30
2.4 Penyakit AIDS
Penyakit Acquired Immune Deficiency Syndrome AIDS disebabkan oleh Virus Human Immunodeficiency Virus HIV. HIV-1, yaitu virus HIV yang pertama
diidentifikasi oleh Luc Montainer di Institut Pasteur Paris, tahun 1983. Karakteristik virus sepenuhnya diketahui oleh Robert Gallo di Washington dan Jay Levy di San
Fransisco, tahun 1984. HIV-2, dan berhasil diisolasi dari pasien di Afrika Barat pada tahun 1986.
HIV adalah virus siropatik diklasifikasikan dalam family Retroviridae, subfamily Lentivirinae, genus Lentivirus. Berdasarkan strukturnya HIV termasuk
family retrovirus, dan termasuk dalam virus RNA dengan berat molekul 9,7kb kilobases.
2.4.1 Perkembangan AIDS di Indonesia
Di Indonesia kasus HIV dan AIDS pertama kali ditemukan di Bali tahun 1987, yang dibawa oleh warga negara Belanda yang merupakan pria homoseksual. Pada saat itu
perjalanannya tidak mengalami perkembangan yang berarti, akan tetapi setelah tahun 1985 penyebaran HIV meningkat dengan tajam. Sejak tahun 1999 terjadi fenomena
baru penyebaran HIV dan AIDS, yaitu infeksi HIV mulai terlihat pada para pengguna narkotika suntikan atau Infecting Drug User IDU. Penularan pada kelompok IDU
terjadi sangat cepat karena penggunaan jarum suntik bersama. Sedangkan pada tahun 2000 terjadi peningkatan penyebaran pandemi HIV secara nyata terjadi melalui
pekerja seks. Sejak ditemukan kasus pertama di Bali pada tahun 1987, maka tahun 1999 tercatat 815 kasus HIV dan AIDS, 112 diantaranya meninggal.
Pada tahun 2002, orang yang rawan tertular HIV di Indonesia antara 13 juta sampai 20 juta, sedangkan orang dengan HIV dan AIDS ODHA diperkirakan antara
90.000 sampai 130.000orang. Di Jawa Timur tahun 2002 tercatat 597 kasus. Di Surabaya hingga November 2002 tercatat 340 kasus HIV dan AIDS. Di RSU
Dr.Soetomo hingga November 2002 telah dirawat 110 kasus, 39 35 diantaranya meninggal dalam perawatan rumah sakit. Hingga September 2006 dirawat di UPIPI
Universitas Sumatera Utara
31
RSU Dr.Soetomo 711 kasus AIDS dengan kematian 27,9. Tahun 2008 dilaporkan
22.664 kasus, 16.110 AIDS dan 6.554 HIV dengan jumlah kematian 3362 jiwa.
Pada Juni 2011 Ditjen PP dan PL Kemenkes RI melaporkan terdapat 36.080 kasus yang telah terjadi di Indonesia, dengan estimasi kasus 200.000. Menurut
AIDS Epidemic Update, UNAIDS 2007 Indonesia merupakan negara dengan tingkat perkembangan AIDS tertinggi di ASIA.
Menurut data Kementerian Kesehatan RI, kasus HIVAIDS yang terjadi di Indonesia dapat ditampilkan dalam diagram seperti di bawah ini :
Gambar 2.4 Diagram Kasus HIVAIDS di Indonesia tahun 2005-2011
2.4.2 Transmisi Infeksi AIDS
Transmisi HIV masuk ke dalam tubuh manusia melalui 3 cara, yaitu : 1.
Secara Vertikal dari ibu yang terinfeksi HIV ke anak selama megandung, persalinan, menyusui.
2. Secara Transeksual homoseksual maupun heteroseksual.
3. Secara Horizontal yaitu kontak antardarah atau produks darah terinfeksi asas
sterilisasi kurang diperhatikan terutama pada pemakaian jarum suntik bersama sama secara bergantian, tato, tindik, transfusi darah, transplantasi organ, tindakan
hemodialisis, perawatan gigi.
