Pemeriksaan Kadar Rifampisin Dalam Plasma Darah Pasien TB Menggunakan Kromatografi Cair Kinerja Tinggi (KCKT)

(1)

PEMERIKSAAN KADAR RIFAMPISIN DALAM PLASMA DARAH PASIEN TB MENGGUNAKAN KROMATOGRAFI CAIR KINERJA TINGGI (KCKT)

SKRIPSI

OLEH: ANTONI ARDHI

NIM 040804046

FAKULTAS FARMASI

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN


(2)

PEMERIKSAAN KADAR RIFAMPISIN DALAM PLASMA DARAH PASIEN TB MENGGUNAKAN KROMATOGRAFI CAIR KINERJA TINGGI (KCKT)

SKRIPSI

Diajukan untuk melengkapi salah satu syarat untuk mencapai gelar Sarjana Farmasi pada Fakultas Farmasi

Universitas Sumatera Utara

OLEH: ANTONI ARDHI

NIM 040804046

FAKULTAS FARMASI

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN


(3)

LEMBAR PENGESAHAN SKRIPSI

PEMERIKSAAN KADAR RIFAMPISIN DALAM PLASMA DARAH PASIEN TB MENGGUNAKAN KROMATOGRAFI CAIR KINERJA TINGGI (KCKT)

OLEH: ANTONI ARDHI

NIM 040804046

Dipertahankan di hadapan Panitia Penguji Fakultas Farmasi

Universitas Sumatera Utara

Pada Tanggal : 2010

Pembimbing II,

(Prof. Dr. M. Timbul Simanjuntak, M.Sc., Apt.) NIP 19521204198002 1 001

Pembimbing I, Panitia Penguji,

(Dr. Karsono, Apt.) (Prof. Dr. Sumadio Hadisahputra., Apt.) NIP 19540909198201 1 001 NIP 19531128198303 1 002

(Dr. Karsono, Apt.)

NIP 19540909198201 1 001

(Dr. Edi Suwarso, SU., Apt.) NIP

(Drs. Muchlisyam, Msi., Apt) NIP

Medan, Agustus 2010 Fakultas Farmasi Universitas Sumatera Utara

Dekan,

(Prof. Dr. Sumadio Hadisahputra., Apt.) NIP. 19531128198303 1 002


(4)

KATA PENGANTAR

Assalamualaikum Wr.Wb

Puji dan syukur saya ucapkan kehadirat Allah SWT, karena atas segala rahmat dan karunia-Nya lah, saya selaku penulis dapat melakukan penelitian dan penulisan skripsi ini yang berjudul “Pemeriksaan Kadar Rifampisin Dalam Plasma Darah Pasien TB Menggunakan Kromatografi Cair Kinerja Tinggi (KCKT)”. Skripsi ini diajukan sebagai salah satu syarat guna memperoleh gelar Sarjana Farmasi dari Fakultas Farmasi Universitas Sumatera Utara.

Pada kesempatan ini penulis hendak menyampaikan terima kasih yang sebesar-besarnya saya haturkan dan penghargaan yang tulus kepada kedua orang tua, Ayahanda H. Aziz Cholis dan Ibunda Hj. Bahaiyurah atas segala perhatian, doa dan dukungan baik moril dan materil yang telah diberikan.

Terima kasih yang sebesar-besarnya kepada Bapak Dr. Karsono, Apt. dan Bapak Prof. Dr. M. Timbul Simanjuntak, M.Sc., Apt., yang telah memberikan bimbingan dengan penuh kesabaran sehingga penulis dapat menyelesaikan penelitian hingga penulisan skripsi ini selesai.

Pada kesempatan ini, dengan segala kerendahan hati penulis ingin pula Menyampaikan terima kasih kepada :

1. Bapak Prof. Dr. Sumadio Hadisahputra, Apt selaku Dekan Fakultas Farmasi Universitas Sumatera Utara. yang telah memberikan kesempatan dan fasilitas kepada penulis.

2. Bapak Dr. Edy Suwarso, SU., Apt, dan Bapak Drs. Muchlisyam, Msi., Apt., selaku dosen penguji yang telah memberikan masukan dalam penyusunan skripsi ini.


(5)

3. Bapak/Ibu staf pengajar dijurusan Farmasi Univesitas Sumatera Utara yang telah mendidik penulis selama menjalani pendidikan di perguruan tinggi ini.

4. Dr. Zainuddin Amir, DSP selaku dokter ahli penyakit saluran pernapasan yang telah menyediakan sarana untuk penelitian ini.

5. Terima kasih kepada kakakku kak Liza Susanti, Kak Zizi Dian Novianti dan adekku Slamet Riadi atas doa, semangat, dan dorongan dalam menyelesaikan skripsi ini Juga kepada Wulan, Suji, Desi, Anggel, Fenti, Irus, dan Yuli, yang selalu ada memberi semangat dan pikiran selama penelitian dan penyusunan skripsi ini. Tidak lupa penulis ingin mengucapkan terimakasih kepada para sahabatku Riza,Ya’qub, Rian, Diding, Parna, Lambok, Dedi, Rico, Yogi, dan rekan-rekan mahasiswa Farmasi stambuk 2004,2005 dan 2006. staf dan para asisten di Laboratorium Biofarmasi dan Laboratorium Penelitian, yang tidak dapat disebutkan namanya satu persatu, atas segala dorongan motivasi dan bantuannya kepada penulis sehingga skripsi ini dapat selesai .

Semoga Allah SWT memberi balasan yang berlipat ganda untuk segala kebaikan dan pertolongan yang diberikan kepada penulis.

Akhirnya penulis berharap semoga tulisan ini bermanfaat bagi kita semua. Medan, Agustus 2010 Penulis,


(6)

PEMERIKSAAN KADAR RIFAMPISIN DALAM PLASMA DARAH PASIEN TB MENGGUNAKAN KROMATOGRAFI CAIR KINERJA TINGGI (KCKT)

Abstrak

Kebanyakan obat-obatan saat ini tidak efektif dalam mengobati penyakit TB. Hal ini disebabkan oleh pemakaian obat yang tidak teratur dan pemakaian dosis obat yang tidak tepat pada dosisnya, sehingga obat yang diberikan tidak tampak memberikan efek terapi pada pasien. Oleh karena itu perlu dilakukan pemeriksaan kadar obat-obat TB. Pada penelitian ini dilakukan pemeriksaan kadar rifampisin dalam tubuh pasien tuberkulosis secara Kromatografi Cair Kinerja Tinggi (KCKT) dengan metode fase terbalik (fase gerak bersifat polar dan fase diam bersifat non polar), menggunakan kolom ODS C18, fase gerak yang digunakan campuran buffer phosfat pH 2,6 : acetonitril (55:45) dengan laju alir 0,8 ml/menit, pengukuran dilakukan pada panjang gelombang 254 nm.

Karena sifat rifampisin ini mudah teroksidasi pada suhu kamar maka sangat perlu ditambahkan anti oksidasi. Anti oksidan yang digunakan pada penelitian ini adalah vitamin C dari hasil orientasi diperoleh hasil uji identifikasi dari rifampisin yaitu dengan waktu retensi pada menit ke 13,493 - 14,780 menit.

Hasil uji identifikasi yang dilakukan terhadap sampel pasien diperoleh waktu retensi 14,313, dimana luas area puncak rifampisin dengan koefisien korelasi (r) = 0,9877 dan dari hasil perhitungan diperoleh persamaan regresi Y = 786175,4494 X - 276075,9301. Batas Deteksi dan Batas Kuantifikasi berturut-turut adalah 3,342069 mM dan 11,14023 mM. Hasil pemeriksaan kadar rifampisin dalam plasma darah pasien tuberkulosis adalah 1,3593 mM.


(7)

EXAMINATION CONTENT OF BLOOD PLASMA IN PATIENTS RIFAMPICIN TB USING HIGH PERFORMANCE LIQUID CHROMATOGRAPHY (HPLC)

Abstract

At this time, most of drugs not effective enough to use in tuberculosis treatment. The possible effect are caused by dose irreguler using, so that the drugs were given has no efficacy to the patient. Therefore, drug examination need to be done.

In this research examination of the body level of rifampicin in tuberculosis patient by High Performance Liquid Chromatography (HPLC) method using a reversed phase C18 ODS colomn (mobile phase is polar and stationary phase is non polar), mobile phase was the mixture of pH 2,6 buffer phosphate : acetonitril (55:45) with a flow rate 0,8 ml/min, measurement were taken at a wavelenght of 254 nm.

Because of rifampicin characteristic was oxidated at ambient temperature so that amount of antioxidant need to be added. Vitamin C was used as an antioxidant in this research and from the oriented result given retention time at 13,493 – 14,780 minutes.

Identification test result performed on sample of patient obtained retention time af 14,313 minutes, where the peak area of rifampicin with correlation coefficient (r) = 0,9877, and calculation result obtained from the regression equation Y = 786175,4494 X - 276075,9301. Limit of detection and limit of quantitation are 3,342069 mM and 11,14023 mM, respectively. The assessment of blood plasma level of rifampicin in tuberculosis patient was 1,3593 mM.


(8)

DAFTAR ISI

Halaman

JUDUL ... i

HALAMAN JUDUL ... ii

LEMBAR PENGESAHAN ... iii

KATA PENGANTAR... iv

ABSTRAK ... vi

ABSTRACT... vii

DAFTAR ISI... viii

DAFTAR GAMBAR... xi

DAFTAR LAMPIRAN... xii

BAB I PENDAHULUAN ... 1

1.1 Latar Belakang ... 1

1.2 Perumusan Masalah ... 4

1.3 Hipotesis ... 4

1.4 Tujuan Penelitian ... 4

1.5 Manfaat Penelitian ... 5

1.6 Alur Penelitian ... 5

1.7 Kerangka Penelitian ... 5

BAB II TINJAUAN PUSTAKA ... 6

2.1 Tuberkulosis ... 6

2.2 Plasma dan Darah ... 7


(9)

2.4 Farmakokinetik ... 10

2.5 Kromatografi Cair Kinerja Tinggi (KCKT)... . 11

2.5.1 Cara Kerja KCKT ... . 12

2.5.2 Komponen KCKT ... . 13

2.5.2.1 Pompa ... . 13

2.5.2.2 Injektor ... . 13

2.5.2.3 Kolom ... . 14

2.5.2.4 Detektor... 15

2.5.2.5 Fase gerak... 16

2.6 Pengolahan data... 17

2.6.1 Guna kromatogram ... 17

2.6.2 Elusi Gradien dan Isokratik ... 17

2.7 Pemantauan Kadar Terapi... 18

BAB III METODOLOGI PENELITIAN ... 23

3.1 Alat... 23

3.2 Bahan ... 23

3.3 Pengambilan Sampel... 23

3.4 Rancangan Penelitian... 24

3.4.1 Penyiapan Bahan... 24

3.4.1.1 Pembuatan Plasma Darah Pasien TB... 24

3.4.1.2 Pembuatan Plasma Kosong... 24

3.4.1.3 Pembuatan Pereaksi ... 24


(10)

