ANALISIS YURIDIS KEBIJAKAN PEMURNIAN MINERAL DAN BATUBARA GUNA MENINGKATKAN NILAI TAMBAH

(1)

COAL FOR INCREASE VALUE

By

Roni Septian Maulana

Abstract

Limited from the ability of environment to meet the needs of human for the generation now and the future led to the necessary arrangements good for processing and purification of minerals and coal. Natural resources must be managed and wide web is as good as possible in order to remain incapable of supporting development activities in order to provide welfare on society. Arrangement that exists when and that raises various problems. Starting from an early stage of permission exploration up to do marketing mine indonesia. The lack of setting upon Indonesian natural wealth make Indonesia as state of being consumptive. Should Indonesia capable of being state productive. Based on these phenomena needs to be done arrangement reexamined over government policy. Reformation of regulations to be done on the policy and the arrangement of law that cannot accommodate empirical fact and juridic fact that occurs in the management of the quarry.


(2)

BATUBARA GUNA MENINGKATKAN NILAI TAMBAH

Oleh

Roni Septian Maulana

Kebijakan pada pertambangan yang tengah dipersiapkan dewasa ini adalah kemajiban melakukan pemurnian tambang mineral dan batubara. Namun pengaturannya masih diatur secara parsial. Regulasi yang dikeluarkan pemerintah banyak yang tidak terintegrasi dengan baik dan seringkali lebih menimbulkan egoisme sektoral dan mengabaikan semangat incorporated. Oleh karena itu terdapat dua buah permasalahan yang hendak diteliti dalam skripsi ini yakni: Pertama, Bagaimanakah pengaturan hukum atas kebijakan pemurnian mineral dan batubara. Kedua. Bagaimanakah implikasi kebijakan pemurnian mineral dan batubara terhadap Indonesia. Penelitian ini adalah penelitian hukum normatif (dogmatic research). Pendekatan masalahnya menggunakan pendekatan peraturan perundang-undangan (statute approach). Berdasarka hasil penelitian maka didapatkan hasil bahwa: pertama, pengaturan hukum kebijakan pemurnian mineral dan batubara secara khusus telah diatur dalam Peraturan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Nomor 7 Tahun 2012 tentang Peningkatan Nilai Tambah Mineral. Implikasi atas kebijakan ini guna meningkatkan dan mengoptimalkan nilai tambah tambang Indonesia, tersedianya bahan baku industri dalam negeri, penyerapan tenaga kerja, peningkatan kesejahteraan masyarakat. Kedua, Implikasi bagi Indonesia adalah dengan adanya kebijakan ini diharapkan mampu mendorong pertumbuhan ekonomi nasional, ketahanan energi dan industri strategis nasional, serta meningkatkan daya saing nasional dalam menghadapi tantangan global. Sebaiknya pemerintah harus mereformasi regulasi dan membuat satu pedoman formal yang ideal serta kebijakan akselerasi untuk seluruh pihak yang terlibat dalam pemurnian mineral dan batubara agar akselerasi peningkatan nilai tambah mineral melalui pengolahan dan pemurnian di dalam negeri dapat terealisasikan.


(3)

Oleh

Roni Septian Maulana

0912011246

Skripsi

Diajukan sebagai salah satu syarat menyelesaikan pendidikan strata satu

pada Program Studi Ilmu Hukum Fakultas Hukum Universitas Lampung

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS LAMPUNG

BANDAR LAMPUNG

2013


(4)

(5)

(6)

Sukabumi, Jawa Barat, pada tanggal 27 September 1991, dan merupakan anak pertama dari tiga bersaudara pasangan Bapak A. Nanang S dan Ibu Rohmaniar. Penulis mengawali pendidikan di Sekolah Dasar Negeri 1 Cikembar pada tahun 1997, Sekolah Dasar Negeri 1 Banding 1998 sampai dengan tahun 2003, Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama Negeri 1 Cikembar sampai tahun 2006, dan menyelesaikan pendidikan di Sekolah Menengah Atas Negeri 1 Cikembar pada tahun 2009. Penulis terdaftar sebagai mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Lampung melalui jalur Seleksi Nasional Masuk Pergurruan Tinggi Negeri pada tahun 2009.

Ditengah banyaknya polemik pada saat perkuliahan tidak menjadi penghalang penulis untuk menjadi seorang organisatoris. Selama menjadi mahasiswa, penulis aktif diberbagai unit kegiatan mahasiswa. Penulis pernah menjadi anggota Kelompok Diskusi Mahasiswa periode 2009-2010, UKMF FOSSI FH UNILA 2009 sampai lulus dengan pengalaman mengemban amnah pada, Kepala bidang Media Informasi, Seni dan Olah Raga UKMF FOSSI FH UNILA periode 2009-2010, Sekretaris Umum UKMF FOSSI FH UNILA periode 2010-2011. Ketua Editor UKMF WEHH 2010-2011. Aktif juga pada Dewan Perwakilan Mahasiswa Universitas KBM Unila sebagai Ketua Komisi II Advokasi dan Perundang-undangan. Selain dalam kegiatan internal kampus, penulis juga mengikuti kegiatan eksternal kampus. Yakni Forum Lembaga Legislatif Mahasiswa Indonesia sebagai Koordinator FL2MI Daerah Lampung periode 2012-2013. Padatnya kegiatan kuliah dan organisasi tidak menjadikan halangan bagi penulis untuk menjelajahi dan menimati indahnya Tanah Ibu Pertiwi. 8 Provinsi telah penulis kunjungi untuk sekedar melepas penatnya kuliah.


(7)

Berdiri tidak oleh mereka tapi untuk mereka..

“Roni Septian Maulana”


(8)

Sesungguhnya

Allah

menyuruh

kamu

menyampaikan amanat kepada yang berhak

menerimanya, dan (menyuruh kamu) apabila

menetapkan hukum di antara manusia supaya kamu

menetapkan dengan adil. Sesungguhnya Allah

memberi pengajaran yang sebaik-baiknya kepadamu.

Sesungguhnya

Allah

adalah

Maha

Mendengar lagi Maha Melihat.


(9)

Atas Ridho Allah SWT dan dengan segala kerendahan hati kupersembahkan skripsiku ini kepada:

Ibundaku (Rohmaniar) dan Ayahandaku (A. Nanang S) tercinta. Terimakasih atas segala lelah, pengorbanan, kasih sayang, doa, dan dukungan

dalam setiap langkah yang kupilih.

Adik-adikku Incha Milanda Oktriani dan Ridwan Ramadhan.

Terimakasih untuk semangat, motivasi, dukungan serta tawa yang kalian berikan. Semoga menjadi anak-anak yang bermanfaat dalam melanjutkan estafet kebaikan

untuk keluarga dimasa depan

Kepada segenap keluarga besarku, terimakasih atas segalanya semoga kelak dinda dapat membahagiakan, membanggakan, dan selalu bisa membuat kalian

tersenyum dalam kebahagiaan;

Almamater tercinta Universitas Lampung.

Tempatku memperoleh ilmu dan merancang mimpi yang menjadi sebagian jejak langkahku menuju kesuksesan...


(10)

Alhamdulillahirabbil’alamin, Segala puji Bagi Allah SWT, Rabb semesta alam, Sang Mengetahui dan Maha Melihat hamba-hambanya, Maha suci Allah, Dzat pemilik atas seluruh ilmu tanpa batas. Dia-lah Penetap atas hukumnya yang Maha Adil, Rabb yang Maha Mulia dan memuliakan kita diatas makhluk-Nya yang lain. Rabb yang memberi kita jalan keluar dari keputusasaan.. Rabb yang Maha Pengasih dan Penyayang...Yang menguasai segala sesuatu...Yang Maha Berhendak... Yang Maha Memuliakan dan Menghinakan hamba-hamba yang dikehendaki-NYA.

“Maka nikmat Tuhan kamu yang manakah yang kamu dustakan.?? (Ar

-Rahman:13) shalawat teriring salam senantiasa terlimpahkan kepada Baginda Rasulullah Muhammad SAW, keluarga, sahabat dan seluruh pengikutnya yang senantiasa mengikuti jalan petunjuk-Nya. Amin. Hanya dengan kehendak-Nya penulis dapat menyelesaikan penulisan skripsi yang berjudul “Analisis Yuridis Kebijakan Pemurnian Mineral Dan Batubara Guna Meningkatkan Nilai Tambah” sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Hukum di Fakultas Hukum Universitas Lampung.

Penulis menyadari masih terdapat kekurangan dalam penulisan skripsi ini, saran dan kritik yang membangun dari semua pihak sangat diharapkan untuk pengembangan dan kesempurnaan skripsi ini.


(11)

kepada:

1. Teristimewa untuk kedua orangtuaku, Ibundaku Rohmaniar dan Ayahanda A. Nanang S, yang telah menjadi pahlawan terhebat dalam hidupku, yang tiada hentinya melelahkan diri memberikan kasih sayang, semangat, dan doa yang tak pernah putus untuk kebahagian dan kesuksesanku;

2. Bapak Dr. Hieronymus Soerjatisnanta, S.H., M.H., selaku Pembimbing Satu atas kesabaran dan kesediaan meluangkan waktu disela-sela kesibukannya, mencurahkan segenap pemikirannya, memberikan bimbingan, saran, dan kritik yang sangat berharga dalam proses penyelesaian skripsi ini;

3. Bapak Agus Triono, S.H., M.H., selaku Pembimbing Dua yang telah bersedia untuk meluangkan waktunya, mencurahkan segenap pemikirannya, memberikan bimbingan, saran, dan kritik dalam proses penyelesaian skripsi ini;

4. Bapak Dr. Muhammad Akib, S.H., M.H., selaku Pembahas Satu, yang telah memberikan kritik, saran, dan masukan yang membangun terhadap skripsi ini; 5. Bapak Satria Prayoga, S.H., M.H., selaku Pembahas Dua, yang telah

memberikan kritik, saran, dan masukan yang membangun terhadap skripsi ini; 6. Bapak Dr. Heryandi, S.H., M.S., selaku Dekan Fakultas Hukum Universitas

Lampung;

7. Ibu Upik Hamidah, S.H., M.H, selaku Ketua Bagian Hukum Administrasi Negara Fakultas Hukum Universitas Lampung yang telah membantu penulis menempuh pendidikan di Fakultas Hukum Universitas Lampung;


(12)

Lampung;

9. Seluruh dosen dan karyawan/i Fakultas Hukum Universitas Lampung yang penuh dedikasi dalam memberikan ilmu yang bermanfaat bagi penulis, serta segala bantuan yang diberikan kepada penulis selama menyelesaikan studi. 10.Cikembar Safedventures, Ade Irawan. AMD, Nugraha, Paulus Nanaryain,

Reza Tawakal, Deni Fadil Nur Ramdan, Adam Iskandar, Nendy Ochtavian, Sandi Sobandi. Spd, Andry AKA kojek, Ujang AKA coen, Riki AKA kolor, Ridwan AKA acong, May Soarma, Ihwan, dan seluruh keluarga besar Simpang Tiga Siliwangi damn’t, thanks for your fucking support guys.

