HUBUNGAN KOORDINASI BADAN NARKOTIKA NASIONAL KABUPATEN LAMPUNG SELATAN DENGAN SEAPORT INTERDICTION DALAM PENANGGULANGAN TINDAK PIDANA NARKOTIKA DI PROVINSI LAMPUNG

(1)

HUBUNGAN KOORDINASI BADAN NARKOTIKA NASIONAL KABUPATEN LAMPUNG SELATAN DENGAN SEAPORT INTERDICTION DALAM PENANGGULANGAN TINDAK PIDANA

NARKOTIKA DI PROVINSI LAMPUNG

Oleh

BUDIONO

Skripsi

Sebagai Salah Satu Syarat Untuk Mencapai Gelar SARJANA HUKUM

Pada

Bagian Hukum Pidana

Fakultas Hukum Universitas Lampung

FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS LAMPUNG


(2)

ABSTRAK

HUBUNGAN KOORDINASI BADAN NARKOTIKA NASIONAL KABUPATEN LAMPUNG SELATAN DENGAN SEAPORT

INTERDICTION DALAM PENANGGULANGAN TINDAK PIDANA

NARKOTIKA DI PROVINSI LAMPUNG Oleh

BUDIONO

Penyalahgunaan dan peredaran gelap narkotika merupakan masalah yang sangat kompleks, sehingga diperlukan upaya penanggulangan secara koprehensif dengan melibatkan kerjasama multidisipliner, multi sektoral dan peran serta masyarakat yang dilaksakan secara berkesinambungan dan konsisten. Lembaga yang memiliki tugas dan tanggungjawab dalam penanggulangan narkotika di Provinsi Lampung khususnya Lampung Selatan adalah Badan Narkotika Kabupaten Lamapung Selatan dan Seaport Interdiction. Permasalahan dalam penelitian ini adalah: (1) Bagaimakah hubungan koordinasi Badan Narkotika Nasional Kabupaten Lampung Selatan dengan Seaport Interdiction dalam penanggulangan tindak pidana di Provinsi Lampung? (2) Apakah faktor-faktor yang menghambat hubungan koordinasi Badan Narkotika Nasional Kabupaten Lampung Selatan dalam penanggulangan tindak pidana narkotika di Provinsi Lampung?

Pendekatan masalah yang digunakan adalah yuridis normatif dan pendekatan yuridis empiris. Responden penelitian adalah penyidik Badan Narkotika Nasional Kabupaten Lampung Selatan, Polres Lampung Selatan dan Dosen fakultas hukum Universitas Lampung. Pengumpulan data dilakukan dengan studi pustaka dan studi lapangan. Data selanjutnya dianalisis untuk memperoleh kesimpulan penelitian.

Hasil penelitian ini menunjukkan: (1) Hubungan koordinasi antara Badan Narkotika Nasional Kabupaten Lampung selatan dan Seaport Interdiction dalam penanggulangan tindak pidana narkotika di Provinsi Lampung dilaksanakan cukup optimal, yang berdasarkan Keputusan Kepala BNN Nomor: KEP/14/VII/2003/BNN tentang Pembentukan Satgas Seaport Interdiction, menyebutkan bahwa setiap rencana kegiatan Satgas harus dilaporkan kepada Kalakhar BNN, laporan kegiatan Satgas dan hasil akhir penyelesaian kasus disampaikan secara periodik kepada Kalakhar BNN. Hasil laporan kegiatan satgas disusun secara periodik untuk dsampaikan kepada Kalakhar BNN dengan tembusan disampaikan kepada koordinator satgas lakar BNN, menyampaikan hasil akhir penyelesaian kasus kepada Kalakhar BNN dengan tembusan disampaikan kepada koordinator Lakhar BNN. (2) Faktor yang menghambat


(3)

Selatan dan Seaport Interdiction dalam mengungkap kasus tindak pidana narkotika terkadang tidak dapat mengumpulkan semua alat bukti yang sah dalam penyidikan kasus tindak pidana narkotika, baik keterangan saksi, keterangan ahli, surat, petunjuk dan keterangan terdakwa. (b) Faktor aparat penegak hukum, yaitu secara kuantitas kurangnya personil BNNK Lampung Selatan sedangkan jumlah tindak pidana narkotika semakin meningkat. (c) Faktor sarana dan prasarana, yaitu tidak adanya labolaratorium forensik, tidak adanya alat pendeteksi narkoba dan tidak adanya anjing pelacak. (d) Faktor masyarakat, yaitu masih adanya ketakutan masyarakat untuk menjadi saksi dalam proses penegakan hukum dalam tindak pidana narkotika. (e) Faktor budaya, yaitu adanya budaya individualisme dalam kehidupan masyarakat perotaan, sehingga mereka bersikap cuek dan tidak memperdulikan penyalahgunaan narkotika yang terjadi di sekitar mereka.

Saran dalam penelitian ini adalah: (1) Seharusnya dioptimalkan kerjasama dan koordinasi dengan lintas sektoral terkait dalam pengawasan, pencegahan dan pemberantasan tindak pidana narkotika. (2) Sarana dan prasarana penunjang penyidikan seperti laboratorium khusus narkotika, alat Drug Detector Type JT 200, dan anjing pelacak hendaknya direalisasikan dalam rangka meningkatkan kualitas penyidikan.


(4)

HUBUNGAN KOORDINASI BADAN NARKOTIKA NASIONAL KABUPATEN LAMPUNG SELATAN DENGAN SEAPORT INTERDICTION DALAM PENANGGULANGAN TINDAK PIDANA

NARKOTIKA DI PROVINSI LAMPUNG

(Skripsi)

Oleh BUDIONO

FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS LAMPUNG


(5)

(6)

(7)

DAFTAR ISI

HALAMAN

I PENDAHULUAN ... 1

A. Latar Belakang ... 1

B. Permasalahan dan Ruang Lingkup ... 8

C. Tujuan dan Kegunaan Penelitian ... 8

D. Kerangka Teoritis dan Konseptual ... 10

E. Sistematika Penulisan ... 14

II TINJAUAN PUSTAKA ... 15

A. Narkotika ... 15

B. Tindak Pidana Narkotika ... 20

C. Penanggulangan Kejahatan ... 27

D. Penyidikan dalam Tindak Pidana Narkotika ... 31

E. Badan Narkotika Nasional Kabupaten Lampung Sealatan ... 34

F. Seaport Interdiction ... 39

G. Koordinasi antara Seaport Interdiction dan BNNK Lampung Selatan dalam Penanggulangan Tindak Pidana Narkotika ... 49

III METODE PENELITIAN ... 53

A. Pendekatan Masalah ... 53

B. Sumber dan Jenis Data ... 53

C. Penentuan Narasumber ... 55


(8)

IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN ... 56 A. Karakteristik Narasumber ... 56 B. Hubungan Koordinasi BNNK Lampung Selatan denga Seaport

Interdiction dalam Penanggulangan Tindak Pidana Narkotika di Provinsi Lampung ... 59 C. Faktor Penghambat Hubungan Koordinasi BNNK Lampung Selatan

dengan Seaport Interdiction dalam Penanggulangan Tindak Pidana

Narkotika di Provinsi Lampung ... 84

V. PENUTUP

A. Simpulan ... 91 B. Saran ... 92


(9)

I. PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Salah satu tujuan negara Indonesia secara konstitusional adalah terwujudnya masyarakat Indonesia yang sejahtera, adil, dan makmur yang merata materiil dan spirituil berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945. Oleh karena itu kualitas sumber daya manusia Indonesia sebagai salah satu modal pembangunan nasional perlu ditingkatkan secara terus menerus termasuk derajat kesehatannya. Peningkatan derajat kesehatan sumber daya manusia Indonesia dalam rangka mewujudkan kesejahteraan rakyat perlu dilakukan upaya peningkatan di segala bidang ekonomi, kesehatan dan hukum.

Adapun yang dimaksud antara lain tercapainya pertumbuhan ekonomi yang berkualitas dan berkesinambungan sehingga mencapai kesejahteraan; terciptanya peningkatan upaya kesehatan, sarana, dan prasarana, pembiayaan kesehatan, sumber daya manusia kesehatan, pembinaan, pengawasan, pengendalian dan penilaian disertai oleh peningkatan kemandirian masyarakat melalui upaya provokatif dan preventif dalam peningkatan kualitas lingkungan, perilaku hidup bersih sehat dan pelayanan kesehatan; serta terciptanya supremasi hukum serta


(10)

tertatanya system hukum daerah yang mencerminkan kebenaran, keadilan, akomodatif, dan aspiratif1.

Tindak pidana penyalahgunaan Narkotika dan obat-obatan berbahaya (narkoba) telah menjadi ancaman nyata yang sangat berbahaya. Narkotika adalah zat atau obat yang berasal dari tanaman atau bukan tanaman, baik sintetis maupun semisintetis, yang dapat menyebabkan penurunan atau perubahan kesadaran, hilangnya rasa, mengurangi sampai menghilangkan rasa nyeri, dan dapat menimbulkan ketergantungan. Narkotika merupakan obat atau bahan yang bermanfaat di bidang pengobatan, pelayanan kesehatan, dan pengembangan ilmu pengetahuan namun, di sisi lain dapat menimbulkan ketergantungan yang sangat merugikan apabila dipergunakan tanpa adanya pengendalian serta pengawasan yang ketat dan seksama2.

Semakin besar peredaran Narkotika di dunia, maka semakin besar yang masuk ke negeri ini. Pada dasarnya peredaran narkotika di Indonesia apabila ditinjau dari aspek yuridis adalah sah keberadaannya. Undang-Undang Narkotika hanya melarang penggunaan narkotika tanpa izin oleh undang-undang yang dimaksud. Keadaan yang demikian ini dalam tataran empirisnya, penggunaan narkotika sering disalahgunakan bukan untuk kepentingan pengobatan dan ilmu pengetahuan, akan tetapi jauh dari pada itu dijadikan ajang bisnis yang menjanjikan dan berkembang pesat, yang mana kegiatan ini berimbas pada rusaknya fisik maupun psikis mental pemakai narkotika khususnya generasi muda.

1

Siswanto. 2012. Politik Hukum Dalam Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 Tentang

Nakotika. Jakarta. Rineka Cipta. Hal. 1.

2


(11)

Penyalahgunaan Narkotika atau peredaran narkotika ini tidak hanya terjadi di kota – kota besar saja, tapi sudah sampai kota – kota kecil bahkan sampai daerah terpencil di wilayah Republik Indonesia, mulai dari kalangan sosial ekonomi bawah, sosial ekonomi menengah atas dan sosial ekonomi atas.

Penegakan hukum terhadap tindak pidana narkotika telah banyak dilakukan oleh aparat penegak hukum dan telah banyak mendapat putusan hakim. Dengan demikian, penegakan hukum ini diharapkan mampu manjadi faktor penghambat terhadap merebaknya perdagangan gelap serta peredaran narkotika. Namun, dalam kenyataannya justru semakin intensif dilakukan penegakan hukum, semakin meningkat pula peredaran serta perdagangan narkotika tersebut.

Ketentuan perundang-undangan yang mengatur masalah narkotika telah disusun dan diberlakukan, namun demikian kejahatan yang menyangkut tentang narkotika belum dapat diredakan. Dalam banyak kasus terakhir, banyak bandar-bandar dan pengedar yang tertangkap dan mendapat sanksi berat, namun pelaku lain seperti tidak mengacuhkannya bahkan lebih cenderung untuk memperluas daerah operasinya3.

Kejahatan narkotika dan obat-obatan terlarang pada masa sekarang telah bersifat transnasional yang dilakukan dengan modus operandi yang tinggi dan teknologi yang canggih, aparat penegak hukum mampu mencegah dan menanggulangi kejahatan tersebut guna meningkatkan moralitas dan kualitas sumber daya manusia di Indonesia, khususnya bagi generasi penerus bangsa.

3

O.C. Kaligis & Associates. 2002. Narkoba dan Peradilannya di Indonesia, Reformasi Hukum Pidana Melalui Perundangan dan Peradilan. Bandung: Alumni. Hlm. 260.