3.4.1.3.2 Kalium Dihidrogen Fosfat 0,2 M... 25

3.4.1.3.3 Dapar Fosfat pH 2,6... 25

3.4.1.4 Pembuatan Fase Gerak... 25

3.4.2 Prosedur Analisis ... 25

3.4.2.1 Penyiapan Alat KCKT ... 25

3.4.2.2 Penentuan Garis Alas (Base Line) ... 25

3.4.2.3 Penyuntikan Fase Gerak ... 26

3.4.2.4 Pembuatan Kromatografi Plasma Kosong ... 26

3.4.2.5 Analisis Kualitatif ... 26

3.4.2.6 Analisis Kuantitatif ... 26

3.4.2.6.1 Penentuan Linieritas Kurva Kalibrasi Baku Pembanding Rifampisin... 26

3.4.2.6.2 Penetapan Kadar Rifampisin Dalam Plasma Darah Pasien... 27

3.4.3 Penentuan Batas Deteksi dan Batas Kuantifikasi ... 28

BAB III HASIL DAN PEMBAHASAN ... 29

BAB IV KESIMPULAN DAN SARAN ... 33

5.1 Kesimpulan ... 33

5.2 Saran ... 33

DAFTAR PUSTAKA... 34


(11)

DAFTAR GAMBAR

Halaman Gambar 1 Kromatogram LIB Rifampisin ARS... 29

Gambar 2 Kromatogram Sampel Rifampisin ... 30 Gambar 3 Kurva Kalibrasi Rifampisin versus luas area puncak


(12)

DAFTAR LAMPIRAN

Halaman

Lampiran 1 Gambar Alat KCKT dan Syringe 50 µl ... 36

Lampiran 2 Gambar Perangkat Penelitian Lainnya ... 37

Lampiran 3 Gambar Plasma Kosong ... 40

Lampiran 4 Kromatogram Fase Gerak... 41

Lampiran 5 Kromatogram dari Larutan Rifampisin ARS, Fase Gerak Buffer Posfat pH 2,6: Acetonitril (55 : 45)... 42

Lampiran 6 Kromatogram dari Larutan Vitamin C, Fase Gerak Buffer Posfat pH 2,6: Acetonitril (55 : 45) ... 43

Lampiran 7 Kromatogram dari Plasma Kosong... 44

Lampiran 8 Kromatogram dari Penyuntikan Sampel Plasma Pasien TB ... 45

Lampiran 9 Kromatogram dari larutan Larutan Rifampisin ARS Konsentrasi 0,486 mM (400 mcg/ml)... 46

Lampiran 10 Kromatogram dari larutan Larutan Rifampisin ARS Konsentrasi 0,6075 mM (500 mcg/ml)... 47

Lampiran 11 Kromatogram dari larutan Larutan Rifampisin ARS Konsentrasi 0,729 mM (600 mcg/ml)... 48

Lampiran 12 Kromatogram dari larutan Larutan Rifampisin ARS Konsentrasi 1,0936 mM (900 mcg/ml)... 49

Lampiran 13 Kromatogram dari larutan Larutan Rifampisin ARS Konsentrasi 1,4581 mM (1200 mcg/ml)... 50

Lampiran 14 Perhitungan Persamaan Regresi dan Kurva Kalibrasi Rifampisin ARS yang Diperoleh Secara KCKT pada 254 nm 51

Lampiran 15 Perhitungan Konsentrasi Obat Rifampisin ... 53

Lampiran 16 Perhitungan Limit of Detection (LOD) dan Limit of Quantitation (LOQ) Rifampisin... 54


(13)

Lampiran 18 Spesifikasi Baku Rifampisin ... 56

Lampiran 19 Surat Komite Etik ... 57

Lampiran 20 Pembuatan Plasma... 58

Lampiran 21 Pembuatan Kromatogram dari Plasma Kosong... 59

Lampiran 22 Pembuatan Kurva Kalibrasi Rifampisin ARS ... 60

Lampiran 23 Pembuatan Plasma dari Sampel Darah Pasien ... 62


(14)

PEMERIKSAAN KADAR RIFAMPISIN DALAM PLASMA DARAH PASIEN TB MENGGUNAKAN KROMATOGRAFI CAIR KINERJA TINGGI (KCKT)

Abstrak

Kebanyakan obat-obatan saat ini tidak efektif dalam mengobati penyakit TB. Hal ini disebabkan oleh pemakaian obat yang tidak teratur dan pemakaian dosis obat yang tidak tepat pada dosisnya, sehingga obat yang diberikan tidak tampak memberikan efek terapi pada pasien. Oleh karena itu perlu dilakukan pemeriksaan kadar obat-obat TB. Pada penelitian ini dilakukan pemeriksaan kadar rifampisin dalam tubuh pasien tuberkulosis secara Kromatografi Cair Kinerja Tinggi (KCKT) dengan metode fase terbalik (fase gerak bersifat polar dan fase diam bersifat non polar), menggunakan kolom ODS C18, fase gerak yang digunakan campuran buffer phosfat pH 2,6 : acetonitril (55:45) dengan laju alir 0,8 ml/menit, pengukuran dilakukan pada panjang gelombang 254 nm.

Karena sifat rifampisin ini mudah teroksidasi pada suhu kamar maka sangat perlu ditambahkan anti oksidasi. Anti oksidan yang digunakan pada penelitian ini adalah vitamin C dari hasil orientasi diperoleh hasil uji identifikasi dari rifampisin yaitu dengan waktu retensi pada menit ke 13,493 - 14,780 menit.

Hasil uji identifikasi yang dilakukan terhadap sampel pasien diperoleh waktu retensi 14,313, dimana luas area puncak rifampisin dengan koefisien korelasi (r) = 0,9877 dan dari hasil perhitungan diperoleh persamaan regresi Y = 786175,4494 X - 276075,9301. Batas Deteksi dan Batas Kuantifikasi berturut-turut adalah 3,342069 mM dan 11,14023 mM. Hasil pemeriksaan kadar rifampisin dalam plasma darah pasien tuberkulosis adalah 1,3593 mM.


(15)

EXAMINATION CONTENT OF BLOOD PLASMA IN PATIENTS RIFAMPICIN TB USING HIGH PERFORMANCE LIQUID CHROMATOGRAPHY (HPLC)

Abstract

At this time, most of drugs not effective enough to use in tuberculosis treatment. The possible effect are caused by dose irreguler using, so that the drugs were given has no efficacy to the patient. Therefore, drug examination need to be done.

In this research examination of the body level of rifampicin in tuberculosis patient by High Performance Liquid Chromatography (HPLC) method using a reversed phase C18 ODS colomn (mobile phase is polar and stationary phase is non polar), mobile phase was the mixture of pH 2,6 buffer phosphate : acetonitril (55:45) with a flow rate 0,8 ml/min, measurement were taken at a wavelenght of 254 nm.

Because of rifampicin characteristic was oxidated at ambient temperature so that amount of antioxidant need to be added. Vitamin C was used as an antioxidant in this research and from the oriented result given retention time at 13,493 – 14,780 minutes.

Identification test result performed on sample of patient obtained retention time af 14,313 minutes, where the peak area of rifampicin with correlation coefficient (r) = 0,9877, and calculation result obtained from the regression equation Y = 786175,4494 X - 276075,9301. Limit of detection and limit of quantitation are 3,342069 mM and 11,14023 mM, respectively. The assessment of blood plasma level of rifampicin in tuberculosis patient was 1,3593 mM.


(16)

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

Tuberculosis merupakan infeksi bakteri kronik yang disebabkan oleh Mycobacterium tuberculosis dan ditandai oleh pembentukan granuloma pada jaringan yang terinfeksi dan oleh hipersensitivitas yang diperantarai sel (cell-mediated hypersensitivity). Penyakit biasanya terletak di paru tetapi dapat mengenai organ lain. Dengan tidak adanya pengobatan yang tidak efektif untuk penyakit yang aktif, biasa terjadi penyakit yang kronik dan berakhir dengan kematian (Anonim a, 2008).

Insidensi Tuberculosis (TB) dilaporkan meningkat secara drastis pada dekade terakhir ini di seluruh dunia termasuk juga di Indonesia. Penyakit ini biasanya banyak terjadi pada negara berkembang atau yang mempunyai tingkat sosial ekonomi menengah ke bawah. Tuberculosis (TB) merupakan penyakit infeksi penyebab kematian dengan urutan atas atau angka kematian (mortalitas) tinggi, angka kejadian penyakit (morbiditas), diagnosis dan terapi yang cukup lama.

Sepertiga populasi di dunia terinfeksi dengan Mycobacterium tuberculosis, terdapat 30 juta kasus tuberkulosis aktif di dunia, dengan 10 juta kasus baru terjadi setiap tahun dan 3 juta orang meninggal akibat tuberkulosis setiap tahun. Di Indonesia, khususnya di kota Medan. TB merupakan penyebab kematian utama dan angka kesakitan dengan urutan teratas setelah Infeksi Saluran Pernafasan Akut (ISPA). Di mana Indonesia menduduki urutan ketiga setelah India dan China dalam jumlah penderita TB di dunia. Jumlah penderita TB paru dari tahun ke tahun di Indonesia terus meningkat (Anonim b, 2009).


(17)

Kebanyakan obat-obatan saat ini tidak efektif dalam mengobati penyakit TB. Hal ini disebabkan oleh pemakaian obat yang tidak teratur dan pemakaian dosis obat yang tidak tepat pada dosisnya, sehingga obat yang diberikan tidak tampak memberikan efek terapi pada pasien. Oleh karena itu perlu dilakukan pemeriksaan kadar obat-obat TB khususnya di kota Medan.

Obat-obat TB yang lazim digunakan biasanya dikombinasikan dalam satu paket yaitu INH, Ethambutol, Pyrazinamid, dan Rifampisin. Pengobatan TB ini sangat sulit terlebih lagi bila telah resistensi bisa mengeluarkan biaya yang mahal serta waktu yang cukup lama yaitu kurang lebih selama 6 bulan, dan itu harus dipastikan pasien meminum obatnya setiap hari tanpa absen. Serta dosis yang diberikan harus tepat sehingga obat memberikan efek terapi. Maka dari itu perlu dilakukan pemeriksaan obat dalam serum dengan cara penetapan dosis yang optimal, yang biasanya disebut dengan kegiatan

Therapeutic Drug Monitoring (TDM) (Simamora, 1986).

Rifampisin merupakan senyawa anti mikroba yang sampai saat ini masih menjadi pilihan sebagai obat anti TB (Tuberculosis). Dalam sediaan, rifampisin sering dikombinasikan dengan INH dan etambutol untuk mencapai efek farmakologi yang lebih baik. Bentuk sediaan yang banyak ditemukan diperdagangan umumnya tablet, kapsul atau kaplet, baik tunggal maupun kombinasi. Efek farmakologi rifampisin sebagai anti tuberkulotik berlangsung melalui mekanisme kerja penghambatan polimerase RNA yang bergantung pada DNA bakteri. Spektrum kerjanya luas, disamping terhadap mikobakteri, juga efektif terhadap sejumlah bakteri gram positif dan negatif (Mutschler, 1996).

