Makna Kontekstual Kata HASIL DAN PEMBAHASAN

ḥurumun ‘Sesungguhnya jumlah bulan, sebagaimana dalam ketetapan Allah pada waktu Dia menciptakan langit dan bumi, di antaranya ada empat bulan haram’. Kalimat tersebut menjelaskan tentang aturan-aturan yang ditetapkan Allah swt di langit dan bumi.

3.2 Makna Kontekstual Kata

ﺔّﻠﻣ millatun Makna kontekstual kata ﺔّﻠﻣ millatun yang ditemukan dalam Al-Qur’an sebanyak tiga makna yaitu: 1. Agama para Nabiyang disyariatkan oleh Allah swt 2. Agama YahudiNasrani 3. Agama nenek moyang Untuk lebih jelasnya dapat kita lihat uraian berikut ini:

A. Kata yang bermakna agama para Nabiyang disyariatkan oleh Allah swt

1. Surah Al-Baqarah ayat 130 :      wa man yargabu ‘an millati ibrāhīma illā man safiha nafsahu walaqadi i ṣṭafaynāhu fī ad-dunyā wa innahu fī al-akhirati lamina aṣ-ṣāliḥīna “dan orang yang membenci agama Ibrahim, hanyalah orang yang memperbodoh dirinya sendiri. Dan sungguh, kami telah memilihnya Ibrahim di dunia ini.Dan sesungguhnya di akhirat dia termasuk orang-orang yang saleh.” Al-Maragi 1993: 402 menuturkan bahwa pada ayat ini Allah menerangkan kedudukan syariat dan tuntunan hidup yang diajarkan Nabi Ibrahim memiliki kedudukan tinggi disisi Allah swt.Karena Nabi Ibrahim merupakan 38 manusia pilihan yang digelari khalilullah kekasih Allah.Maka dari itu hanya orang-orang yang memperbodoh dirinya sendiri yang membenci agama Ibrahim. Makna kata ﺔّﻠﻣ millatun pada ayat ini adalah agama para Nabi.Makna ini dipahami dari segi konteks intrakalimat dilihat dari kata yang terletak sesudahnya yakni ﻡﻳﻫﺍﺭﺑﺍ `ibrāhīmu ‘Nabi Ibrahim a.s’. Konteks ayat ini menceritakan celaan Allah untuk orang-orang yang membenci millah Ibrahim sebagai orang-orang yang memperbodoh diri sendiri karena Ibrahim memiliki kedudukan tinggi di sisi Allah dan agama yang dibawanya juga adalah agama yang diturunkan kepada Nabi-nabi selanjutnya hingga ke Nabi Muhammad saw. Dengan demikian makna kontekstual dari segi lingkungan pengguna bahasa kata ﺔّﻠﻣ millatun adalah agama para Nabi. 2. Surah Al-Baqarah ayat 135 :     wa q ālū kūnū hūdān au naṣārā tahtadū qul bal millata ibrāhī ma ḥanīfān wa mā kāna mina al-musyrikīna “dan mereka berkata, “Jadilah kamu penganut Yahudi atau Nasrani, niscaya kamu mendapat petunjuk.” Katakanlah “Tidak tetapi kami mengikuti agamaIbrahim yang lurus dan dia tidak termasuk golongan orang yang mempersekutukan Tuhan.” Al-Maragi 1993: 411 mengatakan bahwa dalam ayat ini penganut agama Yahudi dan Nasrani sama-sama menganggap bahwa kitab dan Nabi mereka masing-masing adalah paling utama. Yahudi dengan kitab Taurat dan Nabi Musa a.s sedangkan Nasrani dengan kitab Injil dan Nabi Isa a.s. Karena itu mereka menyeru untuk masuk agama mereka agar mendapat petunjuk. Namun Allah membantah dengan memerintahkan kepada Nabi Muhammad bahwa Ia mengikuti millah Ibrahim yang lurus dan tidak termasuk golongan orang-orang yang musyrik sebagai sindiran untuk orang-orang Yahudi dan Nasrani karena telah menyelewengkan ajaran agama dengan menyekutukan Allah. 