administrasi Desa Parsalakan mempunyai batas – batas sebagai berikut : sebelah utara
berbatasan dengan Desa Paya Tobotan, sebelah selatan berbatasan dengan Desa Aek Latong Siamporik. sebelah barat berbatasan dengan Desa Paya Pusat Aek Nabara
,sebelah timur berbatasan dengan Desa Sawah Sialogo. Untuk dapat mengakses Desa Parsalakan,maka terlebih dahulu dari
Padangsidimpuan dengan jarak 7 km hingga ke perbatasan Padangsidimpuan dengan Kabupaten Tapanuli Selatan akan melewati Hutaimbaru dan Palopat Maria.
Hutaimbaru berada di perbatasan antara Kota Padangsidimpuan dengan Padangsidimpuan Barat kini Angkola Barat. Hutaimbaru dulunya merupakan
bagian dari kecamatan Padangsidimpuan Barat, tetapi sesuai dengan UU No. 4 tahun 2001 maka Padangsidimpuan Barat berubah nama menjadi Angkola Barat dan
menjadi bagian dari Kabupaten Tapanuli Selatan dan Hutaimbaru pun menjadi kelurahan dari Kota Administratif Padangsidimpuan. Sepanjang jarak tersebut dapat
ditempuh dengan sepeda motor atau dengan mobil. Jalanan pun terbilang mulus, tetapi sedikit menanjak dan tidak ada tikungan-tikungan tajam hingga ke Palopat
Maria. Dari Palopat Maria kira-kira 1 km lagi maka akan sampai ke daerah Parsalakan. Desa Parsalakan merupakan jalur lintas Sibolga-Sidimpuan.Di sepanjang
melewati daerah Parsalakan, disuguhi pemandangan yang asri dan sejuk karena di pinggir-pinggir jalan tersebut selain rumah warga ada juga pohon-pohon salak yang
berbaris rapi di sepanjang jalan.Jalanan di sepanjang Desa Parsakan juga terbilang tidak baik karena selain jalannya yang menanjak dan berkelok-kelok seperti
membentuk terasering pada sawah, banyak juga jalan yang berlobang dan bergelombang terutama di bagian tikungan tajamnya.Topografi desa Parsalakan itu
berbukit-bukit dan sampai dengan datar.Setiap bukitnya ditempati 1 desa.Desa pertama yang dilewati pertama kali yaitu Huta Koje atau Pertanian, Aek Lubuk, dan
Huta Tunggal jadi ada 4 bukit yang dilewati. Sedangkan dua desa lagi yaitu Lobu Jelok dan Huta Lambung berada di daerah pedalamannya Jalanan di Huta Koje
hingga ke Huta Tunggal terbilang mulus dan sedikit tikungan. Di sepanjang jalannya selain rumah warga yang berada di pinggir jalan, juga ada pohon-pohon salak,
karet,pisang. Dalam pola pertanian ladang pada umumnya ditemukan desa atau kampung dimana penghuninya mempunyai rumah tetappermanen dan dimana
terdapat pasar, toko-toko dan lain sebagainya, agak ramai setelah panen sampai musim kemarau.Warga di daerah tersebut selain tinggal di pinggir jalan juga
mendirikan depot salak di depan rumahnya dan di bagian belakang rumahnya ditanami kebun salak. Dalam perjalanan juga kadangkala ditandai dengan nampaknya
asap-asap yang keluar dari tengah-tengah kebun salak. Asap-asap tersebut berasal dari kayu bakar yang dikumpulkan hingga menyerupai api unggun dan di bakar di
tengah-tengah kebun. Menurut masyarakat setempat dibuatnya api unggun tersebut untuk mengusir hama-hama yang ada di kebun dan berfungsi untuk menjaga
kesuburan tanah agar tetap lembab. Semakin jelas terdengar suara ayam berkokok seturut juga sebagai penanda
dimulainya aktivitas masyarakat Desa Parsalakan. Keceriaan anak-anak yang sedang
bermain dan juga yang sedang menunggu angkutan umum untuk berangkat sekolah ke Hutaimbaru atau ke pusat kota Padangsidimpuan, dan ada yang berangkat ke
Sitinjak, yang merupakan ibukota kecamatan Angkola Barat. Di Parsalakan hanya ada 2 sekolah sehingga dan tidak bisa menampung siswa dalam jumlah banyak,
sehingga membuat orangtua menyekolahkan anak-anaknya ke luar Desa Parsalakan yaitu, Hutaimbaru yang berada di Padangsidimpuan dan juga Sitinjak.Para orangtua
juga memulai kegiatannya dengan pergi ke ladang salaknya untuk memanen salaknya, meskipun belum musim panen mereka tetap berangkat untuk memeriksa
kebunnya dan memetik buah salak yang sudah matang meskipun dalam jumlah yang sedikit, sekitar 2-3 karung.1 karung beratnya 25-30 kg tergantung daya tampun
karungnya.Harga 1 kg bervariasi berada di kisaran Rp3000-Rp5000, sehingga 1 karung dihargai di kisaran Rp120.000-Rp130.000.