(12)

Demi mengefektifkan pencegahan dan pemberantasan tindak pidana narkotika, dengan Pasal 64 Ayat (1) Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika untuk selanjutnya disebut UU Narkotika, dinyatakan bahwa dalam rangka pencegahan dan pemberantasan penyalahgunaan dan peredaran gelap narkotika dan prekusor narkotika dengan Undang-Undang ini dibentuk Badan Narkotika Nasional yang selanjutnya disingkat BNN. Ayat (2) menyatakan bahwa BNN sebagaimana dimaksud pada Ayat (1) merupakan lembaga pemerintah non kementerian yang berkedudukan di bawah Presiden dan bertanggungjawab kepada Presiden.

Pasal 65 Ayat (1) UU Narkotika menyatakan bahwa BNN berkedudukan di ibukota negara dengan wilayah kerja meliputi seluruh wilayah Negara Republik Indonesia. Ayat (2) menyatakan bahwa BNN mempunyai perwakilan di daerah Provinsi dan Kabupaten/kota. Ayat (3) menyatakan bahwa BNN Provinsi berkedudukan di ibukota Provinsi dan BNN Kabupaten/kota berkedudukan di ibukota Kabupaten/kota.

Mengingat permasalahan peredaran gelap narkotika merupakan permasalahan yang berat dan komplek, maka penangannya memerlukan pendekatan secara komprehensip, terpadu, berkelanjutan dan partisipasi semua pihak, kerawanan di pelabuhan penyeberangan Bakauheni sebagai jalur peredaran dan pendistribusian gelap narkoba tersebut, maka diperlukan upaya-upaya untuk dapat mencegah, menanggulangi serta memutus rantai peredaran gelap narkoba diantaranya dengan pembentukan Seaport Interdiction.


(13)

Seaport Interdiction merupakan wadah koordinasi yang berkedudukan di pusat maupun pelabuhan-pelabuhan beranggotakan instasi terkait yang bertugas sesuai dengan kewenangan masing – masing. Instansi terkait tersebut yaitu Polri, ASDP. POM TNI, LLAJR/Dishub, BNK Lam-Sel, Syahbandar, instansi-instansi tersebut masuk kedalam satu wadah koordinasi yang disebut satuan tugas Seaport Interdiction atau disebut dengan Satgas Seaport Interdiction.

Satgas Seaport Interdiction berkedudukan dibawah BNN Provinsi Lampung menyelenggarakan tugas pokok pencegahan, penegakan hukum penyalahgunaan dan peredaran gelap narkotika, kerjasama nasional serta melakukan intediction narkoba melalui pelabuhan penyeberangan Bakauheni khususnya dari Sumatera ke Jawa 4 , selain itu dalam melakukan tugasnya Seaport Interdiction berkoordinasi dengan BNN, BNP, Dirut ASDP, Dirjen Perhubungan Darat, Kantor Menteri BUMN untuk melaksanakan kegiatan pemeriksaan narkoba di pelabuhan Bakauheni5. Pernyataan di atas menandakan adanya koordinasi antara BNN dengan Seaport Interdiction dalam pencegahan dan penanggulangan tindak pidana narkotika.

Hubungan yang baik antara BNN dengan Seaport Interdiction akan mempelancar dalam

pengungkapan kasus peredaran gelap narkotika, dalam pengungkapan tersebut BNN dan

Seaport Interdiction memerlukan alat bukti, Menurut Pasal 86 UU Narkotika :

(1) Penyidik dapat memperoleh alat bukti selain sebagaimana dimaksud dalam Undang – Undang tentang Hukum Acara Pidana.

4

Laporan Pembentukan SATGAS Seaport Interdiction Pelabuhan Penyeberangan Bakauheni.

Hal.1.

5


(14)

(2) Alat bukti sebagaimana dimaksud pada Ayat (1) berupa : (a) informasi yang diucapkan, dikirimkan, diterima, atau disimpan secara elektronik dengan alat optik atau yang serupa dengan itu; dan (b) data rekaman atau informasi yang dapat dilihat, dibaca dan atau/ didengar, yang dapat dikeluarkan dengan atau tanpa bantuan suatu sarana baik yang tertuang di atas kertas maupun yang terekam secara elektronik, termasuk tetapi tidak terbatas pada: (1) tulisan, suara dan/ atau gambar; (2) peta, rancangan, foto atau sejenisnya; (3) huruf, tanda, angka, simbol, sandi, atau perforasi yang memiliki makna dapat dipahami oleh orang yang mampu membaca atau memahaminya.

Penyalahgunaan narkotika di Lampung Selatan semakin meningkat dari Tahun ke Tahun, Tahun 2009 sebanyak 56 tersangka, Tahun 2010 sebanyak 166 tersangka, dan pada Tahun 2011 sebanyak 194 tersangka, dari jumlah itu telah menunjukan peningkatan yang sangat signifikan oleh karena itu BNNK Lampung selatan berkoodinasi dengan Seaport Interdiction dan berkerja keras untuk menanggulangi tindak pidana penyalahgunaan narkotika.

Modus operandi pendistribusian yang dilakukan oleh para sindikat narkoba bermacam – macam, diantaranya body packing, swallowed (ditelan), dan disamarkan/ disembunyikan pada barang – barang tertentu seperti mainan anak – anak, kemasan makanan, lukisan, laptop, dan lapisan koper, disembunyikan dalam hasil bumi, memodifikasi alat angkut truck dan lain sebagainya. 6

6


(15)

Supaya dapat menanggulangi cara – cara inovatif yang digunakan oleh sindikat narkotika BNNK Lampung Selatan yang berkoordinasi dengan Seaport Interdiction harus mampu berfikir lebih inovatif supaya dapat mengungkap atau mencegah peredaran gelap narkotika. Hal tersebut belumlah cukup untuk memberantas penyalahgunaan dan peredaran gelap narkotika terbukti bahwa dari Tahun ke Tahun penyalahgunaan dan peredaran gelap narkotika semakin meningkat atau bertambah bayak. Maka efektifitas berlakunya undang-undang ini sangatlah tergantung pada seluruh jajaran penegak umum, dalam hal ini seluruh intansi yang terkait langsung, yakni BNN, Seaport Interdiction serta para penegak hukum yang lainnya. Di sisi lain, hal yang sangat penting adalah perlu adanya kesadaran hukum dari seluruh lapisan masyarakat guna menegakkan kewibawaan hukum dan khususnya terhadap Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009, maka koordinasi BNN dengan Seaport Interdiction dan masyarakat sangatlah penting dalam membantu proses penegakan hukum terhadap tindak pidana narkotika yang semakin marak.

Berdasarkan uraian latar belakang di atas, penulis akan melakukan penetian mengenai hubungan koordinasi Badan Narkotika Nasional Kabupaten Lampung Selatan dengan Seaport Interdiction dalam penanggulangan tindak pidana narkotika di Provinsi Lampung.


(16)

B. Permasalahan dan Ruang lingkup

1. Pokok Permasalahan

Permasalahan yang akan dibahas dalam penelitian ini adalah sebagai berikut: a. Bagaimanakah hubungan koordinasi Badan Narkotika Nasional Kabupaten

Lampung Selatan dengan Seaport Interdiction dalam penanggulangan tindak pidana narkotika di Provinsi Lampung?

b. Apakah faktor – faktor yang menghambat hubungan koordinasi Badan Narkotika Nasinal Kabupaten Lampung Selatan dengan Seaport Interdiction dalam penanggulangan tindak pidana narkotika di Provinsi Lampung?

2. Ruang lingkup

Ruang lingkup studi dalam penelitian ini adalah kajian ilmu Hukum Pidana, baik hukum pidana formil maupun hukum pidana materil, khususnya yang berkaitan dengan koordinasi Badab Narkotika Nasional Kabupaten Lampung Selatan dengan Seaport Interdiction dalam menanggulangi tindak pidana narkotika di Provinsi Lampung. Ruang lingkup waktu penelitian ini adalah Tahun 2013.

C. Tujuan dan Kegunaan Penelitian

1. Tujuan Penelitian

Berdasarkan rumusan masalah yang telah ditetapkan maka tujuan penelitian ini adalah sebagai berikut:


(17)

a. Untuk mengetahui hubungan koordinasi Badan Narkotika Nasional Kabupaten Lampung Selatan dengan Seaport Interdiction dalam penanggulangan tindak pidana narkotika di Provinsi Lampung.

b. Untuk mengetahui faktor – faktor yang menghambat koordinasi Badan Narkotika Nasional Kabupaten Lampung Selatan dengan Seaport Interdiction dalam penanggulangan tindak pidana narkotika di Provinsi Lampung.

2. Kegunaan Penelitian

Kegunaan penelitian ini adalah sebagai berikut: a. Kegunaan Teoritis

Secara teoritis hasil penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat dalam pengembangan kajian hukum pidana, khususnya yang berkaitan dengan koordinasi Badan Narkotika Nasional Kabupaten Lampung Selatan dengan Seaport Interdiction dalam penanggulangan tindak pidana narkotika di Provinsi Lampung serta faktor – faktor yang menghambat koordinasi tersebut.

b. Kegunaan Praktis

Hasil penelitian ini diharapkan dapat berguna secara positif bagi aparat penegak hukum dalam proses penegakan hukum terhadap tindak pidana narkotika, selain itu juga hasil penelitian ini diharapkan dapat berguna bagi berbagai pihak lain yang akan melakukan penelitian mengenai tindak pidana narkotika dimasa yang akan datang.


(18)

D. Kerangka Teori dan Konseptual

1. Kerangka Teori

Kerangka teori adalah abstraksi hasil pemikiran atau kerangka acuan atau dasar yang relevan untuk pelaksaan penelitian hukum7. Kerangka teori yang digunakan dalam penelitian ini adalah:

a. Koordinasi

Menurut Inu Kencana8, koordinasi adalah suatu mekanisme hubungan dan kerjasama antara suatu organisasi dengan organisasi lainnya dalam rangka penyelenggaraan kegiatan atau aktivitas untuk mencapai tujuan tertentu. Koordinasi antara pemerintah daerah dengan organisasi eksternal dilakukan dalam upaya untuk pelaksanaan kebijakan dan pelaksanaan yang berkaitan dengan penciptaan dan pemeliharaan ketentraman dan ketertiban umum, fasilitas penerapan dan penegakan peraturan perundang – undangan.

Berdasarkan Pasal 83 Undang – Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang tindak pidana narkotika, bahwa penyidik dapat melakukan kerjasama untuk mencegah dan memberantas penyalahgunaan dan peredarn gelap narkotika dan perkusor narkotika. Menurut laporan penbentukan satgas Seaport Interdiction pelabuhan penyeberangan Bakauheni dalam pelaksaannya BNN berkoordinasi dengan Seaport Interdiction mengenai tugas dan tanggung jawab.

7

Soerjono Soekanto. 1983. Pengantar Penelitian Hukum.universitas Indonesia. Jakarta: Press. Hal.73.

8

Inu Kencana. 2002. Sistem Pemerintahan Indonesia. Sekolah Tinggi Pemerintahan Dalam Nageri. Jatinegoro. Bandung. Hal. 22.


(19)

b. Teori Penanggulangan Kejahatan

Penanggulangan kejahatan atau tindak pidana disebut dengan kebijakan criminal (criminal policy), yaitu usaha untuk mengulangi kejahatan melalui penegakan hukum pidana, yang rasional yaitu memenuhi rasa keadilan dan daya guna. Dalam rangka menanggulangi kejahatan terhadap berbagai sarana sebagai reaksi yang dapat diberikan kepada pelaku kejahatan, berupa saran pidana maupun non hukum pidana, yang dapat diintergrasikan satu dengan yang lainnya. Apabila sarana pidana dipanggil untuk menangulangi kejahatan, berarti akan dilaksanakan politik hukum pidana, yakni mengadakan pemilihan untuk mencapai hasil perundang – undangan pidana yang sesuai dengan kadaan dan situasi pada waktu dan untuk masa – masa mendatang9.

Penanggulangan kejahatan atau kebijakan kriminal dapat dilaksakan dengan menggunakan dua sarana, yaitu:

1. Kebijakan Kriminal dengan Sarana Penal

Sarana penal adalah penaggulangan kejahatan dengan menggunakan hukum pidana yang di dalamnya terdapat dua masalah sentral, yaitu perbuatan yang seharusnya dijadikan tindak pidana dan sanksi apa yang sebaiknya digunakan utau dikenakan pada pelanggar.