Dalam larutan, rifampisin mudah teroksidasi dengan adanya oksigen atmosfer. Reaksi ini dapat dicegah dengan penambahan natrium askorbat sebagai anti oksidan.


(18)

Disimpan dalam wadah tidak tembus cahaya, tertutup rapat terlindung dari panas berlebihan. Oleh karena itu pengerjaannya harus betul-betul teliti dan cepat. Untuk mendapatkan hasil yang optimal tanpa adanya zat yang teroksidasi (Florey, 1976).

Untuk menentukan kadar tablet rifampisin tersebut penulis membutuhkan suatu metode untuk menetapkan kadar tablet tersebut dalam plasma secara baik. Mengingat obat ini merupakan drug of coice maka ketepatan obat ini harus diperhatikan oleh karena itu penulis memilih memakai metode Kromatografi Cair Kinerja Tinggi (KCKT). KCKT merupakan sistem pemisahan dengan kecepatan dan efisiensi yang tinggi karena didukung oleh kemajuan teknologi kolom, sistem pompa tekanan tinggi dan detector yang sangat sensitif dan beragam hingga mampu mendeteksi berbagai macam senyawa obat (Depkes RI, 1995).

Berdasarkan kepolaran dari fase diam dan fase gerak yang digunakan dalam KCKT dikenal tekhnik fase normal (kromatografi fase normal) artinya fase diam lebih polar dari fase gerak dan sebaliknya fase diam lebih non polar daripada fase gerak dikenal dengan tekhnik fase terbalik (kromatografi fase terbalik) (Depkes RI, 1995).

Berdasarkan uraian diatas penulis tertarik mempelajari pemakaian KCKT untuk pemeriksaan kadar tablet rifampicin dalam serum darah. Maka dari itu penulis memilih judul ”Pemeriksaan Kadar Rifampisin Dalam Plasma Darah Pasien TB Menggunakan Kromatografi Cair Kinerja Tinggi”.

Tujuan dari penelitian ini adalah untuk memeriksa kadar rifampisin dalam plasma darah pasien dan sebagai sumber informasi kepada dokter untuk mendapatkan dosis yang tepat dari tablet rifampisin yang memberikan efek terapi terhadap pasien TB.


(19)

1.2 Perumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang di atas perumusan masalah penelitian yaitu:

1 Apakah pemeriksaan kadar rifampisin dalam plasma darah pasien dapat dilakukan secara KCKT menggunakan kolom ODS C18 dengan fase gerak campuran buffer fosfat pH 2,6 : acetonitril (55 : 45).

2 Bagaimana kondisi rifampisin dalam plasma darah pasien TB pada temperatur kamar?

1.3Hipotesis

Berdasarkan perumusan masalah diatas maka dibuat hipotesis sebagai berikut: 1. Kadar rifampisin dalam plasma darah pasien dapat dilakukan secara KCKT

menggunakan kolom ODS C18 dengan fase gerak campuran buffer fosfat pH 2,6 : acetonitril (55 : 45).

2. Rifampisin dalam plasma darah pasien TB berada dalam keadaan tidak stabil pada temperatur kamar.

1.4Tujuan Penelitian

Tujuan dilakukan penelitian ini yaitu:

1. Untuk memeriksa kadar rifampisin dalam plasma darah pasien secara KCKT menggunakan kolom ODS C18 dengan fase gerak campuran buffer fosfat pH 2,6 : acetonitril (55 : 45).

2. Untuk mengetahui stabilitas rifampisin dalam plasma darah pasien TB pada temperatur kamar.


(20)

1.5 Manfaat Penelitian

Manfaat penelitian adalah uji pendahuluan untuk kepentingan pemantauan terapi obat dalam plasma darah pasien guna membantu dalam penyesuaian dosis obat sehingga diperoleh pengobatan yang optimal

1.6 Alur Penelitian

Obat TB Pasien Penderita

TB

Diberikan Diambil

Hasil

Dianalisis Alat KCKT

Diukur

Plasma Darah Darah Pasien TB

1.7 Kerangka Penelitian

Variabel bebas Variabel terikat  Umur pasien

 Dosis

 Pesien dalam pengobatan

Tahap intensif Kadar Rifampisin

 Waktu pengambilan darah  Temperatur kamar


(21)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA 2.1 TUBERKULOSIS

Tuberkulosis merupakan infeksi bakteri kronik yang disebabkan oleh Mycobacterium tuberculosis dan ditandai oleh pembentukan granuloma pada jaringan yang terinfeksi dan oleh hipersensitivitas yang diperantarai sel (cell-mediated hypersensitivity). Penyakit biasanya terletak di paru tetapi dapat mengenai organ lain. Dengan tidak adanya pengobatan yang tidak efektif untuk penyakit yang aktif, biasa terjadi penyakit yang kronik dan berakhir dengan kematian (Anonim a, 2008).

Tuberkulosis, singkatnya TB, adalah suatu penyakit menular yang paling sering (sekitar 80%) terjadi di paru-paru. Penyebabnya adalah suatu basil Gram-positif tahan-asam dengan pertumbuhan sangat lamban, yakni Mycobacterium tuberculosis (dr. Robert Koch, 1882). Gejala TB antara lain batuk kronik, demam, berkeringat waktu malam, keluhan pernapasan, perasaan letih, malaise, hilang nafsu makan, turunnya berat badan, dan rasa nyeri di bagian dada. Dahak penderita berupa lendir (mucoid), purulent, atau mengandung darah (Tjay, 2002).

Setelah terjadi infeksi melalui saluran pernafasan, di dalam gelembung paru (alveoli) berlangsung reaksi peradangan setempat dengan timbulnya benjolan benjolan kecil (tuberkel). Sering kali sistem tangkis tubuh yang sehat dapat memberantas basil dan caranya adalah menyelubunginya dengan jaringan pengikat. Infeksi primer ini lazimnya menjadi abses terselubung dan berlangsung tanpa gejala, hanya jarang disertai batuk dan sesak nafas (Tjay, 2002).


(22)

Infeksi dapat pula menyebar melalui darah dan limfa ke organ lain, antara lain ginjal, tulang dan pada anak anak ke otak dengan menimbulkan radang selaput otak (tuberkulosis meningitis) (Tjay, 2002).

Penyakit TB ditularkan dari orang ke orang, terutama melalui saluran pernafasan dengan menghisap atau menelan tetes tetes ludah yang mengandung basil dan dibatukkan oleh penderita TB terbuka atau adanya kontak antara tetes tetes ludah tersebut dengan luka di kulit (Tjay, 2002).

Tuberkulosis disebabkan oleh kuman tahan asam yang sifatnya berbeda dengan kuman lain. Walaupun perkembangan penemuan obat baru untuk kedua penyakit ini tidak semarak seperti penemuan antibiotik baru untuk infeksi lain, pengenalan sifat mikobakteria lebih mendalam menyebabkan masa pengobatan dapat dipersingkat dan angka kekambuhan lebih kecil. Resistensi dan efek samping masih merupakan masalah utama dalam pengobatan tuberkulosis (Zubaidi, 1995).

Menurut Zubaidi (1995), pengobatan infeksi kuman tahan asam masih merupakan persoalan dan tantangan dalam bidang kemoterapi. Faktor yang mempersulit pengobatan ialah:

1. kurangnya daya tahan hospes terhadap mikobakteria 2. kurangnya daya bakterisid obat yang ada

3. timbulnya resistensi kuman terhadap obat, dan 4. masalah efek samping obat

2.2 Darah dan Plasma

Darah merupakan suatu cairan yang sangat penting bagi manusia karena berfungsi sebagai alat transportasi serta memiliki banyak kegunaan lainnya untuk menunjang


(23)

kehidupan. Tanpa darah yang cukup seseorang dapat mengalami gangguan kesehatan dan bahkan dapat mengakibatkan kematian. Darah pada tubuh manusia mengandung 55% plasma darah (cairan darah) dan 45% sel-sel darah (darah padat). Jumlah darah yang ada pada tubuh kita yaitu sekitar sepertigabelas berat tubuh orang dewasa atau sekitar 4 atau 5 liter (Anonim c, 2009). .

Menurut Anonim c (2009), darah cair atau plasma darah adalah cairan darah berbentuk butiran-butiran darah. Di dalamnya terkandung benang-benang fibrin/ fibrinogen yang berguna untuk menutup luka yang terbuka. Isi kandungan Plasma darah manusia adalah:

1. Gas oksigen, nitrogen dan karbondioksida. 2. Protein seperti fibrinogen, albumin dan globulin. 3. Enzim.

4. Antibodi. 5. Hormon. 6. Urea. 7. Asam urat

8. Sari makanan dan mineral seperti glukosa, gliserin, asam lemak, asam amino, kolesterol.

Protein-protein plasma dapat dipisahkan pada ultrasentrifuge atau dengan elektroforesis menjadi albumin; alfa, beta, dan gama globulin; dan fibrinogen. Albumin adalah komponen utama dan mempunyai peranan utama mempertahankan tekanan osmotik darah. Fibrinogen diperlukan untuk pembentukan fibrin dalam langkah terakhir pembekuan (Junqueira, 1982).


(24)

2.3 Rifampisin

Antibiotik ini adalah derivat semisintetik dari rifamisin B (1965) yang dihasilkan oleh Streptomyces mediterranei, yaitu suatu jamur tanah yang berasal dari prancis selatan. Zat yang berwarna merah bata ini bermolekul besar dengan banyak cincin (makrosiklis). Rifampisin berkhasiat bakterisid luas terhadap fase pertunbuhan

Mycobacterium tuberkulosae dan Mycobacterium leprae, baik yang berada diluar maupun yang berada didalam sel. Obat ini mematikan kuman yang ”dormant” selama masa fase pembelahannya yang singkat. Maka, obat ini sangat pentinguntuk membasmi srmua basil guna mencegah kambuhnya TBC (Tjay, 2002).

Rifampisin juga aktif terhadap kuman Gram-positif lain dan kuman Gramnegatif, (antara lain E. co1i, Klebsiella, suku-suku Proteus dan Pseudomonas), terutama terhadap stafilokoki., termasuk yang resisten terhadap penisilin. Terhadap kuman yang terakhir, aktivitasnya agak lemah. Mekanisme kerianya berdasarkan perintangan spesifik dari suatu enzim bakteri RNA-polymerase, sehingga sintesa RNA terganggu (Tjay, 2002).

