Pemeriksaan Kadar Pirazinamida Dalam Plasma Darah Menggunakan Kromatografi Cair Kinerja Tinggi Dan Baku Dalam Nikotinamid

(1)

PEMERIKSAAN KADAR PIRAZINAMIDA DALAM PLASMA DARAH MENGGUNAKAN KROMATOGRAFI CAIR KINERJA TINGGI DAN

BAKU DALAM NIKOTINAMID

SKRIPSI

OLEH:

YULIARI LAVIWA SEMBIRING NIM 050804055

FAKULTAS FARMASI

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN


(2)

PEMERIKSAAN KADAR PIRAZINAMIDA DALAM PLASMA DARAH MENGGUNAKAN KROMATOGRAFI CAIR KINERJA TINGGI DAN

BAKU DALAM NIKOTINAMID

SKRIPSI

Diajukan untuk melengkapi salah satu syarat untuk meperoleh gelar Sarjana Farmasi pada Fakultas Farmasi

Universitas Sumatera Utara

OLEH:

YULIARI LAVIWA SEMBIRING NIM 050804055

FAKULTAS FARMASI UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN 2010


(3)

Pembimbing II,

(Prof. Dr. M. Timbul Simanjuntak, M.Sc., Apt.) NIP 195212041980021001

LEMBAR PENGESAHAN SKRIPSI

PEMERIKSAAN KADAR PIRAZINAMIDA DALAM PLASMA DARAH MENGGUNAKAN KROMATOGRAFI CAIR KINERJA TINGGI

DAN BAKU DALAM NIKOTINAMID OLEH:

YULIARI LAVIWA SEMBIRING NIM 050804055

Dipertahankan di hadapan Panitia Penguji Fakultas Farmasi

Universitas Sumatera Utara

Pada Tanggal : Agustus 2010

Medan, Agustus 2010 Fakultas Farmasi Universitas Sumatera Utara

Dekan,

(Prof. Dr. Sumadio Hadisahputra., Apt.) NIP. 195311281983031002 Pembimbing I,

(Drs. David Sinurat, M.Si., Apt.) NIP 194912281978031002

Panitia Penguji,

(Dr. Rosidah, M.Si., Apt.) NIP 195103261978022001

(Drs. David Sinurat, M.Si., Apt.) NIP 194912281978031002

(Prof. Dr. rer. nat. Effendy De Lux Putra, SU., Apt.) NIP 195306191983031001

(Dra. Azizah Nasution, M.Sc., Apt.) NIP 195503121983032001


(4)

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur kepada Allah Pencipta Langit dan Bumi yang telah melimpahkan anugerah dan kemurahanNya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul "Pemeriksaan Kadar Pirazinamida Dalam Plasma Darah Menggunakan kromatografi Cair Kinerja Tinggi dan Baku Dalam Nikotinamid". Skripsi ini diajukan sebagai salah satu syarat guna memperoleh gelar Sarjana Farmasi dari Fakultas Farmasi Universitas Sumatera Utara.

Tuberkulosis (TB) merupakan penyebab kematian yang utama yang disebabkan oleh infeksi. Kasus TB ini meningkat disebabkan adanya resistensi terhadap obat TB. Penyebab utama terjadinya kegagalan pengobatan tuberkulosis adalah kurangnya kepatuhan penderita untuk berobat dan meminum obat. Pirazinamida digunakan sebagai salah satu obat garis depan dalam pengobatan TB. Pirazinamida berperan sebagai agen “sterilisator” aktif untuk melawan sisa-sisa organisme intraseluler yang dapat mengakibatkan kekambuhan. Tujuan penelitian ini adalah untuk memeriksa kadar pirazinamida dalam plasma darah pasien TB. Hasil penelitian ini diharapkan dapat digunakan sebagai uji pendahuluan untuk kepentingan pemantauan terapi obat dalam darah pasien yang berpenyakit TB guna membantu dalam penyesuaian dosis obat sehingga diperoleh pengobatan yang optimal.

Pada kesempatan ini penulis hendak menyampaikan rasa hormat dan terimakasih yang sebesar-besarnya kepada Bapak Drs David Sinurat, M.Si., Apt. Dan Bapak Prof. Dr. M. Timbul Simanjuntak, M.Sc., Apt., yang telah banyak memberikan bimbingan dan bantuan selama penelitian dan penulisan skripsi ini berlangsung. Ucapan terimakasih juga penulis sampaikan kepada Dekan Fakultas Farmasi Universitas Sumatera Utara, Bapak Prof. Dr. Sumadio Hadisahputra, Apt., yang telah memberikan fasilitas selama masa pendidikan dan penelitian, juga kepada Ibu Dr. Rosidah, M.Si., Apt., Ibu Dra Azizah Nasution, M.Sc., Apt dan Bapak Prof. Dr. rer. nat. Effendy De Lux Putra, SU., Apt., selaku dosen penguji yang telah memberikan masukan dalam penyusunan skripsi ini.

Dalam kesempatan ini, penulis ingin menyampaikan rasa terimakasih dan penghargaan yang tulus kepada kedua orang tua, adek-adekku, dan bibi-bibiku atas doa, motivasi dan juga nasehatnya dalam menyelesaikan skripsi ini. Juga


(5)

kepada Angel, Suji, Desi, Fenti, Ka Irus, Bang Anton, Hermin, Susan, Harry, Andi, Intan, Siska, Ernita, Dian, Januar yang selalu ada memberi semangat dan bantuan selama penelitian dan penyusunan skripsi ini. Tidak lupa penulis ingin mengucapkan terimakasih kepada teman-teman stambuk 2005 yang tidak dapat disebutkan namanya satu persatu, staf dan para asisten secara khusus buat bang parna di Laboratorium Biofarmasi dan Laboratorium Penelitian, atas segala dorongan motivasi dan bantuannya kepada penulis sehingga skripsi ini dapat selesai .

Medan, Agustus 2010 Penulis,


(6)

PEMERIKSAAN KADAR PIRAZINAMIDA DALAM PLASMA DARAH MENGGUNAKAN KROMATOGRAFI CAIR KINERJA TINGGI DAN

BAKU DALAM NIKOTINAMID Abstrak

Tuberkulosis adalah suatu penyakit infeksi yang disebabkan oleh Mycobacterium tuberculosis. Pirazinamida adalah salah satu obat yang biasa digunakan untuk pengobatan tuberkulosis. Pirazinamida hanya digunakan dalam jangka waktu 2 bulan dan berfungsi sebagai suatu agen sterilizator.

Pemeriksaan kadar pirazinamida dalam plasma darah menggunakan Kromatografi Cair Kinerja Tinggi (KCKT) fase balik. Nikotinamid digunakan sebagai baku dalam. Pemisahan pirazinamida dan nikotinamid dilakukan pada kolom ODS C-18 dengan sistem elusi isokratik menggunakan buffer fosfat pH 7,4 : asetonitril (98:2), laju alir 0,8 ml/menit dan panjang gelombang 254 nm. Pirazinamida dan nikotinamid terelusi pada menit ke 14,040 dan 23,467. Sedangkan batas deteksi dan batas kuantifikasi adalah 16,81419 mM dan 50,95209 mM.

Kalibrasi dan analisis dilakukan berdasarkan pada rasio luas puncak pirazinamida dan nikotinamid. Kurva kalibrasi linier pada jarak konsentrasi 8,1228 mM – 81,2282 mM dengan koefisien korelasi (r) = 0,9897

Berdasarkan hasil pemeriksaan ini, maka kadar pirazinamida di dalam plasma darah pasien tuberkulosis adalah sebesar 73,5263 mM dan stabil pada temperatur kamar

Kata kunci : Tuberkulosis, Pemeriksaan Kadar Pirazinamida, KCKT fase balik, Plasma


(7)

EXAMINATION OF PYRAZINAMIDE LEVEL IN BLOOD PLASMA BY HIGH PERFORMANCE LIQUID CHROMATOGRAPHY AND

NICOTINAMIDE AS INTERNAL STANDARD Abstract

Tuberculosis is one of an infectious diseases caused by Mycobacterium tuberculosis. Pyrazinamide is one of the common drug used in tuberculosis treatment. It was only used about 2 months and act as a sterilizator agent.

Examination of pyrazinamide level in blood plasma uses reversed phase High Performance Liquid Chromatography (HPLC). Nicotinamide was used as internal standard. The separation of pyrazinamide and nicotinamide was carried out on ODS C-18 column with an isocratic solvent programme using mobile phase phosphate buffer pH 7,4 : Acetonitril (98:2), flow rate 0,8 ml/min, and wave-length set at 254 nm. Pyrazinamide and nicotinamide were eluted at 14,040 and 23,467 minutes respectively. While limit of detection and limit of quantification were 16,81419 mM and 50,95209 mM.

Calibration and analysis were based on pyrazinamide/nikotinamide peak area ratio. Calibration curve was linier over the concentration range 8,1228 mM – 81,2282 mM with the correlation coefficient = 0,9897

Based on this examination, the level of pyrazinamide in blood plasma of tuberculosis patient was 73,5263 mM and it was stable in room temperature.

Keywords: Tuberculosis, Examination of Pyrazinamide Level, reversed phase HPLC, Plasma


(8)

DAFTAR ISI

Halaman

JUDUL ... i

HALAMAN JUDUL ... ii

LEMBAR PENGESAHAN ... iii

KATA PENGANTAR ... iv

ABSTRAK ... vi

ABSTRACT ... vii

DAFTAR ISI ... viii

DAFTAR GAMBAR ... xii

DAFTAR LAMPIRAN ... xiii

BAB I PENDAHULUAN ... 1

1.1 Latar Belakang ... 1

1.2 Perumusan Masalah ... 3

1.3 Hipotesis ... 4

1.4 Tujuan Penelitian ... 4

1.5 Manfaat Penelitian ... 4

1.6 Alur Penelitian ... 5

BAB II TINJAUAN PUSTAKA... 6

2.1 Tuberkulosis ... 6

2.2 Pirazinamida ... 7

2.3 Pemantauan Terapi Obat ... 9


(9)

2.5 Kromatografi ... 12

2.5.1 Teori Kromatografi ... 12

2.5.2 Kromatografi Cair Kinerja Tinggi ... 12

2.5.3 Proses Pemisahan dalam Kolom Kromatografi... 14

2.5.4 Parameter Dalam Kromatografi ... 15

2.5.4.1 Tinggi dan Luas Puncak ... 15

2.5.4.2 Faktor Retensi ... 17

2.5.4.3 Efisiensi ... 17

2.5.4.4 Selektifitas ... 18

2.5.4.5 Resolusi ... 18

2.5.4.6 Puncak Asimetris ... 19

2.5.5 Komponen Kromatografi Cair Kinerja Tinggi ... 20

2.5.5.1 Wadah Fase Gerak ... 20

2.5.5.2 Pompa ... 21

2.5.5.3 Injektor ... 22

2.5.5.4 Kolom ... 23

2.5.5.5 Detektor ... 24

2.5.6 Metode Kuantifikasi dengan Baku dalam ... 24

2.5.7 Nikotinamid ... 25

BAB III METODOLOGI PENELITIAN ... 27

3.1 Alat ... 27

3.2 Bahan ... 27

3.3 Pengambilan Sampel ... 28


(10)

3.4.1 Penyiapan Bahan ... 28

3.4.1.1 Pembuatan Plasma Darah Pasien TB ... 28

3.4.1.2 Pembuatan Plasma Kosong ... 28

3.4.1.3 Pembuatan Pereaksi ... 29

3.4.1.3.1 Aqua Bebas CO2 ... 29

3.4.1.3.2 Natrium Hidroksida 0,2N ... 29

3.4.1.3.3 Kalium Dihidrogen Fosfat 0,2M ... 29

3.4.1.3.4 Buffer Fosfat pH 7,4 ... 29

3.4.1.4 Pembuatan Fase Gerak ... 29

3.4.1.5 Pembuatan Larutan Induk Baku ... 30

3.4.1.5.1 Pembuatan Larutan Induk Baku Pirazinamida ... 30

3.4.1.5.2 Pembuatan Larutan Induk Baku Nikotinamida ... 30

3.4.1.5.2.1 Pembuatan Larutan Induk Pertama ... 30

3.4.1.5.2.2 Pembuatan Larutan Induk Kedua ... 30

3.4.2 Prosedur Analisis ... 30

3.4.2.1 Penyiapan Alat KCKT ... 30

3.4.2.2 Penentuan Garis Alas (Base Line) ... 31

3.4.2.3 Penyuntikan Fase Gerak ... 31

3.4.2.4 Penyuntikan Plasma Kosong ... 31

3.4.2.5 Analisis Kualitatif... 31

3.4.2.6 Analisis Kuantitatif ... 32

3.4.2.6.1 Penentuan Linearitas Kurva Kalibrasi Baku Pembanding Pirazinamida ... 32


(11)

