PENUTUP Praktek di Bank Sentral

BULETIN HUKUM PERBANKAN DAN KEBANKSENTRALAN 40 Volum e 3 Nom or 3, Desem ber 2005 g. Hongkong M onetary Authority Hongkong M onetary Authority tidak membayar pajak penghasilan badan kepada pemerintah h. Bank of Japan Bank of Japan tidak dikenakan pajak penghasilan badan terhadap surplus yang diperoleh. Surplus yang diperoleh dikembalikan kepada pemerintah. i. Bank of Thailand Bank of Thailand tidak membayar pajak penghasilan terhadap penghasilan yang diperoleh. j. Bank of Canada Bank of Canada tidak membayar pajak terhadap surplus yang diperolehnya. Hal ini karena surplus yang diperoleh bukan merupakan objek PPh badan. Seluruh keuntungan netto setelah dikurangi dengan biaya operasional diserahkan kepada pemerintah federal. Berdasarkan data di atas, dapat disimpulkan bahw a pada umumnya surplus yang diperoleh bank sentral tidak dikenakan pajak penghasilan karena : 1. Dalam rangka pelaksanaan tugasnya bank sentral tersebut tidak berorientasi pada profit. 2. Bank sentral tersebut akan menyetor sebesar prosentase tertentu atas surplus yang diperoleh kepada pemerintah. 3. Apabila modal Bank sentral mengalami defisit maka pemerintah w ajib menutup kekurangan modal dimaksud. 4. M engecualikan Bank sentral dari pajak penghasilan, secara prinsip tidak akan membuat perbedaan jumlah penerimaan pemerintah. Dengan kata lain, pengecualian yang mengurangi penerimaan pajak di lain pihak akan memperbesar pengalihan surplus bank sentral kepada pemerintah. 5. Pajak penghasilan dapat membahayakan otonomi keuangan bank sentral karena secara tidak sengaja dapat mengalihkan perhatian bank sentral kepada pengelolaan penghasilan daripada mencapai tujuan utamanya.

IV. PENUTUP

Dalam penyelenggaraan negara yang bertujuan untuk mew ujudkan kesejahteraan masyarakat luas, diperlukan keselarasan dari setiap aspek kebijakan, termasuk harmonisasi kebijakan fiskal dan kebijakan moneter, kendati dua kebijakan tersebut dilakukan oleh otoritas yang berbeda yaitu BULETIN HUKUM PERBANKAN DAN KEBANKSENTRALAN 41 Volum e 3 Nom or 3, Desem ber 2005 Departemen Keuangan selaku otoritas fiskal dan Bank Indonesia sebagai otoritas moneter. Dalam upaya mew ujudkan harmonisasi kebijakan tersebut, hendaknya setiap kebijakan diciptakan dengan semangat keberpihakan kepada masyarakat luas. Dengan demikian w acana pengenaan pajak terhadap Bank Indonesia kiranya perlu dicermati secara lebih bijaksana oleh para pengambil keputusan, pengamat bahkan oleh masyarakat luas karena pandangan yang dikemukakan dalam RUU Pajak masih memerlukan keseimbangan dengan kepentingan lain yang cakupannya lebih luas dan mendasar. BULETIN HUKUM PERBANKAN DAN KEBANKSENTRALAN 42 Volum e 3 Nom or 3, Desem ber 2005 RESENSI BUKU Judul : Keuangan Publik Dalam Perspektif Hukum Teori, Praktik, dan Kritik Penulis : Prof. Dr. Arifin P. Soeria Atmadja, S.H. Penerbit : Badan Penerbit Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Jakarta Tahun terbit : 2005 Oleh : Hilman Tisnaw an, S.H. 1 Keuangan negara merupakan urat nadi dalam pembangunan suatu negara dan amat menentukan kelangsungan perekonomian baik sekarang maupun yang akan datang. M engutip Rene Stours, dijelaskan bahw a hakekat atau falsafah APBN adalah: The constitutional right w hich a nation possesses to authorize public revenue and expenditure does not originates from