BULETIN HUKUM PERBANKAN DAN KEBANKSENTRALAN 2 Volum e 3 Nom or 3, Desem ber 2005
Konvensi internasional sebagai model law
yang berlaku, pelaksanaan kontrak, antara lain di
bidang barang, seperti The Hague Convention on the Law Applicable
to Contracts of International Sale of Goods
1986.
5
Konvensi dibidang transaksi elektronik, pelaksanaan
fungsi pengaw asan pelaksanaan Konvensi New York 1958 tentang
recognation and enforcement of Foreign Arbital Aw ards,
dan sebagainya.
Dalam kenyataannya ketentuan hukum harmonisasi yang merupakan
model law saat ini sudah tidak
memadai dikaitkan dengan kegiatan-kegiatan bisnis
internasional, terutama yang menyangkut pelaksanaan
penyertaan modal, transaksi elektronik, pemberian kredit hak
dan kew ajiban para pihak dikaitkan dengan perjanjian baku, dalam
pelaksanaan fungsi bank sebagai penyedia dan penerima dana.
Lembaga internasional M ajelis Umum PBB, khususnya Komite VI
Hukum, melalui UNCITRAL, dalam mengantisipasi perkembangan yang
terjadi telah melakukan usaha mengumpulkan pendapat dan
kesepakatan negara anggota untuk membuat suatu konvensi yang
menjadi model atau rujukan dalam pembangunan rezim hukum
5
Konvensi ini menentukan bahwa hukum yang berlaku dalam suatu kontrak penjualan yang tidak
dipilih oleh para pihak adalah hukum tempat kedudukan bisnis penjual saat kontrak dibuat.
Pasal 13 menentukan bahwa apabila tidak ada pilihan hukum yang tegas maka berlaku hukum
negara pemeriksaan barang dilakukan.
perdagangan internasional dalam bentuk model law yang sesuai
kebutuhan saat ini, misalnya dalam kaitan dengan conflict of law yang
berhubungan erat dengan choice of law
pilihan hukum, yaitu hak para pihak untuk memilih hukum yang
berlaku apabila terjadi conflict of law
.
B. Permasalahan
1. Apa, dan bagaimana
pelaksanaan lembaga choice of law
, dalam pelaksanaan kontrak bisnis internasional
apabila terjadi conflict of law
? 2.
Apa permasalahan dan solusi penerapan choice of law
dalam pelaksanaan kontrak bisnis internasional apabila
terjadi conflict of law ?
C. Pembahasan
1. Perkembangan Choice of Law
dalam Kontrak Bisinis
Internasional
Hak dan kew ajiban para pihak yang menjadi dasar penyelesaian sengketa
mereka dalam conflict of law diistilahkan sebagai choice of law ,
dan ada pula yang mempergunakan party autonomy
. Istilah choice of law lebih pasti pengertiannya dari pada
party autonomy , sebagaimana
BULETIN HUKUM PERBANKAN DAN KEBANKSENTRALAN 3 Volum e 3 Nom or 3, Desem ber 2005
dikemukakan oleh Sudargo Gautama.
6
Istilah party autonomy
sering dipahami secara keliru misleidend
dalam Hukum Bisnis Internasional, sehingga menimbulkan pemikiran ke
arah yang sebenarnya tidak dicakup oleh istilah tersebut. Istilah
autonomy otonom mengandung
pengertian menentukan sendiri hukum yang harus berlaku bagi
mereka. Secara hukum para pihak tidak mempunyai kemampuan untuk
membuat sendiri undang-undang bagi mereka. Tidak ada kew enangan
untuk menciptakan hukum bagi para pihak yang berkontrak. M ereka
hanya diberikan kebebasan untuk memilih hukum mana yang mereka
kehendaki untuk diterapkan bagi kontrak yang mereka buat, dan
tidak diberikan kew enangan untuk secara otonom menentukan sendiri
hukum yang harus berlaku bagi mereka. Kolleew ijn mengemukakan
dalam kaitan ini: “Het is slechts kiesvrijheid...Niet het recht tot self-
regeling” .
7
Itu hanyalah kebebasan
6
Sudargo Gaut am a , Hukum Perdata
Internasional, Jilid II Bagian 4, Buku ke 5, Penerbit Alumni, Bandung, 1992, hal. 3. Menurut
Szaszy Schnit zer
, dalam Private International Law in European People’s Democraties, Leiden
Universiteit, Leiden, 1964, P. 211, bahwa part y
aut onomy Inggris dalam bahasa Belanda
part ij aut onomie, part eiaut onomie
Jerman atau part y
aut onomy int ent ion of t he part ies Inggris, lebih
menekankan hak para pihak tanpa batas.
Schnit zer
, dalam Handelingen Nederlandse Juristenvereniging, Marthijn Nijhof, Nederland, P.
106, mengatakan bahwa istilah lain dari part y
aut onomy adalah
recht skeuze, atau
choice of law ,
yang menurut Schnitzer istilah choice of law
lebih sesuai karena menggambarkan apa yang diartikan
dengan istilah hukum yang bersangkutan dalam hukum perdata internasional.
7
Kollew ijn, R.D , Rechtskeuse, Een Nederlandsch-
Indische Rechtspiegelvoorgehouden aan het
untuk memilih....bukanlah hak untuk mengatur sendiri–Terjemahan
Redaksi. Perkembangan masalah otonomi
para pihak ke arah kebebasan memilih hukum yang menjadi dasar
hubungan perjanjian para pihak sudah dipraktekkan sejak dahulu.
Otonomi para pihak secara konkrit baru dikenal kemudian. Dumolin
seorang ahli hukum Italia abad pertengahan mengemukakannya
berkenaan dengan masalah syarat- syarat perkaw inan huw elijks-
voorw aarden berkaitan dengan ide
kebebasan para pihak.
8
Di Perancis dan Nederland ajaran Dumolin ini telah tersebar.
Kebebasan para pihak untuk memilih hukum ini ternyata tidak
dibatasi untuk soal-soal perkaw inan, tetapi juga dibidang hukum
perjanjian diakui pilihan hukum oleh para pihak, baik secara tegas
maupun diam-diam, sebagai faktor yang menentukan. Namun demikian
belum tegas bagi para penulis saat itu tentang kebebasan untuk
memilih hukum apakah juga berlaku
International Privaatrecht.
Paul Scholt en
, Verzamelde Opstellen over Intergentiele
Privaatrecht Rechtsgeleerde Opstellen Aangeboden aan, Bandung, 1955, hlm. 4.
8
De w int er, L.J . op. cit, hal 23. Menurutnya
persoalan epoux meries sans cont rat
telah menjadi famossismo question dan Dumuolin sebagai ahli
hukum Perancis saat itu yang pertama-tama telah memberikan perumusan tegas daripada ide
kebebasan para pihak. Karenanya ia disebut sebagai
f ondat eur de la doct rine .
BULETIN HUKUM PERBANKAN DAN KEBANKSENTRALAN 4 Volum e 3 Nom or 3, Desem ber 2005
sebagai ketentuan yang bersifat mengikat dw ingend.
9
Choice of law pilihan hukum dalam
hukum perjanjian adalah kebebasan yang diberikan kepada para pihak
untuk memilih sendiri hukum yang hendak dipergunakan untuk
perjanjian mereka.
10
Tujuan penerapan pilihan hukum adalah
perlakuan sama untuk kasus serupa, dan pengembangan kepentingan,
tujuan dan kebijakan masyarakat. Ada beberapa alasan
memberlakukan pilihan hukum, yaitu memberlakukan klausula
pilihan hukum yang terdapat dalam kontrak pengakuan terhadap party
autonomy ,
11
mengesampingkan pilihan hukum, dan memberlakukan
klausula pilihan hukum sebagai penunjang, dan bukan faktor
penentu.
12
9
Abad ke 19 ajaran kebebasan memilih oleh para pihak ini semakin berkembang, dipergunakan
oleh para hakim, antara lain Von Savigny. Menurutnya bahwa hubungan hukum
ditampilkan dalam bentuk penundukan sukarela pada sesuatu stelsel hukum yang terjadi karena
dipilih
lex loci execut ions . Pilihan sedemikian ini
terutama terjadi secara diam-diam. Teori otonomi para pihak dikembangkan oleh Mancini, bahwa
otonomi para pihak merupakan salah satu dari hak asasi keseluruhan bangunan hukum perdata
internasional disamping prinsip nasionalitas dan kepentingan umum. Mancini menjadikan
kebebasan para individu untuk menentukan hukum bagi hubungan kontrak mereka, namun
kebebasan tersebut dibatasi oleh faham ketertiban umum.