2. Kebijakan Kriminal Sarana Non Penal

Kebijakan penanggulangan kejahatan dengan sarana non penal hanya meliputi penggunaan sarana sosial untuk memperbaiki kondisi sosial tertentu,

9

Barda Nawawi Arief. 2002. Kebijakan Hukum pidana. Bandung: PT Citra Aditia Bakti. Hlm. 156.


(20)

namun secara tidak langsung mempengaruhi upaya pencegahan terjadinya kejahatan10.

c. Teori Faktor – faktor yang Mempengaruhi Penegakan Hukum

Faktor – faktor yang mempengaruhi penegakan hukum adalah sebagai berikut: 1. Faktor Perundang – undangan (substansi hukum)

Praktek penyelenggaraan penegakan hukum dilapangan seringkali terjadi pertentangan antara kepastian hukum dan keadilan, hal tersebut dikarenakan konsepsi keadilan merupakan suatu rumusan yang bersifat abstrak sedangkan kepastian hukum merupakan prosedur yang telah ditentukan secara normatif. 2. Faktor Penegakan Hukum

Salah satu kunci dari keberhasilan dalam penegakan hukum adalah mentalitas atau kepribadian dari penegak hukumnya sendiri, dalam kerangka penegakan hukum dan implementasi penegakan hukum bahwa penegakan keadilan tanpa kebenaran adalah suatu kebejatan.

3. Faktor Sarana dan Fasilitas

Sarana dan fasilitas yang mendukung mencakup tenaga manusia yang berpendidikan dan terampil, organisasi yang baik, peralatan yang memadai, keuangan yang cukup. Tanpa sarana dan fasilitas yang memadai penekgakan hukum tidak akan berjalan dengan lancar dan penegak hukum tidak mungkin menjalankan peranan semestinya.

4. Faktor Masyarakat

Masyarakat mempunyai pengaruh yang kuat terhadap pelaksanaan penegakan hukum sebab penegakan hukum berasal dari masyarakat dan bertujuan untuk mencapai dalam masyarakat.

5. Faktor kebudayaan

Kebudayaan Indonesia merupakan dasar dari berlakunya hukum adat, berlakunya hukum tertulis (perundang - indangan) harus mencerminkan nilai-nilai dasar hukum adat. Dalam penegakan hukum, semakin banyak penyesuiaan antara peraturan perundang – undangan dengan kebudayaan masyarakat, maka akan semakin mudahlah dalam penegakannya11.

10

Ibid. Hlm., 158.

11

Soerjono Soekanto. 1996. Faktor – Faktor yang Mempengaruhi Penegakan Hukum. Jakarta:


(21)

2. Konseptual

Konseptual adalah susunan berbagai konsep yang menjadi fokus pengamatan dalam penelitian12. Berdasarkan definisi tersebut, maka batasan pengertian dari istilah yang digunakan dalam penelitian tersebut adalah sebagai berikut:

a. Koordinasi adalah suatu mekanisme hubungan dan kerja sama suatu organisasi dengan organisasi lainnya dalam rangka penyelenggaraan kegiatan atau aktivitas untuk mencapai tujuan tertentu.13

b. Badan Narkotika Nasional adalah lembaga pemerintah nonkementrian yang berkedudukan dibawah Presiden dan bertanggungjawab kepada Presiden, yang mempunyai tugas pokok antara lain; (a) Mengkoordinasikan instansi pemerintah dalam menyusun kebijakan dan pelaksanaanya di bidang ketersediaan, pencegahan, pemberantasan penyalahgunaan dan peredaran gelap narkoba. (b) melaksakan pencegahan dan pemberantasan penyalahgunaan dan peredaran gelap narkoba dengan membentuk satuan tugas yang terdiri dari unsur-unsur instansi pemerintah terkait sesuai dengan tugas, fungsi dan wewenang masing-masing. 14.

c. Seaport Interdiction adalah wadah koordinasi berkedudukan di pusat maupun pelabuhan-pelabuhan beranggotakan instansi terkait yang bertugas sesuai dengan kewenangan masing-masing dan yang mempunyai tugas pokok sebagai berikut; (a) Melakukan analisa dan intelijen untuk mengumpulkan data dan informasi dari berbagai sumber tentang peredaran gelap narkoba

12

Ibid.,Hlm. 112.

13

Inu Kencana. 2001. Sistem Pemerintah Indonesia. Sekolah Tinggi Pemerintah Dalam Negeri.

Jatinegoro. Bandung. Hlm. 22

14


(22)

yang melintasi pelabuhan penyeberangan Bakauheni. (b) Melakukan pencegahan terhadap peredaran gelap narkoba yang melintasi pelabuhan penyeberangan Bakauheni dengan upaya pemeriksaan kendaraan, pemeriksaan barang-barang dan pemeriksaan terhadap orang-orang yang dicurigai. (c) Melakukan upaya penindakan dan penyidikan terhadap para pelaku peredaran gelap narkoba yang melintasi pelabuhan penyeberangan Bakauheni dalam rangka penegakan hukum 15.

d. Penanggulangan adalah berbagai tindakan atau langkah yang ditempuh oleh aparat penegak hukum dalam rangka mencegah dan mengatasi suatu tindak pidana dengan tujuan untuk menegakkan hukum dan melindungi masyarakat dari kejahatan16.

e. Tindak pidana adalah perbuatan yang dilarang oleh suatu aturan hukum, larangan yang disertai ancaman (sanksi) yang berupa pidana tertentu bagi siapa saja yang melanggar larangan tersebut. Tindak pidana merupakan pelanggaran norma atau gangguan terhadap tertip hukum, yang dengan sengaja atau tidak sengaja telah dilakukan terhadap seseorang pelaku17. f. Narkotika adalah zat atau obat yang berasal dari tanaman tau bukan tanaman,

baik sintetis maupun semisintetis, yang dapat menyebabkan penurunan atau perubahan kesadaran, hilang rasa, mengurangi sampai menghilangkan rasa nyeri, dan dapat menimbulkan ketergantungan.

15

Keputusan Nomor : KEP/ 14/ VII/ 2003/ BNN. Pasal 1 Ayat (5).

16

Barda Nawawi Arief, op. cit., Hlm. 156.

17


(23)

E. Sistematika Penulisan

Sistematika penulisan skripsi ini dalah sebagai berikut :

I. PENDAHULUAN

Bab ini berisi tentang pendahuluan skripsi yang terdiri dari Latar Belakang, Permasalahan dan Ruang Lingkup, Tujuan dan Kegunaan Penelitian, Kerangka Teori dan Konseptual serta Sistematika penulisan.

II. TINJAUAN PUSTAKA

Bab ini berisi Tinjauan Pustaka dari berbagai konsep atau kajian dalam penyusunan skripsi dan diambil dari berbagai bahan pustaka yang terdiri dari pengertian koordinasi, penanggulangan, tindak pidana, tindak pidana narkotika.

III. METODE PENELITIAN

Berisi metode yang digunakan dalam penelitian, terdiri dari Pendekatan Masalah, Sumber Data, Prosedur Pengumpulan, dan Pengolahan Data serta Analisis Data.

IV. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

Bab ini berisi tentang hasil dan pembahasan mengenai koordinasi Badan Narkotika Nasional Kabupaten Lampung Selatan dengan Seaport Interdiction dalam penanggulangan tindak pidana narkotika di provinsi Lampung serta Faktor

– Faktor yang menghambat koordinasi BNNK Lampung Selatan dengan Seaport Interdicton dalam penanggulangan Tindak Pidana Narkotika di Provinsi Lampung.


(24)

V. PENUTUP

Bab ini berisi kesimpulan yang didasarkan pada hasil penelitian dan pembahasan serta berisi saran yang ditujukan kepada pihak – pihak yang terkait dengan pembahasan dalam penelitian.


(25)

II. TINJAUAN PUSTAKA

A. Narkotika

Narkotika berasal dari bahasa Inggris yaitu narcotics yang berarti obat bius atau dalam bahasa Yunani yaitu narcosis yang berarti membiuskan. Sedangkan menurut Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika yang selanjutnya disebut UU Narkotika, narkotika merupakan zat atau obat yang bersal dari tanaman atau bukan tanaman baik sintetis maupun semi sentetis yang dapat menyebabkan penurunan atau perubahan sampai menghilangkan rasa nyeri dan dapat menimbulkan ketergantungan14.

Narkotika dibagi menjadi 3 (tiga) Golongan yaitu sebagai berikut:

1. Narkotika Golongan 1 (satu)

Narkotika golongan satu ini tidak digunakan dalam pengobatan atau terapi sebab berpotensi sangat tinggi menyebabkan ketergantungan, misalnya; heroin, ganja, shabu, ekstacy dan lain sebagainya.

2. Narkotika Golongan 2 (dua)

Narkotika golongan dua ini digunakan dalam pengobatan atau terapi sebagai pilihan terakhir walaupun berpotensi tinggi menyebabkan ketergantungan, misalnya; morfin, petidin.

14


(26)

3. Narkotika Golongan 3 (tiga)

Narkotika golongan tiga ini banyak digunakan dalam pengobatan atau terapi karena narkotika golongan tiga berpotensi ringan menyebabkan ketergantungan, misalnya; kodein.

Dampak penyalahgunaan narkotika adalah sebagai berikut:

Bila narkotika digunakan secara terus menerus atau melebihi takaran yang telah ditentukan akan mengakibatkan ketergantungan. Kecanduan inilah yang akan mengakibatkan gangguan fisik dan psikologis, karena terjadinya kerusakan pada sistem syaraf pusat (SSP) dan organ-organ tubuh seperti jantung, ginjal, paru-paru, hati.

Ketentuan pidana menurut Undang-undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika:

1. Menanam, memelihara, memiliki, menyimpan, menguasai atau menyediakan narkotika Golongan (satu) dalam bentuk tanaman diatur dalam pasal 111 ayat (1) dan (2) diancam dengan pidana paling singkat 5 tahun dan paling lama seumur hidup, denda paling sedikit 800 juta dan paling banyak 8 miliar. 2. Memiliki, menyimpan, menguasai,atau menyediakan narkotika bukan

tanaman; narkotika golongan 1 ketentuan pidananya yaitu pasal 112 ayat (1), golongan 2 , pasal 117 ayat (1), dan narkotika golongan 3 diatur dalam pasal 122 ayat (1), dengan pidana kurungan paling singkat 2 sampai 4 tahun dan denda paling sedikit 400 juta sampai 800 juta, sedangkan paling banyak


(27)

pidana kurungan 7 sampai 12 tahun dan dengan denda maksimal 3 sampai 8 miliar.

3. Memiliki, menyimpan, menguasai,atau menyediakan narkotika bukan tanaman lebih dari 5 gram, narkotika golongan 1 (pasal 112 ayat (2)), golongan 2 (pasal 117 ayat (2)), golongan 3 (pasal 122 ayat (2)), diancam dengan pidana kurungan paling singkat 5 tahun dan paling lama 20 tahun dengan denda maksimal 8 miliar.

4. Memproduksi, mengimpor, mengekspor atau menyalurkan, narkotika golongan 1 (pasal 113 ayat (1)), golongan 2 (pasal 118 (1)), golongan 3 (pasal 123 ayat (1)), diancam dengan pidana kurunga paling singkat 5 tahun dan paling lama 15 tahun dan denda paling sedikit 1 miliar dan paling banyak 10 miliar.

5. Memproduksi, mengimpor, mengekspor atau menyalurkan bentuk tanaman: lebih dari 1 KG/5 BTG, bukan tanaman: lebih 5 Gram, narkotika golongan 1 (pasal 113 ayat (2)), golongan 2 (pasal 118 ayat (2)), golongan 3 (pasal 123 ayat (2)), dipidana dengan pidan kurungan paling singkat 5 tahun dan paling lama 20 tahun, dengan denda maksimum 10 miliar.

