Plasma t 12nya berkisar antara 1,5 sampai 5 jam dan meningkat bila ada gangguan fungsi hati. Di lain pihak, masa paruh ini akan turun pada pasien yang bersamaan waktu
menggunakan isoniazida. Dalam hati terjadi desasetilasi dengan terbentuknya metabolit- metabolit dengan kegiatan antibakterial. Tjay, 2002.
Rifampisin merupakan senyawa anti mikroba yang sampai saat ini masih menjadi pilihan sebagai obat anti TB Tuberculosis. Dalam sediaan, rifampisin sering
dikombinasikan dengan INH dan etambutol untuk mencapai efek farmakologi yang lebih baik. Bentuk sediaan yang banyak ditemukan diperdagangan umumnya tablet, kapsul
atau kaplet, baik tunggal maupun kombinasi. Efek farmakologi rifampisin sebagai anti tuberkulotik berlangsung melalui mekanisme kerja penghambatan polimerase RNA yang
bergantung pada DNA bakteri. Spektrum kerjanya luas, disamping terhadap mikobakteri, juga efektif terhadap sejumlah bakteri gram positif dan negatif Mutschler, 1996.
Dalam larutan, rifampisin mudah teroksidasi dengan adanya oksigen atmosfer. Reaksi ini dapat dicegah dengan penambahan natrium askorbat sebagai anti oksidan.
Disimpan dalam wadah tidak tembus cahaya, tertutup rapat terlindung dari panas berlebihan. Oleh karena itu pengerjaannya harus betul-betul teliti dan cepat. Untuk
mendapatkan hasil yang optimal tanpa adanya zat yang teroksidasi Florey, 1976.
2.4 Farmakokinetik
Farmakokinetik ialah aspek farmakologi yang mencakup nasib obat dalam tubuh. Faktor faktor farmakokinetik berupa absorpsi, distribusi, ikatan protein dan eliminasi
menentukan kecepatan, jumlah dan lama kehadiran obat dalam jaringan, yang secara tidak langsung mencerminkan saat timbul intensitas dan lama nerlangsungnya respon.
Proses farmakokinetik adalah proses yang dinamis karena dipengaruhi oleh berbagai
Universitas Sumatera Utara
faktor yaitu fisiologi, patologi, genetic, interaksi obat sehingga dapat diramalkan bahwa proses ini tidak sama pada setiap orang. Akibatnya jumah obat yang sampai ke jaringan
tidak sama dan dengan sendirinya suatu obat yang diberi dalam dosis yang sama dapat menghasilkan respom yang berbeda pada sekelompok penderita Simamora, 1997.
Untuk itu faktor farmakokinetik perlu diketahui oleh seorang dokter untuk menetapkan dosis optimum bagi pasien pasien dengan berpedoman pada kadar obat
dalam plasma atau serum. Data farmakokinetik juga penting untuk obat yang memperlihatkan batas keamanan yang sempit, artinya efek toksis dapat terjadi pada kadar
yang sedikit lebih tinggi dari kadar terapinya Simamora, 1997.
2.5 Kromatografi cair kinerja tinggi KCKT
Kromatografi didefenisikan sebagai prosedur pemisahan zat terlarut oleh suatu proses migrasi diferensial dinamis dalam sistem yang terdiri dari dua fase atau lebih,
salah satu diantaranya bergerak secara berkesinambungan dalam arah tertentu dan didalamnya zat –zat itu menunjukkan perbedaan mobilitas disebabkan adanya perbedaan
dalam adsorbsi, partisi, kelarutan, tekanan uap, ukuran molekul atau kerapatan muatan ion. Teknik kromatografi umum membutuhkan zat terlarut terdistribusi diantara dua fase,
satu diantaranya diam fase diam, yang lainnya bergerak fase gerak. Fase gerak membawa zat terlarut melalui media, sehingga zat tersebut terpisah dari zat terlarut lain,
yang terelusi lebih awal atau lebih akhir. Umumnya zat terlarut dibawa melewati media pemisah oleh aliran suatu pelarut berbentuk cairan atau gas yang disebut eluen Depkes
RI, 1995.
