Alih Fungsi Lahan Tebu Menjadi Lahan Kelapa Sawit Di PT. Perkebunan Nusantara Ii Unit Kebun Tandem

(1)

ALIH FUNGSI LAHAN TEBU MENJADI LAHAN KELAPA SAWIT DI PT. PERKEBUNAN NUSANTARA II UNIT KEBUN TANDEM

SKRIPSI

OLEH:

RIZLIANI APRIANITA HSB 060304019

AGRIBISNIS

DEPARTEMEN AGRIBISNIS FAKULTAS PERTANIAN UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN 2011


(2)

ALIH FUNGSI LAHAN TEBU MENJADI LAHAN KELAPA SAWIT DI PT. PERKEBUNAN NUSANTARA II UNIT KEBUN TANDEM

SKRIPSI

Diajukan Kepada Departemen Agribisnis Fakultas Pertanian

Universitas Sumatera Utara untuk Memenuhi Sebagian dari Syarat-Syarat Guna Memperoleh Derajat Sarjana Pertanian

OLEH:

RIZLIANI APRIANITA HSB 060304019

AGRIBISNIS

DEPARTEMEN AGRIBISNIS FAKULTAS PERTANIAN UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN 2011


(3)

JUDUL : ALIH FUNGSI LAHAN TEBU MENJADI LAHAN KELAPA SAWIT DI PT. PERKEBUNAN NUSANTARA II UNIT KEBUN TANDEM

NAMA : RIZLIANI APRIANITA HSB

DEPARTEMEN : AGRIBISNIS PROGRAM STUDI : AGRIBISNIS

Disetujui oleh, Komisi Pembimbing

Ketua Komisi Pembimbing Anggota Komisi Pembimbing

(Ir. Iskandarini, MM) (

NIP. 196405051994032002 NIP. 1980102120050110004 Rulianda Purnomo Wibowo, SP, M.Ec)

Mengetahui,

Ketua Departemen Agribisnis

NIP. 195702171986032001 (Dr. Ir. Salmiah, MS)

DEPARTEMEN AGRIBISNIS FAKULTAS PERTANIAN UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN 2011


(4)

RINGKASAN

Rizliani Aprianita Hasibuan: Alih Fungsi lahan tebu Menjadi Lahan Kelapa Sawit di PT. Perkebunan Nusantara II Unit Kebun Tandem, dibimbing oleh Ibu Ir. Iskandarini MM, dan Bapak Rulianda Purnomo Wibowo, SP, M.Ec.

Alih fungsi lahan dilakukan salah satunya karena faktor ekonomi. Faktor ekonomi yang menentukan alih fungsi lahan adalah nilai kompetitif komoditi yang dihasilkan terhadap komoditi lain. Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh penulis, tingkat pendapatan usahatani kelapa sawit lebih menguntungkan daripada usahatani tebu.

Penentuan daerah penelitian dilakukan secara purposive, yaitu daerah dipilih sesuai dengan tujuan penelitian dengan pertimbangan tertentu. Data yang dikumpulkan adalah data sekunder. Metode analisis yang digunakan adalah analisis pendapatan dan analisis finansial (NPV, Net B/C dan IRR). Dari hasil penelitian diperoleh:

1. Faktor-faktor yang mempengaruhi alih fungsi lahan tebu menjadi lahan kelapa sawit di daerah penelitian adalah tingkat pendapatan usahatani tebu dan tingkat pendapatan usahatani kelapa sawit.

2. Tingkat pendapatan usahatani tebu di deaerah penelitian mengalami kerugian sebesar Rp. 5.029.220,- per hektar per musim tanam..

3. Tingkat pendapatan usahatani kelapa sawit di deaerah penelitian menguntungkan yaitu sebesar Rp. 13.243.267,- per hektar per tahun..

4. Usahatani kelapa sawit di daerah penelitian layak diusahakan secara finansial, dengan nilai Net B/C adalah sebesar 2,88, nilai NPV sebesar Rp. 80.580.190 dan nilai IRR sebesar 23,9 %.


(5)

RIWAYAT HIDUP

RIZLIANI APRIANITA HASIBUAN lahir di Gunung Pamela pada tanggal 5 April 1988. Anak kedua dari tiga bersaudara dari Bapak Ir. Ridwan Hasibuan dan Ibu Elvi Zahara Lubis.

Pendidikan yang telah ditempuh penulis adalah:

1. Pada tahun 2000 tamat dari SDN 102116 Gunung Pamela.

2. Tahun 2003 tamat dari SLTP F. Tandean Tebing Tinggi.

3. Pada tahun 2006 tamat dari SMAN 1 Tebing Tinggi, dan pada tahun 2006

diterima sebagai mahasiswa di Universitas Sumatera Utara melalui jalur

SPMB.

4. Tahun 2010 mengikuti kegiatan PKL di Desa Batu Gun Gun, Kecamatan


(6)

KATA PENGANTAR

Skripsi berjudul “ Alih Fungsi lahan tebu Menjadi Lahan Kelapa Sawit di PT. Perkebunan Nusantara II Unit Kebun Tandem” ini disusun untuk memenuhi salah satu syarat untuk mendapat gelar sarjana di Fakultas Pertanian Universitas Sumatera Utara, Medan.

Skripsi ini memuat faktor yang mempengaruhi alih fungsi lahan tebu menjadi lahan kelapa sawit, perhitungan tingkat pendapatan usahatani tebu, perhitungan tingkat pendapatan usahatani kelapa sawit, dan tingkat kelayakan usahatani kelapa sawit di daerah penelitian.

Pada kesempatan ini penulis ingin mengucapkan terimakasih kepada Tuhan Yang Maha Esa, karena atas rahmat-Nya penulis dapat menyelesaikan skripsi ini. Penulis juga mengucapkan terimakasih kepada Ibu Ir. Iskandarini, MM selaku ketua komisi pembimbing dan Bapak Rulianda Purnomo Wibowo, SP, MEc selaku anggota komisi pembimbing yang telah membimbing penulis dalam penyusunan skripsi ini, dan juga kepada seluruh staf dan pegawai PTPN II Unit Kebun Tandem khususnya Bapak Imam Wahdan selaku KTU PTPN II Unit Kebun Tandem dan teman-teman SEP‘06 serta staff pengajar dan pegawai tata usaha di Fakultas Pertanian Universitas Sumatera Utara.

Penulis juga mengucapkan terimakasih kepada kedua orangtua penulis Bapak Ir. Ridwan Hasibuan dan Ibu Elvi Zahara Lubis, serta kakakku Riri dan adikku Rizma atas dukungan, semangat, materi dan doa yang telah diberikan kepada penulis.

Akhir kata, semoga skripsi ini bermanfaat bagi kita semua.

Medan, April 2011


(7)

DAFTAR ISI

Hal

RINGKASAN..……...………...………...……… i

RIWAYAT HIDUP…...………..…...…….. ii

KATA PENGANTAR…...………....…..………...….. iii

DAFTAR ISI………...………...…...…. iv

DAFTAR GAMBAR………...………..………… vi

DAFTAR TABEL………...………...………... vii

DAFTAR LAMPIRAN………...………...……. viii

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang…………...…..……… 1

1.2 Identifikasi Masalah…...………...……… 7

1.3 Tujuan Penelitian……..…………...………. 7

1.4 Kegunaan Penelitian………….…...………. 8

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Tinjauan Pustaka…………..…………...………. 9

2.2 Landasan Teori………...……….... 19

2.3 Kerangka Pemikiran………...………..….... 22

2.4 Hipotesis Penelitian………...………... 25

BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Metode Penentuan Daerah Penelitian……...………... 26


(8)

3.3. Metode Analisis Data…...………...….. 26

3.4 Defenisi………..…...…... 31

3.5 Batasan Operasional………...……… 32

BAB IV DESKRIPSI DAERAH PENELITIAN 4.1 Profil Singkat Perusahaan...………..………...……….. 33

4.2 Letak Geografis Daerah Penelitian...………....…...….. 34

4.3 Jenis Komoditi...………...………... 35

4.4 Kondisi Lahan...…………...……….. ...35

4.5 Status Luas Areal Kebun...…….…………...………….. ..36

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1 Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Alih Fungsi Lahan Tebu Menjadi Lahan Kelapa Sawit ………... 38

5.2Usahatani Tebu…………..………. ...42

5.3 Usahatani Kelapa Sawit………. ...48

5.4 Analisis Finansial Usahatani Kelapa Sawit……….…. ..55

BAB VI KESIMPULAN DAN SARAN 6.1 Kesimpulan………..………... 58

6.2 Saran……….………...…….. 60 DAFTAR PUSTAKA


(9)

DAFTAR GAMBAR

No. Hal

1. Skema Kerangka Pemikiran………... 23

2. Unit Lokasi Kebun PTPN II...34

3. Jenis Gula Tetes...47

4. Jenis Gula SHS………..……….47

5. Minyak Sawit……….……...……….53


(10)

DAFTAR TABEL

No. Judul Hal

1. Pengembangan Tebu di Provinsi Sumatera Tahun 2005 s/d 2009 ... 3 2. Potensi Produksi Tanaman Kelapa Sawit Umur 3 – 25 Tahun ………...…29 3. Status areal dan luas tanaman yang dikelola di kebun Tandem... 36 4. Perubahan status areal dan luas tanaman yang dikelola

di kebun Tandem Tahun 2010...…. 37 5. Luas areal lainnya (non-tanaman) di kebun Tandem ………...… 37 6. Biaya Produksi Tanaman Tebu Per Hektar Per Musim Tanam……...……46 7. Produk Olahan Tebu Per Ha Per Musim Tanam... 47 8. Rata-rata Penerimaan Usahatani Tebu Per Ha Per Musim Tanam……... 47 9. Biaya Tanaman Kelapa Sawit Belum Menghasilkan (TBM) ... 52 10. Rata-Rata Biaya Produksi Tanaman Kelapa Sawit Menghasilkan

(TM) Per Ha Per Tahun ……...……….……... 52 11. Rata-rata Penerimaan Tanaman Kelapa Sawit Per Ha

Per Tahun …...…. 54 12. NIlai NPV, Net B/C dan IRR………...…...… 56


(11)

DAFTAR LAMPIRAN

No. Judul

1. Curahan Tenaga Kerja (HK) Tanaman Tebu Per Ha Per Musim Tanam 2009/2010

2. a Curahan Tenaga Kerja (HK) Tanaman Kelapa Sawit Belum Menghasilkan (Tanaman Tahun 0) Per Ha Per Tahun

b Curahan Tenaga Kerja (HK) Tanaman Kelapa Sawit Belum Menghasilkan (Tanaman Tahun 1 dan 2) Per Ha Per Tahun

c Curahan Tenaga Kerja (HK) Tanaman Kelapa Sawit Menghasilkan (TM) Per Ha Per Tahun

3. Biaya Tanaman untuk Tanaman Tebu Per Ha Per Musim Tanam 2009/2010 4. Biaya Tebang Muat Angkut untuk Tanaman Tebu Per Ha Per Musim Tanam

2009/2010

5. Biaya Penyusutan untuk Tanaman Tebu Per Ha Per Musim Tanam 2009/2010 6. Biaya Pengolahan untuk Tanaman Tebu Per Ha Per Musim Tanam 2009/2010 7. Biaya Umum dan Tata Usaha untuk Tanaman Tebu Per Ha Per Musim Tanam

2009/2010

8. Produk Olahan Tebu

9. a Biaya Tanaman (Rp) untuk Tanaman Kelapa Sawit Belum Menghasilkan (Tanaman Tahun 0) Per Ha Per Tahun

b Biaya Tanaman (Rp) untuk Tanaman Kelapa Sawit Belum Menghasilkan (Tanaman Tahun 1 dan 2) Per Ha Per Tahun

c Biaya Tanaman (Rp) untuk Tanaman Kelapa Menghasilkan (TM) Per Ha Per Tahun

10. Biaya Penyusutan (Rp) untuk Tanaman Kelapa Menghasilkan (TM) Per Ha Per Tahun


(12)

11. Biaya Pengolahan (Rp) untuk Tanaman Kelapa Menghasilkan (TM) Per Ha Per Tahun

12. Biaya Umum dan Tata Usaha (Rp) untuk Tanaman Kelapa Menghasilkan (TM) Per Ha Per Tahun

13. Total Penerimaan Tanaman Kelapa Sawit (Rp) Per Ha Per Tahun 14. Total Pendapatan Tanaman Kelapa Sawit (Rp) Per Ha Per Tahun 15. Net Present Value Tanaman Kelapa Sawit

16. Net Benefit-Cost Ratio (Net B/C) Tanaman Kelapa Sawit 17. IRR Tanaman Kelapa Sawit


(13)

RINGKASAN

Rizliani Aprianita Hasibuan: Alih Fungsi lahan tebu Menjadi Lahan Kelapa Sawit di PT. Perkebunan Nusantara II Unit Kebun Tandem, dibimbing oleh Ibu Ir. Iskandarini MM, dan Bapak Rulianda Purnomo Wibowo, SP, M.Ec.

