Macam-macam Perceraian dan Akibat Hukumnya

4. Putusnya perkawinan atas kehendak hakim sebagai pihak ketiga setelah melihat adanya suatu pada suami danatau pada istri yang menandakan tidak dapatnya hubungan perkawinan itu dilanjutkan. Putusnya perkawinan dalam bentuk ini disebut Fasakh. 17

B. Macam-macam Perceraian dan Akibat Hukumnya

Pada zaman jahiliyyah tidak ada peraturan yang mengatur tentang perceraian. Laki-laki boleh saja menthalak isterinya seberapa saja dia kehendaki. Setiap kali akan habis masa iddahnya, maka rujukinya kembali. Hal seperti itu dilakukan berkali-kali. Denagan demikan berarti kaum laki-laki telah berbuat sewenang-wenang oleh isterinya. 18 Dari ketentuan-ketentuan tentang perceraian dalam Undang-undang Perkawinan pasal 39–41 dan tata cara perceraian dalam Peraturan Pelaksanaan pasal 14–36 menjelaskan bahwa ada dua macam perceraian,yaitu: 1. Cerai talak, dan 2. Cera gugat. Dan dalam Kompilasi Hukum Islam KHI pasal 129– 132 menyebutkan bahwa bentuk perceraian dibedakan menjadi: talak cerai atau permohonanan, dan Cera gugat. 19 17 Amir Syarifuddin, Hukum Perkawinan Islam di Indonesia: Antara Fiqh Munakahat dan Undang-Undang Perkawinan, Jakarta: Prenada Media, 2006, cet.I, h.197 18 Bakri A. Rahmad dan Ahmad Sukarja, Hukum Perkawinan Menurut Islam, Undang- undang Perkawinan dan Hukum Perdata BW, Jakarta: Hidakarya Agung, 1981, hal. 41 19 H. Abdurrahman, Kompilasi Hukum Islam di Indonesia, Jakarta: Akadika Pressindo, 2004, h.143-144 Cerai talak merupakan suatu pemutusan hubungan perkawinan yang dinyatakan oleh seorang suami kepada isterinya berupa talak pada perkawinan yang dilaksanakan menurut aturan agama Islam. Yang berisikan pemberitahuan bahwa ia bermaksud menceraiakan isterinya. Talak ialah terurainya ikatan nikah dengan perkataan yang jelas dengan perkataan yang jelas seperti suami berkata pada istrinya ”engkau aku ceraikan” ataupun dengan bahasa sindiran. Sedangkan istri yang cerai dari suaminya maka ia harus menebus dirinya dengan sejumalah uang yang ia serahkan kepada suaminya yang demikian disebut khulu’. 20 Cara talak seperti ini harus dilakukan di depan sidang Pengadilan Agama pasal 39 Undang-undang No.1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan dan didasarkan pada alasan-alasan yang dibenarkan oleh Undang-undang tersebut. 21 Perkara Cerai Talak adalah perkara perceraian yang diajukan oleh seorang suami yang pernikahannya dilakukan menurut perkawinan Islam. Dalam perkara cerai talak, posisi suami sebagai Pemohon berlawanan dengan isteri sebagai Termohon. Apabila dikabulkan, maka dalam salah satu amar diktum putusannya, pengadilan memberi izin kepada Pemohon untuk mengucapkan ikrar talak di hadapan sidang pengadilan agama. pasal 70 yat 1 UU no. 7 tahun 20 Abu Bakar Al-Jaziri, Ensiklopedi Muslim, terj. Fadli Bahir, Lc, Jakarta: Darul Falah, 2005, Cet. Ke-9, Hal, 605. 