Aspek Usahatani Jamur Tiram Putih

VII. ANALISIS EKONOMI USAHATANI JAMUR TIRAM PUTIH DI KECAMATAN CISARUA DAN KECAMATAN MEGAMENDUNG

Analisis ekonomi dalam penelitian ini dilihat dari dua aspek yaitu aspek usahatani jamur tiram putih dan aspek kelayakan usahatani jamur tiram putih. Analisis aspek usahatani yang dilakukan mencakup aspek pasar, aspek teknis, aspek manajemen dan hukum, aspek ekonomi dan sosial serta aspek lingkungan.

7.1 Aspek Usahatani Jamur Tiram Putih

7.1.1 Aspek Pasar Tersedianya pasar yang baik dalam menyerap jamur tiram putih segar dan bibit jamur tiram putih yang dihasilkan oleh usahatani jamur tiram putih, maka usahatani tersebut dapat berkembang dengan baik. Berikut ini adalah analisis lebih lanjut mengenai komponen-komponen dari aspek pasar.

7.1.1.1 Potensi Pasar Permintaan dan Penawaran

Terdapat dua jenis permintaan yang terjadi pada usahatani jamur putih di Kecamatan Cisarua dan Megamendung, yaitu permintaan bibit jamur tiram putih dan jamur tiram putih segar. Pasar jamur tiram putih segar yang menjadi sasaran dari usahatani jamur tiram putih di Kecamatan Cisarua dan Megamendung adalah pasar di Bogor, Jakarta, Depok, Bekasi dan Tangerang dan pemasaran bibit hanya di sekitar Kecamatan Cisarua dan Megamendung.

