Pasal 16 A Tindak Pidana Terorisme

44 mereka akan sulit untuk dijerat hukum FPG, FGerindra dan FPPP menyatakan Tetap pada rumusan RUU FPD mengusulkan agar ketentuan ini dihapusdipindah ke bab ketentuan pidana. FPAN mengusulkan Pe a aha kata dikenakan se elu frasa apa ila ada iat, dst.. FPKB menyatakan Poi di pasal i i, yaitu ter yata telah tercover di Pasal ‘UU i i ta pa ayat, yaitu elakuka . Melakukan adalah hal eksplisit, dan nyata .Frase apabila ada niat adalah e u juk pada ilayah di luar ja gkaua hukum. Hukum hanya berdasar gerak gerik yang indrawi. iat tidak terja gkau oleh pa a i dra. FPKS menyatakan ketentuan ayat ini perlu Disesuaikan dengan perubahan ayat 1. FHanura abstain terhadap ketentuan ayat ini.

2.1.8. Pasal 16 A

Pasal 16A 1 Dalam hal Tindak Pidana Terorisme dilakukan oleh anak, pidana yang dijatuhkan sesuai dengan ketentuan Undang-Undang mengenai Sistem Peradilan Pidana Anak. 2 Dalam hal pelaku Tindak Pidana Terorisme melibatkan anak, pidana yang dijatuhkan ditambah ½ setengah dari pidana yang diancamkan. Terkait Pasal 16A ayat 1, FPDemokrat mengusulkan Sistematikanya dipindah ke bab ketentuan pidana. FPKB mengusulkan harus dipastikan keselarasan antara anak sebagai pelaku terorisme dengan anak sebagai korban kejahatan terorganisir seperti terorisme. Dalam konteks perlindungan anak, maka anak pelaku kejahatan terorganisir harus dilihat posisi kerentanan anak sebagai korban kejahatan, bukan serta merta sebagai pelaku.Hal ini juga menunjukkan inkonsistensi antara ayat 1 dan ayat 2. Ayat 2 menunjukkan kerentanan anak sebagai korban kejahatan terorganisir yang tidak dapat dilihat memiliki niat penuh dalam melakukan kejahatan. Selain itu, muara dari pemidanaan adalah pemenjaraan, dapat dilihat dalam hampir seluruh ancaman pidana yang menjurus pada pemenjaraan.Dengan pendekatan program deradikalisasi yang dituju oleh pemerintah, maka anak, sebagai Individu yang sangat berpotensi menjadi lebih radikal karena faktor usia, maka pendekatan pemenjaraan baiknya dihindari. Hal ini juga sesuai dengan prinsip utama kepentingan terbaik untuk anak yang juga diadopsi Indonesia dalam Undang-undang SPPA dan Undang-undangPerlindungan Anak. Perlu penambahan pasal yang mengatur tentang anak sebagai subjek kejahatan terorisme. Dalam hal anak melakukan tindak pidana terorisme dikarenakan adanya kekerasan atau ancaman Kekerasan, pememaksa, dengan tipu, muslihat, serangkaian kebohongan, atau pembujukan maka anak tidak dapat dipidana, anak harus dianggap sebagai korban kejahatan terorganisir. FNasdem menyatakan bahwa harus dipastikan keselarasan antara anak sebagai pelaku terorisme dengan anak sebagai korban kejahatan terorganisir seperti terorisme. Dalam konteks perlindungan anak, maka dalam hal anak pelaku kejahatan terorganisir harus dilihat posisi kerentanan anak sebagai korban kejahatan, bukan serta merta sebagai pelaku. Hal ini juga menunjukkan inkonsistensi antara ayat 1 dan ayat 2. Ayat 2 menunjukkan kerentanan anak sebagai korban kejahatan terorganisir yang tidak dapat dilihat memiliki niat penuh dalam melakukan kejahatan. Selain itu, muara dari pemidanaan adalah pemenjaraan, dapat dilihat dalam hampir seluruh ancaman pidana yang menjurus pada pemenjaraan. Dengan