39 Makna kata ﺔﻠﻣ millatun yang terkandung dalam ayat ini adalah agama para Nabi. Makna ini dipahami dari segi konteks intrakalimat dilihat dari kata yang terletak sesudahnya yakni ﻡﻳﻫﺍﺭﺑﺍ `ibrāhīmu ‘Nabi Ibrahim a.s’. Konteks ayat menceritakan tentang sanggahan Allah atas pendapat kaum Yahudi dan Nasrani yang menganggap agama mereka yang paling utama padahal mereka telah menyelewengkan isi kitab yang diturunkan kepada mereka. Allah menjelaskan kepada Nabi Muhammad bahwa ia adalah pengikut millah Ibrahim yang juga dibawa oleh Nabi-nabi berikutnya hingga sampai kepada Nabi Muhammad saw. Sehingga dapat disimpulkan bahwa makna kontekstual dari kata ﺔﻠﻣ millatun adalah agama para Nabi. 3. Surah Al-Imran ayat 95:    qul ṣadaqa allāhu fāttabi‘ū millata ibrāhīma ḥanīfān wa mā kāna mina al- musyrikīna “katakanlah Muhammad,”benarlahsegala yang difirmankan Allah.” Maka ikutilah agama Ibrahim yang lurus, dan dia tidaklah termasuk orang yang musyrik.” Al-Maragi 1993: 7-8 mengatakan bahwa ayat ini menerangkan bahwa Allah Maha Benar dengan segala yang diberitakannya kepada Nabi Muhammad yakni sanggahan terhadap tuduhan-tuduhan Yahudi bahwa Nabi Muhammad bukanlah pengikut Nabi Ibrahim karena beliau makan daging unta dan berkiblat ke arah Ka’bah. Karena itu ikutilah Millah Ibrahim yang lurus dan bukanlah Ia orang yang musyrik seperti orang-orang Yahudi yang menyelewengkan isi kitabnya. Makna kata ﺔﻠﻣ millatun yang terkandung dalam ayat ini adalah agama para Nabi. Makna ini dipahami dari segi konteks intrakalimat dilihat dari kata yang terletak sesudahnya yakni ﻡﻳﻫﺍﺭﺑﺍ `ibrāhīmu ‘Nabi Ibrahim a.s’. Konteks ayat menceritakan tentang sanggahan Allah atas dua tuduhan kaum Yahudi yang menuduh Nabi Muhammad bukanlah pengikut Nabi Ibrahim karena ia memakan 40 daging unta yang menurut mereka diharamkan dalam Taurat, padahal sesungguhnya pada dasarnya segalanya dihalalkan Allah untuk Bani Israil namun diharamkan sebagai hukuman untuk mereka, kemudian berkiblat ke arah Ka’bah menurut mereka juga hal yang salah karena menurut Taurat yang telah mereka selewengkan tempat mulia adalah Baitul Maqdis namun Allah menyanggah bahwa Ka’bah adalah bangunan tempat Ibadah yang pertama. Allah menjelaskan kepada Nabi Muhammad bahwa ia adalah pengikut millah Ibrahim yang juga dibawa oleh Nabi-nabi berikutnya hingga sampai kepada Nabi Muhammad SAW. Sehingga dapat disimpulkan bahwa makna kontekstual dari kata ﺔﻠﻣ millatun adalah agama para Nabi. 4. Surah Al-A’raf ayat 89 :           qadiftaraynā ‘alā allāhi każibān in‘udnā f ī millatikum ba‘da iż najjānā allāhu wamā yakūnu lanā an na‘ūda fihā illā an yasyāa allāhu rabbunā wasi‘a rabbunā kulla syayin ‘ilmān ‘alā allāhi tawakkalnā rabbanā iftah baynan wa bayna qauminā bilḥaqqi wa anta khayru al-fātiḥīna “Sungguh, kami telah mengada-adakan kebohongan yang besar terhadap Allah, jika kami kembali kepada agamamu, setelah Allah melepaskan kami darinya. Dan tidaklah pantas kami kembali kepadanya kecuali jika Allah, Tuhan kami menghendaki.Pengetahuan Tuhan kami meliputi segala sesuatu.Hanya kepada Allah kami bertawakal.Ya Tuhan kami, berilah keputusan antara kami dan kaum kami dengan hak adil.Engkaulah pemberi keputusan terbaik.” Al-Maragi 1993:2 mengungkapkan bahwa pada ayat ini Nabi Syu’aib tidak mau kembali kepada agama para pemuka kaum Syu’aib yang kafir. Dan 41 bahwa tidak seorang pun dapat memaksa mereka merubah sikap selain Allah yang maha mampu melakukan apa saja yang dikehendaki-Nya. 5. Surah Yusuf ayat 38 :        wattaba‘tu millata ābāī ibrāh īma wa isḥāqa wa ya‘qūba mā kāna lanā an nusyrika billāhi min syaiin żālika min faḍli allāhi ‘alainā wa ‘alā an-nāsi wa lakin ak ṡara an-nāsi lā yasykurūna “dan aku mengikuti agama nenek moyangku: Ibrahim, Ishak dan Yakub. Tidak pantas bagi kami para nabi mempersekutukan sesuatu apapun dengan Allah.Itu adalah dari karunia Allah kepada kami dan kepada manusia semuanya; tetapi kebanyakan manusia tidak bersyukur.” Menurut Al-Maragi 1993: 276 mengungkapkan bahwa ayat ini menceritakan Nabi Yusuf a.s yang mengabarkan kepada kedua temannya di penjara bahwa Iamenganut agama Bapak-bapaknya yang telah menyeru kepada Tauhid yang murni. Yaitu, Ibrahim, Ishaq, dan Ya’qub. Pernyataan Yusuf seperti, merupakan penggembiraan targhib bagi kedua sahabatnya untuk beriman dan menganut tauhid, disamping keduanya berusaha agar mengingkari kemusyrikan dan kesesatan yang mereka anut selama ini. Makna kata ﺔﻠﻣ millatun yang terkandung dalam ayat ini adalah agama para Nabi.Makna ini dipahami dari segi konteks intrakalimat dilihat dari frase yang terletak sesudahnya yakni ﻲﺋﺎﺑﺁ ` ābā`ī ‘Bapak-bapakku’ yang dijelaskan lagi dengan kata-kata berikutnya yaitu ﻢﻴﻫﺍﺮﺑﺃ `ibrāhīmu ‘Nabi Ibrahim a.s’, ﻕﺎﺤﺳﺇ `is ḥāqu ‘Nabi Ishaq’, dan ﻞﻴﻋﺎﻤﺳﺇ `ismā’īlu ‘Nabi Isma’il’.Sehingga dapat 42 dipahami makna kontekstual kata ﺔﻠﻣ millatun pada ayat ini adalah agama para Nabi.     ṡumma auḥaynā ilayka anittabi’ millata ibrāhīmaḥanīfān wamākāna mina almusyrik īna”kemudian kami wahyukan kepadamu Muhammad,”ikutilah agama Ibrahim yang lurus, dan dia bukanlah termasuk orang musyrik.” Menurut Al-Maragi 1993 : 288 mengatakan bahwa ayat ini menerangkan bahwa Nabi Muhammad saw. Di perintahkan untuk mengikuti agama Nabi Ibrahim a.s dengan meniadakan kemusyrikan. Makna kata ﺔﻠﻣ millatun yang terkandung pada ayat ini adalah agama para Nabi. Makna ini dipahami dari segi konteks intrakalimat dilihat dari kata yang terletak sesudahnya yakni ﻢﻴﻫﺍﺮﺑﺃ `ibrāhīmu ‘Nabi Ibrahima.s’. konteks ayat menceritakan tentang Nabi Muhammad saw diperintah untuk mengikuti agama Nabi Ibrahin yang lurus, berserah diri kepada Allah, dan bersih dari penyembahan terhadap berhala.