3.4.2.6.2 Pemeriksaan Kadar Pirazinamida

Dalam Plasma Darah Pasien ... 33

3.4.3 Penentuan Batas Deteksi dan Batas Kuantifikasi ... 34

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN ... 35

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN ... 40

5.1 Kesimpulan ... 40

5.2 Saran ... 40

DAFTAR PUSTAKA ... 41


(12)

DAFTAR GAMBAR

Halaman

Gambar 1 Rumus bangun pirazinamida ... 7

Gambar 2 Ilustrasi proses pemisahan yang terjadi di dalam kolom KCKT ... 15

Gambar 3 Sebuah Kromatogram yang diperoleh dari analisis KCKT ... 16

Gambar 4 Pengukuran efisiensi kromatografi dari puncak Gaussian ... 18

Gambar 5 Tiga Jenis bentuk puncak ... 19

Gambar 6 Menghitung besarnya tailing factor pada kromatogram... 20

Gambar 7 Sistem KCKT isokratik ... 20

Gambar 8 Nikotinamid... 25

Gambar 9 Kromatogram LIB Pirazinamida ... 35

Gambar 10 Kromatogram LIB Nikotinamid ... 36

Gambar 11 Kromatogram Sampel Pasien yang telah ditambah baku dalam ... 38

Gambar 12 Kurva Kalibrasi Pirazinamida ARS rasio luas puncak Pirazinamida/Nikotinamid versus Konsentrasi ... 39


(13)

DAFTAR LAMPIRAN

Halaman

Lampiran 1 Gambar Alat KCKT dan Syringe 50 μl ... 44

Lampiran 2 Gambar Perangkat Penelitian Lainnya ... 45

Lampiran 3 Plasma Kosong ... 46

Lampiran 4 Fase Gerak ... 47

Lampiran 5 Kromatogram Penyuntikan Larutan Pirazinamida Baku, Fase Gerak Buffer Fosfat pH 7,4 : Asetonitril (98:2) ... 48

Lampiran 6 Kromatogram Penyuntikan Larutan Nikotinamid Baku, Fase Gerak Buffer Fosfat pH 7,4 : Asetonitril (98:2) ... 49

Lampiran 7 Kromatogram Penyuntikan Plasma Kosong ... 50

Lampiran 8 Kromatogram Penyuntikan Sampel Plasma Darah Pasien TB . 51

Lampiran 9 Kromatogram Penyuntikan Larutan Pirazinamida Baku pada Pembuatan Kurva Kalibrasi ... 52

Lampiran 10 Perhitungan Persamaan Regresi dan Kurva Kalibrasi Pirazinamida Baku yang Diperoleh Secara KCKT pada λ 254 nm ... 57

Lampiran 11 Perhitungan Konsentrasi Obat Pirazinamida... 59

Lampiran 12 Perhitungan Batas Deteksi dan Batas Kuantifikasi Pirazinamida ... 60

Lampiran 13 Data Pasien ... 61

Lampiran 14 Sertifikat Analisis Pirazinamida ... 62

Lampiran 15 Sertifikat Analisis Nikotinamid ... 63

Lampiran 16 Surat Persetujuan Komisi Etik ... 64

Lampiran 17 Pembuatan Plasma dari Sampel Darah Pasien TB ... 65


(14)

Lampiran 19 Pembuatan Larutan Induk Baku Pirazinamida ... 66

Lampiran 20 Pembuatan Larutan Induk Baku Pertama Nikotinamid ... 67

Lampiran 21 Pembuatan Larutan Induk Baku Kedua Nikotinamid ... 67

Lampiran 22 Penyuntikan Plasma Kosong ... 68

Lampiran 23 Pembuatan Linearitas Kurva Kalibrasi Baku Pembanding Pirazinamida ... 69

Lampiran 24 Pemeriksaan Kadar Pirazinamida dalam Plasma Darah Pasien TB ... 72


(15)

PEMERIKSAAN KADAR PIRAZINAMIDA DALAM PLASMA DARAH MENGGUNAKAN KROMATOGRAFI CAIR KINERJA TINGGI DAN

BAKU DALAM NIKOTINAMID Abstrak

Tuberkulosis adalah suatu penyakit infeksi yang disebabkan oleh Mycobacterium tuberculosis. Pirazinamida adalah salah satu obat yang biasa digunakan untuk pengobatan tuberkulosis. Pirazinamida hanya digunakan dalam jangka waktu 2 bulan dan berfungsi sebagai suatu agen sterilizator.

Pemeriksaan kadar pirazinamida dalam plasma darah menggunakan Kromatografi Cair Kinerja Tinggi (KCKT) fase balik. Nikotinamid digunakan sebagai baku dalam. Pemisahan pirazinamida dan nikotinamid dilakukan pada kolom ODS C-18 dengan sistem elusi isokratik menggunakan buffer fosfat pH 7,4 : asetonitril (98:2), laju alir 0,8 ml/menit dan panjang gelombang 254 nm. Pirazinamida dan nikotinamid terelusi pada menit ke 14,040 dan 23,467. Sedangkan batas deteksi dan batas kuantifikasi adalah 16,81419 mM dan 50,95209 mM.

Kalibrasi dan analisis dilakukan berdasarkan pada rasio luas puncak pirazinamida dan nikotinamid. Kurva kalibrasi linier pada jarak konsentrasi 8,1228 mM – 81,2282 mM dengan koefisien korelasi (r) = 0,9897

Berdasarkan hasil pemeriksaan ini, maka kadar pirazinamida di dalam plasma darah pasien tuberkulosis adalah sebesar 73,5263 mM dan stabil pada temperatur kamar

Kata kunci : Tuberkulosis, Pemeriksaan Kadar Pirazinamida, KCKT fase balik, Plasma


(16)

EXAMINATION OF PYRAZINAMIDE LEVEL IN BLOOD PLASMA BY HIGH PERFORMANCE LIQUID CHROMATOGRAPHY AND

NICOTINAMIDE AS INTERNAL STANDARD Abstract

Tuberculosis is one of an infectious diseases caused by Mycobacterium tuberculosis. Pyrazinamide is one of the common drug used in tuberculosis treatment. It was only used about 2 months and act as a sterilizator agent.

Examination of pyrazinamide level in blood plasma uses reversed phase High Performance Liquid Chromatography (HPLC). Nicotinamide was used as internal standard. The separation of pyrazinamide and nicotinamide was carried out on ODS C-18 column with an isocratic solvent programme using mobile phase phosphate buffer pH 7,4 : Acetonitril (98:2), flow rate 0,8 ml/min, and wave-length set at 254 nm. Pyrazinamide and nicotinamide were eluted at 14,040 and 23,467 minutes respectively. While limit of detection and limit of quantification were 16,81419 mM and 50,95209 mM.

Calibration and analysis were based on pyrazinamide/nikotinamide peak area ratio. Calibration curve was linier over the concentration range 8,1228 mM – 81,2282 mM with the correlation coefficient = 0,9897

Based on this examination, the level of pyrazinamide in blood plasma of tuberculosis patient was 73,5263 mM and it was stable in room temperature.

Keywords: Tuberculosis, Examination of Pyrazinamide Level, reversed phase HPLC, Plasma


(17)

BAB I PENDAHULUAN 1.1Latar Belakang

Salah satu penyakit penyebab kematian yang utama yang disebabkan oleh infeksi adalah tuberkulosis (TB). Secara umum, 2 milyar orang terinfeksi dan 2-3 juta orang meninggal karena tuberkulosis setiap tahun. Indonesia merupakan urutan ketiga dalam jumlah penderita tuberkulosis terbesar setelah India dan Cina (Elin Yulinah Sukandar, dkk., 2008). Pada tahun 2004, sebanyak seperempat juta orang bertambah penderita baru dan sekitar 140.000 kematian setiap tahunnya. Sebagian besar penderita TB adalah penduduk yang berusia produktif antar 15-55 tahun (Direktorat Bina Farmasi Komunitas dan Klinik, 2005).

Peningkatan jumlah penderita TB disebabkan oleh berbagai faktor yakni kurangnya tingkat kepatuhan penderita untuk berobat dan meminum obat, harga obat yang mahal, timbulnya resistensi ganda, kurangnya daya tahan hospes terhadap mikobakteria, berkurangnya daya bakterisid obat yang ada, meningkatnya kasus HIV/AIDS dan krisis ekonomi (Direktorat Bina Farmasi Komunitas dan Klinik, 2005). Masalah yang sering muncul adalah resistensi terhadap obat TB, baik resistensi primer maupun sekunder yang disebabkan oleh karena pemakaian obat antituberkulosis (OAT) tunggal, kombinasi OAT yang tidak memadai dan pemakaian OAT yang tidak teratur. Konsep DOTS (Directly Observed Tretment Short Course) merupakan upaya dalam mengatasi masalah resistensi. Tetapi dalam konsep DOTS obat yang diminum harus dalam jumlah banyak dan dalam jangka waktu cukup lama sampai 6 bulan. Penyebab utama terjadinya kegagalan pengobatan tuberkulosis adalah penderita tidak mematuhi


(18)

ketentuan dan lamanya pengobatan secara teratur untuk mencapai kesembuhan, terutama pemakaian obat secara teratur pada 2 bulan fase awal (Chuluq, dkk., 2004).

Obat yang umum dipakai untuk tuberkulosis adalah isoniazid, rifampicin, etambutol dan pirazinamida. Kelompok obat ini disebut sebagai obat primer. (Direktorat Bina Farmasi Komunitas dan Klinik, 2005). Pemakaian pirazinamida pada dua bulan pertama hanya dengan tujuan mempersingkat waktu terapi sampai menjadi dengan 6 bulan tanpa kehilangan efikasinya. Pirazinamida juga berfungsi sebagai suatu agen sterilizator yang aktif dalam melawan sisa-sisa organisme intraseluler yang dapat mengakibatkan kekambuhan (Chambers, H. F, 2004). Pirazinamida merupakan serbuk putih yang stabil pada temperatur kamar. Untuk mengetahui stabilitasnya telah dilakukan penelitian stabilitas in vitro pada temperatur 300C, 400C, dan 700C oleh Chuluq, dkk (2004).

Pemeriksaan obat dalam cairan biologis mempunyai kesulitan yaitu umumnya kadar obat dalam cairan biologis sangat kecil dan selalu bersama-sama dengan metabolit-metabolitnya. Struktur kimia dari metabolit tersebut pada umumnya hampir mirip dengan struktur kimia obat induknya, sehingga mutlak perlu digunakan metode analis yang selektif. Zat-zat endogenous dalam cairan biologis sangat menggangu pelaksanaan analisis khususnya metode spektroskopi, karena zat-zat endogenous tersebut juga menyerap sinar ultraviolet/visibel. Kromatografi cairan-gas dan Kromatografi Cair Tekanan Tinggi ( KCKT) mampu mendeteksi dan menetapkan kadar, juga sekaligus mampu melakukan pemisahan (M. Makin Ibnu Hadjar, 1985). Kromatografi Cair Tekanan Tinggi (KCKT)


(19)

merupakan metode yang lebih mudah dikerjakan, membutuhkan waktu yang relatif singkat dan tidak destruktif.

Pemeriksaan pirazinamida dalam cairan biologis yaitu dalam plasma darah telah dilakukan secara (KCKT) fase balik menggunakan fase gerak buffer pH 7,4 : metanol (96,8 : 3,2) dengan laju alir 1,5 ml/menit dan juga menggunakan baku dalam nikotinamid (Revankar, et.al., 1994). Penggunaan baku dalam adalah untuk mengimbangi berbagai macam kesalahan dalam analisa. Akurasi dari penggunaan baku dalam secara nyata bergantung kepada kemiripan struktur antara zat yang diperiksa dengan baku dalam (Snyder and Kirkland, 1979).

Uraian diatas membuat penulis tertarik melakukan pemeriksaan kadar pirazinamida dalam cairan biologis yaitu plasma darah pasien penderita TB dengan menggunakan KCKT fase balik dengan menggunakan fase gerak buffer fosfat pH 7,4 : asetonitril.

