Pemeriksaan Kadar Pirazinamida Dalam Plasma Darah Pasien TB Menggunakan Kromatografi Cair Kinerja Tinggi

(1)

PEMERIKSAAN KADAR PIRAZINAMIDA DALAM PLASMA DARAH PASIEN TB MENGGUNAKAN

KROMATOGRAFI CAIR KINERJA TINGGI

SKRIPSI

OLEH: KHAIRUSSAADAH

NIM 071524035

FAKULTAS FARMASI

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN


(2)

PEMERIKSAAN KADAR PIRAZINAMIDA DALAM PLASMA DARAH PASIEN TB MENGGUNAKAN

KROMATOGRAFI CAIR KINERJA TINGGI

SKRIPSI

Diajukan untuk melengkapi salah satu syarat untuk mencapai gelar Sarjana Farmasi pada Fakultas Farmasi

Universitas Sumatera Utara

OLEH: KHAIRUSSAADAH

NIM 071524035

FAKULTAS FARMASI

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN


(3)

LEMBAR PENGESAHAN SKRIPSI

PEMERIKSAAN KADAR PIRAZINAMIDA DALAM PLASMA DARAH PASIEN TB MENGGUNAKAN

KROMATOGRAFI CAIR KINERJA TINGGI OLEH:

KHAIRUSSAADAH NIM 071524035

Dipertahankan di hadapan Panitia Penguji Fakultas Farmasi

Universitas Sumatera Utara

Pada Tanggal: Agustus 2010

Medan, Agustus 2010 Fakultas Farmasi Universitas Sumatera Utara

Dekan,

(Prof. Dr. Sumadio Hadisahputra., Apt.) NIP. 19531128198303 1 002 Pembimbing I,

(Dr. Karsono, Apt.)

NIP 19540909198201 1 001 Pembimbing II,

(Prof. Dr. M. Timbul Simanjuntak, M.Sc., A NIP 19

pt.) 521204198002 1 001

Panitia Penguji,

(Prof. Dr. Urip Harahap, Apt.) NIP 19530101198303 1 004

(Dr. Karsono, Apt.)

NIP 19540909198201 1 001

(Dr. Edy Suwarso, SU., Apt.) NIP 130935857

(Drs. Muchlisyam, M.si., Apt) NIP 19500622198002 1 001


(4)

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur alhamdulilah kepada Allah SWT yang senantiasa telah melimpahkan anugerah dan kemurahanNya serta kemudahan sehingga peneliti dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul "Pemeriksaan Kadar Pirazinamida Dalam Plasma Darah Pasien TB Menggunakan kromatografi Cair Kinerja Tinggi". Skripsi ini diajukan sebagai salah satu syarat guna memperoleh gelar Sarjana Farmasi dari Fakultas Farmasi Universitas Sumatera Utara.

Salah satu penyakit penyebab kematian utama yang disebabkan oleh infeksi, adalah tuberkulosis (TB). TB merupakan ancaman bagi penduduk Indonesia dan dunia. Pada tahun 2004, sebanyak seperempat juta orang bertambah penderita baru dan sekitar 140.000 kematian setiap tahunnya. Peningkatan jumlah penderita disebabkan oleh berbagai faktor, yakni kurangnya tingkat kepatuhan penderita untuk berobat dan meminum obat, harga obat yang mahal, timbulnya resistensi ganda, kurangnya daya tahan hospes terhadap mikobakteria, berkurangnya daya bakterisid obat yang ada, meningkatnya kasus HIV/AIDS dan krisis ekonomi. Penyebab utama terjadinya kegagalan pengobatan tuberkulosis adalah penderita tidak mematuhi ketentuan dan lamanya pengobatan secara teratur untuk mencapai kesembuhan. Pirazinamida digunakan dalam fase pengobatan awal untuk aktivitas bakterisidnya. Pirazinamida merupakan suatu obat garis depan yaitu sebagai agen “sterilisator” aktif untuk melawan sisa-sisa organisme intraseluler yang dapat mengakibatkan kekambuhan Tujuan penelitian ini adalah untuk memeriksa kadar pirazinamida dalam plasma darah pasien TB. Hasil penelitian ini diharapkan dapat digunakan sebagai uji pendahuluan untuk kepentingan pemantauan terapi obat dalam darah pasien yang berpenyakit TB guna membantu dalam penyesuaian dosis obat sehingga diperoleh pengobatan yang optimal.

Pada kesempatan ini peneliti hendak menyampaikan rasa hormat dan terimakasih yang sebesar-besarnya kepada Bapak Dr. Karsono, Apt., dan Bapak Prof. Dr. M. Timbul Simanjuntak, M.Sc., Apt., yang telah banyak memberikan bimbingan dan bantuan selama penelitian dan penulisan skripsi ini berlangsung. Ucapan terimakasih juga peneliti sampaikan kepada Dekan Fakultas Farmasi


(5)

Universitas Sumatera Utara, Bapak Prof. Dr. Sumadio Hadisahputra, Apt., yang telah memberikan fasilitas selama masa pendidikan dan penelitian, juga kepada Bapak Prof. Dr. Urip Harahap, Apt., Bapak Dr. Edy Suwarso, SU., Apt, dan Bapak Drs. Muchlisyam, M.si., Apt., selaku dosen penguji yang telah memberikan masukan dalam penyusunan skripsi ini.

Dalam kesempatan ini, peneliti ingin menyampaikan rasa terimakasih dan penghargaan yang tulus kepada kedua orang tua, kakak, abang dan adik-adikku, serta keponakanku (caca) atas doa, semangat, dan dorongan dalam menyelesaikan skripsi ini. Juga kepada Fenti, Suji, Desi Dewi, Anggel, Yuli, dan Bang Anton, yang selalu ada memberi semangat dan pikiran selama penelitian dan penyusunan skripsi ini. Tidak lupa peneliti ingin mengucapkan terimakasih kepada para sahabat Hani, Delly, Desi, Evi, Riza, Reni, Rena dan rekan-rekan mahasiswa Farmasi khususnya stambuk 2007 ekstensi, staf dan para asisten di Laboratorium Biofarmasi dan Laboratorium Penelitian serta semua pihak ang telah membantu, yang tidak dapat disebutkan namanya satu persatu, atas segala dorongan motivasi dan bantuannya kepada peneliti sehingga skripsi ini dapat selesai .

Peneliti mengharapkan kritik dan saran yang membangun dari semua pihak guna perbaikan skripsi ini. Akhirnya peneliti berharap semoga Skripsi ini dapat menjadi sumbangan yang berarti bagi ilmu pengetahuan pada umumnya dan ilmu farmasi pada khususnya.

Medan, Agustus 2010

Peneliti, Khairussaadah


(6)

PEMERIKSAAN KADAR PIRAZINAMIDA DALAM PLASMA DARAH PASIEN TB MENGGUNAKAN

KROMATOGRAFI CAIR KINERJA TINGGI

Abstrak

Tuberkulosis, singkatnya TB, adalah suatu penyakit menular yang disebabkan oleh Mycobacterium tuberculosis. Pirazinamida merupakan obat garis depan yang penting digunakan bersama isoniazid dan rifampisin dalam pemberian jangka pendek.

Kromatografi cair kinerja tinggi (KCKT) fase terbalik dengan deteksi ultraviolet merupakan metode yang dilakukan untuk pemeriksaan kadar pirazinamida dalam plasma. Obat dideteksi pada panjang gelombang 254 nm. Pemeriksaan dilakukan pada kolom ODS-C18 dan sistem elusi isokromatik. Fase gerak terdiri dari buffer fosfat pH 7,4 dan metanol (96,8:3,2 v/v) dan dielusi pada laju alir 0,8 ml/menit. Pirazinamida terelusi pada waktu retensi 21,663 menit. Sedangkan batas deteksi dan batas kuantifikasi berturut-turut adalah 2,8475 mM dan 8,6288 mM.

Kalibrasi dan analisis dilakukan berdasarkan pada perbandingan luas puncak antara bahan obat yang terukur oleh detektor vs konsentrasi bahan obat untuk memperoleh garis regresi. Kurva kalibrasi linear pada jarak konsentrasi 4,0614 – 10,0723 mM dengan persamaan regresinya yaitu: y = 453189,0032x - 1668790,0151 sehingga diperoleh koefisien korelasi (r) : 0,9567.

Berdasarkan pemeriksaan ini, maka kadar pirazinamida dalam plasma darah pasien teberkulosis adalah sebesar 10,6136 mM.


(7)

EXAMINATION OF PIRAZINAMIDA IN BLOOD PLASMA TUBERCULOSIS PATIENT

BY HIGHT PERFORMANCE LIQUID CHROMATOGRAPHY

Abstract

Tuberculosis or TB, is a spread diases by infection the Mycobacteria tuberculosis. Pyrazinamide is the first drug important used with isoniazid and rifampin in short treatment.

A reversed-phase high performance liquid chromatography (HPLC) method with ultraviolet detection was developed for the examination of pyrazinamide level in plasma. Drug were detected at 254 nm. The separation was performance on ODS-C18 colomn and an isokromatic programe. Mobile phase composed of phosphate buffer pH 7,4 and methanol (96,8:3,2 v/v) and eluated at 0,8 ml/min. Pyrazinamide was eluted at 21,663 min. Limit detection and limit of quantitation are 2,8475 mM and 8,6288 mM respectively.

Calibration and analysis is based on peak area pyrazinamide was detected vs drugs concentration be obtain the linear regression. The curve was linear over the range 4,0614 – 10,0723 mM with regression equation: y = 453189,0032x - 1668790,0151 wiht the result correlation coefficient (r) = 0,9567.

Based on this examination, the level of pyrazinamide in blood plasma tuberculosis patient is 10,6136 mM.


(8)

DAFTAR ISI

Halaman

JUDUL... i

HALAMAN JUDUL... ii

LEMBAR PENGESAHAN... iii

KATA PENGANTAR... iv

ABSTRAK... vi

ABSTRACT... vii

DAFTAR ISI... viii

DAFTAR GAMBAR... xi

DAFTAR LAMPIRAN... xii

BAB I PENDAHULUAN... 1

1.1Latar Belakang ... 1

1.2Perumusan Masalah ... 4

1.3Hipotesis... 4

1.4Tujuan Penelitian ... 5

1.5Manfaat Penelitian ... 5

1.6Alur Penelitian ... 5

1.7 Kerangka Penelitian ... 6

BAB II TINJAUAN PUSTAKA... 7

2.1 Tuberkulosis... 7

2.2 Pirazinamida... 9


(9)

2.4 Pemantauan Terapi Obat ... 12

2.5 Kromatografi ... 14

2.5.1 Pembagian Kromatografi ... 15

2.5.2 Tujuan Kromatografi... 15

2.5.2.1 Analisis Kualitatif ... 16

2.5.2.2 Analisis Kuantitatif ... 17

2.6 Kromatografi Cair Kinerja Tinggi KCKT... 19

2.6.1 Cara kerja KCKT ... 20

2.6.2 Komponen KCKT ... 20

2.6.2.1 Wadah fase gerak ... .. 21

2.6.2.2 Pompa... 22

2.6.2.3 Injektor ... 23

2.6.2.4 Kolom... 24

2.6.2.5 Fase Diam ... 25

2.6.2.6 Detektor... 25

2.6.2.7 Komputer, integrator, atau recorder ... 26

BAB III METODOLOGI PENELITIAN... 27

3.1Alat... 27

3.2Bahan ... 27

3.3Pengambilan Sampel... 28

3.4Rancangan Penelitian ... 28

3.4.1Penyiapan Bahan... 28

3.4.1.1Pembuatan Plasma Darah Pasien TB ... 28


(10)