Universitas Sumatera Utara
32
HIV dapat diisolasi dari darah, semen, cairan serviks, cairan vagina, ASI, air liur, serum, urin, air mata, cairan alveolar, cairan serebrospinal. Dan, sejauh ini
transmisi secara efisien terjadi melalui darah, cairan semen, cairan vagina, dan serviks, ASI.
2.4.2.1 Transmisi melalui Kontak Seksual
Studi Kohort yang dilakukan Lifson pada pria homoseksual dan biseksual di California yang seropositif HIV sebelum Januari 1981, ternyata 52 di antaranya
mengidap AIDS pada tahun 1989. Diperkirakan 54 individu dengan seropositif HIV akan menjadi AIDS dalam 8-10 tahun kemudian.
Di Indonesia waktu yang diperlukan menjadi AIDS dapat lebih singkat karena penderita hidup pada lingkungan dengan kejadian berbagai infeksi. Kontak seksual
merupakan salah satu cara utama transmisi HIV di berbagai belahan dunia. Virus ini dapat ditemukan dalam cairan semen, cairan vagina, cairan serviks, terutama bila
terjadi peningkatan jumlah limfosit dalam cairan, seperti pada keadaan peradangan genitalia misalnya uretritis, epididimitis, dan kelainan lain yang berkaitan dengan
penyakit menular seksual.
Transmisi infeksi HIV melalui hubungan seksual lewat anus lebih mudah karena hanya terdapat membrane mukosa rectum yang tipis dan mudah robek, anus
sering terjadi lesi. Pada kontak seks pervaginal, kemungkinan transmisi HIV dari laki- laki ke perempuan diperkirakan sekitar 20 kali lebih besar dari pada perempuan ke
laki-laki. Hal ini disebabkan oleh paparan HIV secara berkepanjangan pada mukosa vagina, serviks, serta endometrium dengan semen yang terinfeksi.
2.4.2.2 Transmisi melalui Darah
HIV dapat ditransmisikan melalui darah dan produk darah, terutama pada individu pengguna narkotika itravena dengan pemakaian jarum suntik secara bersama dalam
Universitas Sumatera Utara
33
satu kelompok tanpa mengindahkan asas sterilisasi. Dapat juga pada individu yang menerima transfusi darah atau produk darah yang mengabaikan tes penapisan HIV.
Namun pada saat ini hal tersebut jarang terjadi dengan semakin meningkatnya perhatian dan semakin baiknya tes penapisan terhadap darah yang ditransfusikan.
Diperkirakan bahwa 90 sampai 100 orang yang mendapat trasfusi darah yang tercemar HIV akan mengalami infeksi. Transfusi darah lengkap whole blood,
sel darah merah packed red blood, trombosit, leukosit, dan plasma semuanya berpotensi menularkan HIV.
Suatu penelitian di Amerika Serikat melaporkan resiko infeksi HIV-1 melalui transfusi darah dari donor yang terinfeksi HIV berkisar antara 1 per 750.000 hingga 1
per 835.000. Pada proses bayi tabung dan transplantasi organ dilaporkan beberapa kasus penularan HIV melalui semen yang digunakan dalam inseminasi buatan dan
jaringan yang digunakan pada transplantasi organ sehingga sekarang setiap donor harus diperiksa akan kemungkinan infeksi HIV sebelum transplantasi.
2.4.2.3 Transmisi secara Vertikal
Transmisi secara vertikal dapat terjadi dari ibu yang terinfeksi HIV kepada janinnya sewaktu hamil, sewaktu persalinan, dan setelah melahirkan melalui pemberian Air
Susu Ibu ASI.
Angka penularan selama kehamilan sekitar 5-10, sewaktu persalinan 10- 20, dan saat pemberian ASI 10-20. Namun, diperkirakan penularan ibu kepada
janin atau bayi terutama terjadi pada masa perinatal. Hal ini didasarkan saat identifikasi infeksi oleh teknik kultur atau Polymerase Chain Reaction PCR pada
bayi setelah lahir negatif saat lahir dan positif beberapa bulan kemudian.