Penggunaannya pada terapi TBC pare sangat dibatasi oleh harganya yang cukup mahal. Manfaat utamanva terletak pada terapi yang dapat dipersingkat dari lebih kurang 2 tahun hingga 6-12 bulan. Rifampisin juga merupakan obat pilihan pertama terhadap penyakit lepra (lihat Bab 10, Leprostatika) dan sebagai obat pencegah infeksi

meningococci pada orangorang yang telah berhubungan dengan pasien meningitis. Obat ini sangat efektif terhadap gonore (lebih kurang 90%,) (Tjay, 2002).

Resorpsinya di usus sangat tinggi; distribusinya ke jaringan dan cairan tubuh juga baik, termasuk CCS. Hal ini nyata sekali pada pewarnaan jingga /merah dari air seni, tinja, ludah, keringat, dan air mata. Lensa kontak (lunak) juga dapat berwarna permanen.


(25)

Plasma t 1/2nya berkisar antara 1,5 sampai 5 jam dan meningkat bila ada gangguan fungsi hati. Di lain pihak, masa paruh ini akan turun pada pasien yang bersamaan waktu menggunakan isoniazida. Dalam hati terjadi desasetilasi dengan terbentuknya metabolit-metabolit dengan kegiatan antibakterial. (Tjay, 2002).

Rifampisin merupakan senyawa anti mikroba yang sampai saat ini masih menjadi pilihan sebagai obat anti TB (Tuberculosis). Dalam sediaan, rifampisin sering dikombinasikan dengan INH dan etambutol untuk mencapai efek farmakologi yang lebih baik. Bentuk sediaan yang banyak ditemukan diperdagangan umumnya tablet, kapsul atau kaplet, baik tunggal maupun kombinasi. Efek farmakologi rifampisin sebagai anti tuberkulotik berlangsung melalui mekanisme kerja penghambatan polimerase RNA yang bergantung pada DNA bakteri. Spektrum kerjanya luas, disamping terhadap mikobakteri, juga efektif terhadap sejumlah bakteri gram positif dan negatif (Mutschler, 1996).

Dalam larutan, rifampisin mudah teroksidasi dengan adanya oksigen atmosfer. Reaksi ini dapat dicegah dengan penambahan natrium askorbat sebagai anti oksidan. Disimpan dalam wadah tidak tembus cahaya, tertutup rapat terlindung dari panas berlebihan. Oleh karena itu pengerjaannya harus betul-betul teliti dan cepat. Untuk mendapatkan hasil yang optimal tanpa adanya zat yang teroksidasi (Florey, 1976).

2.4 Farmakokinetik

Farmakokinetik ialah aspek farmakologi yang mencakup nasib obat dalam tubuh. Faktor faktor farmakokinetik berupa absorpsi, distribusi, ikatan protein dan eliminasi menentukan kecepatan, jumlah dan lama kehadiran obat dalam jaringan, yang secara tidak langsung mencerminkan saat timbul intensitas dan lama nerlangsungnya respon. Proses farmakokinetik adalah proses yang dinamis karena dipengaruhi oleh berbagai


(26)

faktor yaitu fisiologi, patologi, genetic, interaksi obat sehingga dapat diramalkan bahwa proses ini tidak sama pada setiap orang. Akibatnya jumah obat yang sampai ke jaringan tidak sama dan dengan sendirinya suatu obat yang diberi dalam dosis yang sama dapat menghasilkan respom yang berbeda pada sekelompok penderita (Simamora, 1997).

Untuk itu faktor farmakokinetik perlu diketahui oleh seorang dokter untuk menetapkan dosis optimum bagi pasien pasien dengan berpedoman pada kadar obat dalam plasma atau serum. Data farmakokinetik juga penting untuk obat yang memperlihatkan batas keamanan yang sempit, artinya efek toksis dapat terjadi pada kadar yang sedikit lebih tinggi dari kadar terapinya (Simamora, 1997).

2.5 Kromatografi cair kinerja tinggi (KCKT)

Kromatografi didefenisikan sebagai prosedur pemisahan zat terlarut oleh suatu proses migrasi diferensial dinamis dalam sistem yang terdiri dari dua fase atau lebih, salah satu diantaranya bergerak secara berkesinambungan dalam arah tertentu dan didalamnya zat –zat itu menunjukkan perbedaan mobilitas disebabkan adanya perbedaan dalam adsorbsi, partisi, kelarutan, tekanan uap, ukuran molekul atau kerapatan muatan ion. Teknik kromatografi umum membutuhkan zat terlarut terdistribusi diantara dua fase, satu diantaranya diam (fase diam), yang lainnya bergerak (fase gerak). Fase gerak membawa zat terlarut melalui media, sehingga zat tersebut terpisah dari zat terlarut lain, yang terelusi lebih awal atau lebih akhir. Umumnya zat terlarut dibawa melewati media pemisah oleh aliran suatu pelarut berbentuk cairan atau gas yang disebut eluen (Depkes RI, 1995).


(27)

Kelebihan KCKT antara lain:

 Mampu memisahkan molekul-molekul dari suatu campuran  Resolusinya baik

 Mudah melaksanakannya

 Kecepatan analisis dan kepekaannya tinggi

 Dapat dihindari terjadinya dekomposisi/kerusakan bahan yang dianalisis  Dapat digunakan bermacam-macam detektor

 Kolom dapat digunakan kembali  Mudah melakukan rekoveri cuplikan

 Tekniknya tidak begitu tergantung pada keahlian operator dan reprodusibilitasnya lebih baik

 Instrumennya memungkinan untuk bekerja secara automatis dan kuantitatif  Waktu analisis umumnya singkat

 Kromatografi cair preparatif memungkinkan dalam skala besar  Ideal untuk molekul besar dan ion.

Keterbatasan metode KCKT adalah untuk identifikasi senyawa, kecuali jika KCKT dihubungkan dengan spektrometer massa (MS). Keterbatasan lainnya adalah jika sampelnya sangat kompleks, maka resolusi yang baik sulit diperoleh (Munson, 1991). 2.5.1 Cara Kerja KCKT

Kromatografi merupakan teknik yang mana solut atau zat-zat terlarut terpisah oleh perbedaan kecepatan elusi, dikarenakan solut-solut ini melewati suatu kolom kromatografi. Pemisahan solut-solut ini diatur oleh distribusi dalam fase gerak dan fase diam. Penggunaan kromatografi cair membutuhkan penggabungan secara tepat dari


(28)

berbagai macam kondisi operasional seperti jenis kolom, fase gerak, panjang dan diameter kolom, kecepatan alir fase gerak, suhu kolom, dan ukuran sampel (Rohman, 2007).

2.5.2 Komponen KCKT 2.5.2.1 Pompa

Pompa yang cocok digunakan untuk KCKT adalah pompa yang mempunyai syarat sebagaimana syarat wadah pelarut yakni pompa harus inert terhadap fase gerak. Bahan yang umum dipakai untuk pompa adalah gelas, baja tahan karat, Teflon, dan batu nilam. Pompa yang dgunakan sebaiknya mampu memberikan tekanan sampai 5000 psi dan mampu mengalirkan fase gerak dengan kecepatan alir 3 ml/ menit.

Fase gerak dalam KCKT (kromatografi cair kinerja tinggi) sudah tentu zat cair, dan untuk menggerakkannya melalui kolom diperlukan alat. Ada dua jenis utama pompa yang digunakan: tekanan-tetap. Pompa pendesakan tetap dapat dibagi lagi menjadi pompa torak dan pompa semprit. Pompa torak menghasilkan aliran yang berdenyut, jadi memerlukan peredam denyut atau peredam elektronik untuk menghasilakan garis alais detektor yang stabil jika detektor peka terhadap aliran. Kelebihan utamanya ialah tandonnya tidak terbatas. Pompa semprit menghasilkan aliran yang tak berdenyut, tetapi tandonnya terbatas (Edward dan Stevenson, 1991).

2.5.2.2Injektor

Cuplikan harus dimasukkan kedalam pangkal kolom (kepala kolom), diusahakan agas sesedikit mungkin terjadi gangguan pada kemasan kolom.


(29)

a. Hentikan aliran/stop flow: aliran dihentikan, injeksi dilakukan pada kinerja atmosfir, sistem tertutup, dan aliran dilanjutkan lagi. Teknik ini bisa digunakan karena difusi di dalam aliran kecil dan resolusi tidak dipengaruhi.

b. Septum: injektor-injektor langsung ke aliran fase gerak umumnya sama dengan yang digunakan pada kromatografi gas. Injektor ini dapat digunakan pada kinerja sampai 60-70 atmosfir. Tetapi septum ini tidak tahan dengan semua pelarut-pelarut kromatografi cair. Disamping itu, partikel kecil dari septum yang terkoyak (akibat jarum injektor) dapat menyebabkan penyumbatan.

c. Katup putaran (loop valve): ditunjukkan secara skematik dalam Gambar 5, tipe injektor ini umumnya digunakan untuk menginjeksi volume lebih besar daripada 10 µl dan sekarang digunakan dengan cara otomatis (dengan adaptor khusus, volume-volume lebih kecil dapat diinjeksikan secara manual). Pada posisi LOAD, sampel loop (cuplikan dalam putaran) diisi pada tekanan atmosfir. Bila katup difungsikan, maka cuplikan di dalam putaran akan bergerak ke dalam kolom.

2.5.2.3Kolom

Menurut Edward dan Stevenson (1991), kolom merupakan jantung kromatograf. Keberhasilan atau kegagalan analisis bergantung pada pilihan kolom dan kondisi kerja yang tepat. Kolom dapat dibagi menjadi dua kelompok yaitu:


(30)

a) Kolom analitik: garis tengah-dalam 2-6 mm. Panjang bergantung pada jenis kemasan, untuk kemasan, untuk kemasan pelikel biasanya panjang kolom 50-100 cm, untuk kemasan mikropartikel berpori biasanya 10-30 cm.

b) Kolom preparatif: umumnya bergaris tengah 6 mm atau lebih besar dan panjang 25-100 cm.

2.5.2.4Detektor

Suatu detektor dibutuhkan untuk mendeteksi adanya komponen cuplikan dalam aliran yang keluar dari kolom. Detektor-detektor yang baik memiliki sensitifitas yang tinggi, gangguan (noise) yang rendah, kisar respons linier yang luas, dan memberi tanggapan/respon untuk semua tipe senyawa. Suatu kepekaan yang rendah terhadap aliran dan fluktuasi temperatur sangat diinginkan, tetapi tidak selalu dapat diperoleh.

Detektor yang paling banyak digunakan dalam kromatografi cair modern kecepatan tinggi adalah detektor spektrofotometer UV 254 nm. Bermacam-macam detektor dengan variasi panjang gelombang UV-Vis sekarang menjadi populer karena mereka dapat digunakan untuk mendeteksi senyawa-senyawa dalam rentang yang luas. Detektor indeks refraksi juga secara luas digunakan, terutama dalam kromatografi eksklusi, tetapi umumnya kurang sensitif dari pada detektor spektrofotometer UV. Detektor lainnya, antara lain: detektor fluometer, detektor ionisasi nyala, detektor elektrokimia dan lain-lain juga telah digunakan.