1.2Perumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang di atas perumusan masalah penelitian yaitu: 1. Apakah pemeriksaan kadar pirazinamida dalam plasma darah dapat

dilakukan secara KCKT menggunakan kolom ODS (Oktadesil silika) C18 dengan fase gerak campuran buffer fosfat pH 7,4:asetonitril (98:2) dengan menggunakan nikotinamid sebagai baku dalam ?

2. Bagaimana kondisi pirazinamida dalam plasma darah pada temperatur kamar?


(20)

1.3Hipotesis

Berdasarkan perumusan masalah diatas maka dibuat hipotesis sebagai berikut:

1. Kadar pirazinamida dalam plasma darah dapat ditentukan secara KCKT menggunakan kolom ODS C18 dengan fase gerak campuran buffer fosfat pH 7,4:asetonitril (98:2) dengan menggunakan nikotinamid sebagai baku dalam.

2. Pirazinamida dalam plasma darah berada dalam keadaan stabil pada temperatur kamar.

1.4Tujuan Penelitian

Tujuan dilakukan penelitian ini yaitu:

1. Untuk menentukan kadar pirazinamida dalam plasma darah secara KCKT menggunakan kolom ODS C18 dengan fase gerak campuran buffer fosfat pH 7,4:asetonitril (98:2) dengan menggunakan nikotinamid sebagai baku dalam.

2. Untuk mengetahui stabilitas pirazinamida dalam plasma darah pada temperatur kamar.

1.5Manfaat Penelitian

Manfaat penelitian ini adalah sebagai uji pendahuluan untuk kepentingan pemantauan terapi obat dalam darah pasien yang berpenyakit TB guna membantu dalam penyesuaian dosis obat sehingga diperoleh pengobatan yang optimal.


(21)

1.6 Alur Penelitian

Obat TB Diberikan Pasien Penderita TB Diambil Darah Pasien TB

Plasma Darah Diukur

Alat KCKT Dianalisis


(22)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Tuberkulosis

Tuberkulosis (TB) adalah suatu penyakit menular yang paling sering (sekitar 80% ) terjadi di paru-paru. Penyebabnya adalah suatu basil gram positif tahan asam dengan pertumbuhan sangat lamban yaitu Mycobacterium tuberculosis (Tjay dan Kirana, 2002). Data Survey Kesehatan Rumah Tangga (SKRT) 1986 menunjukkan bahwa penyakit TB menduduki penyebab kematian nomor empat. Kasus TB ini meningkat disebabkan tingginya angka resistensi terhadap obat TB, baik resistensi primer maupun resistensi sekunder (Chuluq, dkk., 2004). Gejala TB antara lain batuk kronis, demam, berkeringat waktu malam, keluhan pernafasan, perasaan letih, malaise, hilang nafsu makan, turunnya berat badan, dan rasa nyeri di bagian dada. Dahak penderita berupa lendir (mukosa), purulent atau mengandung darah. Infeksi primer setelah terjadi infeksi melalui pernafasan, di dalam gelembung paru (alveoli) berlangsung reaksi peradangan setempat dengan timbulnya benjolan-benjolan kecil (tuberkel). Basil TB memperbanyak diri di dalam makrofag dan benjolan-benjolan menjadi infiltrat yang akhirnya menimbulkan rongga (caverna)di paru-paru (Tjay dan Kirana, 2002).

Menurut Direktorat Bina Farmasi Komunitas dan Klinik, (2005) sesuai dengan sifat kuman TB, untuk memperoleh efektifitas pengobatan, maka prinsip-prinsip yang dipakai adalah :


(23)

 Untuk menjamin kepatuhan penderita dalam menelan obat, pengobatan dilakukan dengan pengawasan langsung.

 Pengobatan TB diberikan dalam 2 tahap yaitu :

- Tahap Intensif yaitu penderita mendapat obat setiap hari dan perlu diawasi secara langsung untuk mencegah terjadinya kekebalan obat. Bila pengobatan tahap intensif tersebut diberikan secara tepat, biasanya penderita menular menjadi tidak menular dalam kurun waktu 2 minggu.

- Tahap Lanjutan yaitu penderita mendapat jenis obat lebih sedikit, namun dalam jangka waktu yang lebih lama.

Tahap lanjutan penting untuk membunuh kuman persister (dormant) sehingga mencegah terjadinya kekambuhan.

2.2 Pirazinamida (Ditjen POM, 1995). Rumus Bangun:

Gambar 1. Rumus bangun Pirazinamida Nama Kimia : Pirazinkarboksamida

Rumus Molekul

Berat Molekul : 123,11

Pemerian : Serbuk hablur, putih hingga praktis putih; tidak berbau atau praktis tidak berbau.


(24)

Kelarutan: Agak sukar larut dalam air; sukar larut dalam etanol, dalam eter dan dalam kloroform.

Titik lebur: Antara 188o dan 191o

Analog pirazin dari nikotinamida ini bekerja bakterisid (pada suasana asam: pH 5-6) atau bakteriostatis, tergantung pada pH dan kadarnya di dalam darah. Spektrum kerjanya sangat sempit dan hanya meliputi M. tuberculosis. Khasiatnya diperkuat oleh INH. Obat ini khusus digunakan pada fase intensif (Tjay dan Rahardja, 2002). Pirazinamida adalah prodrug yang menghambat pertumbuhan Mycobacterium tuberculosis. Mycobacterium tuberculosis mempunyai enzim pirazinamidase yang hanya aktif pada kondisi asam. Pirazinamidase mengubah pirazinamida menjadi bentuk asam pirazinoat yang terakumulasi di dalam basil (Anonim2, 2005).

Pirazinamida dapat dengan baik diserap dari saluran cerna dan secara luas didistribusikan pada jaringan tubuh, termasuk selaput otak yang terinfeksi. Pirazinamida diabsorbsi dengan baik dari saluran pencernaan dengan konsentrasi serum 40-50 mg/L (0,3-0,4 mmol/L) dicapai kira-kira setelah 2 jam pemberian dosis 1 g. Suatu puncak konsentrasi serum 20-60 mg/L (163-488 µ mol/L) setelah 2 jam pemberian oral 1-2 g diusulkan sebagai bukti dari absorbsi yang cukup (Anderson, et.al., 2002)

Waktu paruhnya adalah 8-11 jam. Pirazinamida merupakan suatu obat garis depan yang penting yang digunakan bersama dengan isoniazid dan rifampin dalam pemberian jangka pendek (yaitu 6 bulan) sebagai suatu agen sterilisator aktif untuk melawan sisa-sisa organisme-organisme intraseluler yang dapat mengakibatkan kekambuhan (Chambers, 2004). Pirazinamida dimetabolisme di


(25)

hati, diekskresikan lambat dalam kemih, 30 % dikeluarkan sebagai metabolit dan 4% tak berubah dalam 24 jam. Efek sampingnya yaitu hepatotoksisitas, termasuk demam anoreksia, hepatomegali, ikterus; gagal hati; mual, muntah, artralgia, anemia sideroblastik, urtikaria (Direktorat Bina Farmasi Komunitas dan Klinik, 2005).

2.3 Pemantauan Terapi Obat

Pemantauan terapi obat secara klinik adalah evaluasi sistematik dan prospektif dari regimen dosis dan kemajuan klinik pasien. Sasaran utama dari pemantauan terapi obat adalah untuk mengoptimasi terapi obat, dengan memastikan secara efektif, efikasi terapi, meminimalkan toksisitas, dan memberi solusi masalah yang merusak/mengurangi akses seorang pasien, atau patuh pada suatu regimen terapi obat tertentu (Charles dan Endang, 2006).

Keberhasilan terapi dengan obat sangat bergantung pada rancangan aturan dosis. Suatu aturan dosis yang dirancang tepat, merupakan usaha untuk mencapai konsentrasi obat optimum pada reseptor untuk menghasilkan respon terapetik yang optimal dengan efek merugikan yang minimum (Shargel, 2005). Ketika obat dipilih untuk seorang pasien, dokter harus menentukan dosis yang paling sesuai untuk mencapai tujuan tersebut. Suatu pendekatan yang rasional guna tujuan ini menggabungkan prinsip-prinsip farmakokinetika dan farmakodinamika. Farmakokinetika membicarakan bagian konsentrasi-dosis, sedangkan farmakodinamika menentukan bagian efek-konsentrasi dari interaksi (Nicholas dan Holford, 2001). Pemantauan terapi obat bertujuan mengidentifikasi regimen dosis pasien secara individual yang mengarahkan pada pencapaian konsentrasi


(26)

yang diketahui berhubungan dengan khasiat bukan toksisitas. Bagaimanapun terdapat variabilitas farmakodinamik interindividual yang penting pada konsentrasi plasma yang diberikan. Secara umum, pemantauan terapi obat berguna untuk situasi klinis berikut :

- Ketika memulai regimen obat yang baru dengan indeks terapi yang sempit untuk memeriksa konsentrasi yang tepat tercapai

- Ketika pengobatan yang digunakan tidak bekerja karena diperoleh konsentrasi yang rendah.

- Ketika toksisitas dicurigai karena konsentrasi yang tinggi

- Ketika beberapa obat diberika secara bersama-sama dan interaksi farmakokinetika diharapkan dapat memodifikasi disposisi indeks terapi yang sempit

- Ketika sulit untuk menghubungkan antara respon farmakologi dengan konsentrasi plasma

- Pada pasien terdapat penyakit hati dan ginjal (Anonim3, 2002)

Pemantauan konsentrasi obat dalam darah atau plasma meyakinkan bahwa dosis yang telah diperhitungkan benar-benar telah melepaskan obat dalam plasma dalam kadar yang diperlukan untuk efek terapetik. Untuk beberapa obat, kepekaan reseptor pada individu berbeda, sehingga pemantauan kadar obat dalam plasma diperlukan untuk membedakan penderita yang menerima terlalu banyak obat dan penderita yang sangat peka terhadap obat. Dengan demikian pemantauan terapi konsentrasi obat dalam plasma memungkinkan untuk penyesuaian dosis obat secara individual dan juga untuk mengoptimasi terapi (Shargel, 2005).


(27)

2.4 Darah dan Plasma

Darah terdiri atas sel-sel dan cairan yang mengisi sirkulasi tertutup yang mengalir dalam gerak teratur tanpa arah, didorong terutama oleh kontraksi ritmis jantung. Darah dibentuk dari dua bagian: bentuk elemen atau sel-sel darah da plasma, fase cair dimana yang tersuspensi. Bentuk elemen adalah eritrosit atau sel darah merah; trombosit dan leukosit atau sel darah putih. Darah adalah jaringan penyambung khusus yang terdiri atas sel-sel dan banyak cairan interstitial (Junqueira, 1982).

Darah lengkap manusia adalah darah yang telah diambil dari donor manusia yang dipilih dengan pencegahan-pencegahan pendahuluan aseptik yang ketat. Ditambahkan ion sitrat atau heparin sebagai antikoagulasi. Darah yang dikumpulkan disimpan pada temperatur antara 1oC–10oC, dipertahankan konstan dengan kisaran 2oC (Ansel, 2005). Cairan translusen, kekuningan dan sedikit kental yang terletak diatas bila hematokrit diukur adalah plasma darah.

Plasma merupakan cairan yang sering digunakan dalam pengukuran konsentrasi obat dikarenakan konsentrasi obat di dalam plasma dianggap konsentrasi obat yang diperlukan reseptor untuk menghasilkan suatu efek (Shargel, 2005).

Plasma adalah suatu larutan aqueous yang mengandung zat-zat dengan berat molekul besar dan kecil yang merupakan 10% volumenya. Protein-protein plasma merupakan 7% dan garam-garam anorganik 0,9%, sisanya yang 10% terdiri atas beberapa senyawa organik dari berbagai asal-asam amino, vitamin, hormom, lipid, dan sebagainya. Protein-protein plasma dapat dipisahkan pada ultrasentrifuge atau dengan elektroforesis menjadi albumin, alfa, beta dan gamma


(28)

globulin; dan fibrinogen. Albumin adalah komponen utama dan mempunyai peranan utama mempertahankan tekanan osmotik darah. Beberapa zat yang tidak larut atau hanya sedikit larut dalam air dapat ditransport oleh plasma karena mereka terikat dengan albumin atau dengan alfa dan beta globulin (Junqueira, 1982).