6. Menawarkan untuk dijual, menjual, membeli, menerima, menjadi perantara dalam jual beli atau menyerahkan, narkotika golongan 1 (pasal 114 ayat (1)), narkotika golongan 2 (pasal 119 ayat (1)), narkotika golongan 3 (pasal 124 ayat (1)), diancam dengan pidana kurungan paling singkat 3 sampai 5 tahun dan paling lama 10 sampai 20 tahun dengan denda paling sedikit 600 juta sampai 1 miliar sedangkan paling banyak 5 sampai 10 miliar.


(28)

7. Menawarkan untuk dijual, menjual, membeli, menerima, menjadi perantara dalam jual beli atau menyerahkan bentuk tanaman: lebih 1 KG/5 BTG, bukan tanaman: lebih 5 Gram, narkotika golongan 1 (pasal 114 ayat (2)), narkotika golongan 2 (pasal 119 ayat (2)), narkotika golongan 3 (pasal 124 ayat (2)), diancam dengan pidana kurungan paling singkat 5 tahun dan paling lama 20 tahun dengan denda maksimal 10 miliar.

8. Membawa, mengirim, mengangkut atau mentransito, narkotika golongan 1 (pasal 115 ayat(1)), narkotika golongan 2 (pasal 120 ayat (1)), narkotika golongan 3 (pasal 125 ayat(1)), dipidana dengan pidana kurungan paling singkat 2 sampai 4 tahun dan paling lama 7 sampai 12 tahun, dengan denda paling sedikit 400 juta sampai 800 juta dan paling banyak 3 miliar sampai 8 miliar.

9. Membawa, mengirim, mengangkut atau mentransito bentuk tanaman: lebih dari 1KG/5 BTG, bukan tanaman lebih dari 5 Gram, narkotika golongan 1 (pasal 115 ayat(2)), narkotika golongan 2 (pasal 120 ayat (2)), narkotika golongan 3 (pasal 125 ayat(2)), dipidana dengan pidana kurungan paling singkat 3 sampai 5 tahun dan paling lama 10 sampai 20 tahun, dengan denda maksimal 8 miliar.

10.Menggunakan narkotika terhadap atau diberikan untuk orang lain, narkotika golongan 1 (pasal 116 ayat (1)), narkotika golongan 2 (pasal 121 ayat (1)), narkotika golongan 3 (pasal 126 ayat (1)), dipidana dengan penjara kurungan paling singkat 3 sampai 5 tahun dan paling lama 10 sampai 15 tahun dan denda paling sedikit 600 juta sampai 1 miliar dan paling banyak 5 miliar sampai 10 miliar.


(29)

11.Menggunakan narkotika terhadap atau diberikan untuk orang lain mengakibatkan orang lain mati atau cacat permanen, narkotika golongan 1 (pasal 116 ayat (2)), narkotika golongan 2 (pasal 121 ayat (2)), narkotika golongan 3 (pasal 126 ayat (2)), dipidana dengan penjara kurungan paling singkat 5 tahun dan paling lama 20 tahun dan denda maksimal 10 miliar.

B. Tindak Pidana Narkotika

Tindak pidana narkotika merupakan tindak pidana khusus di luar KUHP hal tersebut dinyatakan secara tegas dalam Pasal 25 Peraturan Pemerintah Nomor 24 tahun 1960 yang mulai berlaku pada tanggal 9 Juni 1960 tentang pengusutan, penuntutan, dan pemeriksaan Tindak Pidana. Hukum pidana khusus adalah hukum pidana yang ditetapkan untuk golongan orang khusus atau yang berhubungan dengan perbuatan – perbuatan khusus, termasuk di dalamnya hukum pidana militer (golongan orang – orang khusus) dan hukum pidana fiscal (perbuatan – perbuatan khusus) dan hukum pidana ekonomi. Disamping hukum pidana khusus ini, hukum pidana umum (ius commune) tetap berlaku sebagai hukum yang menambah (aanvullend rech).

Dalam pidana khusus ini terdapat ketentuan – ketentuan yang dari ketentuan pidana umum yang menyangkut sekelompok orang atau perbuatan – perbuatan tertentu. Khususan dari hukum pidana khusus dapat dilihat adanya ketentuan mengenai dapat dipidana suatu perbuatan. Jadi penyimpangan – penyimpangan dari ketentuan umum inilah yang merupakan ciri – ciri dari hukum pidana khusus. gejala – gejala adanya pidana delik – delik khusus menunjuk kepada adanya diferensiasi dalam hukum pidana, suatu kecenderungan yang bertentangan dengan


(30)

adanya unifikasi dan ketentuan – ketentuan umum dari hukum pidana khusus mempunyai tujuan dan fungsi sendiri, akan tetapi azas – azas hukum pidana khususnya tiada pidana tanpa kesalahan harus tetap dihormati.

Selain pembagian hukum pidana dalam hukum pidana yang dikondifikasikan dengan hukum pidana yang tidak dokondifikasikan ada pembagian lain adalah hukum pidana umum (ius commune) dan hukum pidana khusus (ius singular atau ius speciale). Hukum pidana umum dan hukum pidana khusus ini tidak boleh diartikan dengan bagian umum dan bagian khusus dari hukum pidana, karena memang bagian dari umum dari hukum pidana menurut ketentuan – ketentuan atau ajaran – ajaran umum, sedangkan bagian khususnya memuat perumusan tindak – tindak pidana.

Semula dimaksudkan agar suatu kondifikasi itu memuat suatu bahan hukum yang lengkap, akan tetapi kita mengetahui bahwa terbentuknya peraturan perundang – undangan pidana di luar kondifikasi tidak dapat dihindarkan mengingat pertumbuhan masyarakat terutama dibidang sosial dan ekonomi (di KUHP) dalam buku keduanya memuat sebagian besar dari delik – delik berupa kejahatan, sedangkan di buku ketiga dimuat sebagian kecil dari delik – delik berupa pelanggaran. Undang – Undang Pidana Khusus adalah undang - undang Pidana selain kitap undang – undang hukum pidana yang merupakan induk peraturan hukum pidana.

Menurut Soerdjono Dirjosisworo mengatakan bahwa pengertian narkotika: “Zat yang bisa menimbulkan pengaruh tertentu bagi yang menggunakannya dengan memasukkan kedalam tubuh. Pengaruh tersebut bisa berupa pembiusan, hilangnya rasa sakit, rangsangan semangat dan halusinasi atau timbulnya khayalan-khayalan. Sifat-sifat tersebut yang diketahui dan ditemukan dalam dunia medis bertujuan


(31)

dimanfaatkan bagi pengobatan dan kepentingan manusia di bidang pembedahan, menghilangkan rasa sakit dan lain-lain.

Pengertian Narkotika dalam UU Narkotika secara tegas disebutkan bahwa:

Narkotika adalah zat atau obat yang berasal dari tanaman atau bukan tanaman, baik sitetis maupun semisitetis, yang dapat menyebabkan penurunan atau perubahan kesadaran, hilangnya rasa, mengurangi hingga menghilangkan rasa nyeri, dan dapat menimbulkan ketergantungan, yang dibedakan ke dalam golongan – golongan sebagaimana terlampir dalam undang – undang ini.

Permasalahan penyalahgunaan psikotropika berdasarkan mukadimah Konvensi Psikotropika ialah akan memberikan dampak kepada permasalahan kesehatan dan kesehjahtraan umat manusia serta permasalahan sosial lainnya dengan semakin pesatnya kemajuan dibidang transpotasi dan sejalan dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi maka penyalahgunaan dan peredaran gelap psikotropika menunjukan gejala yang semakin meluas dan berdimensi internasional yang melewati batas territorial masing – masing Negara sehingga diperlukan peningkatan kerjasama internasional, tentunya berdampak pada aspek hukum internasional. Convention Psychotropic Substansces 1971 dalam konteks hubungan hukum internasional secara substasial telah mengatur beberapa hal, yakni:15

a. Merupakan perangkat hukum internasional yang mengatur kerjasama internasional tentang penggunaan dan peredaran psikotropika.

15

Siswanto. 2012. Politik Hukum Dalam Undang – Undang Narkotika (UU Nomor 35 tahun


(32)

b. Lebih menjamin kemungkinan penyelenggaraan kerja sama dengan Negara – Negara lain dalam pengawasan peredaran psikotropika dan usaha – usaha penanggulangan atas penyalahgunaan psikotropika.

c. Dari aspek kepentingan dalam negeri, maka Indonesia dapat lebih mengonsolidasikan upaya mencegah dan melindungi kepentingan masyarakat umum, terutama generasi muda terhadap akibat buruk yang ditimbulkan oleh penyalahgunaan psikotropika.

d. Di samping itu, tindakan tersebut akan memperkuat dasar – dasar tindakan Indonesia dalam melakukan pengaturan yang komprehensif mengenai peredaran psikotropika di dalam negeri.

e. Dengan demikian, penegaka hukum terhadap tindak pidana penyalahgunaan psikotropika akan lebih dimantapkan.

Di samping Konvensi Psikotropika Substansi 1971, telah ditetapkan pula konvensi PBB tentang pemberantasan Peredaran gelap narkotika dan psikotropika, 1988 (United Nation Convetion Against Illicit Traffic in Narcotic Drugs and Psycotropic Substances, 1988). Konvensi ini merupakan penegasan dan peneyempurnaan sarana hukum yang lebih efektif dalam rangka kerjasama internasional di bidang kriminal dalam upaya mencegah dan memberantas organisasi kejahatan transnasional yang melakukan peredaran gelap narkotika dan psikotropika. Prinsip – prinsip umum terhadap penetapan kejahatan dan sanksi konvensi ini tidak berbeda dengan yang diatur dalam konvensi Psikotropika 1971.


(33)

Pasal 3 ayat (1) Konvensi Wina 1988, telah menggolongkan jenis – jenis kejahatan yang dianggap serius, yaitu:16

a. Kelompok kejahatan yang terorganisasi

b. Kelompok kejahatan yang teroganisasi secara internasional

c. Perbuatan melawan hukum yang ada kaitannya dengan kejahatan tersebut d. Penggunaan kekerasan atau senjata api oleh pelaku kejahatan

e. Kejahatan yang dilakukan oleh pegawai negeri yang berkaitan dengan jabatannya

f. Menggunakan anak – anak sebagai korban atau untuk melakukan kejahatan g. Kejahatan yang dilakukan di dalam atau di sekitar lembaga pemasyarakatan,

lembaga pendidikan, lembaga pelayanan sosial atau tempat – tempat lain untuk berkumpulnya anak sekolah atau pelajar.

Untuk mewujudkan tujuan pembangunan nasional tersebut maka perlu dilakukan upaya terus – menerus di bidang keamanan dan ketertiban serta di bidang kesehjahtraan rakyat dengan memberikan perhatian khusus terhadap bahaya penyalahgunaan narkotika, psikotropika, dan zat adiktif lainnya.

Dalam pasal 3 ayat (1) huruf (a) disebutkan bahwa kelompok kejahatan yang terorganisasi adapun yang dimaksud kejahatan terorganisasi menurut Pasal 21 UU Narkotika yaitu:

Kejahatan Terorganisasi adalah kejahatan yang dilakukan oleh suatu kelompok yang terstruktur yang terdiri atas 3 (tiga) orang atau lebih yang telah ada untuk

16


(34)

suatu waktu tertentu dan bertindak bersama dengan tujuan melakukan suatu tindak pidana Narkotika.

Tindak pidana narkotika termasuk dalam kejahatan Internasional, pengertian

kejahatan Internasional berasal dari salah satu resolusi yang diadopsi oleh “ The United Nations Congress on the Prevation of Crime an the Treatment of Offenders” di Cairo pada tanggal 29 April – 8 Mei 1955 yakni: resolusi tentang “International Instrument, such as Convention or Convention Against Organized Tranational Crime.” Hal ini merupakan tindak lanjut dari “World Ministerial Confrence on Organized Tranational Crime” yang diselenggarakan di Napoli pada tanggal 21 – 23 November 1994.17

Sehubungan dengan konvensi internasionanl, dapat dikatakan bahwa:

Kejahatan internasional ialah tindakan yang dianggap sebagai kejahatan dalam konvensi – konvensi multilateral, yang diakui Negara – Negara dalam jumlah yang signifikan asalkan instrumen – instrumennya mencakup data dari 10 (sepuluh) karakteristik pidana. Ketentuan yang mengacu pada Pasal 3 Ayat (1) dan Ayat (2) konvensi Wina 1988, tentang batasan narkotika dan psikotropika yang meliputi tindakan:

a. Menanam, membeli, memperdagangkan, mengngkut dan mendistribusikan narkotika dan psikotropika;

b. Menyusun suatu organisasi, manajemen, dan membiayai, tindakan – tindakan tersebut pada haruf (a);

17

Muladi. 2002. Hak Asasi Manusia, Politik dan Sistem Peradilan Pidan. .Semarang : BP. Univ. Diponegoro.


