MENINGKATKAN NILAI TAMBAH DAN SUSTAINABI

MENINGKATKAN NILAI TAMBAH DAN SUSTAINABILITI
BUMN MELALUI IMPLEMENTASI ENTERPRISE RISK
MANAGEMENT (ERM) DI TINGKAT KORPORAT DAN “SUPER
HOLDING” KEMENTERIAN BUMN
Oleh : Mufid Ansori, SE
Konsep dan Penerapan Manajemen Risiko
James Lames merupakan salah satu perintis dan konseptor Enterprise Risk
Management (ERM), beliau memulai karir dalam bidang manajemen risiko ketika
menjabat Chief Risk Officer (CRO) antara tahun 1993-1995 di GE Capital, jabatan
tersebut merupakan jabatan CRO pertama di dunia. Kemudian selanjutnya beliau
juga mendapat jabatan Chief Risk Officer di Fidelity Investment pada tahun 19951998, posisi James Lames sebagai CRO di kedua perusahaan tersebut kemudian
menjadi case study dan best practice dalam pengelolaan risiko di perusahaan,
diantaranya diterbitkan oleh majalah Risk Magazines, The Economist, Price
Waterhouse Review. James lames selanjutnya menulis buku mengenai manajemen
risiko pada tahun 2003 dengan judul Enterprise Risk Management: From
Incentives to Controls. Buku tersebut menjadi acuan dalam pelaksanaan
manajemen risiko dan pemicu penerapan konsep ERM di berbagai perusahaan di
dunia.
Berbagai organisasi profesi dan praktisi dalam bidang manajemen risiko
kemudian mengeluarkan berbagai standar untuk memperbaiki dan meningkatkan
kualitas penerapan manajemen risiko, seperti COSO (Committee of Sponsoring

Organization of the Treadway Commission), AS NZS (kemudian diadopsi oleh
ISO, menjadi ISO 31000), RIMS dan lain-lain.
ISO 31000 seri Risk Management – Guidelines on Principles and Implementation
of Risk Management, mendefinisikan risiko sebagai dampak dari ketikakpastian
pencapaian tujuan. Setiap entitas bisnis pasti memiliki tujuan yang ingin dicapai,
proses pencapaian tujuan tersebut pasti memiliki hambatan dan rintangan, yang
secara konsep biasa disebut risiko.
ERM menurut definisi COSO adalah sebagai berikut:
“Enterprise risk management is a process, effected by an entity’s board of
directors,management and other personnel, applied in strategy setting and across
the enterprise, designed to identify potential events that may affect the entity, and
manage risk to be within its risk appetite, to provide reasonable assurance
regarding the achievement of entity objectives”.
COSO (Committee of Sponsoring Organization of the Treadway Commission)
adalah salah satu organisasi nirlaba internasional yang didirikan dengan tujuan
untuk meningkatkan kualitas pengendalian internal dan pengelolaan risiko di
seluruh dunia. COSO terdiri dari berbagai profesional dari berbagai profesi,
seperti akuntan, internal auditor, ahli keuangan, akademisi, konsultan, dan lainlain. Masing-masing profesi tersebut saling berbagai pengetahuan dan saling

berdiskusi untuk memberikan saran-saran terbaik untuk meningkatkan kualitas

penerapan manajemen risiko dan pengendalian internal perusahaan. COSO telah
mengeluarkan berbagai standar dan best practice dalam bidang internal control
dan risk management, seperti COSO Enterprise Risk Management – Integrated
Framework dan COSO Internal Control Framework.
Berbagai krisis ekonomi (1998 dan 2008) dan berbagai kasus kecurangan (fraud)
di berbagai perusahaan dunia (seperti ;Fennie Mae,Lehman Brothers, Enron,
Societe Generale) termasuk juga di Indonesia (seperti ; Merpati, Adam Air, Bank
Century) mendorong berbagai kalangan untuk lebih sadar terhadap berbagai risiko
yang mungkin timbul di perusahaanya, termasuk di perusahaan BUMN.
Pengelolaan risiko yang dilakukan perusahaan sebelum adanya konsep ERM
bersifat silo atau terpisah-pisah dan hanya ada di bagian tertentu saja, misalnya
bagian keuangan (khususnya untuk mengelola asuransi perusahaan). Hal ini
membuat manajemen perusahaan tidak terlalu fokus terhadap risiko yang akan
dihadapi dan hanya terfokus pada operasional perusahaan dan hanyut dalam zona
nyaman perusahaan, risiko dianggap biasa dan sudah ada yang menangani di
bagian asuransi, akibat pemikiran yang keliru tersebut perusahaan banyak
mengalami kerugian besar bahkan mengalami kegagalan yang fatal ketika
mengalami risiko yang selama ini tidak diperkirakan akan dialami oleh
perusahaan.
Dengan adanya konsep ERM, maka pengelolaan risiko harus diterapkan di