Universitas Sumatera Utara
Kelebihan KCKT antara lain:
Mampu memisahkan molekul-molekul dari suatu campuran
Resolusinya baik
Mudah melaksanakannya
Kecepatan analisis dan kepekaannya tinggi
Dapat dihindari terjadinya dekomposisikerusakan bahan yang dianalisis
Dapat digunakan bermacam-macam detektor
Kolom dapat digunakan kembali
Mudah melakukan rekoveri cuplikan
Tekniknya tidak begitu tergantung pada keahlian operator dan reprodusibilitasnya
lebih baik
Instrumennya memungkinan untuk bekerja secara automatis dan kuantitatif
Waktu analisis umumnya singkat
Kromatografi cair preparatif memungkinkan dalam skala besar
Ideal untuk molekul besar dan ion. Keterbatasan metode KCKT adalah untuk identifikasi senyawa, kecuali jika
KCKT dihubungkan dengan spektrometer massa MS. Keterbatasan lainnya adalah jika sampelnya sangat kompleks, maka resolusi yang baik sulit diperoleh Munson, 1991.
2.5.1 Cara Kerja KCKT
Kromatografi merupakan teknik yang mana solut atau zat-zat terlarut terpisah oleh perbedaan kecepatan elusi, dikarenakan solut-solut ini melewati suatu kolom
kromatografi. Pemisahan solut-solut ini diatur oleh distribusi dalam fase gerak dan fase diam. Penggunaan kromatografi cair membutuhkan penggabungan secara tepat dari
Universitas Sumatera Utara
berbagai macam kondisi operasional seperti jenis kolom, fase gerak, panjang dan diameter kolom, kecepatan alir fase gerak, suhu kolom, dan ukuran sampel Rohman,
2007.
2.5.2 Komponen KCKT 2.5.2.1 Pompa
Pompa yang cocok digunakan untuk KCKT adalah pompa yang mempunyai syarat sebagaimana syarat wadah pelarut yakni pompa harus inert terhadap fase gerak.
Bahan yang umum dipakai untuk pompa adalah gelas, baja tahan karat, Teflon, dan batu nilam. Pompa yang dgunakan sebaiknya mampu memberikan tekanan sampai 5000 psi
dan mampu mengalirkan fase gerak dengan kecepatan alir 3 ml menit. Fase gerak dalam KCKT kromatografi cair kinerja tinggi sudah tentu zat cair,
dan untuk menggerakkannya melalui kolom diperlukan alat. Ada dua jenis utama pompa yang digunakan: tekanan-tetap. Pompa pendesakan tetap dapat dibagi lagi menjadi
pompa torak dan pompa semprit. Pompa torak menghasilkan aliran yang berdenyut, jadi memerlukan peredam denyut atau peredam elektronik untuk menghasilakan garis alais
detektor yang stabil jika detektor peka terhadap aliran. Kelebihan utamanya ialah tandonnya tidak terbatas. Pompa semprit menghasilkan aliran yang tak berdenyut, tetapi
tandonnya terbatas Edward dan Stevenson, 1991.
2.5.2.2 Injektor
Cuplikan harus dimasukkan kedalam pangkal kolom kepala kolom, diusahakan agas sesedikit mungkin terjadi gangguan pada kemasan kolom.
