BAB III Kajian Terhadap Prosedur Pengeksekusian Terpidana Mati
A. Bagaimana seorang terpidana mati dapat segera dieksekusi
Merujuk kepada ketentuan yang berlaku seputar pengaturan pidana mati, baik KUHP, UU No. 22 Tahun 2002 tentang Grasi, UU No. 2Pnps1964 tentang
tata cara pelaksanaan pidana mati maupun UU pidana lainnya, tidak ada secara spesifik mengatur bagaimana seorang terpidana mati dapat segera dieksekusi.
Namun melihata realita yang terjadi kepada para terpidana mati yang bahkan ada yang menunggu hingga puluhan tahun adalah suatu hal yang wajar jika terlontar
pertanyaan, Bagaimanakah seorang terpidana mati dapat segera dieksekusi? Pertanyaan ini bukan serta merta menginginkan para pelaku kejahatan segera
dibumihanguskan melainkan sebagai pertanyaan korektif melihat banyaknya terpidana mati dalam kondisi yang tidak pasti dalam penantian menuju maut.
Pada dasarnya pidana mati dilaksanakan setelah semua upaya hukum yang dilakukan terpidana baik banding, kasasi, peninjauan kembali, maupun
grasi tidak membuahkan hasil. Berkaitan dengan faktor tertundanya pelaksanaan hukuman mati, keterkaitan peraturan perundang-undangan sangat berpengaruh
dalam tertundanya hukuman mati. Antasari Azhar berkata, “Faktor utama tertundanya pelaksanaan eksekusi terpidana dalam hal ini kejahatan
narkoba_namun demikian pula halnya terjadi bagi terpidana lain termasuk pelaku
Universitas Sumatera Utara
pembunuhan berencana seperti Dukun AS terkait dengan peraturan perundang- undangan.”
22
Antasari Azhar juga mengatakan selama seluruh syarat sahnya suatu eksekusi terpenuhi agar terjadi kepastian hokum, seorang eksekutor harus segera
melaksanakan eksekusi tersebut. Faktor-faktor yang memungkinkan terlaksananya sebuah eksekusi hukuman mati terhadap terpidana menurut Antasari Azhar
adalah:
23
1. kondusifnya si terpidana, artinya syarat-syarat sahnya si terpidana utuk dapat
dieksekusi terpenuhi misalnya; si terpidana tidak dalam keadaan sakit dan jika si terpidana seorang wanita tidak dalam keadaan hamil;
2. kesiapan eksekutor;
3. kesiapan regu tembak;
4. kesiapan lokasi, agar lokasi disiapkan agar tidak mengganggu ketertiban dan
ketetntraman masyarakat; 5.
kesiapan administrasi. Masih menurut Antasari, factor-faktor yang dapat menghambat atau
menunda terlaksananya hukuman mati terhadap terpidana yang telah mendapat keputusan hokum tetap antara lain adalah:
1. regulasi peraturan perundang-undangan, saat ini dengan UU tentang Grasi
dan UU tentang peninjauan kembali, dimana Peninjauan Kembali dapat diajukan dua 2 kali dan grasi dapat diajukan satu 1 kali. Inilah yang
22
Fajar Hari Kuncoro, Faktor-faktor Penghambat Pelaksanaan Hukuman Mati Bagi Pelaku Kejahatan Narkoba, Tesis pada Sekolah Pascasarjana Universitas Indonesia, 2008, hlm. 54
23
Ibid, hlm. 55
Universitas Sumatera Utara
menghambat terlaksananya eksekusi hukuman mati. Karena pengaturan teknisnya, kapan jarak waktu Peninjauan Kembali diajukan tidak diatur dalam
peraturan perundang-undangan yang tentunya hal ini dapat menghambat terlaksananya eksekusi;
2. persepsi, apakah Pengadilan Negeri yang menerima pengajuan Peninjauan
Kembali dari seorang terpidana, otomatis dapat menolak jika dianggap pengajuan Peninjauan Kembali terpidana tidak relevan. Karena dalam hal ini
Pengadilan Negeri tidak memiliki kapasitas dalam menolak Peninjauan Kembali. Karena dalam pengaturan hukum positif yang berlaku lembaga yang
berwenang untuk itu adalah Mahkamah Agung; 3.
kurangnya sosialisasipublikasi; 4.
waktu, fakta yang terjadi adalah pengajuan Peninjauan Kembali tidak dilihat dari novum bukti baru yang ada sementara teknis pengajuan Peninjauan
Kembali menurut hukum positif yang berlaku adalah jika ditemukan bukti baru pada kasus yang ada, namun yang terjadi adalah pengajuan Peninjauan
Kembali itu hanya untuk menyelesaikan haknya saja tanpa ada novum. Hal ini juga dilayani oleh Mahkamah Agung yang mana tentunya hal tersebut
bertentangan dengan undang-undang sehingga proses pengambilan keputusan terkait diterima atau tidaknya Peninjauan Kembali menjadi lama.
Menurut Antasari, undang-undang tidak mengatur jarak antara Peninjauan Kembali yang pertama dengan Peninjauan Kembali yang berikutnya.
Sehingga bilamana Peninjauan Kembali yang pertama ditolak sementara undang- undang tidak memberi definisi yang jelas mengenai jarak waktu antara Peninjauan
Universitas Sumatera Utara
Kembali yang pertama dengan yang kedua, hal ini membuat eksekutor tidak dapat segera melakukan eksekusi.