seluruh level perusahaan dan terdapat struktur yang jelas dalam pengelolaan risiko
di perusahaan. Berbagai perusahaan di Indonesia baik swasta maupun BUMN
mencoba untuk mulai menerapkan ERM dengan menyusun kebijakan manajemen
risiko dan membentuk unit manajemen risiko yang bertanggung jawab dalam
memastikan pelaksanaan manajemen risiko di perusahaan berjalan sesuai
kebijakan yang telah ditetapkan.
Penerapan Manajemen Risiko di BUMN dimulai pada sekitar tahun 2000an, yang
dimulai dengan BUMN besar seperti Pertamina, Bank Mandiri,BRI PLN, setelah
itu hampir semua BUMN menerapkan manajemen risiko seiring meningkatnya
kesadaran manajemen dan stakeholder dalam penerapan manajemen risiko.
Terlebih setelah terbitnya peraturan mengenai Penerapan Good Corporate
Governance di perusahaan BUMN yaitu Peraturan Menteri BUMN Nomor : PER01/MBU/2011.
Beberapa perusahaan dijadikan best practice dalam penerapan ERM di Indonesia
karena keberhasilanya dalam penerapan manajemen risiko dan penciptaan nilai
perusahaan melalui ERM, seperti Bank Mandiri, BRI, Pertamina, Kereta Api
Indonesia, Perum Jamkrindo, Astra Internasional, Medco Energi. Sektor jasa
keuangan merupakan industri yang pertama menerapkan manajemen risiko sesuai
dengan karakter bisnisnya yang rentan dengan risiko, disamping itu terbitnya
aturan dari regulator Bank Indonesia yang mewajibkan perbankan untuk
menerapkan manajemen risiko.

Penerapan ERM di perusahaan BUMN telah menunjukkan manfaat yang luar
biasa bagi kesinambungan dan konsistensi kinerja yang cukup baik, hal ini

ditunjukkan dengan rata-rata pertumbuhan laba dan aset BUMN yang terus
meningkat signifikan setelah menerapkan manajemen risiko.
Secara best practice, perusahaan yang menerapkan manajemen risiko memiliki
tingkat ketahanan dan keberlangsungan atau sustainability lebih tinggi dibanding
perusahaan yang belum menerapkan manajemen risiko serta akan memberikan
nilai tambah yang tinggi bagi perusahaan sendiri serta pemegang saham.

Kondisi Penerapan Manajemen Risiko di BUMN saat ini
Badan Usaha Milik Negara (BUMN) adalah Badan Usaha yang seluruh atau
sebagian modalnya dimiliki oleh negara melalui penyertaan secara langsung yang
berasal dari kekayaan negara yang dipisahkan (Permen BUMN Nomor Per :01MBU-2011). Menurut OECD “stated owned enterprises” mengacu pada esntitas
bisnis yang didirikan oleh pemerintah pusat dan daerah dan diawasi oleh
pemerintah.
Jumlah BUMN sampai tahun 2014 adalah sebanyak 119, seperti terlihat pada tabel
dibawah ini.

Sumber :Website Kementerian BUMN, 2015

Total nilai asset seluruh BUMN sampai tahun 2014 adalah senilai 4.580 Triliun
Rupiah, jika kita bandingkan dengan tahun 2008 sebagai tahun awal dimulainya
penerapan ERM di sebagaian besar perusahaan BUMN, aset BUMN tahun 2008
hanya sekitar 2000 Triliun, maka terjadi peningkatan sebesar 125%. Website
Kementerian BUMN, 2015
Sampai saat ini, berdasarkan observasi penulis, hampir 80% Badan Usaha Milik
Negara (BUMN) telah menerapkan Enterprises Risk Managemen (ERM), sisanya
masih menerapkan secara parsial, BUMN yang masih belum fully implemented
tersebut kebanyakan BUMN dengan asset kurang dari 1 Triliun.