Ada tiga jenis dasar injektor, yaitu:
Universitas Sumatera Utara
a. Hentikan aliranstop flow: aliran dihentikan, injeksi dilakukan pada kinerja atmosfir,
sistem tertutup, dan aliran dilanjutkan lagi. Teknik ini bisa digunakan karena difusi di dalam aliran kecil dan resolusi tidak dipengaruhi.
b. Septum: injektor-injektor langsung ke aliran fase gerak umumnya sama dengan yang
digunakan pada kromatografi gas. Injektor ini dapat digunakan pada kinerja sampai 60-70 atmosfir. Tetapi septum ini tidak tahan dengan semua pelarut-pelarut
kromatografi cair. Disamping itu, partikel kecil dari septum yang terkoyak akibat jarum injektor dapat menyebabkan penyumbatan.
c. Katup putaran loop valve: ditunjukkan secara skematik dalam Gambar 5, tipe
injektor ini umumnya digunakan untuk menginjeksi volume lebih besar daripada 10 µl dan sekarang digunakan dengan cara otomatis dengan adaptor khusus, volume-
volume lebih kecil dapat diinjeksikan secara manual. Pada posisi LOAD, sampel loop cuplikan dalam putaran diisi pada tekanan atmosfir. Bila katup difungsikan,
maka cuplikan di dalam putaran akan bergerak ke dalam kolom.
2.5.2.3 Kolom
Menurut Edward dan Stevenson 1991, kolom merupakan jantung kromatograf. Keberhasilan atau kegagalan analisis bergantung pada pilihan kolom dan kondisi kerja
yang tepat. Kolom dapat dibagi menjadi dua kelompok yaitu:
Universitas Sumatera Utara
a Kolom analitik: garis tengah-dalam 2-6 mm. Panjang bergantung pada jenis
kemasan, untuk kemasan, untuk kemasan pelikel biasanya panjang kolom 50-100 cm, untuk kemasan mikropartikel berpori biasanya 10-30 cm.
b Kolom preparatif: umumnya bergaris tengah 6 mm atau lebih besar dan panjang
25-100 cm.
2.5.2.4 Detektor
Suatu detektor dibutuhkan untuk mendeteksi adanya komponen cuplikan dalam aliran yang keluar dari kolom. Detektor-detektor yang baik memiliki sensitifitas yang
tinggi, gangguan noise yang rendah, kisar respons linier yang luas, dan memberi tanggapanrespon untuk semua tipe senyawa. Suatu kepekaan yang rendah terhadap
aliran dan fluktuasi temperatur sangat diinginkan, tetapi tidak selalu dapat diperoleh. Detektor yang paling banyak digunakan dalam kromatografi cair modern
kecepatan tinggi adalah detektor spektrofotometer UV 254 nm. Bermacam-macam detektor dengan variasi panjang gelombang UV-Vis sekarang menjadi populer karena
mereka dapat digunakan untuk mendeteksi senyawa-senyawa dalam rentang yang luas. Detektor indeks refraksi juga secara luas digunakan, terutama dalam kromatografi
eksklusi, tetapi umumnya kurang sensitif dari pada detektor spektrofotometer UV. Detektor lainnya, antara lain: detektor fluometer, detektor ionisasi nyala, detektor
elektrokimia dan lain-lain juga telah digunakan. Detektor diperlukan untuk mengindera adanya komponen cuplikan di dalam
efluen kolom da mengukur jumlahnya. Detektor yang baik sangat peka, tidak banyak berderau, rentang tanggapan liniernya lebar, dan menanggapi semua jenis senyawa.
Universitas Sumatera Utara
Detektor yang merupakan tulang punggung kromatografi cair kecepatan tinggi modern KCKT ialah detektor UV 254 nm Edward dan Stevenson, 1991.
2.5.2.5 Fase Gerak
Menurut Edward dan Stevenson 1991, pada kromatografi cair, susunan pelarut atau fase gerak merupakan salah satu peubah yang mempengaruhi pemisahan. Berbagai
macam pelarut dipakai dalam semua ragam KCKT, tetapi ada beberapa sifat yang diinginkan yang berlaku umum.
Fase gerak haruslah:
Murni, tanpa cemaran.
Tidak bereaksi dengan kemasan.
Sesuai dengan detektor.