Detektor diperlukan untuk mengindera adanya komponen cuplikan di dalam efluen kolom da mengukur jumlahnya. Detektor yang baik sangat peka, tidak banyak berderau, rentang tanggapan liniernya lebar, dan menanggapi semua jenis senyawa.


(31)

Detektor yang merupakan tulang punggung kromatografi cair kecepatan tinggi modern (KCKT) ialah detektor UV 254 nm (Edward dan Stevenson, 1991).

2.5.2.5Fase Gerak

Menurut Edward dan Stevenson (1991), pada kromatografi cair, susunan pelarut atau fase gerak merupakan salah satu peubah yang mempengaruhi pemisahan. Berbagai macam pelarut dipakai dalam semua ragam KCKT, tetapi ada beberapa sifat yang diinginkan yang berlaku umum.

Fase gerak haruslah:

 Murni, tanpa cemaran.

 Tidak bereaksi dengan kemasan.  Sesuai dengan detektor.

 Dapat melarutkan cuplikan.

 Mempunyai viskositas yang rendah.

 Memungkinkan memperoleh kembali cuplikan dengan mudah, jika diperlukan.  Harganya wajar.

Umumnya, pelarut-pelarut dibuang setelah digunakan karena prosedur pemurnian kembali membosankan dan mahal. Dari semua persyaratan di atas, 4 persyaratan pertama adalah yang paling penting. Gelembung udara (degassing) yang ada harus dihilangkan dari pelarut, karena udara yang terlarut keluar melewati detektor dapat menghasilkan banyak noise sehingga data tidak dapat digunakan (Putra, 2007).


(32)

2.6 Pengolahan Data

Komponen yang terelusi mengalir ke detektor dan dicatat sebagai puncak-puncak yang secara keseluruhan disebut sebagai kromatogram.

W W1/2

H1/2

H Rt

Area

Gambar Kromatogram 2.6.1 Guna kromatogram

1. Kualitatif

Waktu retensi selalu konstan dalam setiap kondisi kromatografi yang sama dapat digunakan untuk identifikasi.

2. Kuantitatif

Luas puncak proporsional dengan jumlah sampel yang diinjeksikan dan dapat digunakan untuk menghitung konsentrasi.

3. Kromatogram dapat digunakan untuk mengevaluasi efisiensi pemisahan dan kinerja kolom (kapasitas ‘k’, selektifitas ‘’, jumlah pelat teoritis ‘N’, jarak setara dengan pelat teoritis ‘HETP’ dan resolusi ‘R’).

2.6.2 Elusi Gradien dan Isokratik

Elusi pada KCKT dapat dibagi menjadi dua sistem yaitu:

1. Sistem elusi isokratik. Pada sistem ini, elusi dilakukan dengan satu macam atau lebih fase gerak dengan perbandingan tetap (komposisi fase gerak tetap selama elusi).


(33)

2. Sistem elusi gradien. Pada sistem ini, elusi dilakukan dengan campuran fase gerak yang perbandingannya berubah-ubah dalam waktu tertentu (komposisi fase gerak berubah-ubah selama elusi).

Elusi gradien didefinisikan sebagai penambahan kekuatan fase gerak selama suatu analisis kromatografi berlangsung. Digunakan untuk meningkatkan resolusi campuran yang kompleks terutama jika sampel mempunyai kisaran polaritas yang luas. Pengaruh yang menguntungkan dari elusi gradien adalah memperpendek waktu analisis senyawa-senyawa yang secara kuat ditahan di dalam kolom (Putra, 2007).

Baku dalam terutama merupakan ragam yang berguna karena pemakaiannya secara tepat dapat memperkecil galat yang disebabkan oleh penyiapan cuplikan, peralatan dan cara.

Ada beberapa persyaratan yang harus dipenuhi oleh senyawa baku yakni: a. harus terpisah sama sekali dari puncak cuplikan

b. harus terelusi dekat dengan puncak yang diukur

c. konsentrasi dan tanggapan detektornya harus sama dengan konsentrasi dan tanggapan detektor puncak yang diukur

d. tidak boleh bereaksi dengan komponen cuplikan e. tidak terdapat dalam cuplikan asal

Secara singkat, cara ini mencakup penambahan bahan baku yang jumlahnya diketahui. harus sangat murni dan mudah diperolehKemudian campuran itu dibuat untuk disuntikkan ke dalam kromatogram. Berdasarkan luas puncak senyawa baku dan luas puncak komponen yang diminati, kita dapat menentukan susunan. Cara ini tidak mengandaikan semua komponen terelusi dan dideteksi. Pada kenyataannya, cara ini


(34)

sering menunjukkan bahwa memang ada komponen lain di dalam cuplikan asal, tetapi tidak ditentukan (Johnson dan Stevenson, 1991).

2.7Pemantauan Kadar Terapeutik

Menurut Armen Muchtar (1985), yang dimaksud dengan monitoring kadar terapeutik obat adalah pemeriksaan secara berkala kadar obat dalam darah guna membantu klinisi dalam menetapkan dosis obat yang dapat menyembuhkan atau mengobati penyakit penderita. Dalam praktek, pemberian obat pada umumnya didasarkan atas dosis rata-rata, yaitu dosis yang diperkirakan memberikan efek terapeutik dengan efek samping minimal. Perbedaan individual kadar obat dalam keadaan steady state ini barangkali tidak menimbulkan masalah dalam penentuan besar dosis bila Therapeutik window dari obat yang bersangkutan cukup besar. Tetapi bila Therapeutic window suatu obat sempit, individualisasi dosis dengan mudah dapat dilakukan bila efek obat mudah diukur, sehingga besar dosis dapat dititrasi sesuai dengan intensitas respons yang sedang diamati. Bila respons penderita sukar diamati dengan segera, misalnya karena tujuan pengobatan bersifat profilaksis, atau sukar membedakan efek akibat dosis berlebihan dengan gejala penyakit, titrasi dosis hanya dapat dilakukan dengan baik berdasarkan panduan kadar obat dalam darah. Dengan demikian dapat diringkaskan bahwa monitoring kadar terapeutik obat bermanfaat dilakukan guna menentukan dosis dari obat-obat yang:

1. Kecepatan metabolisme berbeda nyata secara individual. 2. Mempunyai therapeutic window yang sempit.

3. Efek terapeutiknya sukar atau tidak segera dapat diukur. 4. Gejala penyakit sukar dibedakan dengan efek samping obat. 5. Kecepatan metabolisme mudah jenuh.


(35)

Tujuan dari proses pemantauan terapi obat adalah menyesuaikan terapi obat pada karakteristik pasien individu, memaksimalkan manfaat dan meminimalkan resiko. Respon terhadap terapi obat adalah suatu fenomena yang kompleks dan dipengaruhi oleh obat yang digunakan pasien yang diterimanya dari dokter yang menulisnya. Berbagai sifat farmakokinetik seperti absorbsi, distribusi, metabolisme, ekskresi dan durasi kerja harus dipertimbangkan apabila mendesain suatu regimen obat (Siregar dan Endang, 2004).

Perbedaan individual kadar obat dalam keadaan steady state ini barangkali tidak menimbulkan masalah dalam penentuan besar dosis bila Therapeutik window dari obat yang bersangkutan cukup besar. Tetapi bila Therapeutic window suatu obat sempit, individualisasi dosis dengan mudah dapat dilakukan bila efek obat mudah diukur, sehingga besar dosis dapat dititrasi sesuai dengan intensitas respons yang sedang diamati. Bila respons penderita sukar diamati dengan segera, misalnya karena tujuan pengobatan bersifat profilaksis, atau sukar membedakan efek akibat dosis berlebihan dengan gejala penyakit, titrasi dosis hanya dapat dilakukan dengan baik berdasarkan panduan kadar obat dalam darah. Dengan demikian dapat diringkaskan bahwa monitoring kadar terapeutik obat bermanfaat dilakukan guna menentukan dosis dari obat-obat yang:

1. Kecepatan metabolisme berbeda nyata secara individual. 2. Mempunyai therapeutic window yang sempit.

3. Efek terapeutiknya sukar atau tidak segera dapat diukur. 4. Gejala penyakit sukar dibedakan dengan efek samping obat. 5. Kecepatan metabolisme mudah jenuh.


(36)

Dalam pemberian obat-obat yang poten kepada penderita, sudah seharusnya mempertahankan kadar obat dalam plasma berada dalam batas yang dekat dengan konsentrasi terapetik. Berbagai metode farmakokinetik dapat digunakan untuk menghitung dosis awal atau aturan dosis. Biasanya, aturan dosis awal dihitung secara empirik atau diperkirakan setelah mempertimbangkan dengan hati-hati farmakokinetika obat yang diketahui, kondisi patofisiologik penderita dan riwayat penggunaan obat dari penderita (Shargel, 1988).

Karena perubahan antar penderita dalam hal absorpsi, distribusi dan eliminasi obat maupun perubahan kondisi patofisologik penderita, maka dalam beberapa rumah sakit telah ditetapkan adanya pelayanan pemantauan terapetik obat (TDM) untuk menilai respons penderita terhadap aturan dosis yang dianjurkan. Fungsi dari pelayanan TDM dicantumkan berikut ini.

 Memilih obat.

 Merancang aturan dosis.

 Menilai respons penderita.

 Menentukan perlunya pengukuran konsentrasi obat dalam serum.

 Menetapkan kadar obat.

 Melakukan penilaian sacara farmakokinetik kadar obat.

 Menyesuaikan kembali aturan dosis.

 Memantau konsentrasi obat dalam serum.

 Menganjurkan adanya persyaratan khusus.

Sebagian besar anggapan yang dibuat oleh praktisi menyatakan bahwa konsentrasi obat dalam serum berkaitkan dengan efek terapetik dan/atau efek toksik obat.


(37)

Untuk banyak obat, studi klinik telah menunjukan bahwa ada suatu rentang efektif terapetik dari konsentrasi obat dalam serum. Oleh karena itu, pengetahuan tentang konsentrasi obat dalam serum dapat menjelaskan mengapa seorang penderita tidak memberikan reaksi terhadap terapi obat, atau mengapa penderita mengalami suatu efek yang tidak diinginkan. Sebagai tambahan, praktisi mungkin ingin menjelaskan ketelitian dari aturan dosis (Shargel, 1988).


(38)

BAB III

METODOLOGI PENELITIAN

Penelitian ini merupakan penelitian deskriptif dan pengukuran dilakukan dengan menggunakan alat KCKT. Penelitian ini dilakukan di Laboratorium Biofarmasi dan di Laboratorium Penelitian Fakultas Farmasi USU.

