Eksistensi Grasi Saat Ini Standar Baku Permohonan Grasi Dikabulkan Bilakah suatu permohonan grasi dikabulkan

B. Eksistensi Grasi Saat Ini

Ruang lingkup Grasi Grasi, pada dasarnya, pemberian dari Presiden dalam bentuk pengampunan yang berupa perubahan, peringanan, pengurangan, atau penghapusan pelaksanaan putusan kepada terpidana. Dengan demikian, pemberian grasi bukan merupakan persoalan teknis yuridis peradilan dan tidak terkait dengan penilaian terhadap putusan hakim. Pemberian grasi bukan merupakan campur tangan Presiden dalam bidang yudikatif, melainkan hak prerogatif Presiden untuk memberikan ampunan. Kendati pemberian grasi dapat mengubah, meringankan, mengurangi, atau menghapuskan kewajiban menjalani pidana yang dijatuhkan pengadilan, tidak berarti menghilangkan kesalahan dan juga bukan merupakan rehabilitasi terhadap terpidana. Ruang lingkup permohonan dan pemberian grasi menurut UU Permohonan Grasi yaitu semua putusan pengadilan sipil maupun pengadilan militer yang telah berkekuatan hukum tetap. Sedangkan ruang lingkup permohonan dan pemberian grasi menurut UU Grasi yaitu terhadap semua putusan pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap. Putusan tersebut adalah pidana mati, penjara seumur hidup atau penjara paling rendah dua tahun.