3.4.1.3Pembuatan Pereaksi ... 29

3.4.1.3.1Aqua Bebas CO2... 29

3.4.1.3.2Natrium Hidroksida 0,2N... 29

3.4.1.3.3Kalium Dihidrogen Fosfat 0,2M ... 29

3.4.1.3.4Buffer Fosfat pH 7,4 ... 29

3.4.1.4Pembuatan Fase Gerak... 29

3.4.1.5Pembuatan Larutan Induk Baku Pirazinamida.... 30

3.4.2Prosedur Analisis ... 30

3.4.2.1Penyiapan Alat KCKT ... 30

3.4.2.2Penentuan Garis Alas (Base Line)... 30

3.4.2.3Penyuntikan Fase Gerak... 30

3.4.2.4Penyuntikan Plasma Kontrol... 31

3.4.2.5Analisis Kualitatif ... 31

3.4.2.6Analisis Kuantitatif ... 31

3.4.2.6.1Penentuan Linearitas Kurva Kalibrasi Baku Pembanding Pirazinamida ... 31

3.4.2.6.2Pemeriksaan Kadar Pirazinamida Dalam Plasma Darah Pasien TB ... 32

3.4.3Penentuan Batas Deteksi dan Batas Kuantifikasi... 33

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN... 34

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN... 38

5.1Kesimpulan ... 38

5.2Saran... 38

DAFTAR PUSTAKA... 39


(11)

DAFTAR GAMBAR

Gambar Halaman

2.1 Rumus bangun pirazinamida... 9

2.2 Pengukuran tinggi puncak... 17

2.3 Sistem KCKT isokratik ... 21

2.4 Kromatogram ... 26

4.1 Kromatogram Hasil Penyuntikan Pirazinamida Baku ... 34

4.2 Kromatogram Hasil Penyuntikan Sampel Plasma Pasien TB... 35

4.3 Kurva Kalibrasi Pirazinamida Baku Luas Puncak Vs Konsentrasi ... 36


(12)

DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran Halaman

1 Gambar Alat KCKT dan Syringe 50 l... 41

2 Gambar Perangkat Penelitian Lainnya... 42

3 Plasma Kontrol... 45

4 Fase Gerak ... 46

5 Kromatogram Penyuntikan Larutan Pirazinamida Baku Fase Gerak Buffer Fosfat pH 7,4 : Metanol (96,8 : 3,2) ... 47

6 Kromatogram Penyuntikan Plasma Kontrol ... 48

7 Kromatogram Penyuntikan Sampel Plasma Darah pasien TB ... 49

8 Kromatogram Penyuntikan Larutan Pirazinamida Baku pada Pembuatan Kurva Kalibrasi ... 50

9 Perhitungan Persamaan Regresi dan Kurva Kalibrasi Pirazinamida Baku yang Diperoleh Secara KCKT pada 254 nm... 55

10 Perhitungan Konsentrasi Obat Pirazinamida dalam Plasma Pasien TB... 57

11 Perhitungan Limit of Detection (LOD) dan Limit of Quantitation (LOQ) Pirazinamida Baku ... 58

12 Data Pasien... 59

13 Sertifikat Analisis Pirazinamida... 60

14 Surat Persetujuan Komisi Etik ... 61

15 Pembuatan Plasma dari Sampel Darah Pasien TB ... 62

16 Pembuatan Plasma Kontrol ... 63

17 Pembuatan Larutan Induk Pirazinamida Baku... 64


(13)

19 Pembuatan Linieritas Kurva Kalibrasi

Pirazinamida Baku ... 66 20 Pemeriksaan Kadar Pirazinamida dalam


(14)

PEMERIKSAAN KADAR PIRAZINAMIDA DALAM PLASMA DARAH PASIEN TB MENGGUNAKAN

KROMATOGRAFI CAIR KINERJA TINGGI

Abstrak

Tuberkulosis, singkatnya TB, adalah suatu penyakit menular yang disebabkan oleh Mycobacterium tuberculosis. Pirazinamida merupakan obat garis depan yang penting digunakan bersama isoniazid dan rifampisin dalam pemberian jangka pendek.

Kromatografi cair kinerja tinggi (KCKT) fase terbalik dengan deteksi ultraviolet merupakan metode yang dilakukan untuk pemeriksaan kadar pirazinamida dalam plasma. Obat dideteksi pada panjang gelombang 254 nm. Pemeriksaan dilakukan pada kolom ODS-C18 dan sistem elusi isokromatik. Fase gerak terdiri dari buffer fosfat pH 7,4 dan metanol (96,8:3,2 v/v) dan dielusi pada laju alir 0,8 ml/menit. Pirazinamida terelusi pada waktu retensi 21,663 menit. Sedangkan batas deteksi dan batas kuantifikasi berturut-turut adalah 2,8475 mM dan 8,6288 mM.

Kalibrasi dan analisis dilakukan berdasarkan pada perbandingan luas puncak antara bahan obat yang terukur oleh detektor vs konsentrasi bahan obat untuk memperoleh garis regresi. Kurva kalibrasi linear pada jarak konsentrasi 4,0614 – 10,0723 mM dengan persamaan regresinya yaitu: y = 453189,0032x - 1668790,0151 sehingga diperoleh koefisien korelasi (r) : 0,9567.

Berdasarkan pemeriksaan ini, maka kadar pirazinamida dalam plasma darah pasien teberkulosis adalah sebesar 10,6136 mM.


(15)

EXAMINATION OF PIRAZINAMIDA IN BLOOD PLASMA TUBERCULOSIS PATIENT

BY HIGHT PERFORMANCE LIQUID CHROMATOGRAPHY

Abstract

Tuberculosis or TB, is a spread diases by infection the Mycobacteria tuberculosis. Pyrazinamide is the first drug important used with isoniazid and rifampin in short treatment.

A reversed-phase high performance liquid chromatography (HPLC) method with ultraviolet detection was developed for the examination of pyrazinamide level in plasma. Drug were detected at 254 nm. The separation was performance on ODS-C18 colomn and an isokromatic programe. Mobile phase composed of phosphate buffer pH 7,4 and methanol (96,8:3,2 v/v) and eluated at 0,8 ml/min. Pyrazinamide was eluted at 21,663 min. Limit detection and limit of quantitation are 2,8475 mM and 8,6288 mM respectively.

Calibration and analysis is based on peak area pyrazinamide was detected vs drugs concentration be obtain the linear regression. The curve was linear over the range 4,0614 – 10,0723 mM with regression equation: y = 453189,0032x - 1668790,0151 wiht the result correlation coefficient (r) = 0,9567.

Based on this examination, the level of pyrazinamide in blood plasma tuberculosis patient is 10,6136 mM.


(16)

BAB I PENDAHULUAN

1.1Latar Belakang

Salah satu penyakit penyebab kematian utama yang disebabkan oleh infeksi, adalah tuberkulosis (TB). TB merupakan ancaman bagi penduduk Indonesia dan dunia. Pada tahun 2004, sebanyak seperempat juta orang bertambah penderita baru dan sekitar 140.000 kematian setiap tahunnya. Sebagian besar penderita TB adalah penduduk yang berusia produktif antara 15-55 tahun, dan penyakit ini merupakan penyebab kematian nomor tiga setelah penyakit jantung dan penyakit pernafasan akut pada seluruh kalangan usia (Depkes, 2005).

Peningkatan jumlah penderita disebabkan oleh berbagai faktor, yakni kurangnya tingkat kepatuhan penderita untuk berobat dan meminum obat, harga obat yang mahal, timbulnya resistensi ganda, kurangnya daya tahan hospes terhadap mikobakteria, berkurangnya daya bakterisid obat yang ada, meningkatnya kasus HIV/AIDS dan krisis ekonomi (Depkes, 2005).

Obat yang digunakan untuk TB digolongkan atas dua kelompok yaitu: obat primer: INH (isoniazid), rifampisin, etambutol, streptomisin, pirazinamida. Obat-obat ini memperlihatkan efektifitas yang tinggi dengan toksisitas yang masih dapat ditolerir, sebagian besar penderita dapat disembuhkan dengan obat-obat ini. Obat sekunder: exionamid, paraaminosalisilat, sikloserin, amikasin, kapreomisin dan kanamisin. Meskipun demikian, pengobatan TB paru-paru hampir selalu menggunakan tiga obat yaitu INH, rifampisin dan pirazinamida (Tjay dan Rahardja, 2002).


(17)

Pirazinamida merupakan obat garis depan yang penting digunakan bersama isoniazid dan rifampisin dalam pemberian jangka pendek (yaitu 6 bulan) sebagai suatu agen “sterilizator” aktif untuk melawan sisa-sisa organisme-organisme intraseluler yang dapat mengakibatkan kekambuhan. Pirazinamida diabsobsi dengan baik dari saluran cerna dan didistribusikan secara meluas ke seluruh jaringan tubuh. Basil tuberkel yang resisten terhadap obat ini berkembang dengan cepat, tetapi tidak ada resistensi silang dengan isoniazid atau obat-obat antimikrobakteri lain (Chambers, 2004). Pirazinamida merupakan serbuk putih yang stabil pada temperatur kamar. Untuk mengetahui stabilitasnya telah dilakukan penelitian stabilitas in vitro pada temperatur 30oC, 40oC, dan 70oC oleh Chuluq, dkk (2004). Diperoleh bahwa kadar pirazinamida pada penyimpanan selama 7 hari tidak berubah atau stabil.

Kromatografi Cair Kinerja Tinggi (KCKT) merupakan suatu teknis analisis obat yang paling cepat berkembang. Cara ini ideal untuk analisis beragam obat dalam sediaan dan cairan biologi (Munson,1991). Kesulitan utama yang dihadapi dalam analisis obat dalam cairan biologis ialah, selain kadar yang biasanya sangat kecil, dalam cairan biologis obat ada bersama-sama dengan metabolit-metabolitnya dengan struktur kimia yang hampir mirip. Metode analisis yang digunakan dengan sendirinya harus mampu mendeteksi dan menetapkan kadar obat dan metabolit-metabolitnya, serta mempunyai prosedur yang singkat dan sederhana, agar kehilangan obat dan metabolitnya dapat dihindarkan. Kromatografi cairan kinerja tinggi (KCKT) telah membuktikan keunggulannya terhadap metode-metode yang lain dalam analisis obat dalam cairan biologis (Hadjar, 1985).


(18)

Kebanyakan fase diam pada KCKT berupa silika yang dimodifikasi secara kimiawi, silika yang tidak dimodifikasi, atau polimer-polimer stiren dan divinil benzen. Permukaan silika adalah polar dan sedikit asam karena adanya residu gugus silanol (Si-OH) (Rohman, 2007). Kromatografi fase balik merupakan kondisi dimana fase gerak lebih polar daripada fase diam. Pasangan pelarut yang paling lazim digunakan pada fase balik adalah air-metanol dan air-asetonitril (Johnson dan Stevenson, 1991). Pemisahan dengan kromatografi fase balik dilakukan pada fase diam yang silikanya telah dimodifikasi, dimana partikel silika pada fase diam direaksikan secara kimia dengan hidrokarbon menghasilkan permukaan yang non polar. Ikatan struktur yang paling lazim adalah oktadesil hidrokarbon (C18).