pendekatan program deradikalisasi yang dituju oleh 45 pemerintah, maka anak, sebagai Individu yang sangat berpotensi menjadi lebih radikal karena faktor usia, maka pendekatan pemenjaraan baiknya dihindari, hal ini juga sesuai dengan prinsip utama kepentingan terbaik untuk anak yang juga diadopsi Indonesia dalam Undang-undangSPPA dan Undang-undang Perlindungan Anak.Sedangkan sikap FPDIP, FPG, FGerindra, FPAN, FPP, dan FPKS tetap pada rumusan RUU, dan FHanura abstain. Pasal 16A Fraksi 1 Dalam hal Tindak Pidana Terorisme dilakukan oleh anak, pidana yang dijatuhkan sesuai dengan ketentuan Undang-Undang mengenai Sistem Peradilan Pidana Anak FPDIP, FPG, FGerindra, FPAN, FPKS dan FPPP menyatakan Tetap dengan rumusan RUU FPD mengusulkan agar sistematika ketentuan ayat ini dipindah ke ke bab ketentuan pidana FPKB menyatakan bahwa Harus dipastikan keselarasan antara anak sebagai pelaku terorisme dengan anak sebagai korban kejahatan terorganisir seperti terorisme. Dalam konteks perlindungan anak, maka anak pelaku kejahatan terorganisir harus dilihat posisi kerentanan anak sebagai korban kejahatan, bukan serta merta sebagai pelaku. Hal ini juga menunjukkan inkonsistensi antara ayat 1 dan ayat 2. Ayat 2 menunjukkan kerentanan anak sebagai korban kejahatan terorganisir yang tidak dapat dilihat memiliki niat penuh dalam melakukan kejahatan. Selain itu, muara dari pemidanaan adalah pemenjaraan, dapat dilihat dalam hampir seluruh ancaman pidana yang menjurus pada pemenjaraan. Dengan pendekatan program deradikalisasi yang dituju oleh pemerintah, maka anak, sebagai Individu yang sangat berpotensi menjadi lebih radikal karena faktor usia, maka pendekatan pemenjaraan baiknya dihindari, hal ini juga sesuai dengan prinsip utama kepentingan terbaik untuk anak yang juga diadopsi Indonesia dalam Undang-undangSPPA dan Undang- undangPerlindungan Anak. Dalam hal anak melakukan tindak pidana terorisme dikarenakan adanya kekerasan atau ancaman Kekerasan, pememaksa, dengan tipu, muslihat, serangkaian kebohongan, atau pembujukan maka anak tidak dapat dipidana, anak harus dianggap sebagai korban kejahatan terorganisir. FNasdem menyatakan bahwa harus dipastikan keselarasan antara anak sebagai pelaku terorisme dengan anak sebagai korban kejahatan terorganisir seperti terorisme. Dalam konteks perlindungan anak, maka dalam hal anak pelaku kejahatan terorganisir harus dilihat posisi kerentanan anak sebagai korban kejahatan, bukan serta merta sebagai pelaku. Hal ini juga menunjukkan inkonsistensi antara ayat 1 dan ayat 2. Ayat 2 menunjukkan kerentanan anak sebagai korban kejahatan terorganisir yang tidak dapat dilihat memiliki niat penuh dalam melakukan kejahatan. Selain itu, muara dari pemidanaan adalah pemenjaraan, dapat dilihat dalam hampir seluruh ancaman pidana yang menjurus pada pemenjaraan. Dengan pendekatan program 46 deradikalisasi yang dituju oleh pemerintah, maka anak, sebagai Individu yang sangat berpotensi menjadi lebih radikal karena faktor usia, maka pendekatan pemenjaraan baiknya dihindari, hal ini juga sesuai dengan prinsip utama kepentingan terbaik untuk anak yang juga diadopsi Indonesia dalam Undang-undangSPPA dan Undang- undangPerlindungan Anak. Terkait Pasal 16A ayat 