21 R. Subekti, dan Tjitrosudibio, Kitab Undang-undang Hukum Perdata, Jakarta: PT. Pratnya Paramita, 2006, cet.ke-27, h.549 1989. Pelaksanaan sidang untuk pengucapan ikrar talak akan dilakukan setelah putusan mempunyai kekuatan hukum tetap Inkracht Van Gewijsde. Sesaat setelah pemohon mengucapkan ikrar talaknya, maka Panitera menerbitkan Akta Cerai untuk Pemohon dan Termohon. pasal 72 jo. 84 UU no. 7 tahun 1989. Perkara Cerai Gugat adalah perkara perceraian yang diajukan oleh pihak isteri terhadap suaminya. Dalam perkara ini posisi isteri adalah sebagai Penggugat berlawanan dengan suami sebagai Tergugat. Apabila gugatan cerai dikabulkan, maka selambat-lambatnya 7 hari setelah putusan tersebut berkekuatan hukum tetap, Panitera akan menerbitkan Akta Cerai untuk Penggugat dan Tergugat. pasal 84 ayat 4 UU no. 7 tahun 1989. Cerai gugat adalah perceraian yang disebabkan oleh adanya suatu gugatan terlebih dahulu oleh salah satu pihak kepada pengadilan dan perceraian itu terjadi dengan suatu putusan pengadilan. Gugatan perceraian dapat diajukan oleh isteri atau kuasa hukumnya di depan pengadilan agama dimana tergugat bertempat tinggal yang sesuai dengan pasal 39 Undang-undang No.1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan. 22 Gugatan tersebut dapat berupa surat gugatan maupun secara lisan, namun pada prinsipnya harus secara tertulis. 22 Ibid, h.549 Yang dimaksud dengan surat gugatan adalah suatu surat yang diajukan kepada Ketua Pengadilan Agama yang berwenang, yang memuat tuntutan hak untuk bercerai karena adanya suatu sengketa dan sekaligus merupakan landasan pemeriksaan perkara dan pembuktian kebenaran suatu hak seorang isteri. 23 Dan cerai gugat ini pun harus disertai dengan alasan-alasan yang kuat dan dibenarkan oleh undang-undang tersebut. Pengertian cerai gugat dalam hukum Islam dikategorikan dengan istilah yang disebut khulu’, arti khulu’ ialah perceraian berdasarkan persetujuan suami istri yang berbentuk jatuhnya satu kali talak dari si suami kepada si istri dengan adanya penebusan dengan harta atau uang oleh si istri yang menginginkan cerai dengan khulu’ itu. 24 Ditinjau dari segi waktu dijatuhakn talak oleh suami, maka talak dibagi menjadi tiga macam, yaitu: 1. Talak Sunni, yaitu talak yang dijatuhkan dengan tuntunan sunnah. Disebut talak sunni apabila memenuhi syarat-syarat berikut: a. Isteri yang ditalak sudah pernah digauli. b. Isteri dapat segera melakukan iddah suci setelah ditalak, yaitu dalam keadaan suci dan haid. 23 Mukti Arto, Praktek Perkara Perdata Pada Pengadilan Agama, Jakarta: Pustaka Pelajar, 2003, cet. Ke-4, h. 39 24 Sayuti Thalib, Hukum Kekeluargaan Indonesia, Jakarta: UI-Press, 1986, cet.V, h.115 c. Talak dijatuhkan ketika isteri dalam keadaan suci, baik dipermulaan, dipertengahan maupun di akhir suci. Sekalipun beberapa saat setelah itu datang haidh. d. Suami tidak pernah menggauli isteri selama masa suci ketika talak dijatuhkan. 25 2. Talak bid’î, talak yang dijatuhkan tidak sesuai atau bertentangan dengan tuntunan sunnah, artunya tidak memenuhi syarat-syarat talak sunni. Termasuk talak bidî ialah: a. Talak yang dijatuhkan terhadap isteri pada waktu haidh, baik dipermulaan haidh maupun dipertengahan. Talak yang seperti ini akan memberi kemudharatan kepada isteri, karena iddahnya menjadi lama. Talak yang dijatuhkan terhadap isteri dalam keadaan suci tetapi pernah digauli oleh suaminya dalam keadaan suci. Talak macam ini akan menimbulkan penyesalan suami, karena akan muncul keraguan jangan- jangan isteri sedang hamil, karena laki-laki sering sekali menalak isteri belum memberinya seorang anak. Kalau sudah