Kewenangan Legislasi Dewan Perwakilan Daerah Berdasarkan Undang-

21

B. Kewenangan Legislasi Dewan Perwakilan Daerah Berdasarkan Undang-

Undang Dasar, Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2003 dan Undang- Undang Nomor 27 Tahun 2009 Sebelum Putusan Mahkamah Konstitusi Legislatif mencerminkan suatu fungsi, yaitu legislate, atau membuat Undang-Undang. 37 Pengaturan dalam UUD 1945 sebelum amademen menegaskan bahwa kekuasaan membentuk Undang-Undang berada di tangan Presiden. Hal ini diatur pada Pasal 5 Ayat 1 UUD 1945 sebelum amandemen, yang menentukan sebagai berikut: “ Presiden memegang kekuasaan membentuk undang-undang dengan persetujuan DPR”. Tetapi dalam pasal 21 Ayat 1 UUD 1945 sebelum amademen, juga menentukan bahwa “Anggota-anggota Dewan Perwakilan Rakyat berhak mengajukan rancangan undang-undang”. Dari ketentuan dua pasal ini, jelas terlihat bahwa kekuasaan membentuk undang-undang jelas berada di tangan Presiden, Dewan Perwakilan Rakyat hanya pada batas memberikan persetujuan. Namun, anggota Dewan Perwakilan Rakyat dapat mengajukan undang-undang pada Presiden. Badan tersebut mengutamakan unsur “berkumpul” untuk membicarakan masalah-masalah publik dan merundingkan, mengutamakan keterwakilan anggota-anggotanya. Keputusan-keputusan yang diambil oleh badan tersebut, baik yang bersifat kebijakan maupun Undang-Undang yang mengikat seluruh masyarakat 38 Perubahan pertama UUD 1945 disahkan dalam Sidang Umum MPR-RI yang diselenggarakan antara tanggal 12 sampai tanggal 19 Oktober 1999. 37 Miriam Budiardjo, Dasar-Dasar Ilmu Politik, Jakarta, Gramedia, 2009, hlm 315. 38 Pasal 5 Ayat 1 dan Pasal 21 Ayat 1 UUD Sebelum Amandemen. 22 Pengesahan naskah Perubahan Pertama tepatnya dilakukan pada tanggal 19 Oktober 1999. Pasca amandemen yang pertama, UUD 1945 terjadi perubahan pada fungsi legislasi Dewan Perwakilan Rakyat. Sebelum amandemen pada UUD 1945, Dewan Perwakilan Rakyat mempunyai fungsi legislasi yang lemah dalam proses pembentukan Undang-Undang. Kewenangan Dewan Perwakilan Rakyat terkait dengan fungsi legislasi tercantum dalam Pasal 20 Ayat 1 sampai dengan Ayat 3 UUD 1945 yaitu: 1 Dewan Perwakilan Rakyat memegang kekuasaan membentuk undang-undang; 2 Setiap rancangan undang-undang dibahas oleh Dewan Perwakilan Rakyat dan Presiden untuk mendapat persetujuan bersama; 3 Jika rancangan undang-undang itu tidak mendapat persetujuan bersama, rancangan undang-undang itu tidak boleh diajukan lagi dalam persidangan Dewan Perwakilan Rakyat masa itu. Pada Pasal 20A Ayat 1, Dewan Perwakilan Rakyat memiliki fungsi yaitu fungsi legislasi, anggaran, dan pengawasan. Fungsi legislasi mempertegas kedudukan Dewan Perwakilan Rakyat sebagai lembaga legislatif yang menjalankan kekuasaan membentuk undang-undang. 39 Pasca Amandemen ketiga lahirlah lembaga baru yang bernama DPD. Kewenangan DPD dimuat dalam Pasal 22D UUD 1945 dimana DPD mempunyai fungsi, tugas dan kewenangan dalam bidang legislasi, namun cakupan bidang legislasi dari DPD sebatas hanya yang berkaitan dengan daerah. Membaca dari 39 Pasal 20 Ayat 1, 2, 3 dan Pasal 20A Ayat 1 UUD RI 1945. 23 Pasal 22D UUD 1945, lembaga Perwakilan Rakyat pasca amandemen bukan merupakan lembaga perwakilan bikameral. 40 Melihat kewenangan dalam Pasal 22D UUD 1945 ditambah dengan sulitnya menjadi anggota DPD, Stephen Sherlock memberikan penilaian bahwa menurut peneliti dari Australian National University bahwa DPD merupakan contoh yang tidak lazim dalam praktik lembaga perwakilan rakyat dengan sistem bikameral karena merupakan kombinasi dari lembaga dengan kewenangan yang amat terbatas dan legitimasi tinggi. 