Lahirnya UU TPPU di Indonesia

10 Keempat unsur penting inilah yangdigunakan oleh bank-bank internasional untuk menghindarkan diridari tindakan memfasilitasi praktik tindak pidana pencucian uang.

C. Lahirnya UU TPPU di Indonesia

Sampai 2014 Indonesia sendiri sudah melakukan tiga kali perubahan UU Tindak Pidana Pencucian Uang. Terakhir adalah UU No. 8 tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang. UU inilah yang berlaku sampai saat ini. Bila dilacak sejarahnya, semangat pemberantasan tindak pidana pencucian uang di Indonesia dimulai pada 1988 ketika United Nations Convention Against Illicit Traffic in Narcotic Drugs and Psychotropic Substances atau lebih dikenal UN Drugs Convention ditandatangani 106 negara. Indonesia menjadi salah satu negara anggota yang meratifikasinya melalui UU No. 7 Tahun 1997 tentang Pengesahan Konvensi Perserikatan Bangsa- Bangsa tentang Pemberantasan Peredaran Gelap Narkotika dan Psikotropika. Kemudian pada 1998 dibentuk Basle Committee on Banking Regulations dan Supervisory Practices yang terdiri dari perwakilan-perwakilan Bank Sentral dan badan-badan pengawas negara-negara industri. Lewat peraturan ini bank harus mengambil langkah-langkah yang masuk akal untuk menetapkan identitas nasabahnya yang dikenal dengan Know Your-Customer Rule. Indonesia kemudian mengeluarkan Peraturan Bank Indonesia Nomor: 310PBI2001 tentang Penerapan Prinsip Mengenal Nasabah yang telah diubah dengan Peraturan Bank Indonesia Nomor 521PBI2003. Walaupun secara de jure BI telah mengeluarkan Peraturan BI No. 310PBI2001 tanggal 18 Juni 2001 tentang Penerapan Prinsip Pengenalan Nasabah, namun peraturan ini sulit diterapkan untuk memberantas transaksi pencucian uang. Penerapan ini dibatasi oleh UU No. 10 Tahun 1998 tentang Perubahan Atas UU No. 7 Tahun 1992 tentang Perbankan dimana Bank wajib merahasiakan keterangan mengenai nasabah penyimpan dan simpanannya, kecuali untuk kepentingan perpajakan, penyelesaian piutang bank yang sudah diserahkan kepada Badan Urusan Piutang dan Lelang NegaraPanitia Urusan Piutang Negara, kepentingan peradilan dalam perkara pidana, atas permintaan, persetujuan atau kuasa dari nasabah penyimpan yang dibuat secara tertulis, atau dalam hal nasabah meninggal dunia sehingga ahli waris yang sah wajib diberitahukan mengenai simpanan nasabah yang bersangkutan. Akan tetapi penerbitan Peraturan Bank Indonesia ini belum dianggap cukup oleh FATF untuk menanggulangi pencucian uang. FATF sendiri sudah mengeluarkan beberapa rekomendasi yang berkaitan dengan praktek pencucian uang bagi Indonesia. Rekomendasi tersebut mempunyai tiga ruang lingkup, yaitu mengenai peningkatan sistem hukum nasional, peningkatan peranan sistem finansial dan memperkuat kerjasama internasional. Semua rekomendasi FATF ini menjadi standar internasional untuk mengukur apakah anggota FATF telah mematuhi rekomendasi dan memberikan usulan-usulan untuk perbaikan upaya pemberantasan pencucian uang. Indonesia sendiri dipandang belum mendukung upaya pemberantasan pencucian uang saat itu. Indonesia masih dimasukkan dalam daftar negara wilayah yang tidak bekerjasama Non Cooperative Countries and Teritories NCCTs pada bulan Juni 2001 oleh Organization for Economic Cooperation and Development OECD dari FATF. Label hitam masih disandang Indonesia hingga Februari 2002 mengingat FATF menganggap kurangnya upaya Indonesia dalam memerangi pencucian uang. Dua bulan berselang, tepatnya 17 April 2002, Pemerintah dan DPR mengesahkan UU UU No.15 tahun 2002 tentang Tindak Pidana Pencucian Uang. Pengesahan ini tidak secara otomatis menghapus Indonesia dari daftar hitam NCCTs FATF. Task Force internasional ini menganggap Indonesia belum membuktikan adanya program penegakan hukum pencucian yang efektif karena belum ada tindakan hukum terhadap para 11 pelaku kejahatan pencucian uang, peningkatan kerja dalam lembaga keuangan untuk memerangi praktek pencucian uang, sistem yang mewajibkan pelaporan transaksi keuangan yang