4.3. Dampak Pengembangan Pelabuhan Terhadap Pengembangan Wilayah
4.3.1. Karakteristik Budaya Adat Istiadat dan Pola Kebiasaan
Karakteristik budaya yang dijumpai pada lokasi wilayah studi, Gampong Kuala Langsa, secara umum dapat dikategorikan dalam komunitas yang terbuka.
Keterbukaan ini antara lain disebabkan telah terjadi pembauran berbagai etnis dalam satu hamparan komunitas yang didasari oleh harapan hidup, kesempatan kerja dan
peluang berusaha yang sama mulai dari etnis Aceh, Jawa, Bugis, dan etnis lainnya. Nilai sosial budaya dominan yang menjadi perekat atau acuan pada
masyarakat di wilayah studi adalah nilai-nilai yang berlandaskan Agama Islam terutama dalam hal kegiatan pernikahan, kelahiran, kematin, tasyakuran dan
penegakan syariat yang berlaku dimasyarakat apabila terjadi konflik. Biasanya kegiatan sosial budaya dan keagamaan dilakukan di Meunasah.
Jawaban responden terhadap kelangsunganpengembangan kawasan Pelabuhan Kuala Langsa hampir seluruhnya mendukung untuk dikembangkan, untuk
kategori Sangat Setuju responden menjawab 48,9 persen, yang menjawab setuju 37,8 persen yang netral sebanyak 11,1 persen yang kurang setuju hanya 2,2 persen
sedangan yang menjawab tidak setuju tidak ada satu persen pun dari total responden. Untuk lebih jelasnya dapat di lihat pada Tabel 4.12.
Zulfan: Dampak Pengembangan Kawasan Pelabuhan Kuala Langsa Terhadap Kesejahteraan Masyarakat Sekitar, 2008. USU e-Repository © 2008
Tabel 4.12 : Tanggapan Responden tentang Kelanjutan Pelabuhan No Tanggapan
Responden Jumlah Responden
orang Persentase
1. Sangat Setuju
22 48,9
2. Setuju 17
37,8 3. Netral
5 11,1
4. Tidak Setuju
1 2,2
5. Sangat Tidak Setuju
-
T o t a l 45
100,0
Sumber: Diolah dari Data Primer, 2008
4.3.2. Pranata Sosial dan Orientasi Nilai Budaya
Pranata sosial yang dimaksud merupakan kelembagaan yang berkembang di Gampong Kuala Langsa yang masuk dalam wilayah studi baik formal maupun
informal. Lembaga formal meliputi aparat pemerintahan desa seperti Kepala Desa geuchik, Sekdes dan kadus serta Dewan PenasihatBPD tuha peuet, sedangkan
lembaga informal termasuk lembaga keagamaan tengku imam meunasah dan kepala mukim. Peran tuha peuet adalah memberi pertimbangan terhadap berbagai keputusan
yang ada di desa, memantau kinerja dan kebijakan yang diambil oleh geuchik. Imam meunasah berperan dalam kegiatan sosialisasi keagamaan termasuk musyawarah
desagampong, sedangkan kepala mukim bertugas melaksanakan kegiatan adat dan pemerintahan desa di tingkat pemukiman.
Zulfan: Dampak Pengembangan Kawasan Pelabuhan Kuala Langsa Terhadap Kesejahteraan Masyarakat Sekitar, 2008. USU e-Repository © 2008
Adapun orientasi nilai budaya mencakup tatanan kelembagaan itu sendiri dan pranata sosial yang tumbuh kembang yang dipakai sebagai acuan tata kehidupan
suatu komunitas masyarakat di dalam wilayah penelitian. Sebagai satu kesatuan komunitas yang sudah terbentuk lama, penduduk Gampong Kuala Langsa yang
menjadi lokasi penelitian ini tampaknya juga tidak luput dari siklus proses sosial yang sebagaimana yang dialami oleh tetangga-tetangga di kampung lain sekitarnya, atau
bahkan di daerah asal mereka sendiri. Persoalan-persoalan kenakalan remaja, penyimpangan perilaku orang dewasa,
pencurian, saling melontarkan kata-kata yang menyinggung perasaan, persaingan dalam menjalankan kegiatan berekonomi, ataupun dalam penyelesaian utang piutang,
bukan tidak mungkin sesekali menjadi penyulut pertikaian yang lebih luas. Dalam hal ini rata-rata mereka cenderung mengidentikkan diri sebagai penduduk pinggir pantai
atau nelayan dengan sikap dan perilaku keras disaat-saat menghadapi tantangan, tetapi pada kesempatan lain menjadi lembut dan teguh pendirian dalam membela
kepentingan bersama. Mereka toleran dalam melepaskan tanah pertapakan rumah tempat tinggalnya
pada awal tahun 1980 untuk memenuhi kebutuhan pelabuhan, kendatipun mereka sudah menempatinya dalam jangka waktu relatif lama. Secara bersama-sama mereka
membangun lingkungan permukiman dari rawa-rawa, di lokasi yang sekarang. Pada saat itu, tanah merupakan benda bebas yang dapat dikuasai oleh siapa saja yang
membutuhkan. Tidak terfikirkan oleh mereka pada waktu itu, bahwa status kepemilikan atas tanah yang dikuasai itu penting.
