dalam hal ini kejatisu dan kejari Lubuk Pakam, telah memperkosa hak terpidana dan merenggut hak terpidana akan harapannya untuk hidup melalui
peluang yang diberikan pemerintah dengan adanya permohonan grasi yang kedua.
Jadi, akhirnya, jika mengingat kembali pertanyaan awal pad bagian ini, “Dapatkah dieksekusi selama upaya hukumnya berlangsung?” Maka jawabannya
adalah dapat jika eksekusi yang dilakukan itu bukan bagi terpidana mati. Namun, dalam kaitannya dengan kasus Dukun AS dalam hal ini penulis menyimpulkan
pihak eksekutor, yaitu Kejatisu melalui Kejari Lubuk Pakam, telah melanggar ketentuan hukum sebagaimana yang diatur dalam pasal 2 ayat 3 poin a UU No.
22 Tahun 2002 tentang Grasi yang ironisnya mereka jadikan sebagai dasar untuk mengeksekusi terpidana
.
C. Daya tekan Pidana Mati dalam menimbulkan efek jera bagi pelaku tindak pidana
Sanksi hukum pidana mati sering menjadi perbincangan dan berabad- abad lamanya diterapkan untuk dijadikan sistem pemidanaan oleh masyarakat.
Pada jaman itu paham masyarakat dalam menerapkan sanksi hukum pidana mati lebih mengedepankan tujuan pembalasan dalam sistem hukumnya. Dengan tujuan
agar kejahatan tidak terulang lagi sehingga masyarakat menjadi tenteram sekaligus juga dapat memberi efek jera bagi pelanggarnya dan menimbulkan rasa
takut kepada masyrakat secara umum. Namun demikian dipihak lain mengatakan
Universitas Sumatera Utara
bahwa hukuman mati dianggap tidak manusiawi dan kejam dan tidak efektif dalam menanggulangi kejahatan.
28
Sekitar abad ke-19 muncul pemikiran baru dikalangan ahli hukum Barat, yaitu tidak lagi membahas tentang hukum sebagai kemauan pribadi, tetapi sudah
bergeser dan menjadikan hukum sebagai kebutuhan manusia dalam masyarakat. Oleh ahli filsafat hukum barat Roscoe Pound mengatakan “Law as a tool of social
engineering”, yaitu tujuan hukum bukan hanya sebagai alat memelihara ketertiban dalam masyarakat melainkan juga sebagai alat dalam “membantu proses
perubahan” pada masyarakat itu sendiri. Ahli-ahli hukum, dokter, sosiolog, budayawan, psikolog, ekonom juga
turut memberi kontribusi terhadap arah perubahan pandangan dari pandangan klasik menuju ke aliran hukum pidana modern, sehingga teori lama tentang tujuan
hukum incasu tujuan Pidana Mati sebagai suatu tujuan pembalasan atas individu korbannya mulai ditinggalkan orang dan beralih demi melindungi terciptanya
ketertiban dalam masyarakat. Sebagai buktinya adalah banyak penelitian dilakukan oleh ahli hukum dan ahli-ahli bidang lainnya yang menaruh perhatian
pada sebab dan akibat terjadinya kejahatan. Sehingga memunculkan teori relatif, teori gabungan sampai kepada teori pembinaan terhadap para pelaku hukum atau
para penjahat seperti yang kita kenal sekarang ini. Isu ketentuan yang mengatur ancaman pidana mati dalam sistem hukum
pidana di Indonesia tersebar luas baik pada KUHP maupun dalam ketentuan hukum pidana khusus. Ketentuan dimaksud dapat dilihat pada pasal-pasal
28
Najab Khan, SH, Sanksi Hukum Pidana Mati dalam Menangkal Kejahatan di Indonesia, paper dalam majalah Yustisi- Vol. 2 No. 1- juni 2007, hlm 47
Universitas Sumatera Utara
kejahatan pembunuhan berencana, pencurian dengan kekerasan yang menyebabkan matinya korban, korupsi, psikotropika, kejahatan yang berhubungan
dengan bahan peledaksenjata, dan sebagainya. Negara, pemerintah dan sebagian besar masyarakat masih tetap menganggap serta meyakini ancaman pidana mati
atau keputusan hukuman mati dapat menurunkan tingkat kejahatan serta pula membuat efek deterrent efek mengerikanjera.
Berbicara mengenai daya tekan pidana mati tidak terlepas dari tujuan pemidanaan. Dan berbicara mengenai tujuan pemidanaan tak terlepas dengan
beberapa teori yang menyertainya. Dalam hukum pidana dikenal beberapa teori mengenai tujuan pemidanaan, antara lain, teori absolut teori pembalasan, teori
relatif teori prevensi dan teori gabungan.