Alih fungsi lahan dilakukan salah satunya karena faktor ekonomi. Faktor ekonomi yang menentukan alih fungsi lahan adalah nilai kompetitif komoditi yang dihasilkan terhadap komoditi lain. Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh penulis, tingkat pendapatan usahatani kelapa sawit lebih menguntungkan daripada usahatani tebu.

Penentuan daerah penelitian dilakukan secara purposive, yaitu daerah dipilih sesuai dengan tujuan penelitian dengan pertimbangan tertentu. Data yang dikumpulkan adalah data sekunder. Metode analisis yang digunakan adalah analisis pendapatan dan analisis finansial (NPV, Net B/C dan IRR). Dari hasil penelitian diperoleh:

1. Faktor-faktor yang mempengaruhi alih fungsi lahan tebu menjadi lahan kelapa sawit di daerah penelitian adalah tingkat pendapatan usahatani tebu dan tingkat pendapatan usahatani kelapa sawit.

2. Tingkat pendapatan usahatani tebu di deaerah penelitian mengalami kerugian sebesar Rp. 5.029.220,- per hektar per musim tanam..

3. Tingkat pendapatan usahatani kelapa sawit di deaerah penelitian menguntungkan yaitu sebesar Rp. 13.243.267,- per hektar per tahun..

4. Usahatani kelapa sawit di daerah penelitian layak diusahakan secara finansial, dengan nilai Net B/C adalah sebesar 2,88, nilai NPV sebesar Rp. 80.580.190 dan nilai IRR sebesar 23,9 %.


(14)

BAB I PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Perkebunan merupakan sistem perekonomian pertanian komersial yang bercorak kolonial. Sistem perkebunan ini dibawa oleh perusahaan kapitalis asing (pada jaman penjajahan) yang sebenarnya merupakan sistem perkebunan Eropa. Perkebunan merupakan bagian dari sistem perekonomian pertanian komersial yang diwujudkan dalam bentuk usaha pertanian tanaman komersial dalam skala besar dan kompleks yang bersifat padat modal, menggunakan lahan yang luas, memiliki organisasi tenaga kerja yang besar dengan pembagian kerja yang rinci, menggunakan teknologi modern, spesialisasi, sistem administrasi dan birokrasi serta pemasaran yang baik (Pahan, 2008).

Ada beberapa jenis tanaman perkebunan yang banyak dibudidayakan di Indonesia yang terbagi atas tanaman semusim dan tanaman tahunan. Salah satu tanaman perkebunan semusim yang dibudidayakan pada masa penjajahan hingga sekarang adalah tanaman tebu.

Di Sumatera Utara sendiri terdapat beberapa perkebunan tebu yang cukup luas, baik itu perkebunan tebu milik rakyat maupun milik negara. PT. Perkebunan Nusantara II (PTPN II) merupakan salah satu Badan Usaha Milik Negara, yang mengusahakan tanaman tebu sebagai tanaman perkebunan.


(15)

Pertanaman tebu di Provinsi Sumatera Utara dikelola oleh PTPN II. Yaitu dengan lokasi penanaman di wilayah pabrik gula Sei Semayang Kabupaten Deli Serdang dan di wilayah pabrik gula Kwala Madu Kabupaten Langkat dengan proporsi tebu rakyat sebesar 8,52 % (Dinas Perkebunan Sumatera Utara, 2008).

Budidaya tanaman tebu yang diusahakan oleh PTPN II dimulai sejak tahun 1983. Tanaman tebu yang diusahakan oleh PTPN II terbagi dalam dua macam yaitu sebagai tanaman konversi dan tanaman rotasi. Tanaman konversi adalah sebagian lahan tembakau deli yang dialihfungsikan untuk budidaya tanaman tebu yang secara terus menerus ditanam disuatu areal, sedangkan tanaman rotasi adalah penanaman tebu yang ditanam disaat tanaman tembakau deli telah selesai dipanen. Dan rotasi yang dijalankan dilahan tembakau deli adalah setiap 5 tahun (Febrianto, 2006).

Beberapa tahun terakhir produksi dan produktivitas gula PTPN II Sumatera Utara masih berfluktuatif pada tingkat produktivitas dibawah normal. Jika mencermati perkembangan produksi selama 20 tahun giling (1983-2002), rendahnya produksi terjadi sejak tahun giling 1999, rataan produktivitas hablur yang dihasilkan hanya mencapai 4,6 ton per ha (Dinas Perkebunan Sumatera Utara, 2008).


(16)

Tabel. 1 Pengembangan Tebu di Provinsi Sumatera Utara Tahun 2005 s/d 2009 .

NO Tahun Pengusahaan Tebu

Luas (Ha) Produksi Tebu (Ton)

Rendemen (%)

Produksi Hablur (Ton) 1 Tahun

2005 TS TR 13.409,4 736,0 1.146.332,2 44.160.0 6,75 6,75 77.377,424 2.980,800 Jumlah 1

- 14.145,4 1.190.492.2 - 80.358,224

2 Tahun 2006 TS TR 12.366,16 588,36 853.344,06 33.441,48 5,70 5,70 48.726,915 2.146,085 Jumlah 2

- 12.954,52 886.785,540 - 50.873,000

3 Tahun 2007 TS TR 11.797,6 655,9 657.353,14 39.510,85 6,0 6,0 40.755,89 2.449,67 Jumlah 3

12.452,5 696.863,99 - 43.205,57

4 Tahun 2008 TS TR 12.827 808 890.835,22 52.489 6,00 6,00 60.131,8 3.546,56 Jumlah 4

13.635 943.324,22 63.678,36

5 Tahun 2009 TS TR 7.277,51 1.308,92 424.329,48 67.081,91 6,06 6,06 25.711,95 4.060,98 Jumlah 5

- 8.585,93 491.348,39 - 29.772,92 Sumber : Dinas Perkebunan Sumatera Utara, 2005-2009


(17)

Dari tabel diatas, dapat dilihat bahwa luas perkebunan tebu PTPN II (yang ditandai dengan TS) terus mengalami penurunan. Pada tahun 2008 luas perkebunan tebu PTPN II sempat mengalami kenaikan, akan tetapi pada tahun 2009 luas perkebunan tebu PTPN II mengalami penurunan yang cukup besar sebesar 5.500 Hektar. Penurunan areal perkebunan tebu ini dikarenakan adanya alih fungsi lahan menjadi lahan perkebunan kelapa sawit.

Selain itu, dari tabel juga dapat dilihat bahwa produktivitas tebu PTPN II dapat dikatakan menurun. Dari tahun 2005 – 2009, angka produktivitas menunjukkan angka sebesar 85,5 ton, 69 ton, 55,7 ton, 69,5 ton, dan 58 ton per Ha nya.

Penurunan produktivitas antara lain disebabkan faktor baku teknis budidaya yang tidak pernah tercapai. Artinya, pelaksanaan budidaya dilapangan belum sesuai dengan pedoman budidaya. Faktor lain yang menonjol adalah proporsi tanaman keprasan yang cukup besar, dominasi varietas tebu lama yang telah mengalami degradasi genetik dan dikepras berulang-ulang serta sudah tidak murni lagi. Sehingga untuk kembali dapat meningkatkan produktivitasnya maka harus dilakukan program rehabilitasi tanaman yang terencana dengan menanam varietas-varietas tebu unggul.

Beberapa karakteristik yang melekat pada tanaman tebu dapat menjadi pendorong dan penghambat dalam pengembangan tebu. Karakteristik tebu yang dapat menjadi pendorong antara lain : (1) tebu mempunyai fleksibilitas tinggi terhadap kondisi lingkungan sehingga dapat dibudidayakan dalam berbagai kondisi lahan, relatif rentan terhadap hama penyakit, (2) tebu memiliki pilihan yang luas dalam pengembangan produk-produknya. Sedangkan karakteristik tebu yang menjadi


(18)

penghambat adalah pada pengelolaan yang lebih sulit dan biaya tebang, muat dan angkut yang lebih besar. Disamping itu perbandingan bobot tebu dengan nilai per unit bobotnya lebih rendah. Tebu bersifat cepat mudah rusak. Rendemen yang telah mencapai kemasakan optimal akan cepat menurun, sehingga jika ada hambatan pada saat penebangan maupun pengolahan mengakibatkan terjadi pengurangan kadar gula yang dihasilkan.

(Dinas Perkebunan Sumatera Utara, 2008).

Karakteristik penghambat dalam pengembangan tebu diatas merupakan salah satu alasan terjadinya alih fungsi lahan tebu. Dan tanaman kelapa sawit merupakan tanaman pengganti tanaman tebu di PTPN II.

Maraknya penanaman kelapa sawit di Indonesia dikarenakan tanaman ini merupakan bibit minyak paling produktif di dunia. Tanaman kelapa sawit yang setiap harinya membutuhkan 4 liter air untuk tumbuh dengan baik, dapat diolah menjadi sumber energi alternatif seperti biofuel. Selain itu, kelapa sawit mempunyai banyak kegunaan lain yaitu sebagai bahan kosmetik, bahan makanan seperti mentega, minyak goreng dan biskuit. Kelapa sawit juga merupakan bahan baku sabun dan deterjen. Nilai ekonomis kelapa sawit yang tinggi membuat permintaan bibit tanaman ini terus meningkat. Indonesia adalah produsen dan konsumen benih kelapa sawit terbesar di dunia dengan total konsumsi 170 juta benih dari total 280 juta bibit. Indonesia bersama Malaysia menjadi pemasok utama kebutuhan kelapa sawit dunia dengan pasokan sebesar 85% dari total kebutuhan kelapa sawit dunia. Menurut catatan greenpeace, seluas 28 juta hektar hutan Indonesia sejak tahun 1990 telah beralihfungsi menjadi kebun kelapa sawit.


(19)

Permintaan akan tanaman ini, diperkirakan akan meningkat dua kali lipat pada tahun 2030 dan tiga kali lipat pada tahun 2050 dibandingkan tahun 2000 (Kompas, 2008).

Sejak dikembangkannya tanaman kelapa sawit di Indonesia pada tahun 60-an, luas areal perkebunan kelapa sawit mengalami perkembangan yang sangat pesat. Bila pada 1967 Indonesia hanya memiliki areal perkebunan kelapa sawit seluas 105.808 hektar, pada 1997 telah membengkak menjadi 2,5 juta hektar. Pertumbuhan yang pesat terjadi pada kurun waktu 1990-1997, dimana terjadi penambahan luas areal tanam rata-rata 200.000 hektar setiap tahunnya, yang sebagian besar terjadi pada perkebunan swasta.

Areal penanaman kelapa sawit Indonesia terkonsentrasi di lima propinsi yakni Sumatera Utara, Riau, Kalimantan Barat, Sumatera Selatan, Jambi dan Aceh. Areal penanaman terbesar terdapat di Sumatera Utara (dengan sentra produksi di Labuhan Batu, Langkat, dan Simalungun) dan Riau. Pada 1997, dari luas areal tanam 2,5 juta hektar, kedua propinsi ini memberikan kontribusi sebesar 44%, yakni Sumatera Utara 23,24% (584.746 hektar) dan Riau 20,76% (522.434 hektar). Sementara Kalimantan Barat, Sumatera Selatan, Jambi dan Aceh masing-masing memberikan kontribusi 7% hingga 9,8%, dan propinsi lainnya 1% hingga 5% (Prasetyani dan Miranti, 2004).


(20)

1.2. Identifikasi Masalah

1. Faktor-faktor apa saja yang mempengaruhi alih fungsi lahan tebu menjadi lahan kelapa sawit di daerah penelitian?

2. Bagaimana analisis tingkat pendapatan tebu di daerah penelitian?

3. Bagaimana analisis tingkat pendapatan kelapa sawit di daerah penelitian? 4. Bagaimana analisis kelayakan usahatani kelapa sawit secara finansial di

daerah penelitian?