terlanjur menyesal, sulit mempertemukannya kembali dan ini akan menyebabkan kesengsaraan anak. 3. Talak La sunni Wala bidî, yaitu talak yang tidak termasuk kategori talak sunni dan tidak pula termasuk talak bidî. 25 Sri Mulyati, Relasi Suami Isteri dalam Islam, Jakarta: Pusat Studi Wanita PSW UIN Syarif Hidayatullah, 2004, h.27 Menurut ulama Hanabilah, yang termasuk dalam talak ini adalah: a. Isteri yang sudah tidak haidh lagi. b. Isteri dibawah umur. c. Isteri dalam keadaan hamil. d. Dan isteri yang belum dicampuri. Ditinjau dari segi boleh tidaknya suami kembali lagi kepada mantan isterinya, talak terbagi menjadi dua macam, yaitu: talak rajî dan talak b â ’in. 26 Talak rajî yaitu talak yang masih boleh dirujuk. Arti rujuk ialah kembali, artinya kembali mempunyai hubungan suami isteri dengan tidak melalui proses perkawinan lagi, tetapi melalui proses yang lebih sederhana. 27 Dengan kata lain, talak rajî bisa juga diartikan dengan talak yang dijatuhkan suami kepada isterinya yang sudah digauli dan juga sebagai talak satu atau talak dua. Konsekuensinya, bila isteri berstatus iddah talak rajî, suami boleh rujuk kepada isterinya tanpa akad nikah yang baru, tanpa saksi dan mahar pula. Akan tetapi kalau iddah telah habis, maka suami tidak boleh rujuk kembali kepadanya, kecuali dengan akad yang baru dan dengan membayar mahar pula. A. Fuad Said, beliau berpendapat bahwa talak rajî ialah talak sunni yang telah dicampuri, baik dengan sharih maupun kinayah. 28 26 Ibid, h. 31 27 Sayuti Thalib, Hukum Kekeluargaan Indonesia, h.10 28 A. Fuad Said, Perceraian Menurut Hukum Islam, Jakarta: Pustaka al-Husna, 1993, h.55 Talak b â ’in adalah talak yang dijatuhkan suami kepada isterinya yang belum pernah digauli atau talak tiga. 29 Talak b â ’in ini terbagi menjadi dua macam, yaitu: a. Talak b â ’in Sughra Yaitu talak yang suami tidak boleh rujuk kepada mantan isterinya, tetapi ia dapat kawin lagi dengan nikah baru tanpa melalui muhallil. 30 b. Talak b â ’in kubra Yaitu talak yang sama hukumnya dengan talak b â ’in sughra , yaitu memutuskan tali perkawinan. Bedanya, talak b â ’in kubra tidak menghalalkan mantan suami merujuk isterinya lagi, kecuali isterinya tersebut harus kawin terlebih dahulu dengan laki-laki lain muhallil. 31 Ditinjau dari segi tegas dan tidaknya kata-kata yang dipergunakan sebagai ucapan talak, maka talak dibagi menjadin dua macam, yaitu: 1. Talak Sh â rih Yaitu talak yang dijatuhkan suami menggunakan ucapan langsung tanpa menggunakan sindiran atau kiasan. Maksudnya kata-katanya yang keluar dari mulut sang suami itu tidak ragu-ragu lagi, bahwa ucapannya itu untuk memutuskan hubungan perkawinan. Misalnya, kata-kata suami “engkau hai 29 Ibid, h.31 30 Amir Syarifuddin, Hukum Perkawinan Islam di Indonesia; Antara Fiqh Munakahat dan Undang-undang Perkawinan, Jakarta: Prenada Media, 2006, cet. I, h. 221 31 Sayyid Sabiq, Fiqhusunnah: Fikih Sunnah 8, Penerjemah Mohammad Thalib, Bandung: PT.Al-Ma’arif, 1981, cet. I, h.68 wanita tertalak”, atau “saya ceraikan engkau”. Dengan niat atau pun tidak keduanya harus bercerai, asalkan perkataannya itu bukan berupa hikayat atau cerita. 