C. Standar Baku Permohonan Grasi Dikabulkan Bilakah suatu permohonan grasi dikabulkan

Grasi merupakan hak prerogatif dari Presiden, yang diberikan oleh konstitusi UUD. Dewasa ini istilah prerogatif diartikan sebagai hak atau Universitas Sumatera Utara kekuasaan eksklusif atau istimewa yang berada pada sebuah badan atau pejabat karena menduduki suatu kedudukan resmi. Dengan demikian, dalam menghadapi permohonan grasi dari terpidana, Presiden akan mengambil tindakan dengan pertimbangan dan kebijaksanaanya sendiri secara alternatif, mengabulkan atau menolak permohonan grasi tersebut. Keputusan ini juga bersifat absolut, artinya, tindakan Presiden dalam kaitannya dengan pemberian atau penolakan grasi tidak dapat dikontrol atau dinilai oleh pengadilan. Berkaitan dengan bagaimana permohonan grasi dapat dikabulkan atau bahkan ditolak oleh Presiden tidak ada keterangan secara tegas ataupun tersirat dalam UUD Negara Republik Indonesia tahun 1945 maupun peraturan perundang- undangan lainnya. Oleh karena itu, Presiden dapat melaksanakan kekuasaan grasi tersebut untuk alasan apapun yang oleh dia pribadi dianggap pantas. Termasuk alasan kemanusiaan, keadilan, moral ataupun alasan politik. Menurut Pompe 19 1. adanya kekurangan di dalam perundang-undangan, yang di dalam suatu peradilan telah menyebabkan hakim terpaksa menjatuhkan suatu pidana tertentu, yang apabila kepada hakim itu telah diberikan suatu kebebasan yang lebih besar akan menyebabkan seseorang harus dibebaskan atau tidak akan diadili oleh pengadilan ataupun harus dijatuhi suatu tindak pidana yang lebih ringan. Dalam hal ini Pompe menunjuk antara lain pada penafsiran yang lebih , terdapat keadaan-keadaan tertentu yang dapat dipakai sebagai alasan untuk memberikan grasi, yaitu: 19 Pompe dalam P.A.F Lamintang, Hukum Penitentier Indonesia, CV. Armico, Bandung, 1984. hlm. 287-288 Universitas Sumatera Utara luas dari pengertian overmacht di dalam arrest dari Hoge Raad tanggal 15 Oktober 1923, N.J. 1923 W. 11113; 2. adanya keadaan-keadaan yang telah tidak ikut diperhitungkan oleh hakim pada waktu menjatuhkan pidana, yang sebenarnya perlu diperhitungkan untuk meringankan atau untuk meniadakan pidana yang telah ia jatuhkan. Tentang hal ini Pompe telah meyebutkan beberapa contoh, yaitu misalnya keadaan terpidana yang sedang sakit atau keadaan terpidana yang tidak mampu untuk membayar pidana yang telah dijatuhkan oleh hakim; 3. terpidana baru saja dibebaskan dari lembaga pemasyarakatan oleh Pompe telah dikatakan bahwa pasal 15 dari keputusan mengenai grasi yang berlaku di negeri Belanda itu telah selalu menunjuk kepada hal tersebut; 4. Pemberian grasi setelah terpidana selesai menjalankan suatu masa percobaan, yang menyebabkan terpidana memang dapat dipandang sebagai pantas untuk mendapatkan pengampunan; 5. pemberian grasi yang dikaitkan dengan hari besar yang bersejarah. Menurut Pompe grasi seperti ini dapat membuat terpidana selalu ingat kepada hari bersejarah yang bersangkutan dan dapat membantu pemerintah dalam mencapai tujuannya apabila grasi seperti itu diberikan kepada orang-orang terpidana yang telah melakukan tindak pidana-tindak pidana yang bersifat politis. Sedangkan menurut Van Hattum 20 20 Ibid, hlm 288-289 , alasan pemberian grasi antara lain: Universitas Sumatera Utara “Naar huidige rechtstopvatting mag het instituut echter niet meer gehanteerd worden als vorstelijk guastbetoon, doch behoort het te worden aangewend als middel om onrecht zou moeten leiden. Ook redenen van staatsbelang kunnen aanleiding zijn tot gratieverlening.” Yang artinya: “Menurut pandangan hukum dewasa ini, lembaga tersebut tidak boleh lagi dipergunakan sebagai kemurahan hati dari raja, melainkan ia harus dipergunakan sebagai alat untuk meniadakan ketidakadilan, yaitu apabila hukum yang berlaku di dalam pemberlakuannya dapat menjurus pada suatu ketidakadilan. Kepentingan negara itu juga dapat dipakai sebagai alasan pemberian grasi.” Dari pendapat di atas dapat disimpulkan bahwa yang dapat dijadikan alasan pemberian grasi oleh presiden antara lain faktor keadilan dan kemanusiaan. Faktor keadilan yakni jika ternyata karena sebab-sebab tertentu hakim pada lembaga peradilan telah menjatuhkan pidana yang dianggap “kurang adil” maka grasi dapat diberikan sebagai penerobosan untuk mewujudkan keadilan. Faktor kemanusiaan tersebut dilihat dari keadaan pribadi terpidana, misalnya jika