7.1.1.2 Bauran Pemasaran

a Produk Usahatani jamur tiram putih di Kecamatan Cisarua dan Megamendung menghasilkan output berupa bibit jamur tiram putih dan jamur tiram putih segar. Bibit yang dihasilkan usahatani non plasma A sebanyak 306 180.00 botoltahun, dimana 74 052.00 botoltahun dijual dan 232 128.00 botoltahun digunakan untuk 67 budidaya sendiri. Jamur tiram putih segar yang dihasilkan oleh usahatani non plasma A, usahatani non plasma B dan usahatani plasma sebesar 421 906.32 kgtahun. b Harga Harga jamur tiram putih segar yang diterima oleh usahatani non plasma A, usahatani non plasma B dan usahatani plasma di Kecamatan Cisarua dan Megamendung sebesar Rp 7 500.00kg dengan sistem jamur diambil ditempat oleh para pedagang pengepul. Harga bibit jamur tiram putih yang dihasilkan oleh usahatani non plasma A sebesar Rp 3 000.00botol dengan sistem diambil ditempat juga oleh para pembeli. c Tempat Saluran Distribusi Output yang dihasilkan dalam usahatani non plasma A berupa bibit jamur tiram putih dan jamur tiram putih segar. Output yang dihasilkan dalam usahatani non plasma B dan usahatani plasma berupa jamur tiram putih segar. Saluran distribusi pemasaran bibit jamur tiram putih dari usahatani non plasma A kepada para konsumen di Kecamatan Cisarua dan Megamendung dapat dilihat pada Gambar 2. Sumber: Data primer diolah, 2012 Gambar 2. Saluran Distribusi Pemasaran Bibit Jamur Tiram Putih di Kecamatan Cisarua dan Kecamatan Megamendung Pemasaran jamur tiram putih segar berbeda dengan pemasaran bibit jamur tiram putih dimana usahatani non plasma A, usahatani non plasma B dan usahatani plasma tidak menjual langsung jamur tiram putih segar kepada Usahatani non plasma A di Kecamatan Cisarua dan Megam endung Konsumen bibit jamur tiram putih di Kecamatan Cisarua dan Megam endung 68 konsumen akhir melainkan melalui pedagang pengepul. Saluran distribusi pemasaran jamur tiram putih segar dari usahatani non plasma A, usahatani non plasma B dan usahatani plasma di Kecamatan Cisarua dan Megamendung kepada konsumen dapat dilihat pada Gambar 3. Sumber: Data primer diolah, 2012 Gambar 3. Saluran Distribusi Pemasaran Jamur Tiram Putih Segar di Kecamatan Cisarua dan Kecamatan Megamendung Saluran pertama, jamur tiram putih segar yang dihasilkan dijual ke pedagang pengepul. Selanjutnya pedagang pengepul menjual jamur tiram putih segar tersebut ke pedagang pengecer pertama yang berjualan di Pasar Cisarua, Bogor, Jakarta, Depok, Bekasi dan Tangerang, dari pedagang pengecer ini kemudian sampai di konsumen akhir. Saluran kedua, petani tetap menjual kepada pedagang pengepul dan pedagang pengepul menjualnya kepada pedagang pengecer pertama. Pedagang pengecer pertama kemudian menjual ke pedagang pengecer kedua seperti pedagang di Pasar Pondok Gede dan Pasar Jatinegara, dari pedagang pengecer kedua kemudian sampai kepada konsumen akhir. d Promosi Usahatani non plasma A mempromosikan bibit jamur tiram putih yang dihasilkan dengan cara memberikan contoh bibit jamur tiram putih yang dihasilkan kepada petani jamur tiram putih yang lain. Promosi jamur tiram putih segar yang dilakukan oleh petani non plasma A, petani non plasma B dan petani Pedagang pengepul Pedagang pengecer 1 Pedagang pengecer 2 Konsumen akhir 2 Usahatani non plasma A, usahatani non plasma B dan usahatani plasma 1 69 plasma sama halnya dengan mempromosikan bibit jamur tiram putih yaitu dengan cara memberikan contoh jamur tiram putih segar yang dihasilkan kepada konsumen atau pasar. Hal ini dilakukan agar para konsumen dan pasar dapat mengetahui kualitas dari bibit jamur tiram putih dan jamur tiram putih segar. Promosi dengan cara memberikan contoh bibit dan jamur tiram putih segar dikakukan oleh para petani rata-rata satu bulan ketika usahatani mulai menghasilkan output. Setelah berlangsung satu bulan melakukan promosi dengan memberikan contoh dan para konsumen mengetahui kualitas dari output yang dihasilkan oleh usahatani yang ada maka promosi dilakukan dengan cara word of mouth karena beberapa pasar sudah mengetahui kualitas yang baik dari bibit jamur tiram putih yang dihasilkan oleh petani non plasma A dan jamur tiram putih segar dari petani non plasma A, petani non plasma B dan petani plasma. Berdasarkan aspek pasar maka usahatani jamur tiram putih di Kecamatan Cisarua dan Megamendung layak untuk dijalankan.

7.1.2 Aspek Teknis

Aspek teknis dalam usahatani jamur tiram putih yang dikaji berkaitan dengan pemilihan lokasi usahatani jamur tiram putih, pemilih jenis teknologi dan peralatan, proses produksi dan tata letak usahatani jamur tiram putih. Berikut ini adalah analisis lebih lanjut mengenai komponen-komponen dari aspek teknis.