Universitas Sumatera Utara
34
2.4.2.4 Transmisi melalui Cairan Tubuh Lain
Walaupun HIV pernah ditemukan dalam air liur pada sebagian kecil orang yang terinfeksi, tidak ada bukti yang meyakinkan bahwa air liur dapat menularkan infeksi
HIV baik melalui ciuman biasa maupun paparan lain misalnya sewaktu bekerja sebagai petugas kesehatan.
Selain itu, air liur dibuktikan mengandung inhibitor terhadap aktivitas HIV. Demikian juga belum ada bukti bahwa cairan tubuh lain misalnya air mata, keringat,
dan urin dapat merupakan media transmisi HIV. Namun, cairan tubuh tersebut tetap harus diperlakukan sesuai tindakan pencegahan melalui kewaspadaan universal.
2.4.3 Reseptor CD4 Cluster of Differentiation 4
Perjalanan infeksi HIV di dalam tubuh manusia diawali dari interaksi gp120 glycoprotein 120 pada selubung HIV berikatan dengan reseptor spesifik CD4 yang
terdapat pada permukaan membran sel target kebanyakan limfosit T-CD4. Sel target utama adalah sel target yang mampu mengekspresikan reseptor CD4
Setelah 4-11 hari sejak paparan pertama HIV dapat dideteksi di dalam darah. Selama dalam sirkulasi sistemik terjadi viremia dengan disertai gejala dan tanda
infeksi virus akut seperti panas tinggi mendadak, nyeri kepala, nyeri sendi, nyeri otot, mual, muntah, sulit tidur, batuk-pilek, dan lain-lain. Keadaan ini disebut retroviral
akut. Pada fase ini mulai terjadi penurunan CD4 dan peningkatan HIV-RNA Viral load. Viral load beban yang disebabkan oleh virus; pneumonia radang paru akan
meningkat dengan cepat pada awal infeksi dan kemudian akan menurun sampai pada suatu titik tertentu. Dengan semakin berlanjutnya infeksi, viral load secara perlahan
cenderung terus meningkat. Keadaan tersebut akan diikuti dengan penurunan hitung CD4 secara perlahan dalam waktu beberapa tahun dengan laju penurunan CD4 yang
lebih cepat pada kurun waktu satu setengah tahun sampai dua setengah tahun, sebelum akhirnya jatuh ke stadium AIDS.
Universitas Sumatera Utara
35
Fase selanjutnya HIV akan berusaha masuk ke dalam sel target. Sel yang menjadi target HIV adalah sel yang mampu mengekspresikan reseptor CD4. Untuk
bisa masuk ke sel target, gp120 HIV perlu berikatan dengan reseptor CD4. Reseptor CD4 ini terdapat pada permukaan limfosit T, monosit-makrofag
, Langerhan’s, sel dendrit, astrosit, microglia. Selain itu, untuk masuk ke sel HIV memerlukan
chemokine reseptor yaitu CXCR4 dan CCR5.
Mikroorganisme lain yang memicu infeksi sekunder dan memengaruhi jalannya replikasi adalah bakteri, virus, jamur, maupun protozoa. Dari keempat
golongan mikroorganisme tersebut yang paling besar pengaruhnya terhadap percepatan replikasi HIV adalah virus non-HIV, terutama adalah virus DNA.
Secara perlahan namun pasti, limfosit T penderita akan tertekan dan semakin menurun dari waktu ke waktu. Individu yang terinfeksi HIV mengalami penurunan
jumlah limfosit T-CD4 melalui beberapa mekanisme sebagai berikut : 1.
Kematian sel secara langsung karena hilangnya integritas membran plasma akibat adanya penonjolan dan perobekan oleh virion, akumulasi DNA virus
yang tidak berintegrasi dengan nukleus, dan terjadinya gangguan sintesis makromolekul.
2. Syncytia formation, yaitu terjadinya fusi antar membran sel yang terinfeksi
HIV dengan limfosit T-CD4 yang tidak terinfeksi. 3.