10
Sudargo Gaut am a , op. cit, hal 5, lihat pula
Subekt i,
Hukum Perjanjian, Alumni Bandung, 1987, hal. 11.
11
Apabila hukum yang dipilih berhubungan erat dengan kontrak, dan tidak melanggar kebijakan
fundamental dari negara lain yang lebih besar kepentingannya terhadap keputusan pokok.
12
Dari berbagai putusan pengadilan di berbagai negara, dapat dilihat tidak ada perbedaan
prinsipil antara sistem hukum yang ada di dunia,
M anfaat pilihan hukum adalah memuaskan para pihak karena
menggunakan hak dasarnya, bersifat kepastian karena memungkinkan
para pihak dengan mudah menentukan hukumnya,
memberikan efisiensi dan manfaat. Dasar pertimbangan berlakunya
pilihan hukum atas pemikiran bahw a semua negara tidak memiliki sistem
hukum nasional yang sama. Apabila tidak ditentukan pilihan hukum,
maka diterapkan hukum privat nasional.
Pembahasan tentang party autonomy
ditampilkan dalam satu bahasan perkembangan praktek
bisnis internasional berkaitan dengan kontrak. Dikemukakan
dalam Pokja UNCITRAL, bahw a party autonomy
harus diakui dalam perjanjian baku perbankan, misalnya
perjanjian kredit antara bank sebagai kreditur dan debitur sebagai
penerima kredit. Klausula dalam perjanjian baku tersebut harus
bersifat perintah mandatory dalam rangka melindungi debitur sebagai
pihak yang melunasi kredit agar dapat membayar hutangnya sesuai
kesanggupannya, bila terjadi conflict of law
. Aspek-aspek lain yang dibahas
apabila terjadi conflict of law , antara lain tentang negotiable instrument
dan negotiable document
, disamping conflict of law . Apakah
seperti common law , social law
, dan anglo saxon
. Pengaturan pilihan hukum secara umum adalah
kebutuhan akan perlindungan dan kepastian para pihak dalam melakukan hubungan dagang yang
melewati batas wilayah.
BULETIN HUKUM PERBANKAN DAN KEBANKSENTRALAN 5 Volum e 3 Nom or 3, Desem ber 2005
dalam menyelesaikan sengketa para pihak hukum negara pihak
penanggung guarantor dapat sebagai tempat penyelesaiannya.
Selanjutnya disinggung pula substansi pengaturan berkaitan
dengan benda bergerak yang harus didaftarkan, dan intellectual
property yang sudah disetujui dalam
sidang sebelumnya sebagai security right intangible property
, yang akan dilanjutkan di New York.
Pembahasan yang dilakukan oleh Pokja Hukum UNCITRAL tersebut
merupakan pembahasan yang selama ini telah dilakukan, dan
sebagian sudah mencapai kesepakatan, antara lain E-
Commerce, the Use of Elect ronic Communications in International
Contracts, yang dibahas oleh Pokja
IV sebagai respon terhadap kebutuhan hukum berkaitan dengan
secured transaction , yang secara
efisien diharapkan mampu menghilangkan hambatan hukum
dan memberikan dampak positif terhadap kesediaan biaya bagi
kredit.
13
Pelaksanaan Sidang Working Group UNCITRAL yang diselenggarakan
tanggal 5-9 September 2005, membahas masalah security interest,
sesi ke 8 untuk draft rancangan ketentuan hukum secured
13
Sebagian besar masih dalam proses pembahasan. Substansi yang dibahas adalah
mengenai procurement
Pokja I, arbit rat ion
pokja II , t ransport law
Pokja III, insolvency law
Pokja V, dan securit y int erest
Pokja VI. Securit y
int erest oleh Pokja VI merupakan lanjutan
pembahasan pada sesi 7, diselenggarakan di New York pada tanggak 24-28 Januari 2005.
transaction , dengan fokus secured
credit law .
Pertimbangan pembahasan isu mengenai secured credit law ini
adalah merupakan respon terhadap kendala-kendala hukum yang timbul
dalam pelaksanaan penyediaan dan pembiayaan bank. Beberapa hasil
keputusan dalam pembahasan Working Group
VI tersebut adalah chapter IX tentang insolvency,
chapter X tentang acquisition financing
, dan chapter XI tentang conflict of law
. Diskusi terkait dengan conflict of law
antara lain menyinggung tentang bank account
rekening bank, dan security account
surat berharga. Kedua instrumen ini sulit dibedakan
dalam pelaksanaan fungsi bank sebagai pihak ketiga dalam melayani
nasabah. Security account berfungsi sebagai pemenuhan kew ajiban yang
diatur terakhir dalam Hague Convention lebih kompleks dari
bank account . Kesepakatan
pemanfaatan surat berharga sebagai pemenuhan kew ajiban mengikuti
perjanjian pokok, dan harus dibayar saat jatuh tempo oleh penerbit.
2. Choice of Law dan Ketertiban
Umum
Ketertiban umum dan choice of law merupakan dua asas hukum sangat
penting dalam conflict of law . Para ahli beranggapan bahw a ketertiban
umum berfungsi sebagai lembaga yang membatasi kebebasan para
BULETIN HUKUM PERBANKAN DAN KEBANKSENTRALAN 6 Volum e 3 Nom or 3, Desem ber 2005
pihak dalam menentukan choice of law
yaitu memilih hukum yang berlaku bagi mereka apabila terjadi
sengketa. Hijman mengatakan dalam bidang
perdata internasional masih didiskusikan tentang seberapa
jauhkah arti dari hak para pihak dalam menentukan hukum bagi
mereka. Apakah keinginan para pihak memiliki peranan dalam
menentukan hukum yang harus diperlakukan. Berkaitan dengan
partij-autonomie dikatakan bahw a
“ M et dit vragstuk raak ik een hoofdproblemen, van het geheele
privaatrecht: de betekenis van den menselijken w il voor het recht”
. Dengan pertanyaan ini sampailah
saya pada masalah yang utama dari keseluruhan hukum perdata: arti
dari keinginan manusia terhadap hukum–Terjemahan Redaksi
Choice of law sangat penting
dihubungkan dengan ketertiban umum, yang bila dilihat dari sudut
pandang falsafah peranan kemauan individu terhadap hukum yang
berlaku w ildogma
dan ajaran Romaw i. Persoalan pilihan hukum
dalam bidang bisnis internasional menampilkan unsur-unsur falsafah
hukum, mengandung pula segi-segi teori hukum, praktek hukum dan
politik hukum, yang oleh Kosters disebut sebagai de hoek steen van
het rechtstelsel batu penjuru dari
suatu sistem hukum-Terjemahan Redaksi.
Pendekatan semacam ini dapat mempengaruhi pandangan ke arah
falsafah tentang sejauh manakah peranan kemauan individu terhadap
hukum yang berlaku, atau dalam hukum romaw i mengenai animus,
voluntas, consentire , yang
substansinya tidak diuraikan lebih jauh dalam tulisan ini. Persoalannya
adalah dalam menentukan haknya bila terjadi conflict of law .
Para ahli dibidang bisnis internasional mengakui bahw a
secara empiris prinsip pilihan hukum dibidang kontrak dipergunakan di
dunia tanpa mempersoalkan pandangan secara dogmatis yang
dikemukakan para ahli. Pelaksanaannya lebih didasarkan
pada pertimbangan dari segi prinsip- prinsip ekonomi, dan hukum,
berkaitan dengan batas-batas kew enangan choice of law . Batas
kew enangan choice of law dapat dilakukan secara tidak terbatas, atau
dibatasi hanya dalam hal-hal tertentu, yaitu tentang hukum
manakah yang berlaku bagi kontrak yang disepakati para pihak, dan
sejauh manakah para pihak dapat menentukan sendiri hukum yang
dipergunakan bagi hubungan hukum mereka, dan apabila para
pihak tidak menggunakan haknya untuk memilih hukum yang berlaku
bagi mereka maka hukum manakah yang menjadi dasar pelaksanaan
kontrak mereka. Ketentuan apakah yang pantas
diterapkan apabila para pihak tidak mempergunakan haknya dalam
BULETIN HUKUM PERBANKAN DAN KEBANKSENTRALAN 7 Volum e 3 Nom or 3, Desem ber 2005
menentukan pilihan hukum, dan apabila menggunakannya hak
tersebut ditinjau dari sifat kebebasan untuk menentukan sendiri hukum
yang berlaku bagi para pihak yang berkontrak sesuai dengan logika
atau bertentangan dengan sifat memaksa dw ingend dari ketentuan
peraturan perundang-undangan. Juga merupakan persoalan apakah
para pihak bebas dalam pilihan mereka atau sangat terbatas dalam
kemampuan mereka ini. Apakah para pihak dapat menentukan
kaidah-kaidah tertentu tunduk atau berlaku hanya terhadap bagian-
bagian tertentu dalam kontrak, sehingga dalam satu kontrak
terdapat beberapa kaidah yang menjadi dasar penundukan
sebagian tunduk kepada hukum tertentu, sedangkan bagian lainnya
dari kontrak tunduk kepada hukum lain perlu diamati secara tersendiri.