7.1.2.1 Pemilihan Lokasi Usahatani Jamur Tiram Putih

Petani jamur tiram putih baik petani non plasma A, petani non plasma B dan petani plasma memilih Kecamatan Cisarua dan Megamendung, Kabupaten Bogor, Jawa Barat sebagai tempat untuk melakukan usahataninya berdasarkan kondisi lingkungan yang cocok untuk pertumbuhan jamur tiram putih, 70 ketersediaan bahan baku, ketersediaan tenaga kerja, letak pasar yang dituju, dan ketersediaan sarana prasarana serta fasilitas transportasi. a Kondisi Lingkungan Pembuatan Bag log Usahatani non plasma A, Usahatani non plasma B dan Usahatani plasma yang ada di Kecamatan Cisarua dan Megamendung terletak pada ketinggian dan suhu yang sama yaitu 650.00 - 1 110.00 m dari permukaan laut. Suhu rata-rata di Kecamatan Cisarua dan Megamendung yaitu 17.80 - 23.90°C. Menurut Dinas Pertanian dan Kehutanan Kabupaten Bogor 2012, suhu yang baik saat jamur tiram putih membentuk miselium atau pada masa inkubasi adalah berkisar antara 22 - 28°C, sedangkan suhu pada pembentukan buah berkisar antara 16 - 22°C. Hal ini memperlihatkan bahwa Kecamatan Cisarua dan Megamendung baik dan cocok untuk pertumbuhan jamur tiram putih. b Ketersediaan Bahan Baku Dalam pembuatan bag log bahan yang digunakan oleh usahatani non plasma A dan usahatani non plasma B terbagi menjadi dua yaitu bahan utama dan bahan pelengkap. Bahan utama terdiri dari: serbuk gergaji, dedak, kapur, plastik bag log dan bibit jamur tiram putih, sedangkan bahan pelengkap terdiri dari: tepung jagung, tepung tapioka, gula bubuk, biji jagung pecah, urea dan TSP. Penambahan bahan-bahan pelengkap dilakukan oleh petani dengan tujuan agar hasil produksi jamur tiram putih dapat meningkat, namun masih ada tiga usahatani yang terdiri dari satu unit usahatani non plasma A dan dua unit usahatani non plasma B menggunakan urea. Empat unit usahatani non plasma B menggunakan TPS sebagai bahan pelengkap pembuatan bag log. Hal ini menyebabkan jamur tiram putih menjadi bahan pangan anorganik, serta jamur tiram putih cepat layu 71 dan menguning setelah di panen. Sebenarnya penggunaan urea dan TSP sebagai bahan pelengkap bag log pada tahun 2001 sudah dilarang oleh Dinas Pertanian dan Kehutanan Kabupaten Bogor karena Dinas Pertanian dan Kehutanan Kabupaten Bogor ingin mewujudkan jamur tiram putih sebagai bahan pangan organik Dinas Pertanian dan Kehutanan Kabupaten, 2012. Ketersediaan bahan baku perlu diperhatikan agar kelancaran produksi dapat terjamin. Bahan baku dibeli oleh para petani non plasma A dan petani non plasma B dari pemasok dan dari penjual langsung yang berada di daerah Sukabumi, Cianjur, Bogor, Leuwiliang, Leuwisadeng dan sekitar Cisarua serta Megamendung. Petani plasma membeli bag log jadi dari pembuat bag log yang berada di daerah Gadok, Ciawi. Serbuk gergaji adalah salah satu bahan yang harus diperhatikan kualitasnya oleh petani non plasma A dan petani non plasma B karena bahan ini merupakan produk sisa penggergajian kayu. Hasil sisa penggergajian kayu yang digunakan petani pada umumnya sudah tercampur bahan-bahan kimia lain atau tercampur pasir-pasir sehingga kualitas dari serbuk gergaji itu sendiri menjadi rendah. Serbuk gergaji di Kecamatan Cisarua dan Megamendung sulit didapatkan maka petani membeli serbuk gergaji dari pemasok dan melakukan kerjasama dengan pengusaha penggergajian dari daerah Sukabumi dan Cianjur Selatan serta Leuwiliang dan Leuwisadeng. Terdapat empat orang petani yang terdiri dari dua petani non plasma A dan dua petani non plasma B melakukan inisiatif dengan melakukan kerjasama dengan pengusaha penggergajian agar mendapatkan kualitas serbuk gergaji terjamin kualitasnya. 72 Petani memilih membeli ke pemasok dan melakukan inisiatif kerja sama dengan perusahaan penggergajian karena pemasok tidak dapat memenuhi permintaan, di samping itu kualitas serbuk gergaji dari pemasok tidak dapat diketahui secara pasti, berbeda halnya dengan membeli langsung kepada perusahaan gergaji. Namun masih banyak petani di Kecamatan Cisarua dan Megamendung kurang memperhatikan kualitas serbuk gergaji karena kurangnya informasi. Bahan baku berupa dedak diperoleh petani non plasma A dan petani non plasma B dari pemasok dari daerah Cianjur. Bibit diperoleh langsung dari penjual bibit dan petani non plasma A yang berada di daerah Cisarua dan Cianjur. Bahan baku lainnya seperti kapur, bibit jagung, karet dan plastik diperoleh dari pasar di Cisarua, Megamendung dan Bogor. Bahan baku yang digunakan oleh petani jamur tiram putih dapat dilihat pada Tabel 18. Tabel 18. Kebutuhan Bahan Baku Usahatani Jamur Tiram Putih di Kecamatan Cisarua dan Kecamatan Megamendung No Jenis Bahan Baku Kebutuhan Satu Bulan Asal Bahan Baku 1 Serbuk gergaji ton 122643.64 Cianjur Selatan ,Sukabumi, Luwiliang dan Luwisadeng 2 Dedak ton 27.25 Cianjur 3 Kapur ton 3.42 Cisarua, Megamendung dan Bogor 4 Bibit jamur tiram putih botol 21064.00 Cisarua dan Cianjur 5 Plastik bag log ton 0.69 Cisarua, Megamendung dan Bogor Sumber: Data primer diolah, 2012 c Ketersediaan Tenaga Kerja Lokasi usahatani jamur tiram putih di Kecamatan Cisarua dan Megamendung merupakan lokasi yang memiliki jumlah ketersediaan tenaga kerja cukup banyak. Rata-rata ada 15 orang tenaga kerja perempuan dan 15 orang tenaga kerja laki-laki yang saat ini bekerja pada usahatani non plasma A, pada 73 usahatani non plasma B rata-rata ada dua orang tenaga kerja perempuan dan lima orang tenaga kerja laki-laki. Rata-rata tenaga kerja perempuan pada usahatani plasma ada satu orang. Tenaga kerja perempuan melakukan pekerjaan seperti inokulasi, pemanenan, pasca panen dan perawatan kumbung sedangkan tenaga kerja laki- laki melakukan pekerjaan seperti pengadukan, sterilisasi, inkubasi dan perawatan jamur tiram putih. Tenaga kerja tidak diharuskan memiliki keterampilan atau keahlian khusus dalam melakukan budidaya jamur tiram putih, tetapi memiliki keinginan untuk belajar dan bekerja serta disiplin dalam bekerja. Petani akan memberi pelatihan kepada tenaga kerjanya sebelum mereka bekerja. Tenaga kerja berasal dari wilayah sekitar lokasi usahatani jamur tiram putih. Hal ini dapat mengurangi angka pengangguran di lokasi usahatani jamur tiram putih.