11.Teman seperjuangan Mabes Crew sekaligus Keluarga besar UKMF FOSSI FH UNILA 2009, SM. Munawar Harun Alrasyid. S.H, Saputro Prayitno. S.H, Muhammad Amin Putra. S.H, Sofyan Jailani. S.H, Syukri Romadhon. S.H, Andhika Prayoga. S.H, Garda Arian Gunawan. S.H, Muhammad Yudho Safei, Gigih Suci Prayudhi, Pimal Ibrahim, Muhammad Gribaldi. S.H, Hidayat Fadilah, Handi Mahendra, Riki Indra, Muhammad Faisal SF. S.H, Raden Permata, Ridho Abdilah Husin dan seluruh teman-teman Fakultas Hukum’09 yang tidak dapat disebutkan satu persatu atas dukungan dan kerjasamanya. Semoga kita semua sukses. Serta teruntuk Keluarga besar UKMF FOSSI FH UNILA 2010-2013 serta para alumninya yang telah banyak memberi inspirasi selama pendidikan di Fakultas Hukum ini;


(13)

Bunga Elora, dll;

13.Sepupu-sepupuku Yan Putra, Rahmi Febria Veganita, Haris Haikal, Selviarahma, Resa Eriyanti, Dwi Prasetyo, Agni Julyanti Pradita, yang senantiasa memberikan semangat dan dukungannya selama ini. Semoga apa yang telah kalian Allah berikan balasan kebaikan;

14.Sahabat istimewaku di Dewan Perwakilan Mahasiswa Universitas,

15.Semua pihak yang tidak dapat disebutkan satu persatu yang telah membantu dalam penyelesaian skripsi ini, terimakasih atas semua bantuan dan dukungannya.

Semoga Allah SWT memberikan balasan atas jasa dan budi baik yang telah diberikan kepada penulis. Akhir kata, Penulis menyadari bahwa skripsi ini masih jauh dari kesempurnaan, akan tetapi sedikit harapan semoga skripsi yang sederhana ini dapat bermanfaat bagi yang membacanya, khususnya bagi penulis dalam mengembangkan dan mengamalkan ilmu pengetahuan.

Bandar Lampung, Penulis,


(14)

BAB I PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Allah SWT mengkaruniai Indonesia kekayaan alam yang sangat berlimpah dan kekayaan tersebut harus dikelola sebaik mungkin untuk kesejahteraan masyarakat. Tetapi tidaklah mudah mengelola itu semua di tengah sifat keserakahan manusia, yang mengakibatkan pengaturan hukum atas kekayaan alam Indonesia seringkali tidak maksimal. Proses pembentukan kebijakan hukum memerlukan landasan pemikiran dan pertimbangan yang kuat serta pengkajian yang lebih mendalam dan komprehensif terutama dari nilai filosofis, ekonomis dan sosiologis sebelum dinyatakan sebagai hukum atau peraturan perundang-undangan yang berlaku dalam masyarakat. Kebijakan haruslah melihat apa yang sebenarnya harus dilakukan daripada apa yang diusulkan mengenai suatu permasalahan. Kebijakan pemerintah dalam pengelolaan Sumber Daya Alam (SDA) Indonesia saat ini selalu dideterminasi secara berlebihan oleh kepentingan politik pengusaha pertambangan. Hal ini mengakibatkan kebijakan pemerintah yang jauh dari kesejahteraan. Seharusnya terdapat penegasan penguasaan negara atas kekayaan alam yang melindungi Kedaulatan Energi Nasional yang hanya dimanfaatkan untuk kesejahteraan rakyat bukan untuk kepentingan negara lain. Secara langsung rakyat harus memperoleh dan menikmati hasil kekayaan alam untuk kesejahteraannya. Setiap waga negara


(15)

menginginkan dan menuntut adanya keadilan yang diberikan oleh Negara. Keadilan yang didambakan oleh warga negara bukan hanya di bidang hukum dan politik, tetapi dituntut di bidang kehidupan ekonomi dan sosial.

Indonesia memiliki potensi kekayaan alam yang sangat berlimpah. Pada tahun 2010, cadangan batubara Indonesia sebesar 126,3 miliar ton dan sumber daya diperkirakan sebesar 105,2 miliar ton.1 Seperti terlihat pada Gambar 1.1

Gambar 1.1 sumber daya dan cadangan batubara tahun 2002-2010

Tidak kalah dari batubara, potensi mineral Indonesia juga berlimpah. Terlihat berdasarkan data yang dimiliki Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral seperti pada gambar 1.2 berikut :2

,s\

1

Indikator Energi dan Sumber Daya Mineral. Pusat Data dan Informasi Kementerian

Energi dan Sumber Daya Mineral. 2011. hlm 11

2


(16)

Gambar 1.2 sumber daya logam dan cadangannya dan jumlah dalam ribu Ton

Berlimpahnya potensi semberdaya mineral dan batubara Indonesia seharusnya menjadikan Indonesia negara yang kaya raya dan tidak sebaliknya. Pemanfaatan sumber daya mineral dan batubara dewasa ini cenderung hanya untuk memenuhi kebutuhan hidup pemilik perusahaan tambang. Saat kekayaan SDA Indonesia dijadikan komoditas ekspor tanpa batas alhasil harga barang tambang bergerak


(17)

begitu fluktuatif. Bukan hanya atas perhitungan statistik penawaran dan permintaan, tetapi juga lebih pada permainan spekulan dalam pasar komoditas tambang. Tidak pernah disadari dan dipedulikan kondisi tersebut oleh pelaku penambangan yang demikian ini menjadikan semua aktivitas pertambangan masuk ke dalam sistem Neo Liberalism.

Seraya dengan hal tersebut, pertambangan Indonesia saat ini bertambah dilematis dengan adanya kebijakan keharusan melakukan pemurnian mineral dan batubara di dalam negeri. Dalam industri pengolahan hilir yaitu pemurnian mineral dan batubara ternyata tidak semudah yang dibayangkan oleh pemerintah. Selain membutuhkan modal yang sangat besar, program ini membutuhkan dukungan teknologi, peralatan, dan Sumber Daya Manusia (SDM) yang memadai dan tentu saja Pengaturan hukumnya harus tegas dan jelas. Kebijakan pemurnian mineral dan batubara juga membutuhkan pendekatan holistik dan memperhitungkan skala keekonomian. Ketidakcermatan pemerintah akan menyebabkan kerugian dan menimbulkan permasalahan baru yang kompleks. Bukan mustahil hal ini justru menjadi kontraproduktif dari apa yang pemerintah dan rakyat harapkan yaitu kesejahteraan. Pemerintah seharusnya kembali duduk bersama pelaku dunia usaha pertambangan dan mendengarkan kembali aspirasi dan pertimbangan dari masyarakat untuk mendapatkan suatu kebijakan yang mampu diterapkan secara maksimal. Niatan pemerintah atas pemurnian mineral dan batubara memiliki tujuan yang baik. Maka pemerintah perlu menyiapkan indikator prapenerapan yang mapan. Jika tidak ingin kehilangan kewibawaan pemerintah dimata masyarakat, atas kegagalan menjalankan kebijakan untuk memenuhi kewajiban pemerintah menjalankan Negara yang


(18)

berkonsep welfare state. Sesuai dengan apa yang tertuang dalam alenia pertama pembukaan Undang-Undang Dasar Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD 1945) :

“Kemudian daripada itu untuk membentuk suatu Pemerintah Negara Indonesia yang melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum,”

Dari penggalan pembukaan UUD 1945 dapat terlihat bahwa yang harus diutamakan dalam mengeluarkan kebijakan pemerintah di bidang pertambangan khususnya, pemerintah harus berorientasi pada kesejahteraan masyarakat. Saat ini kebijakan sektor pertambangan selalu diintervensi kepentingan-kepentingan para elit politik dan pengusaha pertambangan semata. Sehingga banyak kebijakan-kebijakan yang mengkonfrontasi dan mengenyampingkan hak-hak masyarakat.

Kebijakan pertambangan Indonesia dibentuk untuk menjaga kedaulatan energi nasional. Sebelum adanya Undang–Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara. Pengelolaan mineral dan batubara hanya sampai pada sektor hulu. Yakni ekplorasi kemudian dipasarkan begitu saja tanpa pengelolaan lebih lanjut. Keadaan demikian tidak lagi ditemukan setelah berlakunya Undang–Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara. Pengelolaan mineral dan batubara telah menemukan sistem baru, yaitu pengelolaan sektor hilir. Terdapat tahapan operasi produksi mineral dan batubara yaitu pengolahan dan pemurnian, serta pengangkutan terlebih dahulu sebelum masuk ketahap penjualan.


(19)

Pemurnian mineral dan batubara yang dicanangkan oleh pemerintah awalnya bertumpu pada Pasal 102 Undang–undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara :3

“Pemegang IUP dan IUPK wajib meningkatkan nilai tambah sumber daya mineral dan/atau batubara dalam pelaksanaan penambangan, pengolahan dan pemurnian, serta pemanfaatan mineral dan batubara”.

Peningkatan nilai tambah barang tambang mineral dan batubara melalui pemurnian mineral dan batubara atau yang selanjutnya ditopang oleh Peraturan Pemerintah Nomor 23 Tahun 2010 tentang Pelaksanaan Kegiatan Usaha Pertambangan Mineral dan Batubara dijelaskan dalam Bab VIII Pasal 93 ayat (1), sebagai berikut :4

“Pemegang IUP Operasi Produksi dan IUPK Operasi Produksi mineral wajib melakukan pengolahan dan pemurnian untuk meningkatkan nilai tambah mineral yang diproduksi, baik secara langsung maupun melalui kerja sama dengan perusahaan, pemegang IUP dan IUPK lainnya.”

Nilai tambah dalam ketentuan ini dimaksudkan untuk rneningkatkan produk akhir dari usaha pertambangan atau pemanfaatan terhadap mineral ikutannya. Kewajiban untuk rnelakukan pengolahan dan pemurnian di dalam negeri dimaksudkan antara lain untuk rneningkatkan dan mengoptimalkan nilai tambah dari produk pertambangan mineral dan batubara, tersedianya bahan baku industri, penyerapan tenaga kerja, dan peningkatan penerimaan negara. Pada tujuan akhirnya nanti pasti bertujuan menjaga kedaulatan energi Indonesia. Pihak yang bertanggungjawab atas kebijakan ini adalah Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral dengan aturan

3

Lihat Pasal 102 Undang-Undang Nomor 4 tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara.

4

Pasal 93 ayat (1) Bab Viii. Peraturan Pemerintah Nomor 23 Tahun 2010 tentang Pelaksanaan Kegiatan Usaha Pertambangan Mineral dan Batubara.


(20)

tegasnya yakni Peraturan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Nomor 7 Tahun 2012 tentang Peningkatan Nilai Tambah Mineral.

Terkait dengan kewajiban pengolahan dan pemurnian mineral di dalam negeri paling lambat diberlakukan pada 12 Januari 2014. Penerapan perintah undang-undang pertambangan mineral dan batubara sudah mendekati 2014, namun tanda-tanda pemerintah untuk mengimplementasikannya masih jauh dari kata siap. Pemerintah terlihat seperti ketakutan mengahadapi pemurnian mineral dan batubara 2014 yang terlanjur sudah dikeluarkan, dan kebijakan pendukungnya belum dapat diimplementasikan secara menyeluruh.

Kembali pada kebijakan pemurnian mineral dan batubara tengah menghadapi kendala yang cukup besar, terkait ketersediaan energi listrik yang dibutuhkan untuk membangun smelter (pabrik pemurnian). Pembangunan smelter juga sulit diwujudkan mengingat membutuhkan modal besar. Mengingat satu smelter membutuhkan modal investasi mencapai 450 juta dolar AS – 700 juta dolar AS (Rp 4,05 triliun – Rp 6,3 triliun).5 Pendanaan kebijakan pemurnian mineral dan batubara ini akan menelan dana yang sangat besar yang berarti akan menyedot aloksi dana Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) yang besar. Dana susbsidi yang akan diberikan oleh APBN tidak lebih dari Rp.150 miliar. Cara pemilik perusahaan tambang mendapatkan dana tambahan salah satu jalannya adalah pemerintah memberikan IUP semudah mungkin untuk investor asing agar berinvestasi diperusahaannya dengan demikian maka aliran dana pun akan semakin

5

http://www.esdm.go.id/berita/43-mineral/4191-sig.rusia-siap-kucurkan-dana-us-4-miliar-bangun-smelter.html. diakses pada tanggal 27 April 2013.