Terdapat beberapa peraturan terkait yang dapat menjadi faktor pendorong
penerapan manajemen risiko di perusahaan BUMN, yaitu Peraturan Menteri
Negara Badan Usaha Milik Negara Nomor : PER-01/MBU/2011 tanggal 1
Agustus 2011 tentang Penerapan Tata Kelola Perusahaan Yang Baik (Good
Corporate Governance), Keputusan Sekretaris Kementerian Badan Usaha Milik
Negara Nomor: SK-16/S.MBU/2012 tentang Indikator/Parameter Penilaian dan
Evaluasi atas Penerapan Tata Kelola Perusahaan Yang Baik Pada Badan Usaha
Milik Negara.
Dalam peraturan Nomor : PER-01/MBU/2011 disebutkan dalam pasal 2 bahwa
BUMN wajib menerapkan GCG secara konsisten dan berkelanjutan dengan

berpedoman pada Peraturan Menteri ini dengan tetap memperhatikan ketentuan,
dan norma yang berlaku serta anggaran dasar BUMN. Ayat 2 pasal 2 selanjutnya
yaitu dalam rangka penerapan GCG sebagaimana dimaksud pada ayat 1, Direksi
menyusun Direksi Manual yang diantaranya dapat memuat board manual,
manajemen risiko manual, sistem pengendalian intern, sistem pengawasan intern,
mekanisme pelaporan atas penyimpangan atas dugaan penyimpangan pada
BUMN yang bersangkutan, tata kelola teknologi informasi, dan pedoman perilaku
etika (code of conduct). Perrturan ini secara tegas mewajibkan BUMN memiliki
manajemen risiko manual, meski tanpa ada rincian lanjutan seperti apa manual
menajemen risiko yang harus dibangun.
Pasal 18 mengenai organ pendukung Dewan Komisaris/Dewan Pengawas yang
terdiri dari Sekretariat Dewan Komisaris, Komite Audit, Komite Lainnya, jika
diperlukan. Komite lainnya terdiri dari namun tidak terbatas pada Komite
Pemantau Manajemen Risiko, Komite Nominasi dan Remunerasi, dan komite
pengembangan usaha. Komite Pemantau Manajemen Risiko ini dimiliki telah
dimiliki oleh sebagian besar BUMN kelas atas (Aset diatas 10 T) dan menengah
(aset diatas 1 T-10 T).
Bagian Keenam Dalam peraturan Nomor : PER-01/MBU/2011 bahkan secara
spesifik membahas mengenai Manajemen Risiko (Risk Management), pasal 25
dengan rincian ;

1. Direksi, dalam setiap pengambilan keputusan harus mempertimbangkan
risiko usaha
2. Direksi wajib membangun dan melaksanakan program manajemen risiko
korporasi secara terpadu dan merupakan bagian dari pelaksanaan program
GCG
3. Pelaksanaan program manajemen risiko dapat dilakukan dengan;
a. Membentuk unit kerja tersendiri yang ada di bawah direksi; atau
b. Memberi penugasan kepada unit kerja yang ada dan relevan untuk
menjalankan fungsi manajemen risiko
4. Direksi wajib menyampaikan laporan profil manajemen risiko dan
penanganannya bersamaan dengan laporan berkala perusahaan.
Dalam Keputusan Sekretariat Kementerian BUMN nomor :SK-16/S.MBU/2012
tentang Indikator/Parameter penilaian dan Evaluasi atas penilaian atas penerapan
tata kelola perusahaan yang baik (Good Corporate Governance) pada Badan
Usaha Milik Negara menyebutkan beberapa aspek penilaian terhadap pengelolaan

GCG di perusahaan, yaitu aspek komitmen terhadap penerapan tata kelola
perusahaan yang baik secara berkelanjutan, aspek pemegang saham dan
RUPS/pemilik modal, aspek Dewan Komisaris/Dewan Pengawas, Aspek Direksi,
Aspek Pengungkapan dan Transparansi serta sspek lainnya. Masing-masing aspek

tersebut dinilai masing-masing parameternya sesuai dengan prinsip-prinsip tata
kelola perusahaan yang baik, dalam parameter penilaian, terdapat penilaian
terhadap penerapan manajemen risiko, yaitu :
N Indikator
No
o
III Dewan Komisaris/Dewan Pengawas
16 Dewan
Komisaris/Dewan 52
Pengawas memberikan arahan
terhadap direksi atas implementasi
rencana dan kebijakan perusahaan
IV Direksi
29 Direksi melaksanakan pengendalian 106
operasional dan keuangan terhadap
implementasi
rencana
dan
kebijakan perusahaan
SK-16/S.MBU/2012