7.1.2.2 Pemilihan Jenis Teknologi dan Peralatan

Pemilihan teknologi dan peralatan produksi pada usahatani jamur tiram putih baik petani non plasma A, petani non plasma B dan petani plasma di Kecamatan Cisarua dan Megamendung masih sederhana. Proses pembuatan bibit yang dilakukan oleh petani non plasma A menggunakan peralatan seperti presto, panci, gelas ukur dan lainnya. Proses pengadukan bag log dan pengemasan bag log yang dilakukan oleh petani non plasma A dan petani non plasma B menggunakan peralatan seperti sekop, cangkul, ayakan dan timbangan. Proses sterilisasi atau pengukusan terdapat dua macam alat yang digunakan petani untuk merebus bag log. Alat tersebut yaitu drum dan autoklaf. Sebanyak lima petani non plasma B menggunakan drum yang dilengkapi dengan tungku perapian semawar untuk melakukan proses sterilisasi bag log. Tujuannya 74 adalah menekan biaya yang dikeluarkan untuk membeli peralatan karena keterbatasan modal yang dimiliki. Hal ini karena harga autoklaf berkisar antara Rp 5 000 000unit sampai Rp 20 000 000unit. Terdapat delapan petani yang terdiri dari dua petani non plasma A dan enam petani non plasma B yang menggunakan autoklaf dalam proses sterilisasi. Penggunaan drum pada saat sterilisasi memiliki kelemahan, yaitu dalam hal keterbatasan kapasitas pematangan bag log. Apabila petani menggunakan gas yang berkapasitas 3 kg maka dilakukan penggantian sebanyak dua tabung pada proses sterilisasi berlangsung, apabila menggunakan tabung gas yang berkapasitas 12 kg dilakukan penggantiaan sebanyak satu tabung. Waktu yang diperlukan untuk perebusan berdasarkan pada habisnya gas dan tanpa bisa diketahui suhu perebusan serta drum hanya memiliki kapasitas sebanyak 300 - 700 bag log. Sterilisasi menggunakan autoklaf dilakukan sampai suhu mencapai 90 sampai 100°C. Kapasitas autoklaf sebanyak 1 000 - 3 000 bag log dengan bahan bakar gas berkapasitas 3 kg dan 12 kg dengan suhu saat sterilisasi berlangsung dapat dilihat pada termometer yang dipasang pada autoklaf sehingga proses sterilisasi dengan autoklaf tidak berdasarkan pada habisnya gas. Proses inokulasi menggunakan peralatan seperti lampu bunsen, piset dan sendok spatula untuk memasukkan bibit dari botol ke bag log. Inkubasi, pemeliharaan dan pemanenan menggunakan cutter, keranjang, timbangan, termometer, selang dan spul selang. Termometer sebaiknya dipasang disetiap kumbung jamur dan ruang inkubasi agar suhu udara dapat terkontrol dengan baik, sehingga pertumbuhan miselium dan pertumbuhan jamur tiram putih menjadi lebih baik. 75