(21)

besar. Akibatnya terlalu banyak IUP yang diberikan maka kontrol terhadap pemegang kegiatan IUP menjadi sangat sulit.

Kebijakan pemurnian mineral dan batubara yang sebentar lagi harus dilakukan. Tetapi masih banyak kendala penghambat seperti buruknya pengaturan hukum dan penegakannya pada pengelolaan bidang pertambangan. Hal ini mengakibatkan kepanikan pemerintah, pemerintah daerah dan pengusaha pertambangan. Awal dari tahapan pengelolaan mineral dan batubara adalah penentuan dan pemberian wilayah izin usaha pertambangan (WIUP). Tidak peduli dikawasan hutan lindung ataupun kawasan masyarakat pemerintah dapat menghalalkan wilayah itu untuk ditambang dengan alasan untuk menigkatkan penerimaan negara dan daerah. Masalah lain turut muncul yakni penentuan WIUP yang sering tumpang tindih dan cenderung mengindahkan kepentingan dan hak-hak masyarakat pemilik tanah. Berikutnya masalah pemberian izin usaha pertambangan (IUP) yang tercatat pada Kementerian Energi dan Sumber Daya Alam sebanyak 10.600 buah izin,6 dikhawatirkan dengan semakin banyaknya pengeluaran izin maka pengawasannya pun akan sangat sulit dilakukan. Semua ini menuntut adanya Kesanggupan mempertanggungjawabkan secara konsisten dan konsekuen atas apa yang diperbuat pemerintah.

Salah satu substansi kebijakan pemurnian mineral dan batubara ini adalah Peraturan Pemerintah Nomor 55 Tahun 2010 tentang Pembinaan dan Pengawasan Penyelenggaraan Pengelolaan Usaha Pertambangan Mineral dan Batubara yang “tidak sama sekali” melibatkan masyarakat dan kalangan akademisi dalam hal tersebut. Masyarakat memiliki kajian kritis dan realistis terhadap suatu kebijakan

6

http://www.hukumonline.com.-Sony Heru Prasetyo: Penataan IUP Terus Dilakukan.Html. 2013. Diakses pada tanggal 13 April 2013.


(22)

yang akan berdampak secara langsung pada masyarakat luas. Kesiapan Indonesia dalam mengelola SDA haruslah mapan, harus sudah menyiapkan kebijakan-kebijakan prapenerapan, saat penerapan, pascapenerapan pemenurnian mineral dan batubara.

Dalam pengelolaan pertambangan mineral dan batubara, pemerintah tidak boleh terjebak kepada persoalan klasik. Seperti berorientasi memperoleh pendapatan yang sebesar-besarnya dari industri pertambangan mineral dan batubara. Kebijakan pemurnian mineral dan batubara yang banyak diliputi oleh banyak permasalahan seperti yang telah dipaparkan diatas. Sangat disayangkan karena industri ini memberikan sumbangan yang cukup besar bagi perekonomian nasional maupun daerah. Persoalan disektor pertambangan sebenarnya hanya salah satu problematik dari sekian banyaknya masalah pengelolaan sumber daya mineral dan batubara di negara ini. Peningkatan nilai tambah pertambangan dengan cara pemurnian adalah upaya optimalisasi atas pengelolaan proses hulu ke hilir kegiatan pertambangan serta pengembangan wilayah dan masyarakat di sekitar kegiatan pertambangan baik secara langsung maupun tidak langsung dalam rangka mewujudkan pembangunan berkelanjutan. Oleh karena itu harus ada pengaturan hukum yang tepat atas kebijakan pemurnian mineral dan batubara dan disamping itu harus ada kebijakan transisi yang harus dilakukan oleh pemerintah guna memaksimalkan kebijakan tersebut pada 2014. Untuk itulah penulis memilih untuk mengkaji kritis atas kebijakan pemurnian mineral dan batubara ini.


(23)

1.2 Rumusan Masalah

a. Bagaimanakah pengaturan hukum atas kebijakan pemurnian mineral dan batubara?

b. Bagaimanakah implikasi kebijakan pemurnian mineral dan batubara bagi Indonesia?

1.3 Tujuan Penelitian

a. Untuk mengetahui bagaimana pengaturan hukum kebijakan pemurnian mineral dan batubara.

b. Untuk mengetahui bagaimana kebijakan akselerasi pemerintah bila dalam proses menuju kebijakan pemurnian mineral dan batubara Indonesia tidak mampu atau belum siap melaksanakan kebijakan tersebut.

1.4 Kegunaan Penelitian 1.4.1 Kegunaan Teoritis

Secara teoritis penelitian ini diharapkan dapat memberikan pemahaman mengenai pengaturan hukum tindakan pemerintah dalam pertambangan Indonesia khususnya pemurnian barang tambang mineral dan batubara, selanjutnya mengetahui bagaimana implikasi dan kebijakan transisi dari program pemerintah tersebut, yang mengharuskan adanya peningkatan nilai tambah terhadap mineral dan batubara melalui kegiatan pengolahan dan pemurnian sehingga mahasiswa dapat memberikan kritisi dan menemukan solusi-solusi yang terbaik untuk pertambangan Indonesia kedepannya.


(24)

1.4.2 Kegunaan Praktis

Secara praktis penelitian ini untuk memberikan pengetahuan bagi semua pihak yang mempunyai perhatian terhadap kebijakan pemerintah bidang pertambangan dan dan sebagai bahan bacaan alternative dalam bidang kebijakan hukum pertambangan Indonesia terutama mahasiswa Fakultas Hukum dalam menambah wawasan dalam urgensi suatu kebijakan pemerintah dan implikasinya.


(25)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Tinjauan Yuridis Tentang Kebijakan Pemerintah 2.1.1 Pengertian Kebijakan

Dalam kamus besar bahasa Indonesia bahwa kebijakan adalah rangkaian konsep dan asas yang menjadi dasar rencana dalam pelaksanaan suatu pekerjaan, kepemimpinan, dan cara bertindak pemerintahan, organisasi, pernyataan cita-cita, tujuan, prinsip, atau maksud sebagai garis pedoman untuk manajemen dalam usaha mencapai sasaran.1 Kebijakan atau biasa disebut dengan policy, sangat erat kaitannya dengan kewenangan, kebijakan muncul karena adanya kewenangan. Kebijakan hanya dapat dilakukan oleh karena adanya kewenangan yang melekat pada seseorang. Kebijakan merupakan keputusan yang diambil pemilik kewenangan dikarenakan adanya suatu keadaan, kebutuhan, permasalah dan perubahan tertentu. Contoh dari kebijakan diantaranya Instruksi Presiden (Inpres), Inpres merupakan kebijakan, di dalam Inpres tidak terdapat unsur larangan dan sanksi, hanya unsur instruksi/perintah, selain itu proses munculnya Inpres tidak melalui proses legislasi tetapi berdasarkan kewenangan yang melekat pada Presiden.

Kebijakan merupakan sebuah ketentuan hukum yang dibuat pemerintah sebagai bagian administrasi negara, menguraikan bahwa peraturan yang bukan sebagai peraturan perundang-undangan.

1

Tim Penyusun Kamus Pusat Pembinaan Dan Pengembangan Bahasa, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Balai Pustaka Cetakan IV, Jakarta. 1990. hlm. 115


(26)

Anderson merumuskan kebijakan sebagai langkah tindakan yang secara sengaja dilakukan oleh seorang aktor atau sejumlah aktor berkenaan dengan adanya masalah atau persoalan tertentu yang dihadapi.2 Jadi, definisi ini memusatkan perhatian pada apa yang sebenarnya dilakukan dan bukan pada apa yang diusulkan atau dimaksudkan. Selain itu konsep ini membedakan secara tegas antara kebijakan

(policy) dan keputusan (decision) pemilihan salah satu di antara berbagai alternatif kebijakan yang tersedia. Kebijakan hukum yang bersifat mengatur merupakan kebijakan yang mempertimbangkan aspek politik, aspek sosial dan aspek hukum yang berfungsi untuk mengintegrasikan kedua aspek tersebut.

Kebijakan hukum merupakan tindakan pemerintah mengenai suatu masalah tertentu dan bersifat negatif keputusan pejabat pemerintah untuk tidak melakukan sesuatu. Kebijakan publik (positif) selalu berdasarkan pada peraturan perundangan tertentu yang bersifat memaksa (otoritatif). Berdasarkan pengertian dan elemen yang terkandung dalam kebijakan tersebut. Maka kebijakan publik dibuat dalam kerangka untuk memecahkan masalah dan untuk mencapai tujuan serta sasaran tertentu yang diinginkan. Proses pembuatan keputusan atau kebijakan bukanlah meupakan pekerjaan yang mudah atau sederhana, setiap administrator dituntut memiliki kemampuan, tanggungjawab, dan kemauan sehingga dapat membuat kebijakan dengan segala resikonya. Selain hal itu implementasi kebijakan merupakan tahap yang sangat menentukan dalam proses kebijakan karenatanpa implementasi yang efektif maka kebijkan itu tidak akan berhasil mencapai tujuan. Implementasi kebijakan merupakan aktifitas yang terlihat setelah adanya pengarahan yang sah dari suatu kebijakan yang meliputi upaya mengelola untuk kesejahteraan masyarakat.

2

Teori James E Anderson dalam Subarsono, Ab. “Analisis Kebijakan Publik; Konsep, Teori dan Aplikasi, Pustaka Pelajar, Yogyakarta. 2005. hlm. 27


(27)

Proses implementasi akan dimulai apabila tujuan, faktor-faktor yang mempengaruhi dan sasaran telah ditetapkan. Kemudian, program kegiatan telah tersusun dan dana telah siap untuk proses pelaksanaaannya dan telah disalurkan untuk sasaran atau tujuan atas kebijakan yang diinginkan.

Keberhasilan suatu kebijakan ditentukan oleh isi dari kebijakan yang akan dilaksanakan dimana. Jika isi kebijakan tidak jelas arah tujuannya akan membingungkan para pelaksana dilapangan atas kebijakan tersebut dan menimbulkan interpretasi yang berbeda-beda. Kemudian ditentukan juga oleh banyaknya dukungan positif yang harus dimiliki agar kebijakan publik itu dapat dilaksanakan dan pembagian dari potensi-potensi yang ada dapat dimaksimalkan. Arus informasi dan komunikasi perlu juga diperhatikan sehingga tidak menimbulkan multitafsir antara isi kebijakan yag diberikan dengan persepsi para pelaksananya, diperlukan pula dukungan sumber daya maupun stakeholders yang terkait dengan implementasi kebijakan publik tersebut dan sangat diperlukan kejelasan pembagian tugas maupun struktur birokrasi agar tidak terjadi ketimpangan dalam proses implementasi serta dibutuhkan juga nilai-nilai yang dapet dianut dan dijadikan pegangan oleh pemerintah untuk menerjemahkan seluruh kebijakan yang harus diimplementasikan.