Undang-undang juga tidak mengatur secara tegas dalam hal mana seorang terpidana dapat mengajukan Peninjauan Kembali dan dalam hal mana
pula seorang terpidana tidak dapat mengajukan Peninjauan Kembali, inilah yang menimbulkan kerancuan dalam sisi pihak eksekutor. Sehingga diperlukan
perbaikan regulasi agar terjadi kepastian hukum dan juga untuk kepastian public serta agar si terpidana tidak terlalu lama menjalani masa hukuman di dalam
penjara yang tentunya hal tersebut sudah melanggar hak asasi si terpidana. Demikian pula halnya dalam hal sosialisai terkait peraturan perundang-
undangan tentang tata cara pelaksanaan hukuman mati. Dimana masih ada ketidaksepahaman antara sesama penegak hukum maupun publik yaitu
masyarakat secara umum, sehingga sering terjadi kerancuan manakala eksekutor masih memiliki kewenangan yaitu harus menyelesaikan instrument hukum yang
harus dijalani apakah grasi atau Peninjauan Kembali. Oeh karena itu dirasa perlu adanya semacam perbaikan atau peninjauan kembali terhadap mekanisme
pengajuan Grasi dan Peninjauan kembali agar terjadi kepastian hukum.
24
Pada dasarnya dalam pelaksanaan pidana mati, syarat utamanya adalah perkara tersebut harus telah mempunyai kekuatan hukum tetap in kracht van
gewijsde. Dalam hal ini sudah tidak ada lagi upaya hokum yang dilakukan oleh terpidana. Apabila perkara tersebut belum mempunyai kekuatan hukum tetap,
24
Ibid, hlm. 58
Universitas Sumatera Utara
maka Jaksa Kejaksaan belum dapat melakukan eksekusi terhadap pelaksanaan pidana mati.
Menurut Abdurachman Saleh, hambatan yang sering ditemui dalam pelaksanaan pidana mati, antara lain:
25
1. Putusan Banding, Kasasi dan Peninjauan Kembali waktunya sangat lama,
sehingga menghambat perkara tersebut segera memperoleh kekuatan hukum tetap;
2. Keputusan Presiden atas permohonan Grasi terpidana belum diterima
Kejaksaan, sehingga belum dapat dieksekusi; 3.
aturan hukum mengenai upaya hukum Peninjauan Kembali masih belum jelas, sehingga dimanfaatkan terpidana untuk mengajukan upaya hukum peninjauan
kembali kedua kalinya; 4.
belum jelasnya aturan hukum yang mengatur apakah terpidana yang sudah mengajukan grasi dapat mengajukan upaya hukum peninjauan kembali dan
apakah grasi merupakan upaya hukum terpidana yang terakhir. Sementara untuk percepatan pelaksanaan pidana mati, hal-hal yang
sering dilakukan Kejaksaan antara lain: 1.
meminta kepada Ketua Pengadilan Tinggi, Ketua Mahkamah Agung agar putusan banding atau kasasi atau peninjauan kembali segera diterbitkan;
2. memohon kepada Presiden agar segera menerbitkan Keputusan Presiden
mengenai menolak atau menerima Grasi terpidana;
25
Ibid, hlm. 66
Universitas Sumatera Utara
3. memberi masukan kepada badan legislative dan instansi terkait, agar membuat
aturan hukum yang jelas mengenai ketentuan Peninjauan Kembali maupun Grasi, artinya perubahan ketentuan.
Secara substansi, penyebab lamanya pelaksanaan pidana mati yaitu, bedasarkan pasal 24, 25, 26, 27, 28, 29 Kitab Undang-undang Hukum
Acara Pidana KUHAP, menyatakan bahwa masa penahanan untuk terdakwa dengan pidana di atas sembilan 9 tahun dari mulai proses penyidikan sampai
dengan keluarnya keputusan kasasi dari Mahkamah Agung adalah tujuh ratus 700 hari. Belum ditambah dengan masa peninjauan kembali oleh Mahkamah
Agung yang tidak dibatasi jangka waktunya, serta lamanya waktu presiden untuk mempertimbangkan keputusan grasi. Berbeda dengan peninjauan kembali yang
tidak mempunyai jangka waktu, maka grasi berdasarkan Undang-undang Nomor 22 Tahun 2002 tentang Grasi, Pasal 8, 9, 10, 11, 12 waktu maksimal yang
dibutuhkan adalah tujuh 7 bulan sebelas 11 hari, jika grasi diajukan melalui kepala Lembaga Pemasyarakatan. Jika diajukan langsung tanpa melalui kepala
Lembaga Pemasyarakatan, maka jangka waktu yang ditempuh adalah tujuh 7 bulan empat 4 hari. Berdasarkan undang-undang ini, terpidana dapat
mengajukan grasi kedua setelah permohonan grasi pertama ditolak, dan telah lewat waktu dua 2 tahun.
Dalam praktik, biasanya setelah permohonan kasasi ditolak, terpidana mengajukan grasi. Kemudian setelah grasi ditolak, ia mengajukan peninjauan
kembali. Seperti disebutkan sebelumnya, jangka waktu peninjauan kembali tidak diatur dengan jelas, sehingga diharapkan peninjauan kembali akan memakan
Universitas Sumatera Utara
waktu lama, yaitu dua 2 tahun atau lebih. Pada saat itu, sesuai dengan ketentuan pasal 2 ayat 3 UU No. 22 Tahun 2002, maka ia sudah dapat mengajukan lagi
grasi kedua. Jika kemudian grasi ditolak, ia mengajukan peninjauan kembali. Sehingga ada beberapa terpidana yang telah mengajukan grasi dan peninjauan
kembali berulang-ulang. Dengan demikian tidaklah mengherankan jika hukuman mati yang dijatuhkan kepada terpidana memakan waktu yang relative lama untuk
sampai pada waktu pelaksanaan eksekusi.
B. Dapatkah dieksekusi selama upaya hukumnya masih berlangsung studi kasus Dukun AS