Dapat melarutkan cuplikan.
Mempunyai viskositas yang rendah.
Memungkinkan memperoleh kembali cuplikan dengan mudah, jika diperlukan.
Harganya wajar. Umumnya, pelarut-pelarut dibuang setelah digunakan karena prosedur pemurnian
kembali membosankan dan mahal. Dari semua persyaratan di atas, 4 persyaratan pertama adalah yang paling penting. Gelembung udara degassing yang ada harus dihilangkan
dari pelarut, karena udara yang terlarut keluar melewati detektor dapat menghasilkan banyak noise sehingga data tidak dapat digunakan Putra, 2007.
Universitas Sumatera Utara
2.6 Pengolahan Data
Komponen yang terelusi mengalir ke detektor dan dicatat sebagai puncak-puncak yang secara keseluruhan disebut sebagai kromatogram.
W W
12
H
12
H Rt
Area
Gambar Kromatogram
2.6.1 Guna kromatogram
1. Kualitatif
Waktu retensi selalu konstan dalam setiap kondisi kromatografi yang sama dapat digunakan untuk identifikasi.
2. Kuantitatif
Luas puncak proporsional dengan jumlah sampel yang diinjeksikan dan dapat digunakan untuk menghitung konsentrasi.
3. Kromatogram dapat digunakan untuk mengevaluasi efisiensi pemisahan dan
kinerja kolom kapasitas ‘k’, selektifitas ‘ ’, jumlah pelat teoritis ‘N’, jarak
setara dengan pelat teoritis ‘HETP’ dan resolusi ‘R’.
2.6.2 Elusi Gradien dan Isokratik
Elusi pada KCKT dapat dibagi menjadi dua sistem yaitu: 1.
Sistem elusi isokratik. Pada sistem ini, elusi dilakukan dengan satu macam atau lebih fase gerak dengan perbandingan tetap komposisi fase gerak tetap selama elusi.
Universitas Sumatera Utara
2. Sistem elusi gradien. Pada sistem ini, elusi dilakukan dengan campuran fase gerak
yang perbandingannya berubah-ubah dalam waktu tertentu komposisi fase gerak berubah-ubah selama elusi.
Elusi gradien didefinisikan sebagai penambahan kekuatan fase gerak selama suatu analisis kromatografi berlangsung. Digunakan untuk meningkatkan resolusi campuran
yang kompleks terutama jika sampel mempunyai kisaran polaritas yang luas. Pengaruh yang menguntungkan dari elusi gradien adalah memperpendek waktu analisis senyawa-
senyawa yang secara kuat ditahan di dalam kolom Putra, 2007. Baku dalam terutama merupakan ragam yang berguna karena pemakaiannya
secara tepat dapat memperkecil galat yang disebabkan oleh penyiapan cuplikan, peralatan dan cara.
Ada beberapa persyaratan yang harus dipenuhi oleh senyawa baku yakni: a.
harus terpisah sama sekali dari puncak cuplikan b.
harus terelusi dekat dengan puncak yang diukur c.
konsentrasi dan tanggapan detektornya harus sama dengan konsentrasi dan tanggapan detektor puncak yang diukur
d. tidak boleh bereaksi dengan komponen cuplikan
e. tidak terdapat dalam cuplikan asal
Secara singkat, cara ini mencakup penambahan bahan baku yang jumlahnya diketahui. harus sangat murni dan mudah diperolehKemudian campuran itu dibuat untuk
disuntikkan ke dalam kromatogram. Berdasarkan luas puncak senyawa baku dan luas puncak komponen yang diminati, kita dapat menentukan susunan. Cara ini tidak
mengandaikan semua komponen terelusi dan dideteksi. Pada kenyataannya, cara ini
Universitas Sumatera Utara
sering menunjukkan bahwa memang ada komponen lain di dalam cuplikan asal, tetapi tidak ditentukan Johnson dan Stevenson, 1991.
