BULETIN HUKUM PERBANKAN DAN KEBANKSENTRALAN 2 Volum e 3 Nom or 3, Desem ber 2005
Konvensi internasional sebagai model law
yang berlaku, pelaksanaan kontrak, antara lain di
bidang barang, seperti The Hague Convention on the Law Applicable
to Contracts of International Sale of Goods
1986.
5
Konvensi dibidang transaksi elektronik, pelaksanaan
fungsi pengaw asan pelaksanaan Konvensi New York 1958 tentang
recognation and enforcement of Foreign Arbital Aw ards,
dan sebagainya.
Dalam kenyataannya ketentuan hukum harmonisasi yang merupakan
model law saat ini sudah tidak
memadai dikaitkan dengan kegiatan-kegiatan bisnis
internasional, terutama yang menyangkut pelaksanaan
penyertaan modal, transaksi elektronik, pemberian kredit hak
dan kew ajiban para pihak dikaitkan dengan perjanjian baku, dalam
pelaksanaan fungsi bank sebagai penyedia dan penerima dana.
Lembaga internasional M ajelis Umum PBB, khususnya Komite VI
Hukum, melalui UNCITRAL, dalam mengantisipasi perkembangan yang
terjadi telah melakukan usaha mengumpulkan pendapat dan
kesepakatan negara anggota untuk membuat suatu konvensi yang
menjadi model atau rujukan dalam pembangunan rezim hukum
5
Konvensi ini menentukan bahwa hukum yang berlaku dalam suatu kontrak penjualan yang tidak
dipilih oleh para pihak adalah hukum tempat kedudukan bisnis penjual saat kontrak dibuat.
Pasal 13 menentukan bahwa apabila tidak ada pilihan hukum yang tegas maka berlaku hukum
negara pemeriksaan barang dilakukan.
perdagangan internasional dalam bentuk model law yang sesuai
kebutuhan saat ini, misalnya dalam kaitan dengan conflict of law yang
berhubungan erat dengan choice of law
pilihan hukum, yaitu hak para pihak untuk memilih hukum yang
berlaku apabila terjadi conflict of law
.
B. Permasalahan
1. Apa, dan bagaimana
pelaksanaan lembaga choice of law
, dalam pelaksanaan kontrak bisnis internasional
apabila terjadi conflict of law
? 2.
Apa permasalahan dan solusi penerapan choice of law
dalam pelaksanaan kontrak bisnis internasional apabila
terjadi conflict of law ?
C. Pembahasan
1. Perkembangan Choice of Law
dalam Kontrak Bisinis
Internasional
Hak dan kew ajiban para pihak yang menjadi dasar penyelesaian sengketa
mereka dalam conflict of law diistilahkan sebagai choice of law ,
dan ada pula yang mempergunakan party autonomy
. Istilah choice of law lebih pasti pengertiannya dari pada
party autonomy , sebagaimana
BULETIN HUKUM PERBANKAN DAN KEBANKSENTRALAN 3 Volum e 3 Nom or 3, Desem ber 2005
dikemukakan oleh Sudargo Gautama.
6
Istilah party autonomy
sering dipahami secara keliru misleidend
dalam Hukum Bisnis Internasional, sehingga menimbulkan pemikiran ke
arah yang sebenarnya tidak dicakup oleh istilah tersebut. Istilah
autonomy otonom mengandung
pengertian menentukan sendiri hukum yang harus berlaku bagi
mereka. Secara hukum para pihak tidak mempunyai kemampuan untuk
membuat sendiri undang-undang bagi mereka. Tidak ada kew enangan
untuk menciptakan hukum bagi para pihak yang berkontrak. M ereka
hanya diberikan kebebasan untuk memilih hukum mana yang mereka
kehendaki untuk diterapkan bagi kontrak yang mereka buat, dan
tidak diberikan kew enangan untuk secara otonom menentukan sendiri
hukum yang harus berlaku bagi mereka. Kolleew ijn mengemukakan
dalam kaitan ini: “Het is slechts kiesvrijheid...Niet het recht tot self-
regeling” .
7
Itu hanyalah kebebasan
6
Sudargo Gaut am a , Hukum Perdata
Internasional, Jilid II Bagian 4, Buku ke 5, Penerbit Alumni, Bandung, 1992, hal. 3. Menurut
Szaszy Schnit zer
, dalam Private International Law in European People’s Democraties, Leiden
Universiteit, Leiden, 1964, P. 211, bahwa part y
aut onomy Inggris dalam bahasa Belanda
part ij aut onomie, part eiaut onomie
Jerman atau part y
aut onomy int ent ion of t he part ies Inggris, lebih
menekankan hak para pihak tanpa batas.