2, FPDIP menyatakan Tetap pada rumusan RUU namun dengan beberapa usulan dan perlu ditambahkan 1 satu ayat yang mengatur mengenai anak sebagai Korban Terorisme: 1 Dalam hal anak sebagai korban jaringan terorisme pemerintah memberikan perlindungan khusus melalui upaya: a. edukasi tentang pendidikan, Ideologi, dan nilai nasionalisme b. konseling tentang bahaya terorisme; c. rehabilitasi sosial dan d. pendampingan sosial FPDIP mempertimbangkan Pasal 59 ayat 2 huruf k dan Pasal 69B Undang-undang No.35 Tahun 2014 tentang Perlindungan Anak, yang mengatur Perlindungan Khusus kepada Anak sebagaimana dimaksud pada Pasal 59 ayat 1 diberikan kepada Anak korban jaringan terorisme, dan Pasal 69BPerlindungan Khusus bagi Anak korban jaringan terorisme sebagaimana dimaksud dalam Pasal 59 ayat 2 huruf k dilakukan melalui upaya: a edukasi tentang pendidikan, ideologi, dan nilai nasionalisme, b konseling tentang bahaya terorisme, c rehabilitasi sosial; dan d pendampingan sosial . Bahwa Yang dimaksud dengan anak korban jaringan terorisme adalah anak-anak yang menjadi: a tersangka, b terdakwa, c terpidan, d narapidana, e mantan narapidana, f keluarganya dan atau g orang tertentu yang diduga akan melakukan tindak pidana terorisme Sedangkan FPG menyatakan Tetap pada rumusan RUU dan terdapat penambahan 1 ayat yakni :Dalam hal pelaku Tindak Pidana Terorisme melibatkan anak, anak ditempatkan dalam LPAK yang dipisahkan dengan Narapidana Anak lainnya. Hal ini bertujuan untuk menghindari penyebaran paham radikalisme kepada Narapidana Anak lainnya. Sikap fraksi yang menyatakan tetap pada Pasal 16A ayat 2 rumusan RUU, yakni FPDIP, FPGolkar, FPGerindra, FPD, FPAN, FPP, dan FPKS sedangkan FPKB dan FPHanura abstain. Pasal 16A Fraksi 2 Dalam hal pelaku Tindak Pidana Terorisme melibatkan anak, pidana yang dijatuhkan ditambah ½ setengah dari pidana yang diancamkan FPDIP menyatakan Tetap dengan rumusan RUU dengan catatan mempertimbangkan Pasal 59 ayat 2 huruf k dan Pasal 69B Undang-undangNo.35 Tahun 2014 tentang Perlindungan Anak, yang mengatur Perlindungan Khusus kepada Anak sebagaimana dimaksud pada Pasal 59 ayat 1 diberikan kepada Anak korban jaringan terorisme, dan Pasal 69BPerlindungan Khusus bagi Anak korban jaringan terorisme sebagaimana dimaksud dalam Pasal 59 ayat 2 huruf k dilakukan melalui upaya: a edukasi tentang pendidikan, ideologi, dan nilai nasionalisme, b konseling tentang bahaya terorisme, c rehabilitasi sosial; dan d pendampingan sosial . Bahwa Yang dimaksud dengan anak korban jaringan terorisme adalah anak-anak yang menjadi: a tersangka, b terdakwa, c terpidan, d narapidana, e mantan narapidana, f keluarganya dan atau g orang tertentu yang diduga akan melakukan tindak pidana 47 terorisme. FPGolkar menyatakan Tetap dengan rumusan RUU FPG menyatakan Tetap pada rumusan RUU dan terdapat Penambahan 1 Ayat yakni :Dalam hal pelaku Tindak Pidana Terorisme melibatkan anak, anak ditempatkan dalam LPAK yang dipisahkan dengan Narapidana Anak lainnya. Hal ini bertujuan untuk menghindari penyebaran paham radikalisme kepada Narapidana Anak lainnya. FPGerindra, FPD, FPAN, FPP, dan FPKS menyatakan Tetap dengan rumusan RUU. FPKB dan FPHanura abstain terhadap ketentuan ayat ini.

2.2. Pidana Mati