Pemeriksaan pirazinamida dalam plasma secara kromatografi cair kinerja tinggi fase balik telah dilakukan oleh Revankar, et al., (1994) dengan menggunakan fase gerak buffer fosfat pH 7,4 dan metanol (96,8 : 3,2 v/v) pada panjang gelombang 268 nm dengan laju alir 1,5 ml/menit. Kromatografi fase balik merupakan kondisi dimana fase gerak lebih polar daripada fase diam. Pemisahan dengan kromatografi fase balik dilakukan pada fase diam yang silikanya telah dimodifikasi, dimana partikel silika pada fase diam direaksikan secara kimia dengan menggunakan reagen klorosilan menghasilkan permukaan yang non polar yaitu Okta Desil Silika (ODS C18). Fase gerak yang paling sering digunakan untuk pemisahan dengan fase terbalik adalah campuran larutan buffer dengan metanol atau campuran air dengan asetonitril (Rohman, 2007). Detektor yang banyak digunakan dalam analisis farmasi adalah detektor lampu raksa 254 nm. Detektor


(19)

ini tanggap terhadap banyak obat dan kepekaannya memadai bagi penetapan sediaan obat dan kebanyakan cairan biologi (Munson, 1991).

Berdasarkan uraian diatas maka peneliti tertarik melakukan penelitian untuk mengetahui kadar pirazinamida dalam plasma darah pasien TB menggunakan Kromatografi Cair Kinerja Tinggi (KCKT).

1.2Perumusan Masalah

Berdasarkan uraian diatas maka permasalahan dalam penelitian ini dapat dirumuskan sebagai berikut:

a. Apakah pemeriksaan kadar pirazinamida dalam plasma darah pasien TB dapat dilakukan secara kromatografi cair kinerja tinggi (KCKT) menggunakan kolom ODS-C18 dengan fase gerak campuran buffer fosfat pH 7,4 : metanol (96,8 : 3,2).

b. Apakah kondisi pirazinamida dalam plasma darah pasien TB pada temperatur kamar?

1.3Hipotesis

Berdasarkan perumusan masalah diatas, maka dibuat hipotesis sebagai berikut:

a. Kadar pirazinamida dalam plasma darah pasien TB dapat dilakukan secara kromatografi cair kinerja tinggi (KCKT) menggunakan kolom ODS-C18 dengan fase gerak campuran buffer fosfat pH 7,4 : metanol (96,8 : 3,2). b. Pirazinamida dalam plasma darah pasien TB berada dalam keadaan stabil


(20)

1.4Tujuan Penelitian

Adapun tujuan penelitian ini adalah sebagai berikut:

a. Untuk memeriksa kadar pirazinamida dalam plasma darah pasien TB secara kromatografi cair kinerja tinggi (KCKT) menggunakan kolom ODS-C18 dengan fase gerak campuran buffer fosfat pH 7,4 : metanol (96,8 : 3,2).

b. Untuk mengatahui stabilitas pirazinamida dalam plasma darah pasien TB pada temperatur kamar.

1.5Manfaat Penelitian

Manfaat penelitian ini adalah sebagai uji pendahuluan untuk kepentingan pemantauan terapi obat dalam darah pasien guna membantu dalam penyesuaian dosis obat sehingga diperoleh pengobatan yang optimal.

1.6 Alur Penelitian

Obat TB Diberikan Pasien Penderita TB Diambil

Alat KCKT Dianalisis

Hasil

Diukur

Plasma Darah Darah Pasien TB


(21)

1.7 Kerangka Penelitian

Variabel bebas Variabel terikat - Umur pasien

- Dosis

- Pesien dalam pengobatan

Tahap intensif - Waktu pengambilan darah

- Kolom ODS C18 -Temperatur kamar

Kadar isoniazid dalam plasma


(22)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Tuberkulosis (TB)

Tuberkulosis adalah penyakit menular langsung yang disebabkan oleh Mycobacterium tuberculosis, yang sebagian besar (80%) menyerang paru-paru. Mycobacterium tuberculosis termasuk basil gram positif, berbentuk batang, dinding selnya mengandung komplek lipida-glikolipida serta lilin (wax) yang sulit ditembus zat kimia. Umumnya Mycobacterium tuberculosis menyerang paru dan sebagian kecil organ tubuh lain. Kuman ini mempunyai sifat khusus, yakni tahan terhadap asam pada pewarnaan, hal ini dipakai untuk identifikasi dahak secara mikroskopis. Sehingga disebut sebagai Basil Tahan Asam (BTA). Mycobacterium tuberculosis cepat mati dengan matahari langsung, tetapi dapat bertahan hidup pada tempat yang gelap dan lembab. Dalam jaringan tubuh, kuman dapat dormant (tertidur sampai beberapa tahun). TB timbul berdasarkan kemampuannya untuk memperbanyak diri di dalam sel-sel fagosit (Depkes RI, 2005).

Gejala TB pada orang dewasa umumnya penderita mengalami batuk dan berdahak terus-menerus selama 3 minggu atau lebih, batuk darah atau pernah batuk darah. Adapun gejala-gejala lain dari TB pada orang dewasa adalah sesak nafas dan nyeri dada, badan lemah, nafsu makan dan berat badan menurun, rasa kurang enak badan (malaise), berkeringat malam walaupun tanpa kegiatan, demam meriang lebih dari sebulan (Depkes RI, 2005).

Sumber penularan adalah penderita TB BTA positif pada waktu batuk atau bersin, penderita menyebarkan kuman keudara dalam bentuk droplet (percikan


(23)

dahak). Droplet yang mengandung kuman dapat bertahan diudara pada suhu kamar selama beberapa jam. Orang dapat terinfeksi kalau droplet tersebut terhirup kedalam saluran pernapasan. Jadi penularan TB tidak terjadi melalui perlengkapan makan, baju dan perlengkapan tidur (Depkes RI, 2005).

Pengobatan infeksi kuman tahan asam masih merupakan persoalan dan tantangan dalam bidang kemoterapi. Faktor yang mempersulit tantangan ialah:

1. Kurangnya daya tahan hospes terhadap mikobakteria 2. Kurangnya daya bakterisid obat yang ada

3. Timbulnya resistensi kuman terhadap obat 4. Masalah efek samping obat

Tantangan ini lebih berat lagi dengan munculnya AIDS yang berkaitan erat dengan meningkatnya kejadian tuberkulosis (Zubaidi, 1995).

Obat yang digunakan untuk tuberkulosis digolongkan atas 2 kelompok yaitu kelompok obat primer dan obat sekunder. Kelompok obat primer yaitu isoniazid, rifampin, ethambutol, streptomisin, dan pirazinamida, memperlihatkan efektivitas yang tinggi dengan toksisitas yang dapat diterima. Sebagian besar penderita dapat disembuhkan dengan obat-obat ini. Walaupun demikian, kadang terpaksa digunakan obat lain yang kurang efektis karena pertimbangna resistensi atau kontraindikasi pada penderita. Antituberkulosis sekunder adalah etionamid, paraaminosalisilat, sikloserin, amikasin, kepreomisin, dan kanamisin (Zubaidi, 1995).


(24)

2.2 Pirazinamida

Berdasarkan Ditjen POM (1995), adapun sifat fisikokimia pirazinamida adalah sebagai berikut:

Rumus struktur:

Gambar 2.1 Rumus bangun pirazinamida Nama kimia : pyrazine-2-carboxamide Rumus kimia : C5H5N3O

Berat molekul : 123.113 g/mol

Pemerian : serbuk hablur, putih hingga praktis putih, tidak berbau atau praktis tidak berbau.

Kelarutan : agak sukar larut dalam air, sukar larut dalam etanol, dalam eter dan dalam kloroform.

Menurut Chamber (2004), kosentrasi serum 30-50 g/ml pada 1-2 jam setelah pemberian oral dicapai dengan dosis 25 mg/kg/hari. Pirazinamida dapat dengan baik diserap dari saluran cerna dan secara luas didistribusikan pada jaringan tubuh, termasuk selaput otak yang terinfeksi. Waktu paruhnya adalah 8-11 jam. Pirazinamida merupakan suatu obat garis depan yang penting yang digunakan bersama dengan isoniazid dan rifampin dalam pemberian jangka pendek (yaitu 6 bulan) sebagai suatu agen sterilisator aktif untuk melawan sisa-sisa organisme intraseluler yang dapat mengakibatkan kekambuhan.

Pirazinamida adalah suatu obat antituberkulosis sintetik peroral yang efektif dan bersifat bakterisidal yang digunakan bersama-sama dengan isoniazid


(25)

dan rifampin. Pirazinamida bersifat bakterisidal terhadap organisme yang aktif membelah diri. Pirazinamida harus dihidrolisis secara enzimatik menjadi asam pirazinoat yang merupakan bentuk aktif dari pirazinamida. Pirazinamida aktif terhadap basil tuberkulosis dalam lingkungan asam lisosom dan dalam makrofag (Mycek, dkk., 2001).

Pirazinamida didalam tubuh dihidrolisis oleh enzim pirazinamidase menjadi asam pirazinoat yang aktif sebagai tuberkulostatik hanya pada media yang bersifat asam. In vitro, pertumbuhan kuman tuberkulosis dalam monosit dihambat sempurna pada kadar pirazinamida 12,5 g/ml. Mekanisme kerja obat ini belum diketahui (Zubaidi, 1995).

Efek samping utama dari pirazinamida termasuk hepatoksisitas (dalam 1-5% penderita), mual, muntah, demam karena obat dan hiperurisemia (Jawets, 1998).

2.3 Darah dan Plasma

Darah terdiri atas sel-sel dan cairan yang mengisi sirkulasi tertutup yang mengalir dalam gerak teratur tanpa arah, didorong terutama oleh kontraksi ritmis jantung. Darah dibentuk dari dua bagian: bentuk elemen atau sel-sel darah dan plasma, fase cair dimana yang pertama tersuspensi. Bentuk elemen adalah eritrosit atau sel darah merah; trombosit; dan leukosit; atau sel darah putih. Darah adalah jaring penyambung khusus yang terdiri atas se-sel dan banyak interstial eksktrasel (Ansel, 2005).

Darah lengkap manusia adalah darah yang telah diambil dari donor manusia yang dipilih dengan pencegahan-pencegahan pendahuluan aseptik yang


(26)

ketat. Ditambahkan ion sitrat atau heparin sebagai antikoagulasi. Darah yang dikumpulkan disimpan pada temperatur antara 1oC–10oC, dipertahankan konstan dengan kisaran 2oC. Tanggal kadaluarsa tidak lebih dari 21 hari setelah tanggal pengambilan bila sitrat yang digunakan sebagai antikoagulasi dan tidak lebih dari 48 jam bila heparin digunakan (Ansel, 2005).

Setelah darah dikumpulkan, diikuti dengan pembentukan gumpalan dan diperoleh supernatan setelah dilakukan sentrifugasi dimana supernatan yang diperoleh dinamakan serum. Serum tidak mengandung fibrinogen (protein yang terlibat pada proses pembekuan darah) dan koagulasi sempurna sekitar 30 menit pada suhu kamar. Alternatif lain darah dapat dikumpulkan dalam satu wadah yang mengandung antikoagulan, dan supernatan yang terbentuk disebut plasma yang mengandung fibrinogen, tetapi karena efek koagulasi bersifat sementara, spesimen yang dikumpulkan harus disentrifugasi dengan cepat untuk menghindari penggumpalan pada akhirnya. Plasma lebih sering digunakan daripada serum pada analisis obat karena spesimen yang digunakan dapat disentrifugasi dengan cepat, yang mana pembentukan serum memakan waktu yang lama. Selain itu plasma lebih mudah disentrifugasi dari darah dengan adanya antikoagulan. Karena plasma dapat dipisahkan dengan cepat dan volume yang maksimal dapat diperoleh jika diperlukan (Kelly, 1992).

