Sistem Mata Pencaharian Penduduk Desa Parsalakan

tempat, pertumbuhannya makin lambat dan hasilnya secara kualitas lebih rendah.Ketinggian lebih dari 600 meter dari permukaan laut tidak cocok lagi untuk tanaman karet, sementara daerah Parsalakan berada di daerah dataran tinggi dan topografinya juga berbukit-bukit. Selain itu curah hujan juga menjadi faktor penghambat lainnya, karena Parsalakan termasuk memiliki curah hujan yang cukup tinggi yaitu kira-kira antara 2000-4000 mmtahun, sedangkan curah hujan yang cocok untuk pertumbuhan tanaman karet tidak kurang dari 2000 mmtahun. Faktor pendistribusian juga menjadi masalah yang pelik yang dihadapi jika hendak menanam karet, dikarenakan daerah pendistribusiannya cukup jauh yaitu di daerah Panompuan ada sebuah perusahaan karet yang berada di Kabupaten Padang Lawas dan PT. Sihitang Raya yang berada di pinggiran Kota Padangsidimpuan. Jika menghitung biaya yang dihabiskan untuk memproduksi dan mendistribusikannya maka tidak sebanding dengan keuntungan yang didapatkan, apalagi lahan untuk menanam karet tidak sebanyak lahan untuk menanam salak.Jika dibandingkan dengan tanaman salak yang tidak membutuhkan perhatian yang lebih dari tanaman karet, membuat masyarakat lambat laun hanya menganggap karet sebagai pohon penaung saja.Dari segi hasil produksi juga, salak lebih menjanjikan karena tanaman salak dapat berbuah sepanjang tahun sedangkan karet membutuhkan waktu sekitar 5 tahun untuk dapat memproduksi getah. Selain itu dalam menderes juga diperlukan waktu yang tepat yaitu sepagi mungkin agar diperoleh hasil lateks yang tinggi, karena turgor pembuluh lateks masih tinggi sehingga keluarnya lateks dari pembuluh lateks yang terpotong berlangsung dengan aliran yang kuat, dan apabila hujan jatuh sejak dini hari penyadapan harus dimulai agak siang, karena penyadapan setelah hujan akan menghasilkan lateks yang encer dan mudah keluar dari alur sadapan serta mudah mengalami prakolugasi. Peralatan yang dibutuhkan guna melakukan penyadapan juga cukup banyak, yaitu pisau sadap, talang lateks atau spout, mangkok, cinicin mangkok, tali cincin, quadrisignat, ember dan spatel.Peralatan dan perlengkapan tersebut harus ada jika menginginkan kualitas yang baik.Berbanding terbalik dengan salak yang hanya membutuhkan parang dan sarung tangan ketika hendak memanen hasil salak tersebut.Hal tersebut menjadi pembanding bagi masyarakat yang ada di Parsalakan untuk menggantungkan kehidupannya dari usaha bertanam salak, sehingga masyarakat banyak yang menjadi petani salak. Selain itu,masyarakat hanya menganggap tanaman karet tersebut sebagai tanaman tumpangsari. Pada awalnya sebelum tahun 1970 hingga akhir 1980an masyarakat Parsalakan tidak menganggap penting pendidikan bagi anak-anaknya kelak.Anggapan-anggapan tersebut berkembang dikarenakan mereka menganggap dengan hasil bertanam salak saja mereka sudah makmur bahkan pendapatan yang dihasilkan dari bertanam salak lebih besar dari pendapatan seorang pegawai negeri sipil PNS yang tamatan SMA ataupun S-1. Dari bertanam salak dirasa sudah cukup untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari seperti membeli beras dan lauk pauk, bahkan hasil dari menjual salak ketika hasil penjualannya berlebih, maka uang tersebut akan disimpan dalam bentuk emas ataupun digunakan untuk membeli tanah. Masyarakat Parsalakan memang tidak punya latar belakang pendidikan yang baik, tetapi pemikiran mereka tentang masa depan, bagaimana memenuhi kebutuhan ke depannya sudah cukup terlihat ketika mereka berani menginvestasikan uangnya. Hal sebaliknya akan mereka dapati jika bekerja sebagai pegawai negeri sipil, mereka merasa tidak ada jaminan akan bisa memenuhi kebutuhan-kebutuhan yang mereka perlukan. Selain itu masyarakat juga belum merasakan dampaknya jika menyekolahkan anaknya, karena ketika si anak telah selesai bersekolah, pada akhirnya mereka juga akan menjadi petani salak. Hal tersebut membuat masyarakat Parsalakan tidak tertarik untuk menyekolahkan anak mereka, dan lebih memilih untuk membawa serta anaknya ikut bersama mereka ke ladang salak. Membawa serta anaknya ke ladang tidak hanya sekedar untuk membantu pekerjaan sang ayah dalam merawat ataupun memanen salak tersebut, melainkan juga untuk mengajarkan si anak bagaimana caranya menanam, merawat hingga memanen salak, karena kelak lahan-lahan salak tersebut akan diwariskan kepada anak-anaknya. BAB III Perkembangan Pertanian Petani Salak di Desa Parsalakan tahun 1970-2000