Parameter
Dewan
komisaris/dewan
pengawas memberikan arahan
tentang
manajemen
risiko
perusahaan
Direksi menerapkan manajemen
risiko sesuai dengan kebijakan
yang telah ditetapkan

Terdapat beberapa poin yang diuji dalam penerapan menajemen risiko oleh
Direksi, diantaranya terkait dengan laporan yang disampaikan oleh direksi kepada
Dewan Komisaris/Dewan Pengawas, yaitu :
a. Direksi menyampaikan kepada Dewan Komisaris/Dewan Pengawas dan
Pemegang Saham/Pemilik Modal tentang profil risiko dan pelaksanaan
program manajemen risiko
b. Direksi menyampaikan kepada Dewan komisaris/Dewan Pengawas dan

Pemegang Saham/Pemilik Modal tentang analisis risiko atas rancangan
RKAP dan strategi penerapannya
c. Direksi menyampaikan laporan pelaksanaan manajemen risiko tiga
bulanan dan/atau sewaktu-waktu jika diminta oleh Dewan
Komisaris/Dewan Pengawas.
Trekait dengan laporan manajemen risiko, dalam penilaian tersebut sesuai aturan
pelaporan tentang profil risiko dan pelaksanaan manajemen risiko hanya sampai
ke Dewan Komisaris/Dewan Pengawas, dalam prakteknya Dewan
Komisaris/Dewan Pengawas sering tidak fokus terhadap permasalahan risiko,
mengingat banyaknya permasalahan yang dibahas dalam pertemuan (rapat) antara
Dewan Komisaris/Dewan Pengawas dengan Direksi Perusahaan.
Dengan demikian, agar pelaksanaan manajemen risiko dan pengelolaan risiko
lebih meningkat dan efektif, maka mekanisme pelaporan dan struktur manajemen
risiko di tingkat kementerian BUMN harus dibenahi, agar aliran data dan laporan
lebih dapat dikelola dengan baik. Masing-masing BUMN melaporkan profil risiko
dan daftar risiko (risk Register) hasil penilaian kepada unit manajemen risiko di
Kementerian BUMN secara reguler (Triwulanan dan Tahunan).

Laporan dari masing-masing BUMN tersebut kemudian dikelola di tingkat
Kementerian BUMN sebagai Super holding seluruh BUMN (holding BUMN)

dan diberikan feedback/masukan kembali kepada masing-masing BUMN atau
Holding BUMN agar pengelolaan dan penanganan risiko bisa lebih efektif dan
respon terhadap risiko yang akan muncul lebih cepat dan responsif, hal ini akan
membuat perusahaan BUMN dan Kementerian BUMN mampu bersinergi dan
bekerjasama dalam pengelolaan risiko yang terintegrasi antara perusahaan BUMN
dengan Kementerian BUMN sebagai penanggung jawab akhir pengelolaan
BUMN di negara Indonesia.
Penerapan ERM, saat ini boleh dibilang masih terbatas dan terpisah di masingmasing perusahaan BUMN. Pada masing-masing perusahaan tersebut level
tertinggi pengambilan keputusan dalam pengelolaan risiko adalah Komite
Manajemen Risiko yang biasanya terdiri dari Dewan Direksi dan Manajemen
Senior, tergantung kebijakan perusahaan masing-masing. Mekanisme dan hasil
pengelolaan risiko saat ini belum terkomunikasikan secara efektif dengan
Kementerian BUMN.
Pelaporan dari masing-masing BUMN ke kementerian menurut penulis sebagai
konsultan dalam bidang Manajemen risiko dan Pengendalian Internal, masih
sangat kurang memadai sehingga perlu ditingkatkan. Pelaporan risiko masih
digabungkan dengan laporan tahunan perusahaan, sehingga fokus dan respon
cepat terhadap berbagai permasalahan dan risiko yang dihadapi tentunya akan
lambat.
Pelaporan risiko perusahaan BUMN belum menjadi perhatian serius di level
Kementerian BUMN, hal ini diindikasikan dengan tidak adanya tim khusus di
level kementerian untuk pengelolaan risiko seluruh BUMN serta kebijakan
pelaporan manajemen risiko untuk perusahaan BUMN ke Kementerian BUMN,
hal ini sangat penting untuk dilakukan agar tingkat kematangan/maturity level
implementasi ERM di perusahaan BUMN terus meningkat dan menjadi perhatian
serius dari kalangan top manajemen.