Bila plasma atau serum akan dianalisis, keduanya perlu segera dipisahkan dari eritrosit. Pengaruh penyimpanan (yang menurunkan kadar obat dalam plasma/serum secara bertahap) dapat merupakan akibat sejumlah faktor, termasuk metabolisme obat oleh eritrosit dan penyebaran obat kedalam sel tersebut. Jadi


(27)

makin lama serum/plasma bersentuhan eritrosit makin besar penurunan kadar obat (Munson, 1991).

2.4 Pemantauan Terapi Obat

Pemantauan terapi obat (PTO) adalah suatu proses yang mencakup semua fungsi, diperlukan untuk memastikan terapi obat secara tepat, aman, mujarab, dan ekonomis bagi pasien (Charles dan Endang, 2006).

Tujuan dari proses pemantauan terapi obat adalah menyesuaikan terapi obat pada karakteristik pasien individu, memaksimalkan manfaat dan meminimalkan resiko. Sifat-sifat biofarmasi, farmakologi, dan farmakokinetik sangat penting dipertimbangkan. Indeks terapi, merupakan batas aman antara konsentrasi terapi dan toksis, sangat kecil untuk banyak obat. Berbagai sifat farmakokinetik seperti absorpsi, distribusi, metabolisme, ekskresi, dan durasi kerja harus dipertimbangkan apabila mendesain suatu regimen obat (Charles dan Endang, 2006).

Secara kilnik perbedaan individual dalam farmakokinetika obat sering terjadi. Pemantauan konsentrasi obat dalam darah atau plasma meyakinkan bahwa dosis yang telah diperhitungkan benar-benar telah melepaskan obat dalam plasma yang diperlukan untuk efek terapetik. Untuk beberapa obat, kepekaan reseptor pada individu berbeda, sehingga pemantauan kadar obat dalam plasma diperlukan untuk membedakan penderita yang menerima terlalu banyak obat dan penderita yang sangat peka terhadap obat. Lebih lanjut, fungsi-fungsi fisiologik penderita dapat dipengaruhi oleh penyakit, makanan, lingkungan, obat yang diberikan bersamaan dalam terapi, dan faktor-faktot lain (Shargel dan Yu, 1988).


(28)

Dengan demikian pemantauan konsentrasi obat dalam plasma memungkinkan untuk penyesuaian dosis obat secara individual dan juga untuk mengoptimasi terapi. Dengan adanya perubahan fungsi fisiologik sehubungan dengan penyakit, pemantauan konsentrasi obat dalam plasma dapat memberikan petunjuk untuk kemajuaan keadaan penyakit dan memungkinkan peneliti mengubah dosis yang lebih sesuai. Namun demikian, secara klinik keputusan dan pengamatan medik adalah paling penting sebagai keputusan terapi dan janganlah semata-mata didasarkan pada konsentrasi obat dalam plasma (Shargel dan Yu, 1988).

Banyak obat diberikan dalam suatu aturan dosis ganda untuk memperpanjang aktivitas terapetik. Kadar plasma obat ini harus dipertahankan didalam batas yang sempit untuk mencapai efektivitas klinik yang maksimal. Diantara obat-obat itu adalah antibakteri, kardiotonik, antikonvulsan dan hormon. Secara ideal suatu aturan dosis untuk tiap obat ditetapkan untuk memberikan kadar plasma yang benar tanpa fluktuasi dan akumulasi yang berlebihan (Shargel dan Yu, 1988).

Adapun tujuan penetapan konsentrasi obat plasma/serum menurut Charles dan endang (2007) yaitu:

a. Untuk memastikan bahwa konsentrasi obat plasma/serum pasien konsisten dengan konsentrasi plasma/serum, biasanya berkaitan dengan efek farmakologi yang diinginkan.

b. Utuk memastikan bahwa konsentrasi plasma/serum pasien tidak mungkin menyebabkan toksisitas obat


(29)

c. Berlaku sebagai suatu pedoman untuk penyesuaian dosis atau untuk memastikan kecukupan penyesuaian dosis sebelumnya.

d. Berlaku sebagai suatu ukuran dari kepatuhan pasien yang objektif.

2.5 Kromatografi

Kromatografi adalah istilah umum untuk berbagai cara pemisahan berdasarkan partisi cuplikan antara fase yang bergerak, dapat berupa gas atau zat cair; dan fase diam, dapat berupa zat cair atau zat padat. Kita biasanya menganggap Tsweet sebagai penemu kromatografi, yang pada tahun 1903 menguraikan karyanya mengenai pemakaian kolom kapur untuk memisahkan pigmen dalam daun. Istilah ”kromatografi” dipakai oleh Tsweet untuk menggambarkan daerah bewarna yang bergerak kebagian bawah kolom. Perlu diketahui bahwa D.T. Day pada kira-kira saat yang sama memakai kromatografi untuk memisahkan berbagai fraksi minyak bumi, tetapi Tsweet-lah yang pertama kali mengenali dan menafsirkan proses tersebut (Johnson dan Stevenson, 1991).

Kromatografi didefenisikan sebagai prosedur pemisahan zat terlarut oleh suatu proses migrasi diferensial dinamis dalam sistem yang terdiri dari dua fase atau lebih, salah satu diantaranya bergerak secara berkesinambungan dalam arah tertentu dan di dalamnya zat-zat itu menunjukkan perbedaan mobilitas disebabkan adanya perbedaan dalam absorpsi, partisi, kelarutan, tekanan uap, ukuran molekul, atau kerapatan muatan ion. Teknik kromatografi umumnya membutuhkan zat terlarut terdistribusi di antara dua fase, satu diantaranya diam (fase diam) yang lainnya bergerak (fase gerak) (Ditjen POM, 1995).


(30)

Pemisahan secara kromatografi yang berhasil baik berkaitan dengan mengkompromikan daya pisah kromatografi, beban cuplikan, dan waktu analisis atau kecepatan. Tujuan kromatografi ialah memisahkan komponen cuplikan dalam waktu yang masuk akal, menjadi pita atau puncak, ketika cuplikan itu bergerak (Johnson dan Stevenson, 1991).

2.5.1 Pembagian Kromatografi

Menurut Rohman (2007), berdasarkan mekanisme pemisahannya, kromatografi dibagi menjadi:

a. Kromatografi adsorpsi b. Kromatografi partisi c. Kromatografi pasangan ion d. Kromatografi pertukaran ion e. Kromatografi eksklusi ion f. Kromatografi afinitas

Berdasarkan pada alat yang digunakan, kromatografi dapat dibagi atas: a. Kromatografi kertas

b. Kromatografi lapis tipis

c. Kromtografi cair kinerja tinggi (KCKT) d. Kromatografi gas

2.5.2 Tujuan Kromatografi

Kromatografi dapat digunakan untuk tujuan analisis, baik analisis kualitatif maupun analisis kuantitatif.


(31)

2.5.2.1Analisis Kualitatif

Ada 3 pendekatan untuk analisa kualitatif yakni:

1. Perbandingan antara retensi solut yang tidak diketahui dengan data retensi baku yang sesuai (senyawa yang diketahui) pada kondisi yang sama.

Untuk kromatografi yang menggunakan kolom (seperti KCKT dan KG), waktu retensi (tR) atau volume retensi (VR) senyawa baku dan senyawa yang tidak diketahui dibandingkan dengan cara kromatografi secara berurutan dalam kondisi alat yang stabil dengan perbedaan waktu pengoperasian antar keduanya sekecil mungkin.

2. Dengan cara spiking.

Untuk kromatografi yang melibatkan kolom, spiking dilakukan dengan menambah sampel yang mengandung senyawa tertentu yang akan diselidiki dengan senyawa baku pada kondisi kromatografi yang sama. Hal ini dilakukan dengan cara: pertama, dilakukan proses kromatografi sampel yang tidak di spiking. Kedua, sampel yang telah di-spiking dengan senyawa baku dilakukan proses kromatografi. Jika pada puncak tertentu yang diduga mengandung senyawa yang diselidiki terjadi peningkatan tinggi puncak/luas puncak setelah di-spiking dibandingkan dengan tinggi puncak/luas puncak yang tidak dilakukan spiking maka dapat diidentifikasi bahwa sampel mengandung senyawa yang kita selidiki.

3. Menggabungkan alat kromatografi dengan spektrometer massa.

Pada pemisahan dengan menggunakan kolom kromatografi, cara ini akan memberikan informasi data spektra massa solut dengan waktu retensi tertentu. Spektra solut yang tidak diketahui dapat dibandingkan dengan spektra yang


(32)

ada di data base komputer yang diinterpretasi sendiri. Cara ini dapat dilakukan untuk solut yang belum ada baku murninya (Rohman, 2007).

2.5.2.2Analisis Kuantitatif

Menurut Rohamn (2007), untuk menjamin kondisi yang digunakan dalam analisis kuantitatif stabil dan reprodusibel, baik pada penyiapan sampel atau proses kromatografi, berikut beberapa syarat yang harus dipenuhi dalam analisis kuantitatif:

a. Analit (solut) harus telah diketahui dan terpisah sempurna dari kompomen-komponen lain dalam kromatogram

b. Baku dengan kemurnian yang tinggi dan telah diketahui harus tersedia c. Prosedur kalibrasi yang sudah diketahui harus digunakan.

2.5.3 Tinggi Puncak dan Luas Puncak

Untuk kromatografi yang melibatkan kolom, kuantifikasi dapat dilakukan dengan luas puncak atau tinggi puncak. Tinggi puncak atau luas puncak berbanding langsung dengan banyaknya solut yang dikromatografi, jika dilakukan pada kisaran detektor yang linier (Johnson dan Stevenson, 1991).

a. Metode tinggi puncak

Metode yang paling sederhana untuk pengukuran kuantitatif adalah dengan tinggi puncak. Tinggi puncak diukur sebagai jarak dari garis dasar ke puncak maksimum seperti puncak 1, 2, dan 3 pada gambar 3. Penyimpangan garis dasar diimbangi dengan interpolasi garis dasar antara awal dan akhir puncak.


(33)

Gambar 2.2 Pengukuran tinggi puncak

Metode tinggi puncak hanya digunakan jika perubahan tinggi puncak linier dengan konsentrasi analit. Kesalahan akan terjadi jika metode ini digunakan pada puncak yang mengalami penyimpangan (asimetris) atau jika kolom mengalami kelebihan muatan.

b. Metode luas puncak

Prosedur penentuan luas puncak serupa dengan tinggi puncak. Suatu teknik untuk mengukur luas puncak adalah dengan mengukur luas puncak sebagai hasil kali tinggi puncak dan lebar pada setengah tinggi (W1/2). Teknik ini hanya dapat digunakan untuk kromatografi yang simetris atau yang mempunyai bentuk serupa (Johnson & Stevenson, 1991).

Saat ini integrator elektronik telah banyak digunakan untuk mengukur luas puncak pada kromatografi cair kinerja tinggi dan pada kromatografi gas. Integrator digital mengukur luas puncak dan mengubahnya dalam bentuk angka (Rohman, 2007).

Baik tinggi puncak maupun luasnya dapat dihubungkan dengan konsentrasi. Tinggi puncak mudah diukur, akan tetapi sangat dipengaruhi perubahan waktu retensi yang disebabkan oleh variasi suhu dan komposisi pelarut. Oleh karena itu, luas puncak dianggap merupakan parameter yang lebih akurat untuk pengukuran kuantitatif (Ditjen POM, 1995).