the fact that the members of t he nation contribute the payments. This right is based in a loftier idea. The idea of a sovereignty . Jadi hakekat public revenue and expenditure APBN adalah kedaulatan. Di negara demokrasi seperti Indonesia yang memiliki kedaulatan adalah rakyat, implementasi kedaulatan tersebut dapat terlihat dalam peraturan Dew an Perw akilan Rakyat DPR, dimana rakyatlah yang menentukan hidupnya sendiri, karena itu juga cara hidupnya yang tercermin dalam APBN. Pasal 23 ayat 1 UUD 1945 mencerminkan kedaulatan rakyat tersebut, yang tergambar dari adanya hak begrooting hak budget- Terjemahan Redaksi yang dimiliki oleh DPR, dimana dinyatakan bahw a dalam hal menetapkan pendapatan dan belanja, kedudukan DPR lebih kuat dari kedudukan pemerintah. Hal ini tanda kedaulatan rakyat, dan pemerintah baru dapat menjalankan APBN setelah mendapat persetujuan dari DPR dalam bentuk undang- undang. Sesuai judulnya, dalam buku ini, istilah keuangan publik dimaksudkan selain meliputi keuangan negara dan keuangan daerah juga meliputi keuangan badan hukum lain yang modalnya kekayaannya berasal dari kekayaan negara daerah yang dipisahkan. Namun sebenarnya buku ini seperti diakui sendiri oleh penulisnya, lebih merupakan opini, 1 Analis Hukum Tim Perundang-undangan dan Pengkajian Hukum Direktorat Hukum Bank Indonesia BULETIN HUKUM PERBANKAN DAN KEBANKSENTRALAN 43 Volum e 3 Nom or 3, Desem ber 2005 argumentasi, dan evaluasi arti keuangan negara yang tercantum dalam Pasal 23 UUD 1945. M enurut penulis buku ini, rumusan atau definisi yang digunakan oleh peraturan perundang-undangan saat ini belum sesuai dengan konsepsi hukum serta lingkungan kuasa hukum yang berlaku pada umumnya, khususnya setelah dilakukannya amandemen ketiga terhadap UUD 1945 yang mengatur bidang keuangan negara dan hadirnya tiga paket undang-undang yang mengatur keuangan yakni UU No.17 tahun 2003 tentang Keuangan Negara, UU No.1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara dan UU No. 15 Tahun 2004 tentang Pemeriksaan Pengelolaan dan Tanggungjaw ab Keuangan Negara lihat Carut M arut UU No. 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara, hal 71. Buku ini tampaknya sengaja dibuat hanya dalam dua Bab, Bab I memuat arti Keuangan Negara pra amandemen UUD 1945, sedangkan Bab II memuat arti keuangan negara pasca amandemen UUD 1945. Dengan membagi buku ini ke dalam dua bab, maka pembaca diajak untuk membandingkan arti keuangan negara secara normatif pada satu sisi dan melihat prakteknya pada sisi lainnya. Dalam Bab pertama diuraikan mengenai arti keuangan negara berdasarkan Pasal 23 UUD 1945 yang didukung dengan beberapa tafsiran dari ahli hukum antara lain Prof. M . Yamin, Allons, dan Prof. Dr. D. Simons. M enurut tafsiran Prof. M . Yamin seperti yang dikutip oleh penulis buku ini, Keuangan Negara menurut Pasal 23 ayat 4 meliputi segala hal yang berhubungan dengan keadaan dan ketentuan- ketentuan mengenai garis-garis besar kebijaksanaan moneter dan mengenai kedudukan serta tugas- tugas bank ditetapkan dengan undang-undang. Comptabiliteitsw et Wet 23 April 1864 dan peraturan- peraturan devisa devisen-ordonantie 1940: K.B.21 Juli 1943 dengan perubahan. Dari beberapa pendapat ahli hukum tersebut, menurut penulis buku ini, definisi keuangan negara bersifat plastis, tergantung kepada sudut pandang, sehingga apabila