7.1.2.3 Tata Letak Usahatani Jamur Tiram Putih

Usahatani jamur tiram putih di Kecamatan Cisarua dan Megamendung memiliki lokasi yang berbeda-beda baik petani non plasma A, petani non plasma B dan petani plasma yang tersebar di tujuh desa, empat desa terletak di Kecamatan Cisarua dan tiga desa terletak di Kecamatan Megamendung. Rata-rata luas lahan yang digunakan petani non plasma A seluas 4 000 m 2 , petani non plasma B seluas 2 000 m 2 dan petani plasma seluas 440 m 2 . Rumah produksi jamur atau kumbung jamur juga menjadi salah satu faktor penting dalam usahatani jamur tiram. Kumbung jamur dibuat dengan ukuran tertentu, disesuaikan dengan kapasitas dan biaya produksi usahatani yang mampu dibuat oleh petani. Semua kumbung milik petani dibuat menggunakan bahan bilik bambu yang di dalam setiap kumbung terdapat rak-rak tempat diletakkannya bag log. Rak-rak tersebut juga terbuat dari bambu yang besarnya disesuaikan dengan jumlah bag log yang akan dibuat oleh petani. Bangunan yang dimiliki oleh petani non plasma A yaitu bangunan permanen untuk pembuatan bibit dan bangunan semi permanen untuk kumbung yang terdiri dari ruangan pengadukan dan sterilisasi, ruangan inokulasi, ruang inkubasi dan ruangan untuk growing. Ruangan memiliki ukuran yang berbeda- beda disesuaikan dengan kapasitas dan kemampuan petani. Bangunan pada petani non plasma B sama dengan petani non plasma A tetapi petani non plasma B tidak mempunyai bangunan permanen untuk pembuatan bibit. Hal ini disebabkan petani non plasma B tidak membuat bibit sendiri, disamping itu lahan yang digunakan untuk melakukan usahatani merupakan lahan sewa. Petani plasma hanya 76 mempunyai bangunan kumbung untuk growing saja sebab petani plasma tidak membuat bag log dan bibit sendiri. Berdasarkan analisis diatas maka secara teknis usahatani jamur tiram putih di Kecamatan Cisarua dan Megamendung layak untuk dijalankan karena pada setiap kriteria dari aspek teknis secara keseluruhan tidak terdapat kendala dan permasalahan yang dapat menghambat jalannya usahatani. Pemilihan lokasi, teknologi dan tata letak usahatani mampu menghasilkan output secara optimal.