(28)

Posisi kebijakan hukum (policy of law) dalam hubungannya dengan tiga aspek tersebut digambarkan oleh Mauro Zamboni.: 3

Kebijakan hukum merupakan hasil dari proses interpretasi politik pemerintah atas suatu tujuan yang ada kemudian dituangkan menjadi suatu peraturan perundang-undangan. Kaitanya teori Mauro Zamboni diatas adalah the political arena yang ada yakni pemurnian mineral dan batubara dengan pemerintah mengeluarkan kebijakan yakni Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara. merupakan suatu legal political inputs dalam pertambangan Indonesia. Dampak atas legal political inputs adanya kewenangan penyelenggaraan pengelolaan usaha pertambangan termasuk kebijakan pemurnian mineral dan batubara yang

3

Mauro Zamboni, The Legal Theory of Law (A Legal The Theoretical Framework), Oregon: Hart Publishing, 2007. hlm 136.

LEGAL POLITICAL INPUTS

The process of creation and selection of certain

values-demands to be realised through the law.

POLICY OF LAW PROCESS

The transformation of the values into legal categories with the use of

legal tolls.

POLITIC OF LAW OUTPUTS

The effects of the process of conversion on the legal

system.

POLICY OF LAW OUTCOMES

The effects that the policy of law outputs have on

society.

The Political Arena The Legal

Arena

Concrete application (c.a.) of I (f)

The Social Arena Arena


(29)

dilaksanakan oleh pemerintah dalam hal ini adalah Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral.

Tidak dapat dihindari bahwa dalam suatu arena politik pasti terdapat the transformations of the values into legal categories with the uses of legal tools atau perubahan dari hasil pengaruh politik terhadap bentuk kebijakan hukum dengan menggunakan peraturan perundang-undangan sebagai alatnya, yang kelak akan memiliki political of law outputs sebagai implikasi dari proses pengaruh politik terhadap bentuk kebijakan hukum dalam suatu kebijakan yang dapat berupa peraturan pemerintah, peraturan menteri sampai dengan peraturan daerah. Atas dasar tersebut dalam mengimplementasikan kebijakan, pemerintah maupun pemerintah daerah harus memperhatikan beragam macam faktor-faktor yang hidup dan berkembang dimasyarakat, seperti nilai-nilai politik, sosial, ekonomi, budaya, adat istiadat, serta agama yang telah ada dan wajib untuk dipertimbangkan dalam penerapan kebijakan publik karena merupakan the effect that the policy of law outputs have on society atau dampak dari pengeluaran kebijakan hukum pemerintah yang ada pada masyarakat.

Aturan yang akan dipakai pemerintah dalam mengelola pertambangan indonesia. Sudah menjadi kewajiban negara untuk melayani setiap warga negaranya dalam rangka pemenuhan kebutuhan dasarnya. Hal ini merupakan konsekuensi dari kehidupan berbangsa dan bernegara yang diorganisir dalam bentuk “republik”, yang mengisyaratkan adanya amanat agar kesejahteraan untuk khalayak ramai (public) dapat diwujudkan.


(30)

2.2 Bentuk Kebijakan

Kebijakan adalah rangkaian tindakan suatu peraturan yang dikeluarkan pemerintah berkenaan dengan pelaksanaan tugas, wewenang, dan kewajiban sebagai penyelenggara negara. Ini dapat diterapkan pada pemerintahan, organisasi dan kelompok sektor swasta, serta individu. Kebijakan berbeda dengan peraturan dan hukum, jika hukum dapat memaksakan atau melarang suatu perilaku (misalnya suatu hukum yang mengharuskan pembayaran pajak penghasilan), kebijakan hanya menjadi pedoman tindakan yang paling mungkin memperoleh hasil yang diinginkan. Di dalam penyelenggaraan tugas-tugas administrasi negara, pemerintah banyak mengeluarkan kebijakan-kebijakan yang dituangkan kedalam berbagai bentuk seperti

beleidslijnen (garis-garis kebijakan), het beleid (kebijakan), voorschriften (peraturan-peraturan), richtlijnen (pedoman-pedoman), regelingen (petunjuk-petunjuk),

circulaires (surat edaran), resoluties (resolusi-resolusi), aanschrijvingen (instruksi-instruksi), beleidsnota’s (nota kebijakan), reglemen ministriele (peraturan-peraturan menteri), beschikkingen (keputusan-keputusan), en bekkenmakingen (pengumuman-pengumuman).4 Kebijakan pada hakikatnya memang merupakan produk hukum dari perbuatan pemerintah yang bertujuan melegalkan tindakan pemerintah dalam menjalankan pemerintahan yang menampakan adanya suatu yang kebijakan tertulis. Namun, tindakan-tindakan yang dapat diambil oleh administrasi negara, tidak dapat dilakukan dengan begitu saja, akan tetapi ada ketentuan-ketentuan yang harus diperhatikan dalam rangka mewujudkan good governance.

4

Teori J.H van Kreveld dalam Ridwan HR. Hukum Administrasi Negara. Rajawali Pers. Jakarta. 2007. hlm. 183


(31)

Kebijakan yang dikeluarkan oleh pemerintah dapat berbentuk undang-undang, yang merupakan peraturan tinggi setelah undang-undang dasar sebagai konstitusi negara Indonesia. Undang-undang mengatur urusan-urusan yang bersifat spesifik. Misalnya masalah pertanian, lalu lintas, pemasaran, dan lain sebagainya, Perpu baru bisa diputusan oleh presiden disaat yang genting. Misalnya dalam hal penanganan masalah bencana alam ataupun perang. Dalam konteks ini, Dewan Perwakilan Rakyat cuma punya dua pilihan: menolak atau menyetujui. Peraturan pemerintah, diterbitkan untuk memeberikan penjelasan terhadap undang-undang agar tidak terjadi salah tafsir bagi masing-masing penafsir kebijakan, Peraturan Presiden, peraturan presiden merupakan peraturan yang dikeluarkan oleh presiden untuk menajalankan implementasi kebijakan kepada pemerintahan. Peraturan Daerah, peraturan daerah adalah Naskah Dinas yang berbentuk peraturan perundang-undangan, yang mengatur urusan otonomi daerah dan tugas pembantuan atau untuk mewujudkan kebijaksanaan baru, melaksanakan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi dan menetapkan sesuatu organisasi dalam lingkungan Pemerintah daerah yang ditetapkan oleh Kepala Daerah dengan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah, bahkan Peraturan Menteri dan jenis-jenis keputusan sebuah lembaga pemerintahan merupakan suatu wujud kebijakan hukum pemerintah.

Format peraturan kebijakan ada yang sama dengan peraturan perundang-undangan, lengkap dengan pembukaan berupa konsiderans ”menimbang” dan dasar hukum ”mengingat”, batang tubuh yang berupa pasal-pasal, bagian-bagian, bab-bab serta penutup yang sepenuhnya menyerupai peraturan perundang-undangan. Tetapi selain itu peraturan kebijakan tampil dalam bentuk dan format lain, seperti nota dinas,


(32)

surat edaran, petunjuk teknis, pengumuman, dan sebagainya. Bahkan tampil dalam bentuk lisan (kepada bawahan) yang memang tidak mempunyai bentuk dan format.5 Suatu peraturan kebijakan pada hakekatnya merupakan produk dari perbuatan tata usaha negara yang bertujuan menampakkan keluar suatu kebijakan tertulis, namun tanpa disertai kewenangan pembuatan peraturan dari badan atau pejabat tata usaha negara yang menciptakan peraturan kebijaksanaan tersebut. Peraturan-peraturan kebijakan dimaksud pada kenyataannya telah merupakan bagian dari kegiatan pemerintahan (bestuuren) dewasa ini.6 Peraturan-peraturan kebijakan memberi peluang bagaimana suatu badan tata usaha negara menjalankan kewenangan pemerintahan (beschikkingbevoegdheid). Hal tersebut dengan sendirinya harus dikaitkan dengan kewenangan pemerintahan atas dasar penggunaan discretionare,

karena jika tidak demikian, maka tidak ada tempat bagi peraturan-peraturan kebijakan.7

Kebijakan pemerintah yang resposif untuk menunjukan suatu kapasitas pemerintah yang beradaptasi dan bertanggungjawab.

2.3 Kewenangan Pemerintah Dalam Mengeluarkan Kebijakan

Pasal 1 ayat (3) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 secara tegas menyatakan bahwa Negara Indonesia adalah negara hukum. Sebagai negara hukum, maka seluruh aspek dalam bidang kemasyarakatan, kebangsaan, dan kenegaraan termasuk pemerintahan harus senantiasa berdasarkan atas hukum.

5

Saiful Anwar dan Marzuki Lubis, Sendi-Sendi Hukum Administrasi Negara, Gelora Madani Press, Medan, 2004, hlm. 117.

6

Bachsan Mustafa, Pokok-Pokok Hukum Administrasi Negara, Alumni, Bandung, 1979, hlm. 90.

7


(33)

Sehingga untuk mewujudkan negara hukum tersebut diperlukan tatanan yang tertib antara lain di bidang peraturan perundang-undangan.

Dalam rangka mewujudkan tatanan yang tertib di bidang peraturan perundang-undangan di Indonesia, telah ditetapkan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan. Berdasarkan Pasal Pasal 7 ayat (1) Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011, menyatakan bahwa Jenis dan hierarki peraturan perundang-undangan terdiri atas Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat, Undang-Undang/Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang, Peraturan Pemerintah, Peraturan Presiden, dan Peraturan Daerah Provinsi. Selain peraturan perundang-undangan yang telah diatur dalam Pasal 7 ayat (1) tersebut, Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 mengakui peraturan perundang-undangan lain yang dikenal dalam praktek kehidupan bernegara. Pasal 8 ayat (1) Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 membuka kemungkinan adanya peraturan perundang-undangan lainnya yang ditetapkan oleh pimpinan lembaga atau badan negara seperti misalnya Peraturan Menteri.8

Dikarenakan kebijakan berfungsi sebagai bagian dari operasional penyelenggaraan tugas-tugas pemerintah. Kebijakan tidak dapat menentang peraturan perundang-undangan, maka asas legalitas sangat penting untuk menjamin kekuatan hukum suatu kebijakan. Akan tetapi perlu ditelaah kembali bahwa harus terdapat suatu hal yang

8

Lihat pasal 8 ayat (1) Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan, “Jenis Peraturan Perundang-undangan selain sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (1) mencakup peraturan yang ditetapkan oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, Mahkamah Agung, Mahkamah Konstitusi, Badan Pemeriksa Keuangan, Komisi Yudisial, Bank Indonesia, Menteri, badan, lembaga, atau komisi yang setingkat yang dibentuk dengan Undang atau Pemerintah atas perintah Undang-Undang, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Provinsi, Gubernur, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kabupaten/Kota, Bupati/Walikota, Kepala Desa atau yang setingkat.”


(34)

dapat menjadikan kebijakan itu memiliki “kredibilitas” yang efisien dan menjamin kesejahteraan masyarakat. Sebelum lebih jauh membahas definisi kebijakan perlu diketahui terlebih dahulu bahwa keberadaan kebijakan tidak dapat terlepas dari kewenangan bebas (vrijebevoegheid). Kebebasan pemerintah yang sering disebut dengan istilah freies ermessen yang berarti sarana yang memberikan ruang bergerak bagi pemerintah untuk melakukan tindakan tanpa harus terikat sepenuhnya pada undang-undang. Hal ini merupakan konsekuensi logis dari konsepsi welfare state,

tetapi freies ermessen bukan berarti dapat digunakan secara bebas tanpa batas. Di dalamnya terdapat unsure-unsur pengikat seperti dimungkinkan dan/atau tidak bertentangan dengan undang-undang. Menyelesaikan permasalahan yang terjadi secara tiba-tiba, sikap itu dapat dipertanggungjawabkan dihadapan hukum dan ditujukan untuk kepentingan umum masyarakat.