Respons imun humoral dan seluler terhadap HIV ikut berperan melenyapkan virus dan sel yang terinfeksi virus. Namun respons ini bisa menyebabkan
disfungsi imun akibat eliminasi sel yang terinfeksi dan sel normal di sekitarnya innocent-bystander.
4. Mekanisme autoimun dengan pembentukan autoantibodi yang berperan untuk
mengeliminasi sel yang terinfeksi. 5.
Kematian sel yang terprogram apoptosis. Peningkatan antara gp120 di bagian V3 dengan reseptor CD4 Limfosit T merupakan sinyal pertama untuk
menyampaikan pesan kematian sel melalui apoptosis.
Universitas Sumatera Utara
36
6. Kematian sel target terjadi akibat hiperaktivitas Hsp70 40-kDa heat-shock
protein, sehingga fungsi sitoprotektif, pengaturan irama dan waktu folding protein terganggu, terjadi missfolding dan denaturasi protein, dan kematian
sel.
Dengan berbagai proses kematian limfosit T tersebut terjadi penurunan jumlah limfosit T-CD4 secara dramatis dari normal berkisar 600-1200mm
3
menjadi 200mm
3
atau lebih rendah lagi. Semua mekanisme tersebut menyebabkan penurunan sistem imun sehingga pertahanan individu dan meningkatkan resiko terjadinya infeksi
sekunder sehingga masuk ke stadium AIDS. Masuknya infeksi sekunder menyebabkan munculnya keluhan dan gejala klinis sesuai jenis infeksi sekundernya.
2.4.4 Perjalanan Infeksi HIV
Perjalanan infeksi HIV, jumlah limfosit T-CD4, jumlah virus dan gejala klinis melalui 3 fase berikut:
1. Fase Infeksi Akut
Setelah HIV menginfeksi sel target, terjadi proses replikasi yang menghasilkan virus-virus baru virion jumlahnya berjuta-juta virion. Viremia dari begitu
banyak virion tersebut memicu munculnya gangguan infeksi akut dengan gejala yang mirip sindrom semacam flu yang juga mirip dengan infeksi
mononukleosa. Diperkirakan bahwa sekitar 50 - 70 orang yang terinfeksi HIV mengalami sindrom infeksi akut selama 3 sampai 6 minggu setelah
terinfeksi virus dengan gejala umum yaitu demam, faringitis, limfadenopati, artralgia, mialgia, letargi, malaise, nyeri kepala, mual, muntah, diare,
anoreksia, penurunan berat badan. HIV juga sering menimbulkan kelainan pada sistem saraf meskipun paparan HIV terjadi pada stadium infeksi masih
awal. Menyebabkan meningitis, ensefalitis, neuropati perifer, dan mielopati. Pada fase akut terjadi penurunan limfosit T yang dramatis dan kemudian
terjadi kenaikan limfosit T pada fase ini masih di atas 500 selmm
3
dan kemudian akan mengalami penurunan setelah 6 minggu terinfeksi HIV.
Universitas Sumatera Utara
37
2. Fase Infeksi Laten
Pada fase ini jarang ditemukan virion di plasma sehingga jumlah virion di plasma menurun karena sebagian besar virus terakumulasi di kelenjar limfa
dan terjadi replikasi di kelenjar limfa. Sehingga penurunan limfosit T terus terjadi walaupun virion di plasma jumlahnya sedikit.
Pada fase ini jumlah limfosit T-CD4 menurun hingga sekitar 500 sampai 200 selmm
3
, meskipun telah terjadi setelah serokonversi positif individu umumnya belum menunjukkan gejala klinis asimtomatis. Beberapa pasien terdapat
sarkoma Ka posi’s, Herpes simpleks, sinusitis bacterial, Herpes Zooster, dan
pneumonia yang sering berlangsung rerata sekitar 8-10 tahun dapat 3-13 tahun setelah terinfeksi HIV.
Pada tahun ke delapan setelah terinfeksi HIV akan muncul gejala klinis, yaitu demam, banyak berkeringat pada malam hari, kehilangan berat badan kurang
dari 10, diare, lesi pada mukosa dan kulit berulang, penyakit infeksi kulit berulang. Gejala ini merupakan tanda awal munculnya infeksi oportunistik.