Berkaitan dengan substansi ini, Rabel yang mendukung prinsip
kebebasan memilih hukum mengatakan bahw a para pihak
berhak menentukan hukum yang berlaku dalam kontrak mereka.
14
Secara empiris dapat dilihat pada hasil penelitian terhadap keputusan
M ahkamah Agung Internasional, dan badan-badan arbitrase
14
Rabel, dalam Sudargo Gautama, op.cit, hal 122, mengatakan bahwa “despite some the parties to a
contract have a right to determine the law applicable to their contractual relationship only
the limits may be controversial. Hence the recent literature interest it self more in the limits to
imposed upon the autonomy of the parties intention than in challenging its existence”.
internasional tentang adanya pengakuan terhadap hak pilihan
hukum bagi para pihak the principle of the importance of the intention of
the parties has been adopted by most courts and publicits
. Sudargo Gautama mengemukakan pendapat
Winter dalam suatu karangan khusus mengenai peranan yang
memaksa pada perjanjian-perjanjian internasional tentang penerimaan
pilihan hukum oleh para pihak berkenaan dengan dilakukannya
kontrak-kontrak internasional.
15
Ketertiban umum memiliki beberapa fungsi dihubungkan dengan choice
of law , pertama; sebagai rem atau
penghambat, yaitu membatasi diberlakukannya hukum asing dalam
hal-hal tertentu. Kedua; untuk menghalangi kebebasan hak
otonomi para pihak dalam menentukan berlakunya hukum
dalam kontrak mereka. Ketiga; sebagai elemen yang membatasi
berlakunya stelsel hukum asing yang tidak sesuai dengan stelsel hukum
dari hakim yang mengadili sengketa para pihak; dan keempat; sebagai
perlindungan terhadap pemakaian otonomi hak para pihak dalam
choice of law yang terlampau luas.
Fungsi ketertiban umum tersebut secara empiris terdapat di Cina.
Ketentuan hukum Cina melarang
15
De Winter, LJ, Dwingen Recht bij Internasionale Overeenkomsten, University of Leiden, Marthijn
Nijhof, Nederland, 1964, hal 329-331. “ Deze
opvat t ing, die aanvankelijk op bezw aren van dogmat ische aard st uit t e, w ordt t hans in
vrijw ealle landen zow el in de recht spraak als de w et enschap aanvaard”
BULETIN HUKUM PERBANKAN DAN KEBANKSENTRALAN 8 Volum e 3 Nom or 3, Desem ber 2005
pelaksanaan choice of law dalam kontrak bisnis yang terkait dengan
teknologi. Ketentuan hukum yang dipergunakan adalah hukum Cina.
Ketentuan yang ditetapkan oleh M enteri Perdagangan dan Ekonomi
Cina itu mengenai kebijakan impor teknologi di RRC.
16
Oleh karena itu menurut Niboyet, salah satu ahli
yang menentang otonomi para pihak, mengatakan bahw a apabila
istilah otonomi dipergunakan perlu membatasi pengertiannya, misalnya
dalam bentuk definisi untuk menghindari pelaksanaan yang
luas.
17
Caleb menyebut ketertiban umum atau openbare orde Belanda, dan
ordre public Perancis, sebagai
pembatasan utama kebebasan untuk melaksanakan kemauan
seseorang dalam bidang kontrak untuk menghindari terjadinya
penyelundupan hukum. Penyelundupan hukum itu dapat
dilakukan melalui perubahan titik taut yang menentukan dalam proses
hukum yang dipakai sebagai dasar dalam penyelesaian suatu peristiw a
16
Douglas C. Markel dan Randy Peerenboom. The Technology Transfer Tango, The China Business,
January-February 1997, P. 25.
17
Niboyet, dalam Subekti, op.cit. hal. 12 Volker Triebel dalam The Choice of Law in Commercial
Relations, A German Prespective, International and Comparative Law Quarterly, Vol. 37, October
1988, P. 939, mengemukakan bahwa di negara- negara lain antara lain Jerman membentuk
undang-undang yang membatasi
part y aut onomy ,
yaitu t he act on t he regulat ion of st andardized
cont ract . Pilihan hukum para pihaktidak boleh
mengabaikan peraturan perundang-undangan yang berlaku, apabila kontrak bersifat publik,
misalnya public of f er
, public advert ising
di Jerman.
hukum. Peranan subyektif dengan jalan memindahkan atau mengubah
titik-titik taut penentu ke arah stelsel hukum lain yang dikendaki dapat
berakibat terjadinya penyelundupan hukum ini.
Penyelundupan hukum adalah penggeseran titik-titik pertalian
obyektif yang menentukan titik pertalian sekunder. Para pihak
melakukan perubahan domicilie, atau menutup kontrak di luar negeri,
atau memilih tempat pelaksanaan lex loci executionis di luar negeri.
Secara hukum, pilihan hukum dapat dilakukan dengan titik pertalian
yang bersifat obyektif, seperti misalnya kew arganegaraan lex
patriea , domisili lex domicilie,
tempat letaknya benda lex rei sitae, tempat kontrak dilaksanakan lex
loci contractus , dan sebagainya.
Untuk menghindari terjadinya penyelundupan hukum, melalui
sikap pihak bersangkutan secara sew enang-w enang memilih hukum
yang dibalut kepentingan menguntungkan dirinya sendiri, dan
bukan hukum yang berlaku di negara salah satu pihak yang
melakukan kontrak, maka diterapkan persyaratan secara
tegas.
18
18
Yurispudensi negara-negara dengan sistem hukum Anglo Saxon sangat tegas menerapkan
persayaratan ini. Misalnya dalam hukum Inggris, sebagai jawaban atas pertanyaan yang telah
diajukan oleh pemerintah Belanda berhubung dengan Konfrensi ke-6 di Den Haag mengenai jual
beli internasional telah dikemukakan antara lain: “
The view adopt ed in English Law is t hat a cont ract ought t o be governed and is governed by
t he law or law s t o w hich t he part ies int ended t o summit t hemselves. When t he part ies expressly
BULETIN HUKUM PERBANKAN DAN KEBANKSENTRALAN 9 Volum e 3 Nom or 3, Desem ber 2005
Jika dilakukan perbuatan bersangkutan di tempat tertentu,
maka pilihan tempat ini tidak dengan sengaja dipilih dengan
maksud untuk melakukan penyelundupan. Rabel
mengemukakan “ the place should not be intentionaly selected for the
purpose of evasion ” , dalam berbagai
sistem hukum tertentu disyaratkan bahw a pemilihan hanya dapat
dilakukan mengenai hukum yang benar-benar mempunyai hubungan
nyata dengan peristiw a hukum yang bersangkutan.
Pemilihan hanya terhadap hukum yang ada hubungan tertentu dengan
kontrak bersangkutan. Persyaratan di atas merupakan usaha untuk
menghindari kemungkinan pilihan hukum berubah menjadi
penyelundupan hukum. Dalam hubungan ini dapat ditunjuk pada
perkara-perkara riba, yang seringkali terjadi pada Yurispudensi USA
tentang perbedaan “ rate” bunga dan syarat-syaratnya di berbagai
negara bagian, mengakibatkan terjadinya penyelundupan hukum
dengan jalan pilihan-hukum. Dalam hal ini Hakim berpendirian bahw a
pilihan hukum hanya dapat diterima, jika hukum yang dipilih merupakan
hukum domisili sebenarnya para pihak dan kontrak ditutup, sekaligus
st ipulat e t hat t heir cont ract shall be governed by t he cont ract , provided t hat t he st ipulat ion express
t he bonaf ide int ent ion of t he part ies. But a cont ract w ill not be enf orced in England, w het her
law f ul by t he law w hich t he part ies int ended t o be applicable or not , 1 if it or t he enf orcement of it
is opposed in English int erest s of st at e, or t o t he police of t he English law , or t he moral rules
upheld by English law…”
dianggap dibuat, dan dilaksanakan dan dilakukannya pembayaran.