Schnit zer
, dalam Handelingen Nederlandse Juristenvereniging, Marthijn Nijhof, Nederland, P.
106, mengatakan bahwa istilah lain dari part y
aut onomy adalah
recht skeuze, atau
choice of law ,
yang menurut Schnitzer istilah choice of law
lebih sesuai karena menggambarkan apa yang diartikan
dengan istilah hukum yang bersangkutan dalam hukum perdata internasional.
7
Kollew ijn, R.D , Rechtskeuse, Een Nederlandsch-
Indische Rechtspiegelvoorgehouden aan het
untuk memilih....bukanlah hak untuk mengatur sendiri–Terjemahan
Redaksi. Perkembangan masalah otonomi
para pihak ke arah kebebasan memilih hukum yang menjadi dasar
hubungan perjanjian para pihak sudah dipraktekkan sejak dahulu.
Otonomi para pihak secara konkrit baru dikenal kemudian. Dumolin
seorang ahli hukum Italia abad pertengahan mengemukakannya
berkenaan dengan masalah syarat- syarat perkaw inan huw elijks-
voorw aarden berkaitan dengan ide
kebebasan para pihak.
8
Di Perancis dan Nederland ajaran Dumolin ini telah tersebar.
Kebebasan para pihak untuk memilih hukum ini ternyata tidak
dibatasi untuk soal-soal perkaw inan, tetapi juga dibidang hukum
perjanjian diakui pilihan hukum oleh para pihak, baik secara tegas
maupun diam-diam, sebagai faktor yang menentukan. Namun demikian
belum tegas bagi para penulis saat itu tentang kebebasan untuk
memilih hukum apakah juga berlaku
International Privaatrecht.
Paul Scholt en
, Verzamelde Opstellen over Intergentiele
Privaatrecht Rechtsgeleerde Opstellen Aangeboden aan, Bandung, 1955, hlm. 4.
8
De w int er, L.J . op. cit, hal 23. Menurutnya
persoalan epoux meries sans cont rat
telah menjadi famossismo question dan Dumuolin sebagai ahli
hukum Perancis saat itu yang pertama-tama telah memberikan perumusan tegas daripada ide
kebebasan para pihak. Karenanya ia disebut sebagai
f ondat eur de la doct rine .
BULETIN HUKUM PERBANKAN DAN KEBANKSENTRALAN 4 Volum e 3 Nom or 3, Desem ber 2005
sebagai ketentuan yang bersifat mengikat dw ingend.
9
Choice of law pilihan hukum dalam
hukum perjanjian adalah kebebasan yang diberikan kepada para pihak
untuk memilih sendiri hukum yang hendak dipergunakan untuk
perjanjian mereka.
10
Tujuan penerapan pilihan hukum adalah
perlakuan sama untuk kasus serupa, dan pengembangan kepentingan,
tujuan dan kebijakan masyarakat. Ada beberapa alasan
memberlakukan pilihan hukum, yaitu memberlakukan klausula
pilihan hukum yang terdapat dalam kontrak pengakuan terhadap party
autonomy ,
11
mengesampingkan pilihan hukum, dan memberlakukan
klausula pilihan hukum sebagai penunjang, dan bukan faktor
penentu.
12
9
Abad ke 19 ajaran kebebasan memilih oleh para pihak ini semakin berkembang, dipergunakan
oleh para hakim, antara lain Von Savigny. Menurutnya bahwa hubungan hukum
ditampilkan dalam bentuk penundukan sukarela pada sesuatu stelsel hukum yang terjadi karena
dipilih
lex loci execut ions . Pilihan sedemikian ini
terutama terjadi secara diam-diam. Teori otonomi para pihak dikembangkan oleh Mancini, bahwa
otonomi para pihak merupakan salah satu dari hak asasi keseluruhan bangunan hukum perdata
internasional disamping prinsip nasionalitas dan kepentingan umum. Mancini menjadikan
kebebasan para individu untuk menentukan hukum bagi hubungan kontrak mereka, namun
kebebasan tersebut dibatasi oleh faham ketertiban umum.
10
Sudargo Gaut am a , op. cit, hal 5, lihat pula
Subekt i,
Hukum Perjanjian, Alumni Bandung, 1987, hal. 11.
11
Apabila hukum yang dipilih berhubungan erat dengan kontrak, dan tidak melanggar kebijakan
fundamental dari negara lain yang lebih besar kepentingannya terhadap keputusan pokok.