Tekstur tanah yang ada di Desa Parsalakan merupakan tempat yang cocok untuk menanam salak. Tanaman salak akan tumbuh baik pada ketinggian 0-700 m di
atas permukaan laut. Selain itu, faktor iklim yang sangat berpengaruh terhadap perkembangan tanaman salak adalah curah hujan. Tanaman salak akan tumbuh baik
pada daerah yang mempunyai curah hujan rata-rata perbulan 200-400 mm. Desa Parsalakan mempunyai curah hujan yang merata sepanjang tahun, sehingga membuat
tanah untuk menanam salak tetap lembab. Hal ini sangat baik untuk pertumbuhan salak.
Hampir semua struktur lapisan tanah di sekitar Desa Parsalakan merupakan perbukitan terjal dan jurang yang curam.Setidaknya hal tersebut kemudian menjadi
latar belakang spesifikasi profesi dalam struktur masyarakat Parsalakan.
2.2 Keadaan Penduduk
Angkola adalah salah satu sub suku bangsa Batak yang berasal dari Sumatera Utara yang tinggal di wilayah Kabupaten Tapanuli Selatan. Suku Batak Angkola
mengenal paham kekerabatan patrilineal, yaitu garis keturunan berdasarkan marga orangtua laki-laki. Di Angkola dikenal beberapa marga saja, antara lain, Siregar,
Harahap, Hasibuan, Rambe, Daulay, Tanjung, Ritonga, dan Hutasuhut. Di daerah Parsalakan ada 2 marga yang menguasai 6 desa tersebut yaitu
marga Harahap dan Hasibuan. Marga Harahap menguasai daerah Hutalambung,Aek Lubuk, dan Hutakoje, sedangkan marga Hasibuan menguasai daerah Lobujelok,Huta
Tunggal dan Huta Tonga.
8
Masyarakat Parsalakan sangat menjunjung tinggi nilai-nilai adat suku Angkola. Upacara-upacara adat ritual seperti Horja Godang dan Mangupa
merupakan rangkaian upacara adat perkawinan yang hingga sekarang masih selalu diselenggarakan secara turun-temurun. Menurut tradisi atau adat masyarakat tersebut
upacara mangupa merupakan sarana utama bagi para kerabat untuk menyampaikan
8
Wawancara dengan Bapak Bisman Hasibuan, seorang tokoh adat Desa Parsalakan
doa dan harapan mereka agar pengantin yang baru memasuki gerbang pernikahan memperoleh kebahagiaan dan kesentosaan dalam hidup berumah tangga. Di samping
itu, upacara mangupa merupakan ritual yang digunakan oleh para kerabat untuk menetapkan berbagai kebijaksanaan tradisionaltraditional wisdom yang diperlukan
oleh sepasang pengantin untuk membina rumah tangga yang harmonis menurut konsep masyarakat Angkola-Sipirok.
Sehubungan dengan adat mangupa ini dalam masyarakat Angkola ada beberapa hal yang selalu mendapat upah-upah, yaitu anak yang baru lahir, keluarga
yang memasuki rumah baru, yang baru menikah, dan hal-hal yang dianggap penting untuk menguatkan semangat seseorang misalnya baru lulus ujian, baru sembuh sakit,
atau menunaikan ibadah haji. Sedangkan Horja Godang merupakan ritual yang paling tinggi dan besar bagi masyarakat Angkola-Sipirok. Berbicara tentang Horja
Godang, ada beberapa langkah yang harus dilalui, yaitu martahi sabagas, martahi godang, mandohoni, mangalo-alo mora, panaek gondang, maralok-alok,
margalanggang, mambuat ipon, kehe tu tapian raya bangunan, mangupa dan paulak anak boru.
9
Menurut tradisi masyarakat Angkola-Sipirok, untuk melaksanakan upacara Horja Godang yang di dalamnya harus disertai seni tor-tor dan onang-onang
dilaksanakan pada satu tempat yang dinamakan galanggang paradaton.Dalam pelaksanaannya sejumlah kerabat pengantin laki-laki dan tokoh pimpinan adat
menyampaikan pidato adat.