2.7 Pemantauan Kadar Terapeutik
Menurut Armen Muchtar 1985, yang dimaksud dengan monitoring kadar terapeutik obat adalah pemeriksaan secara berkala kadar obat dalam darah guna
membantu klinisi dalam menetapkan dosis obat yang dapat menyembuhkan atau mengobati penyakit penderita. Dalam praktek, pemberian obat pada umumnya didasarkan
atas dosis rata-rata, yaitu dosis yang diperkirakan memberikan efek terapeutik dengan efek samping minimal. Perbedaan individual kadar obat dalam keadaan steady state ini
barangkali tidak menimbulkan masalah dalam penentuan besar dosis bila Therapeutik window dari obat yang bersangkutan cukup besar. Tetapi bila Therapeutic window suatu
obat sempit, individualisasi dosis dengan mudah dapat dilakukan bila efek obat mudah diukur, sehingga besar dosis dapat dititrasi sesuai dengan intensitas respons yang sedang
diamati. Bila respons penderita sukar diamati dengan segera, misalnya karena tujuan pengobatan bersifat profilaksis, atau sukar membedakan efek akibat dosis berlebihan
dengan gejala penyakit, titrasi dosis hanya dapat dilakukan dengan baik berdasarkan panduan kadar obat dalam darah. Dengan demikian dapat diringkaskan bahwa monitoring
kadar terapeutik obat bermanfaat dilakukan guna menentukan dosis dari obat-obat yang: 1.
Kecepatan metabolisme berbeda nyata secara individual. 2.
Mempunyai therapeutic window yang sempit. 3.
Efek terapeutiknya sukar atau tidak segera dapat diukur. 4.
Gejala penyakit sukar dibedakan dengan efek samping obat. 5.
Kecepatan metabolisme mudah jenuh.
Universitas Sumatera Utara
Tujuan dari proses pemantauan terapi obat adalah menyesuaikan terapi obat pada karakteristik pasien individu, memaksimalkan manfaat dan meminimalkan resiko.
Respon terhadap terapi obat adalah suatu fenomena yang kompleks dan dipengaruhi oleh obat yang digunakan pasien yang diterimanya dari dokter yang menulisnya. Berbagai
sifat farmakokinetik seperti absorbsi, distribusi, metabolisme, ekskresi dan durasi kerja harus dipertimbangkan apabila mendesain suatu regimen obat Siregar dan Endang,
2004. Perbedaan individual kadar obat dalam keadaan steady state ini barangkali tidak
menimbulkan masalah dalam penentuan besar dosis bila Therapeutik window dari obat yang bersangkutan cukup besar. Tetapi bila Therapeutic window suatu obat sempit,
individualisasi dosis dengan mudah dapat dilakukan bila efek obat mudah diukur, sehingga besar dosis dapat dititrasi sesuai dengan intensitas respons yang sedang diamati.
Bila respons penderita sukar diamati dengan segera, misalnya karena tujuan pengobatan bersifat profilaksis, atau sukar membedakan efek akibat dosis berlebihan dengan gejala
penyakit, titrasi dosis hanya dapat dilakukan dengan baik berdasarkan panduan kadar obat dalam darah. Dengan demikian dapat diringkaskan bahwa monitoring kadar
terapeutik obat bermanfaat dilakukan guna menentukan dosis dari obat-obat yang: 1.
Kecepatan metabolisme berbeda nyata secara individual. 2.
Mempunyai therapeutic window yang sempit. 3.
Efek terapeutiknya sukar atau tidak segera dapat diukur. 4.
Gejala penyakit sukar dibedakan dengan efek samping obat. 5.
Kecepatan metabolisme mudah jenuh.