32 2. Talak kinayah Yaitu talak dengan menggunakan kata-kata sindiran atau samar-samar. Talak dengan kata-kata kinayah bergantung pada niat suami, artinya jika suami dengan kata-kata tersebut bermaksud menjatuhkan talak maka jatuhlah talak yang dimaksud. Sebaliknya, jika suami dengan kata-kata kinayah tersebut tidak bermaksud menjatuhkan talak, maka talak tidak dinyatakan jatuh. 33 Fasakh adalah pengajuan cerai oleh istri tanpa adanya kompensasi yang diberikan istri kepada suami, dalam kondisi di mana: suami tidak memberikan nafkah lahir dan batin selama enam bulan berturut-turut; suami meninggalkan istrinya selama empat tahun berturut-turut tanpa ada kabar berita meskipun terdapat kontroversi tentang batas waktunya; suami tidak melunasi mahar mas kawin yang telah disebutkan dalam akad nikah, baik sebagian ataupun seluruhnya sebelum terjadinya hubungan suami istri; atau adanya perlakuan buruk oleh suami seperti penganiayaan, penghinaan, dan tindakan-tindakan lain yang membahayakan keselamatan dan keamanan istri. Jika gugatan tersebut 32 Ahmad Shiddieq, Hukum Talak dalam Islam, Surabaya: Putra Pelajar, 2001, h.16 33 Sri Mulyati, Relasi Suami Isteri dalam Islam, h.30 dikabulkan oleh Hakim berdasarkan bukti-bukti dari pihak istri, maka Hakim berhak memutuskan tafrîq hubungan perkawinan antara keduanya. Khulu ’ adalah kesepakatan penceraian antara suami istri atas permintaan istri dengan imbalan sejumlah uang harta yang diserahkan kepada suami. Penceraian semacam ini pernah terjadi pada masa Rasulullah. Jamilah binti Sahal, istri dari Tsabit bin Qais, merupakan wanita pertama yang melakukan khulu’ dalam Islam. Dikisahkan oleh Ibnu Abbas: D E1 F1 G H - GI1 + G A? ی ,9+ G H - JK 1 ? ی LM : 1 NM ? O2+P , A? ,9+ + یL I1 KAی G - ﻥ , - ,9+ + - CAی RAL= SCA 7I T 34 Artinya: “Dari Ibnu Abbas r.a. diceritakan: Istri Tsabit bin Qais datang menemui Rasulullah SAW dan ia berkata: “Wahai Rasulullah, aku tidak mencela suamiku Tsabit bin Qais baik dalam hal akhlak maupun agamanya. Hanya saja aku khawatir akan terjerumus ke dalam kekufuran setelah memeluk Islam karena tidak dapat menjalankan kewajiban sebagai istri ”. Rasulullah bersabda:” Apakah kamu bersedia mengembalikan kebun itu kepada suamimu? Wanita itu menjawab: “Saya bersedia”, lalu Rasulullah berkata kepada suaminya: “Ambilah kebun itu dan ceraikan istrimu ”. HR.Bukhari. 35 Dalam surat al-Baqarah Allah berfirman: U ی M E1 V WI B9 K I X SY Z 3 E1 ? [ی 1 Aی E\? KN 1 Aی ? ] 4 R ? ? K 34 Ibnu Abdillah Muhammad bin Ismail bin Ibrahim, Shahih Bukhori Kohiro: Jumhuriyah Mishro Al-Arobiyah, 1411-H, Juz-VIII, h. 219 35 Sayyid Sabiq, Terjemahan: Fikih Sunnah JIlid 3, Jakarta: Pena Pundi Aksara, 2008, Cet. Ke-3, h. 190-191 Artinya: ” …Tidak halal bagi kamu mengambil kembali sesuatu yang telah kamu berikan kepada mereka, kecuali kalau keduanya khawatir tidak akan dapat menjalankan hukum-hukum Allah. Jika kamu khawatir bahwa keduanya suami istri tidak dapat menjalankan hukum-hukum Allah, maka tidak ada dosa atas keduanya tentang bayaran yang diberikan oleh istri untuk menebus dirinya…. “Q.S.2:229 Menurut para fuqaha, khulu’ pengertian luasnya yakni perceraian dengan disertai agar melepas dari ikatan perkawinan, baik dengan kata khulu’, mubaraah atau pembebasan, dan talak. Jika ditelusuri pengertian khususnya, yaitu talak atas dasar iwadh pengganti sebagai tebusan dari istri. 