(34)

2.6 Kromatogarfi Cair Kinerja Tinggi (KCKT)

Kemajuan dalam teknologi kolom, sistem pompa tekanan tinggi, dan detektor yang sensitif telah menyebabkan perubahan kromatogarfi kolom cair menjadi suatu sistem pemisahan dengan kecepatan dan efisiensi yang tinggi. Metode ini dikenal sebagai kromatografi cair kinerja tinggi (KCKT). Teknologi kolom didasarkan atas penggunaan kolom berlubang kecil (diameter dalam antara 2 mm hingga 5 mm) dan isi kolom berupa partikel kecil (3 m hingga 50 m), yang memungkinkan tercapainya keseimbangan secara cepat antara fase gerak dan fase diam. Teknologi kolom partikel kecil ini memerlukan sistem pompa tekanan tinggi yang mampu mengalirkan fase gerak pada tekanan tinggi sampai 300 atmosfer agar tercapai laju aliran beberapa ml per menit (Ditjen POM, 1995).

Kegunaan umum KCKT adalah untuk pemisahan sejumlah senyawa organik, anorganik, maupun senyawa biologis, analisis ketidakmurnian (impurities) dan analisis senyawa-senyawa yang tidak mudah menguap (nonvolatil). KCKT paling sering digunakan untuk: menetapkan kadar senyawa-senyawa tertentu seperti asam-asam amino, asam-asam nukleat dan protein-protein dalam cairan fisiologis, menentukan kadar senyawa-senyawa aktif obat dan lain-lain (Rohman, 2007).

Menurut Putra (2007), adapun kelebihan KCKT antara lain: Mampu memisahkan molekul-molekul dari suatu campuran Resolusinya baik

Mudah melaksanakannya

Kecepatan analisis dan kepekaannya tinggi


(35)

Dapat digunakan bermacam-macam detektor Kolom dapat digunakan kembali

Mudah melakukan rekoveri cuplikan

Tekniknya tidak begitu tergantung pada keahlian operator dan reprodusibilitasnya lebih baik

Instrumennya memungkinan untuk bekerja secara automatis dan kuantitatif Waktu analisis umumnya singkat

Kromatografi cair preparatif memungkinkan dalam skala besar Ideal untuk molekul besar dan ion.

2.6.1 Cara Kerja KCKT

Kromatografi merupakan teknik yang mana solut atau zat-zat terlarut terpisah oleh perbedaan kecepatan elusi, dikarenakan solut-solut ini melewati suatu kolom kromatografi. Pemisahan solut-solut ini diatur oleh distribusi dalam fase gerak dan fase diam. Penggunaan kromatografi cair membutuhkan penggabungan secara tepat dari berbagai macam kondisi operasional seperti jenis kolom, fase gerak, panjang dan diameter kolom, kecepatan alir fase gerak, suhu kolom, dan ukuran sampel (Rohman, 2007).

2.6.2 Komponen KCKT

Instrumentasi KCKT pada dasarnya terdiri atas delapan komponen pokok yaitu: wadah fase gerak, sistem penghantaran fase gerak (pompa), alat untuk memasukkan sampel (injektor), kolom, detektor, wadah penampung buangan fase


(36)

gerak, tabung penghubung, dan suatu komputer atau integrator atau perekam Gambar ilustrasi dapat dilihat pada gambar 2.3 (Rohman, 2007).

Gambar 2.3 Sistem KCKT isokratik

2.6.2.1Wadah fase gerak

Wadah fase gerak harus bersih dan lembam (inert). Wadah pelarut kosong ataupun labu laboratorium dapat digunakan sebagai wadah fase gerak. Fase gerak sebelum digunakan harus dilakukan degassing (penghilangan gas) yang ada pada fase gerak, sebab adanya gas akan berkumpul dengan komponen lain terutama dipompa dan detektor sehingga akan mengacaukan analisis (Rohman, 2007).

Fase gerak atau eluen biasanya terdiri atas campuran pelarut yang dapat bercampur yang secara keseluruhan berperan dalam daya elusi dan resolusi. Untuk fase normal (fase diam lebih polar daripada fase gerak), kemampuan elusi meningkat dengan meningkatnya polaritas pelarut. Sementara untuk fase terbalik (fase diam kurang polar daripada fase gerak), kemampuan elusi menurun dengan meningkatnya polaritas pelarut (Rohman, 2007).


(37)

Menurut Johnson dan Stevenson (1991), fase gerak haruslah: a. Murni, tanpa cemaran.

b. Tidak bereaksi dengan kemasan. c. Sesuai dengan detektor.

d. Dapat melarutkan cuplikan. e. Mempunyai viskositas rendah.

f. Memungkinkan memperoleh kembali cuplikan dengan mudah, jika diperlukan.

g. Harganya wajar.

Menurut Putra (2007), elusi pada KCKT dapat dibagi menjadi dua sistem yaitu:

a. Sistem elusi isokratik: elusi dilakukan dengan satu macam atau lebih fase gerak dengan perbandingan tetap.

b. Sistem elusi gradien: elusi dilakukan dengan campuran fase gerak yang perbandingannya berubah-ubah dalam waktu tertentu.

2.6.2.2Pompa

Pompa terbuat dari bahan yang inert terhadap semua pelarut. Bahan yang umum digunakan adalah gelas baja antikarat dan teflon. Pompa yang digunakan mampu menghasilkan tekanan sampai 5000 psi. Aliran pelarut dari pompa harus tanpa denyut untuk menghindari hasil yang menyimpang dari berbagai detektor (Ditjen POM, 1995).

Tujuan penggunaan pompa atau sistem penghantaran fase gerak adalah untuk menjamin proses penghantaran fase gerak berlangsung secara tepat,


(38)

reprodusibel, konstan, dan bebas dari gangguan. Ada dua jenis pompa dalam KCKT yaitu: pompa dengan tekanan kostan, dan pompa dengan aliran fase gerak yang konstan. Tipe pompa dengan aliran fase gerak yang konstan sejauh ini lebih umum dibandingkan dengan tipe pompa dengan tekanan konstan (Rohman, 2007). Berdasarkan cara kerja pompa untuk KCKT dapat digolongkan dalam dua kelompok yaitu pompa kecepatan tetap dan pompa tekanan tetap. Masing-masing mempunyai kelebihan dan kelemahan dan tak satupun yang bisa dipakai secara menyeluruh (Munson, 1991).

2.6.2.3Injektor

Dua teknik untuk menyuntikkan analit ke dalam kolom yaitu dengan menyuntikkan analit kedalam arus yang mengalir dan injeksi waktu ”aliran berhenti”. Pada teknik aliran berhenti, aliran kolom dihentikan dan setelah tekanan pada tempat penyuntikan turun hingga nol, tempat penyuntikan dibuka dan analit disuntikkan. Tempat penyuntikan ditutup dan pompa dijalankan kembali (Ditjen POM, 1995).

Ada tiga tipe injektor yang dapat digunakan:

a. Hentikan aliran/stop flow: aliran dihentikan, injeksi dilakukan pada kinerja atmosfir, sistem tertutup, dan aliran dilanjutkan. Teknik ini bisa digunakan karena difusi didalam aliran kecil dan resolusi tidak dipengaruhi.

b. Septum: injektor-injektor langsung kealiran fase gerak umumnya sama dengan yang digunakan pada kromatografi gas. Injektor ini dapat digunakan pada kinerja sampai 60-70 atmosfir. Tetapi septum ini tidak tahan dengan semua pelarut-pelarut kromatografi cair. Disamping itu,


(39)

partikel kecil dari septum yang terkoyak (akibat jarum injektor) dapat menyebabkan penyumbatan.

c. Katup putaran (loop valve): tipe injektor ini umumnya digunakan untuk menginjeksi volume lebih besar dari pada 10 µl dan sekarang digunakan dengan cara automatis (dengan adaptor khusus, volume-volume lebih kecil dapat diinjeksi secara manual). Pada posisi LOAD, sampel loop (cuplikan dalam putaran) diisi pada tekanan atmosfer. Bila katup difungsikan, maka cuplikan didalam putaran akan bergerak ke dalam kolom (Putra, 2007).

2.6.2.4Kolom

Kolom yang digunakan untuk pemisahan analit umumya mempunyai diameter dalam yang kecil (2-4 mm), kolom yang berdiameter lebih besar digunakan untuk keperluan preparatif. Bahan pengisi kolom berupa partikel kecil (3-50 m) ataupun berukuran lebih kecil 3-10 m, hampir seluruhnya berpori. Ukuran partikel yang lebih kecil memberi pemisahan yang lebih efisien (Ditjen POM, 1995).

Menurut Edward dan Stevenson (1991), kolom dapat dibagi menjadi dua kelompok:

a. Kolom analitik: garis tengah-dalam 2-6 mm. Panjang bergantung pada jenis kemasan, untuk kemasan, untuk kemasan pelikel biasanya panjang kolom 50-100 cm, untuk kemasan mikropartikel berpori biasanya 10-30 cm.

b. Kolom preparatif: umumnya bergaris tengah 6 mm atau lebih besar dan panjang 25-100 cm.


(40)

2.6.2.5Fase Diam

Kebanyakan fase diam pada KCKT berupa silika yang dimodifikasi secara kimiawi, silika yang tidak dimodifikasi, atau polimer-polimer stiren dan divinil benzen. Permukaan silika adalah polar dan sedikit asam karena adanya residu gugus silanol (Si-OH). Oktadesil silika (ODS atau C18) merupaka fase diam yang paling banyak digunakan karena mampu memisahkan senyawa-senyawa dengan kepolaran rendah, sedang, maupun tinggi (Rohman, 2007).

2.6.2.6Detektor

Detektor yang biasa digunakan dalam KCKT menurut Ditjen POM (1995), adalah:

- Fotometer ultraviolet, merupakan detektor yang umum dan stabil.

- Refraktometer diferensial, mendeteksi perbedaan indeks bias pelarut murni dan indeks bias pelarut zat yang diuji.

- Flourometer, detektor yang peka untuk senyawa yang dapat berflourosensi.

- Elektokimia.

Menurut Rohman (2007), idealnya suatu detektor harus mempunyai karakterisasi sebagi berikut:

- Mempunyai respon terhadap solut yang cepat dan reproduksibel.

- Mempunyai sensitifitas yang tinggi, yakni mampu mendeteksi solut pada kadar yang sangat kecil.


(41)

- Mempunyai sel volume yang kecil sehingga mampu meninimalkan pelebaran pita.

- Signal yang dihasilkan berbanding lurus dengan konsentrasi solut pada kisaran yang luas.

- Tidak peka terhadap perubahan suhu dan kecepatan aliran fase gerak.

2.6.2.7Komputer, Integrator, atau Rekorder

Alat pengumpul data seperti komputer, integrator, atau rekorder, dihubungkan dengan detektor. Alat ini akan mengukur sinyal elektronik yang dihasilkan oleh detektor lalu mem-plotkannya sebagai suatu kromatogram yang selanjutnya dapat dievaluasi oleh seorang analis (pengguna) (Rohman, 2007).

Komponen yang terelusi mengalir ke detektor dan dicatat sebagai puncak-puncak yang secara keseluruhan disebut sebagai kromatogram.

W W1/2

H1/2 H

Rt Area

Gambar 2.4 Kromatogram

Hampir semua jenis campuran solut dapat dipisahkan dengan KCKT karena banyaknya fase diam yang tersedia dan selektifitas yang dapat ditingkatkan dengan mengatur fase gerak. Pemisahan dapat dilakukan dengan fase normal atau fase terbalik tergantung pada polaritas relatif fase diam dan fase gerak.


(42)

BAB III

METODOLOGI PENELITIAN

Penelitian ini merupakan penelitian deskriptif dan pengukuran dilakukan menggunakan alat KCKT. Penelitian ini dilakukan di Laboratorium Biofarmasi dan di Laboratorium Penelitian Fakultas Farmasi USU.