3.1 Latar Belakang Petani Salak di Desa Parsalakan

Menurut masyarakat Parsalakan ada beragam cerita yang berkembang di dalam masyarakat mengenai asal-muasal datangnya salak ke daerah Angkola Barat. Misalnya, ada yang mengklaim bahwa salak ini dulunya berasal dari Marancar. Berdasarkan pihak yang mengklaim tersebut ketika ada sanak famili yang datang berkunjung ke Parsalakan, buah tangan yang biasanya mereka berikan adalah buah salak, begitu juga sebaliknya ketika orang-orang Parsalakan berkunjung ke daerah Marancar, buah tangan yang mereka terima adalah buah salak.Buah salak yang mereka terima ini biasanya bijinya langsung dibuang ke belakang halaman rumah mereka, dan tanpa mereka sadari biji salak yang dibuang tersebut tumbuh subur di belakang halaman rumah mereka. 11 Melihat hasil tanaman salak yang baik dan tumbuh subur di daerah tersebut, sehingga membuat masyarakat Parsalakan berlomba-lomba untuk menanam salak.Selain itu ada juga yang mengatakan bahwasanya yang membawa salak ini dulunya adalah seekor anjing.Anjing tersebut membawa biji salak dari Desa Marancar dan kemudian menyimpan bijinya di suatu lahan di Desa Parsalakan. Lama-kelamaan karena terlalu seringnya anjing tersebut 11 Wawancara dengan Bapak Thamrin Ritonga tanggal 21 November 2014 membawa biji salak, maka biji salak yang disimpan dalam tanah itu kemudian tumbuh dan menjadi pohon salak.Ada juga pihak yang mengatakan kalau bibit buah salak ini dulunya diberikan oleh pihak kolonial Belanda,pada saat mereka berada di daerah Parsalakan. Belanda kemudian meminta kepada penduduk setempat untuk menanam biji salak yang mereka bawa untuk ditanam di lahan yang dimiliki oleh masyarakat dan Belanda juga meminta warga Parsalakan sebagai pekerjanya kemudian hasil produksinya dibagi 2. Untuk memuluskan rencana mereka tersebut, pihak kolonial Belanda mendekati para ketua-ketua adat dan kepala desa untuk berunding dengan warganya agar mau menanam biji salak di lahan mereka.Setelah mendapat persetujuan dari warga beserta kepala desanya, maka mulailah biji salak yang dibawa oleh Belanda untuk ditanam. Terlepas dari berbagai cerita masyarakat tentang asal-muasalnya salak di Desa Parsalakan, ternyata pada mulanya masyarakat Parsalakan belum mengetahui kalau salak merupakan buah yang memiliki nilai jual. Hal tersebut bisa dilihat sebelum tahun 1970-an dimana masyarakat menanam salak di lahannya secara tidak terurus. Tanaman salak tersebut dibiarkan tumbuh begitu saja, dan ketika berbuah dan sudah bisa dipetik, langsung diambil dan dimakan tempat. Jika salak yang mereka petik berlebih maka sisanya yang tidak habis dimakan akan dibawa pulang ke rumah. Orang-orang Parsalakan sangat gemar memakan salak bahkan ketika mereka memakan satu buah salak, maka akan timbul keinginan untuk memakannya lagi, seolah-olah menjadi kecanduan karena dirasa tidak cukup untuk memakan satu salak saja, melainkan ingin makan salak tersebut. Sehingga ada istilah yang berkembang di Angkola Ba rat, „Salak Sibangkua, dipangan sada mangido dua’ yang artinya salak Sibangkua kalau dimakan satu ingin tambah menjadi dua. Pada mulanya salak hanya untuk konsumsi rumah tangga saja, maka banyak tanaman salak yang tidak terurus dan tidak terawat dengan baik.Lahan salak dibiarkan tumbuh begitu saja, karena masyarakat belum mengetahui nilai jual salak tersebut. Masyarakat baru mulai mengetahui kalau salak memiliki nilai jual ,ketika mereka mencoba membarter salak mereka dengan kebutuhan pokok sehari-hari yang ada di Sibolga. Ketika para pedagang yang ada di Sibolga mencoba buah salak tersebut, mereka ternyata ketagihan karena timbul keinginan untuk memakan buah salak tersebut secara terus menerus sehingga membuat pedagang tersebut bersedia membarter produk-produk miliknya seperti beras, sayur-sayuran dan