Ketika freies ermessen diwujudkan dalam instrumen yuridis yang tertulis maka akan menjadi suatu bentuk pertaturan kebijakan.9 Freies ermessen muncul sebagai alternatif untuk mengisi kekurangan dan kelemahan dalam penerapan asas legalitas. Dalam sebuah negara welfare state tidaklah cukup bila untuk dapat berperan secara maksimal dan melayani kepentingan masyarakat yang berkembang pesat sejalan dengan perkembangan ilmu dan teknologi, hanya mengandalkan asas legalitas karenanya freies ermessen merupakan hal yang sangat dibutuhkan dan terelakkan dalam tatanan tipe negara kesejahteraan.

Pada pengaturan hubungan antara Pemerintah Pusat dan Daerah dapat berbentuk undang-undang. Undang-undang yang mengatur tentang hubungan kewenangan pusat dan daerah merupakan salah satu undang- undang yang utama dalam mengatur

9


(35)

berbagai materi yang berkaitan dengan atribusi, distribusi, dan delegasi serta koordinasi kewenangan di antara berbagai level pemerintahan yang ada di suatu negara yang berstatus sebagai negara kesatuan yang berorientasi kesejahteraan rakyat. Oleh karena itu, keberadaan undang-undang yang mengatur hubungan pusat dan daerah merupakan suatu kebutuhan utama dalam suatu negara.

Cara memperoleh kewenangan tersebut menggambarkan adanya perbedaan yang hakiki antara berbagai level pemerintahan yang ada di suatu negara. Sebagai contoh, pelaksanaan atribusi kewenangan memerlukan adanya pembagian level pemerintahan yang bersifat nasional, regional dan lokal atau level pemerintahan atasan dan bawahan. Selain itu pelaksanaan delegasi membuktikan adanya level pemerintahan yang lebih tinggi (delegator) dan level pemerintahan yang lebih rendah (delegans). Kewenangan Pemerintah merupakan dasar utama baik setiap tindakan dan perbuatan hukum dari setiap level pemerintahan. Dengan adanya dasar kewenangan yang sah maka setiap tindakkan dan perbuatan hukum yang dilakukan oleh setiap level pemerintahan dapat dikategorikan sebagai tindakan dan perbuatan hukum yang sah dan apabila tanpa ada dasar kewenangan. Maka setiap tindakan dan perbuatan hukum yang dilakukan oleh setiap level pemerintah dapat dikategorikan sebagai tindakkan dan/atau perbuatan yang bertentangan dengan hukum dapat dikatakan sebagai pelanggaran terhadap asas-asas umum pemerintahan yang baik. Secara umum, kewenangan pemerintahan dapat diperoleh melalui atribusi, delegasi dan mandat serta tugas pembantuan (medebewind). Dengan adanya dasar kewenangan yang sah maka setiap tindakkan dan perbuatan hukum yang dilakukan oleh setiap level pemerintahan dapat dikategorikan sebagai tindakan dan perbuatan hukum yang sah.


(36)

Kebijakan sendiri adalah suatu peraturan umum yang dikeluarkan pemerintah berkenaan dengan pelaksanaan tugas, wewenang, dan kewajiban sebagai penyelenggara negara dan pelayan masyarakat. Tidak boleh dilupakan pemerintah memiliki hak (freies ermessen) untuk memenuhi kepentingan masyarakat, yang menghendaki pemerintah dalam melaksanakan tugas dan kewajibannya diberi kebebasan dan keleluasaan untuk menetapkan kebijakan, tanpa harus berpaku pada peraturan perudang-undangan. Karena peraturan perundang-undangan memiliki kecenderungan tidak fleksibel dan tidak dapat menampung semua permasalahan masyarakat dan perkembangan masyarakat yang pesat dan dinamis, oleh karena itu pemerintah bukan saja dituntut untuk bertindak cepat dan tanggap tetapi dituntut agar berpandangan luas agar dapat memperhitungkan akibat-akibat dan solusi-solusi yang terbaik untuk masyarakat. Dengan kata lain kebijakan dapat diartikan sebagai mekanisme politis, manajemen, finansial, atau administratif untuk mencapai suatu tujuan eksplisit.10

2.4 Prosedur Kebijakan

Studi kebijakan berusaha untuk meninjau berbagi teori dan proses yang terjadi dalam kebijakan publik. Proses pembuatan kebijakan adalah serangkaian aktivitas intelektual yang dilakukan di dalam proses kegiatan yang pada dasarnya bersifat politis. Aktivitas politis tersebut di jelaskan sebagai proses pembuatan kebijakan dan divisualisasikan sebagai serangkaian tahap yang saling bergantung yang diatur

10


(37)

menurut urutan waktu: penyusunan agenda, formulasi kebijakan, adopsi kebijakan, implementasi kebijakan, dan penilaian kebijakan.11

Kinerja pemerintahan yang baik (good government performance) harus diawali dengan kebijakan yang baik (good policy), dan good policy hanya dapat dicapai melalui formulasi kebijakan yang balk (good policy formulation). Tanpa formulasi kebijakan yang baik tidak mungkin kebijakan yang baik akan terwujud, dan kinerja yang tinggi hanya dapat terwujud apabila melalui tahapan sebagai berikut :12

1. Pengkajian Persoalan. Tujuannya adalah untuk menemukan dan memahami hakekat persoalan dari suatu permasalahan dan kemudian merumuskannya dalam hubungan sebab akibat.

2. Penentuan tujuan. Adalah tahapan untuk menentukan tujuan yang hendak dicapai melalui kebijakan publik yang segera akan diformulasikan.

3. Perumusan Alternatif. Adalah sejumlah solusi pemecahan masalah yang mungkin diaplikasikan untuk mencapai tujuan yang telah ditentukan.

4. Penyusunan Model. Adalah penyederhanaan dan kenyataan persoalan yang dihadapi yang diwujudkan dalam hubungan kausal. Model dapat dibangun dalam berbagai bentuk, misalnya model skematik, model matematika, model fisik, model simbolik, dan lain-lain.

5. Penentuan kriteria. Analisis kebijakan memerlukan kriteria yang jelas dan konsisten untuk menilai alternatif kebijakan yang ditawarkan. Kriteria yang

12

Hamka dan Burhanuddin, Dkk. Makalah penelitian Tingkat Keterlibatan Masyarakat dalam Pembuatan Kebijakan di Kawasan Timur Indonesia. hlm. 2


(38)

dapat dipergunakan antara lain kriteria ekonomi, hukum, politik, teknis, administrasi, peranserta masyarakat, dan lain-lain.

6. Penilaian Alternatif. Dilakukan dengan menggunakan kriteria dengan tujuan untuk mendapatkan gambaran lebih jauh mengenai tingkat efektivitas dan kelayakan setiap alternatif dalam pencapaian tujuan.

7. Perumusan Rekomendasi. Rekomendasi disusun berdasarkan hasil penilaian alternatif kebijakan yang diperkirakan akan dapat mencapai tujuan secara optimal dan dengan kemungkinan dampak yang sekecil-kecilnya.

Tahapan demi tahapan tersebut terangkum sebagai suatu proses siklus pembuatan kebijakan publik. Setiap tahapan dalam proses pembentukan kebijakan publik mengandung berbagai langkah dan metode yang lebih rinci lagi. Tahapan yang terdapat dalam pembuatan suatu kebijakan publik memiliki berbagai manfaat serta konsekuensi dari adanya proses tersebut, khususnya bagi para aktor pembuat kebijakan publik. Dalam hal ini dapat membantu menemukan asumsi-asumsi yang tersembunyi, mendiagnosis penyebab-penyebabnya. Memetakan tujuan-tujuan yang memungkinkan, memadukan pandangan-pandangan yang bertentang an, dan merancang peluang-peluang kebijakan yang baru.13

Biasanya suatu masalah sebelum masuk ke dalam agenda kebijakan, masalah tersebut menjadi isu terlebih dahulu. Isu, dalam hal isu kebijakan, tidak hanya mengandung ketidaksepakatan mengenai arah tindakan aktual dan potensial, tetapi mencerminkan pertentang an pandangan mengenai sifat masalah itu sendiri. Dengan

13

William N. Dunn. Pengantar Analisis Kebijakan Publik Edisi Kedua. Alih bahasa. Samodra Wibawa, dkk. Gadjah Mada University Press. Yogyakarta. 2003. hlm. 24


(39)

demikian, isu kebijakan merupakan hasil dari perdebatan definisi, eksplanasi dan evaluasi masalah.

2.5 Substansi Kebijakan

Menurut Lenvine, produk kebijakan dalam negara demokrasi paling tidak harus memenuhi tiga indikator: pertama, responsifitas adalah daya tanggap pemerintah terhadap harapan, keinginan, aspirasi maupun tuntutan masyarakat; kedua,

responsibilitas adalah suatu ukuran yang menunjukan seberapa jauh proses pemberian pelayanan kepada masyarakat itu dilakukan sesuai dengan prinsip-prinsip atau ketentuan-ketentuan administrasi dan organisasi yang sah; ketiga, akuntabilitas

adalah suatu ukuran yang menunjukan seberapa besar proses penyelenggaraan kebijakan dengan kepentingan stakeholders dan norma-norma yang berkembang dalam masyarakat.14 Maka substansi kebijakan harus memiliki indikator paling sedikit memuat hal-hal seperti yang telah dijelaskan diatas.

Substansi kebijakan dalam negara kesejahteraan dikatakan baik bila memenuhi empat pilar utama yaitu: social citizenship, full democrasy, modern industrial relations system dan right to education and the expantion of modern mass education system, yang tentu tidak akan lepas dari hak-hak sosial masyarakat, seperti:15

1. Tujuan yang akan dicapai, hal ini mencakup kompleksitas tujuan yang akan dicapai, apabila tujuan kebijakan semakin kompleks, maka semakin sulit mencapai kinerja kebijakan. Sebaliknya, apabila tujuan kebijakan semakin sederhana, maka untuk mencapainya semakin mudah.

14

Teori Lenvine dalam Kurniawan, Luthfi J dan Mustafa Lutfi. Perihal Negara, Hukum Dan Kebijakan Publik – Perspektif politik kesejahteraan yang berbasis kearifan lokal, pro civil society dan gender, Setara press, Malang, 2012. hlm. 30

15

Subarsono, Ab. “Analisis Kebijakan Publik; Konsep, Teori dan Aplikasi, Pustaka Pelajar, Yogyakarta. 2005. hlm. 19


(40)

2. Preferensi nilai seperti apa yang perlu dipertimbangkan dalam pembuatan kebijakan. Suatu kebijakan yang mengandung berbagai variasi nilai akan jauh lebih sulit untuk dicapai dibanding dengan suatu kebijakan yang hanya mengejar satu nilai.

3. Sumber daya yang mendukung kebijakan, kinerja suatu kebijakan akan ditentukan oleh sumber daya finansial, material, infrastruktur lainnya.

4. Kemampuan aktor yang terlibat dalam pembuatan kebijakan. Kualitas dari suatu kebijakan akan dipengaruhi oleh kualitas para aktor yang terlibat dalam proses penetapan kebijakan. Kualitas tersebut ditentukan oleh tingkat pendidikan, kompetensi dalam bidangnya, pengalaman kerja dan intregitas moralnya.

5. Lingkungan yang mencakup lingkungan sosial, ekonomi, politik dan sebagainya. Kinerja dari suatu kebijakan akan dipengaruhi oleh konteks sosial, ekonomi, politik tempat kebijakan tersebut diimplementasikan.

6. Strategi yang digunakan untuk mencapai tujuan. Strategi yang digunakan untuk mengimplementasikan suatu kebijakan akan mempengaruhi kinerja suatu kebijakan. Strategi yang digunakan saat bersifat top/down approach

atau bottom approach, otoriter atau demokratis.