3.1 Alat

Alat-alat yang digunakan pada penelitian ini adalah timbangan, beaker gelas, neraca analitis (Baecho), pipet tetes, tabung sentrifugasi, rak tabung, gelas ukur, alat vortex (Health HVM-400), alat sentrifugasi (Health HC 1120T), termos es, spuit 1 ml, spuit 3 ml, politube, mikropipet, batang pengaduk, vial 2 ml, satu unit alat KCKT Agilent 1120 Compact LC, kolom ODS-C18, wadah solven, pompa vakum (Gast DOA-PG04-BN), injektor, syringe 50 µl, sonifikator (Branson 1510), kertas membran filter whatman cellulosa nitrate 0,45 µm, penyaring PTFE 0,2 µm (gambar alat dapat dilihat pada lampiran 1 dan 2 halaman 17).

3.2 Bahan

Bahan bahan yang digunakan dalam penelitian yaitu: metanol p.a. (E. Merck), NaOH p.a. (E. Merck), plasma darah pasien TB, plasma kontrol (gambar dapat dilihat pada lampiran 3 halaman 21), pirazinamida baku (sertifikasi dapat dilihat pada lampiran 13 halaman 36), kalium dihidrogen fosfat p.a (E. Merck),


(43)

aquabidest (Ika parmindo putra mas) heparin sodium inject (PT. B. Braun Medical Indonesia).

3.3 Pengambilan Sampel

Sampel yang diperiksa dalam penelitian ini adalah plasma darah pasien penderita TB yang sedang menjalani perawatan di klinik Dr. Zainuddin Amir, DSP (ahli penyakit saluran pernapasan) di Jl. Jemadi Medan. Pasien yang diambil darahnya adalah pasien yang telah mengkonsumsi obat TB kurang dari 2 bulan atau sedang menjalani fase intensif. Data pasien dapat dilihat pada lampiran 12 halaman 35. Waktu pengambilan darah adalah 2 jam setelah meminum obat.

3.4 Rancangan Penelitian 3.4.1 Penyiapan Bahan

3.4.1.1 Pembuatan Plasma Darah Pasien TB

Darah pasien diambil sebanyak 5 ml, kemudian dimasukkan ke dalam venoject yang telah terbasahi heparin. Venoject yang berisi darah disentrifugasi dengan kecepatan 4000 putaran permenit selama 5 menit. Diperoleh dua lapisan yaitu lapisan atas yang merupakan plasma dan lapisan bawah berupa endapan. Diambil lapisan atas (plasma).

3.4.1.2 Pembuatan Plasma Kontrol

Darah diambil dari donatur (dewasa dan sehat) sebanyak 5 ml, kemudian dimasukkan ke dalam venoject yang telah terbasahi heparin. Venoject yang berisi darah disentrifugasi dengan kecepatan 4000 putaran permenit selama 5 menit. Diperoleh dua lapisan yaitu lapisan atas yang merupakan plasma dan lapisan


(44)

bawah berupa endapan. Diambil lapisan atas (plasma). Gambar plasma kontrol dapat dilihat pada lampiran 3 halaman 21.

3.4.1.3 Pembuatan Pereaksi 3.4.1.3.1 Aqua Bebas CO2

Dibuat dengan mendidihkan air untuk injeksi segar selama tidak kurang dari 10 menit sambil mencegah hubungan dengan udara sesempurna mungkin, didinginkan, dan segera digunakan (Ditjen POM, 1972).

3.4.1.3.2 Natrium Hidroksida (NaOH) 0,2 N

Dilarutkan 8,0 g NaOH dengan air bebas CO2 sampai 1000,0 ml (Ditjen POM, 1979).

3.4.1.3.3 Kalium Dihidrogen Fosfat 0,2 M

Dilarutkan 27,218 g kalium dihidrogen fosfat dalam air bebas CO2 secukupnya hingga 1000,0 ml (Ditjen POM, 1979).

3.4.1.3.4 Buffer Fosfat pH 7,4

Dibuat dengan mencampur 50,0 ml kalium dihidrogenfosfat 0,2 M dengan 39,1 ml natrium hidroksida 0,2 N, dan diencerkan dengan air bebas karbondioksida P hingga 200,0 ml (Ditjen POM, 1979).

3.4.1.4 Pembuatan Fase Gerak

Fase gerak terdiri dari buffer fosfat pH 7,4 dan metanol dengan perbandingan 96,8:3,2. Fase gerak dibuat sebanyak 500 ml dengan mencampurkan buffer fosfat pH 7,4 sebanyak 484 ml dan metanol sebanyak 16 ml. Sebelum digunakan fase gerak disaring melalui penyaring membran filter whatman cellulosa nitrate 0,45 µm. Kemudian diawaudarakan selama ± 20 menit menggunakan sonifikator.


(45)

3.4.1.5. Pembuatan Larutan Induk Baku Pirazinamida

Ditimbang seksama sejumlah 50 mg pirazinamida baku dan dimasukkan ke dalam labu ukur 25 ml, dilarutkan dengan fase gerak (buffer fosfat pH 7,4:metanol dengan perbandingan 96,8:3,2) kemudian dicukupkan sampai garis tanda sehingga diperoleh larutan induk dengan konsentrasi 16,2456 mM (2000 mcg/ml).

3.4.2 Prosedur Analisis

2.4.2.1 Penyiapan Alat KCKT

Alat dihubungkan dengan sumber listrik, kemudian alat dihidupkan dengan menekan tombol power. Diatur panjang gelombang menjadi 254 nm. Dipurging untuk menghilangkan gelembung pada selang, kemudian dialirkan fase gerak hingga laju alir 0,8 ml/menit. Biarkan hingga kondisi alat stabil.

3.4.2.2 Penentuan Garis Alas (Base Line)

Setelah dialirkan fase gerak selama 30 menit, dilihat absorbansi apakah telah stabil, jika telah stabil absorbansi di nol kan dengan cara click to balance. 3.4.2.3 Penyuntikan Fase Gerak

Untuk mengetahui kebersihan injektor, maka dilakukan penyuntikan fase gerak dengan cara: tekan single run, tulis nama sampel dan tekan OK. Injektor diputar ke posisi load dan disuntikkan fase gerak ke dalam injektor dengan menggunakan penyuntik mikroliter, injektor diputar ke posisi inject (kromatogram hasil penyuntikan fase gerak dapat dilihat pada lampiran 4 halaman 22).


(46)

3.4.2.4 Penyuntikan Plasma Kontrol

Dipipet 300 µl plasma, dimasukkan ke dalam politube dan ditambahkan 600 µl metanol untuk mengendapkan protein lalu divortex. Disentrifugasi dengan kecepatan 4000 putaran permenit selama 5 menit. Dipisahkan supernatan dari endapan dan dikumpulkan. Disaring dengan penyaring PTFE diameter 0,2 µm, lalu diinjeksikan ke dalam sistem KCKT dengan volume penyuntikan 20 µl dengan laju aliran (flow rate) 0,8 ml/menit, deteksi pada panjang gelombang 254 nm. Dilihat kromatogram yang terbentuk dan waktu retensinya (kromatogram hasil penyuntikan plasma kontrol dapat dilihat pada lampiran 6 halaman 24). 3.4.2.5 Analisis Kualitatif

Analisis kualitatif pirazinamida dapat dilakukan dengan membandingkan waktu retensi yang sama dari kromatogram pada penyuntikan sampel dengan kromatogram pada penyuntikan larutan baku pembanding pirazinamida (kromatogram larutan baku pembanding dapat dilihat pada lampiran 5 halaman 23).

3.4.2.6 Analisis Kuantitatif

3.4.2.6.1 Penentuan Linieritas Kurva Kalibrasi Baku Pembanding Pirazinamida

Dipipet larutan induk baku pirazinamida sebanyak 2,5ml; 3,0ml; 3,7ml; 5,0ml; dan 6,2ml masing-masing dimasukkan ke dalam labu ukur 10ml, diencerkan dengan fase gerak sampai garis tanda sehingga diperoleh konsentrasi 4,0614mM (500mcg/ml); 4,8737mM (600mcg/ml); 6,0109mM (740mcg/ml); 8,1228mM (1000mcg/ml) dan 10,0723mM (1240mcg/ml). Dari masing-masing konsentrasi dipipet sebanyak 10µl, dimasukkan ke dalam vial yang telah dikalibrasi 2 ml, kemudian ditambahkan plasma sampai garis tanda, divortex lalu


(47)

didiamkan selama 5 menit. Dipipet 300µl dimasukkan kedalam politube dan ditambahkan 600µl metanol untuk mengendapkan protein lalu di vortex. Disentrifugasi dengan kecepatan 4000 putaran per menit selama 5 menit. Supernatan yang diperoleh diambil dengan menggunakan spuit kemudian disaring dengan penyaring PTFE diameter 0,2 µm, lalu diinjeksikan ke dalam sistem KCKT dengan volume penyuntikan 20 µl dengan laju aliran (flow rate) 0,8ml/menit, deteksi pada panjang gelombang 254 nm. Kurva kalibrasi dibuat dengan menggunakan luas puncak antara bahan obat yang terukur oleh detektor vs konsentrasi bahan obat untuk memperoleh garis regresi linier (kromatogram dapat dilihat pada lampiran 8 halaman 26 dan data perhitungan dapat dilihat pada lampiran 9 halaman 31).

3.4.2.6.2 Pemeriksaan Kadar Pirazinamida Dalam Plasma Darah Pasien TB Dipipet 300µl plasma darah pasien TB dimasukkan kedalam politube dan ditambahkan 600µl metanol untuk mengendapkan protein lalu di vortex. Disentrifugasi dengan kecepatan 4000 putaran per menit selama 5 menit. Supernatan yang diperoleh diambil dengan menggunakan spuit 1 ml. Disaring dengan penyaring PTFE diameter 0,2 µm, lalu diinjeksikan ke dalam sistem KCKT dengan volume penyuntikan 20 µl dengan laju aliran (flow rate) 0,8 ml/menit, deteksi pada panjang gelombang 254 nm. Dilihat kromatogram yang terbentuk dan waktu retensinya. Dihitung kadar obat dalam plasma dengan menghitung luas areanya (kromatogram dapat dilihat pada lampiran 7 halaman 25 dan perhitungan dapat dilihat pada lampiran 10 halaman 33).


(48)

3.4.3 Penentuan Batas Deteksi dan Batas Kuantifikasi

Batas deteksi (Limit of detection/LOD) didefenisikan sebagai konsentrasi analit terendah dalam sampel yang masih dapat dideteksi. Batas kuantifikasi (Limit of quantification/LOQ) didefenisikan sebagai konsentrasi analit terendah dalam sampel yang masih dapat ditentukan dengan presisi dan akurasi yang dapat diterima pada kondisi operasional metode yang digunakan.

LOD = slope SD 3 , 3 x LOQ = slope SD 10x

Standar deviasi (SD) dapat ditentukan berdasarkan pada standar deviasi blanko, pada standar deviasi residual dari garis regresi.

Standar deviasi residual (Sy) =

2 n

) y y ( i 2

 

(Gandjar dan Rohman, 2007; Harmita, 2004).

Data perhitungan batas deteksi dan batas kuantifikasi dapat dilihat pada lampiran 11 halaman 34.


