Latar Belakang Implementasi Putusan Mahkamah Konstitusi No.92/Puu-X/2012 Ke Dalam Undang-Undang No.17 Tahun 2014 Tentang Mpr, Dpr, Dpd Dan Dprd

1 BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Dalam sejarah perkembangan ilmu hukum tata negara, konstitusi diberi arti yang berubah-ubah sejalan dengan perkembangan kedua ilmu tersebut. Pengertian terhadap konstitusi dapat kita bagi dalam dua pengertian, yaitu pengertian yang lama ancien regime masa pemerintahan - pemerintahan kuno dan pengertian yang baru yaitu konstitusi menurut tafsiran modern. 2 Menurut pengertian lama, konstitusi diartikan sebagai nama bagi ketentuan-ketentuan yang menyebut hak-hak dan kekuasaan-kekuasaan dari orang-orang tertentu, keluarga-keluarga tertentu yang berkuasa, ataupun badan- badan tertentu seperti masa-masa pemerintahan kerajaan absolut monarki. Sedangkan pengertian yang baru dimulai pada tahun 1776 dengan lahirnya Virginia Bill of Rights, dan tahun 1776 tersebut merupakan tahun penting dalam sejarah negara-negara dan ketatanegaraan dunia, karena tahun itulah merupakan pangkal lahirnya pengertian konstitusi menurut bentuk dan jiwanya yang baru Virginia Bill of Rights dan kemudian disusul oleh konstitusi Amerika Serikat pada tanggal 17 September 1787. 3 Dalam perkembangan ilmu tentang konstitusi, lahir teori-teori tentang konstitusi dan keberadaan teori konstitusi dilandasi pemahaman tentang pengertian paham “konstitualisme” yang memiliki arti “pembatas terhadap 2 Solly Lubis, Hukum Tata Negara : Mandar Maju, Bandung, 2008. hal 29. 3 Ibid, Hal 30. 2 kekuasaan penguasa oleh aturan hukum agar pemerintah tidak sewenang- wenang”. Lalu lahirlah istilah pembatasan kekuasaan yang dimaknai bahwa kekuasaan negara sebagai masyarakat politik berada di bawah supremasi hukum dan konstitusi memberikan jaminan perlindungan terhadap hak-hak asasi manusia. 4 Teori Klasik mengenal pemisahan kekuasaan separation of power dikenal dengan nama “Trias Politika” dari Montesquieu yang merupakan seorang filsuf Perancis. Nama atau Istilah “Trias Politika” itu diberikan oleh Imanuel Kant yang merupakan filsuf Jerman. Inti dari teori “Trias Politika” adalah menjelaskan bahwa kekuasaan negara dipisahkan menjadi tiga komponen kekuasaan, yaitu: Kekuasaan Legislatif, kekuasaan Eksekutif, dan kekuasaan Yudisial. 5 Pemisahan kekuasaan ini bertujuan untuk mencegah terjadinya negara absolut dan untuk melindungi hak-hak warga negara, karena menurut Montesquieu apabila ketiga kekuasaan tersebut berada di satu tangan maka kebebasan akan berakhir. 6 Dalam konstitusi Indonesia setelah perubahan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 7 4 I dewa Gede Atmadja. Teori Konstitusi dan Konsep Negara Hukum. Setara Press. Malang. 2015. Hal 1. dapat dikatakan bahwa teori pembagian kekuasaan di dalam UUD 1945 tidak menganut teori “Trias Politika”. Hal ini terlihat dari pembagian kekuasaan yang ada pada UUD 1945, yakni adanya “check and balances” antara lembaga negara yang mendapat mandat langsung 5 Jimlly Ashiddiqie, Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara Jilid II, Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi RI, Jakarta. 2006. Hlm 7. 6 Op. cit. I dewa Gede Atmadja. Hal 95. 7 Penulisan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 untuk seterusnya dalam skripsi ini menjadi UUD 1945. 3 melalui pemilihan umum, yaitu Badan Legislatif serta Presiden dan Wakil Presiden. Bahkan ditambah juga dengan Mahkamah Agung dan Mahkamah Konstitusi yang masing-masing menjalankan kekuasaan kehakiman sesuai dengan kewenangannya, dimana kewenangan Mahkamah Agung diatur dalam pasal 24A dan kewenangan Mahkamah Konstitusi diatur dalam pasal 24C UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945. 