Universitas Sumatera Utara
Dalam pemberian obat-obat yang poten kepada penderita, sudah seharusnya mempertahankan kadar obat dalam plasma berada dalam batas yang dekat dengan
konsentrasi terapetik. Berbagai metode farmakokinetik dapat digunakan untuk menghitung dosis awal atau aturan dosis. Biasanya, aturan dosis awal dihitung secara
empirik atau diperkirakan setelah mempertimbangkan dengan hati-hati farmakokinetika obat yang diketahui, kondisi patofisiologik penderita dan riwayat penggunaan obat dari
penderita Shargel, 1988. Karena perubahan antar penderita dalam hal absorpsi, distribusi dan eliminasi obat
maupun perubahan kondisi patofisologik penderita, maka dalam beberapa rumah sakit telah ditetapkan adanya pelayanan pemantauan terapetik obat TDM untuk menilai
respons penderita terhadap aturan dosis yang dianjurkan. Fungsi dari pelayanan TDM dicantumkan berikut ini.
Memilih obat.
Merancang aturan dosis.
Menilai respons penderita.
Menentukan perlunya pengukuran konsentrasi obat dalam serum.
Menetapkan kadar obat.
Melakukan penilaian sacara farmakokinetik kadar obat.
Menyesuaikan kembali aturan dosis.
Memantau konsentrasi obat dalam serum.
Menganjurkan adanya persyaratan khusus.
Sebagian besar anggapan yang dibuat oleh praktisi menyatakan bahwa konsentrasi obat dalam serum berkaitkan dengan efek terapetik danatau efek toksik obat.
Universitas Sumatera Utara
Untuk banyak obat, studi klinik telah menunjukan bahwa ada suatu rentang efektif terapetik dari konsentrasi obat dalam serum. Oleh karena itu, pengetahuan tentang
konsentrasi obat dalam serum dapat menjelaskan mengapa seorang penderita tidak memberikan reaksi terhadap terapi obat, atau mengapa penderita mengalami suatu efek
yang tidak diinginkan. Sebagai tambahan, praktisi mungkin ingin menjelaskan ketelitian dari aturan dosis Shargel, 1988.
Universitas Sumatera Utara
BAB III METODOLOGI PENELITIAN
Penelitian ini merupakan penelitian deskriptif dan pengukuran dilakukan dengan menggunakan alat KCKT. Penelitian ini dilakukan di Laboratorium Biofarmasi dan di
Laboratorium Penelitian Fakultas Farmasi USU.
3.1 Alat
Alat-alat yang digunakan pada penelitian ini adalah timbangan, beaker gelas, neraca analitis Baecho, pipet tetes, tabung sentrifugasi, rak tabung, gelas ukur, alat
vortex Health HVM-400, alat sentrifugasi Health HC 1120T, termos es, spuit 1 ml, spuit 3 ml, politube, mikropipet, batang pengaduk, vial 2 ml, satu unit alat KCKT Agilent
1120 Compact LC, kolom ODS, wadah solven, injektor, syringe 50 µl, pompa vakum Gast DOA-PG04-BN, sonifikator Branson 1510, kertas membran filter whatman
cellulosa nitrate 0,45 µm, kertas membran filter PTFE 0,5 µm, penyaring PTFE 0,2 µm.
3.2 Bahan
Bahan–bahan yang digunakan dalam penelitian ini yaitu: Acetonitril grade HPLC E.Merck, Rifampisin ARS ASEAN Reference Substance, Vitamin C E.Merck,
serum darah dari darah pasien TBC, serum darah relawan, kalium dihidrogen fosfat p.a E. Merck, aquabidest Ika Pharmindo Putra Mas, Heparin sodium inj PT. B.Broun
Medical Indonesia.
3.3 Pengambilan Sampel
Sampel yang diperiksa dalam penelitian ini adalah plasma darah pasien penderita TB yang sedang menjalani perawatan di klinik Dr. Zainuddin Amir, DSP ahli penyakit
saluran pernapasan di Jl. Jemadi Medan. Pasien yang diambil darahnya adalah pasien
Universitas Sumatera Utara