41 Dengan kehadiran DPD dalam sistem perwakilan Indonesia, Dewan Perwakilan Rakyat dapat dukungan dan diperkuat oleh DPD. DPD ini merupakan lembaga perwakilan penyalur aspirasi rakyat berkaitan dengan otonomi daerah, hubungan pusat dan daerah, pembentukan dan pemekaran serta penggabungan daerah, pengelolaan sumber daya alam dan sumner daya ekonomi lainnya, serta yang berkaitan dengan perimbangan keuangan pusat dan daerah. 42 DPD juga sebagai kekuatan politik penyeimbang Dewan Perwakilan Rakyat di bidang legislatif. Keberadaan DPD di bidang legislatif sendiri sudah mempunyai arti penting. Walaupun perannya sebagai kekuatan politik penyeimbang, peran ini tetap bisa dilakukan secara politik. Misalnya saja dengan mengeluarkan keputusan-keputusan politik yang merespon kebijakan Dewan Perwakilan Rakyat yang terkait dengan isu DPD. 40 Sardi Isra, Pergeseran Fungsi Legislasi. Jakarta. Rajawali Pers, 2013, Hlm. 254. 41 Ibid, 42 Ibid,. 24 Kenyataannya DPD sama sekali tidak diberi kewenangan di bidang legislasi, dapat dikatakan DPD sebagai pemberi saran atau pertimbangan 43 . Fungsi legislasi DPD sangat lemah dibandingkan dengan Dewan Perwakilan Rakyat. DPD hanya diberikan kewenangan dalam bidang legislasi terkait dengan hal-hal yang bersifat kedaerahan, dan hanya sebatas bisa mengajukan dan ikut membahas namun tidak ikut pada saat pengambilan keputusan akhir dalam pembicaraan tingkat II. Kehadiran DPD tidak lain adalah untuk memperjuangkan aspirasi masyarakat daerah. Posisi DPD dalam proses legislasi Rancangan Undang- Undang oleh Dewan Perwakilan Rakyat, sebagai sebatas berpartisipasi dalam tahapan pengajuan rancangan undang-undang dan memberikan masukan kepada Dewan Perwakilan Rakyat. Tidak ada unsur keharusan dalam partisipasi atau pemberian masukan dan pengajuan sebuah Rancangan Undang-Undang oleh DPD kepada Dewan Perwakilan Rakyat. Setiap rancangan yang diajukan oleh Dewan Perwakilan Rakyat, Presiden, dan DPD terlebih dahulu harus dimasukkan dalam program negislasi Nasional. Sebab pembentukan program legislasi nasional merupakan perintah Pasal 16 Undang-Undang No.12 Tahun 2011 Tentang Pembentukan Peraturan Perundang- Undangan, dimana perencanaan penyusunan Undang-Undang dilakukan dalam suatu program legislasi nasional. 44 Hubungan Dewan Perakilan Rakyat dan Dewan Perwakilan Daerah di bidang legislasi dalam sistem ketatanegaraan di Republik Indonesia dari sisi 43 Jimly Asshiddiqie, Konstitusi dan konstitusionalisme Indonesia. Konstitusi Press. Jakarta. 2005. Hlm 150. 44 Adika Akbarrudin, 2013, “Pelaksanaan Fungsi Legislasi DPR RI dan DPD RI Pasca Amandemen UUD 1945”, Fakultas Hukum Universitas Negeri Semarang, Volume 8 Nomor 1. Hlm 55. 25 yuridis dapat kita lihat dalam pengaturan UUD 1945. Seiring dengan perjalanan perubahan UUD 1945 eksistensi Dewan Perwakilan Rakyat semakin kuat dalam sistem katatanegaraan Republik Indonesia dan dalam bidang legislasi, ini dapat dilihat dari perubahan Pasal dalam UUD 1945 yang mengatur tentang ketentuan Dewan Perwakilan Rakyat. 