(49)

BAB IV

HASIL DAN PEMBAHASAN

Analisis Pirazinamida dalam plasma secara Kromatografi Cair Kinerja Tinggi (KCKT) fase terbalik telah dilakukan oleh Revankar, S.N.,et al.,(1994) menggunakan fase gerak buffer fosfat pH 7,4 dan metanol (96,8:3,2 v/v) pada panjang gelombang 268 nm. Menurut Gandjar dan Rohman (2007), panjang gelombang yang dipilih biasanya 254 nm karena kebanyakan senyawa obat menyerap di 254 nm. Menurut Munson (1991), detektor ini tanggap terhadap obat banyak obat dan kepekaannya memadai bagi penetapan sediaan obat dan kebanyakan cairan biologi. Berdasarkan hal tersebut maka pemeriksaan kadar pirazinamida dalam plasma darah pasien TB dilakukan secara KCKT dengan menggunakan kolom ODS C18, fase gerak buffer fosfat pH 7,4 : metanol (96,8 : 3,2 v/v) dan panjang gelombang 254 nm.

Untuk mengetahui waktu retensi dari pirazinamida dilakukan penyuntikan larutan pirazinamida baku sehingga diperoleh waktu retensi 21,663 menit. Adapun kromatogramnya dapat dilihat pada gambar dibawah.


(50)

Sampel darah diambil dari pasien bernama Bowo, umur 22 tahun dengan berat badan 52 kg. Pasien berada dalam pengobatan tahap intensif (± 1 bulan). Dosis yang diminum oleh pasien adalah 1200mg. Pengambilan darah dilakukan setelah 2 jam pasien mengkonsumsi obat. Kosentrasi serum 30-50 g/ml pada 1-2 jam setelah pemberian oral dicapai dengan dosis 25 mg/kg/hari. Pirazinamida dapat dengan baik diserap dari saluran cerna dan secara luas didistribusikan pada jaringan tubuh, termasuk selaput otak yang terinfeksi. Waktu paruhnya adalah 8-11 jam (Chambers, 2004).

Untuk suatu obat yang diberikan dalam dosis oral berulang waktu yang diperlukan untuk mencapai keadaan tunak bergantung pada waktu paruh eliminasi obat. Dari segi klinik, waktu yang diperlukan untuk mencapai 99% dari konsentrasi tunak dalam plasma adalah 6,6 waktu paruh eliminasi (Shargel dan Yu, 2005).

Hasil pengujian sampel diperoleh waktu retensi 21,949 menit. Gambar kromatogramnya ditunjukkan dibawah ini.


(51)

Pirazinamida didalam tubuh dihidrolisis oleh enzim pirazinamidase menjadi asam pirazinoat yang aktif sebagai tuberkulostatik hanya pada media yang bersifat asam (Zubaidi, 1995). Pada temperatur kamar pirazinamida berada pada kondisi stabil. Hal ini dapat dilihat pada kromatogram (gambar 2) tidak ditemukan adanya puncak lain. Untuk mengetahui stabilitasnya telah dilakukan penelitian stabilitas in vitro pada temperatur 30oC, 40oC, dan 70oC oleh Chuluq, dkk (2004). Diperoleh bahwa kadar pirazinamida pada penyimpanan selama 7 hari tidak berubah atau stabil.

Penentuan linieritas kurva kalibrasi pirazinamida baku ditentukan berdasarkan luas puncak. Menurut Kromidas (2005), hampir semua peraturan menyatakan dengan tegas bahwa perhitungan dapat dilakukan menggunakan metode luas puncak seperti tinggi puncak. Kurva kalibrasi pirazinamida baku dibuat dengan konsentrasi 4,0614mM (500mcg/ml); 4,8737mM (600mcg/ml); 6,0109mM (740mcg/ml); 8,1228mM (1000mcg/ml) dan 10,0723mM (1240mcg/ml), diperoleh hubungan yang linier dengan koefisien korelasi (r)= 0,9567 dan persamaan regresi: y = 453189,0032x - 1668790,0151 dengan data penyuntikan larutan pirazinamida baku. Kurva kalibrasi dapat ditunjukkan pada gambar di bawah ini:

Luas Puncak VS konse ntrasi (mM )

y = 453189,0032x - 1668790,0151

0 500000 1000000 1500000 2000000 2500000 3000000 3500000

0 2 4 6 8 10 12

Kons entras i (mM)

Lua s Pun c a k Linear (Series1)

Gambar 4.3 Kurva kalibrasi pirazinamida baku luas puncak vs konsentrasi (mM)


(52)

Kadar sampel dapat dihitung menggunakan persamaan regresi y = 453189,0032x - 1668790,0151 yaitu dengan mensubsitusikan y dengan harga luas puncak. Hasil perhitungan diketahui harga x (kadar sampel) adalah 10,6136 mM.


(53)

BAB V

KESIMPULAN DAN SARAN 4.1 Kesimpulan

1. Kadar pirazinamida dalam plasma darah pasien TB dapat dilakukan dengan cara kromatografi cair kinerja tinggi (KCKT) menggunakan kolom ODS-C18 dengan fase gerak campuran buffer fosfat pH 7,4:metanol (96,8:3,2), dengan laju alir 0,8ml/menit pada panjang gelombang 254 nm. Kadar yang diperoleh adalah 10,6136 mM.

2. Kondisi pirazinamida dalam plasma pasien TB stabil pada temperatur kamar.

4.2 Saran

Disarankan kepada peneliti selanjutnya agar melakukan validasi metode terlebih dahulu sehingga diperoleh hasil yang lebih baik.


(54)

DAFTAR PUSTAKA

Adnan, M. (1997). Teknik Kromatografi Untuk Analisa Bahan Makanan. Yogyakarta: Penerbit Andi. Hal. 118.

Ansel, C.H. (2005). Pengantar Bentuk Sediaan Farmasi. Edisi Keempat. Jakarta: Penerbit Universitas Indonesia. Hal. 451.

Chambers, H.F. (2004). Obat Antimikrobakteri. Dalam: Farmakologi Dasar dan Klinik. Buku Ketiga. Edisi kedelapan. Editor: Bagian Farmakologi Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga. Jakarta: Penerbit Salemba Medika. Hal. 99-100.

Chuluq, A.C., Abijoso, dan Sidharta, B. (2004). Pengembangan Paket Obat SOT (Sediaan Obat Tunggal) untuk Pengobatan Tuberkulosa. Buletin Penelitian Kesehatan. 32(3): 127-129.

Depkes. (2005). Pharmaceutical Care untuk penyakit Tuberkulosis. Jakarta: Departemen Kesehatan RI. Hal. 9-25.

Ditjen POM. (1972). Farmakope Indonesia. Edisi II. Jakarta: Departemen Kesehatan RI. Hal. 667.

Ditjen POM. (1979). Farmakope Indonesia. Edisi III. Jakarta: Departemen Kesehatan RI. Hal. 4, 6, 579.

Ditjen POM. (1995). Farmakope Indonesia. Edisi IV. Jakarta: Departemen Kesehatan RI. Hal. 4, 8, 645.

Gandjar, G.I., dan Rohman, A. (2007). Kimia Farmasi Analisis. Yogyakarta: Penerbit Pustaka Pelajar. Hal. 323-346, 378-382.

Hadjar, M.I. (1985). Teknis Analisis Obat Dalam Cairan Biologis Dengan GLC dan HPLC. Cermin Dunia Kedokteran. 3(7): 1-3.

Harmita. (2004). Petunjuk Pelaksanaan Validasi Metode dan Cara Perhitungannya. Majalah Ilmu Kefarmasian. Volume I (3): 129.

Jawetz, E. (1998). Obat-obat Antimikrobakteri. Dalam: Farmakologi Dasar dan Klinik. Edisi keempat. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC. Hal. 740. Johnson, E.L., dan Stevenson, R. (1991). Dasar Kromatografi Cair. Penerjemah:

Kosasih Padmawinata. Bandung: Penerbit ITB. Hal. 99, 170 – 177.

Junqueira, L.C., dan Carneiro, J. (1982). Histologi Dasar (Basic Histology). Edisi Ketiga. Alih Bahasa Adji Dharma. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC. Hal. 255.


(55)

Kelly, M.T. (1992). Drug Analysis in Biological Fluids. Dalam: Chemical Analysis in Complex Matrices. Editor: Malcolm R. S. Ireland: Ellis Horwood. Hal.17-97.

Kromidas, (2005). More Practical Problem Solving in HPLC. Weinheim: Wiley-VCH Verlag GmbH & Co. KGaA. Hal. 180-181.

Mycek, M.J., Richard, A.H., Pamela, C.C. (2001). Farmakologi Ulasan Bergambar. Penterjemah: Azwar Agoes. Edisi kedua. Cetakan Pertama. Jakarta: Widya Medika. Hal. 338.

Munson, J.W. (1991). Pharmaceutical Analysis Modern Methods. Part B. Penerjemah Harjana. Analisis Farmasi Metode Modern. Parwa B., Penerbit Airlangga University Press. Surabaya. Hal. 43.

Putra, E.D.L. (2007). Dasar-dasar Kromatografi Gas & Kromatografi Cair Kinerja Tinggi. Medan: Fakultas Farmasi Universitas Sumatera Utara. Hal. 88-91.

Revankar SN, Desai ND, Vaidya, AB, Bhatt AD, Anjaneluyu B., (1994). Determination of Pyrazinamide in Human by High Performance Liquid Chromatography. J. Postgrad Med. 40(1): 7.

Shargel, L., dan Yu, A.B.C. (1988). Biofarmasetika dan Farmakokinetika Terapan. Penerjemah: Fasich dan Sjamsiah. Edisi Kedua. Surabaya: Penerbit Airlangga University Press. Hal. 99-102, 454-456.

Simamora, L. (1997). Penggunaan Kromatografi Cair Kinerja Tinggi Untuk Penetapan Kadar Campuran Diazepam Dan Klorpromazina Dalam Serum In Vitro Dengan Baku Dalam Klorzepoksida Dan Prometazina. Skripsi Jurusan Farmasi FMIPA USU Medan.

Siregar, C.J.P., dan Endang, K. ( 2004 ). Farmasi Klinik Teori dan Terapan. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC. Hal. 120-122.

Tjay, T.H., dan Raharja, K. (2002). Tuberkulostatika. Dalam: Obat-Obat Penting. Edisi kelima. Cetakan Kedua. Jakarta: PT. Elex Media Komputindo Kelompok Gramedia. Hal. 145-146, 151.

Zubaidi, Y. (1995). Tuberkulosis dan Leprostatik. Dalam: Farmakologi dan Terapi. Edisi Keempat. Editor: Sulistia G. Ganiswarna. Jakarta: Balai Percetakan FKUI. Hal. 597-610.