terpidana dalam keadaan sakit atau telah membuktikan drinya telah berubah menjadi lebih baik,maka grasi juga dapat diberikan sebagai suatu penghargaan terhadap kemanusiaan itu sendiri. Dalam undang-undang grasi sebelum UU No. 22 tahun 2002, prosedur penanganan grasi melibatkan beberapa komponen yang berkaitan dengan sistem peradilan pidana criminal justice system. Masing-masing instansi mulai dari Hakim Ketua Pengadilan Negeri, Kejaksaan Negeri, Menteri Kehakiman, Jaksa Agung sampai Mahkamah Agung menyertakan pertimbangannya berkaitan dengan pemebrian atau penolakan grasi terhadap seorang terpidana. Dalam UU Universitas Sumatera Utara No. 22 tahun 2002 terdapat penyederhanaan birokrasi, sehingga tidak diperlukan lagi pertimbangan selain dari Mahkamah Agung. Dari uraian tersebut dapat dipahami bahwa presiden mempunyai kekuasaan mutlak atas grasi. Adapun pembatasan yang diberikan oleh pasal 14 UUD RI tahun 1945, bahwa pemberian grasi harus memperhatikan pertimbangan dari Mahkamah Agung, tidak serta merta mengikat. Karena pertimbangan hukum sifatnya tidak mutlak harus dilaksanakan. Jika dilihat dalam hal kewenangan presiden atas grasi, berdasarkan pendekatan aliran klasikdalam kriminologi, presiden harus membuat masyarakat merasakan ketentraman dengan pemberian atau penolakan grasi tersebut. Keberadaan penjahat telah merusak keseimbangan sosial. Keadaan tersebut harus dipulihkan. Presiden harus menjalankan perannya sebagai pengayom masyarakat. Sedangkan manfaat secara sosiologis yaitu melindungi masyarakat dari kejahatan. Berkaitan dengan teori labeling, pemberian grasi terhadap terpidana mati akan dilihat berkaitan dengan karakteristik kejahatan yang telah dilakukan oleh terpidana. Untuk kejahatan yang dampaknya tidak langsung dirasakan oleh masyarakat, label yang dikenakan padanya tidak seberat label yang dikenakan bagi terpidana yang terbukti melakukan kejahatan yang dampaknya dapat dirasakan secara langsung oleh masyarakat. Hal ini bepengaruh pada penerimaan masyarakat pada terpidana mati yang ternyata memperoleh grasi dari Presiden. Oleh karena itu, pertimbangan Presiden dalam memutuskan penolakan atau pengabulan permohonan grasi terpidana mati disamping melihat karakteristik dari kejahatan yang dilakukan, Universitas Sumatera Utara juga harus memperhatikan rasa keadilan dalam masyarakat. Sehingga dapat diwujudkan manfaat bagi masyarakat banyak. Dari uraian tersebut diatas maka dapat diketahui bahwa tidak ada standar yang baku untuk dikabulkannya sebuah permohonan grasi apakah itu dalam bentuk peraturan perundang-undangan maupun ketentuan-ketentuan tertulis lainnya. Namun, secara garis besar dapat disimpulkan beberapa hal sebagai berikut: 1. Dalam menghadapi permohonan grasi dari terpidana, Presiden akan mengambil tindakan dengan pertimbangan dan kebijaksanaannya sendiri secara alternatif, mengabulkan atau menolak permohonan grasi tersebut. Keputusan ini bersifat absolut, artinya tindakan Presiden dalam kaitannya dengan pemberian atau penolakan grasi tidak dapat dikontrol atau dinilai oleh pengadilan; 2. tidak ada keterangan secara tegas ataupun tersirat dalam UUD NRI Tahun 1945 maupun perundang-undangan lainnya. Oleh karena itu, Presiden dapat melaksanakan kekuasaan grasi tersebut untuk alasan apapun yang oleh dia pribadi dianggap pantas. Termasuk alasan kemanusiaan, keadilan, moral ataupun alasan politik. 3. Hanya ada keadaanfaktor tertentu diluar peraturan perundang-undangan yang dapat dijadikan pertimbangan untuk memberikan grasi. Menurut Pompe ada lima 5 keadaan, yaitu adanya kekurangan dalam peraturan perundang- undangan, ada hal yang tidak diperhitungkan oleh hakim sebagai hal yang meringankan bagi terpidana, terpidana baru saja dibebaskan dari lembaga Universitas Sumatera Utara pemasyarakatan, terpidana dipandang pantas mendapatkan grasi karena mengalami perubahan setelah menjalankan suatu masa percobaan, adanya hari besarbersejarah sebagai cara untuk membuat terpidana mengenang dan menghargai hari itu sebagai bentuk nasionalismebela bangsa. Sedangkan menurut Van Hattum, disamping untuk meniadakan ketidakadilan apabila pemberlakuan hukuman itu menjurus kepada suatu ketidakadilan, kepentingan negara juga dapat dipakai sebagai alasan pemberian grasi. 