2.5 Kromatografi

2.5.1 Teori Kromatografi

Kromatografi pertama kali dikembangkan oleh ahli botani rusia Michael Tswett pada tahun 1903 untuk memisahkan pigmen berwarna dalam tanaman denan cara perkolasi ekstrak petroleum eter dala kolom gelas yang berisi kalsium karbonat (CaCO3) (Rohman, 2007).

Kromatografi didefenisikan sebagai prosedur pemisahan zat terlarut oleh suatu proses migrasi diferensial dinamis dalam sistem yang terdiri dari dua fase atau lebih, salah satu diantaranya bergerak secara berkesinambungan dalam arah tertentu dan di dalamnya zat-zat itu menunjukkan perbedaan mobilitas disebabkan adanya perbedaan dalam absorpsi, partisi, kelarutan, tekanan uap, ukuran molekul, atau kerapatan muatan ion. Teknik kromatografi umumnya membutuhkan zat terlarut terdistribusi di antara dua fase, satu diantaranya diam (fase diam) yang lainnya bergerak (fase gerak) (Ditjen POM, 1995).

2.5.2 Kromatografi Cair Kinerja Tinggi

Kromatografi Cair Kinerja Tinggi atau KCKT atau biasa juga disebut dengan HPLC dkembangkan pada akhir tahun 1960-an dan awal 1970-an. Saat


(29)

ini, KCKT merupakan teknik pemisahan yang diterima secara luas untuk analisis dan pemurnian senyawa tertentu dalam suatu sampel. Kegunaan umum KCKT adalah untuk pemisahan sejumlah senyawa organik, anorganik, maupun senyawa biologis; analisis ketidakmurnian (impurities; analisis senyawa-senyawa tidak mudah menguap (non-volatile); penentuan molekul-molekul netral, ionik maupu zwitter ion. KCKT paling sering digunakan untuk menetapkan kadar senyawa-senyawa tertentu seperti asam-asam amino, asam-asam nukleat dan protein-protein dalam cairan fisiologis (Rohman, 2007).

Berdasarkan mekanisme interaksi antara analit dengan fase diam, kromatografi cair dapat dibagi menjadi 4 metode, yakni: kromatografi fase normal (normal phase chromatography) atau disebut juga kromatografi adsorpsi (adsorption chromatography), kromatografi fase balik (reversed-phase chromatography), kromatografi penukar ion (ion-exchange chromatography) dan kromatografi eksklusi ukuran (size-exclusion chromatography) (Riley, 1995).

Pada kromatografi fase normal, fase diam lebih polar daripada fase gerak. Dengan demikian analit yang polar lebih kuat terikat pada fase diam dan akan dielusi dari kolom setelah analit yang kurang polar yang mempunyai afinitas lebih besar terhadap fase gerak. Sedangkan pada kromatografi fase balik adalah situasi dimana fase gerak lebih polar daripada fase diam. Pada kromatografi fase balik ini permukaan silika terikat kovalen dengan rantai panjang hidrokarbon yang memberikan karakteristik permukaan yang sangat non polar. Dengan demikian analit yang lebih polar mempunyai afinitas yang lebih besar terhadap fase gerak dibandingkan dengan fase diam dan akan dielusi lebih cepat daripada analit yang non polar (Mellett, 2004).


(30)

2.5.3 Proses Pemisahan dalam Kolom Kromatografi

Pemisahan dalam kromatografi cair disebabkan oleh distribusi kesetimbangan dari senyawa-senyawa yang berbeda antara partikel fase diam dan larutan fase gerak (Snyder dan Kirkland, 1979). Contohnya, campuran dua komponen dimasukkan ke dalam sistem kromatografi (partikel ● dan ▲) (Gambar 2a). Di mana komponen ▲ cenderung menetap di fase diam dan komponen ● lebih cenderung di dalam fase gerak (Gambar 2b). Masuknya eluen (fase gerak) yang baru ke dalam kolom akan menimbulkan kesetimbangan baru: molekul sampel dalam fase gerak diadsorpsi sebagian oleh permukaan fase diam berdasarkan pada koefisien distribusinya, sedangkan molekul yang sebelumnya diadsorpsi akan muncul kembali di fase gerak (Gambar 2c). Setelah proses ini terjadi berulang kali, kedua komponen akan terpisah. Komponen ● yang lebih suka dengan fase gerak akan berpindah lebih cepat daripada komponen ▲ yang cenderung menetap di fase diam, sehingga komponen ● akan muncul terlebih dahulu dalam kromatogram, kemudian baru diikuti oleh komponen ▲ (Gambar 2d) (Meyer, 2004). Komponen yang telah terpisah akan dibawa oleh fase gerak menuju detektor dan sinyal yang terekam oleh detektor disebut sebagai puncak, sedangkan keseluruhan puncak yang direkam oleh detektor selama analisis dinamakan kromatogram. Puncak yang diperoleh dalam analisis memiliki dua informasi penting yakni informasi kualitatif dan kuantitatif (Meyer, 2004).


(31)

Gambar 2. Ilustrasi proses pemisahan yang terjadi di dalam kolom KCKT.

2.5.4 Parameter Dalam Kromatografi

Terdapat beberapa parameter yang penting untuk diketahui selama analisis menggunakan KCKT, parameter tersebut akan dijelaskan secara singkat sebagai berikut

2.5.4.1 Tinggi dan Luas Puncak

Sebuah puncak memiliki lebar puncak (Wb), tinggi (h) dan luas puncak seperti yang dapat dilihat pada Gambar 3 berikut.


(32)

Gambar 3. Sebuah kromatogram yang diperoleh dari analisis KCKT

Lebar puncak yang diukur biasanya merupakan lebar pada 5% tinggi puncak (W0,05) (Ornaf dan Dong, 2005). Tinggi dan luas puncak berkaitan secara proporsional dengan kadar atau jumlah analit tertentu yang terdapat dalam sampel (memiliki informasi kuantitatif). Namun demikian, luas puncak lebih umum digunakan dalam perhitungan kuantitatif karena lebih akurat/cermat daripada perhitungan menggunakan tinggi puncak (Ornaf dan Dong, 2005). Hal ini dikarenakan luas puncak relatif tidak banyak dipengaruhi oleh kondisi kromatografi, kecuali laju alir.

Sementara itu, tinggi puncak dipengaruhi oleh banyak faktor seperti misalnya faktor tambat, suhu kolom serta cara injeksi sampel (Miller, 2005). Hal ini akan menyebabkan tinggi puncak relatif labil selama analisis. Namun demikian tinggi puncak masih dapat digunakan dalam perhitungan kuantitatif bila puncak analit simetris (Dyson, 1990).


(33)

2.5.4.2 Faktor Retensi

Periode waktu antara penyuntikan sampel dan puncak maksimum yang terekam oleh detektor disebut sebagai waktu tambat/retention time (tR). Waktu tambat

dari suatu komponen yang tidak ditahan/ditambat oleh fase diam disebut sebagai waktu hampa/void time (t0). Waktu tambat merupakan fungsi dari laju alir fase gerak

dan panjang kolom. Jika fase gerak mengalir lebih lambat atau kolom semakin panjang, waktu hampa dan waktu tambat akan semakin besar, dan sebaliknya bila fase gerak mengalir lebih cepat atau kolom semakin pendek, maka waktu hampa dan waktu tambat akan semakin kecil (Meyer, 2004).

2.5.4.3 Efisiensi

Tujuan umum pada kromatografi adalah pemisahan yang cukup dari suatu campuran yang akan dipisahkan. Untuk kolom kromatografi, jumlah lempeng atau plate number (N) yang didasarkan pada konsep lempeng teoritis pada distilasi kolom digunakan sebagai ukuran efisiensi. Dengan menganggap profil puncak kromatogram adalah sesuai kurva Gaussian, maka N didefenisikan:

N = 2 t R t    

σ = 16

2 b R W t     = 5,54 2 h/2 R W t     Yang mana:

tR : waktu retensi solut

σt : standar deviasi lebar puncak

Wb : lebar puncak


(34)

Gambar 4. Pengukuran efisiensi kromatografi dari puncak Gaussian

2.5.4.4 Selektifitas

Proses pemisahan antara dua komponen dalam KCKT hanya memungkinkan bila kedua komponen memiliki kecepatan yang berbeda dalam melewati kolom (Ornaf dan Dong, 2005). Kemampuan sistem kromatografi dalam memisahkan/membedakan analit yang berbeda dikenal sebagai selektifitas (α). Selektifitas umumnya tergantung pada sifat analit itu sendiri, interaksinya dengan permukaan fase diam serta jenis fase gerak yang digunakan (Kazakevich dan LoBrutto, 2007). Selektifitas ditentukan sebagai berikut

2.5.4.5 Resolusi

Menurut Kazakevich dan LoBrutto, (2007) resolusi didefenisikan sebagai perbandingan jarak antara dua puncak terhadap lebar kedua puncak (pada saat baseline). Dirumuskan sebagai:


(35)

2.5.4.6 Puncak Asimetri

Profil konsentrasi solut yang bermigrasi akan simetris jika rasio distribusi solut konstan selama di kisaran konsentrasi keseluruhan puncak. Meskipun demikian, kurva akan berubah menjadi 2 jenis puncak asimetris yakni membentuk puncak yang berekor (tailing) dan adanya puncak pendahulu (fronting) jika ada perubahan rasio distribusi solut ke arah yang lebih besar. Baik tailing maupun fronting tidak dikehendaki karena dapat menyebabkan pemisahan kurang baik dan data retensi kurang reprodusibel (Rohman, 2007). Dibawah ini adalah gambar tiga jenis puncak.

Gambar 5. Tiga jenis bentuk puncak. (sumber: Meyer, 2004).

Untuk menentukan tingkat asimetri puncak dilakukan dengan menghitung faktor asimetris atau disebut juga dengan tailing factor (TF) yang dinyatakan dengan rasio antara lebar setengah tinggi puncak. Kromatogram yang memberi harga TF = 1 menunjukkan bahwa kromatogram tersebut bersifat setangkup atau simetris. Harga TF > 1 menunjukkan bahwa kromatogram mengalami pengekoran (tailing). Semakin besar harga TF maka kolom yang dipakai kurang efisien (Rohman, 2007).


(36)

Gambar 6. Menghitung besarnya tailing factor pada kromatogram

2.5.5 Komponen Kromatografi Cair Kinerja Tinggi

Sistem KCKT sederhana terdiri dari wadah fase gerak, pompa bertekanan tinggi, injektor, kolom, detektor, dan perekam. Gambar ilustrasi dapat dilihat pada gambar 5 (McMaster, 2007).

Gambar 7. Sistem KCKT isokratik

2.5.5.1 Wadah fase gerak

Wadah fase gerak terbuat dari bahan yang inert terhadap fase gerak. Bahan yang umum digunakan adalah gelas dan baja anti karat. Pelarut yang digunakan harus bebas dari partikel debu dan partikel padat. Pelarut seharusnya disaring dengan


(37)

penyaring mikrometer sebelum digunakan pada sistem KCKT. Degassing digunakan untuk menghilangkan gas terlarut dalam fase gerak dan menghilangkan gas terlarut dalam fase gerak dan mengurangi kemungkinan gelembung yang terbentuk pada pompa atau detektor selama proses pemisahan (Putra, 2007).

Fase gerak atau eluen biasanya terdiri atas campuran pelarut yang dapat bercampur yang secara keseluruhan berperan dalam daya elusi dan resolusi. Untuk fase normal (fase diam lebih polar daripada fase gerak), kemampuan eluasi meningkat dengan meningkatnya polaritas pelarut. Sementara untuk fase terbalik (fase diam kurang polar daripada fase gerak), kemampuan eluasi menurun dengan meningkatnya polaritas pelarut (Rohman, 2007).

Menurut Johnson dan Stevenson (1991), fase gerak haruslah: a. Murni, tanpa cemaran.

b. Tidak bereaksi dengan kemasan. c. Sesuai dengan detektor.

d. Dapat melarutkan cuplikan. e. Mempunyai viskositas rendah.

f. Memungkinkan memperoleh kembali cuplikan dengan mudah, jika diperlukan.

g. Harganya wajar.

2.5.5.2 Pompa

Pompa yang cocok digunakan untuk KCKT adalah pompa yang mempunyai syarat sebagaimana syarat wadah pelarut yakni pompa harus inert terhadap fase gerak. Bahan yang umum dipakai adalah gelas, baja tahan karat, teflon, dan batu


(38)

nilam. Tujuan penggunaan pompa atau sistem penghantaran fase gerak adalah untukmenjamin proses penghantaran fase gerak berlangsung secara tepat, reproduksibel, konstan, dan bebas dari gangguan. Ada dua jenis pompa dalam KCKT yaitu pompa dengan tekanan konstan, dan pompa dengan aliran fase gerak yang konstan. Tipe pompa dengan aliran fase gerak yang konstan sejauh ini lebih umum dibandingkan dengan pompa dengan tekanan tetap (Rohman, 2007).