1.3. Tujuan Penelitian

Adapun tujuan dari penelitian ini adalah sebagai berikut:

1. Untuk mengidentifikasi faktor-faktor yang mempengaruhi alih fungsi lahan tebu menjadi lahan sawit di daerah penelitian

2. Untuk menganalisis tingkat pendapatan komoditi tebu di daerah penelitian 3. Untuk menganalisis tingkat pendapatan komoditi kelapa sawit di daerah

penelitian

4. Untuk menganalisis kelayakan usahatani kelapa sawit secara finansial di daerah penelitian


(21)

1.4. Kegunaan Penelitian

1. Sebagai bahan informasi bagi pihak-pihak yang terkait dalam pengembangan perkebunan tebu dan kelapa sawit

2. Sebagai bahan informasi bagi para pengambil keputusan dalam peningkatan produksi komoditi tebu dan kelapa sawit

3. Sebagai salah satu syarat dalam menempuh ujian sarjana di Fakultas Pertanian USU Medan.


(22)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Tinjauan Pustaka

Konflik kepentingan yang cukup dilematis dihadapi pemerintah dalam kaitannya dengan alih fungsi lahan pertanian. Di satu pihak, pemerintah daerah berkewajiban untuk mempercepat laju pertumbuhan ekonomi melalui pengembangan sektor-sektor industri, jasa, dan properti. Namun di lain pihak, pemerintah juga harus memberikan perhatian terhadap upaya mempertahankan/menjaga keberadaan lahan-lahan pertanian untuk kelestarian produksi pertanian (Widjanarko, Moshedayan, Bambang, dan Putu, 2010).

Pemerintah Provinsi Sumatera Utara (Sumut) sendiri mengawasi ketat lahan-lahan pertanian untuk menekan terjadinya alih fungsi (konversi) lahan di daerah itu yang menunjukkan peningkatan setiap tahun. Sejak 2007-2008, konversi lahan pertanian di Sumut tumbuh sekitar 4,2 persen. Luas lahan sawah berpengairan yang beralih fungsi pada tahun 2006 mencapai 280.847 hektar dan tahun 2008 mencapai 278.560 hektar. Sementara, lahan tadah hujan tak berpengairan yang sudah beralih fungsi tahun 2006 seluas 211.975 hektar dan sebanyak 193.454 hektar tahun 2007. Adapun alih fungsi terbesar terjadi di Kabupaten Asahan atau mencapai 6.800 hektar, disusul Nias 6.700 hektar, Serdang Bedagai 2.300 hektar dan Langkat 1.400 hektar. Lahan pertanian tersebut dialihkan ke tanaman keras dan kawasan pemukiman (Portal Nasional, 2009).


(23)

Kelapa sawit merupakan salah satu jenis tanaman keras yang banyak menjadi fokus pengalihan lahan pertanian lainnya. Hal ini dikarenakan kelapa sawit memiliki prospek dan nilai ekonomi yang tinggi.

Akan tetapi, laju pertumbuhan perkebunan kelapa sawit di Indonesia telah sampai pada taraf yang mengkhawatirkan dan mengancam kelestarian lingkungan. Alih fungsi lahan ini terjadi pada hutan, lahan gambut, area pertanian, rawa dan daerah pasang surut. Pembukaan lahan kelapa sawit di Kalimantan Barat dilakukan dengan cara membakar hutan. Asap yang dihasilkan dari pembakaran berkontribusi dalam peningkatan emisi gas rumah kaca di atmosfer. Selain karena biaya murah, pembakaran hutan dilakukan karena bisa menaikkan Ph tanah sampai 5-6 sehingga cocok untuk ditanami kelapa sawit (Kompas, 2008).

Berbeda dengan Kalimantan Barat, alih fungsi lahan di Kabupaten Indragiri Hilir, Propinsi Riau terjadi pada lahan pertanian. Petani lebih memilih menanam kelapa sawit karena tanaman ini lebih menguntungkan. Namun, tanah yang telah ditanami kelapa sawit tidak bisa lagi dijadikan persawahan dan ditanami padi karena komposisi tanahnya telah berubah. Sama halnya dengan petani di Indragiri Hilir, para penanam karet di Kabupaten Labuhan Batu, Sumatera Utara mengganti tanamannya ke kelapa sawit karena tanaman ini lebih menguntungkan daripada karet. Di propinsi Jambi, alih fungsi lahan pertanian ke perkebunan kelapa sawit terjadi di daerah pasang surut di kecamatan Sabak Timur, Rantau Rasau, dan Nipah Panjang kabupaten Jabung Timur. Luas perkebunan kelapa sawit di ketiga daerah tersebut pada tahun 2006 mencapai 10.000 hektar (Kompas, 2008).


(24)

Beberapa penelitian lingkup mikro menunjukkan harga lahan, aktivitas ekonomi suatu wilayah, pengembangan pemukiman dan daya saing produk pertanian merupakan faktor-faktor ekonomi yang menentukan konversi lahan sawah. Sementara itu dalam lingkup makro, konversi lahan sawah berkolerasi positif dengan pertumbuhan PDB dan berkolerasi negatif dengan nilai tukar petani (Ilham, Yusman, dan Supena, 2009).

Menurut penelitian yang dilakukan oleh Memberita Ginting (2005) di Desa Munte Kabupaten Karo, alih fungsi lahan di daerah tersebut mulai terjadi Tahun 1997, hal ini terkait dengan keadaan kemarau panjang yang menyebabkan kekeringan secara keseluruhan di wilayah Indonesia. Persentase luas lahan yang mengalami alih fungsi dari padi sawah ke non padi sawah sekitar 38,65% dari seluruh luas lahan yang dimiliki petani. Alasan petani melakukan alih fungsi lahan terutama akibat penurunan debit air, disamping faktor lain seperti penurunan atau tidak sesuainya harga jual komoditi padi sawah maupun komoditi non padi sawah.

Hasil penelitian yang dilakukan oleh Peruhuman Daulay (2003) di Desa Batu Tunggal Kabupaten Labuhan Batu menyatakan bahwa usahatani kelapa sawit lebih menguntungkan dibandingkan dengan usahatani karet, dan faktor-faktor yang memotivasi petani mengkonversi lahan karet ke kelapa sawit adalah 70% didominasi oleh faktor coba-coba mengikuti orang lain dan selebihnya disebabkan faktor lain.

Alih fungsi lahan juga terjadi di PT. Perkebunan Nusantara II Unit Kebun Tandem yang melaksanakan alih fungsi lahan tebu menjadi lahan kelapa sawit. Tanaman tebu sendiri merupakan salah satu tanaman perkebunan yang banyak


(25)

diusahakan di Sumatera Utara. Pengelolaan tanaman tebu di Sumatera Utara dilakukan oleh rakyat dan negara. Budidaya tanaman tebu di Indonesia yang dilakukan oleh rakyat sudah dilakukan sejak zaman penjajahan Belanda yang dinaungi oleh VOC yang merupakan persekutuan dagang Belanda. Sedangkan pengembangan tanaman tebu di Sumatera Utara oleh rakyat sudah dilakukan sejak tahun 80-an. Dan pengembangan budidaya tebu oleh negara di Sumatera utara dilakukan PTPN II dimulai sejak tahun 1983. Pengembangan tebu ini didasarkan atas percobaan penanaman tebu di lahan tembakau oleh Proyek Pengembangan Industri Gula (PPIG) yang dimulai pada tahun 1975, yang kemudian banyak diikuti oleh petani setempat (PTPN II, 2009)

Pengembangan tanaman tebu ini kemudian didukung dengan adanya pembangunan pabrik gula pada tahun 80-an , yaitu pabrik gula Kwala Madu dan Pabrik gula Sei Semayang. Dari tahun tersebut sampai saat ini hanya dua pabrik gula tersebut yang ada di Sumatera Utara, yang kedua-duanya dimiliki oleh PTPN II. Hal ini mengharuskan rakyat menjual produksi tebu mereka kepada PTPN II (PTPN II, 2009)

Bukan itu saja, ternyata banyak petani tebu di Sumatera Utara tidak memiliki lahan sendiri. Para petani tebu ini menyewa lahan PTPN II untuk ditanami tebu dengan persentase sebesar 95,6% dari total luas tebu rakyat, dengan sistem sewa senilai Rp. 1.500.000 / tahun tanam (Dinas Perkebunan, 2010)

Ketergantungan rakyat terhadap PTPN II menjadi alasan mengapa masih dipertahakannya tanaman tebu di PTPN II. PTPN II banyak membantu petani dalam hal pemberian bantuan bibit unggul, penyediaan lahan tebu (sewa) serta


(26)

dalam hal pengolahan tebu. Bayangkan saja jika PTPN II melakukan alih fungsi seluruh lahan tebu mereka, ini akan menyebabkan petani tebu akan kehilangan mata pencaharian mereka karena 95,6 % lahan yang digunakan oleh petani adalah lahan PTPN II dan pabrik gula di PTPN II otomatis juga ditutup dan digantikan dengan pabrik kelapa sawit. Selain itu, produksi gula di Sumatera Utara akan mengalami penurunan yang mengacu pada peningkatan harga gula. Ini membuat para pembuat keputusan di PTPN II mengalami dilema. Disatu pihak mereka ingin meningkatkan keuntungan perusahaan, tetapi dilain pihak mereka juga harus membantu petani yang bergantung pada mereka. Jadi, meskipun mengalami kerugian dalam hal budidaya tebu, PTPN II tetap akan mempertahankan pengusahaan tanaman tebu mereka mengingat banyaknya masyarakat yang bergantung pada PTPN II dan salah satu cara agar kerugian tersebut tertutupi adalah dengan pengusahaan tanaman kelapa sawit.

Adapun perjanjian kemitraan usaha antara petani tebu dan pabrik gula menurut Pusat Penelitian Perkebunan Gula Indonesia (P3GI) adalah sebagai berikut:

Spesifikasi

Perjanjian kredit yang dimaksud terdiri atas beberapa pasal yang dalam addendumnya disertai dengan beberapa dokumen sebagai pengaman penyaluran kredit dan pengembaliannya, baik dalam bentuk pokok pinjaman, bunga, serta bahan baku tebu yang harus dipasok ke pabrik gula. Manfaat

1. Memastikan pasok bahan baku ke pabrik gula.

2. Mengamankan penyaluran kredit baik berupa kredit program maupun kredit komersial.


(27)

3. Meningkatkan produktivitas usahatani tebu dan minat petani menanam tebu serta melestarikan hubungan usaha antara petani tebu dan pabrik gula.

Target Pengguna

Pabrik gula yang sebagian besar pasok bahan bakunya tergantung pada tebu rakyat.

Adapun sistem pembelian tebu menurut Pusat Penelitian Perkebunan Gula Indonesia (P3GI) oleh pabrik gula dari petani adalah berdasarkan nilai nira perahan pertama(npp).

Spesifikasi

Secara teknis sistem pembelian tebu dilaksanakan dengan cara : - mengukur nilai nira perahan pertama

- menentukan harga tebu berdasarkan nilai nira perahan pertama - pembayaran tebu berdasarkan harga tebu.

Manfaat

Untuk memberi nilai tebu petani berdasarkan mutu tebu secara cepat, akurat dan individual.

Target Pengguna

Pabrik gula yang mengalami masalah dalam menentukan mutu tebu rakyat.


(28)

Menurut Dinas Perkebunan Sumatera Utara (2010) mahalnya biaya produksi dalam hal usahatani tebu dan kurang bersahabatnya iklim di Sumatera Utara menjadi penyebab menurunnya tingkat produksi gula. Jika ditinjau dari sisi petani, menurut Dinas Perkebunan Sumatera Utara, permasalahan yang dihadapi oleh petani tebu di Sumatera Utara mencakup:

1. Keterbatasan pendanaan / modal petani untuk pengembangan dan pengelolaan budidaya tanaman tebu baru (plant cane) dan pemeliharaan tanaman tebu keprasan (ratoon) mengakibatkan pengelolaan budidaya tanaman tebu menjadi tidak optimal / tidak mengikuti sistem budidaya tebu yang baku.

2. Keterbatasan areal / lahan pertanaman. Kondisi saat ini menunjukkan bahwa persentase lahan tebu rakyat seluas 762,5 Ha (95,6%) menggunakan lahan HGU PTPN II dengan sistem sewa senilai Rp. 1.500.000,- / tahun tanam.

3. Tingginya proporsi tanaman keprasan (ratoon) sebesar 58% dibandingkan dengan plant cane yang hanya 42%.

4. Bibit tanaman tebu yang digunakan oleh petani tebu pada umumnya belum sepenuhnya berasal dari kebun bibit berjenjang / KBD (kebun bibit datar) varietas unggul yang disesuaikan dengan hasil penataan varietas sesuai dengan tipologi wilayah pertanaman tetapi sebagian besar berasal dari hasil tanaman keprasan kebun produksi sehingga produksinya menjadi rendah.


(29)

5. Pada tahun panen 2010, operasional penggilingan tebu hanya pada pabrik gula Kwala Madu. Hal tersebut akan berdampak pada peningkatan biaya tebang muat dan angkut petani.

6. Kelembagaan petani tebu yang masih memerlukan pembinaan dan pendampingan dalam melaksanakan budidaya dan manajemen tebang muat angkut.