4. Berdasarkan pendekatan aliran klasik dalam Kriminologi, Presiden harus membuat masyarakat merasakan ketenteraman dengan pemberian atau penolakan grasi tersebut. Berkaitan dengan teori labeling, pemberian grasi terhadap terpidana mati akan dilihat berkaitan dengan karakteristik kejahatan yang telah dilakukan oleh terpidana. Sebelum sebuah permohonan grasi diajukan dan akhirnya dikabulkan atau ditolak oleh Presiden, permohonan grasi tersebut sebelum diajukan kepada Presiden harus memenuhi syarat sebagai berikut: 1. Diajukan atas suatu putusan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap; 2. Pihak yang dapat mengajukan grasi adalah terpidana atau keluarganya atau melalui kuasa hukumnya. Untuk terpidana mati, keluarga dapat mengajukan permohonan grasi sekalipun tanpa persetujuan terpidana; 3. Putusan pemidanaan yang dapat dimohonkan grasi adalah pidana mati, penjara seumur hidup, dan penjara paling rendah 2 dua tahun; 4. Grasi hanya dapat diajukan satu kali, kecuali dalam hal: Universitas Sumatera Utara a. terpidana yang pernah ditolak permohonan grasinya dan telah lewat 2 dua tahun sejak tanggal penolakan permohonan grasi tersebut, b. terpidana yang pernah diberi grasi dari pidana mati menjadi pidana penjara seumur hidup dan telah lewat waktu 2 dua tahun sejak tanggal keputusan grasi diterima. D. Prosedur Pengajuan Grasi Berdasarkan Undang-undang Republik Indonesia No. 22 Tahun 2002 Tentang Grasi Berdasarkan UU Permohonan Grasi, prosedur permohonan grasi yaitu sebagai berikut; 21 1. Hakim atau hakim ketua sidang yang memutus perkara pada tingkat pertama memberitahukan hak mengajukan grasi kepada terpidana sesaat setelah putusan dibacakan. Namun apabila terpidana tidak hadir, hak terpidana diberitahukan secara tertulis oleh panitera dari pengadilan yang memutus perkara pada tingkat pertama. 2. Surat permohonan yang diajukan oleh terpidana atau orang lain dengan persetujuan terpidana dalam hal terpidana dijatuhi pidana mati, dapat diajukan tanpa persetujuan terpidana harus diajukan kepada Presiden setelah putusan pengadilan memperoleh kekuatan hukum tetap dan disampaikan kepada Pengadilan yang memutus pada tingkat pertama untuk diteruskan kepada Mahkamah Agung. Permohonan grasi ini dan salinannya dapat pula disampaikan melalui Kepala Lembaga Pemasyarakatan tempat terpidana 21 Pasal 5 s.d. 13 Undang-undang Republik Indonesia Nomor 22 Tahun 2002 tentang Grasi Universitas Sumatera Utara menjalani pidana yang nantinya akan disampaikan oleh Kepala Lembaga Pemasyarakatan tersebut kepada Presiden dan salinannya kepada pengadilan yang memutus perkara pada tingkat pertama. 3. Permohonan grasi tidak dibatasi oleh tenggang waktu tertentu. 4. Setelah menerima permohonan yang diajukan, dalam jangka waktu paling lambat 20 dua puluh hari terhitung sejak tanggal penerimaan salinan permohonan grasi, Panitera Pengadilan mengirimkan surat permohonan tersebut beserta berita-berita acara sidang, surat putusan yang bersangkutan atau salinannya, dan banding serta kasasi bila ada kepada Ketua Pengadilan yang memutus pada tingkat pertama untuk diteruskan ke Mahkamah Agung. 5. Mahkamah Agung MA memberikan pertimbangan-pertimbangannya terhadap grasi yang diajukan terpidana. 6. Dalam jangka paling lama tiga bulan terhitung sejak tanggal diterimanya salinan permohonan dan berkas perkara, MA segera meneruskan berkas- berkas tersebut beserta pertimbangan yang tertulis kepada Presiden. 7. Presiden kemudian memberikan keputusannya, apakah mengabulkan permohonan grasi atau menolaknya. Jangka waktu pemberian atau penolakan grai paling lambat tiga bulan terhitung sejak diterimanya pertimbangan Mahkamah Agung. Kemudian Keputusan Presiden megenai grasi tersebut disampaikan kepada terpidana paling lambat empat belas hari terhitung sejak ditetapkannya Keputusan Presiden. 8. Salinan Keputusan Presiden Keppres tersebut disampaikan kepada: a. Mahkamah Agung, Universitas Sumatera Utara b. Pengadilan yang memutus perkara pada tingkat pertama, c. Kejaksaan Negeri yang menuntut perkara terpidana, d. dan Lembaga Pemasyarakatan tempat terpidana menjalani pidana terkait. Prosedur pengajuan grasi sebagaimana telah dipaparkan diatas merupakan prosedur pengajuan grasi yang baku yang harus dilakukan oleh terpidana maupun kuasa hukumnya baik pada pengajuan grasi yang pertama maupun pengajuan grasi yang kedua. Namun untuk dapat mengajukan permohonan grasi yang kedua, terpidana harus menunggu waktu dua tahun sejak pengajuan grasi yang pertama ditolak oleh Presiden. Universitas Sumatera Utara