berbicara keuangan negara dari sudut pemerintah, yang dimaksud keuangan negara adalah APBN, sedang apabila bicara keuangan dari sudut pemerintah daerah, yang dimaksud keuangan negara adalah APBD, demikian seterusnya dengan Perjan, PN-PN maupun Perum. Dengan perkataan lain definisi keuangan negara dalam arti luas meliputi APBN, APBD, Keuangan Negara pada Perjan, Perum, PN-PN dan sebagainya, sedangkan definisi keuangan negara dalam arti sempit, hanya meliputi setiap badan hukum yang berw enang mengelola dan mempertanggungjaw abkannya lihat hal 69. M enurut penulis buku ini, dengan menyitir pendapat Otto Eickstein 1979; M usgrave, Richard BULETIN HUKUM PERBANKAN DAN KEBANKSENTRALAN 44 Volum e 3 Nom or 3, Desem ber 2005 A 1959; Roges Douglas M elinda Jones 1996, apabila berbicara mengenai keuangan yang meliputi APBN, APBD dan BUM N serta BUM D, tidaklah tepat apabila menggunakan istilah keuangan negara, yang lebih tepat adalah menggunakan istilah Keuangan Publik. Untuk menambah nilai dari Bab pertama buku ini, penulis dalam aw al pembahasannya juga memuat beberapa artikel yang ditulis oleh kalangan akademisi dan birokrat mengenai keuangan negara yang merupakan kilas balik pengertian keuangan negara sebelum maupun setelah amandemen UUD 1945. Amandemen keempat UUD 1945, yang melahirkan UU No 17 Tahun 2003 sebagai UU organik dari Pasal 23 C Bab VIII UUD 1945, dianggap sebagai pangkal permasalahan yang mengakibatkan menjadi biasnya arti keuangan negara. Penulis buku ini menilai bahw a landasan filosofi keempat amandemen UUD 1945 tersebut sangat tidak memadai, apalagi rumusan substansi ilmiahnya jauh dari yang semestinya. Hal tersebut mengakibatkan subtansi yang diatur dalam UU No. 17 Tahun 2003 menjadi “ melenceng” karena yang diatur bukan mengenai hal-hal lain keuangan negara, melainkan hal-hal lain yang berada di luar domain hukum keuangan negara. Patut disimak adalah pendapat penulis buku ini yang menyatakan bahw a Pasal 2 UU No. 17 Tahun 2003 yang merumuskan secara lengkap keuangan negara cenderung menimbulkan kerugian keuangan negara dan membangkrutkan negara. Hal ini khususnya ditujukan pada Pasal 2 huruf i, yang menyatakan bahw a salah satu arti keuangan negara adalah kekayaan pihak lain yang diperoleh dengan menggunakan fasilitas yang diberikan pemerintah. Dengan rumusan tersebut berarti negara akan turut bertanggung jaw ab terhadap kekayaan pihak sw asta yang memperoleh fasilitas pemerintah. Seluruh kritik dan kegalauan penulis tersebut di atas dituangkan dalam bab II buku ini, yang diakui oleh penulisnya sebagai pendapat yang tidak dilandasi kepentingan politik maupun kekuasaan tertentu dan semata-mata didasarkan pemahamannya sebagai birokrat maupun akademisi. Status keuangan yang ada pada Perseroan Terbatas PT yang sebagian sahamnya dimiliki oleh negara, Perguruan Tinggi sebagai Badan Hukum M ilik Negara BHM N serta mengenai transformasi hukum keuangan negara menjadi hukum keuangan daerah juga merupakan hal yang dikaji dalam buku ini. Pada bagian akhir buku ini dilampirkan artikel penulis mengenai Konservatisme Pemeriksaan Keuangan Negara. Lampiran artikel ini menarik untuk didiskusikan mengingat menurut penulis buku ini, dengan adanya perubahan BULETIN HUKUM PERBANKAN DAN KEBANKSENTRALAN 45 Volum e 3 Nom or 3, Desem ber 2005 fungsi pemeriksaan BPK melalui Pasal 23 E ayat 