(35)

c. Mentransfer harta kekayaan yang diperoleh dari tindakan tersebut pada huruf (a); dan

d. Mempersiapkan, percobaan, pembujukan dan permufakatan untuk melakukan tindakan – tindakan tersebut pada hurf (a).

Permufakatan jahat yang di maksud pada haruf (d) di atas adalah perbuatan dua orang atau lebih yang bersekongkol atau bersepakat untuk melakukan, melaksakan, membantu, turut serta melakukan, munyuruh, menganjurkan, memfasilitasi, memberi konsultasi, menjadi anggota suatu organisasi kejahatan Narkotika, atau mengorganisasikan suatu tindak pidana Narkotika.

Berkaitan dengan tindak pidana Narkotika dan Psikotropika di dalam Konvensi Wina 1988, Romli Atmasasmita mengatakan bahwa tindak pidana narkotika tansnasional (termasuk psikotropika) merupakan tindak pidana yang memiliki dimensi internasional, sedangkan dala. Di samping itu, menurut pendapat Bossard sebagaimana dikutip oleh Romli Atmasasmita dikatakan bahwa perkembangan tindak pidana Narkotika yang dilakukan di luar batas teritorial dewasa ini sudah merupakan tindak pidana narkotika yang berkarakter transnasional. Romli Atmasasmita lebih lanjut menyatakan bahwa pemerintah R.I. telah meratifikasi terhadap konvensi Wina 1988, hal ini mengandung implikasi hukum diantaranya pengesahan wewenang setiap Negara untuk memperluas yuridiksi tindak pidana narkotika transnasional sampai dilaut bebas (di luar batas teritorial).

Ditegaskan pula bahwa penetapan tindak pidana narkotika transnasional ke dalam wewenang Mahkamah (Pidana) internasional mengandung makna bahwa pengesahan berlakunya rancangan Statuta Mahkamah (Pidana) internasional


(36)

merupakan prasyarat untuk menetapkan tindak pidana narkotika transnasional sebagai tindak pidana internasional. Dalam rangka upaya pencegahan terhadap peredaran gelap narkotika dan psikotropika konvensi telah menetapkan ketentuan dengan memperhatikan system konstitusi, hukum, dan adminitrasi masing – masing Negara untuk:

a. Membuat peraturan – peraturan nasional guna kepentingan koordinasi dalam tindakan pencegahan dan pemberantasan peredaran gelap dengan menunjuk suatu badan yang bertanggung jawab terhadap koordinasi tersebut.

b. Melakukan kampanye pemberantasan peredaran gelap narkotika dan psikotropika.

c. Mengadakan kerjasama antara para pihak dan organisasi internasional yang berwenang.

Selain itu dalam konvensi tersebut tentang ketentuan – ketentuan pidana dikatakan bahwa dengan memperhatikan batasan peraturan perundang masing – masing setiap pihak harus memberlakukan setiap tindakan yang bertentangan dengan hukum atau peraturan yang sah sesuai dengan kewajiban yang dilakukan dengan sengaja sebagai tindak pidana yang dapat dihukum.

C. Penanggulangan Kejahatan

Kejahatan sebagai gejala sosial tentu tidak akan lengkap jika kita mencoba untuk mengetahui bagaimana cara penanggulangnnya, meskipun kita memahami bahwa masalah kejahatan dan cara penanggulanganya timbul dan ditentuka oleh masyarakat itu sendiri. Salah satu kebijakan dalam hal menanggulangi masalah kejahatan adalah kebijakan kriminal atau politik kriminal. Politik kriminal atau


(37)

juga disebut Criminal Policy adalah sebagian daripada kebijakan sosial dalam hal menanggulangi masalah kejahatan (kriminal) dalam masyarakat, baik dengan sarana penal maupun non penan, untuk mencapai tujuan yaitu kesejahtraan masyarakat.

Dikatakan sebagian kebijakan sosial, oleh karena untuk mencapai kesejahtraan masyarakat masih ada kebijakan sosial yang lainnya seperti kebijakan di bidang perekonomian, politik dan hankam sebagaimana yang termuat di dalam GBHN. Dengan melihat pengertian dari politik kriminal tersebut, maka dapatlah disimpulkan bahwa politik kriminal merupakan bagian integral dari rencana pembangunan nasional yang kita laksanakan sekarang ini. Pembanguna nasional yang dilaksanakan sekarang ini yaitu untuk mewujudkan masyarakat yang adil dan makmur berdasarkan pancasila, tentunya tidak akan mungkin terwujud apabila kejahatan tetap merajalela dan meresahkan masyarakat. Meskipun dapat dikatakan bahwa kejahatan tersebut merupakan fenomena sosial, akan tetapi harus dapat ditanggulangi sedemikian rupa atau setidak – tidaknya kejahatan tersebut terjadi atau ditekan seminimal mungkin, atau pada suatu tingkat tertentu yang dapat ditolerir oleh masyarakat.

Di sinilah peranan yang sangat penting dari politik kriminal, yaitu dengan cara mengerahkan semua usaha yang rasional untuk mengendalikan atau menanggulangi kejahatan tersebut. Usaha yang digunakan tidak hanya dengan sarana penal tetapi juga dengan menggunakan sarana non penal. Dalam hal menggunakan sarana penal, tidak lain adalah dengan cara menggunakan hukum pidana sebagai sarana utamanya, baik hukum pidana materil, hukum pidana formal maupun hukum pelaksanaan pidana yang dilaksanakan melalui Sistem


(38)

Peradilan Pidana untuk mencapai tujuan – tujuan tertentu. Tujuan – tujuan tersebut dalam jangka pendek adalah resosialisasi (masyarakat kembali) pelaku tindak pidana, jangka menengah adalah untuk mencegah kejahatan dan dalam jangka panjang merupakan tujuan akhir adalah untuk mencapai kesejahtraan sosial.

Dalam hal menggunakan sarana non penal, usaha – usaha yang dapat dilakukan meliputi bidang yang sangat luas sekali diseluruh sektor kebijakan sosial. Usaha – usaha non penal ini misalnya, penyantunan dan pendidikan sosial dalam rangka mengembangkan tanggung jawab sosial warga masyarakat, penggarapan kesehjahtraan jiwa masyarakat melalui pendidikan moral, agama dan sebagainya, peningkatan usaha – usaha kesejahtraan anak dan remaja, kegiatan patroli dan pengawasan lainnya secara kontinyu oleh polisi dan aparat keamanan lainnya.18

Dengan demikian, hukum pidana di sini berfungsi ganda yakni yang primer sebagai sarana penanggulangan kejahatan yang rasional (sebagai bagian politik kriminal) dan yang sekunder ialah sebagai sarana penganturan tentang kontrol sosial sebagai dilaksanakan secara spontan atau secara dibuat oleh negara dengan alat perlengkapannya.19

Demikian pula dengan cara melakukan pembinaan media massa, Pers Pancasila yang bertanggung jawab sehinggan media massa tidak menjadi faktor kriminogen (yang mengakibatkan terjadinya kriminal), di antaranya dapat terlihat bahwa pemberitaan madia massa yang sensasional, pemberitaan yang cenderung menerangkan hal – hal yang negatif tentang terjadinya suatu peristiwa (kejahatan),

18

Ibid., hal 159.

19


(39)

yang dapat mempengaruhi pelaku – pelaku tindak pidana potensial lainnya untuk melakukan perbuatan jahat.

Badan Narkotika Nasional (BNN) dalam penanggulangan tindak pidana narkotika dilaksakan dengan Program Pencegahan, Pemberantasan, Penyalahgunaan dan Peredaran Gelap Narkotika (P4GN) merupakan kebijakan dan pelaksanaan kebijakan oprasional dibidang ketersediaan dan pencegahan, pemberantasan, penyalahgunaan dan peredaran gelap narkotika, psikotropika, prekusor, serta bahan adiktif lainnya yang dilaksakan oleh BNN yang berkoordinasi dengan Badan Narkotika nasiona Propinsi (BNNP) di tingkat Propinsi dan Badan Narkotika Nasional Kabupaten (BNNK) ditingkat kabupaten atau kota.

Salah satu wujud program pendidikan masyarakat yang dilakukan Badan narkotika Nasional (BNN) adalah melakukan penyuluhan perundang – undangan tindak pidana narkoba bagi pelajar dan mahasiswa diseluruh wilahyah negara Republih Indonesia yang dilaksakan oleh perwakilan BNN yang berada di Propinsi(BNNP) dan Kabupaten (BNNK) dan atau yang ada diseluruh Indonesia. Kegiatan ini sebagai upaya dalam melakukan pencegahan, pemberantasan, penyalahgunaan, dan peredaran narkoba (P4GN) , melalui kegiatan itu para pelajar dan mahasiswa dapat memahami dampak buruk yang ditimbulkan narkoba serta dapat membentuk insan pembangunan yang produktif bebas dari narkoba baik individu, kelurga maupun masyarakat. Melalui penyuluhan ini, para remaja dapat lebih berperan aktif untuk menanggulangi penyalahgunaan dan peredaran


(40)

narkoba. Para pelajar yang ikut serta dalam penyuluhan ini dapat menyampaikan seluruh materi penyuluhan yang didapatkan kepada orang lain.20

D. Penyidikan dalam Tindak Pidana Narkotika

Pengertian penyidikan tercantum dalam Pasal 1 butir (2) KUHAP yaitu: penyidikan adalah serangkaian tindakan penyidik dalam hal dan menurut cara yang diatur dalam Undang – Undang ini untuk mencari serta mengumpulkan bukti yang dengan bukti itu terang tentang tindak pidana yang terjadi dan guna menemukan tersangka.

Penyidikan dilakukan untuk mencari dan mengumpulkan bukti – bukti yang pada tahap awal dapat memberikan keyakinan walaupun sifatnya sementara. Kepada penuntut umum tentang apa yang terjadi, atau tentang tindak pidana apa yang telah dilakukan dan siapa tersangkanya. Apabila berdasarkan keyakinan tersebut penuntut umum berpendapat cukup adanya alasan untuk mengajukan tersangka kedepan sidang pengadilan untuk segera disidangkan. Disini terlihat bahwa tugas penyidik untuk membuat terang suatu perkara, yang selanjutnya akan dipakai penuntut umum sebagai dasar untuk mengajukan tersangka beserta bukti – bukti yang ada kedepan persidangan. Penyidikan dilakukan untuk kepentikan peradilan khususnya untuk kepentingan penuntutan, yaitu untuk menentukan dapat tidaknya suatu tindakkan atau perbuatan dilakukan penuntutan

Mengenai penyidikan, pengertianya telah ditegaskan dalam Pasal 1 angka 2 UU No. 8 Tahun 1981, yaitu serangkaian tindakan penyidik dalam hal dan menurut carayang diatur dalam Undang – Undang ini untuk mencari serta mengumpulkan

20

Sat Narkoba Polres Lampung Selatan. Profil Pemataan Jaringan Pencegahan dan Pemberantasan Penyalahgunaan dan Peredaran Gelap Narkoba (P4GN).


(41)

bukti yang dengan bukti itu membuat terang tentang tindak pidana yang terjadi dan guna menemukan tersangkanya. Dengan demikian, penyidikan dimulai sesudah terjadinya tindak pidana untuk mendapatkan keterangan – keterangan tentang:

a. Tindak pidana apa yang terjadi

b. Kapan dan dimana tindak pidana itu terjadi c. Bagaimana tindak pidana itu terjadi

d. Apa latar belakang terjadinya tindak pidana e. Siapa pelaku tindak pidana tersebut

Diketahuinya telah terjadi sebuah tindak pidana oleh penyelidik/ penyidik dapat diperoleh dari sumber yang dapat digolongkan menjadi 2 (dua) yaitu:

a. Kedapatan tertangkap tangan; b. Di luar tertangkap tangan.