Sebagai penyempurnaan akan substansi kebijakan, penulis kali ini mengacu pada teori Hogwood dan Gunn, yang menyatakan bahwa substani kebijakan sedikitnya mencakup hal-hal sebagai berikut :16

16


(41)

1. Bidang kegiatan sebagai ekspresi dari tujuan umum atau pernyataan-pernyataan ytang ingin dicapai.

2. Produk hukum tertentu yang mencerminkan keputusan-keputusan pemerntah yang telah dipilih.

3. Kewenangan formal seperti undang-undang atau peraturan pemrintah.

4. Program, yakni seperangkat kegiatan yang mencakup rencana penggunaan sumberdaya lembaga dan strategi pncapaian tujuan.

5. Keluaran (output), yaitu apa yang nyata telah disediakan oleh pemerintah, sebagai produk dari kegiatan tertentu.

6. Teori yang menjelaskan bahwa jika kita melakukan X, maka akan diikuti oleh Y.

7. Proses yang berlangsung dalam periode waktu tertentu yang relatif panjang.

Terlihat bahwa substansi kebijakan yang terarah dan kongkret merupakan salah satu faktor penyebab suksesnya suatu kebijakan yang akan diberlakukan pada masyarakat nantinya.

2.6 Kebijakan Publik

2.6.1 Pengertian Kebijakan Publik

Kebijakan publik merupakan suatu kegiatan yang senantiasa diselenggarakan harus seiring dengan harapan kesejahteraan warga negara. Seluruh kebijakan pemerintah yang bertujuan untuk kepentingan masyarakat dinamakan “kebijakan publik”. Berdasarkan apa yang tertuang dalam Pasal 10 Ayat (3) Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah dapat terlihat betapa luasnya ruang lingkup


(42)

kebijakan pemerintah ini, dan menjadikan segala sesuatu yang berkaitan dengan seluruh urusan penyelenggaraan negara dapat diatur secara lebih baik dan terbaik untuk mayarakat terdapat dalam sebuah kebjakan.17

Berikut adalah beberapa pengertian Kebijakan Publik menurut para ahli :18

1. Chandler dan Plano : kebijakan publik merupakan pemanfaatan strategis terhadap sumber daya yang ada untuk memecahkan masalah-masalah publik atau pemerintah.

2. James E. Anderson : “Public policies are those policies developed by governmental bodies and officials”. Kebijakan publik adalah kebijakan-kebijakan yang dibangun oleh badan-badan dan pejabat-pejabat pemerintah. Dimana implikasi dari kebijakan tersebut adalah :

1) Kebijakan selalu mempunyai tujuan atau berorientasi pada tujuan tertentu. 2) Kebijakan berisi tindakan atau pola tindakan pejabat-pejabat pemerintah. 3) Kebijakan adalah apa yang benar-benar dilakukan oleh pemerintah, dan

bukan apa yang bermaksud akan dilakukan.

4) Kebijakan publik bersifat positif (merupakan tindakan pemerintah mengenai suatu masalah tertentu) dan bersifat negatif (keputusan pejabat pemerintah untuk tidak melakukan sesuatu).

5) Kebijakan publik (positif) selalu berdasarkan pada peraturan perundangan tertentu yang bersifat memaksa (otoritatif) lingkungannya.

3. Carl J. Friedrich : “Public policy is a proposed course of action of a person, group, or government within a given environment providing obstacles and opportunities which the policy was proposed to utilize and overcome in an effort to reach a goal or realize an objective or purpose”. (Kebijakan publik adalah serangkaian tindakan yang diusulkan seseorang, kelompok, atau pemerintah dalam suatu lingkungan tertentu dengan menunjukkan hambatan-

17

Lihat Pasal 10 Ayat (3) Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah, “

18

Teori Lenvine dalam Kurniawan, Luthfi J dan Mustafa Lutfi. Perihal Negara, Hukum Dan Kebijakan Publik – Perspektif politik kesejahteraan yang berbasis kearifan lokal, pro civil society dan gender, Setara press, Malang, 2012. hlm. 24


(43)

hambatan dan kesempatan-kesempatan terhadap pelaksanaan usulan kebijakan tersebut dalam rangka mencapai tujuan tertentu).

Sebagian besar para ahli memberi pengertian kebijakan publik dalam kaitannya dengan keputusan atau ketetapan pemerintah untuk melakukan suatu tindakan yang dianggap akan membawa dampak yang baik bagi kehidupan mayarakat. Berdasarkan pembahasan yang telah dituliskan diatas, maka Penulis berpendapat bahwa Kebijakan Publik adalah keputusan-keputusan yang mengikat bagi orang banyak pada tataran strategis atau bersifat garis besar yang dibuat oleh pemegang otoritas publik. Sebagai keputusan yang mengikat publik maka kebijakan publik haruslah dibuat oleh otoritas politik, yakni pemerintah yang menerima mandat dari publik atau orang banyak, umumnya melalui suatu proses pemilihan untuk bertindak atas nama rakyat banyak. Selanjutnya, kebijakan publik akan dilaksanakan oleh administrasi negara yang di jalankan oleh birokrasi pemerintah.

Fokus utama kebijakan publik dalam negara modern adalah pelayanan publik, yang merupakan segala sesuatu yang bisa dilakukan oleh negara untuk mempertahankan atau meningkatkan kualitas kehidupan orang banyak. Menyeimbangkan peran negara yang mempunyai kewajiban menyediakan pelayan publik dengan hak untuk menarik pajak dan retribusi; dan pada sisi lain menyeimbangkan berbagai kelompok dalam masyarakat dengan berbagai kepentingan serta mencapai amanat konstitusi. Pemerintah menghadapi berbagai tantangan berat dalam menerapkan tata pemerintahan untuk mengelola akibat desentralisasi dan mencapai sasaran untuk memperkuat konektivitas nasional yang terintegrasi.


(44)

Berdasarkan klausul yang ada dalam undang-undang pemebentukan peraturan perundang-undangan diakui keberadaannya dan mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang diperintahkan oleh Peraturan Perundang-undangan yang lebih tinggi atau dibentuk berdasarkan kewenangan. Pasal 8 ayat (2) Undang-undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan,19 ketentuan tersebut maka kedudukan suatu peraturan yang mengikat berwujud suatu Kebijakan Publik dalam sistem peraturan perundang-undangan di Indonesia telah jela diakui dan eksistensinya oleh undang-undang, dapat diketahui bahwa benar suatu kebijakan yang dikeluarkan oleh pemerintah telah mempunyai kedudukan yang sah serta diakui di Indonesia. Diskursus mengenai hukum dan kebijakan publik tentunya memang tidak terlepas dari persoalan Negara dan Pemerintahan serta dinamika dan pengelolaannya. Adalah sangat penting penegasan bahwa kebijakan publik merupakan peraturan peundang–undangan yang dapat menghasilkan output

peraturan perundang-undangan dan pasti dapat diuji di Mahkamah Konstitusi dan Mahkamah Agung, kebijakan publik merupakan sebuah perbuatan riil pemerintah yang sistematis dalam menjalankan amanat peraturan perundang-undangan, dengan demikian dapat diuji secara formil karena memang terdapat suatu prosedur sistematis pembentukan peraturan perundang–undangan untuk pembentukan suatu kebijakan publik.

Untuk mengidentifikasikan sejumlah langkah yang harus diambil pemerintah Indonesia untuk merealisasikan peluang ekonomi melalui peningkatan manajemen

19

Lihat Pasal 8 ayat (2) Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan : “peraturan perundang-undangan tersebut diakui keberadaannya dan mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang diperintahkan oleh Peraturan Perundang-undangan yang lebih tinggi atau dibentuk berdasarkan kewenangan.”


(45)

regulasi, penerapan kebijakan persaingan usaha secara efektif, membuat kebijakan-kebijakan yang konsisten mengenai keterbukaan pasar serta membenahi pengaturan peraturan perundang-undangan untuk memudahkan investasi di bidang infrastruktur. Indonesia sebagai suatu negara kesatuan memiliki undang-undang yang di dalamnya mengatur hubungan kewenangan antara pusat dan daerah dalam rangka menciptakan integrasi dan distribusi kewenangan dari seluruh level pemerintahan yang ada serta menghindari terjadi overlapping kewenangan antara berbagai level pemerintahan tersebut. Dapat dikatakan bahwa kebijakan publik tidak lepas dari proses pembentukan kebijakan itu sendiri. Dengan demikian, salah satu tujuan studi kebijakan publik adalah untuk menganalisis bagaimana tahapan demi tahapan proses pembentukan kebijakan publik tersebut sehingga terwujudlah suatu kebijakan publik tertentu.

2.7 Pertambangan Indonesia

Pertambangan Indonesia telah mengalami perkembangan dari berbagai macam zaman, ada baiknya penulis terlebih dahulu memapaparkan secara singkat sejarah Pertambangan Indonesia. Penetapan Hari Jadi Pertambangan dan Energi diputuskan dalam Rapat Pimpinan (Rapim) Departemen Energi dan Sumber Daya Mineral (DESDM) yang berlangsung pada tanggal 1 Nopember 2007 di Badan Geologi Bandung. diikuti oleh para Pejabat Eselon I dan II DESDM dipimpin oleh Menteri Energi dan Surnber Daya Mineral. Berdasarkan hasil penetapan tersebut. Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral menyampaikan surat kepada Presiden No. 1349/04/ME~LS/2008 tanggal 26 Pebruari 2008 mengusulkan Hari Jadi Pertambangan dan Energi untuk ditetapkan dalam Keputusan Presiden. Selanjutnya


(46)

dengan Keputusan Presiden Repub1ik Indonesia Nomor 22 tahun 2008 tanggal 27 September 2008 ditetapkan Hari Jadi Pertambangan dan Energi adalah tanggal 28 September.20

Sejarah pertambangan dan energi sendiri di Indonesia dimulai dengan kegiatan pertambangan yang dilakukan secara tradisional oleh penduduk dengan seizin penguasa setempat atau tuan tanah. seperti, Raja, ataupun Sultan. Pada tahun 1602 Pemerintah Kolonial Belanda membentuk VOC, pemerintah selain menjual rempah-rempah mulai melakukan perdagangan hasil pertambangan, pada tahun 1652 mulailah dilakukan penyelidikan berbagai aspek ilmu kealaman oleh para ilmuwan dari Eropa.21 Pada tahun 1850 Pemerintah Hindia Belanda membentuk Dienst van het Mijnwezen (Mijnwezenn-Dinas Pertambangan) yang berkedudukan di Batavia untuk lebih mengoptimalkan penyelidikan geologi dan pertambangan menjadi lebih terarah.22

Menjelang tahun 1920, sesuai dengan rencana Pemerintah Hindia Belanda menjadikan Bandung sebagai ibukota Hindia Belanda, maka dilakukan persiapan untuk memindahkan kantor Mijnwezen ke Bandung. Departement Burgerlijke OpenbareWerken (Departemen Pekerjaan Umum) yang membawahi Mijnwezen dan menempati Gedung Sate.23 Pada tahun 1922, lembaga Mijnwezen ini berganti nama menjadi Dienst van den Mijnbouw.24 Pada Tahun 1928 Pemerintah Hindia Belanda mulai membangun gedung Geologisch Laboratorium yang terletak di jalan

20

http://www.esdm.go.id/departemen-energi-dan-sumber-daya-mineral/sejarah.html . diakses 16 april 2013.