1 UUD 1945, yang semula hanya ditujukan pada tanggung jaw ab keuangan negara, dan kemudian meliputi pengelolaan keuangan negara, dinilai merupakan disorientasi fungsi BPK yang justru melemahkan kedudukannya sebagai lembaga negara. Disorientasi fungsi BPK tersebut hanya akan mendorong ketidakberdayaan BPK dalam menjangkau segi strategis tanggung jaw ab keuangan negara karena berkutat menjelajah segi teknis pengelolaan keuangan negara. Seharusnya sebagai lembaga negara yang memeriksa tanggung jaw ab keuangan negara, BPK merupakan lembaga yang langsung mengaw asi dan memeriksa kebijakan keuangan negara fiscal policy audit yang dilakukan pemerintah, yang menempatkan BPK sebagai lembaga negara yang sejajar dengan lembaga negara lainnya, termasuk pemerintah. Apabila dilihat dari konsep hukum administrasi negara HAN, disorientasi fungsi tersebut telah mengubah bentuk BPK dari organisasi negara menjadi organisasi administrasi negara. Dengan demikian kedudukannya melemah sebagai bagian dari unsur pemerintah dan bukan merupakan lembaga yang mandiri. Buku ini layak menjadi bahan kajian, khususnya mereka yang tertarik di bidang keuangan publik, atau bagi mereka yang saat ini berada dalam lingkup legislatif dan institusi keuangan publik. Hal penting yang tidak dimuat dalam buku ini adalah latar belakang dan suasana milieu pada saat dilakukannya amandemen UUD 1945 dan penerbitan Paket Undang-undang Keuangan Negara. BULETIN HUKUM PERBANKAN DAN KEBANKSENTRALAN 46 Volum e 3 Nom or 3, Desem ber 2005 CAKRAWALA HUKUM Oleh: Redaksi KEY LEGAL, DOCUM ENTARY AND STRUCTURING ISSUES FOR ISLAM IC FINANCIAL PRODUCT Produk keuangan syariah pada prinsipnya dapat dikelompokkan dalam 3 bagian, yaitu, i produk penghimpunan dana funding; ii pembiayaan financing; dan iii jasa-jasa services. Pada produk penghimpunan dana, biasa digunakan prinsip penitipan w adiah dan mudharabah , produk pembiayaan digunakan prinsip investasi dan jual beli musyarakah dan mudharabah, murabahah, salam, dan istishna, dan pada produk jasa digunakan prinsip pelayanan jasa keuangan financing services. Dalam seminar ini khusus dibahas produk keuangan syariah dari sisi pembiayaan financing terutama dilihat dari sisi investasi dan jual beli dalam bentuk produk cash financing dan surat berharga sekuritas. Pengertian pembiayaan difokuskan terhadap produk perbankan syariah yang mengandung adanya unsur pendapatan atau laba baik yang diterima oleh bank maupun pemasok barang dan jasa.

A. Prinsip Investasi Dalam Sistem

Syariah M udharabah Fund M anagement Dalam sesi ini dijelaskan mengenai struktur dari produk keuangan syariah dengan menggunakan prinsip mudharabah , yang melibatkan 3 pihak yaitu deposan selaku penyedia dana Rab Al M al, bank selaku penerima dana M udareb sekaligus investor Rab AL M al , dan Pengusaha. Dalam skema ini, bank bisa berfungsi sebagai M udareb sekaligus Rab Al M al. Bank berfungsi sebagai M udareb pada saat bank melakukan perjanjian dengan Deposan, dan bank berfungsi sebagai Rab Al M al pada saat bank melakukan perjanjian dengan pengusaha. Pada dasarya, prinsip mudharabah adalah suatu akad kerja sama usaha antara dua pihak dimana pihak pertama Rab Al M al menyediakan seluruh modal usaha sedangkan pihak lainnya menjadi pengelola. Keuntungan usaha secara mudharabah dibagi menurut kesepakatan yang dituangkan dalam kontrak,