B. Kata yang bermakna tuntunan, cara hidup agama Yahudi, Nasrani

1. Surah Al-Baqarah ayat 120 :        wa lan tar ḍā ‘anka al-yahūdu wa lā an-naṣārā ḥattā tattabi‘a millatahum qul inna hudā allāhi huwa alhudā wala inittaba‘ta āhwā ahum ba‘dallażī jāaka mina al- ‘ilmi mā laka mina allāhi min waliyyin wa lā naṣīrin “dan orang-orang Yahudi dan Nasrani tidak akan rela kepadamu Muhammad sebelum engkau mengikuti agama mereka. Katakanlah,”sesunggunya petunjuk Allah itulah petunjuk yang sebenarnya.”Dan jika engkau mengikuti keinginan mereka setelah ilmu kebenaran sampai kepadamu, tidak akan ada bagimu pelindung dan penolong dari Allah.” Al-Maragi 1993: 120 Millah adalah suatu syariat yang dterangkan sebagai pengatur hamba-hamba Allah. Dalam ayat ini dijelaskan bahwa Rasulullah sangat ingin golongan ahli kitab Yahudi dan Nasrani beriman kepadanya namun justru mereka yang paling menentang karena kebiasaan mereka merusak ajaran-ajaran agama dengan menambahkan syariat sendiri dan meminta Nabi untuk mengikutinya.Agama telah dijadikan model kebangsaan bagi mereka. Ini menunjukkan bahwa agama menurut mereka adalah cara hidup mereka. Makna ﺔﻠﻣ millatun yang terkandung di dalam ayat ini adalah agama Yahudi dan Nasrani.Makna ini dipahami dari segi konteks intrakalimat dilihat dari kata yang terletak sesudahnya yakni kata ganti orang ketiga jama’ banyak yaitu ﻢﻫ hum ‘mereka laki-laki’ yang merujuk kepada kata yang terletak sebelumnya pada kalimat yang sama yakni ﺩﻮﻬﻴﻟﺍ al- yahūdu ‘Yahudi’ dan ﻯﺮﺼﻨﻟﺍ an-na ṣarā ‘Nasrani’. Sehingga disimpulkan bahwa makna kontekstual kata ﺔﻠﻣ millatun adalah agama berupa cara hidup Yahudi dan Nasrani. 2. Surah Shad ayat 7 :    m ā sami‘nā bihāżā fī al-milati al-akhirati in hāżā illā ikhtilāqun “ Kami tidak pernah mendengar hal ini dalam agama yang terakhir, ini mengesakan Allah, tidak lain hanyalah dusta yang diadakan-adakan.” Al-Maragi 1993: 164 menyatakan bahwa pada ayat ini para pemuka Quraisy mencoba mencegah dakwah Nabi Muhammad saw dengan menyebutkan 43 44 bahwa mereka tidak pernah mendengar tentang Tauhid yang diserukan oleh Nabi Muhammad kepada mereka pada agama yang terakhir, yaitu agama Nasrani. Karena, orang-orang Nasrani mengatakan tentang Trinitas dan beranggapan bahwa Trinitas itulah agama yang dibawa oleh Nabi Isa a.s. Makna kata ﺔﻠﻣ millatun bermakna agama Nasrani.Makna ini dipahami dari segi konteks intrakalimat dilihat dari kata yang terletak sesudahnya yakni kata ﺓﺮﺧﻵﺍ al- `ākhiratu ‘yang terakhir’ membentuk frasa adjektiva dengan kata ﺔﻠﻣ millatun sehingga bermakna agama yang terakhir. Ditinjau dari segi konteks situasi waktu maka dapat dipahami agama yang terakhir adalah agama Nasrani karena pada masa itu agama terakhir yang dikenal oleh Quraisy adalah agama Nasrani di antara agama-agama ahli kitab yang lainnya.