3. Fase Infeksi Kronis
Pada fase ini terjadi peningkatan jumlah virion secara berlebihan di dalam aliran sistemik. Respons imun tidak mampu meredam jumlah virion yang
berlebihan tersebut. Limfosit semakin tertekan karena intervensi HIV yang semakin banyak.
Terjadi penurunan jumlah limfosit T-CD4 hingga di bawah 200 selmm
3
. Penurunan limfosit T ini mengakibatkan sistem imun menurun dan pasien
semakin rentan terhadap berbagai macam penyakit infeksi sekunder. Perjalanan penyakit semakin progresif yang mendorong ke arah AIDS. Infeksi
sekunder yang sering menyertai adalah pneumonia yang disebabkan Pneumocytis carinii, tuberculosis, sepsis, toksoplasmosis ensefalitis, diare
akibat kriptosporidiasis, infeksi virus situmegalo, infeksi virus herpes, kandidiasis bronchus atau paru, serta infeksi jamur jenis lain misalnya
histoplasmosis.
Selain 3 fase tersebut ada periode masa jendela, yaitu periode dimana pemeriksaan tes antibodi HIV masih menunjukkan hasil negatif walaupun virus sudah
ada dalam darah pasien dengan jumlah yang banyak. Antibodi yang terbentuk belum
Universitas Sumatera Utara
38
cukup terdeteksi melalui pemeriksaan laboratorium kadarnya belum memadai. Antibodi terhadap HIV biasanya muncul dalam 3-6 minggu hingga 12 minggu setelah
infeksi primer.
Periode jendela sangat penting diperhatikan karena pada periode jendela ini pasien sudah mampu dan potensial menularkan HIV kepada orang lain.
2.4.5 Diagnosis Infeksi AIDS
Untuk membantu menetapkan diagnosis terinfeksi HIV pada individu perlu memahami faktor resiko epidomiologis yang terdapat pada individu tersebut.
Informasi ini sangat memudahkan dokter sebelum melangkah ke arah diagnosis definitive. Konseling dan pemeriksaan terhadap individu beresiko tinggi merupakan
langkah utama untuk pencegahan dan deteksi dini. Individu yang terinfeksi tetapi tidak mengetahui, tidak menyadari sangat potensil mentransmisikan ke orang lain.
Faktor epidomiologis infeksi HIV adalah sebagai berikut : 1.
Perilaku beresiko tinggi : -
Hubungan seksual dengan pasangan yang beresiko tinggi tanpa menggunakan kondom.
- Pengguna narkotika intravena, terutama bila pemakaian jarum
secara bersama tanpa sterilisasi yang memadai. -
Hungan seksual yang tidak aman, multipartner, pasangan seks individu yang diketahui terinfeksi HIV, kontak seks per anal.
2. Mempunyai riwayat infeksi menular seksual.
3. Riwayat menerima transfusi darah berulang tanpa test penapisan.
4. Riwayat perlukaan kulit, tato, tindik, atau sirkumsisi dengan alat yang
tidak disterilisasi.
Diagnosis infeksi HIV dan AIDS dapat ditegakkan berdasarkan klasifikasi klinis WHO dan atau CDC atau disebut juga dengan manifestasi klinis. Manifestasi
Universitas Sumatera Utara
39
klinis infeksi HIV merupakan gejala dan tanda pada tubuh host akibat intervensi HIV. Manifestasi ini dapat merupakan gejala dan tanda infeksi virus akut, keadaan
asimtomatis berkepanjangan, hingga manifestasi AIDS berat. Di Indonesia diagnosis AIDS untuk keperluan surveilans epidomiologi dibuat bila menunjukkan test HIV
positif dan sekurang-kurangnya didapat 2 gejala mayor dan 1 gejala minor.