Maksud dengan tertangkap tangan menurut Pasal 1 angka 19 UU No. 8 Tahun 1981 adalah tertangkapnya seorang pada waktu sedang melakukan tindak pidana, atau dengan segera sudah beberapa saat tindak pidana itu dilakukan, atau sesaat kemudian diserukan oleh khalayak ramai sebagai orang yang melakukan, atau apabila sesaat kemudian padanya ditemukan benda itu yang menunjukan bahwa ia adalah pelakunya atau turut melakukan atau membantu melakukan tindak pidana itu. Sementara yang diluar tertangkap tangan adalah penyelidik/ penyidik menyangka/ mengetahui adanya tindak pidana dari:

a. Laporan; b. Pengaduan;


(42)

Dalam Pasal 75 UU Narkotika, ada dikenal istilah interdiksi, penyadapan, Pemindaian. Yang dimaksud dengan interdiksi adalah mengejar, dan/ atau menghentikan seseorang/ kelompok orang, kapal, pesawat terbang, atau kendaraan yang diduga membawa narkotika dan prekusor narkotika, untuk ditangkap tersangkanya dan disita barang buktinya. Sementara yang dimaksud dengan penyadapan adalah kegiatan atau serangkaian kegiatan penyelidikan dan / penyidikan yang dilakukan oleh penyidik BNN atau penyidik Kepolisian Negara Republik Indonesia dengan cara menggunakan alat – alat elektronik sesui dengan kemajuan teknologi terhadap pembicaraan dan/ atau pengiriman pesan melalui telepon atau alat komunikasi elektronik lainnya, termasuk didalamnya kegiatan pemantauan elektronik dengan cara sebagai berikut:

a. Pemasangan transmitter di ruangan atau di kamar sasaran untuk mendengar/ merekam semua pembicaraan (bigging);

b. Pemasangan transmitter pada mobil/ orang/ barang yang bisa dilacak keberadaannya (bird dog);

c. Intersepsi internet;

d. Cloning pager, pelayan layanan singkat (SMS), dan Fax; e. CCTV (Close Circuit Televison);

f. Pelacak lokasi tersangka (direction finder).

Menurut penjelasan UU Narkotika, perluasan pengertian penyadapan dimaksudkan untuk mengantisipasi perkembangan teknologi informasi yang digunakan oleh para pelaku tindak pidana narkotika dan prekusor narkotika dalam mengembangkan jaringannya baik nasional maupun internasionanl karena perkembangan teknologi berpotensi dimanfaatkan oleh pelaku kriminal yang


(43)

sangat menguntungkan mereka. Untuk melumpuhkan/ memberantas jaringan/ sindikat narkotika dan prekusor narkotika maka sistem komunikasi/ telekomunikasi mereka harus bisa ditembus oleh penyidik, termasuk melacak keberadaan jaringan tersebut. Sementara yang dimaksud dengan pemindaian adalah scanning baik yang dapat dibawa – bawa (portable) maupun stationere.

E. Badan Narkotika Nasional Kabupaten Lampung Selatan

Dalam rangka pencegahan dan pemberantasan penyalahgunaan dan peredaran gelap narkotika dan prekusor narkotika dengan UU Narkotika dibentuk Badan Narkotika Nasional yang selanjutnya disingkat BNN. BNN merupakan lembaga pemerintah non kementerian yang berkedudukan dibawah Presiden dan bertanggung jawab kepada Presiden. BNN berkedudukan di Ibukota negara dengan wilayah kerja meliputi seluruh wilayah Negara Republik Indonesia, dan mempunyai perwakilan di daerah Provinsi dan Kabupaten/ Kota. BNN Provinsi berkedudukan di Ibukota Provinsi dan BNN Kabupaten/ Kota berkedudukan di Ibukota Kabupaten/ Kota, dan BNN Provinsi dan BNN kabupaten/ Kota merupakan instansi vertikal.21

Tugas dan wewenang BNN adalah:

a. Menyusun dan melaksakan kebijakan nasional mengenai pencegahan dan pemberantasan penyalahgunaan dan peredaran gelap narkotika dan prekusor narkotika;

21

Siswanto. 2012. Politik Hukum dala Undang – Undang Narkotika (UU No. 35 Tahun 2009 ).


(44)

b. Mencegah dan memberantas penyalahgunaan dan peredaran gelap narkotika dan prekusor narkotika;

c. Berkoordinasi dengan kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia dalam pencegahan dan pemberantasan penyalahgunaan dan peredaran gelap narkotika dan prekusor narkotika;

d. Meningkatkan kemampuan lembaga rehabilitasi medis dan rehabilitasi sosial pemerintah maupun masyarakat;

e. Memberdayakan masyarakat dalam pencegahan penyalahgunaan peredaran gelap narkotika dan prekusor narkotika;

f. Memantau, mengarahkan, dan meningkatkan kegiatan masyarakat dalam pencegahan penyalahgunaan dan peredaran gelap narkotika dan prekusor narkotika;

g. Melakukan kerja sama bilateral dan multilateral, baik regional maupun internasional, guna mencegah dan memberantas peredaran gelap narkotika dan prekusor narkotika;

h. Mengembangkan labolatorium narkotika dan prekusor narkotika;

i. Melaksakan adminitrasi penyelidikan dan penyidikan terhadap perkara penyalahgunaan dan peredaran gelap narkotika dan perkusor narkotika; j. Membuat laporan tahunan mengenai pelaksanaan tugas dan wewenang.

Dalam melaksakan tugas pemberantasan penyalahgunaan dan peredaran narkotika prekusor narkotika, BNN berwenang melakukan penyelidikan dan penyidikan penyalahgunaan dan peredaran gelap narkotika dan prekusor narkotika, di mana kewenangan tersebut dilaksanakan oleh penyidik BNN. Wewenang penyidik BNN dalam rangka melakukan penyidikan menurut Pasal 75 UU Narkotika, ialah:


(45)

a. Melakukan penyelidikan atas kebenaran laporan serta keterang tentang adanya penyalahgunaan dan peredaran gelap narkotika dan prekusor narkotika;

b. Memeriksa orang atau korporasi yang diduga melakukan penyalahgunaan dan peredaran gelap narkotika dan prekusor narkotika;

c. Memanggil orang untuk didengar keterangannya sebagai saksi;

d. Menyuruh berhenti orang yang diduga melakukan penyalahgunaan dan peredaran gelap narkotika dan prekusor narkotika serta memeriksa tanda pengenal diri tersangka;

e. Memeriksa, menggeledah dan menyita barang bukti tindak pidana dalam penyalahgunaan dan peredaran gelap narkotika dan prekusor narkotika; f. Memeriksa surat dan/ atau dokumen lain tentang penyalahgunaan dan

peredaran gelap narkotika dan prekusor narkotika;

g. Menangkap dan menahan orang yang diduga melakukan penyalahgunaan dan peredaran gelap narkotika dan prekusor narkotika;

h. Melakukan interdiksi terhadap peredaran gelap narkotika dan prekusor narkotika diseluruh wilayah yuridiksi nasional;

i. Melakukan penyadapan yang terkait dengan penyalahgunaan dan peredaran gelap narkotika dan prekusor narkotika setelah terdapat bukti awal yang cukup;

j. Melakukan teknik penyidikan pembelian terselubung dan penyerahan di bawah pengawasan;


(46)

l. Melakukan tes urin, tes darah, tes rambut, tes asam dioksiribonukleat (DNA) dan/ atau tes bagian tubuh lainnya;

m. Mengambil sidik jari dan memotret tersangka;

n. Melakukan pemindaian terhadap orang, barang, binatang, dan tanaman; o. Membuka dan memeriksa setiap barang kiriman melalui pos dan alat – alat

perhubungan lainnya yang diduga mempunyai hubungan dengan penyalahgunaan dan peredaran gelap narkotika dan prekusor narkotika; p. Melakukan penyegelan terhadap narkotika dan prekusor narkotika yang

disita;

q. Melakukan uji labolatorium terhadap sampel dan barang bukti narkotika dan prekusor narkotika;

r. Meminta bantuan tenaga ahli yang diperlukan dalam hubungannya dengan tugas penyidikan penyalahgunaan dan peredaran gelap narkotika dan prekusor narkotika; dan

s. Menghentika penyidikan apabila tidak cukup bukti adanya dugaan penyalahgunaan dan peredaran gelap narkotika dan prekusor narkotia.

Dalam rangka pencegahan dan pemberantasan penyalahgunaan dan peredaran gelap narkotika dan prekusor narkotika, masyarakat mempunyai kesempatan yang seluas – luasnya untuk berperan serta membantu pencegahan dan pemberantasan penyalahgunaan dan peredaran gelap narkotika dan prekusor narkotika. Masyarakat mempunyai hak dan tanggung jawab dalam upaya mencegah dan pemberantasan penyalahgunaan dan peredaran gelap narkotika dan prekusor


(47)

narkotika. Hak masyarakat dalam pencegahan dan pemberantasan peredaran gelap narkotika dan prekusor narkotika diwujudkan dalam bentuk22:

a. Mencari, memperoleh, dan memberikan informasi adanya dugaan telah terjadi tindak pidana narkotika dan prekusor narkotika;

b. Memperoleh pelayanan dalam mencari, memperoleh dan memberikan informasi tentang adanya dugaan telah terjadi tindak pidana narkotika dan prekusor narkotika kepada penegak hukum atau BNN yang menangani perkara tindak pidana narkotika dan prekusor narkotika;

c. Menyampaikan saran dan pendapat secara bertanggungjawab kepada penegak hukum atau BNN yang menangani perkara tindak pidana narkotika dan prekusor narkotika;

d. Memperoleh jawaban atas pertanyaan tentang laporannya yang diberikan kepada penegak hukum atau BNN;

e. Memperoleh perlindungan hukum pada saat yang bersangkutan melaksakan haknya atau diminta hadir dalam proses peradilan.

Masyarakat dapat melaporkan kepada pejabat yang berwenang atau BNN jika mengetahui adanya penyalahgunaan atau peredaran gelap narkotika dan prekusor narkotika. Peran serta masyarakat dapat dibentuk dalam suatu wadah yang dikoordinasi oleh BNN dan ketentuan ini diatur dengan Peraturan Kepala BNN. Pemerintah memberikan penghargaan kepada penegak hukum dan masyarakat yang telah berjasa dalam upaya pencegahan dan pemberantasan penyalahgunaan

22

Siswanto. 2012. Politik Hukum Dalam Undang-Undang Narkotika (UU Nomor 35 Tahun 2009). Jakarta. Rineka Cipta. Hal 310


(48)

dan peredaran gelap narkotika dan prekusor narkotika dan pemberian penghargaan ini dilakukan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang – undangan23.

F. Seaport Interdiction

Menurut Pasal 1 ayat (5) Keputusan Ketua BNN Nomor: KEP/ 14/ VII/ 2003/ BNN tentang pembentukan Satuan Tugas Seaport Interdiction menyatakan bahwa Satuan Tugas Seaport Interdiction yang selanjutnya disebut Satgas adalah wadah koordinasi yang berkedudukan di pusat maupun Pelabuhan-Pelabuhan beranggotakan instasi terkait yang bertugas sesuai dengan wewenang masing-masing. Seaport Interdiction dibentuk pada tanggal 24 Oktober 2005, untuk menanggulangi peredaran gelap narkotika dan prekusor narkotika yang berkedudukan di bawah BNP Lampung.

Satuan Tugas khusus Seaport Interdiction Pelabuhan penyeberangan Bakauheni bertugas menyelenggarakan tugas pokok pencegahan, penegakan hukum penyalahgunaan dan peredaran gelap narkotika, penyelidikan intelijen, kerjasama nasional serta melakukan interdiction narkotika melalui darat dan laut. Dalam melakukan tugas tersebut menurut pasal 3 huruf (a), (b), (c), Organisasi Tata Kerja Satuan Tugas Khusus Seaport Interdiction Pelabuhan Penyeberangan Bakauheni menyelenggarakan fungsi sebagai berikut:

a. Melakukan analisa dan intelijen untuk mengumpulkan data dan informasi dari berbagai sumber tentang peredaran gelap narkoba yang melintasi pelabuhan penyeberangan Bakauheni.