45 UUD Negara RI Tahun 1945 pasca amandemen menyebutkan bahwa kekuasaan membentuk Undang-Undang sudah berada ditangan Dewan Perwakilan Rakyat. Presiden hanya diberikan hak mengajukan rancangan undang- undang kepada Dewan Perwakilan Rakyat. Pengaturan semacam ini dapat dilhat dalam Pasal 20 Ayat 1 seperti ditegaskan seagai berikut : “ Dewan Perwakilan Rakyat memegang kekuasaan membentuk undang- undang “. Sedangkan pasal 5 Ayat 1 juga dijelaskan “Presiden berhak mengajukan Rancangan Undang- Undang kepada Dewan Perwakilan Rakyat”. Berdasarkan pada ketentuan Pasal ini, jelas tergambar bahwa telah terjadi pergeseran kekuasaan membentuk undang- undang yang semula berada ditangan Presiden beralih kepada Dewan Perwakilan Rakyat. Dengan demikian amademen UUD Negara RI Tahun 1945 telah terjadi pergeseran kekuasaan membentuk undang-undang dari Presiden kepada Dewan Perwakilan Rakyat. 46 Perubahan ini berakibat terhadap penguatan dominasi Dewan Perwakilan Rakyat dalam proses legislasi setelah amademen Undang-Undang Dasar Negara RI Tahun 1945, seperti ditegaskan Pasal 20 Ayat 1 Namun, kekuasaan Presiden 45 Ibid, 46 Ibid, 26 dalam pembentukan undang- undang dibatasi. Presiden hanya diberikan hak untuk mengajukan rancangan undang- undang kepada Dewan Perwakilan Rakyat Pasal 5 Ayat 1 Disamping itu penguatan kekuasaan Dewan Perwakilan Rakyat dalam pembentukan undang-undang, juga terlihat dengan adanya pasal tersendiri mengenai fungsi Dewan Perwakilan Rakyat dalam UUD 1945 Pasca Amandemen. 47 Dalam hal Pengundangan Undang-Undang yang tidak disahkan oleh Presiden. Jika Rancangan Undang-Undang tidak disahkan oleh Presiden, dalam tenggang waktu 30 hari setelah mendapat persetujuan bersama antara Dewan Perwakilan Rakyat dan Presiden dalam rapat paripurna Dewan Perwakilan Rakyat, rancangan Undang-Undang tersebut sah menjadi suatu Undang-Undang dan wajib diundangkan. 48 Sesuai dengan UUD 1945 Pasal 20 Ayat 5 dalam hal Rancangan Undang-Undang yang telah disetujui bersama, apabila tidak disahkan oleh Presiden dalam waktu 30 hari semenjak Rancangan Undang-Undang disetujui maka Rancangan Undang-Undang tersebut sah menjadi Undang- Undang. 49 Pengaturan kewengan legislasi daerah pada UUD 1945 diatur lebih lanjut pada Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2003 dimana Undang-Undang ini merupakan Undang-Undang pertama yang mengatur kedudukan DPD, karena Undang-Undang sebelumnya hanya mengatur tentang kedudukan Majelis 47 Ibid,. 48 Sardi Isra, Op. Cit., Hal. 230. 49 Pasal 20 Ayat 5 UUD RI 1945. 27 Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah pada Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1999. Peran DPD dalam Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2003 memiliki beberapa kelemahan dalam aturan mengenai kedudukan fungsi legislasi DPD, yaitu pasal 41 huruf a yang berbunyi “pengajuan usul, ikut dalam pembahasan dan memberikan pertimbangan yang berkaitan dengan bidang legislasi tertentu”. Frasa “pengajuan usul” dalam pasal 41 huruf a Undang-Undang Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2003 menjadikan implikasi hukum yang berbeda dalam kedudukan fungsi legislasi DPD. Kata usul bisa diartikan bahwa usul Rancangan Undang-Undang dari DPD masih perlu dilakukan serangkaian proses atau mekanisme dalam internal lembaga Dewan Perwakilan Rakyat untuk menjadikannya sebagai Rancangan Undang-Undang. Selain itu dalam Pasal 43 ayat 2 yang berbunyi “DPD diundang oleh DPR untuk melakukan pembahasan rancangan undang-undang sebagaimana dimaksud pada ayat 1 bersama dengan pemerintah pada awal Pembicaraan Tingkat I sesuai Peraturan Tata Tertib DPR”. Menjelaskan bahwa DPD hanya ikut pembahasan hanya sampai tingkat I. 50 Menurut Saldi Isra bahwa sejumlah kalangan berpendapat Undang- Undang Nomor 22 Tahun 2003 telah membonsai peran DPD dalam proses pembentukan Undang-Undang. Dan ini pelemahan-pelemahan yang ada pada 50 Pasal 41 huruf a dan Pasal 43 Ayat 2 Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2003. 