9
Parlaungan Ritonga dan Ridwan Azhar, Sistem Pertuturan Masyarakat Tapanuli Selatan, Medan,2002, hal 3
Pelaksanaan adat Angkola bisa dikategorikan rumit, karena banyaknya ritual- ritual yang harus dilalui dan membutuhkan waktu yang sangat lama.Pesta-pesta adat
di Angkola bisa menghabiskan waktu 3 hari 3 malam bahkan hingga seminggu jika mampu untuk membiayainya. Biaya yang diperlukan untuk mengadakan pesta adat di
Angkola tidaklah sedikit, kira-kira membutuhkan dana sekitar 80 juta-an dan itupun untuk pesta yang 3 hari 3 malam, sedangkan untuk yang seminggu bisa memakan
biaya 100 juta lebih. Dari biaya tersebut sudah termasuk biaya untuk membeli kerbau, dan memesan gondang dan pemainnya
Tidak sulit untuk menspesifikasikan pekerjaan penduduk yang ada di Desa Parsalakan.Seperti telah disebutkan sebelumnya, lahan yang ada di Desa Parsalakan
merupakan yang cocok untuk ditanami tanaman salak, sehingga masyarakat pun berlomba-lomba untuk bertanam salak.Kira-kira hampir 90 persen masyarakat yang
ada di Desa Parsalakan merupakan parsalak. Lahan yang subur, tidak memerlukan perawatan yang intensif serta hasil yang diperoleh juga menggiurkan, tidak hanya
membuat masyarakat Parsalakan saja yang berlomba-lomba untuk menanam salak, melainkan mengundang masyarakat tetangganya, yaitu orang-orang Mandailing
untuk menanam salak, meskipun hanya dalam jumlah kecil saja masyarakat yang datang ke sana.Selain orang Mandailing, masyarakat dari suku-suku utara seperti
Karo, Batak Toba, Sidikalang- Dairi juga datang ke Angkola Barat.Mereka mencoba peruntungan mereka dengan datang ke daerah Angkola untuk merubah nasib
mereka.Pada mulanya hanya 1-2 orang saja yang datang untuk melihat kondisi alam
di Angkola Barat.Mereka melihat bahwa masyarakat Angkola Barat yang banyak menanam salak dan memperoleh penghasilan yang cukup besar membuat mereka
juga mencoba untuk menanam salak di Angkola Barat.Kemudian dengan meminta izin dari kepala desa setempat, mereka kemudian mendapat lahan yang berada di
daerah perbatasan antara Angkola Barat dengan Angkola Selatan.Tantangan untuk menanam salak bagi masyarakat pendatang tersebut yaitu harus membuka lahan-
lahan yang ditumbuhi oleh pohon-pohon.Hal tersebut tidak menyurutkan semangat mereka malah menjadi motivasi bagi mereka demi memperoleh hidup yang baik dari
bertanam salak.Bibit salak mereka peroleh dari petani-petani salak secara gratis tanpa ada pungutan.Akan tetapi, ketika masyarakat meminta salak yang dihasilkan oleh
mereka, mereka tidak keberatan karena itu sebagai tanda balas budi mereka karena telah diperbolehkan menanam salak dan diberikan bibit salak secara gratis .Lama-
kelamaan hasil yang mereka peroleh dianggap cukup untuk mendatangkan keluarga yang ditinggalkan di kampung asal untuk hidup dan tinggal bersama-sama dengan
mereka.Pada tahun 1982 sudah mulai berkembang sebuah pemukiman masyarakat dari suku-suku utara di Siuhom hingga masuk ke pedalamannya.
2.3 Sistem Mata Pencaharian Penduduk Desa Parsalakan
Mengandalkan potensi alam lingkungan merupakan ciri khas penduduk Parsalakan.Hal ini bisa dilihat dari bagaimana penduduk Parsalakan mengelola tanah
mereka.Menurut masyarakat setempat, mereka bertanam salak sudah sangat lama sekali.Tidak jelas sejak tahun berapa, yang jelas lahan salak milik orangtua mereka
diwariskan kepada anak-anaknya begitu seterusnya, sehingga sangat sulit untuk menelusuri siapa sebenarnya yang pertama kali menemukan dan menanam salak di
Desa Parsalakan.
10
Aktivitas sehari-hari dalam mata pencaharian bertani salak dilakukan secara bergotong
royong.Pada masyarakat
Parsalakan dikenal
dengan istilah
Marsialapari.Marsialapari yaitu melakukan pekerjaan secara bersama-sama keladang.Sistem Marsialapari ini dikerjakan secara bersama-sama oleh 3-4
keluarga.Keluarga tersebut biasanya keluarga yang satu marga, maka secara bergiliran mereka mengerjakan ladang berdasarkan urutan yang telah mereka
tentukan sendiri.Dalam mengerjakan ladang tersebut, bukan hanya si ayah atau yang laki-laki saja yang pergi ke ladang salak, tapi ibu beserta anak perempuannya juga
turut serta dibawa ke ladang salak.Keluarga-keluarga tersebut biasanya pergi ke ladang setelah mereka sarapan pagi dan menyiapkan bekal untuk dibawa ke
ladang.Dalam kebiasaan masyarakat Parsalakan, biasanya yang menyiapkan bekal adalah keluarga yang pada minggu tersebut ladangnya hendak dikerjakan. Bekal yang
10
Wawancara dengan Bapak Arpan Harahap tanggal 3 Januari 2015