36 Dengan pengertian khulu’ diatas, maka dapat ditarik kesimpulan bahwa khulu’ adalah hak memutus akad nikah oleh istri terhadap suaminya yang dapat terjadi atas kesepakatan jumlah tebusan mahar atau perintah hakim agar istri membayar dengan jumlah tertentu dan tidak melebihi jumlah mahar suaminya. 37 Menurut golongan Zahiriyah dan pendapat Ibnu Mundzir, bahwa untuk sahnya khulu’ haruslah karena istri nusyuz atau durhaka kepada suami. 38 Tetapi Imam Syafi’i, Abu Hanifah berpendapat bahwa khulu’ itu sah dilakukan meski istri tidak dalam keadaan nusyuz, dan khulu’ itu sah dengan saling kerelaan antara suami istri kendati keduanya dalam keadaan biasa dan baik-baik saja 39 Khulu’ adalah sah apabila telah ada syarat-syarat berikut: 36 Abdul Rahman Ghazaly, Fiqh Munakahat, Jakarta: Prenada Media, 2003, edisi.I, h.221 37 A. Rahman. I Doi, Penjelasan Lengkap Hukum-Hukum Allah Syari’ah, Jakarta: PT.Raja Grafindo Persada, 2002, cet.I, h.251 38 Abdul Rahman Ghazaly, Fiqh Munakahat, h.220 39 Ibid, h.103 1. Kerelaan dan Persetujuan Para ahli fiqh sepakat bahwa khulu’ dapat dilakukan berdasarkan kerelaan dan persetujuan dari suami istri, asal kerelaan dan persetujuan itu tidak berakibat kerugian di pihak orang lain. 40 Apabila suami tidak mengabulkan permintaan khulu’ dari istrinya, sedang pihak istri tetap merasa dirugikan haknya sebagai seorang istri, maka ia dapat mengajukan gugatan untuk bercerai kepada pengadilan. 2. Istri yang dapat di khulu’ Para ahli fiqh sepakat bahwa istri yang dapat dikhulu’ itu ialah yang mukallaf dan telah terikat dengan akad nikah yang sah dengan suaminya. 41 3. Iwadh Bentuk iwadh sama dengan bentuk mahar. Benda apa saja yang dapat dijadikan mahar dapat pula dijadikan iwadh. Mengenai jumlah iwadh, yang penting ialah persetujuan pihak-pihak suami istri, apakah jumlah yang disetujui itu kurang atau sama atau lebih dari jumlah mahar yang pernah diberikan oleh pihak suami kepada pihak istri diwaktu terjadinya akad nikah. 42 4. Waktu menjatuhkan khulu’ 40 Kamal Mukhtar, Asa-Asas Hukum Islam tentang Perkawinan, Jakarta: Bulan Bintang, 1993, cet.III, h.184 41 Ibid, h. 185 42 Ibid, h.186 Para ahli fiqh sepakat bahwa khulu’ boleh dijatuhkan pada masa haidh, pada masa nifas, pada masa suci yang belum dicampuri atau yang telah dicampuri dan sebagainya. Pendapat ini berdasarkan pengertian umum ayat 229 surat Al-Baqarah dan Hadits Ibnu Abbas yang tidak menyebutkan waktu- waktu menjatuhkan khulu’. 43 Ketentuan hukum khulu menurut tinjauan fikih, dalam memandang masalah Al-Khulu terdapat hukum-hukum taklifi sebagai berikut: 1. Mubah Diperbolehkan. Ketentuannya, sang wanita sudah benci tinggal bersama suaminya karena kebencian dan takut tidak dapat menunaikan hak suaminya tersebut dan tidak dapat menegakkan batasan-batasan Allah Subhanahu wa Ta’ala dalam ketaatan kepadanya, dengan dasar firman Allah Subhanahu wa Ta’ala. “Al-Hafizh Ibnu Hajar memberikan ketentuan dalam masalah khulu ini dengan pernyataannya, bahwasanya khulu, ialah seorang suami menceraikan isterinya dengan penyerahan pembayaran ganti kepada suami. Ini dilarang, kecuali jika keduanya atau salah satunya merasa khawatir tidak dapat melaksanakan apa yang diperintahkan Allah. Hal ini