2.5.5.3 Injektor

Sampel-sampel cair dan larutan disuntikkan secara langsung ke dalam fase gerak yang mengalir di bawah tekanan menuju kolom menggunakan alat penyuntik yang terbuat dari tembaga tahan karat dan katup teflon yang dilengkapi dengan keluk sampel internal atau eksternal (Rohman, 2007).

Menurut Johnson dan Stevenson (1991), ada tiga jenis dasar injektor, yaitu:

a. Aliran-henti: aliran dihentikan, penyuntikan dilakukan pada tekanan atmosfer; sistem ditutup, dan aliran dilanjutkan lagi. Cara ini dapat dipakai karena difusi di dalam zat cair kecil, jadi umumnya daya pisah tidak dipengaruhi.

b. Septum: ini adalah injektor langsung pada aliran, yang sama dengan injektor yang lazim dipakai pada kromatografi gas. Injektor tersebut dapat dipakai pada tekanan sampai sekitar 60-70 atmosfer. Septum tidak dapat dipakai pada semua pelarut KC. Selain itu, partikel kecil terlepas dari septum dan cenderung menyumbat.

c. katup jalan-kitar: jenis injektor ini biasanya dipakai untuk menyuntikkan volum yang lebih besar dari 10 μl dan sekarang dipakai dalam sistem yang


(39)

diotomatkan. Pada kedudukan mengisi, jalan-kitar cuplikan diisi pada tekanan atmosfer. Jika katup dibuka, cuplikan di dalam jalan-kitar teralirkan ke dalam kolom.

2.5.5.4 Kolom

Kolom adalah jantung kromatografi. Berhasil atau tidaknya suatu analisis tergantung pada pemilihan kolom dan kondisi percobaan yang sesuai. Kolom umumnya dibuat dari stainless steel dan biasanya dioperasikan pada temperatur kamar (Putra, 2007).

Menurut Johnson dan Stevenson (1991), kolom dapat dibagi menjadi dua kelompok:

a. Kolom analitik: garis tengah-dalam 2-6 mm. Panjang bergantung pada jenis kemasan, untuk kemasan, untuk kemasan pelikel biasanya panjang kolom 50-100 cm, untuk kemasan mikropartikel berpori biasanya 10-30 cm.

b. Kolom preparatif: umumnya bergaris tengah 6 mm atau lebih besar dan panjang 25-100 cm.

Kebanyakan fase diam pada kolom KCKT berupa silika yang dimodifikasi secara kimiawi, silika yang tidak dimodifikasi, atau polimer-polimer stiren dan divinil benzen. Permukaan silika adalah polar dan sedikit asam karena adanya residu gugs silanol (Si-OH). Oktadesil silika (ODS atau C18) merupaka fase diam yang paling banyak digunakan karena mampu memisahkan senyawa-senyawa dengan kepolaran rendah, sedang, maupun tinggi (Rohman, 2007).


(40)

2.5.5.5 Detektor

Suatu detektor dibutuhkan untuk mendeteksi adanya komponen cuplikandi dalam aliran yang keluar dari kolom. Detektor yang baik memiliki sensitifitas yang tinggi, gangguan (noise) yang rendah, kisaran respon linear yang luas, dan memberi tanggapan/respon untuk semua tipe senyawa. Detektor yang paling banyak digunakan dalam KCKT adalah detektor spektrofotometer uv 254 nm. Bermacam-macam detektor dengan variasi panjang gelombang uv-vis sekarang menjadi poluler karena dapat digunakan untuk mendeteksi senyawa-senyawa dalam rentang yang luas (Putra, 2007).

2.5.6 Metode Kuantifikasi dengan Baku Dalam

Baku dalam terutama merupakan ragam yang berguna karena pemakaiannya secara tepat dapat memperkecil galat yang disebabkan oleh penyiapan cuplikan, peralatan, dan cara. Secara singkat, cara ini mencakup penambahan senyawa baku yang jumlahnya diketahui. Kemudian campuran itu dibuat untuk disuntikkan ke dalam kromatografi. Berdasarkan luas puncak senyawa baku dan luas puncak komponen yang diminati, kita dapat menentukan susunan (Johnson dan Stevenson, 1991). Akurasi dari penggunaan baku dalam secara nyata bergantung kepada kemiripan struktur antara zat yang diperiksa dengan baku dalam (Snyder and Kirkland, 1979).

Menurut Rohman (2007), syarat-syarat suatu senyawa dapat digunakan sebagai baku internal adalah:

- Terpisah dengan baik dari senyawa yang dituju atau puncak-puncak yang lain - Mempunyai waktu retensi yang hampir sama dengan analit.


(41)

- Tidak terdapat dalam sampel.

- Mempunyai kemiripan sifat-sifat dengan analit dalam tahapan-tahapan penyiapan sampel.

- Tidak mempunyai kemiripan secara kimiawi dengan analit. - Tersedia dalam perdagangan dengan kemurnian yang tinggi.

- Mempunyai respon detektor yang hampir sama dengan analit pada konsentrasi yang digunakan.

Dalam kromatografi, rasio tinggi puncak atau luas puncak (senyawa terhadap baku dalam) biasanya di-plot terhadap konsentrasi. Selanjutnya, perbandingan atau rasio respon detektor (tinggi atau luas puncak) untuk obat dan baku dalam digunakan dalam kalibrasi dan pengujian (Smyth, 1992).

2.5.7 Nikotinamida (Ditjen POM, 1995)

Baku dalam yang digunakan yakni Nikotinamida. Rumus Bangun:

Gambar 8. Nikotinamid Nama Kimia : Piridina-3-karboksamida Rumus Molekul : C6H6N2O

Berat Molekul : 122,1

Pemerian : Hablur atau serbuk hablur, tidak berwarna atau putih; berbau lemah dan khas


(42)

Kelarutan : Larut dalam 1 bagian air, dalam 1,5 bagian etanol; sukar larut dalam kloroform dan dalam eter

Dengan metode baku internal, kurva baku dihasilkan dengan mempersiapkan beberapa larutan baku yang mengandung konsentrasi yang berbeda dari senyawa yang dituju dengan ditambah sejumlah konsentrasi tertentu yang tetap dari larutan baku internal (Rohman, 2007).


(43)

BAB III

METODOLOGI PENELITIAN

Penelitian ini merupakan penelitian deskriptif dan pengukuran dilakukan dengan menggunakan alat KCKT. Penelitian ini dilakukan di Laboratorium Biofarmasi Fakultas Farmasi USU, dan Laboratorium Penelitian Fakultas Farmasi USU.

3.1 Alat

Alat-alat yang digunakan pada penelitian ini adalah timbangan, beaker gelas, neraca analitis (Baecho), pipet tetes, tabung sentrifugasi, rak tabung, gelas ukur, alat vortex (Health HVM-400), alat sentrifugasi (Health HC 1120T), termos es, spuit 1 ml, spuit 3 ml, politube, mikropipet, batang pengaduk, vial 2 ml, satu unit alat KCKT Agilent 1120 Compact LC, kolom ODS-C18, wadah solven, pompa vakum (Gast DOA-P604-BN), injektor, syringe 50 µ l, ultrasonik (Branson 1510), kertas membran filter Cellulose Nitrate 0,45 µm, penyaring PTFE 0,2 µm. (Gambar alat dapat dilihat pada Lampiran 1 dan 2 halaman 44)

3.2 Bahan

Bahan-bahan yang digunakan dalam penelitian yaitu: Asetonitril HPLC grade (E. Merck), NaOH p.a. (E. Merck), plasma darah pasien TB, plasma kosong (gambar dapat dilihat pada Lampiran 3 halaman 46 ), Baku Pirazinamida ARS (ASEAN Reference Substance) (sertifikat analisis dapat dilihat pada Lampiran 14 halaman 62), Nikotinamid (Western Drugs PVT. LTD.) (sertifikat analisis dapat dilihat pada Lampiran 15 halaman 63), Kalium Dihidrogen Fosfat p.a (E. Merck),


(44)

Aquabidest (PT. Ikapharmindo Putramas), Heparin Sodium Inject (PT. B.Braun Medical Indonesia).

3.3 Pengambilan Sampel

Sampel yang diperiksa dalam penelitian ini adalah plasma darah penderita tuberkulosis yang sedang menjalani perawatan di PUSKESMAS Jalan Sering, Pancing. Pasien yang diambil darahnya adalah pasien yang telah memakan obat tuberkulosis kurang dari 2 bulan atau sedang menjalani fase intensif. (Data pasien dapat dilihat pada Lampiran 13 halaman 61 ). Waktu pengambilan sampel adalah 2 jam setelah pasien memakan obat.

3.4 Rancangan Penelitian 3.4.1 Penyiapan Bahan

3.4.1.1 Pembuatan Plasma Darah Pasien TB

Darah pasien yang telah diambil sebanyak 5 ml kemudian dimasukkan ke dalam venoject yang telah terbasahi heparin. Venoject yang telah berisi darah disentrifugasi dengan kecepatan 4000 putaran per menit selama 5 menit. Diperoleh dua lapisan yaitu lapisan atas yang merupakan plasma dan lapisan bawah berupa endapan. Diambil lapisan atas (plasma darah).

3.4.1.2 Pembuatan Plasma Kosong

Darah diambil dari relawan (dewasa dan sehat) sebanyak 5 ml kemudian dimasukkan ke dalam venoject yang telah terbasahi heparin. Venoject yang telah berisi darah disentrifugasi dengan kecepatan 4000 putaran per menit selama 5


(45)

menit. Hasil sentrifugasi diperoleh dua lapisan yaitu lapisan atas yang merupakan plasma dan lapisan bawah berupa endapan. Diambil lapisan atas (plasma darah). 3.4.1.3 Pembuatan Pereaksi

3.4.1.3.1 Aqua bebas CO2

Air murni yang telah dididihkan kuat-kuat selama 5 menit atau lebih dan didiamkan sampai dingin dan tidak boleh menyerap karbondioksida dari udara (Ditjen POM, 1995).

3.4.1.3.2 Natrium Hidroksida 0,2 N

Dilarutkan 8,0 g NaOH dengan air bebas CO2 sampai 1000,0 ml (Ditjen

POM, 1979).

3.4.1.3.3 Kalium Dihidrogen Fosfat 0,2 N

Dilarutkan 27,218 g kalium dihidrogen fosfat dalam air bebas CO2

secukupnya hingga 1000,0 ml (Ditjen POM, 1979). 3.4.1.3.4 Buffer Fosfat pH 7,4

Dibuat dengan mencampur 50,0 ml kalium dihidrogenfosfat 0,2 M dengan 39,1 ml natrium hidroksida 0,2 N, dan diencerkan dengan air bebas karbondioksida P hingga 200,0 ml (Ditjen POM, 1979).

3.4.1.4 Pembuatan Fase Gerak

Fase gerak terdiri dari buffer fosfat pH 7,4 dan asetonitril dengan perbandingan 98 : 2. Fase gerak dibuat sebanyak 500 ml dengan mencampurkan buffer fosfat pH 7,4 sebanyak 490 ml dan asetonitril 10 ml. Sebelum digunakan fase gerak disaring melalui penyaring membran filter Cellulose Nitrate 0,45 µ m kemudian diawaudarakan selama ± 20 menit menggunakan sonifikator.


(46)

3.4.1.5 Pembuatan Larutan Induk Baku

3.4.1.5.1 Pembuatan Larutan Induk Baku Pirazinamida

Ditimbang seksama sejumlah 10 mg baku Pirazinamida lalu dimasukkan ke dalam vial 1 ml yang telah dikalibrasi terlebih dahulu, dilarutkan dengan fase gerak (buffer posfat pH 7,4 : asetonitril dengan perbandingan 98 : 2) sehingga diperoleh konsentrasi 81,2281 mM (10.000 mcg/ml).

3.4.1.5.2 Pembuatan Larutan Induk Baku Nikotinamid 3.4.1.5.2.1 Pembuatan Larutan Induk Baku Pertama

Ditimbang seksama sejumlah 10 mg Nikotinamid lalu dimasukkan ke dalam labu 10 ml, dilarutkan dengan fase gerak (buffer posfat pH 7,4 : asetonitril dengan perbandingan 98 : 2) hingga diperoleh larutan dengan konsentrasi 8,1900 mM (1.000 mcg/ml).