7. Koperasi tebu rakyat masih belum profesional dalam mengelola dana untuk perawatan dan pengembangan tebu rakyat.

Menyadari permasalahan diatas, diperlukan langkah-langkah strategis untuk mempertahakan eksistensi pertanaman tebu rakyat di provinsi Sumatera Utara. Menurut Dinas Perkebunan Sumatera Utara, adapun langkah-langkah strategisnya adalah:

1. Konsolidasi areal

Konsolidasi areal ini diarahkan pada pengembangan areal potensial dengan melibatkan masyarakat petani disekitar pabrik gula melalui sistem kemitraan, perluasan lahan HGU dan penerapan sistem sewa lahan.

2. Rehabilitasi tanaman keprasan

Rehabilitasi tanaman keprasan (ratoon) dengan menggunakan varietas unggul baru sesuai tipologi wilayah. Guna menjamin berjalannya program rehabilitasi tanaman maka kebijakan pengeprasan dibatasi maksimum RC 3 (ratoon cane 3). Artinya, tanaman keprasan yang diperbolehkan hanya sampai ratoon 3.


(30)

3. Penyediaan bibit bermutu

Optimalisasi potensi varietas yang disesuaikan dengan kesesuaian tipologi dan sifat / perilaku kemasakan. Untuk Sumatera Utara, kategori kemasakan varietas yang optimum adalah masak awal (A) dan awal tengah (AT).

4. Peningkatan mutu budidaya - Teknik budidaya

Perbaikan teknik budidaya sesuai dengan sistem budidaya baku / rasional.

- Penyediaan saprodi dan pendanaan

Penyediaan saprodi memenuhi kaidah 5 tepat, yaitu tepat jenis, jumlah, waktu, tempat dan dosis / cara pemberiannya.

5. TMA (tebang muat dan angkut) - Tebang berdasarkan kemasakan - Analisis rendemen individu 6. Peningkatan kinerja pabrik

- Ketebukaan

Dalam rangka pelaksanaan tata kelola perusahaan yang baik (good corporate governance), PG (pabrik gula) diharapkan dapat lebih transparan dan fair dalam melaksanakan penggilingan dan penetapan rendemen tebu milik petani / mitra kerjanya. Selain itu, peningkatan kinerja pabrik dengan mengacu pada hasil-hasil penelitian dan minat petani untuk menanam tebu.


(31)

Untuk meningkatkan efisiensi pabrik maka diperlukan upaya-upaya: - pemenuhan kapasitas giling secara berkesinambungan.

- perbaikan kualitas bahan baku melalui rehabilitasi tanaman keprasan, penerapan kaidah MBS (manis, bersih dan segar) secara ketat pada saat panen.

- pelaksanaan Preventif Maintenance Programme (PMP) peralatan pabrik secara konsisten untuk menekan jam berhenti giling dan kehilangan gula dalam proses.

7. Peningkatan kualitas sumber daya manusia

- melakukan pelatihan, inhouse training, peningkatan peran KPTR ( koperasi petani tebu rakyat) dan APTR ( asosiasi petani tebu rakyat) untuk meningkatkan pengetahuan, keterampilan individu, dan profesionalisme untuk membangun rasa kebersamaan dan team work yang tangguh.

- meningkatkan pola kemitraan terintegrasi antara perusahaan gula, petani, dan instansi pendukung.

Di Sumatera Utara sendiri, untuk mencapai swasembada gula, menurut Dinas Perkebunan Provinsi Sumatera Utara (2010) diperlukan areal pengembangan lahan seluas 35.000 Ha dengan penambahan pabrik gula sejumlah 1 unit yang berkapasitas 6000-8000 TCD (Ton Cane Day). Untuk itu, diharapkan peranan PTPN II untuk dapat melaksanakan pengembangan areal tebu dan melaksanakan revitalisasi manajemen dan operasional pabrik gula Kwala Madu dan pabrik gula Sei Semayang. Ini dikarenakan pada manajemen, industri gula mengalami permasalahan mulai di tingkat perkebunan dan pabrik gula. Permasalahan yang


(32)

terjadi pada tingkat perkebunan akan menimbulkan permasalahan pada tingkat pabrik dan sebaliknya sehingga untuk dapat meningkatkan produksi gula tebu, perbaikan yang dilakukan tidak hanya di perkebunan atau pabrik saja, tetapi harus dilakukan mulai dari perkebunan sampai ke pabrik. Pelaksanaan pengembangan tanaman tebu dimaksud diharapkan dapat melibatkan petani dan stake holder terkait dalam pengelolaannya.

2.2. Landasan Teori

Proses alih fungsi lahan secara langsung dan tidak langsung ditentukan oleh dua faktor, yaitu: (i) sistem kelembagaan yang dikembangkan oleh masyarakat dan pemerintah, dan (ii) sistem non-kelembagaan yang berkembang secara alamiah dalam masyarakat, misalnya faktor sosial yang berkembang dimasyarakat. Sistem kelembagaan yang dikembangkan oleh masyarakat dan pemerintah antara lain direpresentasikan dalam bentuk terbitnya beberapa peraturan mengenai konversi lahan.

Ada beberapa faktor yang menyebabkan terjadinya konversi lahan, yaitu: 1. faktor ekonomi

2. faktor sosial, dan

3. peraturan pertanahan yang ada.

Faktor ekonomi yang menentukan alih fungsi lahan adalah nilai kompetitif komoditi yang dihasilkan terhadap komoditi lain yang menurun dan adanya peningkatan respon petani atau pengusaha perkebunan terhadap dinamika pasar,


(33)

lingkungan dan dayasaing usahatani yang pada akhirnya akan merujuk pada tingkat biaya dan pendapatan yang dihasilkan (Ilham et al, 2009).

Biaya pada usahatani biasanya diklasifikasikan menjadi dua, yaitu biaya tetap yang didefenisikan sebagai biaya yang relative tetap jumlahnya dan terus dikeluarkan walaupun produksi yang diperoleh banyak atau sedikit, dan biaya tidak tetap yang didefenisikan sebagai biaya yang besar kecilnya dipengaruhi oleh produksi yang diperoleh. Sedangkan pendapatan adalah total penerimaan dikurangi total biaya produksi. Suatu usahatani dikatakan menguntungkan jika total penerimaan lebih besar dari total biaya produksi (Soekartawi, 1995).

Sedangkan biaya investasi untuk pembangunan kebun kelapa sawit biasanya di kelompokkan menjadi:

1. Biaya investasi tanaman (pembukaan lahan, pembuatan infrastruktur jalan, parit, teras dan biaya sampai dengan tanaman menghasilkan), 2. Biaya investasi non tanaman (rumah, mesin, instalasi pembibitan),

serta

3. Biaya investasi pabrik kelapa sawit dan jembatan permanent untuk menggantikan jembatan sementara yang dibangun dengan kayu bulat pada saat pembukaan kebun (Pahan, 2008).

Dalam bidang sosial, ada 5 faktor yang mempengaruhi alih fungsi lahan yaitu: perubahan perilaku, hubungan pemilik dengan lahan, pemecahan lahan, pengambilan keputusan, dan apresiasi pemerintah terhadap aspirasi masyarakat. Dua faktor terakhir berhubungan dengan system pemerintahan. Dengan asumsi


(34)

pemerintah sebagai pengayom dan abdi masyarakat, seharusnya dapat bertindak sebagai pengendali terjadinya alih fungsi lahan (Ilham et al, 2009).

Sedangkan peraturan pertanahan yang ada berfungsi untuk mengendalikan konversi lahan pertanian ke non pertanian. Pengaturan ini bertujuan untuk memberikan manfaat yang sebesar-besarnya bagi perkembangan perekonomian pada umumnya. Dari 12 peraturan yang ada tersebut sebagian besar (sembilan peraturan) membahas tentang larangan alih fungsi lahan sawah beririgasi teknis ke penggunaan non pertanian. Tiga peraturan lainnya membahas tentang lahan subur,

pemanfaatan lahan kosong dan batasan luas lahan untuk izin usaha (Ilham et al, 2009).

PTPN II selaku perusahaan yang melakukan alih fungsi lahan tebu menjadi lahan kelapa sawit, tentunya sudah memperhitungkan dan mengevaluasi analisis kelayakan usaha kelapa sawit secara finansial. Untuk melihat layak atau tidaknya suatu usaha (dalam hal ini usaha perkebunan kelapa sawit), digunakan kriteria investasi. Kriteria investasi yang sering digunakan adalah:

1. Net Present Value (NPV)

Net Present Value adalah kriteria investasi yang banyak digunakan dalam mengukur apakah suatu proyek layak atau tidak. Perhitungan NPV merupakan net benefit yang telah didiskon dengan menggunakan Social Opportunity Cost of Capital sebagai discount factor. Suatu usaha dikatakan layak jika NPV > 0


(35)

2. Internal Rate of Return (IRR)

Internal Rate of Return (IRR) adalah suatu tingkat discount rate yang menghasilkan NPV sama dengan nol. Jika IRR > Social Opportunity Cost of Capital dikatakan bahwa usaha tersebut layak.

3. Net Benefit Cost Ratio (Net B/C)

Net Benefit Cost Ratio merupakan perbandingan antara net benefit yang telah di discount positif (+) dengan net benefit yang telah di discount negatif (-). Jika Net B/C > 1 maka dapat dikatakan usaha tersebut layak untuk dikerjakan

(Ibrahim, 2009).

2.3. Kerangka Pemikiran

Dalam rangka memperoleh pendapatan yang lebih baik, para pengusaha perkebunan melakukan berbagai macam cara. Salah satunya adalah dengan melakukan alih fungsi lahan perkebunan dari lahan tanaman semusim menjadi lahan tanaman tahunan, seperti yang dilakukan oleh PTPN II yang melakukan alih fungsi lahan tebu menjadi lahan kelapa sawit.

Ada beberapa faktor yang mempengaruhi alih fungsi lahan tebu menjadi lahan kelapa sawit, diantaranya biaya yang tinggi (meliputi biaya investasi awal, biaya pemeliharaan dan biaya pengangkutan dan panen), produktivitas yang semakin menurun, rendemen yang hanya sekitar 6% yang dilihat dari sisi tanaman tebu itu sendiri. Sedangkan jika dilihat dari sisi tanaman kelapa sawit, produktivitas, rendemen (sekitar 20%-23%), harga kelapa sawit serta permintaan kelapa sawit


(36)

yang cukup tinggi menjadi alasan alih fungsi lahan tebu menjadi lahan kelapa sawit.

Kemudian dihitung total biaya produksi dan penerimaan dari tanaman tebu dan tanaman kelapa sawit yang diusahakan. Dari hasil perhitungan, akan didapat apakah usahatani tebu yang diusahakan PTPN II kurang menguntungkan dan apakah pengusahaan tanaman kelapa sawit layak dilaksanakan.


(37)

Keterangan : : Menyatakan Proses : Menyatakan Hubungan

Tebu Kelapa Sawit

Proses Output K.Sawit Input

Proses Output Tebu

Penerimaan Biaya

Penerimaan

Alih Fungsi Lahan Tebu menjadi Lahan Kelapa Sawit

• Biaya

• Produktivitas tebu • Harga tebu

• Rendemen gula • Permintaan gula

• Biaya

• Produktivitas Kelapa Sawit • Harga Kelapa Sawit

• Rendemen Kelapa Sawit • Permintaan Kelapa sawit

Input

Biaya

Pendapatan Pendapatan


(38)

2.4. Hipotesis Penelitian

1. Tingkat pendapatan komoditi tebu di daerah penelitian tidak baik, dimana total costnya lebih besar dari total revenue atau TC > TR

2. Tingkat pendapatan komoditi kelapa sawit di daerah penelitian baik, dimana total revenuenya lebih besar dari total cost atau TR > TC

3. Usahatani kelapa sawit yang diusahakan di daerah penelitian adalah usaha yang layak secara finansial, dimana IRR > tingkat suku bunga yang berlaku.


(39)

BAB III

METODOLOGI PENELITIAN

3.1. Metode Penentuan Daerah Penelitian

Metode penentuan daerah sampel dilakukan secara purposive yaitu teknik penentuan sampel berdasarkan pertimbangan tertentu. Daerah yang dijadikan daerah penelitian adalah di PT. Perkebunan Nusantara II unit Kebun Tandem. Pemilihan daerah tersebut dikarenakan PT. Perkebunan Nusantara II unit Kebun Tandem merupakan daerah perkebunan yang melakukan alih fungsi lahan tebu menjadi lahan kelapa sawit.

3.2. Metode Pengumpulan Data

Data yang dikumpulkan dalam penelitian ini adalah data sekunder. Data sekunder adalah data yang diperoleh dari lembaga atau instansi yang terkait dengan penelitian ini.

3.3. Metode Analisis Data

Untuk mengidentifikasi masalah 1 digunakan analisis deskriptif berdasarkan data di daerah penelitian.