28 DPD dalam Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2003 dimuat dalam tabel berikut, yakni 51 : Tabel 1. pelemahan-pelemahan yang ada pada DPD dalam Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2003. Nomor Aturan Kelemahan 1 Pasal 41 DPD mempunyai fungsi: a. mengajukan Usul, ikut dalam pembahasan dan memberikan pertimbangan yang berkaitan dengna bidang legislasi tertentu; b. Pengawasan atas pelaksanaan Undang-Undang tertentu. Dewan Perwakilan Daerah dianggap hanya “ikut” dalam pembahasan dan tidak ikut memutuskan 2 Pasal 42 Ayat 1 Dewan Perwakilan Daerah dapat mengajukan kepada Dewan Perwakilan Rakyat Rancangan Undang- Undang yang berkaitan dengan otonomi daerah, hubungan pusat dan daerah, pembentukan dan pemekaran, dan penggabungan daerah, pengelolaan sumber daya alam, dan sumber daya ekonomi lainnya serta yang berkaitan dengan perimbangan keuangan pusat dan daerah Kata “dapat” membuat Dewan Perwakilan Daerah tidak mempunyai kekuasaan legislatif yang efektif, Dewan Perwakilan Daerah tidak menjadi salah satu institusi yang mengajukan Rancangan Undang-Undang. Ayat selanjutnya dalam pasal ini membuat wewenang Dewan Perwakilan Daerah semakin kecil 51 Sardi Isra, Op. Cit, Hal. 260. 29 3 Pasal 42 Ayat 2 Dewan Perwakilan Daerah mengusulkan Rancangan Undang-Undang sebagaimana dimaksuda pada Ayat 1 kepada Dewan Perwakilan Rakyat dan Dewan Perwakilan Rakyat mengundang Dewan Perwakilan Daerah untuk membahas sesuai tata tertib Dewan Perwakilan Rakyat Ketentuan ini memberikan kekuasaan penuh kepada Dewan Perwakilan Rakyat untuk menentukan kapan Dewan Perwakilan Daerah bisa diundang dan menentukan lebih jauh relasi antara Dewan Perwakilan Rakyat dan Dewan Perwakilan Daerah di dalam peraturan internah Dewan Perwakilan Rakyat DPR 4 Pasal 42 Ayat 3 Pembahasan Rancangan Undang-Undang sebagaimana dimaksud pada Ayat 2 dilakukan sebelum Dewan Perwakilan Rakyat membahas Rancangan Undang-Undang dimaksud pada Ayat 1 dengan Pemerintah Ketentuan ini semakin mengecilkan efektivitas fungsi legislasi Dewan Perwakilan Daerah karena Dewan Perwakilan Daerah hanya dapat diundang sebelum pembahasan Rancangan Undang-Undang yang sesungguhnya dimulai. 5 Pasal 43 Ayat 1 Dewan Perwakilan Daerah ikut membahas Rancangan Undang-Undang yang berkaitan dengan otonomi daerah; hubungan pusat dan daerah; pembentukan, pemekaran, dan penggabungan daerah; pengelolaan sumber daya alam, dan sumber daya ekonomi lainnya Kata ikut memebahas Rancangan Undang-Undang membuat Dewan Perwakilan Daerah tidak mempunyai kekuasaan legislatif yang efektif 30 serta yang berkaitan dengan perimbangan keuangan pusat dan daerah, yang dilakukan baik oleh Dewan Perwakilan Rakyat maupun oleh Pemerintah 6 Pasal 43 Ayat 2 Dewan Perwakilan Daerah diundang oleh Dewan Perwakilan Rakyat untuk melakukan pembahasan Rancangan Undang-Undang sebagaimana dimaksudkan pada Ayat 1 bersama dengan Pemerintah pada awal Pembicaraan Tingkat I sesuai dengan Peraturan Tata Tertib Dewan Perwakilan Rakyat Ketentuan ini semakin mengecilkan efektivitas fungsi legislasi Dewan Perwakilan Daerah karena Dewan Perwakilan Daerah hanya dapat diundang sebelum pembahasan Rancangan Undang-Undang yang sesungguhnya dimulai. Ketentuan ini juga memberikan kekuasaan penuh kepada Dewan Perwakilan Rakyat untuk menentukan lebih jauh relasi antara Dewan Perwakilan Rakyat dengan Dewan Perwakilan Daerah dengan memuatnya di dalam peraturan internal Dewan Perwakilan Rakyat. 