21

Perhapi. Mining Law Essentials. Perhapi, jakarta. 2011. hlm. 5

22

Ibid. hlm. 5

23

Ibid. hlm. 5

24


(47)

Wilhelmina Boulevard untuk kantor Dienst van den Mijnbouw dan diresmikan pada tanggal 16 Mei 1929. selanjutnya gedung ini dipergunakan untuk penyelenggaraan sebagian dari acara Pacific Science Congress ke IV. Gedung ini sekarang bernama Museum Geologi, yang berlamat di jalan Diponegoro No. 57 Bandung.25

Dengan melewati berbagai zaman dengan segala kelebihan dan kekurangannya pertambangan Indonesia sendiri memiliki corak pengelolaan yang khas, seperti yang hak untuk mengelola lebih diberikan pada pihak asing dan bangsa Indonesia sendiri hanya mendapatkan sedikit dari manfaat kekayaan perut bumi Indonesia ini. Beranjak pada paradigma baru kegiatan industri pertambangan modern dewasa ini ialah mengacu pada konsep Pertambangan yang berwawasan Lingkungan dan berkelanjutan. Yang dimaksud dengan asas berkelanjutan dan bemawasan lingkungan adalah asas yang secara terencana mengintegrasikan dimensi ekonomi, lingkungan, dan sosial budaya dalam keseluruhan usaha pertambangan mineral dan batubara untuk mewujudkan kesejahteraan masa kini dan masa mendatang. Indonesia berada di sabuk mineral (Ring of Fire) dengan potensi mineral yang tinggi. Jika dibandingkan dengan negara lain di Asia, Indonesia memimpin dalam produksi tembaga, emas, perak, nikel, timah dan batubara. Berdasarkan hasil Survey Pertambangan Indonesia yang dilakukan oleh PWC (Price Waterhouse Coopers) tahun 2011, diperoleh gambaran bahwa dalam kurun waktu 2007 sampai 2011, secara umum produksi pertambangan Indonesia mengalami kenaikan,26

Pertambangan adalah sebagian atau seluruh tahapan kegiatan dalam rangka penelitian, pengelolaan dan pengusahaan mineral atau batubara yang rneliputi

25

Loc.Cit. Perhapi. hlm. 6

26

Salim HS. S.H.,M.S. Hukum Pertambangan Indonesia, Rajawali Pers, Jakarta. 2007. hlm. 12


(48)

penyelidikan umum, eksplorasi, studi kelayakan, konstruksi, penambangan, pengolahan dan pemurnian, pengangkutan dan penjualan, serta kegiatan pascatambang.27 Menurut Pasal 34 Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara,, usaha pertambangan dikelompokkan atas :28

1. pertambangan batubara.

2. Pertambangan mineral radioaktif; 3. Pertambangan mineral logam;

4. Pertambangan mineral bukan logam; dan 5. Pertambangan batuan.

Sektor pertambangan, khususnya pertambangan meneral dan batubara, mengalami bonanza atau masa puncak kejayaan pada era 2006 sampai dengan akhir 2011 seiring dengan melambungnya harga minyak bumi dan motivasi dari berbagai pihak untuk mencari dan memaksimalkan sumber energi selain minyak dan gas bumi.29

Penguasaan kekayaan alam Indonesia dapat dimiliki oleh seluruh bangsa Indonesia, dengan catatan sanggup memenuhi seluruh syarat dan proses administrasi yang telah ditentukan dalam peraturan perundang-undangan. Karena memang kekayaan sumber daya alam Indonesia hakikinya diperuntukan untuk rakyat. Hans Kelsen dalam pembahasan mengenai hak sipil mengutarakan bahwa tata aturan hukum memberikan hak kepada individu atau wakilnya, untuk kemungkinan ikut dalam proses hukum yang berakhir pada pelaksanaan sanksi, hal ini terutama dapat dilihat dalam pembuatan norma individual dalam kasus perdata. Dari sudut pandang dinamis, penggugat memainkan bagian yang esensial dalam pembuatan norma

27

Pasal 1 angka 1 Undang-undang Nomor 4 tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral Dan Batubara.

28

Pasal 34 Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara.

29

Nandang Sudrajat. Teori dan Praktik Pertambangan Indonesia Menurut Hukum,


(49)

individual. Norma individual merupakan bagian dan memiliki karakter hukum.30 Bahwa hak sipil memiliki karakteristik politis dengan mendasarkan kepada fakta bahwa pengaturan hak sipil dilakukan melalui teknik khusus dalam hukum perdata, dan hukum perdata adalah teknik hukum khusus dari kapitalisme privat.

Berdasarkan Pasal 33 ayat (3) UUD 1945 menegaskan bahwa Bumi, Air, dan Kekeyaan Alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh Negara dan dipergunakan sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat. Ketentuan pasal 33 ayat (3) UUD 1945 ini merupakan ketentuan hasil rumusan para pendiri Negara ini, secara esensi mempunyai “ roh” yang sangat luhur, bukan saja dalam konteks kehidupan berbangsa dan bernegara, tetapi ketentuan ini mempunyai nilai sosiologis dimana apa yang diberikan Allah SWT semata-mata untuk kemakmuran anak bangsa Indonesia sendiri.31 Sejak diterbitkannya Undang–undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral Dan Batubara, sedikit demi sedikit dan bertahap perusahaan pemilik perusahaan pertambangan nasional maupun swasta dan asing sudah memulai melaksanakan progaram pemurnian mineral dan batubara tersebut. Hal ini merupakan kewajiban seluruh pemegang IUP Mineral dan batubara untuk melaksanakan kebijakan tersebut, khususnya dalam pembangunan fasilitas pengolahan dan pemurnian, dan/atau bentuk kerja sama pengolahan dan pemurnian mineral di dalam negeri.

30

Jimly Assiddiqie dan M. Ali Safa’at, Teori Hans Kelsen Tentang Hukum, Jakarta, Setjen & Kepaniteraan MK – RI, Cetakan Kedua, Juli 2012, hlm. 77

31


(50)

2.8 Pemurnian Mineral dan Batubara 2.8.1 Mineral dan Batubara

Penyebaran mineral di Indonesia tidak merata sesuai kondisi geologi di sepanjang bentang kepulauan nusantara. Perkembangan ilmu geologi telah memberikan gambaran tentang cara terjadinya mineral dan berbagai faktor yang mengendalikannya, dengan mengetahui faktor – faktor geologi, penyebaran mineral itu dapat diperkirakan.32 Karena itu diperlukan pengetahuan tentang kondisi geologi yang mencakup seluruh wilayah Indonesia. Melalui pemetaan geologi, baik secara penginderaan jarak jauh (remote sensing) maupun dari hasil kenyataan lapangan, Indonesia telah memiliki peta geologi yang mencakup seluruh wilayah Indonesia.33 Berdasar peta geologi tersebut para ahli dapat menyusun berbagai teori atau hipotesis dalam tujuan pencarian mineral, sebab pembentukan mineral berkaitan dengan berbagai proses geologis.

Mineral dalam tanah berasal dari pelapukan fisik dan kimia dari batuan yang merupakan bahan induk tanah, rekristalisasi dari senyawa-senyawa hasil pelapukan lainnya atau pelapukan (alterasi) dari mineral primer dan sekunder yang ada.34 Di dalam peraturan perundang-undangan Indonesia yang berkaitan dengan pertambangan mineral selalu dijelaskan sebagai berikut:

“Mineral adalah senyawa anorganik yang terbentuk di alam, yang memiliki sifat fisik dan kimia tertentu serta susunan kristal teratur atau gabungannya yang membentuk batuan, baik dalam bentuk lepas atau padu”.

32

Ibid. hlm. 6

33

Paper Seminar Pertambangan LPEM-KADIN. 2011. hlm. 04

34


(51)

Mineral logam adalah mineral yang unsur utamanya mengandung logam, memiliki kilap logam, dan umumnya bersifat sebagai penghantar panas dan listrik yang baik.35 Mineral bukan logam adalah mineral yang unsur utamanya terdiri atas bukan logam, misalnya bentonit, kalsit (batu kapur/gamping), silika (pasir kuarsa), dan lain -lain.36 “Batubara adalah endapan senyawa organik karbonan yang terbentuk secara alamiah dari sisa tumbuh-tumbuhan,” demikian penjelasan yang disebutkan dalam Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara.

2.8.2 Kebijakan Pemurnian Mineral dan Batubara

Pada Pasal 4 ayat (1) Undang-undang Nomor 4 Tahun 2009 disebutkan bahwa mineral dan batubara sebagai sumber daya alam yang tidak terbarukan merupakan kekayaan alam nasional yang dikuasai oleh negara dikelola sebesar-besarnya untuk kesejahteraan rakyat. Adapun dalam hal ini pemerintah yang mengelola bidang pertambangan adalah Kementerian Energi Dan Sumber Daya Mineral. Untuk tingkat daerah penguasaan dilakukan oleh Pemerintah Daerah. Untuk kepentingan nasional, pemerintah dapat mengeluarkan kebijakan pengutamaan konsumsi mineral dan batubara untuk kepentingan dalam negeri setelah berkonsultasi kepada DPR.

Dalam Pasal 93 Peraturan Pemerintah Nomor 23 Tahun 2010 tentang Pelaksanaan Kegiatan Usaha Pertambangan Mineral dan Batubara memberikan kewajiban peningkatan nilai tambah dengan cara pengolahan dan pemurnian mineral dan batubara pada pelaksanaan kegiatan usaha pertambangan mineral dan batubara. Pemurnian mineral dan batubara sendiri adalah sebuah istilah yang digunakan pemerintah dan perusahaan tambang pada umumnya yang sebenarnya itu adalah

35

Ibid. hlm. 05

36


(52)

proses untuk pemurnian bahan galian tambang logam, nonlogam dan batubara guna meningkatkan nilai jual barang tambang tersebut.37 Pertambangan mineral dan batubara merupakan salah satu industri dasar yang memanfaatkan sumber daya alam tidak terbarukan, sehingga sejak awal kegiatan sudah harus dipikirkan bagaimana kelanjutan kehidupan perekonomian, sosial, dan lingkungan hidup di daerah pertambangan dan sekitarnya pada masa pasca tambang.

Dalam Pasal 2 ayat (2) Peraturan Pemerintah Nomor 23 Tahun 2010 tentang Pelaksanaan Kegiatan Usaha Pertambangan Mineral dan Batubara disebutkan sebagai berikut : Pertambangan mineral dan batubara sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dikelompokkan ke dalam 5 (lima) golongan komoditas tambang yang harus ditingkatkan nilai jualnya dengan diproses melalui pemurnian barang tambang :

a. mineral radioaktif meliputi radium, thorium, uranium, monasit, dan bahan galian radioaktif lainnya;

b. mineral logam meliputi litium, berilium, magnesium, kalium, kalsium, emas, tembaga, perak, timbal, seng, timah, nikel, mangaan, platina, bismuth, molibdenum, bauksit, air raksa, wolfram, titanium, barit, vanadium, kromit, antimoni, kobalt, tantalum, cadmium, galium, indium, yitrium, magnetit, besi, galena, alumina, niobium, zirkonium, ilmenit, khrom, erbium, ytterbium, dysprosium, thorium, cesium, lanthanum, niobium, neodymium, hafnium, scandium, aluminium, palladium, rhodium, osmium, ruthenium, iridium, selenium, telluride, stronium, germanium, dan zenotin;

37

Nandang Sudrajat. Teori dan Praktik Pertambangan Indonesia Menurut Hukum,


(53)

c. mineral bukan logam meliputi intan, korundum, grafit, arsen, pasir kuarsa, fluorspar, kriolit, yodium, brom, klor, belerang, fosfat, halit, asbes, talk, mika, magnesit, yarosit, oker, fluorit, ball clay, fire clay, zeolit, kaolin, feldspar, bentonit, gipsum, dolomit, kalsit, rijang, pirofilit, kuarsit, zirkon, wolastonit, tawas, batu kuarsa, perlit, garam batu, clay, dan batu gamping untuk semen; batubara meliputi bitumen padat, batuan aspal, batubara, dan gambut.