Benchmark Penerapan Manajemen Risiko di Temasek
Temasek merupakan holding seluruh BUMN di Singapura, membawahi berbagai
perusahaan raksasa seperti DBS, Singtel, Airport Changi dll. Temasek
menerapkan ERM secara terintegrasi dan komprehensif, setiap strategi investasi
dikaji risikonya sebelum dieksekusi oleh Temasek dengan menggunakan VaR
(value at risk) sebagai salah satu metode (Josef Komormik, “Investment Strategy
of the Temasek Holding”,Comenius University, Bratislava). Sistem pelaporan
risiko pun masing-masing perusahaan yang terafiliasi melaporkan profil risikonya
ke Temasek.

Penerapan Manajemen Risiko di Level Super Holding Kementerian BUMN
Struktur ERM di kementerian BUMN perlu dibenahi agar proses pengelolaan
risiko dapat terintegrasi di tingkat Super Holding Kementerian BUMN, maksud
super holding disini adalah Kementerian BUMN dapat bertindak sebagai induk
bagi seluruh perusahaan BUMN atau holding BUMN yang ada maupun baik
dibentuk baru maupun tetap menggunakan strukktur di Kementerian BUMN saat
ini. Berikut usulan penulis mengenai proses dan mekanisme penerapan
Manajemen Risiko di level Super Holding Kementerian BUMN:
1. Proses kerja :
 Masing-masing perusahaan BUMN melaporkan secara per triwulanan
profil risiko lengkapnya (risk register ) dan laporan pelaksanaan
manajemen risiko ke Sekretaris BUMN Bagian Pelaporan
 Masing-masing deputi melaporkan profil risikonya ke tim ERM
Kementeran
 Tim ERM di bawah sekretaris BUMN dan Deputi (Unit Manajemen
Risiko Kementerian BUMN) mengolah laporan tersebut dan memberikan
feedback kepada risk owner (perusahaan BUMN)
 Setelah mendapat laporan final (jika ada feedback), tim ERM melakukan
kompilasi untuk dilaporkan dalam Komite Risiko Tingkat Kementerian
BUMN
 Hasil Rapat Komite Risiko Tingkat Kementerian BUMN (Superholding)
disebarkan kembali ke masing-masing perusahaan BUMN sebagai
feedback
2. Proses pengambilan keputusan
 Berdasarkan laporan dari masing-masing BUMN, maka tim ERM
Kementerian BUMN dapat memberikan rekomendasi mengenai langkahlangkah yang harus diambil untuk mengurangi risiko yang mungkin terjadi
 Berbagai corporate action yang akan dilakukan terutama dengan nilai
signifikan harus menyampaikan terlebih dahulu ke tim ini. Tim dapat
memberikan masukan dan mengadministrasikan data tersebut untuk
keperluan analisa lanjutan dan pembelajaran pengelolaan risiko di masa
depan
 Unit Manajemen Risiko dan Direksi BUMN mendapat masukan dari tim
ERM di Kementerian mengenai rekomendasi dari profil risiko yang
disampaikan maupun corporate action yang akan dilakukan
3. Manfaat :
 Kementerian mampu memberikan early respon terhadap kondisi
perusahaan dan menjaganya agar tetap sehat dan terhindar dari risiko
 Memberikan level kepercayaan yang lebih tinggi bagi Menteri sebagai
penanggung jawab akhir pengelolaan BUMN dalam mengelola risiko di
seluruh BUMN










Kementerian BUMN Memiliki informasi yang lengkap mengenai profil
risiko di masing-masing BUMN sehingga bisa digunakan untuk bahan
pengambilan strategis Kementerian BUMN dan lain sebagainya
Memiliki kelelauaasaan untuk mengolah data-data risiko dari berbagai
BUMN untuk kepentingan kemajuan BUMN di Indonesia
Perusahaan BUMN memiliki level yang lebih tinggi dalam pengelolaan
risiko
Mampu menjaga stabilitas kinerja BUMN
Meningkatkan ketahanan atau resilinesi BUMN dalam menghadapi
berbagai tantangan dan krisis yang mukin terjadi di masa depan
Memberikan nilai tambah bagi perusahaan BUMN
Meningkatkan sustainabiliti perusahaan BUMN