Zulfan: Dampak Pengembangan Kawasan Pelabuhan Kuala Langsa Terhadap Kesejahteraan Masyarakat Sekitar, 2008. USU e-Repository © 2008
Kesadaran demikian baru muncul dalam tahun-tahun terakhir, terutama di saat pemerintah daerah juga membutuhkan lahan untuk program-program pembangunan.
Kebutuhan akan status kepemilikan atas tanah yang sudah dikuasainya selama bertahun-tahun tampaknya mulai merisaukan reponden Kuala Langsa saat mereka
mengetahui rencana pengembangan pelabuhan. Kerisauanpun menjadi ketenangan bagi mereka karena lahan yang akan diambil alih pemerintah direlokasi ke KM 6
Gampong Kuala Langsa yang berjarak 2 km dari kawasan Pelabuhan Kuala Langsa. Potensi konflik lain yang sesekali menggejala kepermukaan adalah dalam
kegiatan nelayan di perairan panti Kuala Langsa dan Sungai Pauh. Peralatan penangkapan ikan yang digunakan nelayan kampung lokasi penelitian relatif lebih
sederhana, yaitu pukat langgar, ketimbang nelayan dari luar kawasan yang menggunakan pukat banting atau jaring harimau.
Penggunaan pukat harimau, menurut penduduk sungai pauh dapat merusak rumpon-rumpon yang ditempatkan nelayan setempat untuk tempat berkumpul ikan
sehingga mudah menjaringnya. Lagi pula, penggunaan pukat harimau, menurut penjelasan penduduk yang sama, dapat merusak sumber daya perairan, karena semua
ikan besar atau kecil akan ikut terjaring, kendati pun kemudian tidak dimanfaatkan. Skala pertikaian pada tingkat intensitas demikian, menurut salah seorang
responden lain dari Gampong Kuala Langsa, biasanya tidak lagi mampu diselesaikan oleh Panglima Laot pimpinan nelayan dari kedua belah pihak yang bertikai, tetapi
lebih membutuhkan campur tangan DPR danatau Pemerintah Daerah. Hampir semua responden mengemukakan pendapat atau saran-saran tertentu untuk meningkatkan
Zulfan: Dampak Pengembangan Kawasan Pelabuhan Kuala Langsa Terhadap Kesejahteraan Masyarakat Sekitar, 2008. USU e-Repository © 2008
kerja sama, mengarahkan persaingan, dan meredam munculnya konflik internal antara masyarakat setempat dan kegiatan kepelabuhanan. Seperti yang dikemukakan
oleh beberapa orang responden yang penelitian ini, kehidupan bersama yang saling toleran dapat dibina jika kedua belah pihak saling merasakan satu kesatuan
komunitas, dengan nilai-nilai sentral sama dipedomani dalam bertingkah bersikap dan bertingkah laku.
Kecuali potensi konflik yang lebih terbuka, seperti yang baru saja dikemukakan di atas, responden lain juga mengungkapkan pontensi lain yang bersifat
fisik di lingkungan areal pelabuhan. Pemberlakuan Undang-Undang Republik Indonesia No. 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh bukan tidak mungkin,
bahwa penguasaan lahan dan perairan seluas lebih kurang 300 ha sebagai areal pelabuhan dan pengusahaan kegiatan pelabuhan, beralih dari PT. Pelindo Cabang
Kuala Langsa. Pemerintahan Kota Langsa merencanakan pengembangan Pelabuhan Kuala Langsa sebagai pelabuhan transit terpadu untuk seluruh industri di sekitarnya.
Kabupaten Aceh Timur dan Kabupaten Aceh Tamiang merupakan daerah perkebunan kelapa sawit tanpa di dukung oleh pabrik CPO.
Pemerintahan Kota Langsa melihat pengadaan pabrik CPO sebagai peluang bisnis. Direncanakan pula bahwa di lingkungan areal pelabuhan akan di bangun tanki
penampungan CPO berukuran besar, yang kemudian disusul dengan pembangunan pabrik penyulingan CPO yang akan di ekspor, begitu pula dengan pabrik-pabrik lain
yang berorientasi ekspor Hamzirwan, 2003: 10.
Zulfan: Dampak Pengembangan Kawasan Pelabuhan Kuala Langsa Terhadap Kesejahteraan Masyarakat Sekitar, 2008. USU e-Repository © 2008
Langkah awal kearah rencana yang dikemukakan diatas telah dimulai sejak tahun 2004. Rawa-rawa di sekitar areal Pelabuhan Kuala Langsa di reklamasi dengan
lumpur hasil kerukan di alur Pelabuhan Kuala Langsa. Ketika penelitian lapangan ini berlangsung, lingkungan rawa-rawa di sebelah timur areal Pelabuhan Kuala Langsa
telah tertimbun padat berbentuk lapangan pacu pesawat terbang dan direncanakan untuk lokasi pabrik. Masalahnya adalah bahwa rawa-rawa yang direklamasi itu,
menurut responden penelitian ini, masih dalam status kepemilikan perusahaan swasta yang berkedudukan di Kota Langsa.
Rencana penimbunan rawa-rawa di sekitar areal Pelabuhan Kuala Langsa, menurut responden yang sama, selain tidak ada koordinasi dengan pengelola
Pelabuhan Kuala Langsa, juga berpotensi menimbulkan pendangkalan pada alur Pelabuhan Kuala Langsa.
4.3.3. Mekanisme Penyelesaian Konflik