(40)

t

t

Untuk mengidentifikasi masalah 2 dan 3 digunakan analisis pendapatan dengan rumus:

TR = Y x Py Dimana

TR = Total Penerimaan Y = Jumlah Produksi Py = Harga Y

Maka, pendapatan usahatani adalah:

Pd = TR – TC Dimana

Pd = Pendapatan Usahatani TR = Total Penerimaan TC = Total Biaya

Untuk mengidentifikasi masalah 4 digunakan analisis Net B/C, Net Present Value (NPV) dan Internal Rate of Return (IRR).

i) /(1 C B i) /(1 C B B/C Net n

0 t t t n 0 t t t

= = + − + − = Dimana:

Bt = benefit social kotor sehubungan dengan proyek tahun t

 Bt - Ct > 0


(41)

Ct = biaya social kotor sehubungan dengan proyek pada tahun t termasuk segala jenis pengeluaran

t = jangka waktu usahatani

i = tingkat suku bunga yang berlaku Analisis Kelayakan

• Net B/C > 1, maka usahatani dikatakan layak. • Net B/C < 1, maka usahatani dikatakan tidak layak.

Net Present Value merupakan selisih antara present value dari benefit dan present value dari biaya .

NPV

=

= n 0 t

Dimana:

Bt = benefit sosial kotor sehubungan dengan proyek tahun t dihitung per hektar per tahun

Ct = biaya sosial kotor sehubungan dengan proyek pada tahun t termasuk segala jenis pengeluaran dihitung per hektar pertahun

t = jangka waktu usahatani

i = tingkat suku bunga yang berlaku Analisis Kelayakan:

• Bila nilai NPV > 0 maka usahatani dikatakan layak.

• Bila nilai NPV = 0 maka usahatani tersebut dapat mengembalikkan sebesar cost of capital.

• Bila nilai NPV < 0 maka usahatani dikatakan tidak layak. (Bt – Ct)


(42)

Dikarenakan umur tanaman kelapa sawit di daerah penelitian yang diteliti baru mencapai umur 3 tahun, jadi untuk menghitung nilai biaya dan penerimaan sampai pada umur ekonomis yaitu 25 tahun, digunakan asumsi potensi produksi tanaman kelapa sawit per Ha. Dibawah ini adalah potensi produksi tanaman kelapa sawit umur 3-25 tahun.

Tabel 2. Potensi Produksi Tanaman Kelapa Sawit Umur 3 – 25 Tahun

Umur (Tahun) Ton TBS / Ha RBT RJT / Pohon

3 9 3,2 21,6

4 15 6 19,2

5 18 7,5 18,5

6 21,1 10 16,2

7 26 12,5 16

8 30 15,1 15,3

9 31 17 14

10 31 18,5 12,9

11 31 19,6 12,2

12 31 20,5 11,6

13 31 21,1 11,3

14 30 22,5 10,3

15 27,9 23 9,3

16 27,1 24,5 8,5

17 26 25 8

18 24,9 26 7,4

19 24,1 27,5 6,7

20 23,1 28,5 6,2

21 21,9 29 5,8

22 19,8 30 5,2

23 18,9 30,5 4,8


(43)

25 17,1 32,4 3,9

Jumlah 553,0 481,8 249,2

Rata-Rata 24,0 20,9 10,8

Sumber : PTPN II Keterangan :

TBS : Tandan Buah Segar (ton/ha/thn) RBT : Rerata Berat Tandan (kg/tandan) RJT : Rerata Jumlah Tandan (kg/pohon)

Internal Rate of return (IRR) adalah suatu tingkat pengembalian investasi yang identik dengan ongkos investasi yang dinyatakan dalam persen. IRR dapat dihitung dengan rumus:

NPV'

IRR = i' + (i'' - i') NPV' - NPV''

Dimana:

i' = nilai sosial discount rate yang pertama i'' = nilai sosial discount rate yang kedua NPV' = nilai net present value yang pertama NPV'' = nilai net present value yang kedua.

Kriteria yang dipakai adalah:

• Bila IRR ≥ tingkat suku bunga berlaku maka usahatani tersebut layak dilaksanakan.

• Bila IRR < tingkat suku bunga berlaku maka usahatani tersebut tidak layak dilaksanakan.


(44)

3.4. Defenisi

1. Alih fungsi lahan tebu menjadi lahan kelapa sawit merupakan kegiatan merubah atau mengganti fungsi lahan yang semula merupakan fungsi lahan tebu menjadi fungsi lahan kelapa sawit.

2. Biaya adalah segala pengeluaran atau ongkos yang dikeluarkan dalam kegiatan usahatani.

3. Produktivitas tebu adalah tingkat produksi tebu yang merupakan hasil dari perbandingan produksi tebu dan luas lahan tebu.

4. Rendemen gula adalah tingkat kandungan gula dalam tebu yang dinyatakan dalam persen.

5. Produktivitas kelapa sawit adalah tingkat produksi kelapa sawit yang merupakan hasil dari perbandingan produksi kelapa sawit dan luas lahan kelapa sawit.

6. Harga kelapa sawit adalah nilai dari komoditi kelapa sawit yang dinyatakan dalam bentuk uang.

7. Harga tebu adalah nilai dari komoditi tebu yang dinyatakan dalam bentuk uang.

8. Rendemen kelapa sawit adalah tingkat kandungan minyak dalam kelapa sawit yang dinyatakan dalam persen.

9. Permintaan kelapa sawit adalah jumlah komoditi kelapa sawit yang diminta oleh pasar.


(45)

10.Permintaan gula adalah jumlah gula yang diminta oleh pasar.

11.Penerimaan usahatani tebu adalah total produksi yang dihasilkan dikali dengan harga komoditi tebu selama musim tanam masa produksi yang dihitung dalam rupiah.

12.Penerimaan usahatani kelapa sawit adalah total produksi yang dihasilkan dikali dengan harga komoditi kelapa sawit selama musim tanam masa produksi yang dihitung dalam rupiah.

13.Pendapatan adalah total penerimaan dikurangi total biaya produksi.

14.Kelayakan adalah penilaian dari gagasan usahatani kelapa sawit yang akan dilaksanakan apakah dapat memberikan manfaat.

3.6. Batasan Operasional

1. Daerah penelitian adalah di PT. Perkebunan Nusantara II unit Kebun Tandem.


(46)

BAB IV

DESKRIPSI DAERAH PENELITIAN

4.1. Profil Singkat Perusahaan

PT. Perkebunan Nusantara II merupakan salah satu dari 3 perusahaan perkebunan milik negara di Sumatera Utara yang merupakan gabungan dari dua perusahaan milik negara, yaitu PT. Perkebunan Nusantara II dan PT. Perkebunan Nusantara IX yang pada mulanya sebagai perusahaan Belanda yang bernama NV. VERENIGDE DELI MAATSCHAPPIJ. Tetapi dengan adanya undang-undang nomor 86 tahun 1958 tentang nasionalisasi, maka perusahaan perkebunan Belanda tersebut dinasionalisasikan pada tanggal 11 Januari 1958.

Dalam rangka lebih meningkatkan efisiensi dan efektivitas Badan Usaha Milik Negara dilingkungan departemen pertanian, maka pemerintah memandang perlu melakukan peleburan perusahaan perseroan PT. Perkebunan IX dengan PT. Perkebunan Nusantara II. Selanjutnya, pada tanggal 11 Maret 1996 kembali diadakan reorganisasi berdasarkan wilayah kerja dimana PT. Perkebunan IX dilebur dan digabungkan menjadi satu dengan PT. Perkebunan Nusantara II dengan nama PT. Perkebunan Nusantara II.


(47)

PTPN II memiliki banyak unit kebun yang tersebar di daerah Sumatera Utara, yaitu terdapat 32 unit kebun, dan salah satunya adalah unit kebun Tandem yang menjadi daerah penelitian, dalam penelitian ini.

Gambar 1. Unit Lokasi Kebun PTPN II

4.2. Letak Geografis Daerah Penelitian

PTPN II unit kebun Tandem terletak di kecamatan Hamparan Perak kabupaten Deli Serdang, sekitar 5 km dari kota Binjai. PTPN II unit kebun Tandem berbatasan dengan:

- Sebelah utara berbatasan dengan kebun Klumpang - Sebelah timur berbatasan dengan kebun Saentis - Sebelah selatan berbatasan dengan Binjai - Sebelah barat berbatasan dengan Langkat


(48)

4.3. Jenis Komoditi

Dahulu, jenis-jenis tanaman perkebunan yang diusahakan oleh PTPN II unit kebun Tandem meliputi :

• Tembakau Deli • Kelapa Sawit • Kakao dan • Tebu

Akan tetapi saat ini, kebun Tandem hanya mengusahakan tanaman tebu dan kelapa sawit.

4.4. Kondisi Lahan

Pada umumnya, jenis tanah yang ada di PTPN II unit kebun Tandem adalah jenis tanah aluvial. Tekstur tanah aluvial adalah liat atau berpasir dengan pH 5 – 6,5. Jenis tanah ini sangat cocok dengan pH untuk tanaman kelapa sawit dibandingkan pH untuk tanaman tebu yaitu sekitar 4 - 6,5 , dengan pH tanah yang optimal sekitar 5 - 6,5. Sedangkan pH untuk tanaman tebu berkisar antara 5,5 – 7,5 dengan PH optimal sekitar 6 - 7,5. Daerah Tandem memiliki hujan rata-rata yaitu 2200 - 2500 mm/tahun dan memiliki lama penyinaran matahari hampir sepanjang hari.


(49)

4.5. Status Luas Areal Kebun

Status areal dan luas tanaman tembakau deli, tebu dan kelapa sawit di kebun Tandem disajikan pada tabel.

Tabel 3. Status areal dan luas tanaman yang dikelola di kebun Tandem

No Status Areal Tahun Luas (Ha)

1. Areal rotasi tembakau 2004/2005 164,00 2. Areal rotasi tembakau 2005/2006 216,00 3. Areal tanaman tebu 2003/2004 622,70 4. Areal bibitan tebu 2004/2005 86,00 5. Areal tanaman kelapa sawit 2003 175,70

6. Areal tanaman jati 2003 36,25

Jumlah luas (Ha) Areal Tanaman 1.300,65 Sumber : PTPN II

Akan tetapi, pada tahun 2010 ini status areal dan luasan tanaman di kebun Tandem terus mengalami perubahan. Hal ini dikarenakan adanya alih fungsi lahan tebu ke lahan kelapa sawit, alih fungsi lahan tembakau ke lahan tebu dan alih fungsi lahan tembakau ke lahan kelapa sawit.


(50)

Tabel 4. Perubahan status areal dan luas tanaman yang dikeloala di kebun Tandem Tahun 2010

No Status Areal Luas (Ha)

1. Areal tanaman tebu 609,2 2. Areal tanaman kelapa sawit (TBM dan TM) 1.013,65

Jumlah Luas (Ha) Areal Tanaman 1.622,85 Sumber : PTPN II

Jadi, jumlah luas areal tanaman yang dikelola oleh PTPN II unit kebun Tandem saat ini mencapai 1.622,85 Ha.

Luas areal lainnya (non-tanaman) di unit kebun Tandem disajikan dalam tabel berikut ini.

Tabel 5. Luas areal lainnya (non-tanaman) di kebun Tandem

No Jenis Penggunaan Luas (Ha)

1. Perumahan kebun, rumah ibadah dan kuburan 196,00

2. Kebun sayur 112,85

3. Areal bangsal 27,00

4. Lapangan olah raga 5,00

5. Jalan, sungai/parit besar 84,00

6. Rawa-rawa 28,00


(51)

8. Lain-lain 600,87 Jumlah Areal Non-Tanaman 1.123,02 Sumber : PTPN II

BAB V

HASIL DAN PEMBAHASAN

Adapun yang diteliti dalam penelitian ini mencakup faktor-faktor apa saja yang mempengaruhi alih fungsi lahan tebu menjadi lahan kelapa sawit, bagaimana tingkat pendapatan tebu didaerah penelitian, bagaimana tingkat pendapatan kelapa sawit di daerah penelitian dan bagaimana analisis kelayakan kebun kelapa sawit secara finansial di daerah penelitian.

5.1. Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Alih Fungsi Lahan Tebu Menjadi Lahan Kelapa Sawit

Analisis dilakukan terhadap faktor-faktor yang mempengaruhi alih fungsi lahan tebu menjadi lahan kelapa sawit. Adapun yang menjadi faktor-faktor tersebut merupakan faktor dari tanaman tebu dan tanaman kelapa sawit.

a. Pendapatan usahatani tebu

Pendapatan usahatani tebu merupakan hasil pengurangan penerimaan dari hasil penjualan produk tebu dengan biaya produksi tanaman tebu. Hasil penjualan dalam bentuk gula SHS (Superior High Sugar) dan bentuk molases (gula tetes). Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan, pendapatan usahatani tebu di daerah penelitian cenderung menurun, bahkan mengalami kerugian. Kerugian ini


(52)

mencapai Rp. 5.029.200,- per Ha per musim tanam. Adapun yang menyebabkan menurunnya tingkat pendapatan dari usahatani tebu ini adalah tingkat rendemen tebu, dan tingginya biaya produksi yang dikeluarkan jika dibandingkan dengan tanaman kelapa sawit.