3.4.1.5.2.2 Pembuatan Larutan Induk Baku Kedua

Dipipet dari larutan induk pertama sebanyak 1,5 ml ke dalam labu 10 ml, diencerkan dengan fase gerak (buffer posfat pH 7,4 : asetonitril dengan perbandingan 98 : 2) hingga diperoleh larutan dengan konsentrasi 1,2285 mM (150 mcg/ml).

3.4.2 Prosedur Analisis

3.4.2.1 Penyiapan Alat KCKT

Alat dihubungkan dengan sumber listrik, kemudian alat dihidupkan dengan menekan tombol power. Diatur panjang gelombang menjadi 254 nm. Dipurging untuk menghilangkan gelembung pada selang, kemudian dialirkan fase gerak hingga laju alir 0,8 ml/menit. Biarkan hingga kondisi alat stabil.


(47)

3.4.2.2 Penentuan Garis Alas (Base Line)

Setelah dialirkan fase gerak selama 30 menit, dilihat absorbansi apakah telah stabil, jika telah stabil absorbansi di nol kan dengan cara click to balance. 3.4.2.3 Penyuntikan Fase Gerak

Untuk mengetahui kebersihan injektor, maka dilakukan penyuntikan fase gerak dengan cara: tekan single run, tulis nama sampel dan tekan OK. Injektor diputar ke posisi load dan disuntikkan fase gerak ke dalam injektor dengan menggunakan penyuntik mikroliter, injektor diputar ke posisi inject (hasil penyuntikan fase gerak dapat dilihat di Lampiran 4 halaman 47).

3.4.2.4 Penyuntikan Plasma Kosong

Dipipet 300 µ l plasma kosong, dimasukkan ke dalam politube dan ditambahkan 600 µ l asetonitril untuk mengendapkan protein lalu divortex. Disentrifugasi dengan kecepatan 4000 putaran permenit selama 5 menit. Dipisahkan supernatan dari endapan dan dikumpulkan. Disaring dengan penyaring PTFE diameter 0,2 µm, lalu diinjeksikan ke dalam sistem KCKT dengan volume penyuntikan 20 µ l dengan laju aliran (flow rate) 0.8 ml/menit, deteksi pada panjang gelombang 254 nm. Dilihat kromatogram yang terbentuk dan waktu retensinya (Kromatogram dapat dilihat di Lampiran 7 halaman 50).

3.4.2.5 Analisis Kualitatif

Analisis kualitatif pirazinamida dapat dilakukan dengan membandingkan waktu retensi yang sama (identik) dari kromatogram pada penyuntikan sampel dengan kromatogram pada penyuntikan larutan baku pembanding pirazinamida (Kromatogram larutan baku pembanding dapat dilihat pada Lampiran 5 halaman 48).


(48)

3.4.2.6 Analisis Kuantitatif

3.4.2.6.1 Penentuan Linearitas Kurva Kalibrasi Baku Pembanding Pirazinamida

Dipipet larutan induk baku Pirazinamida sebanyak 100 µ l; 150 µ l; 200 µ l; 500 µl, masing-masing dimasukkan ke dalam vial yang telah dikalibrasi 1ml, diencerkan dengan fase gerak sampai garis tanda sehingga diperoleh konsentrasi 8,12 mM (1000 mcg/ml); 12,2 mM (1500 mcg/ml); 16,25 mM (2000 mcg/ml); 40,61 mM (5000 mcg/ml). Terlebih dahulu dimasukkan 50 μl larutan nikotinamid konsentrasi 1,2285 mM (150 mcg/ml) ke dalam vial 2 ml yang telah dikalibrasi kemudian dari masing-masing larutan dipipet sebanyak 10 µ l dan dicukupkan dengan plasma darah sampai garis tanda kalibrasi, divortex dan didiamkan selama 5 menit. Dipipet 300 µl dimasukkan ke dalam politube ditambahkan 600 µ l asetonitril untuk mengendapkan protein lalu di vortex. Disentrifugasi dengan kecepatan 4000 putaran per menit selama 5 menit. Supernatan yang diperoleh diambil dengan menggunakan spuit kemudian disaring dengan penyaring PTFE diameter 0,2 µm, lalu diinjeksikan ke dalam sistem KCKT dengan volume penyuntikan 20 µ l dengan laju aliran (flow rate) 0.8 ml/menit, deteksi pada panjang gelombang 254 nm.

Konsentrasi kelima untuk kalibrasi adalah 81,2281 mM (10.000 mcg/ml). Terlebih dahulu 50 μl larutan nikotinamid konsentrasi 1,2285 mM (150 mcg/ml) dimasukkan ke dalam vial 2 ml yang telah dikalibrasi lalu dipipet 10 µ l dari larutan induk baku pirazinamida dan dicukupkan dengan plasma darah sampai garis tanda kalibrasi, divortex dan didiamkan selama 5 menit. Dipipet 300 µl dimasukkan ke dalam politube ditambahkan 600 µ l asetonitril untuk mengendapkan protein lalu di vortex. Disentrifugasi dengan kecepatan 4000


(49)

putaran per menit selama 5 menit. Supernatan yang diperoleh diambil dengan menggunakan spuit kemudian disaring dengan penyaring PTFE diameter 0,2 µ m, lalu diinjeksikan ke dalam sistem KCKT dengan volume penyuntikan 20 µ l dengan laju aliran (flow rate) 0.8 ml/menit, deteksi pada panjang gelombang 254 nm.

Kurva kalibrasi dibuat dengan menggunakan rasio luas puncak antara bahan obat dengan baku dalam yang terukur oleh detektor versus konsentrasi bahan obat dengan metode kuadrat terkecil untuk memperoleh garis regresi linier (Kromatogram dan data perhitungan dapat dilihat pada Lampiran 9 halaman 52 dan Lampiran 10 halaman 57).

3.4.2.6.2 Pemeriksaan Kadar Pirazinamida dalam Plasma Darah Pasien Kedalam plasma darah pasien ditambahkan 50 μl larutan nikotinamid konsentrasi 1,2285 mM (150 mcg/ml), divortex, didiamkan selama 5 menit. Dipipet 300 µ l plasma, dimasukkan ke dalam politube dan ditambahkan 600 µ l asetonitril untuk mengendapkan protein lalu divortex. Disentrifugasi dengan kecepatan 4000 putaran per menit selama 5 menit. Dipisahkan supernatan dari endapan dan dikumpulkan. Diambil larutan supernatan dengan menggunakan spuit 1 ml. Disaring dengan penyaring PTFE diameter 0,2 µm, lalu diinjeksikan ke dalam sistem KCKT dengan volume penyuntikan 20 µ l dengan laju aliran (flow rate) 0.8 ml/menit, deteksi pada panjang gelombang 254 nm. Dilihat kromatogram yang terbentuk dan waktu retensinya. Dihitung kadar obat dalam plasma dengan menghitung luas puncaknya (Kromatogram dan data perhitungan kadar dapat dilihat pada Lampiran 8 halaman 51 dan Lampiran 11 halaman 59).


(50)

3.4.3Penentuan Batas Deteksi dan Batas Kuantifikasi

Batas deteksi (Limit of detection/LOD) didefenisikan sebagai konsentrasi analit terendah dalam sampel yang masih dapat dideteksi. Batas kuantifikasi (Limit of quantification/LOQ) didefenisikan sebagai konsentrasi analit terendah dalam sampel yang masih dapat ditentukan dengan presisi dan akurasi yang dapat diterima pada kondisi operasional metode yang digunakan.

LOD = slope SD 3 , 3 x LOQ = slope SD 10x

Standar deviasi (SD) dapat ditentukan berdasarkan pada standar deviasi blanko, pada standar deviasi residual dari garis regresi.

Standar deviasi residual (Sy) =

2 n

) y y ( i 2

− −

(Rohman, 2007; Harmita, 2004). (Data perhitungan batas deteksi dan batas kuantitatif dapat dilihat pada Lampiran 12 halaman 60)


(51)

BAB IV

HASIL DAN PEMBAHASAN

Pemeriksaan pirazinamida pada cairan biologis yaitu dalam plasma darah telah ditentukan oleh Revankar SN secara Kromatografi Cair Kinerja Tinggi fase balik dengan menggunakan fase gerak buffer fosfat pH 7,4 : metanol (96,8 : 3,2) pada panjang gelombang 268 nm dan menggunakan baku dalam nikotinamid. Maka dilakukanlah orientasi dengan mengganti metanol menjadi asetonitril. Asetonitril memberikan puncak yang lebih simetris karena viskositasnya yang lebih kecil (Kromidas, 2006). Hasil orientasi dengan menggunakan konsentrasi asetonitril yang sama dengan metanol memberikan waktu retensi yang lebih lama sehingga konsentrasi asetonitril dikurangi. Maka didapatlah kondisi yang optimum dengan menggunakan perbandingan fase gerak buffer fosfat : asetonitril (98 : 2) dengan laju alir 0,8 ml/menit dengan panjang gelombang 254 nm. Kedua kromatogram dibawah ini adalah hasil penyuntikan LIB Pirazinamida dan Nikotinamid dengan waktu retensi 13,480 dengan 22,307 masing- masing.


(52)

Gambar 10. Kromatogram LIB Nikotinamid

Pemakaian panjang gelombang 254 karena arus derau yang rendah disertai dengan serapan kuat. Panjang gelombang ini menyerap sangat kuat seperti asam amino aromatik, protein, enzim, dan kandungan asam nukleat (Johnson dan Stevenson, 1991)

Pengambilan sampel yaitu plasma darah diambil dari seorang pasien TB yang sedang menjalani tahap intensif atau ± 1 bulan dengan dosis 1200 mg. Darah pasien diambil setelah 2 jam memakan obat karena kadar plasma puncak dalam darah lebih kurang 2 jam (Direktorat Bina Farmasi Komunitas dan Klinik, 2005).

Menurut Shargel, (2005) untuk suatu obat yang diberikan dalam dosis oral berulang, waktu yang diperlukan untuk mencapai keadaan tunak bergantung pada waktu paruh eliminasi obat. Lamanya waktu ini kira-kira adalah tiga sampai lima kali masa paruh obat tersebut.

Pirazinamida diabsorbsi dengan baik dari saluran pencernaan dengan konsentrasi serum 40-50 mg/L (0,3-0,4 mmol/L) dicapai kira-kira setelah 2 jam pemberian dosis 1 g. Suatu puncak konsentrasi serum 20-60 mg/L (163-488 µ mol/L) setelah 2 jam pemberian oral 1-2 g diusulkan sebagai bukti dari absorbsi yang cukup (Anderson, et.al., 2002)


(53)

Pirazinamida mempunyai waktu paruh kira-kira kira 9 jam. Dimetabolisme di hati, diekskresikan lambat dalam kemih, 30 % dikeluarkan sebagai metabolit dan 4% tak berubah dalam 24 jam (Direktorat Bina Farmasi Komunitas dan Klinik, 2005). Pirazinamida adalah prodrug yang menghambat pertumbuhan Mycobacterium tuberculosis. Mycobacterium tuberculosis mempunyai enzim pirazinamidase yang hanya aktif pada kondisi asam. Pirazinamidase mengubah pirazinamida menjadi bentuk asam pirazinoat yang terakumulasi di dalam basil (Anonim2, 2005). Pada Kromatogram dibawah dapat dilihat bahwa pada menit ke 6 sampai menit ke 12,5 merupakan puncak dari plasma darah dan pada menit ke 14,040 adalah puncak pirazinamida dan setelah itu pada menit ke 23,467 adalah puncak nikotinamid. Pirazinamida mempunyai waktu retensi yang lebih cepat dibandingkan nikotinamid dikarenakan pirazinamida lebih polar bila dibandingkan dengan nikotinamid. Pada kromatografi fase balik, componen sampel yang paling polar akan terelusi terlebih dahulu (M. makin Ibnu Hadjar, 1985). Dari Kromatogram dibawah dapat juga disimpulkan bahwa pirazinamida stabil di dalam plasma darah pada temperatur kamar karena tidak terdapat puncak lain selain puncak pirazinamida dan nikotinamid.