23

Siswanto. 2012. Politik Hukum dalam Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tetang Narkotika. Jakarta. Rineka Cipta. Hal. 310.


(49)

b. Melakukan pencegahan terhadap peredaran gelap narkoba yang melintasi pelabuhan penyeberangan Bakauheni dengan upaya pemeriksaan kendaraan, pemeriksaan barang-barang dan pemeriksaan terhadap orang-orang yang dicurigai.

c. Melakukan upaya penindakan dan penyidikan terhadap para pelaku peredaran gelap narkoba yang melintasi pelabuhan penyeberangan Bakauheni dalam rangka penegakan hukum.

Berdasarkan Pasal 4 Organisasi tata kerja satuan tugas khusus Seaport Interdiction pelabuhan penyeberangan Bakauheni disusun sebagai berikut:

a. Unsur Pimpinan

1) Kasatgas : Kepala Cabang ASDP Bakauheni

2) Wakasatgas : Wakapolres Lampung Selatan b. Unsur Pelaksana

1) Unit Analisa dan Intelejen a. Polri

b. Dishub/ LLAJR c. ASDP

d. syahbandar 2) Unit Pencegahan

a. Polri

b. Dishub/ LLAJR c. ASDP

d. Syahbandar


(50)

f. POM TNI

3) Unit Tindak dan Sidik

a. Sat Reskrim Polres Lampung Selatan b. KPPP Bakauheni

Masing- masing unit mempunyai tugas dan tanggung jawab berbeda-beda, berdasarkan Pasal 5 Organisasi tata kerja satuan tugas khusus Seaport Interdiction Pelabuhan Penyeberangan Bakauheni:

(1) Kasatgas adalah pimpinan satuan tugas khusus Seaport Interdiction pelabuhan penyeberangan Bakauheni yang berada di bawah dan bertanggung jawab kepada ketua Badan Narkotika Provinsi.

(2) Kasatgas bertugas memimpin, membina dan mengawasi serta mengendalikan unit-unit dalam satuan tugas khusu Seaport Interdiction Pelabuhan Penyeberangan Bakauheni.

Sedangkan wakasatgas berdasarkan Pasal 6 bertugas:

(1) Wakasatgas adalah pembantu utama kasatgas yang berada di bawah dan bertanggung jawab kepada kasatgas.

(2) membantu kasatgas dalam melaksakan tugasnya dengan mengendalikan pelaksanaan tugas-tugas unit ada dalam organisasi satgas khusus Seaport Interdiction dan dalam batas kewenangannya memimpin satgas khusus dalam hal kasatgas berhalangan.


(51)

(1) kepada Unit I Analisa dan Intelijen adalah unsur pembantu pimpinan dan pelaksana utama yang berada di bawah Kasatgas.

(2) Kepada Unit I bertugas mengumpulkan data dan informasi dari berbagai sumber dan melakukan analisa terhadap setiap perkrmbangan keadaan peredaran gelap narkoba serta menyusun perkiraan intelijen dan menyajukan hasil analisa termasuk mendokumentasikan produk intelijen yang dibutuhkan dalam pelaksaan fungsi satuan tugas Seaport Interdiction pelabuhan penyeberangan Bakauheni.

Unit II pencegahan berdasarkan Pasal 8 bertugas sebagai berikut:

(1) Kepada Unit II pencegahan adalah unsur pembantu pimpinan dan pelaksana utama yang berada di bawah kasatgas.

(2) Kepada Unit II bertugas melakukan pencegahan terhadap peredaran gelap narkoba yang melintasi pelabuhan penyeberangan Bakauheni dengan upaya pemeriksaan kendaraan, pemeriksaan barang-barang dan pemeriksaan terhadap orang-orang yang dicurigai.

Unit III Penindakan dan Penyidikan berdasarkan Pasal 9 bertugas sebagai berikut:

(1) Kepada Unit III penindakan dan penyidikan adalah unsur pembantu pimpinan dan pelaksana utama yang berada di bawah kasatgas.

(2) Kepada Unit III bertugas melakukan upaya penyidikan terhadap para pelaku peredaran gelap narkoba yang melintasi pelabuhan penyeberangan Bakauheni dalam rangka penegakan hukum.

Berdasarkan Pasal 11 Ayat (1) menyatakan bahwa dalam melaksakan tugasnya, kasatgas dan setiap pimpinan unit wajib menerapkan prinsip koordinasi, integrasi


(52)

dan sinkronisasi dalam lingkungan sendiri maupun dalam hubungan dengan instansi pemerintah dan lembaga lain. (2) setiap pimpinan unit wajib: (a) mengawasi anggotanya masing-masing dan apabila terjadi penyimpangan wajib mengambil langkah-langkah yang diperlukan sesuai dengan peraturan. (b) mengelola sumberdaya yang tersedia secara efektif dan efisien serta melakukan upaya-upaya peningkatan kemampuan. (c) mengawasi ketertiban adminitrasi keuangan/ perbendaharaan, baik yang diperoleh melalui program APBN/ APBD maupun bantuan dari Pemda, serta menggunakan seoptimal dan seefisien mungkin lagi keberhasilan pelaksaan tugas.

Hal tersebut di atas yaitu mengenai Laporan Pembentukan Satgas Seaport Interdiction Pelabuhan Penyeberangan Bakauheni yang membehas tentang kedudukan tugas dan wewenang Seaport Interdiction dibuat berdasarkan peratutan Keputusan Nomor: KEP/ 14/ VII/ 2003/BNN tentang Pembentukan Satuan Tugas Seaport Interdiction, untuk lebih jelas mengenai Kedudukan, Tugas dan wewenang Satgas Seapport Interdiction akan diuraikan sebagai berikut:

1. Kedudukan, Organisasi dan Keanggotaan a. Kedudukan berdasarkan Pasal 2 yaitu:

(1) Satgas pusat berkedudukan di Direktorat Penjagaan dan penyelamatan Direktorat Jenderal Perhubungan laut.

(2) Satgas Pelabuhan berkedudukan di pelabuhan-pelabuhan sebagaimana lampiran keputusan ini.


(53)

b. Organisasi dan Keanggotaan berdasarkan Pasal 3 adalah sebagai berikut: (1) Susunan organisasi satgas pusat dan wilayah terdiri dari ketua satgas,

wakik ketua satgas, sekretaris, ketua unit dan anggota.

(2) Susunan organisasi dan keanggotaan satgas pusat dan pelabuhan yang terdiri dari pejabat/ pegawai beberapa instansi terkait sebagaimana lampiran II keputusan ini.

2. Tugas dan Tanggung Jawab berdasarkan Pasal 4 adalah sebagi berikut:

Satgas dalam melaksakan tugasnya dibantu oleh 3 (tiga) unit yang terdiri dari: a. Unit I yaitu unit Analisa dan Intelijen.

b. Unit II yaitu unit Pencegahan

c. Unit III yaitu unit Penyidikan dan Penyelesaian Perkara.

Berdasarkan Pasal 5 Keputusan Ketua BNN Nomor: KEP/ 14/ VII/2003/ BNN tentang pembentukan satuan tugas Seaport Interdiction, ketua satgas tingkat pusat mempunyai tugas dan tanggung jawab:

a. Melakukan pengkajian dan perumusan kebijakan yang merupakan pedoman Tingkat Pusat dan Pelabuhan dalam upaya pencegahan peredaran gelap narkotika, psikotropika, prekursor dan zat adiktif lainnya.

b. Memberikan bimbingan, arahan dan informasi yang terkait dengan upaya pencegahan dan modus operandi serta proses penyidikannya.

c. Menyusun program kerja dan monitoring terhadap kegiatan Satgas.

d. Melakukan pengawasan, pemantauan dan monitoring terhadap kegiatan Satgas.

e. Mengkoordinasikan kegiatan Satgas secara Nasional dalam upaya pencegahan dan pemberantasan peredaran gelap narkotika, psikotropika,


(54)

prekursor dan zat adiktif lainnya dengan memperhatikan tugas, fungsi dan kewenangan masing-masing Anggota Satgas.

f. Melaporkan rencana kegiatan Satgas kepada Kalakhar Badan Narkotika Nasional.

g. Melakukan evaluasi terhadap hasil pelaksanaan kegiatan Satgas.

h. Menyampaikan laporan kegiatan secara periodik dan hasil akhir penyelesaian kasus kepada Kalakhar Badan Narkotika Nasional.

Berdasarkan Pasal 6 Sekretaris satuan tugas pusat mempunyai tugas dan tanggung jawab:

a. Menerima laporan/pengaduan/informasi dari sumber kasus.

b. Menyampaikan laporan/pengaduan/informasi sebagaimana butir 1 kepada Ketua Satuan Tugas.

c. Melaksanakan kegiatan administrasi keuangan dan kesekretariatan. d. Mempersiapkan rapat periodik sesuai dengan arahan Ketua Satuan Tugas. e. Menyusun laporan hasil kegiatan Satuan tugas secara periodik untuk

disampaikan kepada Kalakhar BNN dengan tembusannya disampaikan kepada Koordinator Satuan Tugas Lakhar BNN.

f. Menyampaikan hasil akhir penyelesaian kasus kepada Kalakhar Badan Narkotika Nasional dengan tembusannya disampaikan kepada Koordinator Satuan Tugas Lakhar Badan Narkotika Nasional.

Berdasarkan Pasal 7 Unit I Pusat mempunyai tugas dan tanggung jawab:


(55)

b. Melakukan analisa data dan pencegahan, dan mempelajari modus operandi peredaran gelap narkotika, psikotropika, prekursor dan zat adiktif lainnya secara nasional dan menyajikannya dalam format tertentu untuk diinformasikan kepada Satgas Pelabuhan.

c. Menganalisa informasi yang diterima yang terkait dengan peredaran gelap narkotika, psikotropika, prekursor dan zat adiktif lainnya dengan melakukan pengecekan/penelitian melalui berbagai sumber serta menginformasikan kepada Unit II Satgas untuk penyelesaian tingkat Pusat dan kepada Satgas Pelabuhan untuk menindak lanjuti.

d. Melaksanakan kegiatan intelijen dalam bentuk pengumpulan informasi dan data untuk kebutuhan Satgas.

e. Mengevaluasi hasil kegiatan intelijen dalam bentuk pengumpulan informasi dan data untuk kebutuhan Satgas.

f. Menyusun laporan pelaksanaan kegiatan Unit secara insidentil maupun periodik untuk disampaikan kepada Ketua Satgas.

Berdasarkan Pasal 8 Unit II Pusat mempunyai tugas dan tanggung jawab:

a. Menyusun rencana kegiatan unit pencegahan dan penyelidikan.

b. Melaksanakan kegiatan kasus peredaran gelap narkotika, psikotropika, prekursor dan zat adiktif lainnya di Pelabuhan-pelabuhan.

c. Melaksanakan kegiatan kasus peredaran gelap narkotika, psikotropika, prekursor dan zat adiktif lainnya di Pelabuhan sesuai dengan kewenangannya. d. Menyampaikan laporan hasil pelaksanaan tugas kepada Ketua Satgas Seaport Interdiction tingkat pusat paling lambat 1 kali 24 jam setelah selesai pelaksanaan.


(56)

e. Menyusun evaluasi dan laporan pelaksanaan kegiatan Unit II.

Berdasarkan Pasal 9 Unit III Pusat mempunyai tugas dan tanggung jawab:

a. Menerima berkas kasus peredaran gelap narkotika, psikotropika, prekursor dan zat adiktif lainnya yang digagalkan oleh Unit II Pencegahan Pusat untuk penyelesaian perkara.

b. Menindaklanjuti kasus peredaran gelap narkotika, psikotropika, prekursor dan zat adiktif lainnya di Pelabuhan sesuai dengan kewenangannya.

c. Melakukan penyidikan kasus narkotika, psikotropika, prekursor dan zat adiktif lainnya untuk proses lebih lanjut.

d. Melaporkan hasil penyelesaian perkara kepada Ketua Satgas.