C. Kata yang bermakna kepercayaan nenek moyang

1. Surah Al-A’raf ayat 88 :       q āla al-malaullażīna istakbarū min qaumihi lanukhrijannaka yāsyu‘aibu wallażīna āmanū ma‘aka min qaryatinā au lata‘ūdunna f ī millatnā qāla awalau kunnā kārihīna “pemuka-pemuka yang menyombongkan diri dari kaum Syuaib berkata,”Wahai SyuaibPasti kami usir engkau bersama orang-orang yang beriman dari negeri kam, kecuali engkau kembali kepada agama kami.”Syuaib berkata,”Apakah kamu akan mengusir kami, kendatipun kami tidak suka?” Al-Maragi 1993: 2 mengemukakan bahwa pada ayat ini para pemuka kaum Nabi Syu’aib mengancam beliau bahwa akan mengusirnya beserta para pengikutnya jika mereka tidak mau kembali menganut kepercayaan-kepercayaan mereka anut yang telah turun temurun mereka terima dari nenek moyang. Sebelum menjadi Nabi, Syu’aib tak pernah menganut selain agama kaumnya.Oleh sebab itu, enak saja mereka menuntut dia supaya kembali lagi kepada agama mereka. Makna kata ﺔﻠﻣ millatun pada ayat ini adalah kepercayaan nenek moyang.Makna muncul jika ditinjau dari segi konteks intrakalimat dilihat dari kata yang terletak sesudahnya yakni ḍamīr kata ganti kepemilikan orang pertama jama’ banyak yaitu ﺎﻧ nā ‘kami, kita’ yang merujuk kepada kaum Nabi Syu’aib.Ditinjau dari segi waktu, kaum Nabi Syu’aib menganut kepercayaan paganism dan curang dalam menakar timbangan merupakan suatu kebiasaan yang dianggap wajar dan merupakan bagian dari kepercayaan mereka.Oleh karena itu makna kontekstual kata ﺔﻠﻣ millatun pada ayat ini adalah kepercayaan nenek moyang. 2. Surah Yusuf ayat 37 :        q āla lā yatīkumā ṭa‘āmun turzaqānihi illā nabbatukumā bitawīlihi qabla an yatiyakumā żālikumā mimmā ‘allamanī rabbī innī taraktu millata qaumin lā yuminūna billāhi wahum bilākhirati hum kāfirūna “Dia Yusuf berkat,”makanan apapun yang akan diberikan kepadamu berdua aku telah dapat menerangkan takwilnya, sebelummakanan itu sampai kepadamu. Itu sebagian dari yang diajarkan Tuhan kepadaku.Sesungguhnya aku telah meninggalkan agama orang-orang yang tidak beriman kepada Allah, bahkan mereka tidak percaya kepada hari akhirat.” Al-Maragi 1993: 271 menyatakan bahwa pada ayat ini Allah mengisahkan tentang keadaan Nabi Yusuf di dalam penjara dan disebutkan pula bagaimana Allah menyayangi Yusuf a.s. Yakni, sedang menganugerahkan ilmu tentang ta’bir mimpi, yang dengan itu Ia dapat mena’birkan kepada setiap orang yang bermimpi. Hal itu adalah salah satu nikmat beriman kepada Allah yang dianugerahkan kepadanya dan kepada bapak-bapaknya yaitu Ibrahim. Kata ﺔﻠﻣ millatun pada ayat ini bermakna agama atau kepercayaan nenek moyang.Makna ini muncul ditinjau dari konteks intrakalimat dilihat dari kata yang terletak sesudahnya yaitu ﻡﻭﻗ qawmun ‘kaum’.Kaum yang dimaksud adalah bangsa Kan’an dan penduduk tanah yang dijanjikan lainnya.Menurut situasi lingkungan pengguna bahasa dimana konteks ayat menceritakan kisah Nabi Yusuf a.s yang tinggal di Mesir maka dapat disimpulkan bahwa makna kontekstual kata ﺔﻠﻣ millatun adalah kepercayaan nenek moyang. 3. Surah Al-Kahfi ayat 20 :     innahum in ya ẓharū ‘alaikum yarjumūkum au ya‘īdūkum fī milltihim wa lan tufli ḥū iżān abadān “sesungguhnya jika mereka dapat mengetahui tempatmu, niscaya mereka akan melempari kamu dengan batu, atau memaksamu kembali kepadaagama meraka, dan jika demikian niscaya kamu tidak akan beruntung selama-lamanya.” Ayat di atas merupakan potongan kisah Ashabul Kahfiyang telah dibangunkan oleh Allah swt setelah tertidur sekian ratus tahun. Ayat di atas adalah perkataan salah satu dari Ashabul Kahfi kepada temannya yang akan pergi ke kota untuk menyelidiki berapa lama mereka telah berada di gua karena mereka berselisih paham akan hal itu. Kata ﺔﻠﻣ millatun pada ayat ini secara kontekstual dapat dipahami sebagai kepercayaan nenek moyang. Hal ini ditinjau dari konteks intrakalimat melihat kata sesudahnya yaitu dhamirkata ganti ْﻡُﻫ hum ‘mereka’ yang merujuk kaum dari Ashabul Kahfi dan dari segi konteks situasi waktu dari terjadinya peristiwa pada ayat di atas dapat dipahami bahwa ‘mereka’ pada ayat di atas adalah nenek moyang. 46

3.4 Makna Kontekstual Kata