3.1 Alat

Alat-alat yang digunakan pada penelitian ini adalah timbangan, beaker gelas, neraca analitis (Baecho), pipet tetes, tabung sentrifugasi, rak tabung, gelas ukur, alat vortex (Health HVM-400), alat sentrifugasi (Health HC 1120T), termos es, spuit 1 ml, spuit 3 ml, politube, mikropipet, batang pengaduk, vial 2 ml, satu unit alat KCKT Agilent 1120 Compact LC, kolom ODS, wadah solven, injektor, syringe 50 µl, pompa vakum (Gast DOA-PG04-BN), sonifikator (Branson 1510), kertas membran filter whatman

cellulosa nitrate 0,45 µm, kertas membran filter PTFE 0,5 µm, penyaring PTFE 0,2 µm. 3.2 Bahan

Bahan–bahan yang digunakan dalam penelitian ini yaitu: Acetonitril grade HPLC (E.Merck), Rifampisin ARS (ASEAN Reference Substance), Vitamin C (E.Merck), serum darah (dari darah pasien TBC), serum darah (relawan), kalium dihidrogen fosfat p.a (E. Merck), aquabidest (Ika Pharmindo Putra Mas), Heparin sodium inj (PT. B.Broun Medical Indonesia).

3.3 Pengambilan Sampel

Sampel yang diperiksa dalam penelitian ini adalah plasma darah pasien penderita TB yang sedang menjalani perawatan di klinik Dr. Zainuddin Amir, DSP (ahli penyakit saluran pernapasan) di Jl. Jemadi Medan. Pasien yang diambil darahnya adalah pasien


(39)

yang telah mengkonsumsi obat TB kurang dari 2 bulan atau sedang menjalani fase intensif. Data pasien dapat dilihat pada lampiran. Waktu pengambilan darah adalah 2 jam setelah meminum obat.

3.4 Rancangan Penelitian 3.4.1 Penyiapan Bahan

3.4.1.1 Pembuatan Plasma Darah Pasien TB

Darah pasien diambil sebanyak 5 ml, kemudian dimasukkan ke dalam venoject

yang telah terbasahi heparin. Tube yang berisi darah dan heparin, ditambahkan vitamin c sebanyak 5 mg dan dihomogenkan dengan vortex. Disentrifugasi dengan kecepatan 4000 putaran permenit selama 5 menit. Diperoleh dua lapisan yaitu lapisan atas yang merupakan plasma dan lapisan bawah berupa endapan. Diambil lapisan atas (plasma). 3.4.1.2 Pembuatan Plasma Kosong

Darah diambil dari donatur (dewasa dan sehat) sebanyak 5 ml, kemudian dimasukkan ke dalam venoject yang telah terbasahi heparin. Tube yang berisi darah disentrifugasi dengan kecepatan 4000 putaran permenit selama 5 menit. Diperoleh dua lapisan yaitu lapisan atas yang merupakan plasma dan lapisan bawah berupa endapan. Diambil lapisan atas (plasma).

3.4.1.3 Pembuatan Pereaksi 3.4.1.3.1 Aqua Bebas CO2

Dibuat dengan mendidihkan air untuk injeksi segar selama tidak kurang dari 10 menit sambil mencegah hubungan dengan udara sesempurna mungkin, didinginkan, dan segera digunakan (Ditjen POM, 1979).


(40)

3.4.1.3.2 Kalium Dihidrogen Fosfat 0,2 M

Dilarutkan 27,218 g kalium dihidrogen fosfat dalam air bebas CO2 secukupnya

hingga 1000,0 ml (Ditjen POM, 1979). 3.4.1.3.3 Dapar Phospat pH 2,6

Dari larutan Kalium Dihidrogen Fosfat 0,2 M sebanyak 500 ml ditambahkan beberapa tetes asam fosfat P hingga diperoleh pH 2,6. Lalu di cek pH dengan pH meter. 3.4.1.4 Pembuatan Fase Gerak

Fase gerak terdiri dari campuran buffer fosfat pH 2,6 dan acetonitril dengan perbandingan 55 : 45. Fase gerak dibuat sebanyak 500 ml dengan mencampurkan buffer fosfat pH 2,6 sebanyak 275 ml dan acetonitril sebanyak 225 ml. Sebelum digunakan fase gerak disaring melalui, penyaring PTFE Kemudian diawaudarakan selama ± 20 menit menggunakan sonifikator (Hemanth, 2004).

3.4.2 Prosedur Analisis

3.4.2.1 Penyiapan Alat KCKT

Alat dihubungkan dengan sumber listrik, kemudian alat dihidupkan dengan menekan tombol power. Diatur panjang gelombang menjadi 254 nm. Dipurging untuk menghilangkan gelembung pada selang, kemudian dialirkan fase gerak hingga laju alir 0,8 ml/menit. Biarkan hingga kondisi alat stabil.

3.4.2.2 Penentuan Garis Alas (Base Line)

Setelah dialirkan fase gerak selama 30 menit, dilihat absorbansi apakah telah stabil, jika telah stabil absorbansi di nol kan dengan cara click to balance


(41)

3.4.2.3 Penyuntikan Fase Gerak

Untuk mengetahui kebersihan injektor, maka dilakukan penyuntikan fase gerak dengan cara: tekan single run, tulis nama sampel dan tekan OK. Injektor diputar ke posisi load dan disuntikkan fase gerak ke dalam injektor dengan menggunakan penyuntik mikroliter, injektor diputar ke posisi inject.

3.4.2.4 Pembuatan Kromatogram dari Plasma Kosong

Dipipet 300 µl plasma, dimasukkan ke dalam politube dan ditambahkan 600 µl acetonitril untuk mengendapkan protein lalu divortex. Disentrifugasi dengan kecepatan 4000 putaran permenit selama 5 menit. Dipisahkan supernatan dari endapan dan dikumpulkan. Disaring dengan penyaring PTFE diameter 0,2 µm, lalu diinjeksikan ke dalam sistem KCKT dengan volume penyuntikan 20 µl dengan laju aliran (flow rate) 0.8 ml/menit, deteksi pada panjang gelombang 254 nm. Dilihat kromatogram yang terbentuk dan waktu retensinya.

3.4.2.5 Analisis Kualitatif

Analisis kualitatif rifampisin dapat dilakukan dengan membandingkan waktu tambat yang sama dari kromatogram pada penyuntikan sampel dengan kromatogram pada penyuntikan larutan baku pembanding rifampisin.

3.4.2.6 Analisis Kuantitatif

3.4.2.6.1 Penentuan Linieritas Kurva Kalibrasi Baku Pembanding Rifampisin

Karena rifampisin ini mudah teroksidasi (tidak stabil) maka diperlukan penambahan vitamin C dan pengerjaannya harus dibuat baru.

Ditimbang seksama sejumlah 5 mg vitamin C lalu dimasukkan ke dalam vial 1 ml, dilarutkan dengan fase gerak (buffer posfat pH 2,6 dan acetonitril dengan perbandingan


(42)

55:45), kemudian ditimbang seksama sejumlah 4 mg, 5 mg, 6 mg, 9 mg, 12 mg Rifampisin ARS dan dilarutkan kedalam fase gerak yang mengandung vitamin C 5 mg. Sehingga diperoleh konsentrasi Rifampisin ARS 4,8605 mM (4.000 mcg/ml), 6,0757 mM (5.000 mcg/ml), 7,2908 mM (6.000 mcg/ml), 10,9362 mM (9000 mcg/ml), 14,5816 mM (12000 mcg/ml). Ke dalam vial yang telah dikalibrasi 2 ml, dipipet 10 l larutan Rifampisin ARS 4,8605 mM (4.000 mcg/ml), 6,0757 mM (5.000 mcg/ml), 7,2908 mM (6.000 mcg/ml), 10,9362 mM (9000 mcg/ml), 14,5816 mM (12000 mcg/ml). Dimasukkan ke dalam vial 2 ml plasma, sehingga konsentrasinya menjadi 0,4860 mM (400 mvg/ml) ), 0,6075 mM (500 mcg/ml), 0,7290 mM (600 mcg/ml), 1,0936 mM (900 mcg/ml), 1,4581 mM (1200 mcg/ml). Divortex lalu didiamkan selama 5 menit. Dipipet 300 µl ditambahkan 600 µl acetonitril untuk mengendapkan protein lalu di vortex. Disentrifugasi dengan kecepatan 4000 putaran per menit selama 5 menit. Supernatan yang diperoleh diambil dengan menggunakan spuit kemudian disaring dengan penyaring PTFE diameter 0,2 µm, lalu diinjeksikan ke dalam sistem KCKT dengan volume penyuntikan 20 µl dengan laju aliran (flow rate) 0.8 ml/menit, deteksi pada panjang gelombang 254 nm.

Kurva kalibrasi dibuat dengan menggunakan rasio luas puncak antara bahan obat dengan baku dalam yang terukur oleh detektor versus konsentrasi bahan obat dengan metode kuadrat terkecil untuk memperoleh garis regresi linier.

3.4.2.6.2 Penetapan Kadar Rifampisin Dalam Plasma Darah Pasien

Kedalam 2 ml plasma darah pasien ditambahkan 5 mg vitamin C. Didiamkan selama 5 menit. Sampel darah pasien dalam suasana dingin dimasukkan ke dalam sentrifugasi. Disentrifugasi selama 5 menit dengan kecepatan 4000 putaran per menit.


(43)

Dipisahkan supernatan dari endapan. Dipipet 300 µl plasma, dimasukkan ke dalam politube dan ditambahkan 600 µl acetonitril untuk mengendapkan protein lalu divortex. Disentrifugasi dengan kecepatan 4000 rpm selama 5 menit. Dipisahkan supernatan dari endapan dan dikumpulkan.

Diambil larutan supernatan dengan menggunakan spuit 1 ml. Kemudian disaring dengan membran filter whatman sellulosa diameter 0,45 µm, lalu diinjeksikan ke dalam sistem KCKT menggunakan penyuntik mikroliter sebanyak 20 µl. Dilihat kromatogram yang terbentuk dan waktu retensinya. Dihitung kadar obat dalam plasma.

3.4.3 Penentuan Batas Deteksi dan Batas Kuantifikasi

Batas deteksi (Limit of detection/LOD) didefenisikan sebagai konsentrasi analit terendah dalam sampel yang masih dapat dideteksi. Batas kuantifikasi (Limit of quantification/LOQ) didefenisikan sebagai konsentrasi analit terendah dalam sampel yang masih dapat ditentukan dengan presisi dan akurasi yang dapat diterima pada kondisi operasional metode yang digunakan.

LOD = slope SD 3 , 3 x LOQ = slope SD 10x (Rohman, 2007)

Standar deviasi (SD) dapat ditentukan berdasarkan pada standar deviasi blanko, pada standar deviasi residual dari garis regresi.

Standar deviasi residual (Sy) =

2 n

) y y ( i 2

 

(Harmita, 2004)


(44)

BAB IV

HASIL DAN PEMBAHASAN

Pemeriksaan rifampisin dalam plasma darah pasien TB dilakukan secara Kromatografi Cair Kinerja Tinggi (KCKT) dengan menggunakan kolom ODS C18, fase gerak buffer posfat pH 2,6 dan acetonitril dengan perbandingan (55:45) dengan panjang gelombang 254 nm dengan vitamin C sebagai anti oksidan. Menurut Gandjar dan Rohman (2007), panjang gelombang yang dipilih biasanya 254 nm karena kebanyakan senyawa obat menyerap di 254 nm.