Sebanyak 34 batuan tambang, 21 mineral logam, 10 mineral bukan logam terkena bea keluar untuk mengendalikan ekspor bijih. Sebab, selama ini volume produksi hasil tambang meningkat setiap tahun namun industri pengolahan dan pemurnian belum tumbuh signifikan. harus melalui proses penigkatan nilai tambah dengan melakukan pemurnian terlebih dahulu. Yang harus dihindari adanya fenomena “Kota Mati atau Habis Manis Sepah dibuang". Hal ini tidak mudah dilakukan, karena akan melibatkan berbagai kegiatan sektor ekonomi lain yang potensial dapat dikembangkan di daerah tersebut.

Industri pertambangan sebagai industri hulu yang menghasilkan berbagai macam barang tambang sesuai sifat dan keterdapatanannya yang secara geologis terdapat di dalam bumi bak yang masih terpendam maupun yang tersingkap dipermukaan, keterdapatan bahan galian ini di dalam bumi pada praktiknya sudah dapat dipastikan akan menimbulkan dampak fisik secara langsung terhadap lingkungan, persoalan kerusakan lingkungan bukan hanya dapat di timbulkan oleh sebuah aktivitas pertambangan saja tetapi yang jadi persoalannya adalah bagaimana dampak kerusakan tersebut dapat di atasi sebaik mungkin sehingga tetap berada dalam batas kemampuan daya dukung lingkungannya. Untuk menghadapi tantangan lingkungan


(54)

strategis dan menjawab sejumlah perrnasalahan pertambangan, perlu reformasi regulasi peraturan perundang-undangan pertambangan mineral dan batubara yang dapat memberikan landasan hukum dan pemerintah harus mengeluarkan langkah-langkah pembaruan dan penataan kembali kegiatan pengelolaan dan pengusahaan pertarnbangan mineral dan batubara.


(1)

114

dalam pemurnian mineral dan batubara agar percepatan peningkatan nilai tambah mineral melalui pengolahan dan pemurnian di dalam negeri dapat terealisasikan. Seperti; Kementerian ESDM harus menyediakan data dan informasi terkini mengenai potensi dan sebaran cadangan bijih mineral terlebih dahulu, memfasilitasi penyediaan energi pendukung untuk kegiatan pengolahan dan pemurnian, menetapkan kebijakan kewajiban pemenuhan dalam negeri hasil pengolahan dan pemurnian mineral tertentu untuk kebutuhan di sektor perindustrian, dan melakukan evaluasi peraturan perundang-undangan di bidang mineral yang menghambat upaya percepatan peningkatan nilai tambah mineral melalui pengolahan dan pemurnian di dalam negeri serta harus menyiapkan inspektur pertambangan yang berkompeten lebih banyak lagi untuk pengawasan jalannya usaha pertambangan; Kementerian Perindustrian diharuskan menyusun peta jalan (roadmap) industri yang berbasis penigkatan nilai jual tambang Indonesia; Kementerian Perdagangan menetapkan kebijakan di bidang ekspor, impor, dan perdagangan dalam negeri untuk menjamin ketersediaan pasokan, pengadaan dan kelancaran distribusi bahan baku, bahan penolong dan barang modal kebutuhan pengolahan dan pemurnian mineral; Kementerian Keuangan menetapkan kebijakan di bidang fiskal dalam rangka mendorong kegiatan pengolahan dan pemurnian mineral; Kementerian Keuangan harus menetapkan besaran pajak yang akan dikenakan pada mineral dan batubara yang telah dimurnikan, pengenaan pajak ekspor mineral dan batubara harus dibedakan tidak boleh disamakan karena permintaan masing-masing mineral dan batubara tentu berbeda dan pengaturan peajak dan cukai seluruh infrastruktur pemurnian mineral dan batubara harus segera diterbitkan; Kementerian Dalam Negeri melakukan


(2)

115

pembinaan dan pengawasan serta evaluasi terhadap kebijakan perizinan oleh pemerintah daerah dalam rangka sinergisisasi dan percepatan pembangunan pengolahan dan pemurnian mineral dan/atau infrastrukturnya; Kementerian BUMN mendorong BUMN guna membangun pengolahan dan pemurnian mineral di dalam negeri, menetapkan prioritas usulan tambahan penyertaan modal negara kepada BUMN yang membangun pengolahan dan pemurnian mineral di dalam negeri, dan mendorong BUMN sebagai penyedia kebutuhan mineral dan batubara dari pengolahan dan pemurnian mineral di dalam negeri; Kementerian Lingkungan Hidup melakukan evaluasi peraturan perundang-undangan di bidang lingkungan hidup yang menghambat upaya percepatan peningkatan nilai tambah mineral melalui pengolahan dan pemurnian di dalam negeri dan melindungi hak-hak masyarakat adat yang berada di kedalaman hutan; Kementerian Perekonomian diharuskan mengeluarkan pengaturan tentang kewenangan pembinaan manajemen keuangan industri pengolahan dan pemurnian mineral dalam negeri dan pelaksanaan dan melaporkan hasil yang telah dicapai kepada Presiden paling kurang satu kali dalam setahun.


(3)

DAFTAR PUSTAKA

BUKU

Anwar , Saiful dan Marzuki Lubis, Sendi-Sendi Hukum Administrasi Negara, Gelora Madani Press, Medan, 2004.

Assiddiqie, Jimly dan M. Ali Safa’at, Teori Hans Kelsen Tentang Hukum, Jakarta, Setjen & Kepaniteraan MK – RI, Cetakan Kedua, Juli 2012.

Dunn, William N. Pengantar Analisis Kebijakan Publik, Edisi Kedua, Alih bahas, Samodra Wibawa, dkk, Gadjah Mada University Press, Yogyakarta .2003.

HR , Ridwan. Hukum Administrasi Negara. Rajawali Pers, Jakarta, 2007.

HS. Salim, S.H.,M.S. Hukum Pertambangan Indonesia, Rajawali Pers, Jakarta. 2007. Kurniawan, Luthfi J dan Mustafa Lutfi. Perihal Negara, Hukum Dan Kebijakan

Publik-Perspektif politik kesejahteraan yang berbasis kearifan lokal, pro civil society dan gender, Setara press, Malang, 2012.

Mustafa, Bachsan. Pokok-Pokok Hukum Administrasi Negara, Alumni, Bandung, 1979.

Soekanto, Soerjono dan Sri Mamudji, Penelitian Hukum Normatif - Suatu Tinjauan Singkat -, PT Raja Grafindo Persada, 2001.

Subarsono, Ab. Analisis Kebijakan Publik; Konsep, Teori dan Aplikasi, Pustaka Pelajar, Yogyakarta. 2005.

Sudrajat, Nandang. Teori dan Praktik Pertambangan Indonesia Menurut Hukum, Pustaka Yusticia, Sleman, 2010.

Tim Penyusun Kamus Pusat Pembinaan Dan Pengembangan Bahasa. Kamus Besar Bahasa Indonesia, Balai Pustaka Cetakan IV, Jakarta, 1990.


(4)

Wajidi, Farid. Dalam Analisis isi pengantar teori dan metodologi Alih bahasa dari “Klaus krippendorff in Content analysis introduction to its theory and methodology”. Rajawali pers. Jakarta. 1991.

Zamboni, Mauro. The Legal Theory of Law (A Legal The Theoretical Framework), Oregon Hart Publishing, 2007.

ARTIKEL

Direktorat Jenderal Anggaran Kementerian Keuangan RI. Nota Keuangan dan APBN 2012.

Erman Rajagukguk. 2009. Pengertian Keuangan Negara Dan Kerugian Negara.

Hamka dan Burhanuddin, Dkk. Penelitian Tingkat Keterlibatan Masyarakat dalam Pembuatan Kebijakan di Kawasan Timur Indonesia.

Lembaga Penyelidikan Ekonomi dan Masyarakat Fakultas Ekonomi. 2011. Makalah Seminar Tinjauan dan Manfaat Ekonomi Industri Tambang Di Indonesia. Universitas Indonesia.

Perhapi. Mining Law Essentials. Perhapi, jakarta. 2011. Paper Seminar Pertambangan. LPEM-KADIN. 2011.

PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN

Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 Amandemen Keempat.

Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan.

Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang keuangan Negara. Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah. Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2008 tentang Kementerian Negara.

Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara.

Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup.

Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang Undangan.


(5)

Peraturan Pemerintah Nomor 22 Tahun 2010 tentang Wilayah Pertambangan. Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 2010 tentang Penggunaan Kawasan Hutan Peraturan Pemerintah Nomor 38 Tahun 2007 tentang Pembagian Urusan

Pemerintahan Antara Pemerintah, Pemerintahan Daerah Provinsi, dan Pemerintahan Daerah Kabupaten/Kota.

Peraturan Pemerintah Nomor 23 Tahun 2010 jo Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 2012 tentang Pelaksanaan Kegiatan Usaha Pertambangan Mineral dan Batubara.

Peraturan Pemerintah Nomor 55 Tahun 2010 tentang Pembinaan dan Pengawasan Penyelenggaraan Pengelolaan Usaha Pertambangan Mineral dan Batubara. Peraturan Pemerintah Nomor 43 Tahun 2010 tentang Tata Cara Penetapan Kawasan. Peraturan Pemerintah Nomor 78 Tahun 2010 tentang Reklamasi dan Pascatambang. Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 2012 tentang Jenis dan Tarif Atas Jenis

Penerimaan Negara Bukan Pajak Yang Berlaku Pada Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral.

Peraturan Presiden Nomor 28 Tahun 2011 tentang Penggunaan Kawasan Hutan Lindung Untuk Penambangan Bawah Tanah.

Peraturan Presiden Nomor 77 Tahun 2011 Perubahan Kedua Atas Peraturan

Presiden Nomor 47 Tahun 2009 tentang Pembentukan, dan Organisasi Kementerian Negara.

Peraturan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Nomor 18 Tahun 2010 tentang Organisasi dan Tata Kerja Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral. Peraturan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Nomor 28 Tahun 2009 tentang

Penyelenggaraan Usaha Jasa Pertambangan Mineral dan Batubara.

Peraturan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Nomor 7 Tahun 2012 tentang Peningkatan Nilai Tambah Mineral Melalui Kegiatan Pengolahan dan Pemurnian Mineral.

Peraturan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Republik Indonesia Nomor 02 Tahun 2013 tentang Pengawasan Terhadap Penyelenggaraan Pengelolaan Usaha Pertambangan Yang Dilaksanakan Oleh Pemerintah Provinsi dan Pemerintah Kabupaten/Kota.

Peraturan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Republik Indonesia Nomor 04 Tahun 2013 tentang Pelimpahan Sebagian Urusan Pemerintahan Di Bidang Energi dan Sumber Daya Mineral Kepada Gubernur Sebagai Wakil Pemerintah.

Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 29/M-Dag/Per/5/2012 tentang Ketentuan Ekspor Produk Pertambangan.


(6)

WEBSITE

http //www.esdm.go.id/departemen-energi-dan-sumber-daya-mineral/sejarah.html http //www.esdm.go.id/berita/43-mineral/4191-sig.rusia-siap-kucurkan-dana-us-4-miliar-bangun-smelter.html

http //bisnis.vivanews.com/news/read/316777-alasan-dibalik-bea-keluar-tambang---mineral

http //www.hukumonline.com.-Sony-Heru-Prasetyo -Penataan-IUP-Terus-Dilakukan.Html.