Penutur dan Petutur Konteks

yang muncul pada peristiwa tutur yang berbeda akan memunculkan fungsi dan jenis tindak tutur yang berbeda pula. Beberapa peristiwa tutur yang perlu mendapat perhatian dalam menganalisis sebuah tindak tutur yang menggunakan umpasa masyarakat Batak Toba dalam rapat adat antara lain adalah yang disebut oleh Bauman dan kawan- kawan dengan emosi penutur emotional state of speaker, identitas sosial penutur social identity of speaker, dan tingkat keakraban arrangement of participants spatially Bauman, dkk. 1974: 217; 225-226. Dengan kata lain, untuk memaknai, menentukan jenis, dan fungsi sebuah tindak tutur yang menggunakan umpasa masyarakat Batak Toba dalam rapat adat tidak dapat terlepas dari beberapa faktor peristiwa di atas.

2.2.3. Penutur dan Petutur

Para ahli seperti Leech 1983, dan Wijana 1996 menggunakan istilah penutur yang mengacu kepada pembicara, dan istilah petutur mangacu kepada pendengar. Wijana 1996: 11 mengemukakan aspek-aspek penting yang perlu diperhatikan pada penutur dan petutur, antara lain usia, latar belakang sosial ekonomi, jenis kelamin, dan tingkat keakraban.

2.2.4. Konteks

Konteks merupakan hal yang penting dalam kajian bahasa. Faktor lain yang secara sistematis juga menentukan makna, jenis, dan fungsi suatu tindak tutur adalah konteks. Schiffrin 1994: 365 mengemukakan bahwa “speech act theory and pragmatics both view context in terms of knowledge: what speakers and hearers Universitas Sumatera Utara can be assumed to know e.g about social intitutions, about other’s wants and needs, about the nature of human rationality and how that knowledge guides the use of language and the interpretation of utterances”. Konteks linguistik adalah berupa urutan kata yang membentuk suatu frase atau kalimat serta unsur suprasegmental yang menyertai seperti pada kontruksi- kontruksi berikut. 2-1 a. Shut up b. Be quiet c. Would you please be quiet? d. Keep your voice down a little please. Palmer 1976: 36 Tindak tutur 2-1a, sekalipun memiliki makna yang sama dengan tindak tutur 2-1b, c, dan d terdapat hirarki gradasi kesopanan dan status penutur akibat penggunaan kode dan simbol linguistik yang berbeda. Palmer 1976: 36 mengindikasikan secara implisit bahwa sebutan would you please be quiet 1c dalam bahasa Inggris dianggap lebih santun daripada tindak tutur be quiet 2-1b atau shut up 2-1a. Aspek di luar komponen internal bahasa seperti terminologi konteks situasi context of situation dan konteks budaya context of culture merupakan konteks nonlinguistik yang sangat berperan pula dalam menelaah sebuah tindak tutur seperti terlihat pada contoh berikut. 2-2 What about the weather. Palmer 1976: 36 2-3 Anda ingin minum? Universitas Sumatera Utara Tindak tutur 2-2 di atas misalnya yang digunakan masyarakat Barat sebagai “ salam perkenalan” tidak digunakan oleh orang Indonesia. Hal sejenis terdapat pula pada pertanyaan seperti 2-3 Anda ingin minum?. Pertanyaan 2-3 itu jika ditujukan bagi orang Barat akan bermakna minuman whisky atau beer. Pertanyaan itu lebih berorientasi kepada air putih, kopi atau teh bagi orang Indonesia. Paradigma itu menandakan perlunya penelaahan tentang konteks nonlinguistik dalam penelaahan sebuah tindak tutur. Parera 1990: 120 mengemukakan tiga ciri yang harus dipenuhi untuk terciptanya suatu konteks, yaitu 1 seting, 2 kegiatan, dan 3 hubungan relasi. Interaksi ketiganya membentuk konteks: 1. Seting meliputi: a. unsur-unsur material yang ada di sekitar peristiwa interaksi berbahasa, b. tempat, dan c. waktu. 2. Kegiatan: semua tingkah laku yang terjadi dalam interaksi, seperti berbahasa sendiri, juga termaksud kesan, perasaan, tanggapan dan persepsi penutur dan petutur. 3. Hubungan relasi meliputi hubungan antara penutur dan petutur yang ditentukan oleh a jenis kelamin, b umur, c kedudukan; status, peran, prestise d hubungan keluarga, dan e hubungan kedinasan. Seting, kegiatan dan hubungan ditentukan secara kultural. Universitas Sumatera Utara

2.3. Kerangka Teori