(54)

Gambar 11. Kromatogram Sampel Pasien yang telah ditambah baku dalam

Penentuan linearitas kurva kalibrasi menggunakan metode luas puncak. Metode luas puncak ini adalah dengan mengukur luas sebagai hasil kali tinggi puncak dan lebar pada setengah tinggi (W1/2). Baku internal yang ditambahkan

berguna untuk menghilangkan pengaruh karena adanya perubahan-perubahan pada ukuran sampel atau konsentrasi karena variasi instrumen (Rohman dan Gholib, 2007). Kurva kalibrasi digambarkan dari konsentrasi pirazinamida versus rasio luas puncak antara pirazinamida dengan nikotinamid. Konsentrasi pirazinamida yang dibuat adalah 8,1228 mM (1000 ppm), 12,1842 mM (1500 ppm), 16,2456 mM (2000 ppm), 40,6141 mM (5000 ppm), 81,2282 mM (10.000 ppm). Kurva kalibrasi dapat dilihat dari gambar 12.


(55)

Kurva Kalibrasi Pirazinamida

Rasio Luas Puncak Pirazinamida/Nikotinamid vs Konsentrasi

y = 0.3216x - 2.4661 r = 0,9897

0 5 10 15 20 25 30

0 20 40 60 80 100

Konsentrasi (mM) R as io Lu as p u n cak p ir az in ami d a/ n ik oti n ami d

Gambar 12. Kurva Kalibrasi Pirazinamida ARS rasio luas puncak Pirazinamida/ Nikotinamid versus Konsentrasi

Persamaan regresi yang didapat adalah y = 0,3216x – 2,4661 dan koefisien korelasi (r) = 0,9897. Kadar sampel yang diperoleh dari persamaan garis regresi adalah 73,5263 mM.


(56)

BAB V

KESIMPULAN DAN SARAN 5.1 Kesimpulan

Pemeriksaan kadar pirazinamida dalam plasma darah dapat dilakukan dengan cara kromatografi cair kinerja tinggi (KCKT) menggunakan kolom ODS-C18 dengan fase gerak campuran buffer posfat pH 7,4 : asetonitril (98:2), dengan laju alir 0,8 ml/menit pada panjang gelombang 254 nm dengan menggunakan nikotinamid sebagai baku dalam. Kadar pirazinamida yang diperoleh adalah sebesar 73,5263 mM.

Pirazinamida dalam plasma darah pasien TB berada dalam keadaan stabil pada temperatur kamar.

5.2 Saran

Disarankan kepada peneliti selanjutnya agar melakukan validasi metode sehingga diperoleh hasil yang lebih baik.


(57)

DAFTAR PUSTAKA

Anderson, O. P., James. E. Knoben., William. G. Troutman. (2002). Handbook of Clinical Drug Data. Tenth Edition. USA: McGraw-Hill Companies. Hal. 86.

Anonim1. (2005). Multi-Drug Resistent TB [serial online] Diakses [ 8 Mei 2009]. Dikutip dari : URL : HYPERLINK:

Anonim2. (2005). Pyrazinamide [ serial online] Diakses [22 juni]. Dikutip dari: URL: HYPERLINK:

Anonim3. (2002). Dosage Regimen Adjustment Through Therapeutic Dosage Monitoring [serial online] Diakses [ 8 Mei 2009]. Dikutip dari: URL: HYPERLINK

Ansel, C.H. (2005). Pengantar Bentuk Sediaan Farmasi. Edisi Keempat. Jakarta: Penerbit Universitas Indonesia. Hal. 451.

Chambers, H.F. (2004). Obat Antimikrobakteri. Dalam: Farmakologi Dasar dan Klinik. Buku Ketiga. Edisi kedelapan. Editor: Bagian Farmakologi Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga. Jakarta: Penerbit Salemba Medika. Hal. 99-100.

Charles, J.P dan Endang K. (2006). Farmasi Klinik Teori dan Penerapan. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC. Hal. 117

Chuluq, A.C., Abijoso, dan Sidharta, B. (2004). Pengembangan Paket Obat SOT (Sediaan Obat Tunggal) untuk Pengobatan Tuberkulosa. Buletin Penelitian Kesehatan. 32(3): 127-128.

De Lux Putra, E. (2007). Dasar-dasar Kromatografi Gas & Kromatografi Cair Kinerja Tinggi. Medan: Fakultas Farmasi USU. Hal. 84-89.

Direktorat Bina Farmasi Komunitas dan Klinik. (2005). Pharmaceutical Care Untuk Penyakit Tuberkulosis. Jakarta: Departemen Kesehatan RI. Hal. 9-10, 24-25, 50.

Ditjen POM. (1979). Farmakope Indonesia Edisi III. Jakarta: Departemen Kesehatan RI. Hal. 746, 748, 755.

Ditjen POM. (1995). Farmakope Indonesia Edisi IV. Jakarta: Departemen Kesehatan RI. Hal. 609, 721, 1002, 1124.

Dyson, N. (1990). Chromatographic Integration Methods. 1st Edition. Cambridge: The Royal Society of Chemistry. Hal 25


(58)

Hadjar, I. (1985). Pengantar Farmakokinetik. Cermin Dunia Kedokteran. (37): 26 .

Harmita. (2004). Petunjuk Pelaksanaan Validasi Metode dan Cara Perhitungannya. Majalah Ilmu Kefarmasian. Volume I (3): 129.

Johnson, E.L., dan Stevenson, R. (1991). Dasar Kromatografi Cair. Penerjemah: Kosasih Padmawinata. Bandung: Penerbit ITB. Hal. 289-291.

Junqueira, L. C., dan Jose, C. (1982). Histologi Dasar. Alih bahasa: Adji Dharma. Edisi Ketiga. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC. Hal 254-255. Kazakevich, Y., dan L. LoBrutto. (2007). Introduction. In: Kazakevich, Y., dan

LoBrutto, L., editors. HPLC for Pharmaceutical Scientists. New Jersey: John Wiley & Sons, Inc. Hal. 18, 22

Kelly, M.T. (1992). Drug Analysis in Biological Fluids. Dalam: Chemical Analysis in Complex Matrices. Editor: Malcolm R. Smyth. England: Ellis Horwood PTR Prentice-Hall. Hal. 88-89

Kromidas, S. (2006). HPLC Made to Measure a Practical Handbook for Optimization. Weinheim: Wiley-VCH Verlag GMBH & Co. KGaA. Hal. 19-20.

McMaster, M.C. (2007). HPLC A Practical User’s Guide. 2nd Edition. New Jersey: John Wiley & Sons, Inc. Halaman 106.

Mellet, D.N. (2004). HPLC in Pharmaceutical Bioanalysis. Dalam: A Handbook of Bioanalysis and Drug Metabolism. Editor: Gary Evans. New York: CRC Press.

Meyer, V.R. (2004). Practical High-Performance Liquid Chromatography. 4th Edition. St. Gallen: John Wiley & Sons, Ltd. Hal. 18-19, 24.

Miller, J.N., dan J.C. Miller. (2005). Statistics and Chemometrics for Analytical Chemistry. 5th Edition. Harlow: Pearson Education Ltd. Hal. 115

Nicholas dan Holford. (2001). Farmakokinetika dan Farmakodinamika: Dosis yang Rasional dan Kerja Obat Seiring Waktu. Dalam: Farmakologi Dasar dan Klinik. Edisi Pertama. Editor: Bertram G. Katzung. Jakarta: Penerbit Salemba Medika. Hal 61

Ornaf, R.M., dan M.W. Dong. (2005). Key Concepts of HPLC in Pharmaceutical Analysis. Dalam: Ahuja, S., dan M.W. Dong, editors. Handbook of Pharmaceutical Analysis by HPLC. San Diego: Elsevier, Inc. Hal 22-29. Riley, C.M. (1995). Modes of Chromatography. Dalam: Lough, W.J. dan I.W.


(59)

Fundamentals Principles and Practice. London: Blackie Academic and Professional. Hal 36.

Rohman, A., dan Gandjar, G.I. (2007). Kimia Farmasi Analisis. Cetakan Pertama. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Hal. 323, 335-337, 348, 378,381-385

Shargel, L. (2005). Biofarmasetika dan Farmakokinetika Terapan. Penerjemah: Fasich dan Sjamsiah. Edisi II. Surabaya: Airlangga University Press. Hal. 33, 35, 297, 355.

SN, Revankar., Desai ND., Vaidya AB., Bhatt AD., dan Anjaneyulu, B. (1994). Determination of Pyrazinamide in Human by High Performance Liquid Chromatography. J Postgrad Med 40(1):7-9

Snyder, L. R dan Kirkland, J.J. (1979). Introduction to Modern Liquid Chromatography. Second Edition. New York. John Wiley and Son. Hal. 17-18, 553-554.

Sukandar, E. Y., dkk. (2008). ISO Farmakoterapi. Jakarta: PT ISFI Penerbitan. Hal. 918.

Tjay, T. H., dan Kirana, R. (2002). Obat-Obat Penting Khasiat, Penggunaan, dan Efek-Efek Sampingnya. Edisi Kelima. Jakarta: PT Elex Media Komputindo. Hal. 145,151


(60)

(61)

Ultrasonic cleaner

Lampiran 2. Gambar Perangkat Penelitian Lainnya


(62)

(63)

(64)

Lampiran 5. Kromatogram Penyuntikan Larutan Pirazinamida Baku, Fase Gerak Buffer Fosfat pH 7,4 : Asetonitril (98 : 2)


(65)

Lampiran 6. Kromatogram Penyuntikan Larutan Nikotinamid Baku, Fase Gerak Buffer Fosfat pH 7,4 : Asetonitril (98 : 2)


(66)

(67)

(68)

Lampiran 9. Kromatogram Penyuntikan Larutan Pirazinamida Baku pada Pembuatan Kurva Kalibrasi

A. Kromatogram dari Larutan Pirazinamida Baku Konsentrasi 8.1228

mM (1000 mcg/ml) dengan Baku Dalam Nikotinamid Konsentrasi 1,2285 mM (150 mcg/ml)


(69)

Lampiran 9. (Lanjutan)

B. Kromatogram dari Larutan Pirazinamida Baku Konsentrasi 12.1842 mM (1500 mcg/ml) dengan Baku Dalam Nikotinamid Konsentrasi 1,2285 mM (150 mcg/ml)


(70)

Lampiran 9. (Lanjutan)

C. Kromatogram dari Larutan Pirazinamida Baku Konsentrasi 16.2456 mM (2000 mcg/ml) dengan Baku Dalam Nikotinamid Konsentrasi 1,2285 mM (150 mcg/ml)


(71)

Lampiran 9. (Lanjutan)

D. Kromatogram dari Larutan Pirazinamida Baku Konsentrasi 40.6141 mM (5000 mcg/ml) dengan Baku Dalam Nikotinamid Konsentrasi 1,2285 mM (150 mcg/ml)


(72)

Lampiran 9. (Lanjutan)

E. Kromatogram dari Larutan Pirazinamida Baku Konsentrasi 81.2282 mM (10000 mcg/ml) dengan Baku Dalam Nikotinamid Konsentrasi 1,2285 mM (150 mcg/ml)


(73)

Lampiran 10. Perhitungan Persamaan Regresi dan Kurva Kalibrasi Pirazinamida Baku yang Diperoleh Secara KCKT pada λ 254 nm

Data Rasio Luas Puncak dari Penyuntikan Larutan Pirazinamida Baku Konsentrasi 8,1228 – 81,2282 mM dengan Baku Dalam Nikotinamid Konsentrasi 1,2285 mM dalam Plasma

Data Kalibrasi Pirazinamida Baku Rasio Luas Area Puncak Pirazinamida terhadap Nikotinamid (y) terhadap Konsentrasi (x)

No. Konsentrasi PZA (mM) (x) Rasio Luas Area Puncak

PZA / NIK (y)

x.y x2 Y2

1. 8,1228 0,541119 4,3954 65,9798 0,29281

2. 12,1842 1,428005 17,3991 148,4547 2,03919 3. 16,2456 3,847958 62,5123 263,9195 14,80678 4. 40,6141 8,185188 332,434 1649,505 66,9973 5. 81,2282 24,60695 1998,778 6598,02 605,5019

Σ 158,3949 38,60922 2415,519 8725,88 689,638

Rata-rata

31,6789 7,7218

a =

( )( )

( )

x /n x n / y x xy 2 2

− − = 5 / ) 3949 , 158 ( 88 , 8725 5 / ) 60922 , 38 )( 3949 , 158 ( 519 , 2415 2 − − = 788 , 5017 88 , 8725 1007 , 1223 519 , 2415 −−

Konsentrasi Luas Area Puncak

Rasio PZA / NIK (μg/ml) (mM) Pirazinamida

(PZA) Nikotinamid (NIK)

1000 8,1228 127815 236205 0,541119

1500 12,1842 382077 267560 1,428005

2000 16,2456 1226371 318707 3,847958

5000 40,6141 2176204 265871 8,185188


(74)

= 092 , 3708 4183 , 1192 = 0,3216 y = ax + b b = y – ax

= 7,7218 – (0,3216)(31,6789) = 7,7218 – 10,1879

= - 2,4661

Sehingga, diperoleh persamaan regresi Y = 0,3216 X – 2,4661.