Untuk mengetahui waktu retensi dari rifampisin terlebih dahulu dilakukan penginjekan larutan baku. Dari hasil penyuntikan diperoleh waktu retensi larutan baku rifampisin 13,327 menit. Dapat dilihat pada gambar berikut.

Gambar 1. Kromatogram LIB Rifampisin ARS

Sampel darah diambil dari pasien bernama Muhammad Nur , umur 28 tahun dengan berat badan 55 kg. Pasien berada dalam pengobatan tahap intensif (± 1 bulan). Dosis yang diminum oleh pasien adalah 450 mg. Pengambilan darah dilakukan setelah 2 jam pasien mengkonsumsi obat.


(45)

Menurut Shargel, L. (1988), untuk suatu obat yang diberikan dalam dosis oral berulang waktu yang diperlukan untuk mencapai keadaan tunak bergantung pada waktu paruh eliminasi obat.

Rifampisin dapat dengan baik diserap dari saluran cerna dan secara luas didistribusikan pada jaringan tubuh. Waktu paruhnya adalah 1,5 - 5 jam. Resorpsinya di usus sangat tinggi distribusinya ke jaringan dan cairan tubuh juga baik, termasuk CCS. Hal ini nyata sekali pada pewarnaan jingga /merah dari air seni, tinja, ludah, keringat, dan air mata. Lensa kontak (lunak) juga dapat berwarna permanen. Plasma t 1/2nya berkisar antara 1,5 sampai 5 jam dan meningkat bila ada gangguan fungsi hati. (Tjay dan Rahardja, 2002).

Hasil pengujian sampel diperoleh waktu retensi yang hampir sama dengan waktu retensi Rifampisin adalah 14,313 menit. Kromatogram hasil analisis sampel secara KCKT dapat dilihat pada gambar sebagai berikut.

.

Gambar 2. Kromatogram sampel Rifampisin

Rifampisin di dalam tubuh mengalami proses asetilasi menjadi metabolit yang berupa desacetil Rifampisin (Hemanth,2004). Dalam larutan, rifampisin mudah teroksidasi dengan adanya oksigen atmosfer. Reaksi ini dapat dicegah dengan


(46)

penambahan asam askorbat sebagai anti oksidan. Disimpan dalam wadah tidak tembus cahaya, tertutup rapat terlindung dari panas berlebihan. Oleh karena itu pengerjaannya harus betul-betul teliti dan cepat. Untuk mendapatkan hasil yang optimal tanpa adanya zat yang teroksidasi (Florey, 1976).

Penentuan linieritas kurva kalibrasi baku dari Rifampisin ditentukan berdasarkan luas puncak pada konsentrasi 0,4860 mM (400 mcg/ml); 0,6075 mM (500 mcg/ml); 0,7290 mM (600 mcg/ml); 1,0936 mM (900 mcg/ml) dan 1,4581 mM (1200 mcg/ml), diperoleh hubungan yang linier dengan koefisien korelasi (r)= 0,9877 dan persamaan regresi: Y = 786175,4494 X - 276075,9301 dengan data penyuntikan larutan baku rifampisin. Kurva kalibrasi dapat dilihat pada gambar di bawah ini:

Gambar 3. Kurva Kalibrasi Rifampisin ARS Konsentrasi versus luas area puncak Rifampisin

Pada penginjekan kalibrasi diperoleh waktu retensi antara 13,493 - 14,780 menit. (Kromatogram kurva kalibrasi dapat dilihat pada lampiran 9 - lampiran 13)


(47)

Menurut Johnson & Stevenson (1991), penentuan kadar dapat dilakukan dengan mengukur luas puncak atau tinggi puncak. Baik tinggi puncak maupun luasnya dapat dihubungkan dengan konsentrasi. Tinggi puncak mudah diukur, akan tetapi sangat dipengaruhi perubahan waktu retensi yang disebabkan oleh variasi suhu dan komposisi pelarut. Oleh karena itu, luas puncak dianggap merupakan parameter yang lebih akurat untuk pengukuran kuantitatif (Ditjen POM, 1995). Kadar sampel dapat dihitung menggunakan persamaan regresi Y = 786175,4494 X - 276075,9301 yaitu dengan mensubsitusikan Y dengan harga rasio luas puncak. Hasil perhitungan diketahui harga X (kadar sampel) adalah 1,3593 mM.


(48)

BAB V

KESIMPULAN DAN SARAN 5.1 Kesimpulan

1. Kadar rifampisin dalam plasma darah pasien dapat dilakukan dengan cara kromatografi cair kinerja tinggi (KCKT) menggunakan kolom ODS-C18 dengan fase gerak campuran fase gerak buffer posfat pH 2,6 dan acetonitril dengan perbandingan (55:45), dengan laju alir 0,8 ml/menit pada panjang gelombang 254 nm. Kadar yang diperoleh adalah 1,3593 mM.

2. Kondisi rifampisin dalam plasma pasien TB tidak stabil pada temperatur kamar 5.2 Saran

Disarankan kepada peneliti selanjutnya agar menentukan konsentrasi vitamin c sebagai anti oksidasi yang ditambahkan pada pemeriksaan rifampisin karena rifampisin ini tidak stabil (mudah teroksidasi) pada temperatur kamar.


(49)

DAFTAR PUSTAKA

Anonim. a. (2008 ). Studi Penggunaan Obat Pada PasienTtuberkulosis Paru (Penelitian Dilakukan di IRNA I RSU Dr. Saiful Anwar Malang).Tanggal akses 04 juni 2009. Dikutip dari http://www. go.php.html.

Anonim. b. (2009 ). Tuberculosis Paru (TB Paru). Tanggal akses 04 juni 2009. Dikutip dari http://www.264-tuberculosis-paru-tb-paru.html.

Anonim. c. (2008). Defenisi/Pengertian, Plasma Darah dan Fungsi Alat Sistem Transportasi Manusia. Tanggal akses 19 Maret 2009. Dikutip dari http://www.

Organisasi.org/taxonomy

Depkes RI. (1995). Farmakope Indonesia. Edisi IV. Jakarta : Departemen Kesehatan Republik Indonesia. Hal. 1009-1011.

Ditjen POM (1979). Farmakope Indonesia. Edisi III. Jakarta: Departemen Kesehatan RI. Hal.14, 320, 688.

Florey, K., (1976). Analytical Profiles of Drugs Substances. volume V. Academic Press. New York. San Francisco. London. Page 470 – 505

Gandjar, G.I., dan Rohman, A. (2007). Kimia Farmasi Analisis. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Hal. 333-388, 468

Junqueira, L.C., dan Carneiro, J. (1982). Histologi Dasar (Basic Histology). Edisi Ketiga. Alih Bahasa Adji Dharma. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC.

Hal 255

Johnson, E. L., dan Stevenson. (1991). Dasar Kromatografi Cair. Bandung: Penerbit ITB. Hal. 4-8

Kumar, Hemanth et all . (2004). A validated high-performance liquid chromatography method for the determination of rifampicin and desacetyl rifampicin in plasma and urine. Indian J Pharmacol Vol 36. Chennai. India :Hal 231-233

Muchtar, A. (1985). Farmakologi Obat Antituberkulosis (OAT) Sekunder.

Cermin Dunia Kedokteran. No: 37. Hal.13-17.

Mutschler E., (1996). Arzneimittelwirkungen. 7 neu bearbeitete Auflage. Wissenschaftliche Verlagsgeselschaft mbH Stuttgart. 702-703.

Putra, E.D.L. (2007). Dasar-Dasar Kromatografi Cair Kinerja Tinggi. Medan: Fakultas Farmasi Universitas Sumatera Utara. Hal. 43, 82-88


(50)

Shargel, L. (1988). Biofarmasetika dan Farmakokinetika Terapan. Penerjemah: Fasich dan Sjamsiah. Edisi II. Surabaya: Airlangga University Press. Hal. 297-298. Simamora, L. (1997). Penggunaan Kromatografi Cair Kinerja Tinggi Untuk Penetapan

Kadar Campuran Diazepam Dan Klorpromazina Dalam Serum In Vitro Dengan Baku Dalam Klorzepoksida Dan Prometazina. Skripsi. Jurusan Farmasi. Fakultas Matematika Dan Ilmu Pengetahuan Alam.Universitas Sumatera Utara.

Siregar, C.J.P. dan Endang, K (2004). Farmasi Klinik Teori dan Terapan. Jakarta. Penerbit Buku Kedokteran EGC. Hal 120-122.

Tjay, T.H., dan Rahardja, K. (2002). Tuberkulostatika dalam Obat-obat Penting. Edisi Kelima. Cetakan Kedua. Jakarta: Penerbit PT. Elex Media Komputindo. Hal. 152. Zubaidi, Y. (2001). Tuberkulostatik dan Leprostatik Dalam Farmakologi dan Terapi.

Edisi 4. Editor. Ganiswara, S.G. Jakarta: Penerbit Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Hal. 602.


(51)

Lampiran 1. Gambar Alat KCKT dan Syringe 50 µl

Alat KCKT


(52)

Lampiran 2. Gambar Perangkat Penelitian Lainnya

Ultrasonic cleaner


(53)

Lampiran 2. (Lanjutan)

Alat vortex


(54)

Lampiran 2. (Lanjutan)


(55)

(56)

(57)

Lampiran 5. Kromatogram dari Larutan Rifampisin ARS, Fase Gerak Buffer Posfat pH 2,6: Acetonitril (55 : 45)


(58)

Lampiran 6. Kromatogram dari Larutan Vitamin C, Fase Gerak Buffer Posfat pH 2,6: Acetonitril (55 : 45)


(59)

(60)

(61)

Lampiran 9. Kromatogram dari larutan Larutan Rifampisin ARS Konsentrasi 0,486 mM (400 mcg/ml)


(62)

Lampiran 10. Kromatogram dari larutan Larutan Rifampisin ARS Konsentrasi 0,6075 mM (500 mcg/ml)


(63)

Lampiran 11. Kromatogram dari larutan Larutan Rifampisin ARS Konsentrasi 0,729 mM (600 mcg/ml)


(64)

Lampiran 12. Kromatogram dari larutan Larutan Rifampisin ARS Konsentrasi 1,0936 mM (900 mcg/ml)


(65)

Lampiran 13. Kromatogram dari larutan Larutan Rifampisin ARS Konsentrasi 1,4581 mM (1200 mcg/ml)


(66)

Lampiran 14. Perhitungan Persamaan Regresi dan Kurva Kalibrasi Rifampisin ARS yang Diperoleh Secara KCKT pada 254 nm