7.1.3 Aspek Manajemen dan Hukum

a Manajemen Aspek manajemen dalam penelitian ini mengkaji mengenai bentuk usahatani, pengadaan tenaga kerja, struktur organisasi dan jumlah tenaga kerja yang akan digunakan. Tenaga kerja yang bekerja di usahatani jamur tiram putih baik petani non plasma A, petani non plasma B dan petani plasma diperoleh melalui proses perekrutan yang sederhana yaitu dengan cara mencari masyarakat sekitar lokasi usahatani yang membutuhkan pekerjaan dan memiliki disiplin dalam bekerja. Struktur organisasi yang baku dan diskripsi yang jelas pada setiap jenis pekerjaan diperlukan dalam menjalankan usahataninya, agar usahatani yang dilakukan dapat berlangsung dengan baik dan sesuai dengan tujuan yang diinginkan, namun tidak semua usahatani jamur tiram putih di Kecamatan Cisarua dan Megamendung memiliki struktur organisasi yang baku. Usahatani yang memiliki struktur organisasi yang baku berjumlah lima unit yang terdiri dari dua unit usahatani non plasma A dan tiga unit usahatani non plasma B, pada usahatani plasma tidak ada struktur organisasi yang baku karena kegiatan usahatani yang 77 dilakukan dan jumlah pekerja tidak sebanyak pada usahatani non plasma A dan usahatani non plasma B. Struktur organisasi usahatani non plasma A terdiri dari pemilik, tenaga teknisi, tenaga pembuat bibit dan pekerja untuk produksi bag log, pekerja inokulasi dan inkubasi serta pekerja untuk budidaya, struktur organisasi usahatani non plasma A dapat dilihat pada Gambar 4. Sumber: Data primer diolah, 2012 Gambar 4. Struktur Organisasi Usahatani Non Plasma A di Kecamatan Cisarua dan Kecamatan Megamendung Berdasarkan Gambar 4 petani non plasma A memberi kepercayaaan kepada tenaga pembuat bibit dan tenaga teknis, namun kepercayaan tidak di berikan secara penuh sebab petani non plasma A juga ikut dalam proses pengelolaan usahatani yang dilakukan mulai dari pembibitan hingga budidaya. Semua kegiatan pembuatan bibit mulai pembuatan biang hingga menjadi bibit menjadi tanggung jawab tenaga pembuat bibit. Tenaga teknisi yang bekerja mengotrol dan bertanggungjawab dalam jalannya kegiatan usahatani mulai dari tahap pembuatan bag log sampai tahap pemanenan. Tenaga teknisi juga bertangguang jawab dalam komposisi campuran bahan baku pembuatan bag log dan bahan tambahan pembuatan bag log, sesuai dengan komposisi campuran yang dianjurkan oleh petani non plasma A. Struktur organisasi pada usahatani non plasma B tidak ada tenaga pembuat bibit, jadi struktur organisasi terdiri dari Teknisi Pembuat Bibit Bagian produksi bag log pengadukan, sterilisasi dan pengemasan bag log Bagian inokulasi dan inokulasi Bagian budidaya Panen dan pasca panen Petani non plasma A 78 pemilik, tenaga teknisi dan tenaga kerja. Struktur organisasi usahatani non plasma B dapat dilihat pada Gambar 5. Sumber: Data primer diolah, 2012 Gambar 5. Struktur Organisasi Usahatani Non Plasma B di Kecamatan Cisarua dan Kecamatan Megamendung Berdasarkan Gambar 5 petani non plasma B memberi kepercayaaan kepada tenaga teknisi untuk menjalankan usahataninya, sama halnya dengan petani non plasma A petani non plasma B juga tidak memberikan kepercayaan secara penuh kepada tenaga teknisi sebab petani non plasma B juga ikut melakukan pengelolaan usahatani mulai dari pembuatan bag log hingga proses budidaya. Teknisi bekerja mengontrol dan bertanggungjawab dalam jalannya kegiatan usahatani mulai dari tahap pembuatan bag log sampai tahap pemanenan. Tenaga teknisi juga bertangguangjawab dalam komposisi campuran bahan baku pembuatan bag log dan bahan tambahan pembuatan bag log sesuai yang dianjurkan oleh petani non plasma B. Pekerja yang bekerja di usahatani jamur tiram putih yang tidak memiliki struktur organisasi yang baku sudah mengetahui pekerjaan yang harus dilakukan dan disiplin dalam bekerja, sehingga kegiatan operasional usahatani jamur tiram putih dapat berlangsung dengan baik. Berdasarkan hal tersebut maka berdasarkan aspek manajemen usahatani jamur tiram putih layak untuk dijalankan. Petani non plasma B Teknisi Bagian pembuat bag log pengadukan, sterilisasi dan pengemasan bag log Bagian inokulasi dan inokulasi Bagian budidaya panen dan pasca panen 79 b Hukum Petani jamur tiram putih di Kecamatan Cisarua dan Megamendung tidak semuanya memiliki badan usaha yang resmi dari pemerintah setempat. Ada dua petani yang tergabung dalam kelompok tani, dua petani tersebut adalah petani non plasma B, sedangkan petani non plasma A memiliki Surat Izin Usaha Perdagangan SIUP dari Dinas Perdagangan dan Perindustrian Kabupaten Bogor. Petani jamur tiram putih baik petani non plasma A, petani non plasma B dan petani plasma sebelum melakukan usahataninya meminta izin untuk melakukan usahatani kepada kepala pemerintah setempat. Perizinan yang dimiliki oleh petani jamur tiram putih yaitu Izin Mendirikan Bangunan IMB. Oleh karena itu usahatani non plasma A memiliki Surat Izin Usaha Perdagangan SIUP dan Izin Mendirikan Bangunan IMB, sedangkan usahatani non plasma B dan usahatani plasma hanya memiliki Izin Mendirikan Bangunan IMB, tetapi usahatani tersebut telah memiliki legalitas dari pemerintah setempat untuk melakukan kegiatan usahatani sehari-hari. Berdasarkan hal tersebut maka usahatani jamur tiram putih di Kecamatan Cisarua dan Megamendung berdasarkan aspek hukum layak untuk dijalankan.