(56)

Lampiran 1. Gambar Alat KCKT dan Syringe 50 µl

Alat KCKT


(57)

Lampiran 2. Gambar Perangkat Penelitian Lainnya

Ultrasonic cleaner


(58)

Lampiran 2. (Lanjutan)

Alat vortex


(59)

Lampiran 2. (Lanjutan)


(60)

(61)

Lampiran 4. Fase gerak


(62)

Lampiran 5. Kromatogram Penyuntikan Larutan Pirazinamida Baku, Fase Gerak Buffer Fosfat pH 7,4 : Metanol (96,8 : 3,2)


(63)

(64)

(65)

Lampiran 8. Kromatogram Penyuntikan Larutan Pirazinamida Baku pada Pembuatan Kurva Kalibrasi

a. Kromatogram dari Larutan Pirazinamida Baku Konsentrasi 4,0614 mM (500 mcg/ml)


(66)

Lampiran 8. (Lanjutan)

b. Kromatogram dari Larutan Pirazinamida Baku Konsentrasi 4,8737 mM (600 mcg/ml)


(67)

Lampiran 8. (Lanjutan)

c. Kromatogram dari Larutan Pirazinamida Baku Konsentrasi 6,0109 mM (740 mcg/ml)


(68)

Lampiran 8. (Lanjutan)

d. Kromatogram dari Larutan Pirazinamida Baku Konsentrasi 8,1228 mM (1000 mcg/ml)


(69)

Lampiran 8. (Lanjutan)

e. Kromatogram dari Larutan Pirazinamida Baku Konsentrasi 10,0723mM (1240 mcg/ml)


(70)

Lampiran 9. Perhitungan Persamaan Regresi dan Kurva Kalibrasi Pirazinamida Baku yang Diperoleh Secara KCKT pada 254 nm

Data Luas Puncak dari Penyuntikan Larutan Pirazinamida Baku Konsentrasi 4,0614 – 10,0723 mM dalam Plasma Darah Pasien TB

Konsentrasi No.

ppm (mcg/ml) mM

Luas puncak

1 500 4,0614 403725

2 600 4,8737 536966

3 740 6,0109 958680

4 1000 8,1228 1506378

5 1240 10,0723 3269483

Data Kalibrasi Pirazinamida Baku Luas Puncak Pirazinamida (y) Terhadap Konsentrasi (x)

No x y x.y x2 y2

1 4,0614 403725 1639527,7150 16,4950 162993875625 2 4,8737 536966 2617011,1942 23,7530 288332485156 3 6,0109 958680 5762529,6120 36,1309 919067342400 4 8,1228 1506378 12236007,2184 65,9799 2269174678884 5 10,0723 3269483 32931213,6209 101,4512 10689519087289 Σ 33,1411 6675232 55186450,3605 243,8099 14329087469354 Rata-rata 6,6282 1335046,4 11037290,0721 48,7620 2865817493870,8 y = a x + b

a =

    

 

2

 

2

x x n y x xy n       

a =

 



 

2

1411 , 33 8099 , 243 5 6675232 1411 , 33 3605 , 55186450 5   a = 1098.3325 1219,0497 2352 221224531, 8025 275932251,   a = 120,7172 673 54707720,5


(71)

y = ax + b b = y – ax

b = 1335046,400 – 453189,0032 (6,6282) b = 1335046,400 – 3003836,4151

b = -1668790,0151

Sehingga diperoleh persamaan regresi y = 453189,0032x - 1668790,0151.

Untuk mencari hubungan kadar (x) dengan luas puncak (y) digunakan pengujian koefisien korelasi (r)

r =

    

 

 

x x n

 

y

 

y n

n y x xy / / / 2 2 2

2     

   

r =

 



(243,8099) 33,1411 /5

14329087469354

 

6675232

/5

5 / 6675232 33,1411 605 55186450,3 2 2    r =

14329087469354 8911744450764,8

) 6665 , 219 8099 , 243 ( 2470 , 44244906 605 55186450,3    r = ) 589,2 5417343018 )( 24,1434 ( 135 10941544,1 r = 382 11436491,0 135 10941544,1


(72)

Lampiran 10. Perhitungan Konsentrasi Obat Pirazinamida dalam Plasma Pasien TB

Dari persamaan regresi y = 453189,0032x - 1668790,0151, maka konsentrasi obat:

3141163 = 453189,0032x - 1668790,0151 453189,0032x = 3141163 +1668790,0151

x =

2 453189,003

51 1668790,01 3141163

x = 10,6136 mM = 0,0106136 M

= 0,0106136 x 123,11 = 1,3066403 gr/L = 1,3066403 mg/ml


(73)

Lampiran 11. Perhitungan Limit of Detection (LOD) dan Limit of Quantitation (LOQ) Pirazinamida Baku

Persamaan garis regresi pirazinamida baku: y = a x - b

y = 453189,0032X - 1668790,0151

No x y yi y-yi (y-yi)2

1 4,0614 403725 171791,8027 231933,1973 53793008015,3202 2 4,8737 536966 539917,2300 -2951,2300 8709758,6594 3 6,0109 958680 1055283,7645 -96603,7645 9332287318,6973 4 8,1228 1506378 2012373,6205 -505995,6205 256031567936,2430 5 10,0723 3269483 2895865,5823 373617,4177 139589974809,2020 Σ(y-yi)2= 458755547838,1220

SD = 2 ) ( 2   n Yi Y = 2 = 391047,9714 5 38,1220  4587555478 LOD = Slope SD  3 , 3 = 2 453189,003 4 391047,971 3 , 3 x

= 2,8475 mM

LOQ = Slope SD  10 = 2 453189,003 4 391047,971 10


(74)

Lampiran 12. Data Pasien

Nama : Bowo

Umur : 22 tahun Jenis Kelamin : Laki-laki Berat Badan : 52 kg


(75)

(76)

(77)

Lampiran 15. Pembuatan Plasma dari Sampel Darah Pasien TB

Diambil darahnya sebanyak 5 ml melalui vena

Dimasukkan ke dalam venoject yang telah terbasahi heparin

Dipisahkan supernatan dari endapan Disentrifugasi dengan kecepatan 4000 putaran per menit selama 5 menit Pasien TB

Darah + heparin di dalam venoject

Lapisan atas (plasma)

Lapisan bawah (endapan)


(78)

Lampiran 16. Pembuatan Plasma Kontrol

Dimasukkan ke dalam venoject yang telah terbasahi heparin

Dipisahkan supernatan dari endapan Disentrifugasi dengan kecepatan 4000 putaran per menit selama 5 menit Diambil darahnya sebanyak 5 ml melalui vena

Lapisan atas (plasma)

Lapisan bawah (endapan)

Plasma

Darah + heparin di dalam venoject


(79)

Lampiran 17. Pembuatan Larutan Induk Baku Pirazinamida

LIB I pirazinamida C= 16,2456 mM

Dimasukkan ke dalam labu ukur 25 ml

Dicukupkan sampai garis tanda Dilarutkan dengan fase gerak Ditimbang sebanyak 50 mg Pirazinamida baku


(80)

Lampiran 18. Penyuntikan Plasma Kontrol

Dipipet sebanyak 300 µl Dimasukkan ke dalam politube

Supernatan Endapan

Ditambahkan 600 µl metanol, lalu divortex Disentrifugasi dengan kecepatan 4000 putaran per menit selama 5 menit

Dipisahkan menggunakan spuit

Disaring menggunakan PTFE ø 0,2 µm

Diinjeksikan ke dalam sistem KCKT sebanyak 20 µL Kromatogram plasma


(81)

Lampiran 19. Pembuatan Linieritas Kurva Kalibrasi Pirazinamida Baku

Dipipet sebanyak 2,5 ml; 3,0 ml; 3,7 ml; 5,0 ml; & 6,2 ml

Supernatan Endapan

LIB I pirazinamida

Dimasukkan ke dalam labu ukur 10 ml Diencerkan dengan fase gerak sampai garis tanda

LIB II dengan C= 4,0614mM; 4,8737mM; 6,0109mM; 8,1228mM & 10,0723mM

Dipipet sebanyak 10 µl

Dimasukkan kedalam vial yang telah dikalibrasi 2 ml

Divortex lalu didiamkan selama 5 menit

Dipisahkan menggunakan spuit

Disaring menggunakan PTFE ø 0,2 µm Diinjeksikan ke dalam sistem KCKT sebanyak 20 µl

Kromatogram

Dipipet sebanyak 300 µl, dimasukkan ke dalam politube Ditambahkan 600 µl methanol, lalu divortex

Disentrifugasi dengan kecepatan 4000 putaran per menit selama 5 menit

Diperoleh Rt dan luas puncak Dihitung persamaan regresi Hasil


(82)

Lampiran 20. Pemeriksaan Kadar Pirazinamida dalam Plasma darah Pasien TB

Ditambahkan 600 µl metanol, lalu divortex Plasma darah pasien TB

Dipipet sebanyak 300 µl Dimasukkan ke dalam politube

Supernatan Endapan

Disentrifugasi dengan kecepatan 4000 putaran per menit selama 5 menit

Dipisahkan menggunakan spuit

Disaring menggunakan PTFE ø 0,2 µm

Diinjeksikan ke dalam sitem KCKT sebanyak 20 µL Plasma + obat

Diperoleh Rt dan luas puncak Dihitung konsentrasi yang didapat Hasil


(1)

Lampiran 15. Pembuatan Plasma dari Sampel Darah Pasien TB

Diambil darahnya sebanyak 5 ml melalui vena

Dimasukkan ke dalam venoject yang telah terbasahi heparin

Dipisahkan supernatan dari endapan Disentrifugasi dengan kecepatan 4000 putaran per menit selama 5 menit Pasien TB

Darah + heparin di dalam venoject

Lapisan atas (plasma)

Lapisan bawah (endapan)

Plasma


(2)

Lampiran 16. Pembuatan Plasma Kontrol

Dimasukkan ke dalam venoject yang telah terbasahi heparin

Dipisahkan supernatan dari endapan Disentrifugasi dengan kecepatan 4000 putaran per menit selama 5 menit Diambil darahnya sebanyak 5 ml melalui vena

Lapisan atas (plasma)

Lapisan bawah (endapan)

Plasma

Darah + heparin di dalam venoject


(3)

Lampiran 17. Pembuatan Larutan Induk Baku Pirazinamida

LIB I pirazinamida C= 16,2456 mM

Dimasukkan ke dalam labu ukur 25 ml

Dicukupkan sampai garis tanda Dilarutkan dengan fase gerak Ditimbang sebanyak 50 mg Pirazinamida baku


(4)

Lampiran 18. Penyuntikan Plasma Kontrol

Dipipet sebanyak 300 µl Dimasukkan ke dalam politube

Supernatan Endapan

Ditambahkan 600 µl metanol, lalu divortex Disentrifugasi dengan kecepatan 4000 putaran per menit selama 5 menit

Dipisahkan menggunakan spuit

Disaring menggunakan PTFE ø 0,2 µm

Diinjeksikan ke dalam sistem KCKT sebanyak 20 µL Kromatogram plasma


(5)

Lampiran 19. Pembuatan Linieritas Kurva Kalibrasi Pirazinamida Baku

Dipipet sebanyak 2,5 ml; 3,0 ml; 3,7 ml; 5,0 ml; & 6,2 ml

Supernatan Endapan

LIB I pirazinamida

Dimasukkan ke dalam labu ukur 10 ml Diencerkan dengan fase gerak sampai garis tanda

LIB II dengan C= 4,0614mM; 4,8737mM; 6,0109mM; 8,1228mM & 10,0723mM

Dipipet sebanyak 10 µl

Dimasukkan kedalam vial yang telah dikalibrasi 2 ml

Divortex lalu didiamkan selama 5 menit

Dipisahkan menggunakan spuit

Disaring menggunakan PTFE ø 0,2 µm Diinjeksikan ke dalam sistem KCKT sebanyak 20 µl

Kromatogram

Dipipet sebanyak 300 µl, dimasukkan ke dalam politube Ditambahkan 600 µl methanol, lalu divortex

Disentrifugasi dengan kecepatan 4000 putaran per menit selama 5 menit

Diperoleh Rt dan luas puncak Dihitung persamaan regresi Hasil

Ditambahkan plasma ke dalam vial sampai garis tanda


(6)

Lampiran 20. Pemeriksaan Kadar Pirazinamida dalam Plasma darah Pasien TB

Ditambahkan 600 µl metanol, lalu divortex Plasma darah pasien TB

Dipipet sebanyak 300 µl Dimasukkan ke dalam politube

Supernatan Endapan

Disentrifugasi dengan kecepatan 4000 putaran per menit selama 5 menit

Dipisahkan menggunakan spuit

Disaring menggunakan PTFE ø 0,2 µm

Diinjeksikan ke dalam sitem KCKT sebanyak 20 µL Plasma + obat

Diperoleh Rt dan luas puncak Dihitung konsentrasi yang didapat Hasil