Untuk mencari hubungan kadar (X) dengan perbandingan luas area (Y) digunakan pengujian koefisien kolerasi (r).

r =

( )( )

( )

(

)

(

( )

)

[

]

− n / y y n / x x n / y x xy 2 2 2 2 r =

(

)(

)

[

8725,88 (158,3949) /5 689,638 (38,60922) /5

]

5 / ) 38,60922 )( 158,3949 ( 2415,519 2 2 − − − r =

(

)(

)

[

8725,88 5017,788 689,638 298,1344

]

1007 , 1223 519 , 2415 − − − r =

(

)(

)

[

3708,092 391,5036

]

4183 , 1192 r = 3671 , 1451731 4183 , 1192 r = 8782 , 1204 1192,4183


(75)

Lampiran 11. Perhitungan Konsentrasi Obat Pirazinamida Luas Puncak Pirazinamida (sampel) = 3226132

Luas Puncak Nikotinamid (baku dalam) = 152320

Maka, perbandingan luas puncak sampel dan baku dalam (y) =

152320 3226132

= 21,179963

Dari persamaan regresi y = 0,3216 x – 2,4661, maka konsentrasi obat 21,179963 = 0,3216 x – 2,4661

0,3216 x = 21,179963 + 2,4661 0,3216 x = 23,646063

x =

3216 , 0

646063 ,

23

x = 73,5263 mM = 0,0735263 M = 0,0735263 x 123,11 = 9,0518 g/L

= 9,0518 mg/ml


(76)

Lampiran 12. Perhitungan Batas Deteksi dan Batas Kuantifikasi Pirazinamida Persamaan garis regresi Pirazinamida:

y = ax + b

y = 0,3216 x – 2,4661

No. x (mM) y yi (y-yi) (y-yi)2

1. 8,1228 0,541119 0,1462 0,394919 0,15596102 2. 12,1842 1,428005 1,4523 0,024295 0,000590 3. 16,2456 3,847958 2,7585 1,089458 1,1869187 4. 40,6141 8,185188 10,5954 -2,410212 5,8091219 5. 81,2282 24,60695 23,6569 0,95005 0,902595

Σ = 8,0551866

SD =

2 n

) y y ( i 2

− −

= 2 5 0551866 , 8

− = 2,685073 = 1,638619

LOD = slope SD 3 , 3 x = 0,3216 1,638619 3 , 3 x

= 16.81419 mM LOQ = slope SD 10 x = 0,3216 1,638619 10 x


(77)

Lampiran 13. Data Pasien

Nama : Tn ES

Umur : 49 tahun Jenis Kelamin : Laki-laki Berat Badan : 63 kg


(78)

(79)

(80)

(81)

Lampiran 17. Pembuatan Plasma dari Sampel Darah Pasien TB

Diambil darahnya sebanyak 5 ml dari vena Dimasukkan ke dalam venoject yang telah terbasahi heparin

Dipisahkan supernatan dari endapan Disentrifugasi dengan kecepatan 4000 putaran per menit selama 5 menit Pasien TB

Darah + heparin didalam venoject

Lapisan atas (plasma)

Lapisan bawah (endapan)


(82)

Lampiran 18. Pembuatan Plasma Kosong

Lampiran 19. Pembuatan Larutan Induk Baku Pirazinamida

Dimasukkan ke dalam venoject yang telah terbasahi heparin

Dipisahkan supernatan dari endapan Disentrifugasi dengan kecepatan 4000 putaran per menit selama 5 menit Diambil darahnya sebanyak 5 ml melalui vena

Donatur (Dewasa dan Sehat)

Darah + heparin didalam venoject

Lapisan atas (plasma)

Lapisan bawah (endapan)

Plasma

Pirazinamida Baku

Ditimbang ± 10 mg

Dimasukkan ke dalam vial yang telah dikalibrasi 1 ml Dilarutkan dengan fase gerak

Dicukupkan sampai garis tanda LIB pirazinamida


(83)

Lampiran 20. Pembuatan Larutan Induk Baku Pertama Nikotinamid

Lampiran 21. Pembuatan Larutan Induk Baku Kedua Nikotinamid Nikotinamid

Ditimbang ±10 mg

Dimasukkan ke dalam labu ukur 10 ml Dilarutkan dengan fase gerak

Dicukupkan sampai garis tanda

LIB I Nikotinamid konsentrasi 8,1900 mM

LIB II Nikotinamid konsentrasi 1,2285 mM

Dipipet sebanyak 1,5 ml menggunakan pipet volum

Dimasukkan ke dalam labu ukur 10 ml

Dicukupkan dengan fase gerak sampai garis tanda LIB I Nikotinamid


(84)

Lampiran 22. Penyuntikan Plasma Kosong

Dipipet sebanyak 300 µ l Dimasukkan ke dalam politube

Supernatan Endapan

Plasma

Ditambahkan 600 µ l asetonitril, lalu divortex Disentrifugasi dengan kecepatan 4000 putaran per menit selama 5 menit

Dipisahkan menggunakan spuit

Disaring menggunakan PTFE ø 0,2 µm

Diinjeksikan ke dalam sistem KCKT sebanyak 20 µ l Kromatogram plasma


(85)

Lampiran 23. Pembuatan Linearitas Kurva Kalibrasi Baku Pembanding Pirazinamida

Dipipet sebanyak 100 μl; 150 μl; 200 μl; 500 μl

Supernatan Endapan

LIB pirazinamida

Dimasukkan ke dalam vial yang telah dikalibrasi 1 ml

Diencerkan dengan fase gerak sampai garis tanda

Larutan Pirazinamida dengan konsentrasi 8.1228 mM; 12.1842 mM; 16.2456 mM; 40.614 mM;

Dipipet sebanyak 10 µ l

Dicukupkan dengan plasma sampai batas kalibrasi Divortex lalu didiamkan selama 5 menit

Dipipet sebanyak 300 µ l

Ditambahkan 600 µ l asetonitril lalu divortex Disentrifugasi dengan kecepatan 4000 putaran per menit selama 5 menit Ditambah sebanyak 50 µl nikotinamid ke masing-masing vial

Dimasukkan ke dalam vial yang telah dikalibrasi 2 ml


(86)

Lanjutan

Untuk konsentrasi terakhir diambil langsung dari LIB Pirazinamida

Dicukupkan dengan plasma sampai batas kalibrasi LIB Pirazinamida 81.2282 mM

Dipipet sebanyak 10 µ l

Dimasukkan ke dalam vial yang telah dikalibrasi 2 ml

Ditambah sebanyak 50 µl nikotinamid ke masing-masing vial

Divortex lalu didiamkan selama 5 menit Dipipet sebanyak 300 µ l

Dimasukkan ke dalam politube

Ditambahkan 600 µ l asetonitril lalu divortex Disentrifugasi dengan kecepatan 4000 putaran per menit selama 5 menit


(87)

Lanjutan:

Supernatan

Dipisahkan menggunakan spuit Disaring menggunakan PTFE ø 0,2

Diinjeksikan ke dalam sistem KCKT sebanyak 20 µ l Kromatogram

Diperoleh Rt dan luas puncak

Hasil


(88)

Lampiran 24. Pemeriksaan Kadar Pirazinamida dalam Plasma Darah Pasien TB

Dipipet sebanyak 300 µ l Dimasukkan ke dalam politube

Supernatan Endapan

Plasma Pasien

Ditambahkan 600 µ l asetonitril lalu divortex Disentrifugasi dengan kecepatan 4000 putaran per menit selama 5 menit

Dipisahkan menggunakan spuit

Disaring menggunakan PTFE ø 0,2 µm Diinjeksikan ke dalam sitem KCKT

Kromatogram plasma + pirazinamida + nikotinamid

Diperoleh Rt dan luas puncak Dihitung konsentrasi yang didapat

Hasil

Ditambahkan 50 μl nikotinamid 1,2285 mM

Didiamkan selama 5 menit Divortex


(1)

Lampiran 20. Pembuatan Larutan Induk Baku Pertama Nikotinamid

Lampiran 21. Pembuatan Larutan Induk Baku Kedua Nikotinamid Nikotinamid

Ditimbang ±10 mg

Dimasukkan ke dalam labu ukur 10 ml Dilarutkan dengan fase gerak

Dicukupkan sampai garis tanda

LIB I Nikotinamid konsentrasi 8,1900 mM

LIB II Nikotinamid konsentrasi 1,2285 mM

Dipipet sebanyak 1,5 ml menggunakan pipet volum

Dimasukkan ke dalam labu ukur 10 ml

Dicukupkan dengan fase gerak sampai garis tanda LIB I Nikotinamid


(2)

Lampiran 22. Penyuntikan Plasma Kosong

Dipipet sebanyak 300 µ l Dimasukkan ke dalam politube

Supernatan Endapan

Plasma

Ditambahkan 600 µ l asetonitril, lalu divortex Disentrifugasi dengan kecepatan 4000 putaran per menit selama 5 menit

Dipisahkan menggunakan spuit

Disaring menggunakan PTFE ø 0,2 µm

Diinjeksikan ke dalam sistem KCKT sebanyak 20 µ l Kromatogram plasma


(3)

Lampiran 23. Pembuatan Linearitas Kurva Kalibrasi Baku Pembanding Pirazinamida

Dipipet sebanyak 100 μl; 150 μl; 200 μl; 500 μl

Supernatan Endapan

LIB pirazinamida

Dimasukkan ke dalam vial yang telah dikalibrasi 1 ml

Diencerkan dengan fase gerak sampai garis tanda

Larutan Pirazinamida dengan konsentrasi 8.1228 mM; 12.1842 mM; 16.2456 mM; 40.614 mM;

Dipipet sebanyak 10 µ l

Dicukupkan dengan plasma sampai batas kalibrasi Divortex lalu didiamkan selama 5 menit

Dipipet sebanyak 300 µ l

Ditambahkan 600 µ l asetonitril lalu divortex Disentrifugasi dengan kecepatan 4000 putaran per menit selama 5 menit Ditambah sebanyak 50 µl nikotinamid ke masing-masing vial

Dimasukkan ke dalam vial yang telah dikalibrasi 2 ml


(4)

Lanjutan

Untuk konsentrasi terakhir diambil langsung dari LIB Pirazinamida

Dicukupkan dengan plasma sampai batas kalibrasi LIB Pirazinamida 81.2282 mM

Dipipet sebanyak 10 µ l

Dimasukkan ke dalam vial yang telah dikalibrasi 2 ml

Ditambah sebanyak 50 µl nikotinamid ke masing-masing vial

Divortex lalu didiamkan selama 5 menit Dipipet sebanyak 300 µ l

Dimasukkan ke dalam politube

Ditambahkan 600 µ l asetonitril lalu divortex Disentrifugasi dengan kecepatan 4000 putaran per menit selama 5 menit


(5)

Lanjutan:

Supernatan

Dipisahkan menggunakan spuit Disaring menggunakan PTFE ø 0,2

Diinjeksikan ke dalam sistem KCKT sebanyak 20 µ l Kromatogram

Diperoleh Rt dan luas puncak

Hasil


(6)

Lampiran 24. Pemeriksaan Kadar Pirazinamida dalam Plasma Darah Pasien TB

Dipipet sebanyak 300 µ l Dimasukkan ke dalam politube

Supernatan Endapan

Plasma Pasien

Ditambahkan 600 µ l asetonitril lalu divortex Disentrifugasi dengan kecepatan 4000 putaran per menit selama 5 menit

Dipisahkan menggunakan spuit

Disaring menggunakan PTFE ø 0,2 µm Diinjeksikan ke dalam sitem KCKT Kromatogram plasma +

pirazinamida + nikotinamid

Diperoleh Rt dan luas puncak Dihitung konsentrasi yang didapat

Hasil

Ditambahkan 50 μl nikotinamid 1,2285 mM

Didiamkan selama 5 menit Divortex