7 Pasal 43 Ayat 3 Pembicaraan Tingkat I sebagaimana dimaksud pada Ayat 2 dilakukan bersama antara Dewan Perwakilan Rakyat DPR, Dewan Perwakilan Daerah, dan Ketentuan ini merupakan elaborasi jauh dari ayat sebelumnya di atas sehingga semakin 31 Pemerintah dalam hal penyampaian pandangan dan pendapat Dewan Perwakilan Daerah atas Rancangan Undang-Undang, serta tanggapan atas pandangan dan pendapat dari masing-masing lembaga mengecilkan efektivitas fungsi legislasi Dewan Perwakilan Daerah 8 Pasal 43 Ayat 4 Pandangan, pendapat, dan tanggapan sebagaimana dimaksudkan pada Ayat 3 dijadikan sebgai masukan untuk pembahasan lebih lanjut antara Dewan Perwakilan Rakyat dan Pemerintah Ketentuan ini merupakan elaborasi lebih jauh dari ayat sebelumnya sehingga semakin mengecilkan efektivitas fungsi legislasi Dewan Perwakilan Daerah Sumber : Buku Pergeseran Fungsi Legislasi Oleh Saldi Isra Dalam rezim yang sama dengan Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2003, yaitu Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan tidak terlalu membahas mekanisme pembentukan peraturan perundang-undangan menyangkut DPD secara terperinci. Undang- Undang Nomor 10 Tahun 2004 masih tidak memberi kejelasan terhadap peran dari DPD, karena banyak celah-celah kosong yang ada dalam Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004. Pasal 16 Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004 mengatakan bahwa Prolegnas hanya disusun oleh Dewan Perwakilan Rakyat dan Pemerintah melalui alat kelengkapan Dewan Perwakilan Rakyat bidang legislasi. Pasal tersebut jelas tidak ada kata “Dewan Perwakilan Daerah” dalam pembuatan 32 Prolegnas. Artinya walaupun prolegnas yang berhubungan dengan kewenangan DPD, lembaga ini tetap tidak dapat menyusun prolegnas. 52 Menjawab berbagai persoalan tersebut, maka lahirlah Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2009 tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD yang sekaligus menggantikan Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2003 dan lahir juga Undang- Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang- undangan P3 yang menggantikan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004 . Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2009 tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD, isi dalam Undang-Undang ini memuat tentang partisipasi DPD dalam proses legislasi, yaitu seperti pada pasal 146 ayat 1 menyatakan bahwa: “Rancangan Undang-Undang beserta penjelasan atau keterangan dan atau naskah akademik yang berasal dari DPD disampaikan secara tertulis oleh pimpinan DPD kepada Dewan Perwakilan Rakyat”. 53 Menurut Saldi Isra, seharusnya untuk fungsi legislasi yang terkait dengan kewenangan DPD, pengaturannya bersifat Inter-chamber dan merupakan muatan peraturan di tingkat Undang-Undang. artinya seharusnya bahwa tata tertib yang terkait dengan fungsi kedua kamar tersebut dibuat bersama-sama oleh kedua lembaga legislatif tersebut. sehingga memungkinkan untuk menutup celah kewenangan yang tidak sesuai dengan UUD 1945 dan Undang-Undang organiknya serta memaksimalkan koordinasi kedua lembaga tersebut. 54 52 Akhmad Haris Supriyanto, “Fungsi Legislasi Dewan Perwakilan Daerah Menuju Sistem Ketatanegaraan Demokratis” Artikel Ilmiah Fakultas Hukum, Universitas Brawijaya, 2014, Hal.6. 