mencurigakan, kerja sama dengan negara-negara lain, institusi-institusi internasional atau belum adanya identifikasi nasabah dan belum ada perangkat hukum untuk mengatasi praktek pencucian uangyang dibuktikan dengan belum adanya UU Anti-Pencucian Uang. 11 Baru pada Februari 2005 Indonesia dikeluarkan dari daftar hitam setelah FATF mengadakan review langsung ke Indonesia dengan mengadakan wawancara dengan para pemimpin instansi yang menangani pencucian uang. Presiden SBY saat itu kemudian mengutus beberapa menteri berkunjung ke Amerika, Inggris, Perancis, Australia, Jepang untuk menjelaskan keseriusan Pemerintah Indonesia menangani kasus pencucian uang. Terlepas dari itu, UU No.15 tahun 2002 tidak mendefinisikan apa yang dimaksud dengan pencucian uang. Definisi pencucian uang baru ditemukan hanya dalam Penjelasan yang menyatakan bahwa upaya untuk menyembunyikan atau menyamarkan asal usul harta kekayaan yang diperoleh dari tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam undang-undang ini dikenal sebagai pencucian uang money laundering. Setahun kemudian UU ini mengalami amandemen melalui UU No. 25 Tahun 2003 tentang Perubahan atas Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 15 Tahun 2002 tentang Tindak Pidana Pencucian Uang. Amandemen UU ini menunjukkan semangat anti-pencucian uang menuju arah positif. Hal itu tercermin dari meningkatnya kesadaran dari pelaksana UU tentang Tindak Pidana Pencucian Uang, seperti penyedia jasa keuangan dalam melaksanakan kewajiban pelaporan, Lembaga Pengawas dan Pengatur dalam pembuatan peraturan, Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan PPATK dalam kegiatan analisis, dan penegak hukum dalam menindaklanjuti hasil analisis hingga penjatuhan sanksi pidana danatau sanksi administratif. Akan tetapi upaya yang dilakukan tersebut dirasakan belum optimal. Peraturan perundang- undangan yang ada ternyata masih memberikan ruang penafsiran yang berbeda-beda, adanya celah hukum, kurang tepatnya pemberian sanksi, belum dimanfaatkannya pergeseran beban pembuktian, keterbatasan akses informasi, sempitnya cakupan pelapor dan jenis laporannya, serta kurang jelasnya tugas dan kewenangan dari para pelaksana UU ini. Untuk memenuhi kepentingan nasional dan menyesuaikan standar internasional, disusun UU tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang sebagai pengganti UU No. 25 Tahun 2003 tentang Tindak Pidana Pencucian Uang, yaitu dengan UU No. 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang. Materi muatan dalam UU No. 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang, antara lain: 12 a Redefinisi pengertian hal yang terkait dengan tindak pidana pencucian uang; b Penyempurnaan kriminalisasi tindak pidana pencucian uang; c Pengaturan mengenai penjatuhan sanksi pidana dan sanksi administratif; d Pengukuhan penerapan prinsip mengenali pengguna jasa; e Perluasan pihak pelapor; f Penetapan mengenai jenis pelaporan oleh penyedia barang danatau jasa lainnya; g Penataan mengenai pengawasan kepatuhan; h Pemberian kewenangan kepada pihak pelapor untuk menunda transaksi; i Perluasan kewenangan direktorat jenderal bea dan cukai terhadap pembawaan uang tunai dan instrumen pembayaran lain ke dalam atau ke luar daerah pabean; 11 PPATK, Rezim Anti Pencucian Uang Indonesia – Perjalanan 5 tahun, Jakarta, Pusat Pelaporan Analisa dan Transaksi Keuangan, 2007, hlm 69-70 12 Bagian Pembukaan dari Penjelasan UU No.8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang. 12 j Pemberian kewenangan kepada penyidik tindak pidana asal untuk menyidik dugaan tindak pidana pencucian uang; k Perluasan instansi yang berhak menerima hasil analisis atau pemeriksaan ppatk; l Penataan kembali kelembagaan PPATK; m Penambahan kewenangan PPATK, termasuk kewenangan untuk menghentikan sementara transaksi; n Penataan kembali hukum acara pemeriksaan tindak pidana pencucian uang; dan o Pengaturan mengenai penyitaan harta kekayaan yang berasal dari tindak pidana.

D. Rezim TPPU Indonesia