19
3. Choice of Law Dalam Praktek
Perbankan Secara empiris putusan hakim
Indonesia yang berkaitan dengan choice of law
dalam perkembangannya jarang
ditemukan, disebabkan perkara- perkara yang diajukan ke pengadilan
Indonesia pada umumnya kurang dipermasalahkan pilihan hukum oleh
para pihak, demikian pula terdapat sebagaian besar hukum Indonesia
yang mengatur pembatasan pilihan hukum, yang berdampak kepastian
hukum. Kenyataan dapat disimak sejak
dahulu, bahw a dalam praktik choice of law
terdapat pembatasan pemberian hak terhadap para pihak.
Sebelum kemerdekaan dapat dilihat dalam kasus “ Tijdschrift van het
Recht” , diputuskan hakim Indonesia
berkaitan dengan sistem choice of law
, atau rectskeuze yaitu Arrest dari Hoogerechtshof
tahun 1935, tentang penggunaan w esel yang
telah diendosir kepada order dari
19
Sudargo Gautama, op. cit hal 123. Niboyet yang dikutip oleh Sudargo Gautama menegaskan
bahwa penunjukan kepada hukum intern negera bersangkutan yang dapat diterima. Jika diakui
adanya kewenangan untuk memilih hukum disatu pihak, maka tidaklah pada tempatnya bahwa
hukum yang dipilih ini kemudian kembali menunjuk kepada hukum lain sebagai hukum
yang akan memecahkan sengketa yang bersangkutan. Jika demikian halnya, maka ini
akan merupakan suatu kontradiksi dengan pikiran mengenai otonomi.
BULETIN HUKUM PERBANKAN DAN KEBANKSENTRALAN 10 Volum e 3 Nom or 3, Desem ber 2005
dan diserahkan kepada Barclay’s Bank Limited.
Kasus Zecha v. Samuel Jones Co Export Ltd, Pedagang Lois Zecha
yang bertempat tinggal di Sukabumi dan pedagang dengan merek
dagang “ Soekaboemische
Snelpersdrukkerij ” telah digugat
oleh perusahaan Inggris Samuel Jones Co Export Ltd,
berkedudukan di London, untuk membayar 12 w esel yang telah
ditarik oleh perusahaan George M an Co Limited di London pada
ordernya sendiri atas tergugat Zecha, w esel-w esel tersebut telah
diaksep oleh George M an Co Limited, sebagian dari w esel-w esel
ini telah diendosir kepada order dan diserahkan kepada Barclay’s Bank
Limited, yang kemudian diedarkan kepada pihak lain, dan setelah jatuh
tempo pihak Zecha tidak bersedia membayar.
20
M enurut pertimbangan Hooggerechtshof para pihak saat
melakukan perbuatan-perbuatan tersebut adalah agar hukum
Indonesia yang diberlakukan. Para pihak telah memilih hukum
20
Sudargo Gautama, op.cit 211. Sebagai alasan dikemukakan bahwa tuntutan berdasar wesel-
wesel ini tidak beralasan, justru pihak Zecha yang mempunyai gugatan penggantian kerugian
setelah wanprestasi oleh pihak Mann Co, berdasarkan jual beli mesin, karena mesin
tersebut rusak dan tidak dapat dipergunakan, berakibat telah ditarik wesel-wesel tersebut. Pihak
Jones sudah mengetahui lebih dahulu sebelum mengambil alih wesel-wesel tersebut.
Pengambilalihan wesel-wesel oleh Jones ini juga semata-mata merupakan suatu perbuatan pura-
pura
schijnhandeling karena sebenarnya cessie-
cessie bersangkutan hanya dilakukan supaya lebih mudah pihak Mann Co dapat memperoleh
jumlah yang dituntutnya.
Indonesia sebagai sistem hukum yang bersangkutan yang harus
dipergunakan.
21
Walaupun dari kasus ini ternyata bahw a cessie bersangkutan telah
dilakukan di London, dihadapan Notaris Jhon Dalton Venn, yang
berpraktik di kota itu. Hooggerechtshof beranggapan
bahw a hukum Indonesia yang berlaku. Dalam hal ini terlihat bahw a
Hooggerechtshof tidak mempertimbangkan
lex loci contractus
sebagai yang menentukan, dan kemampuan para
pihak yang lebih diutamakan pada tempat dimana akta dibuat.
Dengan mempergunakan hukum Indonesia, Hooggerchtshof
berpendirian bahw a akta-akta cessie yang dibuat mempunyai titel yang
sah karena ternyata cessie dan peralihan hak yang bersangkutan
telah terjadi dengan pembayaran oleh pihak Jones kepada Barclay’s
Bank dari jumlah yang ditagih oleh Jones dari Zecha, dan cessie
semacam ini dianggap berlaku menurut ketentuan-ketentuan
hukum Indonesia. Peranan ketertiban umum dalam
penentuan choice of law
diefektifkan dalam memutuskan
21
Pertimbangan Hooggerechtshof untuk mengetahui apakah yang merupakan kehendak
para pihak saat membuat perjanjian itu, berbunyi sebagai berikut:
“ de grief den hove gegrond voorkomt , Immers en het f eit dat de akt en in de
Nederlandsche t aal zijn gest eld en ook den inhound van de akt en erop w ijzen, dat zow el de
cedens als de cessionaries de t oepasselijkheid van het Nederlansch-indisch recht voor oogen st ond”
.
BULETIN HUKUM PERBANKAN DAN KEBANKSENTRALAN 11 Volum e 3 Nom or 3, Desem ber 2005
kasus-kasus oleh pengadilan dan M ahkamah Agung di negara-negara
di dunia, misalnya di Amerika Serikat.
Dalam perkara First National Bank vs Banco Pere El Commercio Exiterior
de Cuba,
22
tahun 1983, M ahkamah Agung Amerika Serikat, telah
menggunakan pilihan hukum dan ketertiban umum dalam
menentukan kasus nasionalisasi property yang dilakukan Cuba
bertentangan dengan ketertiban umum, yaitu tidak sesuai dengan
hukum yang berlaku dan situasi yang terjadi.
Putusan M ahkamah Agung mengijinkan “ Citibank’s set off,
advancing both equitable principles and United States public policy” .
Pengadilan di Amerika Serikat menghormati pilihan hukum para
pihak dalam kontrak internasional, namun mempergunakan konsep
ketertiban umum public policy sebagai suatu alat yang mengizinkan
forum pengadilan untuk mengabaikan penerapan hukum
asing yang tidak sesuai. David Cliffort mengatakan bahw a
pembenaran klasik penggunaan konsep
public policy terhadap
pilihan hukum, yaitu penerapan dalam tradisi kesejahteraan umum.
23
22
Yansen Dermawan Latief, Disertasi, Pilihan
Hukum dan Pilihan Forum Dalam Kont rak Int ernasiona
l, Universitas Indonesia, Fakultas Hukum, Program Pascasarjana, Jakarta 2002, 67-
72.
23
David Cliffort, “Transnational Public Policy as a Factor in Choice of Law Analisis”, New York Law
School of Journal of International and Comparative Law; 1984, 5 No. 2 3, P 367.
Pembatasan terhadap pilihan hukum para pihak diatur dalam Pasal 187
2 b The Restatement second, yang menentukan pengadilan
mengikuti hukum para pihak, kecuali bertentangan dengan
kebijaksanaan mendasar dari negara yang mempunyai hubungan lebih
erat dengan pilihan hukum yang telah dilakukan.
24
Klausula pilihan hukum memang secara esensi memberikan para
pihak kecakapan untuk mengeluarkan suatu peraturan
“ illegalit y” atas kontrak dan
mengesampingkan hukum, namun the restatement
juga menentukan pembatasan-pembatasan.
The Restatement’s “ fundamental policy”
dan “ materially greater interest test” adalah suatu versi modifikasi dari
pendekatan analisis kepentingan interest analisis.
25
24
Ari Dobnert, “Litigation for Sale “University of Pennsylvania Law Review. V. 144:1529. Ia
mengemukakan bahwa application of the law of chosen state would be contrary to a fundamental
policy of state which has a materially greater interest than the chosen state in the
determination of the particular issue and which, under the rule of 188, would be the state of
applicable law in the absence of an effective choice of law by the parties.
25
Joint venture antara warga negara Cuba dan perusahaan-perusahaan Amerika Serikat telah
menanamkan modal di Cuba. Dalam pelaksanaannya beberapa bank, termasuk
Citibank telah membuka cabang di Cuba untuk melancarkan usahanya termasuk dana investasi,
namun demikian, akibat politik, hubungan Cuba dan Amerika Serikat semakin sulit saat itu.