8 Lembaga Negara menurut UUD 1945 hasil amandemen juga dilengkapi dengan lembaga negara yang mendukung terwujudnya negara hukum yang demokratis, seperti Komsi Yudisial, Komisi Pemilihan Umum, Badan Pengawas Keuangan dan Bank Indonesia Bank Sentral dan Komisi mandiri lainnya. Dengan terwujudnya negara hukum maka kekuasaan negara akan terikat pada hukum 9 dan dengan asas negara hukum maka setiap aktivitas negara harus berdasarkan norma hukum yang berlaku termasuk dalam pembentukan suatu Lembaga Negara. 10 Pada Badan Legislatif, penataan kelembagaan negara melalui amandemen konstitusi ketiga yang kemudian akhirnya melahirkan Dewan Perwakilan Daerah 11 8 Op. cit. I dewa Gede Atmadja. Hal 96. , hal ini tidak serta merta muncul jatuh dari langit atau lahir sendirinya. Hal ini merupakan pengejawantahan dari ruh yang menjiwai lahirnya UUD 1945 merupakan produk sosiologi politik setelah melalui proses pergumulan panjang dalam sejarah hubungan pusat dan daerah di negeri ini, sebagai bagian dari 9 Merphin Panjaitan, Logika Demokrasi, Jakarta. Permata Aksara. 2013. Hlm 128. 10 I Dewa Gede Atmadja, Hukum Konstitusi, Malang. Setara Press. 2012. Hlm 168. 11 Penulisan Dewan Perwakilan Daerah untuk seterusnya dalam skripsi ini menjadi DPD. 4 tuntutan reformasi 1998. DPD memiliki fungsi yang berbeda dengan Dewan Perwakilan Rakyat, DPD diatur dalam Bab VII A UUD 1945. Tentang pemilihan DPD diatur pada Pasal 22C UUD 1945 dan kewenangan DPD diatur pada pasal 22D UUD 1945. 12 Wewenang dalam hukum tata negara dapat dideskripsikan sebagai kekuasaan hukum 13 dan wewenang untuk mengatur dan membuat aturan pada dasarnya domain kewenangan lembaga legislatif. 14 Pasal 22D Ayat 1 Dalam UUD 1945, kewenangan untuk mengatur dan membuat aturan terkait urusan daerah dimiliki oleh DPD dan diatur dalam Pasal 22D ayat 1, 2, dan 3 UUD 1945, yaitu: Dewan Perwakilan Daerah dapat mengajukan kepada Dewan Perwakilan Rakyat Rancangan Undang-undang yang berkaitan dengan otonomi daerah, hubungan pusat dan daerah, pembentukan dan pemekaran serta penggabungan daerah, pengelolaan sumber daya alam dan sumber daya ekonomi lainnya, serta yang berkaitan dengan perimbangan keuangan pusat dan daerah. Pasal 22D Ayat 2 Dewan Perwakilan Daerah ikut membahas Rancangan Undang-Undang yang berkaitan dengan otonomi daerah; hubungan pusat dan daerah; pembentukan, pemekaran, dan penggabungan daerah; pengelolaan sumber daya alam dan sumber daya ekonomi lainnya, serta perimbangan keuangan pusat dan daerah; serta memberikan pertimbangan kepada Dewan Perwakilan Rakyat atas rancangan undang-undang anggaran pendapatan dan belanja negara dan rancangan undang-undang yang berkaitan dengan pajak, pendidikan, dan agama. 12 Ginandjar Kartasasmita. DPD Dalam Perspektif Ketatanegaraan Indonesia. 2009. Hal 71. 13 Victor Imanuel W. Nalle, Konsep Uji Materil, Malang, Setara Press. 2013. Hlm 21. 14 Jimly Asshiddiqie, Perihal Undang-Undang, Jakarta, Rajawali Pers, 2010. Hlm 11. 5 Pasal 22D Ayat 3 Dewan Perwakilan Daerah dapat melakukan pengawasan atas pelaksanaan undang-undang mengenai : otonomi daerah, pembentukan, pemekaran dan penggabungan daerah, hubungan pusat dan daerah, pengelolaan sumber daya alam dan sumber daya ekonomi lainnya, pelaksanaan anggaran pendapatan dan belanja negara, pajak, pendidikan, dan agama serta menyampaikan hasil pengawasannya itu kepada Dewan Perwakilan Rakyat sebagai bahan pertimbangan untuk ditindaklanjuti. Tugas-tugas dan wewenang konstitusional DPD sebagai perwakilan rakyat berorientasi kepada kepentingan-kepentingan di wilayah atau daerah. Hal ini merupakan dasar atau rujukan lebih lanjut tentang DPD. Pengaturan DPD masih memerlukan rincian lebih lanjut dalam bentuk Undarng-Undang sebagaimana diamanatkan dari UUD 1945 itu sendiri. 