Manifestasi gejala dan tanda dari HIV dapat dibagi menjadi empat tahap, yaitu:
1. Tahap Pertama.
Merupakan tahap infeksi akut, pada tahap ini muncul gejala tetapi tidak spesifik. Tahap ini muncul 6 minggu pertama setelah paparan HIV dapat
berupa demam, rasa letih, nyeri otot dan sendi, nyeri telan, dan pembesaran kelenjar getah bening. Dapat juga disertai meningitis aseptik yang ditandai
dengan nyeri kepala hebat, kejang-kejang dan kelumpuhan saraf otak. 2.
Tahap Kedua. Merupakan tahap asimtomatis, pada tahap ini gejala dan keluhan hilang. Tahap
ini berlangsung 6 minggu hingga beberapa bulan, bahkan beberapa tahun setelah infeksi. Pada saat ini sedang terjadi internalisasi HIV ke intraseluler.
Pada tahap ini aktifitas penderita masih normal. 3.
Tahap Ketiga. Merupakan tahap simtomatis, pada tahap ini gejala dan keluhan lebih spesifik
dengan gradasi sedang sampai berat. Berat badan menurun tetapi tidak lebih dari 10, pada selaput mulut terjadi sariawan berulang, terjadi peradangan
pada sudut mulut, dapat juga ditemukan infeksi bakteri pada saluran nafas bagian atas namun penderita dapat melakukan aktifitas meskipun terganggu.
Penderita lebih banyak di tempat tidur meskipun kurang dari 12 jam per hari dalam bulan terakhir.
4. Tahap Keempat.
Merupakan tahap yang lebih lanjut atau tahap AIDS. Pada tahap ini terjadi penurunan berat badan hingga lebih dari 10, diare yang lebih dari 1 bulan,
demam yang tidak diketahui sebabnya selama lebih dari sebulan,
Universitas Sumatera Utara
40
kandidiasis oral, oral hairy leukoplakia, tuberculosis paru, dan pneumonia bakteri. Penderita berbaring di tempat tidur lebih dari 12 jam selama sebulan
terakhir.
2.4.6 Gejala Mayor dan Minor pada pasien AIDS.
Berdasarkan klasifikasi klinis yang ditetapkan WHO dan CDC dalam mendiagnosis AIDS, maka dikelompokkan ke dalam dua gejala pokok, yaitu gejala mayor dan gejala
minor. Gejala mayor atau disebut juga dengan gejala umum terdiri dari:
1. Berat badan menurun lebih dari 10 dalam sebulan.
2. Diare kronis yang berlangsung lebih dari sebulan.
3. Demam berkepanjangan lebih dari sebulan.
4. Penurunan kesadaran dan gangguan neurologis, seperti : kebingungan
dan pelupa, mati rasa pada lengan dan kaki. 5.
Ensefalopati HIV Gejala yang termasuk ensefalitis peradangan otak, perubahan
perilaku, dan penurunan fungsi kognitif secara bertahap, termasuk kesulitan berkonsentrasi, ingatan dan perhatian juga menunjukkan
pengembangan fungsi motor yang melambat dan kehilangan ketangkasan serta koordinasi.
Sedangkan untuk gejala minor terdiri dari: 1.
Batuk menetap lebih dari sebulan. 2.
Dermatitis generalisata, merupakan penyakit kulit berupa perasaan gatal.
3. Herpes Zoster multisegmental berulang penyakit kulit, yang disebabkan
oleh virus dimana virus akan memperbanyak diri multiplikasi dan membentuk bintil-bintil kecil berwarna merah, berisi cairan, dan
menggembung pada daerah sekitar kulit yang dilalui virus tersebut. 4.
Kandidiasis orofangieal. Penyakit jamur pada rongga mulut dan kerongkongan.
Universitas Sumatera Utara
41
5. Herpes simpleks kronis progresif, merupakan berupa demam yang
terjadi berulang-ulang, dan disebabkan oleh virus herpes. 6.
Limfadenopati generalisata merupakan pembesaran di semua kelenjar limfa.
7. Infeksi jamur berulang pada alat kelamin wanita.
8. Retinitis oleh virus sitomegalo, merupakan kerusakan pada retina, tidak
dapat dipulihkan dan dapat meyebabkan kebutaan.
2.5 PHP Script