Berdasarkan Pasal 10 ketua satuan tugas pelabuhan mempunyai tugas dan tanggung jawab:

a. Menyusun rencana kegiatan dan anggaran Satgas Pelabuhan.

b. Menerima laporan/pengaduan/informasi dari sumber kasus narkotika, psikotropika, prekursor dan zat adiktif lainnya.

c. Menyusun langkah-langkah dalam melaksanakan upaya pecegahan dan pemberantasan peredaran gelap narkotika, psikotropika, prekursor dan zat adiktif lainnya di wilayahnya.

d. Menyampaikan laporan kasus dan hasil akhir penyelesaian kasus kepada Ketua Satgas Pusat.

Berdasarkan Pasal 11 Sekretaris satuan tugas pelabuhan mempunyai tugas dan tanggung jawab:


(57)

a. Menerima laporan/pengaduan/informasi dari sumber kasus.

b. Menyampaikan laporan/pengaduan/informasi sebagaimana butir I kepada Kepala Satuan Tugas Pelabuhan.

c. Melaksanakan kegiatan administrasi keuangan dan kesekretariatan. d. Mempersiapkan rapat periodik sesuai dengan arahan Ketua Satuan Tugas. e. Menyusun laporan hasil kegiatan Satuan tugas secara periodik untuk

disampaikan kepada Ketua Satuan Tugas.

f. Menyampaikan hasil akhir penyelesaian kasus kepada Ketua Satgas Pusat.

Berdasarkan Pasal 12 Unit I satgas pelabuhan mempunyai tugas dan tanggung jawab:

a. Menyusun rencana kegiatan unit analisis dan intelijen di Pelabuhan.

b. Melakukan analisa informasi/laporan/pengaduan kasus narkotika, psikotropika, prekursor dan zat adiktif lainnya atau dari Satgas Pusat untuk dilanjutkan kepada Unit II Satgas Pelabuhan.

c. Mempersiapkan dan menyusun data kasus narkotika, psikotropika, prekursor dan zat adiktif lainnya untuk dilaporkan kepada Ketua Satgas Pusat.

d. Melaksanakan kegiatan intelijen dalam rangka pengumpulan informasi dan data untuk kepentingan dukungan operasional Unit II.

e. Menyusun laporan hasil pelaksanaan kegiatan Unit secara insidentil maupun periodik untuk disampaikan kepada Ketua Satgas Pelabuhan.

Berdasarkan Pasal 13 Unit II satgas pelabuhan mempunyai tugas dan tanggung jawab:


(58)

b. Melaksanakan kegiatan pencegahan terhadap peredaran gelap narkotika, psikotropika, prekursor dan zat adiktif lainnya melalui Pelabuhan Laut setempat berdasarkan informasi dan analisis dari Unit Satgas Pelabuhan. c. Menyampaikan laporan hasil pelaksanaan tugas kepada Ketua Satgas

Wilayah paling lambat 1 kali 24 jam setelah selesai pelaksanaan. d. Menyusun evaluasi dan laporan pelaksanaan kegiatan Unit II.

Berdasarkan Pasal 14 Unit III satgas pelabuhan mempunyai tugas dan tanggung jawab:

a. Menerima berkas kasus peredaran gelap narkotika, psikotropika, prekursor dan zat adiktif lainnya yang diserahkan oleh Unit II Pencegahan Satgas Pelabuhan untuk penyelesaian perkara.

b. Menindaklanjuti kasus peredaran gelap narkotika, psikotropika, prekursor dan zat adiktif lainnya di Pelabuhan sesuai dengan kewenangannya.

c. Melakukan penyidikan kasus peredaran gelap narkotika, psikotropika, prekursor dan zat adiktif lainnya untuk proses lebih lanjut.

d. Pelaporkan perkembangan penyidikan dan hasil penyelesaian perkara kepada Ketua Satgas Pelabuhan.

G. Koordinasi antara BNN Kabupaten Lampung Selatan dan Seaport

Interdiction dalam Penanggulangan Tindak Pidana Narkotika

Menurut Inu Kencana24 koordinasi adalah suatu mekanisme hubungan dan kerja sama antara suatu organisasi dengan organisasi lainnya dalam rangka penyelenggaraan kegiatan atau aktivitas untuk mencapai tujuan tertentu.

24


(59)

Koordinasi antara pemerintah daerah dengan organisasi eksternal dilakukan dalam upaya untuk pelaksaan kebijakan dan pelaksanaan yang berkaitan dengan penciptaan dan pemeliharaan ketentraman dan ketertiban umum, fasilitas penerapan dan penegakan peraturan perundang – undangan dan peraturan yang berlaku. Penyelenggaraan fasilitas kerja sama daerah dan penyelesaian perselisiahan daerah dan pembinaan wilayah yang meliputi pengelolaan batas daerah kependudukan, catatan sipil, kehidupan bermasyarakat, peningkatan peran serta dan prakasa masyarakat,kerukunan daerah, dan pelaksaan pola hubungan kerja, antara lembaga pemerintah di semua tingkatan, dan aktualisasi nilai – nilai pancasila sebagai dasar negara dan UUD 1945 serta sosialisasi kebijakan – kebijakan nasional di daerah. Koordinasi dan kerja sama dalam penyelenggaraan pemerintahan dan penegakan hukum di daerah merupakan usaha mengadakan kerja sama yang erat dan efektif antara dinas – dinas sipil di daerah dengan aparat penegak hukum. Menurit Inu Kenana pelaksanaan koordinasi dapat dilakukan sesuai dengan lingkup dan arah sebagai berikut25:

a. Koordinasi dan Kerja sama Menurut Lingkupnya

Koordinasi dan kerja sama menurut lingkupnya terdiri dari internal dan eksternal, internal adalah koordinasi antar pejabat atau antar unit dalam suatu organisasi, sedangkan eksternal yaitu koordinasi antar pejabat dari bagian organisasi atau antar organisasi lain.

b. Koordinasi dan Kerja sama Menurut Arahnya

Koordinasi dan kerja sama menurut aranya terdiri dari horizontal dan vertikal. Horizontal yaitu koordinasi antar pejabat atau antar unit yang mempunyai

25


(1)

Analisis data yang dipergunakan dalam penetilian ini adalah analisi kualitatif dan penarikan kesimpulan dilakukan dengan metode induktif, yaitu menguraikan hal – hal yang bersifat khusus lalu menarik kesimpulan yang bersifat umum sesuai dengan permasalahan yang dibahas dalam penelitian.


(2)

92

V. PENUTUP

A. SIMPULAN

Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan maka kesimpulan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:

1. Hubungan Koordinasi antara Penyidik Badan Narkotika Nasional Kabupaten Lampung Selatan dengan penyidik Seaport Interdiction dalam penanggulangan tindak pidana narkotika di Provinsi Lampung dilaksanakan dengan cukup optimal hal tersebut dapat dilihat banyaknya pelaku yang terjaring atau tertangkap dan setiap tahunnya mengalami peningkatan, yang berdasarkan Keputusan Ketua BNN Nomor: KEP/ 14/ VII/ 2003/ BNN tentang Pembentukan Satgas Seaport Interdictio, dimana dalam melaksanakan penyidikan dilakukan koordinasi dengan Pihak terkait seperti Polri, Dishib/LLAJ, ASDP, Syahbandar, BNNK Lampung Selatan, POM TNI dalam penanggulangan, penyidikan dan pencegahan tindak pidana narkotika dan prekusor narkotika dilakukan oleh Unit II dan Unit III satgas Seaport Interdictio, hal tersebut diatur dalam Keputusan Ketua BNN Nomor: KEP/ 14/ VII/ 2003/ BNN tentang Pembentukan Satgas Seaport Interdiction. 2. Faktor-faktor penghambat Hubungan koordinasi antara penyidik Badan Narkotika

Nasional Kabupaten Lampung Selatan dengan Seaport Interdiction dalam penanggulangan tindak pidana narkotika di Provinsi Lampung adalah sebagai beriku:


(3)

a. Faktor substansi hukum, yaitu penyidik BNNK Lampung Selatan dan Seaport

Interdiction dalam mengungkap kasus tindak pidana narkotika terkadang tidak dapat

mengumpulkan semua alat bukti yang sah dalam penyidikan kasus tindak pidana narkotika, baik berupa keterangan saksi, keterangan ahli, surat, petunjuk dan keterangan terdakwa.

b. Faktor aparat penegak hukum, yaitu secara kuantitas adalah masih kurangnya personil penyidik BNNK Lampung Selatan, sedangkan jumlah tindak pidana ini cenderung mengalami peningkatan.

c. Faktor sarana dan prasarana, yaitu tidak adanya laboratorium forensik, sehingga apabila ditemukan barang bukti yang perlu diuji melalui laboratorium, maka penyidik harus mengirimkannya ke BNN Pusat, selain itu tidak adanya Alat Pendeteksi Narkoba dan Anjing Pelacak sehingga petugas Seaport Interdiction masih belum maksimal dalam mengungkap atau menemukan narkoba.

d. Faktor masyarakat, yaitu masih adanya ketakutan atau keengganan masyarakat untuk menjadi saksi dalam proses penegakan hukum terhadap pelaku penyalahgunaan narkotika.

e. Faktor budaya, yaitu adanya budaya individualisme dalam kehidupan masyarakat perkotaan, sehingga mereka bersikap acuh tidak acuh dan tidak memperdulikan apabila menjumpai atau mengetahhui adanya pelaku penyalahgunaan narkotika dan obat-obatan terlarang.


(4)

94

B. SARAN

Saran dalam penelitian ini adalah sebagai berikut :

1. Hendaknya dioptimalkan kerja sama dan koordinasi dengan lintas sektoral terkait dalam pengawasan, pengendalian ketersediaan, pencegahan dan pemberantasan tindak pidana narkotika.

2. Sarana dan prasarana penunjang pendidikan seperti laboratorium khusus narkotika, alat

Drug Detector Type JT 200 dan anjing pelacak hendaknya direalisasikan dalam rangka


(5)

DAFTAR PUSTAKA

Arief, Barda Nawawi. 2003. Bunga Rampai Kebijakan Hukumk Pidana. PT Citra Aditya Bakti. Bandung.

. 2002. Kebijakan Hukum Pidana. PT. Citra Aditya Bakti. Bandung.

Hamzah, Andi.2001. Asas – Asas Hukum Pidana. Rineka Cipta. Jakarta .

Lamintang, P.A.F. 1996. Dasar – Dasar Hukum Pidana Indonesia. PT. Citra Aditya Bakti. Bandung.

Moeljatno, 1983. Asas – Asas Hukum Pidana di Indonesia. Rineka Cipta. Jakarta.

Siswanto. 2012. Politik Hukum Dalam Undang – Undang Narkotika (UU Nomor 35

tahun 2009). Rineka Cipta. Jakarta.

Soekanto, Soerjono.1983. Pengantar Penelitian Hukum. Universitas Indonesia Press. Jakarta.

. 1996. Factor – Factor yang Mempengaruhi Penegakan Hukum. Raja Grafindo Persada. Jakarta.

Kencana, Inu. 2001. Sistem Pemerintahan Indonesia. Sekolah Tinggi Pemerintahan dalam Negeri. Jatinangor. Bandaung.

AR. Sujono, Bony Daniel. 2013. Komentar dan Pembahasan Undang – Undang

Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika. Jakarta: Sinar Grafika.

Suryabrata, Sumardi.1993. Psikologi Pendidikan. Raja Grafindo Persada. Jakarta.

Muladi. 2002. Hak Asasi Manusia, Politik dan Sistem Peradilan Pidana. BP. Universitas Diponegoro. Semarang.

Undang – Undang Nomor 1 Tahun 1946 Jo. Undang – Undang Nomor 73 Tahun 1958 Tentang Berlakunya Kitab Undang – Undang Hukum Pidana. Buku Pedoman P4GN. Badan Narkotika Lamuung Selatan.


(6)

Undang – undang Nomor 8 Tahun 1981 Tentang Kitab Undang – Undang Hukum Acara Pidana.

Undang – Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia.

Undang – Undang Nomor 35 Tahun 2009 Tentang Narkotika.

Keputusan Nomor: KEP/ 14/ VII/ 2003/ BNN tentang Pembentukan Satuan Tugas Seaport Iterdiction.