53 Ibid, 54 Sardi Isra, Op. Cit, Hal. 261. 33 BAB III PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI TENTANG KEDUDUKAN DEWAN PERWAKILAN DAERAH DALAM PUTUSAN NOMOR 92PUU-X2012 A . Subjectum litis dan Objectum litis dalam pengujian Undang-Undang Tentang MPR,DPR,DPD dan DPRD Nomor 27 Tahun 2009 dalam Hal Peran Dewan Perwakilan Daerah Dalam Proses Pembentukan Undang- Undang di Indonesia Subjectum litis lebih dikenal sebagai pihak-pihak yang berperkara atau bersengketa. 55 Dalam Pasal 51 ayat 1 Undang-Undang No. 24 Tahun 2003 56 sebagaimana dijabarkan dalam Pasal 3 Peraturan MK No.06PMK2005 disebut bahwa Pemohon adalah pihak yang menganggap hak danatau kewenangan konstitusionalnya dirugikan oleh berlakunya Undang-Undang atau hak-hak yang diatur dalam Undang-Undang Dasar Negara. 57 Dari Pasal 51 ayat 1 Undang-Undang No. 24 Tahun 2003 beserta Penjelasan dapat diketahui bahwa perorangan warga negara Indonesia, termasuk kelompok orang warga negara Indonesia, termasuk kelompok orang warga negara Indonesia yang mempunyai kepentingan yang sama dapat tampil menjadi pemohon, asalkan dapat membuktikan bahwa dirinya sendiri-sendiri atau bersama-sama memenuhi syarat-syarat yang ditentukan oleh undang-undang di 55 Jurnal Konstitusi, Volume 7, nomor 5 Oktober, 2010, hlm 19. 56 Lihat Pasal 51 ayat 1 Undang-Undang No.24 Tahun 2003. 57 Jimly Asshiddiqie. Hukum Acara Pengujian Undang-Undang. Jakarta. Sinar Grafika. 2010. Hlm 46. 34 Mahkamah Konstitusi. 58 Dalam pengajuan permohonan pengujian Undang-Undang No. 27 Tahun 2009 tentang MPR, DPR, DPD dan DPRD terhadap UUD 1945, permohonan pengujian diajukan oleh DPD yang diwakili oleh H. Irman Gusman, La Ode Ida, dan Gusti Kanjeng Ratu Hemas yang merupaka anggota DPD dengan surat permohonan tanggal 14 Mei 2012 yang diterima di Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia dengan diregistrasi Nomor 92PUU-X2012. Objectum litis dalam praktek hukum dikenal dengan istilah objek perkara atau objek sengketa. 59 kewenangan MK, objek perkaranya tergantung jenis perkaranya. Menurut ketentuan di dalam Pasal 30 Undang-Undang No.24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi 60 , wajib dibuat dengan uraian yang sangat jelas, yaitu 61 a. Pengujian Undang-Undang terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945; : b. Sengketa Kewenangan Lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945; c. Pembubaran partai politik; d. Perselisihan tentang hasil pemilihan umum; atau e. Pendapat Dewan Perwakilan Rakyat bahwa Presiden danatau Wakil Presiden telah melakukan pelanggaran hukum berupa penghianatan terhadap negara, korupsi, penyuapan, tindak pidana berat lainnya, atau 58 Ibid, hlm 49. 59 Jurnal Konstitusi, Volume 7, nomor 5 Oktober, 2010, hlm 19. 60 Undang-Undang tentang Mahkamah Konstitusi, UU No. 24 Tahun 2003. Lembaran Negara No.98 Tahun 2003. Tambahan Lembaran Negara No.4316. 61 Op, cit. Hukum Acara Pengujian Undang-Undang. Hml 74. 