Amerika Serikat melakukan ketentuan melarang impor gula dari Cuba. Untuk menanggulangi
persoalan bisnis, pemerintah Cuba mengeluarkan peraturan menasionalisasi seluruh
propert y dari
penduduk Amerika Serikat di Cuba. Cuba mengatakan bahwa Banco National mempunyai
suatu “ legal personalit y and w as a separat e
juridical ent it y. Banco Nat ional capable of suing and being sued”
. Bank hanya bertanggung jawab
BULETIN HUKUM PERBANKAN DAN KEBANKSENTRALAN 12 Volum e 3 Nom or 3, Desem ber 2005
Indonesia menganut kedua asas tersebut, baik asas kebebasan
berkontrak maupun ketertiban umum, atas dasar Pasal 1337
KUHPerdata, bahw a suatu sebab terlarang apabila bertentangan
dengan undang-undang, kesusilaan atau ketertiban umum, demikian
pula Pasal 25 AB, bahw a perbuatan atau perjanjian tidak boleh
menghilangkan kekuatan peraturan hukum, ketentuan umum atau
kesusilaan. Pasal 17 AB mengatur tentang barang tidak bergerak
berlaku hukum nasional di tempat barang itu terletak sesuai dengan
asas lex rei sitae. Bagi tanah yang dijadikan jaminan harus didaftarkan
pada kantor pertanahan, dalam perjanjian antara kreditur asing dan
debitur Indonesia.
26
Demikian pula ketentuan UU Kepailitan
menentukan penyelesaian kepailitan berdasarkan hukum Indonesia, dan
bukan pilihan hukum para pihak. Ketentuan UU Kepailitan
mengabaikan pilihan hukum para
terhadap modal dan aset, dan bukan merupakan tanggung jawab pemerintah Cuba atas utang
Banco National. Revolusi Cuba mengakibatkan perubahan
ekonomi, sosial dan politik, “ t here w as a st udied
ef f ort t o preserve a cont inued corporat e exist ence, w hile reorganizing t he Cent ral Bank t o
conf orm it t o t he new order” . Dengan demikian
terjadi perubahan signifikan. Pert ama
, seluruh Banco National dimiliki dan dikontrol oleh
pemerintah Cuba. Kedua
, nasionalisasi secara khusus terhadap property beberapa bank Amerika
Serikat, termasuk Citibank. Dalam sengketa, Citibank dimenangkan atas dasar ketertiban
umum.
26
St Remy Sjahdeni, Hak Tanggungan, Asas-asas Ketentuan Pokok dan Masalah Perbankan.
Pemberian hak tanggungan wajib didaftarkan pada Kantor Pertanahan untuk lahirnya hak
tanggungan, dan untuk mengikatnya pada pihak ketiga, Bandung, Penerbit Alumni, Hal 36-44.
pihak dalam kontrak bisnis internasional, dan menerapkan
hukum Indonesia dalam penyelesaian sengketa insolvensi,
dan penundaan pembayaran utang melalui kew enangan khusus, berupa
yurisdiksi substantif yang efektif, berdasarkan Pasal 2 dan Pasal 3 UU
No. 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan
Pembayaran Utang. Berdasarkan uraian di atas maka
dapat disimpulkan bahw a pelaksanaan choice of law dalam
conflict of law memberikan hak
kepada para pihak untuk menentukan hukum yang berlaku
bagi bisnisnya. Hakim negara-negara di dunia menghormati pilihan
hukum para pihak. Namun demikian ada pembatasannya, melalui
penerapan asas ketertiban umum, misalnya berdasarkan UU nasional
pelaksanaan kontrak, misalnya di Indonesia UU Kepailitan yang
menentukan berlakunya hukum nasional dalam penyelesaian conflict
of law . Apabila hukum yang dipilih
tidak mempunyai hubungan yang substantif dengan transaksi dan
tidak memiliki alasan yang cukup bagi pilihan hukum para pihak,
maka hakim akan menentukan hukum manakah yang berlaku.
Hukum negara hakim yang mengadili dapat menjadi dasar
penyelesaiannya apabila hukum yang dipilih para pihak tidak dapat
diterapkan dalam sengketa yang terjadi.
BULETIN HUKUM PERBANKAN DAN KEBANKSENTRALAN 13 Volum e 3 Nom or 3, Desem ber 2005
DAFTAR PUSTAKA
Cliffort, David. Transnational Public Policy as a Factor in Choice of Law . Harvard University Press, 1979. School of Journal of International and comparative
Law , 1984, 5 No. 2 3, P. 367. Dobnert, Ari. Litigation for Sale. University of Pennsylvania Law Review . V. 144:
1529. Gautama, Sudargo. Hukum Perdata Internasional. Jilid II Bagian 4. Buku ke 5.
Bandung: Alumni, 1992. Kolew ijn, RD. Rechtskeuse Een Nederlandsch Indische Rechtspiegelvoorge
houden aan het International Privaatrecht. Nederland, M arthijn Nijhof,
1969. LJ, De Winter. Dw ingen Recht bij Internationale Overeenkomsten. Leiden,
University of Leiden, M arthijn Nijhof, Nederland, 1964. Schnitzer, dalam Handelingen Nederlandse Juristenvereeniging. M arthijn Nijhof,
Nederland, 1999. Scholten, Paul. Verzamelde Opstellen over intergentiele Privaatrecht Rechtsgeleer
de Opstellen Aangeboden aan . Bandung, 1955.
Sjahdeini, St Remy. Hak Tanggungan, Asas-asas, Ketentuan dan Pokok dan M asalah Perbankan.
Bandung: Alumni, 1999. Subekti. Hukum Perjanjian. Jakarta: Pustaka Djembatan, 1982.
Szaszy Schnitzer. Private International Law in European People’s Democraties.
Leiden, Leiden Universiteit, 1964. Triebel, Volker. The Choice of Law Commercial Relations, A German Perspective,
International and Comparative Law Quarterly , Vol 37, October 1988.
Yansen Demaw an Latief. Disertasi, Pilihan Hukum dan Pilihan Forum Dalam Kontrak Internasional
. Jakarta: Fakultas Hukum Program Pascasarjana, Universitas Indonesia, 2002.
BULETIN HUKUM PERBANKAN DAN KEBANKSENTRALAN
14 Volum e 3 Nom or 3, Desem ber 2005
KETERKAITAN PERBANKAN DALAM TRANSAKSI WAREHOUSE RECEIPT
1
Oleh: Dr. Ramlan Ginting, S.H., LL.M
2
Transaksi w arehouse receipt telah banyak dilakukan baik di negara
maju seperti Amerika dan Kanada maupun di negara berkembang
seperti Philipina, India, Ukraine, Brazil, Zambia serta di negara
dengan perekonomian dalam transisi transition country seperti Poland.
Transaksi w arehouse receipt
ini melibatkan
depositor producer,
farmer group, trader, exporter, processor or individual
dan w arehouse operator collateral
manager .
Depositor yang
menyimpan komoditi pada w arehouse
akan menerima w arehouse receipt
dari w arehouse operator
. Warehouse receipt adalah dokumen yang membuktikan
komoditi tertentu dengan jumlah, kualitas dan grade tertentu telah
disimpan oleh depositor pada sebuah w arehouse.
Dalam implementasi transaksi w arehouse receipt
dilibatkan juga lembaga lain seperti perusahaan
asuransi kerugian, perusahaan penjamin perusahaan asuransi dan
surety company , perusahaan kliring
komoditi dan perbankan. Dalam tulisan ini fokus pembahasan
adalah berkenaan dengan keterkaitan perbankan dalam
transaksi w arehouse receipt.
W arehouse Receipt sebagai
Dasar Pembiayaan Perbankan
Warehouse receipt dapat digunakan
sebagai dokumen yang berfungsi sebagai
collateral untuk
mendapatkan pembiayaan modal kerja dari perbankan financing
bank yang besarnya tergantung
pada penilaian financing bank atas w arehouse receipt
tersebut. Kepercayaan
financing bank terhadap w arehouse receipt sudah
pasti sangat ditentukan oleh reputasi w arehouse operator
yang menerbitkan w arehouse receipt itu.
Dalam upaya mengoptimalkan kepercayaan
financing bank terhadap w arehouse receipt adalah
sangat w ajar jika w arehouse receipt tersebut mendapatkan penjaminan
dari lembaga penjamin yang selain perusahaan asuransi dan surety
company dapat juga dilakukan oleh
perbankan dengan menerbitkan jaminan bank.
1
Paper disampaikan pada Seminar Nasional Sistem Resi Gudang tanggal 15 November 2005 di Hotel Sangrila Jakarta.