7.1.4 Aspek Ekonomi dan Sosial

Usahatani jamur tiram putih di Kecamatan Cisarua dan Megamendung jika dilihat dari aspek sosial memiliki kontribusi dalam memberikan kesempatan kerja bagi masyarakat setempat disamping itu masyarakat sekitar lokasi usahatani dapat belajar mengenai budidaya jamur tiram putih secara langsung kegiatan produksi yang sedang dilakukan. Hal ini dapat menambah pengetahuan dan kemampuan masyarakat sekitar lokasi usahatani dalam budidaya jamur tiram putih. 80 Usahatani jamur tiram putih di Kecamatan Cisarua dan Megamendung jika dilihat dari aspek ekonomi dapat meningkatkan pendapatan masyarakat. Hal ini terlihat dari tenaga kerja yang digunakan pada usahatani jamur tiram putih yang berasal dari daerah tersebut. Berdasarkan aspek budaya usahatani jamur tiram putih tidak mengganggu atau merusak kebiasaan masyarakat sekitar lokasi usahatani baik dilihat dari agama, nilai sosial dan norma sosial masyarakat. Petani pendatang juga ikut berbaur dengan masyarakat sekitar yang asli. Berdasarkan hal tersebut maka dari aspek ekonomi dan sosial usahatani jamur tiram putih di Kecamatan Cisarua dan Megamendung layak untuk dijalankan.

7.1.5 Aspek Lingkungan

Dampak lingkungan dengan adanya usahatani jamur tiram putih adalah limbah plastik bag log dan limbah serbuk gergaji bag log. Penanggulangan limbah plastik dilakukan oleh para tenaga kerja dengan cara limbah plastik tersebut dijual kepada penampung barang bekas yang berada di sekitar lokasi usahatani. Limbah yang berupa serbuk gergaji dimanfaatkan oleh warga sekitar untuk dijadikan pupuk organik, sehingga dapat mengurangi pencemaran lingkungan dan menjadi manfaat tambahan bagi masyarakat sekitar usahatani dan para tenaga kerja.

7.2 Analisi Kelayakan Ekonomi Usahatai Jamur Tiram Putih