ikan laut. Selain Sibolga, Padangsidimpuan juga menjadi pilihan yang realistis bagi pemasaran buah salak, sebab kota tersebut letaknya dekat dengan daerah Parsalakan dan bisa ditempuh dalam waktu satu jam. Dari segi tenaga dan waktu tidak memerlukan tenaga ekstra seperti membawa salak ke Sibolga. Posisi Padangsidimpuan semakin kukuh sebagai destinasi pemasaran salak karena kota tersebut menjadi persinggahan bagi pengunjung yang lewat dari Padangsidimpuan sehingga menjadi daya tarik tersendiri bagi pengunjung tersebut untuk membeli salak. Setelah mengetahui bahwasanya salak memiliki nilai jual yang bisa dibarter maka hal tersebut mempengaruhi pola pikir masyarakat Parsalakan yang tadinya menganggap tanaman salak hanya untuk konsumsi pribadi kemudian beralih untuk diperdagangkan ke Sibolga dan Padangsidimpuan. Masyarakat pun mulai satu persatu menjual hasil tanaman salak mereka ke Sibolga dan Padangsidimpuan meskipun menggunakankendaraan sadopedati dengan memakan waktu 3 hari baru sampai ke Sibolga karena medan yang dilalui tidak sebaik sekarang dan belum menggunakan alat transportasi modern seperti mobil dan sepeda motor, namun hal ini tidak menyurutkan semangat mereka untuk menjual salaknya ke Sibolga. Setelah dirasa mendapatkan untung dari menjual salak dengan menukarnyabarter dengan kebutuhan pokok sehari-hari mereka, maka masyarakat pun mulai membuka lahan salak yang baru agar hasil produksi salaknya bertambah.Dalam membuka lahan baru tersebut masyarakat memiliki tantangan tersendiri yaitu, tekstur tanah yang ada di Desa Parsalakan yang berbukit-bukit dan bahkan terlihat seperti membentuk suatu lembah sehingga membutuhkan tenaga yang ekstra dan perlu kehati-hatian dalam membuka lahan baru tersebut. Oleh karena merasa mendapat untung yang baik dari bertanam salak, maka masyarakat Parsalakan pun mulai memperhatikan pohon-pohon salak mereka.Pohon- pohon salak tersebut diurus dan dirawat dengan baik, seperti membersihkan rumput- rumput yang tumbuh disekitar pohon salak dengan menggunakan peralatan tradisional seperti sabit. Tidak hanya itu saja, masyarakat Parsalakan juga menanam tanaman seperti karet di areal pohon salak tersebut sebagai pohon pelindung salak dari sinar matahari langsung, dikarenakan daun-daun pohon salak tersebut mudahsekali gosong danselain itu pohon pelindung tersebut juga berperan dalam menjaga kelembapan kebun agar tanahnya tidak menjadi kering dan juga berperan dalam melindungi pohon salak tersebut dari terpaan angin kencang sebab pelepah daun salak sangat mudah putus jika terkena angin. Ada juga yang memagari pohon salaknya agar tidak diganggu oleh hewan liar seperti babi dan anjing yang suka membongkar buah salak yang sudah matang.

3.2 Modal

Masyarakat Parsalakan tidak membutuhkan dana yang besar sebagai modal mereka dalam membuka lahan untuk tanaman salak dan memelihara salak. Masyarakat hanya menggunakan modal tenaga dan motivasi yang besar untuk merubah kondisi hidupnya kearah yang lebih baik sebagai modal utama mereka.Mereka hanya membutuhkan parang dan sabit yang digunakan untuk membersihkan tanaman-tanaman liar seperti rumput.Selain itu peralatan tersebut juga digunakan untuk memanen salak terutama dalam memotong tandan salak dari pohon salak. Dalam pengerjaan lahan salak tersebut petani salak mengerjakan ladangnya secara bergotong royong sebagaimana yang biasa dilakukan oleh masyarakat tersebut sehari-hari yaitu dengan caramarsialapari. Seperti telah disinggung di babsebelumnya, pengerjaan dengan sistem marsialapari ini yaitu ketika 2-3 keluarga mengerjakan ladangnya secara bergantian dan bersama-sama. Tentu saja sistem tersebut tidak membutuhkan modal yang besar, karena dikerjakan secara sukarela dan tanpa paksaan sebab hal tersebut menguntungkan keluarga-keluarga yang empunya