2
Deputi Direktur Direktorat Hukum Bank Indonesia.
BULETIN HUKUM PERBANKAN DAN KEBANKSENTRALAN
15 Volum e 3 Nom or 3, Desem ber 2005
Jaminan bank ini dapat berupa Standby Letter of Credit
yang tunduk pada ketentuan International
Standby Practices 1998 ISP98 atau Demand Guarantee
yang tunduk pada ketentuan Uniform Rules of
Demand Guarantees URDG atau Bank Garansi yang berlaku di
Indonesia yang didasarkan pada Pasal 1820-1850 Kitab Undang-
Undang Hukum Perdata. Dalam hal ini, jaminan bank
merupakan dokumen yang menjamin kebenaran isi dari sebuah
w arehouse receipt . Pengajuan
penerbitan jaminan bank kepada bank dilakukan oleh w arehouse
operator yang menerbitkannya.
Jaminan bank itu akan menjamin kew ajiban dari w arehouse operator
yakni memastikan bahw a jumlah, kualitas dan grade komoditi yang
dinyatakan dalam w arehouse receipt yang diterbitkannya adalah benar.
Dengan adanya jaminan dari bank penjamin guarantor, maka
seharusnya tidak ada lagi keraguan bagi financing bank atas w arehouse
receipt yang dijadikan sebagai
collateral dalam kerangka
mendapatkan pembiayaan dari bank dimaksud. Sehingga, w arehouse
receipt financing pun terw ujud
dengan nilai yang maksimal. Pembiayaan maksimal adalah
pembiayaan yang diharapkan oleh depositor
yang telah menyimpan komoditinya pada w arehouse
tertentu. Apabila dalam pelaksanaannya
depositor sebagai peminjam tidak
dapat mengembalikan modal kerja yang diperolehnya dari financing
bank sebagaimana kesepakatan
dalam perjanjian kredit, maka financing bank
berhak mencairkan w arehouse receipt
yang dijadikan sebagai collateral oleh depositor.
Jika pada saat w arehouse receipt dicairkan ternyata komoditi yang
dinyatakan dalam w arehouse receipt tersebut tidak ada atau tidak benar,
maka financing bank
akan mencairkan jaminan bank kepada
guarantor . Atas pencairan ini,
guarantor akan membayar ganti rugi
yang besarnya sesuai dengan kerugian yang dialami financing
bank .
Selain jaminan bank umum untuk menjamin kebenaran substansi
sebuah w arehouse receipt, financing bank
dapat juga meminta agar w arehouse operator
memohon kepada salah satu bank untuk
menerbitkan jaminan bank tersendiri Standby Letter of Credit, Demand
Guarantee atau Bank Garansi untuk
menjamin kepastian delivery of goods
yang juga merupakan kew ajiban
w arehouse operator .
Jaminan bank ini diterbitkan juga untuk
financing bank . Ketika
depositor tidak dapat
mengembalikan modal kerja yang diperolehnya dari financing bank
sesuai dengan kesepakatan dalam perjanjian kredit, maka selain
mencairkan jaminan bank yang menjamin kebenaran isi w arehouse
receipt, f inancing bank juga akan
mencairkan jaminan bank yang
BULETIN HUKUM PERBANKAN DAN KEBANKSENTRALAN
16 Volum e 3 Nom or 3, Desem ber 2005
menjamin delivery of goods. Artinya, dua jaminan bank dicairkan
sekaligus untuk melindungi kepentingan
financing bank .
Namun, dalam pelaksanaannya dapat saja diterbitkan hanya satu
jaminan bank yang menjamin baik isi w arehouse receipt
maupun kepastian delivery of goods.
Sudah barang tentu, jaminan bank terhadap isi w arehouse receipt dan
atau delivery of goods tersebut dapat sangat diperlukan oleh
financing bank sebelum ada
Undang-Undang yang mengatur hal- hal mengenai w arehouse receipt.
Bila telah ada pengaturan w arehouse receipt
dalam Undang- Undang, maka terhadap
penggunaan w arehouse receipt
pada dasarnya tidak perlu lagi di- cover
dengan jaminan bank atau jaminan lembaga keuangan lainnya
karena status hukum dan tanggung jaw ab hukum atas w arehouse
receipt termasuk tanggung jaw ab
hukum berkenaan dengan delivery of goods
telah menjadi jelas. Ketiadaan jaminan bank dalam
kerangka w arehouse receipt
financing ini merupakan
penghematan ongkos bagi perekonomian.
Warehouse Receipt dalam Green Clause Letter of Credit
Dalam transaksi perdagangan internasional adakalanya seller dan
buyer sepakat untuk menerbitkan
green clause Letter of Credit untuk
membiayai barang yang diperjualbelikan. Tentu, green clause
Letter of Credit yang dinamakan
green clause Surat Kredit
Berdokumen Dalam Negeri dapat juga digunakan dalam perdagangan
domestik di Indonesia. Green clause Letter of Credit
yang merupakan jenis khusus dari Letter of Credit
tidak diatur dalam Uniform Customs and Practice for Documentary
Credits UCP yang berlaku namun dikenal dalam praktik Letter of
Credit . Demikian juga green clause
Surat Kredit Berdokumen Dalam Negeri tidak diatur dalam Peraturan
Bank Indonesia No. 56PBI2003 Tentang Surat Kredit Berdokumen
Dalam Negeri PBI SKBDN. Sebagaimana halnya dengan red
clause Letter of Credit , pada green
clause Letter of Credit ini, issuing
bank atas permintaan buyer
melakukan pembayaran di muka pre-shipment finance kepada seller
atas komoditi yang telah disepakati untuk diperjualbelikan antara seller
dan buyer
. Dengan pola pembayaran di muka ini, tentu buyer
dapat mengalami risiko commercial risk
berupa gagalnya seller melakukan delivery of goods yang
harga barangnya telah dibayar di muka. Untuk mengurangi risiko risk
mitigation bagi buyer, maka
pembayaran di muka tersebut perlu di-cover dengan penyerahan
w arehouse receipt oleh seller. Dalam
hal ini pembayaran uang muka baru akan dilakukan oleh buyer melalui
issuing bank setelah seller
BULETIN HUKUM PERBANKAN DAN KEBANKSENTRALAN
17 Volum e 3 Nom or 3, Desem ber 2005
menyetujui penerbitan w arehouse receipt
sebagai cover atas uang muka yang akan diterimanya.
Pembayaran Letter of Credit yang demikian ini dinamakan green clause
Letter of Credit .
Transaksi green clause Letter of Credit
, dengan demikian merupakan secured transaction
yang berbeda dengan red clause Letter of Credit
yang merupakan unsecured transaction
karena pre-shipment finance
yang diberikan issuing bank tidak di-cover dengan w arehouse
receipt atau dokumen sejenisnya.
Pada red clause Letter of Credit potensi terjadinya risiko pada buyer
menjadi besar.
W arehouse Receipt sebagai Dokumen Transaksi Letter of
Credit Pada umumnya w arehouse receipt
tidak dipersyaratkan sebagai salah satu dokumen yang menjadi dasar
pembayaran Letter of Credit baik dalam perdagangan internasional
maupun perdagangan domestik di Indonesia. Dalam upaya mencegah
atau paling tidak mengurangi kemungkinan terjadinya penipuan
fraud atau ekspor fiktif dalam transaksi Letter of Credit, maka
w arehouse receipt , seperti halnya
invoice, bill of lading dan certificate
of insurance , dapat dijadikan salah
satu dokumen Letter of Credit. Kehadiran w arehouse receipt ini
akan menambah keyakinan para pihak termasuk bank issuing bank
dan nominated bank
bahw a underlying transaction
memang benar ada. Namun, w arehouse
receipt perlu diterbitkan oleh
w arehouse operator yang
terpercaya. Di dalam UCP yang berlaku sekarang
tidak terdapat pengaturan mengenai w arehouse receipt
. Namun, ketiadaan pengaturan ini bukanlah
merupakan suatu hambatan karena para pihak dalam transaksi Letter of
Credit bebas menentukan dan
mengatur dokumen yang menjadi dasar pembayaran Letter of Credit
tersebut. Penentuan dan pengaturan dokumen yang demikian ini
dilakukan sesuai dengan azas kebebasan berkontrak freedom of
contract yang juga sejalan dengan
UCP yang berlaku UCP 500. Sebagaimana halnya dengan UCP,
w arehouse receipt juga tidak diatur
secara eksplisit dalam PBI SKBDN. PBI SKBDN ini mengatur hal-hal
berkenaan dengan Letter of Credit yang khusus berlaku di Indonesia
yang disebut juga Letter of Credit Domestik atau Letter of Credit Antar
Pulau. Namun, di dalam PBI SKBDN sebutan resminya adalah Surat
Kredit Berdokumen Dalam Negeri. PBI SKBDN juga pada prinsipnya
memberi kebebasan kepada para pihak untuk menentukan dan
mengatur sendiri dokumen yang menjadi syarat pembayaran Surat
Kredit Berdokumen Dalam Negeri. Oleh karena itu para pihak dapat
saja menyepakati agar w arehouse receipt
menjadi salah satu dokumen
BULETIN HUKUM PERBANKAN DAN KEBANKSENTRALAN
18 Volum e 3 Nom or 3, Desem ber 2005
Surat Kredit Berdokumen Dalam Negeri.