bisa muncul karena adanya ketidaksukaan dalam pergaulan rumah tangga, bisa jadi karena jeleknya akhlak atau bentuk fisiknya. Demikian juga larangan ini hilang, kecuali jika keduanya membutuhkan penceraian, karena khawatir dosa yang 43 Ibid, h. 187 menyebabkan timbulnya Al-Bainunah Al-Kubra Perceraian besar atau talak Tiga. Syaikh Al-Bassam mengatakan, diperbolehkan khulu gugat cerai bagi wanita, apabila sang isteri membenci akhlak suaminya atau khawatir berbuat dosa karena tidak dapat menunaikan haknya. Apabila sang suami mencintainya, maka disunnahkan bagi sang isteri untuk bersabar dan tidak memilih perceraian. 2. Diharamkan Khulu, Hal Ini Karena Dua Keadaan. a. Dari Sisi Suami. Apabila suami menyusahkan isteri dan memutus hubungan komunikasi dengannya, atau dengan sengaja tidak memberikan hak-haknya dan sejenisnya agar sang isteri membayar tebusan kepadanya dengan jalan gugatan cerai, maka khulu itu batil, dan tebusannya dikembalikan kepada wanita. Sedangkan status wanita itu tetap seperti asalnya jika khulu tidak dilakukan dengan lafazh thalak, karena Allah SWT berfirman: B9 K I X_ 9 BVK B9` I Ca N IWی E1 b3 9B MI E1 c ? B9 KB E\? B Z C L U SY Z S S ? dی Artinya: “Janganlah kamu menyusahkan mereka karena hendak mengambil kembali sebagian kecil dari apa yang telah kamu berikan kepadanya, terkecuali bila mereka melakukan pekerjaan keji yang nyata ” Q.S. 4:19 Apabila suami menceraikannya, maka ia tidak memiliki hak mengambil tebusan tersebut. Namun, bila isteri berzina lalu suami membuatnya susah agar isteri tersebut membayar terbusan dengan khulu, maka diperbolehkan berdasarkan ayat di atas. b. Dari Sisi Isteri. Apabila seorang isteri meminta cerai padahal hubunganrumah tangganya baik dan tidak terjadi perselisihan maupun pertengkaran di antara pasangan suami isteri tersebut. Serta tidak ada alasan syar’i yang membenarkan adanya khulu. 3. Mustahabbah Sunnah Wanita Minta Cerai khulu. Apabila suami berlaku mufarrith meremehkan hak-hak Allah, maka sang isteri disunnahkan khulu. Demikian menurut madzhab Ahmad bin Hanbal. 4. Wajib Terkadang khulu hukumnya menjadi wajib pada sebagiaan keadaan. Misalnya terhadap orang yang tidak pernah melakukan shalat, padahal telah diingatkan. Demikian juga seandainya sang suami memiliki keyakinan atau perbuatan yang dapat menyebabkan keyakinan sang isteri keluar dari Islam dan menjadikannya murtad. Sang wanita tidak mampu membuktikannya di hadapan hakim peradilan untuk dihukumi berpisah atau mampu membuktikannya, namun hakim peradilan tidak menghukuminya murtad dan tidak juga kewajiban bepisah, maka dalam keadaan seperti itu, seorang wanita wajib untuk meminta dari suaminya tersebut khulu walaupun harus menyerahkan harta. Karena seorang muslimah tidak patut menjadi isteri seorang yang memiliki keyakinan dan perbuatan kufur. Efek hukum yang ditimbulkan Fasakh dan khulu’ adalah talak bâ’in sughra , yaitu hilangnya hak rujuk pada suami selama masa ‘iddah. Artinya, apabila lelaki tersebut ingin kembali kepada mantan istrinya maka ia diharuskan melamar dan menikah kembali dengan perempuan tersebut. Sementara itu, istri wajib menunggu sampai masa ‘iddahnya berakhir apabila ingin menikah dengan laki-laki yang lain.

C. Faktor-faktor Penyebab Perceraian