Tingkat rendemen tebu di daerah penelitian hanya berkisar 6 %. Namun, jika pada musim penghujan, tingkat rendemen ini masih dapat menurun lagi. Tingkat rendemen ini lah yang menentukan produktivias hablur (gula). Semakin rendah tingkat rendemennya, maka semakin rendah pula produktivitas hablurnya dan sebaliknya semakin tinggi tingkat rendemennya, maka semakin tinggi pula tingkat produktivitasnya. Untuk Sumatera Utara sendiri, rata-rata tingkat rendemen tebu hanya berkisar 5%-6 %. Sedangkan di Pulau Jawa, rata-rata tingkat rendemen tebu dirasa cukup tinggi yaitu berkisar antara 7%-8%.

Rendahnya tingkat rendemen ini, bukan hanya disebabkan oleh faktor iklim, tetapi juga dapat disebabkan oleh pengelolaan tebang, muat dan angkut tebu (TMA) yang tidak maksimal. Tebu yang telah dipangkas harus langsung dibawa ke pabrik. Hal ini dilakukan untuk mengantisipasi menurunnya nilai rendemen yang diperoleh. Selain itu, tingkat rendemen tebu ini juga dipengaruhi oleh kualitas pengolahan di pabrik. Kapasitas giling pabrik yang rendah dan mesin pengolahan yang sudah tua akan menurunkan tingkat rendemen tebu, karena tebu yang telah dipanen harus menunggu waktu olah. Untuk itu, juga diperlukan revitalisasi pabrik gula mengingat pabrik gula yang ada di Sumatera Utara (Kwala Madu dan Sei Semayang) sudah berumur sekitar 30 tahun.


(53)

Permasalahan yang seringkali muncul di pabrik adalah permasalahan mengenai kondisi mesin yang seringkali mengalami kerusakan sehingga mengakibatkan terjadinya jam henti giling pabrik yang cukup tinggi. Adanya jam henti giling pabrik yang tidak sesuai dengan perencanaan yang telah dibuat, dapat mengakibatkan terjadinya kerusakan pada tebu yang sudah ditebang yaitu ter-jadinya penurunan kadar gula dalam tebu. Untuk mengatasi permasalahan tersebut, perlu dilakukan jadwal pemeliharaan mesin sehingga jam henti giling dapat dihindari.

Permasalahan lain yang terjadi di dalam pabrik yaitu terjadinya penurunan kapasitas giling pabrik sehingga pabrik tidak dapat beroperasi secara maksimal. Untuk mengatasinya, perlu dihitung kembali kapasitas operasional terpasang pabrik berdasarkan pada nilai availabilitas atau kemampuan mesin. Hal ini dilakukan karena laju kerusakan setiap mesin berubah-ubah sejalan dengan bertambahnya waktu.

Kapasitas giling pabrik harus diperhitungkan secara matang dalam melaksanakan kegiatan produksi karena merupakan masukan yang sangat berharga bagi pihak tanaman dalam membuat jadwal penebangan tebu. Hal ini dilakukan karena semakin lancar pengoperasian pabrik dengan penyediaan tebu yang cukup, semakin kecil jam berhenti giling pabrik yang disebabkan karena ketidaktersediaan tebu (jam berhenti giling luar pabrik).

Jadwal tebang tebu yang akan dibuat harus disesuaikan dengan kapasitas operasional pabrik agar terjadi keseimbangan antara kebutuhan pabrik dengan ketersediaan kebun. Hal ini harus dilakukan pula dengan mempertimbangkan


(54)

berbagai kendala seperti tingkat kematangan tebu, jarak kebun ke pabrik, alat angkut dan tenaga kerja.

b. Pendapatan usahatani kelapa sawit

Pendapatan usahatani kelapa sawit merupakan hasil pengurangan penerimaan dari hasil penjualan produk kelapa sawit dengan biaya produksi tanaman kelapa sawit. Hasil penjualan produk kelapa sawit dijual dalam bentuk minyak sawit (CPO) dan inti sawit (kernel).

Dari hasil penelitian diketahui, bahwa tingkat pendapatan rata - rata yang diterima PT. Perkebunan Nusantara II unit Kebun Tandem adalah sebesar Rp. 13.243.267,- per Ha per tahun. Tingkat pendapatan kelapa sawit ini tidak lepas dari peranan tingkat produksi tanaman kelapa sawit. Produksi optimal tanaman kelapa sawit adalah berbeda – beda, sesuai dengan potensi dan kesesuaian lahan dan iklim. Untuk daerah penelitian ini, tanaman kelapa sawit berproduksi optimal pada umur tanaman 9 – 13 tahun, dengan produksi 31 ton TBS / Ha per tahun. Sama hal nya dengan usahatani tebu, tingkat pendapatan usahatani kelapa sawit ini juga dipengaruhi oleh faktor rendemen.

Rendemen untuk minyak sawit (CPO) berkisar antara 20%-23,75%. Sedangkan rendemen untuk inti sawit (kernel) berkisar antara 4%-5%. Di daerah penelitian sendiri, tingkat rendemen untuk CPO adalah berkisar 22% dan rendemen untuk kernel adalah berkisar 4%. Tingkat rendemen ini dapat dikatakan bersifat stabil , artinya walaupun musim penghujan tidak akan mempengaruhi tingkat rendemen kelapa sawit.


(55)

5.2. Usahatani Tebu

Pendapatan dari pengusahaan tanaman tebu merupakan hasil pengurangan dari penerimaan dari hasil penjualan produk tebu dengan biaya produksi tanaman tebu. Biaya produksi untuk tanaman tebu yang dikeluarkan selama proses usahatani dalam penelitian ini terbagi atas biaya langsung dan biaya tidak langsung.

5.2.1. Biaya Produksi Untuk Tanaman Tebu

Setiap perusahaan, baik itu industri maupun perkebunan dalam menjalankan usahanya harus mengetahui biaya produksi. Tanpa mengetahui berapa biaya produksi dari barang yang akan diproduksi, kemungkinan sekali akan terjadi kekeliruan dalam mengambil tindakan-tindakan atau kebijaksanaan-kebijaksanaan menentukan harga jual.

Untuk memahami analisa biaya produksi pembahasan teori ini dimulai dengan pengertian biaya produksi. Dalam akuntansi biaya, istilah biaya produksi dipergunakan untuk menyatakan jumlah biaya yang telah dikeluarkan oleh perusahaan dalam rangka mengolah suatu barang yang siap dijual. Pengertian biaya produksi menurut L. Gayle Rayburn adalah seluruh biaya yang dikeluarkan perusahaan dalam memproduksi barang atau jasa.

PTPN II Unit Kebun Tandem dalam pencatatan biaya produksi tebu mengklasifikasikan biaya produksi atas:


(56)

1. Biaya Langsung

Biaya langsung adalah biaya yang dikeluarkan oleh perusahaan yang berkaitan langsung dengan proses produksinya. Biaya langsung pada PTPN II Unit Kebun Tandem terdiri dari:

1.a Biaya Tanaman, yaitu biaya yang dikeluarkan oleh perusahaan dalam penanaman tebunya. Biaya ini dihitung berdasarkan wilayah penanaman yaitu plant cane, ratoon I, ratoon II, dan ratoon III.

Biaya tanaman usahatani tebu terdiri dari : - Biaya Saprodi

Yang termasuk dalam biaya saprodi dalam usahatani tebu adalah semua biaya yang dikeluarkan oleh perusahaan berkaitan dengan pemberian input, yang meliputi pupuk, herbisida dan penggunaan teknologi/mesin. Untuk biaya pembibitan, PTPN II memiliki KBD (Kebun Bibit Datar) sendiri sehingga tidak perlu membeli bibit ladi dari luar.

- Pupuk

Pupuk yang digunakan dalam usahatani tebu adalah pupuk jenis urea, TSP dan KCL. Dosis pupuk mengikuti rekomendasi umum yang dilakukan di lahan HGU PTPN II. Dosis tersebut adalah 300 kg urea, 200 kg TSP, dan 200 kg KCL kg per Ha.


(57)

Waktu pemberian pupuk dilaksanakan 2 kali aplikasi yakni seluruh dosis TSP dan 1/3 dosis urea dan KCL diberikan bersamaan tanam, sisanya diberikan pada saat tanaman tebu berumur 1½ bulan diikuti dengan turun tanah (membumbun) kedua. Pupuk harus tertutup dengan lapisan tanah agar tidak terjadi kehilangan akibat penguapan dan pencucian.

- Herbisida

PTPN II menggunakan herbisida untuk membasmi gulma yang ada di kebun tebu mereka. Jenis herbisida yang dipakai adalah round up. Adapun kebutuhan herbisida untuk 1 Ha adalah 4 liter.

- Teknologi / Mesin

Penggunaan teknologi / mesin dalam budidaya tebu sangat diperlukan, diantaranya digunakan untuk membajak dan membuat kair atau juringan. Membajak adalah upaya pembongkaran tanah untuk tujuan memperdalam batas olah tanah, membalikkan dan menghancurkan tanah menjadi ukuran agregat tanah berupa bongkahan yang masih cukup besar. Untuk membajak tanah seluas 1 Ha, biasanya digunakan traktor 60 hp dengan kisaran waktu 2-3 jam.

Sedangkan kair atau juringan dibuat untuk menempatkan barisan bibit tebu. Biasanya, alat yang digunakan untuk membuat kair / juringan adalah Subsoil Rota Furrower (SRF).


(58)

Yaitu alat pengolahan tanah yang sekaligus dapat membuat kair / juringan.

- Biaya Tenaga Kerja

Tenaga kerja yang digunakan adalah tenaga kerja yang sudah menjadi buruh/karyawan tetap di PTPN II. Besarnya upah tenaga kerja di daerah penelitian adalah sebesar Rp. 61.092,- / Hk

1.b Biaya Tebang Muat Angkut, yaitu biaya yang dikeluarkan oleh perusahaan selama proses penebangan tebu sampai dengan proses pengangkutan tebu ke lokasi pabrik (pengolahan) tebu. Biaya tebang muat angkut ini terbagi dua yaitu biaya tebang muat angkut dan biaya alat angkut.

1.c Biaya Pengolahan, yaitu biaya yang dikeluarkan perusahaan untuk mengolah tebu menjadi produk jadi antara lain SHS (gula murni) dan Molases (proses awal sebelum jadi gula). Biaya pengolahan ini terbagi atas biaya pabrik (pengolahan) dan biaya pengemasan.

2. Biaya Tidak Langsung

Biaya tidak langsung adalah biaya yang dikeluarkan oleh perusahaan yang manfaatnya tidak dapat diidentifikasikan tetapi membantu proses produksi. Biaya tidak langsung pada PTPN II Unit Kebun Tandem terdiri atas:

2.a Biaya Umum dan Tata Usaha, yaitu biaya yang dikeluarkan oleh perusahaan dalam melaksanakan tata usahanya antara lain kegiatan promosi dan pemasaran


(59)

2.b Biaya Penyusutan, yaitu biaya yang dikeluarkan oleh perusahaan karena adanya penyusutan aktiva yang terpakai dan bahan-bahan produksi. Biaya penyusutan ini terbagi atas biaya penyusutan dan amortisasi HGU.

Tabel 6. Biaya Produksi Tanaman Tebu Per Hektar Per Musim Tanam No Jenis Biaya Rp/Ha

1. Biaya Tanaman 18.066.498

2. Biaya Tebang dan Angkut 4.633.636

5. Biaya Penyusutan 442.433

3. Biaya Pengolahan 5.391.196 4. Biaya Umum dan Tata Usaha 5.111.157

Jumlah 33.644.920

Sumber : Data diambil dari Lampiran 3,4,5,6 dan7

Dari tabel diatas dapat diketahui bahwa biaya produksi untuk tanaman tebu adalah Rp. 33.644.920,- per hektar per musim tanam. Dari tabel juga dapat diketahui bahwa biaya produksi untuk tanaman tebu yang terbesar adalah biaya tanaman

yaitu mencapai Rp. 18.066.498,- diikuti biaya pengolahan sebesar Rp. 5.391.196,- biaya umum dan tata usaha sebesar Rp. 5.111.156,- biaya tebang

dan angkut sebesar Rp. 4.633.636,- dan biaya penyusutan sebesar Rp. 442.433,- per hektar.