W arehouse Receipt sebagai Dokumen Transaksi Non-Letter
of Credit
Selain penggunaan w arehouse receipt
dalam transaksi Letter of Credit
, dengan tujuan yang sama, yakni mencegah atau minimal
mengurangi terjadinya penipuan atau ekspor fiktif, maka dalam
transaksi non-Letter of Credit
Advance Payment, Collection, Open Account
dan Consignment ada baiknya juga w arehouse receipt
disyaratkan sebagai salah satu dokumen yang menjadi dasar
pembayaran baik dalam perdagangan internasional maupun
perdagangan domestik. Tentu juga, dalam transaksi Letter of Credit,
w arehouse receipt harus diterbitkan
oleh w arehouse operator
yang memiliki reputasi baik.
Penutup
Pengembangan transaksi w arehouse receipt
perlu mendapat dukungan perbankan baik dari segi
pembiayaan, penjaminan maupun penciptaan “ rasa aman” atas
keberadaan underlying transaction dalam transaksi perdagangan
internasional dan perdagangan domestik. Dukungan perbankan
diperlukan bukan hanya pada saat sekarang ini kita belum memiliki
Undang-Undang mengenai w arehouse receipt
namun juga ketika kita telah memilikinya kelak.
Negara kita tidak akan bisa terhindar dari perkembangan transaksi
w arehouse receipt karena telah
menjadi transaksi internasional yang melibatkan negara maju, negara
berkembang dan negara dengan perekonomian dalam transisi. Lagi
pula, turut serta dalam transaksi w arehouse receipt
adalah suatu keuntungan bagi perekonomian
kita. Namun, pelaksanaannya kiranya perlu dilakukan dengan
prudent dalam konteks trade finance
sesuai ketentuan perundang- undangan dibidang perbankan yang
berlaku dan dibidang w arehouse receipt
yang nantinya akan kita miliki seperti halnya negara-negara
lain yang telah lebih dahulu memilikinya.
BULETIN HUKUM PERBANKAN DAN KEBANKSENTRALAN 19 Volum e 3 Nom or 3, Desem ber 2005
PERM ASALAHAN YURIDIS AKAN STATUS HAK KEPEM ILIKAN PEM EGANG UNIT PENYERTAAN KONTRAK INVESTASI KOLEKTIF
EFEK BERAGUN ASET ASSET-BACKED SECURITIES APABILA DIKAITKAN DENGAN KEPAILITAN.
Oleh: Yunus Edw ard M anik, S.H., LL.M
A. LATAR BELAKANG
Sejak terjadinya krisis moneter pada tahun 1998, yang mengakibatkan
begitu banyak perusahaan, serta lembaga Perbankan yang
bertumbangan, pasar modal adalah merupakan alternatif sumber
pendanaan yang sangat signifikan bagi dunia usaha. Salah satu jenis
instrumen yang kini semakin marak diperdagangkan di pasar modal
adalah penjualan instrumen obligasi. Selain dari obligasi sebagai salah
satu pola pendanaan dan peningkatan likuiditas dari pada
instrumen keuangan monetary instruments
, negara-negara industri maju mencoba untuk mencari
alternatif strategi keuangan melalui penerbitan instrumen keuangan lain
yang salah satunya dikenal dengan sebutan
Asset-Backed Securities .
Asset-Backed Securities adalah
proses pencarian dana raising fund melalui penerbitan efek yang di back
up oleh cash flow di masa depan
yang berasal dari kumpulan pool aset yang menghasilkan revenue
terhadap efek yang dapat diperdagangkan Norton, Joseph
J.et, al 1993:294. Atau dengan kata lain, bila sebuah
perusahaan ingin menambah modalnya dengan cara mengubah
asetnya berupa tagihan yang tidak likuid menjadi likuid, perusahaan
yang bersangkutan dapat mensekuritisasi asetnya, dengan cara
menjualnya kepada suatu lembaga keuangan atau manajer investasi.
Untuk membayar aset itu, pihak manajer investasi akan menerbitkan
surat berharga Beragun aset, dan menaw arkannya kepada publik
melalui pasar modal. Asset-Backed Securities
mulai dikenal dalam transaksi di pasar
modal kita pada akhir tahun 1996. Hal ini dapat dilihat melalui
peraturan Bapepam No. IX.K.1 mengenai pedoman KIK EBA Asset-
Backed Securities , yang menjelaskan
KIK EBA adalah unit penyertaan kontrak investasi kolektif yang
portofolionya terdiri dari aset keuangan berupa tagihan yang
timbul dari surat berharga komersil, sew a guna usaha, perjanjian jual beli
bersyarat, perjanjian pinjaman cicilan, tagihan kartu kredit,
pemberian kredit termasuk kredit pemilikan rumah atau apartemen,
BULETIN HUKUM PERBANKAN DAN KEBANKSENTRALAN 20 Volum e 3 Nom or 3, Desem ber 2005
efek yang bersifat hutang yang dijamin oleh pemerintah, sarana
peningkatan kredit credit enhancement
arus kas cash flow , serta aset keuangan setara dan aset
keuangan lain yang berkaitan dengan aset keuangan tersebut.
Ada beberapa alasan mengapa perusahaan-perusahaan tertentu
memilih untuk mencari dana melalui pola sekuritisasi aset antara lain
Lederman 1996: 5; a.
Biaya finansial yang sangat rendah, maksudnya adalah
cukup dengan menggunakan aset yang dimiliki, perusahaan
dapat melakukan penjualan efek dengan kualitas kredit yang
tinggi dibandingkan dengan nilai perusahan tersebut.
b. Penghematan modal. Apabila
dikaitkan dengan pembatasan hutang perusahaan khususnya
bagi lembaga keuangan, oleh karena ketentuan pasar modal,
maka transaksi dengan pola penjualan aset true sale dalam
sistem akuntansi dapat mengurangi kebutuhan untuk
kebutuhan modal yang besar higher cost equity.
c. Pendanaan strategi pendanaan
yang sesuai. Dengan sekuritisasi efek perusahaan dapat
menaw arkan pola, jangka w aktu dan harga dasar atas efek
tersebut. d.
Pendapatan. Apabila konsep sekuritisasi adalah penjualan aset
true sale, penerbit atau penjual diperbolehkan untuk
mengetahui, sesuai prinsip standard akuntansi GAAP
keuntungan atau kerugian penjualan aset tersebut
diperhitungkan dengan nilai saat ini present value dan ekspektasi
nilai yang akan datang. Dari sisi investor ada beberapa
manfaat yang didapatkan melalui pembelian instrumen ini Personal
Corporate Finance edisi 2: hal 13 yakni:
a.
Sebagai alternatif pendanaan jangka panjang 3 – 10 tahun KIK
EBA lebih menarik bagi investor dibanding surat utang lain,
seperti obligasi dan promes, karena didukung dengan aset
yang likuid dengan risiko yang relatif kecil.
b.
M eski originator
penerbit bangkrut, tagihannya tetap ada.
Ini berbeda dari pembeli obligasi atau promes, yang akan
kehilangan dananya kalau
perusahaan yang bersangkutan bangkrut.
Walaupun Efek Beragun Aset ini sangat menarik ditinjau dari aspek
jaminan dan likuiditasnya, namun dalam pelaksanaannya masih
menimbulkan pertanyaan yang signifikan tentang ketidakjelasan
akan timbulnya kerugian loss experience
. Hal ini dapat terjadi karena secara umum asset-backed
securities tidak memiliki standar
dalam beberapa hal yaitu;
BULETIN HUKUM PERBANKAN DAN KEBANKSENTRALAN 21 Volum e 3 Nom or 3, Desem ber 2005
-
Tipe dan struktur dari Aset;
-
Pembayaransumber dari arus kas dikaitkan dengan kualitas kredit;
-
Servis dan tahapan proses processing procedure;
-
Pola pembayaran. Lederman, 1996: 4.