35 perbuatan tercela, danatau tidak lagi memenuhi syarat sebagai Presiden danatau Wakil Presiden sebagaimana dimaksud dalam UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Dalam penjelasan permohonan pada perkara Mahkamah Konstitusi Nomor 92PUU-X2012, bahwa objek yang menjadi kajian di dalam sidang adalah tentang pengujian Undang-Undang terhadap UUD. Pemohon menyatakan bahwa ketentuan di dalam Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2009 ini mereduksi kewenangan Dewan Perwakilan Daerah dalam pembentukan suatu Undang- Undang yang bertentangan dengan Pasal 22D ayat 1 dalam hal mengajukan Rancangan Undang-Undang dan Pasal 20 Ayat 2 Pasal 22D Ayat 2 dalam hal membahas Rancangan Undang-Undang. Pasal-pasal didalam Undang-Undang No. 27 Tahun 2009 yang diuji dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 92PUU-X2012 yang diajukan oleh Dewan Perwakilan Daerah antara lain 62 I. Pasal-pasal Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2009 yang dianggap bertentangan oleh Pemohon dengan Pasal 22D Ayat 1 Undang-Undang Dasar UUD 1945 yang memberikan kewenangan konstitusional kepada pemohon untuk mengajukan Rancangan Undang-Undang, yaitu : : a. Pasal 102 Ayat 1 huruf d yaitu : “melakukan pengharmonisasian, pembulatan, dan pemantapan konsepsi Rancangan Undang-Undang yang diajukan anggota, komisi, gabungan komisi, atau DPD sebelum Rancangan Undang-Undang tersebut disampaikan kepada pimpinan DPR”. 62 Putusan Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Nomor 92PUU-X2012. 36 b. Pasal 102 Ayat 1 huruf yaitu : “memberikan pertimbangan terhadap Rancangan Undang-Undang yang diajukan oleh anggota, komisi, gabungan komisi, atau DPD di luar prioritas Rancangan Undang-Undang tahun berjalan atau di luar Rancangan Undang- Undang yang terdaftar dalam program legislasi nasional”. c. Pasal 143 Ayat 5 yaitu : “Rancangan Undang-Undang yang telah disiapkan oleh DPR disampaikan dengan surat pimpinan DPR kepada Presiden”; d. Pasal 144 yaitu :“Rancangan Undang-Undang yang berasal dari Presiden diajukan dengan surat Presiden kepada pimpinan DPR”; e. Pasal 147 Ayat 1, yaitu : “Pimpinan DPR setelah menerima Rancangan Undang-Undang dari DPD sebagaimana dimaksud dalam Pasal 146 ayat 1 memberitahukan adanya usul Rancangan Undang-Undang tersebut kepada anggota DPR dan membagikannya kepada seluruh anggota DPR dalam rapat paripurna”; f. Pasal 147 Ayat 3 yang berbunyi: “Dalam hal rapat paripurna memutuskan memberi persetujuan terhadap usul Rancangan Undang-Undang yang berasal dari DPD sebagaimana dimaksud pada ayat 2 huruf a, Rancangan Undang-Undang tersebut menjadi Rancangan Undang-Undang usul dari DPR”. g. Pasal 147 Ayat 4, yang berbunyi : “Dalam hal rapat paripurna memutuskan memberi persetujuan dengan pengubahan terhadap usul Rancangan Undang-Undang yang berasal dari DPD sebagaimana dimaksud pada ayat 2 huruf b, Rancangan Undang- Undang tersebut menjadi Rancangan Undang-Undang usul dari DPR dan untuk selanjutnya DPR menugaskan penyempurnaan Rancangan Undang- Undang tersebut kepada komisi, gabungan komisi, Badan Legislasi, atau panitia khusus”. II. Pasal-pasal Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2009 yang bertentangan dengan Pasal 20 Ayat 2 dan Pasal 22D Ayat 2 Undang-Undang Dasar UUD 1945 yang memberikan kewenangan konstitusional kepada pemohon 37 untuk ikut membahas Rancangan Undang-Undang, yaitu 63 a. Pasal 150 Ayat 3: : “Daftar inventarisasi masalah sebagaimana dimaksud pada ayat 1 huruf b diajukan oleh: • Presiden, apabila Rancangan Undang-Undang berasal dari DPR. • DPR, apabila Rancangan Undang-Undang berasal dari Presiden”; b. Pasal 147 Ayat 7: “Apabila dalam waktu 60 enam puluh hari DPD belum menunjuk alat kelengkapan DPD sebagaimana dimaksud pada ayat 6, pembahasan Rancangan Undang-Undang tetap dilaksanakan”; c. Pasal 150 Ayat 5: “Dalam hal DPD tidak memberikan pandangan sebagaimana dimaksud pada