Tabel 1. Data Kalibrasi Rifanpisin (RIF) ARS Konsentrasi (x) terhadap Rasio Luas Area Puncak (y) No. Konsentrasi RIF (mM) (x) Rasio Luas Area Puncak RIF (y)

x.y x2 y2

1. 0,486 146527 71212,122 0,236196 21470161729

2. 0,6075 179080 108791,100 0,36905625 32069646400

3. 0,729 238574 173920,446 0,531441 56917553476

4. 1,0936 644956 705323,882 1,19596096 415968241936 5. 1,4581 849372 1238469,313 2,12605561 721432794384

Σ 4,3742 2058509 2297716,863 4,45870982 1247858397925

Rata-rata 0,87484 411701,800

a =

  

 

x /n x n / y x xy 2 2

  = 5 / ) 4,3742 ( 4,45871 5 / ) 2058509 )( 4,3742 ( 3 2297716,86 2   = 8 3,82672512 4,45871 4 1800866,01 3 2297716,86   = 0,631985 496850,8 = 786175,4494

Y = aX + b b = Y – aX

= 411701,800 – (786175,4494)( 0,87484) = 411701,800 – 687777,7301


(67)

Untuk mencari hubungan kadar (X) dengan perbandingan luas area (Y) digunakan pengujian koefisien kolerasi (r).

r =

  

 

 

 n / y y n / x x n / y x xy 2 2 2 2 r =



4,45870982 (4,3742) /5 1247858397925 (2058509) /5

5 / 2058509) ).( 4,3742 ( ) 3 2297716,86 ( 2 2    r =



4,45870982 3,826725128 1247858397925 847491860616,2

36 1800866,01 3 2297716,86    r =



0,631984692 400366537308,8

2 496850,849 r = 68,2080 2530255227 2 496850,849 r = 0 503016,424 2 496850,849


(68)

Lampiran 15. Perhitungan Konsentrasi Obat Rifampisin

Luas Puncak Rifampisin (sampel) = 792583

Dari persamaan regresi Y = 786175,4494 X - 276075,9301, maka 792583 = 786175,4494 X - 276075,9301

786175,4494 X = 792583 + 276075,9301 786175,4494 X = 1068658,9301

X =

4494 , 786175

9301 , 1068658

X = 1,3593 mM = 0,0013593 M = 0,0013593 x 822,95 = 1,1186 gr/L

= 1,1186 mg/ml


(69)

Lampiran 16. Perhitungan Limit of Detection (LOD) dan Limit of Quantitation (LOQ) Rifampisin

Persamaan garis regresi Rifampisin: Y = aX + b

Y = 786175,4494 X - 276075,9301

No X Y Yi (y-yi)2

1 0,486 146527 658157,1985 261765460064,6070 2 0,6075 179080 753677,5156 330162304987,8530 3 0,729 238574 849197,8327 372861465119,7100 4 1,0936 644956 1135837,402 240964550431,9400 5 1,4581 849372 1422398,353 328359201114,8040

 1534112981718,9100

SD = 2 n yi)2 -(y 

= 2 5 718,9100 1534112981

 = 767056490859,4570

= 875817,6128 LOD = slope SD 3x = 4 786175,449 8 875817,612 3x

= 3,342069mM

LOQ = slope SD 10x = 4 786175,449 8 875817,612 10x


(70)

Lampiran 17. Data Pasien

Nama : Muhammad Nur Umur : 28 tahun

Jenis Kelamin : Laki-laki Berat Badan : 55 kg


(71)

(72)

(73)

Lampiran 20. Pembuatan Plasma

Diambil darahnya sebanyak 5 ml

Dimasukkan ke dalam venoject yang telah berisi 0,5 ml heparin

Dipisahkan supernatan dari endapan

Disentrifugasi dengan kecepatan 4000 putaran per menit selama 5 menit

Donatur (dewasa dan sehat)

Darah + heparin didalam venoject

Supernatan Endapan


(74)

Lampiran 21. Pembuatan Kromatogram dari Plasma Kosong

Disaring menggunakan PTFE ø 0,2 µm Dipipet sebanyak 300 µl Dimasukkan ke dalam politube

Supernatan Endapan

Plasma

Ditambahkan 600 µl methanol, lalu divortex

Disentrifugasi dengan kecepatan 4000 putaran per menit selama 5 menit

Dipisahkan menggunakan spuit

Diinjeksikan ke dalam sistem KCKT sebanyak 20 µL Kromatogram plasma


(75)

Lampiran 22. Pembuatan Kurva Kalibrasi Rifanpisin ARS

Ditimbang seksama sejumlah 5 mg Vitamin C

Dimasukkan ke dalam vial yang telah dikalibrasi 1 ml

Diencerkan dengan fase gerak sampai garis tanda

Larutan mengandung vitamin C

Ditimbang seksama sejumlah 4 mg, 5 mg, 6 mg, 9 mg, 12 mg Rifampisin ARS

Dipipet 10 l larutan Rifampisin ARS Dimasukkan kedalam vial yang telah dikalibrasi 2 ml

Dimasukkan 2 ml plasma kedalam vial Dihomogen dengan vortex

Dibiarkan selama 5 menit

Dipipet 300 µl ditambahkan 600 µl acetonitril untuk mengendapkan protein lalu di vortex. Disentrifugasi dengan kecepatan 4000 putaran per menit selama 5 menit Dipisahkan supernatan dari endapan Rifampisin ARS 0,4860 mM (400 mvg/ml) ), 0,6075 mM (500

mcg/ml), 0,7290 mM (600 mcg/ml), 1,0936 mM (900 mcg/ml), 1,4581 mM (1200 mcg/ml).

Rifampisin ARS 4,8605 mM (4.000 mcg/ml), 6,0757 mM (5.000 mcg/ml), 7,2908 mM (6.000 mcg/ml), 10,9362 mM (9000

mcg/ml), 14,5816 mM (12000 mcg/ml).

Dilarutkan kedalam fase gerak yang mengandung vitamin C 5 mg


(76)

Lanjutan :

Supernatan

Dipisahkan menggunakan spuit

Diinjeksikan ke dalam sistem KCKT sebanyak 20 µl

Disaring menggunakan PTFE ø 0,2 µm

Kromatogram

Diperoleh Rt dan luas area Dihitung persamaan regresi


(77)

Lampiran 23. Pembuatan Plasma dari Sampel Darah Pasien

Diambil darahnya sebanyak 5 ml Dimasukkan ke dalam venoject yang telah berisi 0,5 ml heparin

Dipisahkan supernatan dari endapan Disentrifugasi dengan kecepatan 4000 putaran per menit selama 5 menit Pasien TB

Di masukkan vitamin C 5 mg

Supernatan Endapan

Darah + heparin didalam venoject


(78)

Lampiran 24. Pembuatan Kromatogram dari Sampel Plasma Pasien

Disentrifugasi dengan kecepatan 4000 putaran per menit selama 5 menit

Endapan Plasma Pasien

Dipisahkan menggunakan spuit

Disaring menggunakan PTFE ø 0,2 µm Diinjeksikan ke dalam sitem KCKT

Diperoleh Rt dan luas area

Dihitung konsentrasi yang didapat Dipipet sebanyak 300 µl

Ditambahkan 600 µl acetonitril Dimasukkan ke dalam politube

Supernatan

Kromatogram plasma


(1)

Lampiran 20. Pembuatan Plasma

Diambil darahnya sebanyak 5 ml

Dimasukkan ke dalam venoject yang telah berisi 0,5 ml heparin

Dipisahkan supernatan dari endapan

Disentrifugasi dengan kecepatan 4000 putaran per menit selama 5 menit

Donatur (dewasa dan sehat)

Darah + heparin didalam venoject

Supernatan Endapan


(2)

Lampiran 21. Pembuatan Kromatogram dari Plasma Kosong

Disaring menggunakan PTFE ø 0,2 µm Dipipet sebanyak 300 µl Dimasukkan ke dalam politube

Supernatan Endapan

Plasma

Ditambahkan 600 µl methanol, lalu divortex

Disentrifugasi dengan kecepatan 4000 putaran per menit selama 5 menit

Dipisahkan menggunakan spuit

Diinjeksikan ke dalam sistem KCKT sebanyak 20 µL Kromatogram plasma


(3)

Lampiran 22. Pembuatan Kurva Kalibrasi Rifanpisin ARS

Ditimbang seksama sejumlah 5 mg Vitamin C

Dimasukkan ke dalam vial yang telah dikalibrasi 1 ml

Diencerkan dengan fase gerak sampai garis tanda

Larutan mengandung vitamin C

Ditimbang seksama sejumlah 4 mg, 5 mg, 6 mg, 9 mg, 12 mg Rifampisin ARS

Dipipet 10 l larutan Rifampisin ARS Dimasukkan kedalam vial yang telah dikalibrasi 2 ml

Dimasukkan 2 ml plasma kedalam vial Dihomogen dengan vortex

Dibiarkan selama 5 menit

Dipipet 300 µl ditambahkan 600 µl acetonitril untuk mengendapkan protein lalu di vortex. Disentrifugasi dengan kecepatan 4000 Rifampisin ARS 0,4860 mM (400 mvg/ml) ), 0,6075 mM (500

mcg/ml), 0,7290 mM (600 mcg/ml), 1,0936 mM (900 mcg/ml), 1,4581 mM (1200 mcg/ml).

Rifampisin ARS 4,8605 mM (4.000 mcg/ml), 6,0757 mM (5.000 mcg/ml), 7,2908 mM (6.000 mcg/ml), 10,9362 mM (9000

mcg/ml), 14,5816 mM (12000 mcg/ml).

Dilarutkan kedalam fase gerak yang mengandung vitamin C 5 mg


(4)

Lanjutan :

Supernatan

Dipisahkan menggunakan spuit

Diinjeksikan ke dalam sistem KCKT sebanyak 20 µl

Disaring menggunakan PTFE ø 0,2 µm

Kromatogram

Diperoleh Rt dan luas area Dihitung persamaan regresi


(5)

Lampiran 23. Pembuatan Plasma dari Sampel Darah Pasien

Diambil darahnya sebanyak 5 ml Dimasukkan ke dalam venoject yang telah berisi 0,5 ml heparin

Dipisahkan supernatan dari endapan Disentrifugasi dengan kecepatan 4000 putaran per menit selama 5 menit Pasien TB

Di masukkan vitamin C 5 mg

Supernatan Endapan

Darah + heparin didalam venoject


(6)

Lampiran 24. Pembuatan Kromatogram dari Sampel Plasma Pasien

Disentrifugasi dengan kecepatan 4000 putaran per menit selama 5 menit

Endapan Plasma Pasien

Dipisahkan menggunakan spuit

Disaring menggunakan PTFE ø 0,2 µm Diinjeksikan ke dalam sitem KCKT

Diperoleh Rt dan luas area

Dihitung konsentrasi yang didapat Dipipet sebanyak 300 µl

Ditambahkan 600 µl acetonitril Dimasukkan ke dalam politube

Supernatan

Kromatogram plasma