Tidak adanya standarisasi akan hal- hal sebagaimana disebut di atas,
pada tingkat tertentu akan mengurangi pertumbuhan dan
efisiensi transaksi atas instrumen tersebut. Ini dapat terjadi karena
begitu banyak jenis aset yang dapat disekuritisasi dan struktur transaksi
bervariasi. Seperti dikatakan:
Potential corporate asset backed security issuerasset seller
continue to face the difficulties and costs inherent in adapting
internal system to securitizat ion requirement, w hile investors are
still learning how to analyze the characteristic of and risks
associated w ith various asset types and how to differentiate
among issues for a given asset type. Lederman,1996 : 4.
Dari analisis di atas ditekankan bahw a aspek hukum yang berkaitan
dengan karakteristik aset merupakan salah satu bagian yang sangat
penting dalam menganalisis dan mengantisipasi permasalahan yang
akan timbul dalam penerbitan sekuritisasi aset. Permasalahan
hukum yang perlu menjadi perhatian adalah: i berkaitan dengan
keabsahan jaminan dan hak kepemilikan atas aset tersebut title
of the ow nership ; dan ii risiko atas
pailitnya kreditur aw al ataupun penyedia jasa servicer.
Sebagaimana diketahui Pemegang Unit Penyertaan KIK EBA dalam
melakukan transaksi ini secara umum memiliki dua hak yaitu hak
secara yuridis dan hak secara ekonomis yang satu sama lain saling
berkaitan. Hak secara yuridis adalah hak yang melekat pada Pemegang
Unit Penyertaan KIK EBA seperti hak untuk dimuat nama pemegang Efek
Beragun Aset tersebut termasuk juga hak untuk mendapat
keterangan singkat mengenai hak materiil yang menyangkut kelas Efek
Beragun Aset tersebut. Sedangkan hak ekonomis adalah hak yang
dapat mempengaruhi manfaat ekonomis atas transaksi KIK EBA.
M anfaat ekonomis tersebut seperti terhambatnya pembayaran kepada
pemegang KIK EBA akibat terjadinya kepailitan, menurunnya likuiditas
dari transaksi KIK EBA tersebut karena adanya faktor ketidakjelasan
dari status kepemilikan aset yang disekuritisasi tersebut, dan juga tidak
adanya kepastian siapa yang berhak untuk mendapatkan nilai tambah
dari kenaikan aset yang disekuritisasi.
Permasalahan hukum yang masih belum jelas adalah berkaitan dengan
aspek keabsahan jaminan dan hak kepemilikan atas aset yang
disekuritisasi apabila dikaitkan dengan aspek pendaftaran atas
jaminan kebendaan tersebut.
BULETIN HUKUM PERBANKAN DAN KEBANKSENTRALAN 22 Volum e 3 Nom or 3, Desem ber 2005
M isalnya, untuk sebagian aset yang berupa benda tidak bergerak
ketentuan dapat dimasukan kedalam ketentuan Undang-Undang
No. 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan. Undang-Undang Hak
Tangungan dengan tegas mengakui sifat assesoir dari hak tanggungan
tersebut. Dalam Pasal 16 Undang- Undang No. 4 Tahun 1996
ditentukan bahw a manakala piutang terhadap mana hak tanggungan
diberikan, maka jika terjadi peralihan piutang dengan cara cessie,
subrogasi, pew arisan, atau sebab- sebab lain seperti merger, maka hak
tanggungan tersebut ikut juga beralih
“ demi hukum” kepada kreditur yang baru. Hanya saja
Undang-Undang Hak Tanggungan mensyaratkan bahw a peralihan hak
tanggungan tersebut harus dipenuhi syarat administratif berupa
pendaftaran oleh kreditur yang baru kepada kantor pertanahan.
M enurut Pasal 16 ayat 3 dari Undang-Undang Hak Tanggungan,
Kantor Pertanahan dalam hal ini bertugas untuk mencatat peralihan
hak tanggungan tersebut dalam : 1.
buku tanah hak tanggungan; 2.
buku hak atas tanah yang menjadi objek hak tanggungan;
3. Sertifikat hak tanggungan, dan
4. Sertifikat hak atas tanah yang
menjadi objek hak tanggungan. Apabila dalam peralihan piutang
untuk mana diterbitkan asset- backed securities
, selama belum diatur lain oleh peraturan khusus
lainnya, maka prosedur pendaftaran dan pencatatan sebagaimana
ditentukan dalam Undang-Undang Hak Tanggungan haruslah dipenuhi.
Bagaimana implikasinya dalam penerbitan Kontrak Investasi Kolektif
Efek Beragun Aset. Permasalahan hukum yang kedua
adalah berkaitan dengan aspek hukum kepailitan yakni, apabila
terjadinya permohonan kepailitan terhadap originator, namun sebelum
adanya permohonan kepailitan pihak originator telah menjual aset
tersebut dengan cara jual putus true sale
kepada special purpose vehicle lembaga trustee, maka aset tersebut
tidak termasuk dan didaftarkan dalam boedel pailit property of the
estate . Timbul pertanyaan, apakah
dalam hal ini originator atau kreditur aw al adalah merupakan pemilik sah
legal of the ow nership dari aset tersebut, sehingga dapat menjual
kepada pihak lain? ataukah dia hanya merupakan pemegang hak
atas aset tersebut sebagai jaminan kebendaan hutang debitur aw al?
Atau justru spesial purpose vehicle yang dalam hal ini adalah manajer
investasilah yang merupakan pemilik dari aset tersebut karena dia telah
membeli aset tersebut dari kreditur aw al secara jual putus true sale?
Hal ini pernah menjadi perdebatan dalam kasus M ajors Furniture M art,
Inc. vs Castle Credit Corp., Inc F.2d 538.543 dikatakan:
BULETIN HUKUM PERBANKAN DAN KEBANKSENTRALAN 23 Volum e 3 Nom or 3, Desem ber 2005
An issue that often arises in rating a transaction
structured as a sale is w hether a court examining
the transaction at the request of trustee in bankruptcy or a
creditor of the originator w ould re characterize the
transaction as a pledge of assets to secure debt or as a
sale of asset.
Apabila dilihat pandangan umum lembaga peradilan di negara
Amerika Serikat terhadap permasalahan dalam transaksi true
sale tersebut, dinyatakan bahw a:
[Legal overview the Hand Book chapter 3 page 44]:
In addressing the true sale issue, court generally look at the extent to
w hich transferor has parted w ith the risk and the benefit ow ning the
assets and such factors are particularly relevant to the inquiry;
-
The form of the transaction and the consistency of the parties
treatment of the transaction, including how the transaction is
characterized in the documents.
-
The nature and extent of the risks transferred, w hether the
investor has recourse to the seller in some form, such as guarantee
or obligate to repurchase non performing asset and w ho is at
risk if the value of the asset declines; and w ho is at risk if
there is default on the
underlying assets.
-
The nature and extent of the benefit transferred including
w ho benefit from any appreciation in the value of the
asset and w ho receives the income from the assets.
-
The irrevocability of the transfer including w hether specific and
indentifiable assets are sold; w hether and in w hich
circumstances the transferor can re-acquire or substitute assets;
w ho exercise and control over the assets and, if the originator
services the assets and their proceeds; and w hether the
purchaser can resell the asset w ithout the accounting to the
transferor for any gain on the sale.
Pengadilan dalam hal ini tidak memberikan kepastian secara
khusus akan status kepemilikan dari aset tersebut, namun secara umum
dikatakan bahw a pengadilan dalam menganalisis aset dalam suatu
transaksi efek, apakah transaksi tersebut adalah jual beli true sale
atau sebagai pinjaman adalah dari substansi ekonomi dari transaksi
tersebut. Atas dasar tersebut maka permasalahan pokok yang akan
timbul adalah, bagaimanakah kedudukan hukum pemegang unit
penyertaan KIK EBA terhadap aset yang disekuritisasi? apakah ia
menjadi kreditur separatis yaitu kreditur dengan hak mendahului
secure creditor terhadap seluruh
BULETIN HUKUM PERBANKAN DAN KEBANKSENTRALAN 24 Volum e 3 Nom or 3, Desem ber 2005
aset yang dahulu dijadikan jaminan kebendaan dan didaftarkan atas
nama kreditur aw al? Ataukah dia hanya merupakan pemegang hak
atas piutang dari kreditur aw al? dan apabila investor atau pemegang efek
mempunyai hak untuk recourse kepada
originator sebagaimana
diperjanjikan, bagaimana kedudukan hukum dari investor ini, apakah ia
sebagai pemilik aset?
B. PERM ASALAHAN