ayat 2 huruf b dan huruf d, danatau pendapat mini sebagaimana dimaksud pada ayat 4 huruf b, Pembicaraan Tingkat I tetap dilaksanakan”; d. Pasal 71 Huruf a: “membentuk undang-undang yang dibahas dengan Presiden untuk mendapat persetujuan bersama”; e. Pasal 71 Huruf d: “membahas Rancangan Undang-Undang sebagaimana dimaksud dalam huruf c bersama Presiden dan DPD sebelum diambil persetujuan bersama antara DPR dan Presiden”; f. Pasal 71 Huruf e: “membahas Rancangan Undang-Undang yang diajukan oleh Presiden atau DPR yang berkaitan dengan otonomi daerah, hubungan pusat dan daerah, pembentukan dan pemekaran serta penggabungan daerah, pengelolaan sumber daya alam dan sumber daya ekonomi lainnya, serta perimbangan keuangan pusat dan daerah, dengan mengikutsertakan DPD sebelum diambil persetujuan bersama antara DPR dan Presiden”. 63 Ibid,. 38 g. Pasal 71 Huruf f: “memperhatikan pertimbangan DPD atas Rancangan Undang-Undang tentang APBN dan Rancangan Undang-Undang yang berkaitan dengan pajak, pendidikan, dan agama”; h. Pasal 71 Huruf g: “membahas bersama Presiden dengan memperhatikan pertimbangan DPD dan memberikan persetujuan atas Rancangan Undang- Undang tentang APBN yang diajukan oleh Presiden”; i. Pasal 107 Ayat 1 huruf c: “membahas Rancangan Undang-Undang tentang APBN bersama Presiden yang dapat diwakili oleh menteri dengan mengacu pada keputusan rapat kerja komisi dan Pemerintah mengenai alokasi anggaran untuk fungsi, program, dan kegiatan kementerianlembaga”. j. Pasal 150 Ayat 4 huruf a: “Penyampaian pendapat mini sebagaimana dimaksud pada ayat 1 huruf c disampaikan pada akhir Pembicaraan Tingkat I oleh Fraksi”; k. Pasal 151 Ayat 1 huruf a: “penyampaian laporan yang berisi proses, pendapat mini fraksi, pendapat mini DPD, dan hasil Pembicaraan Tingkat I”; l. Pasal 151 Ayat 1 huruf b: “pernyataan persetujuan atau penolakan dari tiap- tiap fraksi dan anggota secara lisan yang diminta oleh pimpinan rapat paripurna”. Di dalam persidangan pemohon yang diwakilkan oleh Ketua DPD Irman Gusman menyampaikan opening statement 64 64 Risalah Sidang Perkara Nomor 92PUU-X2012 tanggal 23 Oktober 2012. , yaitu terkait proses pembuatan undang-undang yang dianggap DPD hampir sama sekali tidak menyentuh DPD. DPD hampir tidak pernah mendapat kesempatan dalam menyentuh proses penting yang menentukan hajat hidup orang banyak, hajat hidup masyarakat daerah dan 39 DPD hanya menggunakan seluruh peluang kewenangan DPD yang serba terbatas dalam menjalankan tugas. Irman Gusman juga menyampaikan telah mengupayakan semacam perubahan konstitusional agar daerah lebih didengar. Walau ternyata pada akhirnya DPD harus berhadapan dengan kenyataan di mana resistensi pun terjadi dari kalangan politik membuat perjuangan perubahan konstitusional itu bergerak seperti yoyo, tarik ulur atau tampaknya banyak bergerak, tetapi sebenarnya yoyo statis di tempat yang itu-itu juga. 65 DPD menyatakan segala upaya yang mungkin legal dan beradab telah dilakukan secara kreatif agar undang-undang yang mengatur impelementasi kewenangan DPD sesuai dengan amanat konstitusi. 66 Setelah terjadi perubahan Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2003 berganti menjadi Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2009, masih dianggap belum menyentuh mandat konstitusional yang digariskan ada kemajuan konsep keterlibatan DPD dalam law making process dibandingkan dengan UUD 1945.

B. Petitum dalam Perkara Mahkamah Konstitusi dalam Hal Pengujian