15 Ketentuan yang terdapat pada Pasal 22D UUD 1945 telah diatur lebih lanjut dalam beberapa Undang-Undang, yaitu Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2003 tentang Susunan dan Kedudukan Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah 16 yang kemudian digantikan dengan Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2009 17 Setelah lahirnya Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2009 tentang MPR, DPR, DPD dan DPRD, DPD mengajukan pengujian Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2009 kepada Mahkamah Konstitusi. Beberapa ketentuan dari Undang- tentang MPR, DPR, DPD dan DPRD. 15 Op. Cit. Solly Lubis. Hukum Tata Negara . hal 94. 16 Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2003 tentang Susunan dan Kedudukan MPR, DPR, DPD, dan DPRD Lembaran Negara Nomor 92 Tahun 2003 dan Tambahan Lembaran Negara Nomor 4310. Untuk seterusnya penulisan Majelis Permusyawaratan Rakyat akan disingkat menjadi MPR, Dewan Perwakilan Rakyat disingkat menjadi DPR dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah menjadi DPRD. 17 Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2009 tentang MPR, DPR, DPD, DPRD Lembaran Negara Tahun Nomor 123 Tahun 2009 dan Tambahan Lembaran Negara Nomor 5043. 6 Undang tersebut dianggap tidak sesuai oleh DPD dengan yang diamanatkan dalam UUD 1945 tentang ketentuan kewenangan DPD dalam proses pembentukan Undang-Undang, baik kewenangan dalam proses pengajuan Rancangan Undang- Undang dan kewenangan dalam proses pembahasan Undang-Undang. DPD ingin memiliki kedudukan yang sama dengan Dewan Perwakilan Rakyat dan Presiden dalam hal kedudukan mengajukan dan membahas proses Rancangan Undang-Undang. Permohonan pengujian Undang-Undang yang diajukan kepada Mahkamah Konstitusi ini melahirkan sebuah babak baru bagi DPD untuk memperjelas dan mempertegas hak konstitusionalnya sebagai lembaga Legislatif di Indonesia. Dan akhirnya lewat Putusan Mahkamah Konstitusi perkara nomor 92PUU-X2012 ini, Mahkamah Konstitusi memperluas kewenangan DPD khususnya kedudukan DPD dalam pembentukan Undang- Undang. Putusan ini ditetapkan pada tanggal 27 Maret 2013 dan putusan ini merubah arah politik ketatanegaraan Republik Indonesia. Putusan Mahkamah Konstitusi ini memperkuat posisi lembaga DPD dan mengubah fungsi dari DPD sebagai lembaga legislatif yang memiliki hak dan kewenangan untuk menjadi lembaga yang setara dengan lembaga Dewan Perwakilan Rakyat dalam pembentukan peraturan perUndang-Undangan khusunya di konteks kepentingan daerah seperti otonomi daerah, hubungan pusat dan daerah, pembentukan dan pemekaran serta penggabungan daerah, pengelolaan sumber daya alam dan sumber daya ekonomi lainnya, serta perimbangan keuangan pusat dan daerah. Berdasarkan pengujian tersebut DPD berhak atau berwenang untuk mengusulkan 7 rancangan Undang-Undang tertentu terkhusus dalam lingkup urusan daerah yaitu menyusun program legislasi nasional prolegnas di lingkungan DPD bahkan ikut membahasnya dari tahap awal hingga di tahap akhir tetapi DPD tetap tidak memberi persetujuan atau pengesahan sebuah rancangan Undang-Undang. Lalu di dalam kehidupan legislatif Indonesia, muncul Undang-Undang baru mengatur tentang MPR, DPR, DPD dan DPRD dari Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2009 menjadi Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2014 dimana Undang- Undang ini merupakan Undang-Undang yang lahir pasca putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 92PUU-X2012. Mengingat putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 92PUU-X2012 maka perlu dilakukan penelitian untuk menilai seberapa jauh kesesuaian isi atau kesesuaian substansi Putusan Mahkamah Konstitusi dalam rumusan Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2014 tentang MPR, DPR, DPD dan DPRD 18

B. Perumusan Masalah