Ilustrasi Struktur pelaporan dari level perusahaan BUMN sampai ke Kementerian
BUMN adalah sebagai berikut :

Unit Manajemen Risiko/Tim ERM di Level Kementerian BUMN (Super Holding
BUMN) dapat terdiri dari :
1. Kepala Manajemen Risiko (Dapat diisi oleh Staf Ahli Tata Kelola, Sinergi
dan Investasi)
2. Bagian Analisa Risiko Sesuai Bidang Industri
3. Bagian Pelaporan dan Dokumentasi

Struktur manajemen risiko di Kementerian BUMN dapat dilihat dibawah
ini :

Komite Manajemen Risiko Kementerian BUMN dapat terdiri dari :
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.

Komite Manajemen Risiko Superholding/Kementerian BUMN
Komite Manajemen Risiko Bidang Industri Agro dan Farmasi
Komite Manajemen Risiko Bidang Pertambangan dan Energi
Komite Manajemen Risiko Bidang Perbankan dan Jasa Keuangan
Komite Manajemen Risiko Bidang Infratruktur
Komite Manajemen Risiko Bidang Utilitas
Komite Manajemen Risiko Bidang Perkebunan dan Kehutanan

Kesimpulan
Dengan penerapan ERM di level superholding BUMN (Kementerian BUMN)
serta adanya pelaporan risiko dari masing-masing BUMN secara reguler maupun
incidental (sewaktu-waktu sesuai dengan potensi kondisi kejadian risiko), akan
menjadikan BUMN Indonesia semakin tangguh dan menjadi pemain global yang
disegani oleh dunia. BUMN Indonesia harus menjadi macan di Nusantara dan
pemain global yang tangguh seperti masa-masa kejayaan era kerajaan dahulu
(Majapahit, Sriwijaya, Banten), dimana masa itu kita menjadi kekuatan ekonomi

dunia yang diperhitungkan karena mampu menguasai bisnis rempah-rempah yang
dibutuhkan dunia pada saat itu.
Peran Kementerian BUMN saat ini sesuai dengan Peraturan Presiden Republik
Indonesia Nomor 41 Tahun 2015 tentang Kementerian Badan Usaha Milik
Negara, bukan hanya mengenai pengawasan, akan tetapi lebih luas ke arah
pembinaan dan pengembangan BUMN, seperti yang dikatakan oleh Menteri Rini
Suwandi ketika melantik para pejabat eselon 1 baru di lingkungan kementerian
BUMN pada hari senin 27 Juli 2015 lalu (CNN Indonesia, 27/07/2015). Sejalan
dengan perubahan fungsi Kementerian BUMN maka sangat penting bagi
Kementerian BUMN untuk mengetahui lebih dalam berbagai permasalahan dan
risiko yang ada di masing-masing perusahaan BUMN dalam rangka pembinaan
dan pengembangan BUMN dari aspek pengelolaan risiko.

Mufid Ansori, SE
Mufid Ansori, Pengurus Besar Mathlaul Anwar bidang Ekonomi, Mantan
Presiden BEM Fakultas Ekonomi dan Bisnis UIN Jakarta, dan Senior
Konsultan Business,Corporate Governance & Risk Management,
Pemerhati Sepak Bola, Sosial dan Politik, Pemerhati Sejarah Kesultanan
Banten

DAFTAR PUSTAKA
1. Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 41 Tahun 2015 tentang
Kementerian Badan Usaha Milik Negara
2. Peraturan Menteri Negara Badan Usaha Milik Negara Nomor : PER01/MBU/2011 tentang Penerapan Tata Kelola Perusahaan Yang Baik
(Good Corporate Governance)
3. (CNN Indonesia, 27/07/2015
4. ISO 31000 Risk Management – Guidelines on Principles and
Implementation of Risk Management,2009
5. Website Kementerian BUMN, 2015
6. Josef Komormik, “Investment Strategy of the Temasek
Holding”,Comenius University, Bratislava