BAB III Kajian Terhadap Prosedur Pengeksekusian Terpidana Mati

A. Bagaimana seorang terpidana mati dapat segera dieksekusi

Dokumen yang terkait

Aspek Hukum Pidana Profesi Kedokteran Kehakiman Sebagai Ahli Berdasarkan Pasal 179 Kuhap (Analisa Putusan Pengadilan Negeri Lubuk Pakam No 1498/Pid.B/2012/Pn.Lp.Pb)

0 48 109

Suatu Telaah Terhadap Proses Pengajuan Grasi Terhadap Putusan Pidana Mati Berdasarkan UU RI No. 22 Tahun 2002 Tentang Grasi (Studi Kasus PUTUSAN Pengadilan Negeri Lubuk Pakam No.513/PID. B/1997/PN. LP)

0 64 77

Peranan Visum Et Repertum Sebagai Alat Bukti Dalam Kasus Tindak Pidana Pembunuhan (Study Kasus Putusan Pengadilan Negeri Lubuk Pakam No. 1243/Pid B/2006/PN-LP)

5 97 118

Pencabutan Delik Aduan Dalam Kasus Kekerasan Dalam Rumah Tangga Dan Akibatnya Dalam Peradilan Pidana (Studi Kasus Putusan Pengadilan Negeri Lubuk Pakam No. Reg. : 1276/Pid.B/2007PN.LP)

3 144 102

Kajian Hukum Terhadap Tindak Pidana Menerima Gratifikasi Berdasarkan UU No. 31 Tahun 1999 Jo UU No. 20 Tahun 2001 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi

5 67 133

Implementasi Pidana Mati Terhadap Tindak Pidana Pembunuhan (Study Putusan No. 514/Pid.B/1997/PN-LP)

0 27 87

Perlindungan Hukum Terhadap Anak Dalam Proses Peradilan Pidana Sesuai Dengan Undang-Undang No. 3 Tahun 1997 Tentang Pengadilan Anak (Studi Kasus Di Wilayah Pengadilan Negeri Tebing Tinggi Deli)

1 64 127

Tinjauan Hukum Atas hak Prerogatif Presiden Dalam Pemberian Grasi Terhadap terpidana Dikaitkan Dengan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2010 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2002 Tentang Grasi

0 15 90

ANALISIS PUTUSAN HAKIM TENTANG PENYELESAIAN WANPRESTASI PERJANJIAN PENJUALAN CRUDE PALM OIL (Studi Putusan Pengadilan Negeri Lubuk Pakam No.147/Pdt.G/2009/PN.LP)

1 8 45

Tinjauan Yuridis Terhadap Proses Tuntutan Ganti Kerugian Dalam Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (Studi Kasus Putusan Pengadilan Negeri Medan No. 2730/Pid.B/2001/PN.Mdn)

0 2 130