antifertilitas Serbuk Bawang Putih (Allium Sativum L.) Pada Tikus Jantan (Rattus Novergicus) Galur Sprague Dawley Secara In Vivo Dan In Vitro

3 25 115

Uji Aktivitas Penyembuhan Luka Bakar Ekstrak Etanol Umbi Talas Jepang (Colocasia esculenta (L.) Schott var. antiquorum) Pada Tikus Putih (Rattus norvegicus) Jantan Galur Sprague Dawley

4 21 107

PENGARUH PEMBERIAN DEKOK RIMPANG TEMULAWAK (Curcuma xanthorhiza Roxb) TERHADAP GAMBARAN HISTOPATOLOGI LAMBUNG TIKUS PUTIH Rattus norvegicus JANTAN GALUR Sparague dawley YANG DIINDUKSI ASPIRIN

6 35 62

PERBANDINGANTINGKATKESEMBUHAN LUKA BAKAR DERAJAT II ANTARA PEMBERIAN MADU DENGAN TUMBUKAN DAUN BINAHONG PADA TIKUS PUTIH (Rattus norvegicus) GALUR Sprague dawley

3 27 79

Ragam jenis ektoparasit pada hewan uji coba tikus putih (Rattus norvegicus) galur sprague dawley

2 11 47

Ragam jenis ektoparasit pada hewan uji coba tikus putih (Rattus norvegicus) galur sprague dawley

1 9 94

Uji Aktivitas Gel Isolat Katekin Gambir (Uncaria Gambir Roxb.) terhadap Penyembuhan Luka Bakar pada Tikus Putih (Rattus norvegicus) Jantan Galur Sprague Dawley

2 6 96

Uji Aktivitas Gel Etil p-metoksisinamat terhadap Penyembuhan Luka Terbuka pada Tikus Putih (Rattus norvegicus) Jantan Galur Sprague Dawley

6 24 104

Uji Aktivitas Gel Isolat Katekin Gambir (Uncaria Gambir Roxb.) terhadap Penyembuhan Luka Bakar pada Tikus Putih (Rattus norvegicus) Jantan Galur Sprague Dawley

0 3 96

Formulasi Tablet Kitosan Dan Uji Mukoadesif In-Vitro Dan In-Vivo Sebagai Penutup Luka Pada Lambung Tikus.

0 0 1