5.2.2 Penerimaan Usahatani Tebu

Penerimaan adalah seluruh pendapatan yang diperoleh dari usahatani selama satu periode diperhitungkan dari hasil penjualan (Rp), atau dapat juga dikatakan


(60)

sebagai nilai yang diperoleh dari hasil perkalian seluruh hasil produksi dengan harga jual produksi.

Sebelum menghitung penerimaan usahatani tebu, ada baiknya kita mengetahui hasil produk yang dijual oleh PTPN II Unit Kebun Tandem. Adapun jenis produk dari usahatani tebu yang dijual oleh PTPN II Unit Kebun Tandem adalah dalam bentuk gula SHS (Superior High Sugar) dan bentuk molases (gula tetes). Dengan harga jual jenis gula SHS sekitar Rp 7.600,- per kg, dan harga jual gula jenis molases (gula tetes) sekitar Rp. 500,- per kg.

Tabel 7. Produk Olahan Tebu Per Ha Per Musim Tanam

No Uraian Realisasi (Kg)

1. Gula SHS (Superior High Sugar) 3.552

2. Molases (gula tetes) 3.241

Jumlah Produk Olahan Tebu 6.793

Sumber : Data diambil dari Lampiran 8

Gambar 2. Jenis Gula Tetes Gambar 3. Jenis Gula SHS

Tabel 8. Rata-rata Penerimaan Usahatani Tebu Per Ha Per Musim Tanam

No Produk Olahan Penerimaan (Rp)

1. SHS (Superior High Sugar) 26.995.200 2. Molases (gula tetes) 1.620.500


(61)

Total Penerimaan 28.615.700 Sumber : Data diambil dari Lampiran 8

Dari tabel diatas dapat diketahui bahwa penerimaan usahatani tebu di PTPN II unit Kebun Tandem per Ha Per Musim Tanam adalah sekitar Rp. 28. 615.700,-.

Dengan penjualan produk tertinggi dalam bentuk gula SHS yaitu sekitar Rp. 26.995.200,-.

Dari data diatas dapat dihitung bahwa dengan penerimaan sebesar Rp. 28. 615.700,- per Ha per musim tanam dan biaya produksi sebesar Rp.

33.644.920,- per hektar per musim tanam, diketahui bahwa kebun Tandem mengalami kerugian sebesar Rp. 5.029.220,- per Ha per musim tanam.

Dari data diatas maka dapat disimpulkan bahwa pengusahaan tanaman tebu di PTPN II Unit Kebun Tandem mengalami kerugian, karena penerimaan yang diterima oleh perusahaan lebih kecil daripada biaya produksi yang dikeluarkan dalam pengusahaan tanaman tebu.

5.3. Usahatani Kelapa Sawit

Pendapatan dari pengusahaan tanaman kelapa sawit merupakan hasil pengurangan biaya produksi tanaman kelapa sawit dengan penerimaan dari hasil penjualan produk kelapa sawit. Sebelum menghitung pendapatan kelapa sawit, kita perlu


(62)

mengetahui penggolongan biaya dalam pengusahaan tanaman kelapa sawit di PTPN II unit Kebun Tandem.

5.3.1. Biaya Produksi

PTPN II Unit Kebun Tandem dalam pencatatan biaya produksi kelapa sawit mengklasifikasikan biaya produksi atas:

1. Biaya Langsung

Biaya langsung adalah biaya yang dikeluarkan oleh perusahaan yang berkaitan langsung dengan proses produksinya. Biaya langsung untuk tanaman kelapa sawit pada PTPN II Unit Kebun Tandem terdiri dari: 1.a Biaya Tanaman, yaitu biaya yang dikeluarkan oleh perusahaan dalam

penanaman kelapa sawit. Yang termasuk biaya tanaman dalam penelitian ini adalah biaya gaji, biaya pemeliharaan tanaman, biaya angkutan ke pabrik, serta biaya panen dan pengumpulan.

Biaya tanaman usahatani kelapa sawit terdiri dari: - Biaya Saprodi

Yang termasuk dalam biaya saprodi dalam usahatani kelapa sawit adalah semua biaya yang dikeluarkan oleh perusahaan berkaitan dengan pemberian input, yang meliputi bibit, pupuk, herbisida, pestisida dan penggunaan teknologi/mesin.

- Bibit

Banyaknya bibit yang diperlukan tergantung pada jarak tanam dan luas lahan kelapa sawit itu sendiri. Di daerah penelitian, jarak tanam yang digunakan adalah 9,5m x 9,5m x


(63)

9,5 m. Sehingga per Ha nya diperlukan bibit kelapa sawit sekitar 128-130 bibit. Dengan harga bibit sekitar Rp 20.000,- / buah. Beberapa tahun terakhir ini, PTPN II juga membeli bibit kelapa sawit dari PT. Socfindo.

- Pupuk

Pupuk yang digunakan dalam usahatani kelapa sawit adalah pupuk urea, RP, MOP, kieserit dan boron. Pada tanaman yang berumur < 1 tahun, pupuk yang diberikan adalah jenis pupuk urea, Rp dan MOP. Sedangkan untuk tanaman yang berumur > 1 tahun, pupuk yang diberikan adalah jenis pupuk urea, RP, MOP, kieserit dan Boron.

- Herbisida

PTPN II menggunakan herbisida untuk membasmi gulma yang ada di kebun kelapa sawit mereka. Jenis herbisida yang dipakai adalah gramoxone, ally, round up, herbisida pakis, herbisida parakuat diklorida, dan herbisida metsulfuron. Dengan dosis masing – masing herbisida adalah 5 liter/ ha untuk gramoxone, 200 gr /Ha untuk ally, dan lainnya 20 cc untuk 1 Ha lahan kelapa sawit.

- Pestisida

Adapun jenis pestisida yang dipakai di daerah penelitian adalah curater, FC dan bahan klearat RMB. Dengan dosis


(64)

masing-masing pestisida adalah 15 gr/pkk untuk curater, 0,3 liter /Ha untuk FC dan 10 gr/pkk untuk bahan klearat RMB. - Biaya Tenaga Kerja

Biaya tenaga kerja yang digunakan dalam usahatani kelapa sawit di daerah penelitian terdiri dari tenaga kerja yang menjadi buruh tetap dan tidak tetap. Pada tanaman bermur < 1 tahun, tenaga kerja yang digunakan adalah buruh tidak tetap dengan upah sebesar Rp. 23.650,- / Hk. Sedangkan untuk tanaman berumur > 1 tahun, tenaga kerja yang digunakan adalah buruh / karyawan tetap dengan upah Rp. 61.092 / Hk.

1.b Biaya Pengolahan, yaitu biaya yang dikeluarkan perusahaan untuk mengolah kelapa sawit menjadi produk antara lain dalam bentuk minyak kelapa sawit dan inti kelapa sawit.

2. Biaya Tidak Langsung

Biaya tidak langsung adalah biaya yang dikeluarkan oleh perusahaan yang manfaatnya tidak dapat diidentifikasikan tetapi membantu proses produksi. Biaya tidak langsung untuk tanaman kelapa sawit pada PTPN II Unit Kebun Tandem terdiri atas:

2.a Biaya Umum dan Tata Usaha, yaitu biaya yang dikeluarkan oleh perusahaan dalam melaksanakan tata usahanya antara lain kegiatan promosi dan pemasaran.

2.b Biaya Penyusutan, yaitu biaya yang dikeluarkan oleh perusahaan karena adanya penyusutan aktiva yang terpakai dan bahan-bahan


(65)

produksi. Biaya penyusutan ini terbagi atas biaya penyusutan dan amortisasi HGU.

Tabel 9. Biaya Tanaman Kelapa Sawit Belum Menghasilkan (TBM)

No Jenis Biaya Rp/Ha

1. Biaya Tanaman Tahun 0 10.510.122 2. Biaya Tanaman Tahun 1 8.757.045 3. Biaya Tanaman Tahun 2 11.222.182

Jumlah 30.489.349

Data dimbil dari Lampiran 9a dan 9b

Tabel 10. Rata-Rata Biaya Produksi Tanaman Kelapa Sawit Menghasilkan (TM) Per Ha Per Tahun

No Jenis Biaya Rp/Ha

1. Biaya Tanaman 13.734.418

2. Biaya Pengolahan Pabrik 2.049.036 3. Biaya Umum dan Tata Usaha 22.290.962

4. Biaya Penyusutan 1.323.142

Jumlah 39.397.558


(66)

Dari tabel diatas dapat diketahui bahwa biaya untuk tanaman kelapa sawit belum menghasilkan adalah sebesar Rp. 30.489.349,-. Sedangkan total rata-rata biaya produksi tanaman kelapa sawit menghasilkan adalah Rp. 39.397.558,- per Ha per tahun. Rata-rata biaya produksi untuk tanaman kelapa sawit menghasilkan yang terbesar adalah biaya umum dan tata usaha yaitu sebesar Rp. 22.290.962,- , diikuti dengan biaya tanaman sebesar Rp. 13.764.221,- , biaya pengolahan pabrik sebesar Rp. 2.049.036,- serta biaya penyusutan sebesar Rp. 1.323.142,-

5.3.2. Penerimaan dari Tanaman Kelapa Sawit

Produksi kelapa sawit di kebun Tandem terdiri dari minyak sawit (CPO) dan inti sawit (PKO), dengan rendemen minyak sawit (CPO) sebesar 22% dan inti sawit (kernel) sebesar 4 %. CPO merupakan hasil olahan daging buah kelapa sawit melalui proses perebusan Tandan Buah Segar (TBS), perontokan, dan pengepresan. CPO ini diperoleh dari bagian mesokarp buah kelapa sawit yang telah mengalami beberapa proses, yaitu sterilisasi, pengepresan, dan klarifikasi. Minyak ini merupakan produk level pertama yang dapat memberikan nilai tambah sekitar 30% dari nilai tandan buah segar. Sedangkan Palm Kernel Oil (PKO) diperoleh dari bagian kernel (inti) buah kelapa sawit dengan cara ekstraksi pelarut atau dengan cara pengepresan. Komponen asam lemak terbesar penyusun PKO adalah asam laurat. Hal ini menjadikan PKO memiliki karakteristik yang mirip dengan minyak kelapa.


(67)

Gambar 4. Minyak Sawit (CPO) Gambar 5. Inti Sawit (Kernel)

Dengan asumsi bahwa harga minyak sawit (CPO) adalah Rp. 9.569,- per kg dan harga inti sawit (kernel) adalah Rp. 5.280,- per kg, maka penerimaan kelapa sawit di PTPN II unit kebun Tandem dapat dilihat dari tabel berikut.

Tabel 11. Rata-rata Penerimaan Tanaman Kelapa Sawit Per Ha Per Tahun

No Produksi Kebun Penerimaan (Rp)

1. Minyak 44.775.559

2. Inti 4.492.062

Jumlah penerimaan 49.267.621 Sumber : Data diolah dari Lampiran 13

Dari tabel diatas dapat diketahui bahwa rata-rata penerimaan tanaman kelapa sawit PTPN II unit kebun Tandem mencapai Rp. 49.267.621,- per Ha per tahun.

Penerimaan yang paling besar berasal dari minyak sawit yaitu sebesar Rp. 44.775.559,-.

Dari data diatas dapat dihitung bahwa dengan penerimaan sebesar Rp. 49.267.621,- per Ha per tahun dan biaya produksi sebesar Rp. 36.024.353,-


(68)

per hektar per musim tanam, diketahui bahwa pendapatan dari kelapa sawit unit kebun Tandem adalah sebesar Rp. 13.243.267,- per Ha per tahun.

Dari data diatas dapat diambil kesimpulan bahwa pengembangan usahatani kelapa sawit di PTPN II Unit Kebun Tandem menguntungkan, karena total penerimaan yang diterima perusahaan lebih besar daripada total biaya produksi yang dikeluarkan perusahaan. Hal ini selaras dengan penelitian Zen (2008) yang menunjukkan bahwa usahatani kelapa sawit menguntungkan. Sedangkan usahatani tebu di PTPN II mengalami kerugian. Hal ini menjadi salah satu alasan banyak di lakukannya alih fungsi lahan tebu menjadi lahan kelapa sawit di PTPN II karena tanaman kelapa sawit dianggap lebih menguntungkan dari pada tanaman tebu. Akan tetapi, meski sudah banyak lahan PTPN II yang telah dialih fungsikan menjadi lahan kelapa sawit, PTPN II tetap mempertahankan sebagian lahan tebunya. Ini dikarenakan, produksi gula di Sumatera Utara banyak disupply oleh PTPN II, yang mencakup hasil dari pengusahaan tebu sendiri dan tebu rakyat.