12
Dari berbagai putusan pengadilan di berbagai negara, dapat dilihat tidak ada perbedaan
prinsipil antara sistem hukum yang ada di dunia,
M anfaat pilihan hukum adalah memuaskan para pihak karena
menggunakan hak dasarnya, bersifat kepastian karena memungkinkan
para pihak dengan mudah menentukan hukumnya,
memberikan efisiensi dan manfaat. Dasar pertimbangan berlakunya
pilihan hukum atas pemikiran bahw a semua negara tidak memiliki sistem
hukum nasional yang sama. Apabila tidak ditentukan pilihan hukum,
maka diterapkan hukum privat nasional.
Pembahasan tentang party autonomy
ditampilkan dalam satu bahasan perkembangan praktek
bisnis internasional berkaitan dengan kontrak. Dikemukakan
dalam Pokja UNCITRAL, bahw a party autonomy
harus diakui dalam perjanjian baku perbankan, misalnya
perjanjian kredit antara bank sebagai kreditur dan debitur sebagai
penerima kredit. Klausula dalam perjanjian baku tersebut harus
bersifat perintah mandatory dalam rangka melindungi debitur sebagai
pihak yang melunasi kredit agar dapat membayar hutangnya sesuai
kesanggupannya, bila terjadi conflict of law
. Aspek-aspek lain yang dibahas
apabila terjadi conflict of law , antara lain tentang negotiable instrument
dan negotiable document
, disamping conflict of law . Apakah
seperti common law , social law
, dan anglo saxon
. Pengaturan pilihan hukum secara umum adalah
kebutuhan akan perlindungan dan kepastian para pihak dalam melakukan hubungan dagang yang
melewati batas wilayah.
BULETIN HUKUM PERBANKAN DAN KEBANKSENTRALAN 5 Volum e 3 Nom or 3, Desem ber 2005
dalam menyelesaikan sengketa para pihak hukum negara pihak
penanggung guarantor dapat sebagai tempat penyelesaiannya.
Selanjutnya disinggung pula substansi pengaturan berkaitan
dengan benda bergerak yang harus didaftarkan, dan intellectual
property yang sudah disetujui dalam
sidang sebelumnya sebagai security right intangible property
, yang akan dilanjutkan di New York.
Pembahasan yang dilakukan oleh Pokja Hukum UNCITRAL tersebut
merupakan pembahasan yang selama ini telah dilakukan, dan
sebagian sudah mencapai kesepakatan, antara lain E-
Commerce, the Use of Elect ronic Communications in International
Contracts, yang dibahas oleh Pokja
IV sebagai respon terhadap kebutuhan hukum berkaitan dengan
secured transaction , yang secara
efisien diharapkan mampu menghilangkan hambatan hukum
dan memberikan dampak positif terhadap kesediaan biaya bagi
kredit.
13
Pelaksanaan Sidang Working Group UNCITRAL yang diselenggarakan
tanggal 5-9 September 2005, membahas masalah security interest,
sesi ke 8 untuk draft rancangan ketentuan hukum secured
13
Sebagian besar masih dalam proses pembahasan. Substansi yang dibahas adalah
mengenai procurement
Pokja I, arbit rat ion
pokja II , t ransport law
Pokja III, insolvency law
Pokja V, dan securit y int erest
Pokja VI. Securit y
int erest oleh Pokja VI merupakan lanjutan
pembahasan pada sesi 7, diselenggarakan di New York pada tanggak 24-28 Januari 2005.
transaction , dengan fokus secured
credit law .
Pertimbangan pembahasan isu mengenai secured credit law ini
adalah merupakan respon terhadap kendala-kendala hukum yang timbul
dalam pelaksanaan penyediaan dan pembiayaan bank. Beberapa hasil
keputusan dalam pembahasan Working Group
VI tersebut adalah chapter IX tentang insolvency,
chapter X tentang acquisition financing
, dan chapter XI tentang conflict of law
. Diskusi terkait dengan conflict of law
antara lain menyinggung tentang bank account
rekening bank, dan security account
surat berharga. Kedua instrumen ini sulit dibedakan
dalam pelaksanaan fungsi bank sebagai pihak ketiga dalam melayani
nasabah. Security account berfungsi sebagai pemenuhan kew ajiban yang
diatur terakhir dalam Hague Convention lebih kompleks dari
bank account . Kesepakatan
pemanfaatan surat berharga sebagai pemenuhan kew ajiban mengikuti
perjanjian pokok, dan harus dibayar saat jatuh tempo oleh penerbit.
2. Choice of Law dan Ketertiban