29
Teori absolute pembalasan menyatakan bahwa kejahatan sendirilah yang memuat anasir-anasir yang menuntut pidana dan yang membenarkan pidana
dijatuhkan. Teori pembalasan ini pada dasarnya dibedakan atas corak subjektif yang pembalasannya ditujukan sekedar pada perbuatan apa yang telah dilakukan
orang yang bersangkutan. Teori relatif prevensi memberikan dasar dari pemidanaan pada
pertahanan tata tertib masyarakat. Oleh sebab itu tujuan dari pemidanaan adalah menghindarkan prevensi dilakukannya suatu pelanggaran hukum. Sifat prevensi
dari pemidanaan adalah prevensi umum dan prevensi khusus. Menurut teori prevensi umum, tujuan pokok pemidanaan yang hendak dicapai adalah
29
Adami Chazawi, Pelajaran Hukum Pidana Bagian 1: Stelsel Pidana, tindak Pidana, Teori-teori Pemidanaan dan Batas Berlakunya Hukum Pidana, Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada, 2002 hal.
155-166
Universitas Sumatera Utara
pencegahan yang ditujukan pada khalayak ramai, kepada semua orang agar tidak melakukan pelanggaran terhadap ketertiban masyarakat. Sedangkan menurut teori
prevensi khusus, yang menjadi tujuan pemidanaan adalah mencegah si penjahat mengulangi lagi kejahatan atau menahan calon pelanggar melakukan perbuatan
jahat yang telah direncanakannya. Sedangkan teori gabungan mendasarkan jalan pemikiran bahwa pidana
hendaknya didasarkan atas tujuan pembalasan dan mempertahankan ketertiban masyarakat, yang diterapkan secara kombinasi dengan menitikberatkan pada salah
satu unsurnya tanpa menghilangkan unsur yang lain maupun pada semua unsur yang ada.
Dari ketiga teori tersebut yang berkaitan secara langsung dengan daya tekan pidana yang menimbulkan efek jera atau efek deterrent efek
mengerikanjera adalah teori prevensi. Dimana dikatakan pada teori prevensi bahwa tujuan pemidanaan berupa pencegahan yang ditujukan pada khalayak
ramai, kepada semua orang agar tidak melakukan pelanggaran terhadap ketertiban masyarakat. Adanya tujuan pemidanaan berupa pencegahan memiliki hubungan
kausalitas dengan fungsi hukum pidana yang memberikan daya tekan sehingga menimbulkan efek jera.
Namun dalam praktiknya, menjadi pertanyaan, seberapa efektifkah daya tekan pidana mati dalam menimbulkan efek jera bagi pelaku tindak pidana? Tidak
mudah untuk menyibak jawaban terhadap pertanyaan tersebut. Sebagai contoh pembanding, masih tersimpan diingatan kita kasus Ayodya Prashad terpidana mati
karena tindak pidana narkotika, Dukun AS terpidana mati pembunuhan berencana
Universitas Sumatera Utara
terhadap 42 wanita, Tibo Cs dan banyak terpidana mati lainnya yang kini berjuang memperpanjang nafas mereka di bumi ini melalui upaya-upaya hukum yang
menjadi hak mereka, ternyata fakta membuktikan bahwa pembunuhan berencana masih terjadi disana-sini, para bandar dan kurir narkoba masih bermunculan
bahkan tidak memberi efek deterrent atau efek jera pada calon-calon penjahat yang akan muncul.
Konsep pidana mati oleh sebagian masyarakat diyakini dan dianggap sebagai pilihan kebijakan yang tepat dalam proses penegakan hukum dan bahkan
dianggap paling efektif di dalam mewujudkan ketertiban hokum masyarakat. Sehingga kebanyakan orang menginginkan pencantuman ancaman pidana mati
pada setiap keadaan-keadaan yang luar biasa atau pada keadaan yang dianggap membahayakan kelangsungan hidup masyarakat. Berbeda dengan konsep pidana
penjara, oleh masyarakat sering dianggap kurang efektif dan terkesan lunak. Namun bila diijinkan untuk membuat perbandingan dan menarika
hubungan kausalitas antara sudah berapa lama hukuman mati diterapkan di Negara ini dengan statistik terpidana mati baik yang sudah dieksekusi maupun
yang belum dieksekusi mulai diterapkannya pidana mati sampai saat ini yang ternyata semakin meningkat, maka kesimpulan logis yang dapat ditulis dalam
secarik kertas bahwa persamaan yang didapat adalah pidana mati tidak memberikan pengaruh sama sekali dalam memberi efek jera bagi para pelaku
tindak pidana residivis maupun para calon pelaku tindak pidana.
Universitas Sumatera Utara
BAB IV Analisis Kasus Grasi dalam Eksekusi Terpidana Mati Dukun AS
A. Putusan Pidana Mati Dukun AS dan Pertimbangan-pertimbangan Hukum Hakim dalam Menjatuhkan Vonis