5.4. Analisis Finansial Usahatani Kelapa Sawit

Untuk menghitung total biaya produksi dan penerimaan pada tanaman berumur 3-25 tahun digunakan asumsi potensi produksi dan biaya produksi tanaman. Dengan biaya produksi tanaman yang sama antara tanaman berumur 3-5 tahun, 6-15 tahun dan >6-15 tahun.

Nilai NPV, IRR, dan Net B/C

Kelayakan finansial dianalisis dengan menggunakan metode analisis finansial dengan kriteria investasi Net Benefit-Cost Ratio (Net B/C), Net Present Value


(69)

(NPV), dan Internal Rate of Return (IRR). Analisis kriteria investasi ini menggunakan discount factor (DF) tertentu. Dalam penelitian ini, DF disini merupakan tingkat bunga yang berlaku di Indonesia yaitu sebesar 10 %.

Net Benefit-Cost Ratio (Net B/C) merupakan perbandingan antara net benefit yang telah di diskon positif (+) dengan net benefit yang telah di diskon negatif (-). Jika Net B/C > 1, maka proyek layak untuk di usahakan. Pada prinsipnya, kriteria Net B/C ini menunjukkan beberapa kali lipat perbandingan jumlah benefit bersih yang diperoleh dari proyek terhahap capital expenditure (biaya modalnya) nya. Net Present Value (NPV) adalah kriteria investasi yang banyak digunakan dalam mengukur apakah suatu proyek feasible atau tidak. Perhitungan NPV ini merupakan net benefit yang telah di diskon faktorkan. Jika proyek memiliki NPV positif atau NPV > 0, maka proyek tersebut menghasilkan lebih banyak kas dari yang dibutuhkan untuk menutup utang dan memberikan pengembalian yang diperlukan. Sedangkan IRR adalah suatu tingkat discount rate yang menghasilkan net present value sama dengan nol (0). Suatu proyek dikatakan layak di usahakan jika IRR > tingkat bunga yang berlaku atau dalam penelitian ini tingkat inflasi maksimum yang berlaku di ndonesia. Besarnya Net B/C, NPV dan IRR dapat dilihat dari tabel berikut:

Tabel 12. Nilai Net B/C, NPV, dan IRR

No Uraian Nilai

1. Net B/C 2,88

2. NPV 80.580.190

3. IRR 23,9%


(70)

Dari tabel diatas dapat diketahui bahwa nilai Net B/C adalah sebesar 2,88 , nilai NPV sebesar Rp. 80.580.190,- dan nilai IRR sebesar 23,9%. Net B/C adalah sebesar 2,88 berarti net benefit (keuntungan bersih) proyek adalah 2,88 kali lipat dari capital expenditure (biaya modal) nya. NPV sebesar Rp. 80.580.190,-artinya proyek ini layak atau menguntungkan, karena NPV bernilai positif atau NPV > 0. Angka NPV sebesar Rp. 80.580.190,- ini mengandung arti bahwa jika terjadi tingkat bunga sebesar 10% per tahun proyek masih bisa memberikan keuntungan sebesar Rp 80.580.190,- . IRR sebesar 23,9% adalah > dari tingkat bunga sebesar 10 %. Ini berarti proyek layak di usahakan. Berdasarkan kriteria studi kelayakan, suatu usaha layak secara finansial jika nilai Net B/C > 1, NPV > 0 dan IRR > i (tingkat inflasi maksimum).

Sedangkan analisis kelayakan usahatani tebu dihitung berdasarkan Net Benefit Cost Ratio yang merupakan perbandingan antara net benefit dan cost nya. Maka Net B/C untuk tanaman tebu adalah 0,149. Net B/C adalah < 1 maka usahatani tebu tersebut tidak layak.

Berdasarkan kriteria kelayakan tersebut, maka dapat dikatakan bahwa usahatani kelapa sawit di PT. Perkebunan Nusantara II unit Kebun Tandem layak diusahakan secara finansial. Kesimpulan yang sama juga dihasilkan dalam penelitian Zen (2008) yang menunjukkan bahwa pengembangan tanaman kelapa sawit layak diusahakan secara finansial.


(71)

BAB VI KESIMPULAN

6.1. Kesimpulan

1. Faktor-faktor yang mempengaruhi alih fungsi lahan tebu menjadi lahan kelapa sawit di PT. Perkebunan Nusantara II unit Kebun Tandem adalah tingkat pendapatan tebu yang mengalami kerugian per musim tanam nya (tingkat pendapatan ini dipengaruhi oleh tingkat rendemen tebu yang hanya sekitar 6%) dan tingkat pendapatan kelapa sawit yang menguntungkan sekitar per tahunnya, dengan tingkat rendemen kelapa sawit yaitu untuk minyak sawit (CPO) sendiri berkisar antara 22% dan rendemen untuk inti sawit (PKO) berkisar antara 4%.

2. Rata-rata pendapatan dari usahatani tebu di daerah penelitian mengalami kerugian yaitu sebesar Rp 5.029.220,- per hektar per musim tanam atau setara dengan Rp. 502.922 per Ha per bulan, dengan penerimaan sebesar Rp. 28. 615.700,- per Ha per musim tanam dan biaya produksi sebesar Rp. 33.644.920,- per Ha per musim tanam.

3. Rata-rata pendapatan dari usahatani kelapa sawit di daerah penelitian adalah sebesar Rp. 13.243.267,- per Ha per tahun atau setara dengan Rp. 1.103.606,- per Ha per bulan, dengan penerimaan sebesar Rp. 49.267.621,- per Ha per tahun dan biaya produksi sebesar Rp. 36.024.353,- per Ha per tahun.


(1)

Lampiran 13. Total Penerimaan Tanaman Kelapa Sawit (Rp) Per Ha Per Tahun

Tahun

Produksi (kg/Ha/thn)

Produksi CPO (22%)

Harga (Rp/kg)

Penerimaan (Rp)CPO

Produksi Kernel (4%)

Harga (Rp/kg)

Penerimaan Kernel (Rp)

Total Penerimaan (Rp)

0 0 0 0 0 0 0 0 0

1 0 0 0 0 0 0 0 0

2 0 0 0 0 0 0 0 0

3 9000 1,980 9,569 18,946,620 360 5,280 1900800 20,847,420

4 15000 3,300 9,569 31577700 600 5,280 3168000 34745700

5 18000 3,960 9,569 37893240 720 5,280 3801600 41694840

6 21100 4,642 9,569 44419298 844 5,280 4456320 48875618

7 26000 5,720 9,569 54734680 1040 5,280 5491200 60225880

8 30000 6,600 9,569 63155400 1200 5,280 6336000 69491400

9 31000 6,820 9,569 65260580 1240 5,280 6547200 71807780

10 31000 6,820 9,569 65260580 1240 5,280 6547200 71807780

11 31000 6,820 9,569 65260580 1240 5,280 6547200 71807780

12 31000 6,820 9,569 65260580 1240 5,280 6547200 71807780

13 31000 6,820 9,569 65260580 1240 5,280 6547200 71807780

14 30000 6,600 9,569 63155400 1200 5,280 6336000 69491400

15 27900 6,138 9,569 58734522 1116 5,280 5892480 64627002

16 27100 5,962 9,569 57050378 1084 5,280 5723520 62773898

17 26000 5,720 9,569 54734680 1040 5,280 5491200 60225880

18 24900 5,478 9,569 52418982 996 5,280 5258880 57677862

19 24100 5,302 9,569 50734838 964 5,280 5089920 55824758

20 23100 5,082 9,569 48629658 924 5,280 4878720 53508378

21 21900 4,818 9,569 46103442 876 5,280 4625280 50728722


(2)

Lampiran 14. Total Pendapatan Tanaman Kelapa Sawit (Rp) Per Ha Per Tahun

Tahun Total Penerimaan (Rp) Total Biaya (Rp) Total Pendapatan (Rp)

0 0 10510122 -10510122

1 0 8757045 -8757045

2 0 11222182 -11222182

3 20,847,420

37973970 -17,110,666

4 34745700

37973970 -3212386

5 41694840

37973970 3736754

6 48875618

39987900 8863281

7 60225880

39987900 20213543

8 69491400

39987900 29479063

9 71807780

39987900 31795443

10 71807780

39987900 31795443

11 71807780

39987900 31795443

12 71807780

39987900 31795443

13 71807780

39987900 31795443

14 69491400

39987900 29479063

15 64627002

39987900 24614665

16 62773898

39234293 23490731

17 60225880

39234293 20942713

18 57677862

39234293 18394695

19 55824758

39234293 16541591

20 53508378

39234293 14225211

21 50728722

39234293 11445555

22 45864324

39234293 6581157

23 43779582

39234293 4496415

24 41926478

39234293 2643311

25 39610098

39234293 326931

Total

1280958140 936633189 344324951


(3)

Lampiran 15. Net Present Value

Tahun Net Benefit (Rp) D.F (10%) Present Value (Rp) Tahun Net Benefit (Rp) D.F (10%) Present Value (Rp) 0

-10510122 1 -10510122 13 31819880 0.2897 9218219

1

-8757045 0.9091 -7961030 14 29503500 0.2633 7768272

2

-11222182 0.8264 -9274011 15 24639102 0.2394 5898601

3

-17126550 0.7513 -12867177 16 23539605 0.2176 5122218

4

-3228270 0.683 -2204908 17 20991587 0.1978 4152136

5

3720870 0.6209 2310288 18 18443569 0.1799 3317998

6

8887718 0.5645 5017117 19 16590465 0.1635 2712541

7

20237980 0.5132 10386131 20 14274085 0.1486 2121129

8

29503500 0.4665 15141196 21 11494429 0.1351 1552897

9

31819880 0.4241 13494811 22 6630031 0.1228 814168

10

31819880 0.3855 12266564 23 4545289 0.1117 507709

11

31819880 0.3504 11149686 24 2692185 0.1015 273257

12

31819880 0.3186 10137814 25 375805 0.0923 34687

NPV


(4)

Lampiran 16. Net Benefit-Cost Ratio (Net B/C)

Tahun Net Benefit (Rp) D.F (10%) Present Value (Rp) Tahun Net Benefit (Rp) D.F (10%) Present Value (Rp) 0

-10510122 1 -10510122 13 31819880 0.2897 9218219

1

-8757045 0.9091 -7961030 14 29503500 0.2633 7768272

2

-11222182 0.8264 -9274011 15 24639102 0.2394 5898601

3

-17126550 0.7513 -12867177 16 23539605 0.2176 5122218

4

-3228270 0.683 -2204908 17 20991587 0.1978 4152136

5

3720870 0.6209 2310288 18 18443569 0.1799 3317998

6

8887718 0.5645 5017117 19 16590465 0.1635 2712541

7

20237980 0.5132 10386131 20 14274085 0.1486 2121129

8

29503500 0.4665 15141196 21 11494429 0.1351 1552897

9

31819880 0.4241 13494811 22 6630031 0.1228 814168

10

31819880 0.3855 12266564 23 4545289 0.1117 507709

11

31819880 0.3504 11149686 24 2692185 0.1015 273257

12

31819880 0.3186 10137814 25 375805 0.0923 34687

Net B/C


(5)

Lampiran 17. IRR

Tahun Net Benefit (Rp) D. F (10%) Present Value (Rp) D. F (24%) Present Value (Rp) 0

-10510122 1 -10510122 1 -10510122

1

-8757045 0.9091 -7961030 0.8064 -7061681

2

-11222182 0.8264 -9274011 0.6503 -7297785

3

-17126550 0.7513 -12867177 0.5244 -8981163

4

-3228270 0.683 -2204908 0.4229 -1365235

5

3720870 0.6209 2310288 0.3411 1269189

6

8887718 0.5645 5017117 0.275 2444122

7

20237980 0.5132 10386131 0.2218 4488784

8

29503500 0.4665 15141196 0.1789 6543876

9

31819880 0.4241 13494811 0.1442 4588427

10

31819880 0.3855 12266564 0.1163 3700652

11

31819880 0.3504 11149686 0.0938 2984705

12

31819880 0.3186 10137814 0.0756 2405583

13

31819880 0.2897 9218219 0.061 1941013

14

29503500 0.2633 7768272 0.0492 1451572

15


(6)

Tahun Net Benefit (Rp) D. F (10%) Present Value (Rp) D. F (24%) Present Value (Rp) 16

23539605 0.2176 5122218 0.032 753267

17

20991587 0.1978 4152136 0.0258 541583

18

18443569 0.1799 3317998 0.0208 383626

19

16590465 0.1635 2712541 0.0167 277061

20

14274085 0.1486 2121129 0.0135 192700

21

11494429 0.1351 1552897 0.0109 125289

22

6630031 0.1228 814168 0.0088 58344

23

4545289 0.1117 507709 0.0071 32272

24

2692185 0.1015 273257 0.0057 15345

25

375805 0.0923 34687 0.0046 1729

NPV 80580190

-41138

IRR 23,9%