commit to user
1
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Perkembangan hukum agraria setelah berlakunya Undang–Undang Pokok Agraria UUPA Nomor 5 Tahun 1960 melahirkan banyak mekanisme atau
aturan–aturan baru mengenai sistem pengelolaan tanah yang ada di Indonesia. Dalam ruang lingkup agraria, tanah merupakan bagian dari bumi. Tanah yang
dimaksud disini bukan mengatur tanah dalam segala aspeknya, melainkan hanya mengatur salah satu aspeknya, yaitu tanah dalam pengertian yuridis yang disebut
hak. Tanah sebagai bagian dari bumi disebutkan dalam Pasal 4 ayat 1 UUPA, yaitu ”Atas dasar hak menguasai hak dari negara sebagai yang dimaksud dalam
Pasal 2 ditentukan adanya bermacam–macam hak atas permukaan bumi, yang disebut tanah, yang dapat diberikan kepada dan dipunyai oleh orang-orang, baik
sendiri maupun bersama–sama dengan orang–orang lain serta badan–badan
hukum” Urip Santoso, 2005:10.
Bagi bangsa Indonesia, tanah merupakan karunia Tuhan Yang Maha Esa dan sekaligus merupakan kekayaan Nasional, hal mana tercermin dan hubungan
antara Bangsa Indonesia dengan tanah adalah hubungan yang bersifat abadi dan kekal. Sebagian besar rakyatnya menggantungkan hidup dan kehidupannya pada
tanah, utamanya dalam bidang pertanian. Tanah dalam masyarakat agraris mempunyai kedudukan yang sangat penting sehingga harus diperhatikan
peruntukkan dan dipergunakan sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat, baik secara perseorangan maupun secara gotong royong. Dinyatakan dalam Pasal 33
ayat 3 Undang-Undang Dasar 1945 bahwa : “Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk
sebesar-sebesar kemakmuran rakyat”. Indonesia adalah salah satu Negara agraris yang menggantungkan
kehidupan masyarakatnya pada tanah. Bagi masyarakat Indonesia tanah merupakan sumber kehidupan dengan nilai yang sangat penting. Pentingnya arti
tanah bagi kehidupan manusia ialah karena kehidupan manusia sama sekali tidak
commit to user
2 bisa dipisahkan dari tanah. Manusia hidup di atas tanah dan memperoleh bahan
pangan dengan cara mendayagunakan tanah. Tanah merupakan tempat tinggal, tempat manusia melakukan aktivitas sehari-hari bahkan setelah meninggal pun
tanah masih diperlukan. Tanah juga merupakan suatu obyek yang khas sifatnya, dibutuhkan oleh
banyak orang, tetapi jumlahnya tidak bertambah. Secara kultur ada hubungan batin yang tak terpisahkan antara tanah dengan manusia. Sehubungan dengan hal
tersebut di atas, jelaslah bahwa pola penguasaan tanah tidak dapat dilepaskan dan permasalahan petani dan taraf kehidupan mereka. Kekurangan tanah, untuk
dijadikan lahan garapan merupakan permasalahan pokok dalam suatu masyarakat agraris. Kondisi pemilikan dan penguasaan tanah yang timpang seperti inilah yang
telah mendorong tekad para pendiri bangsa untuk menata struktur agrarian melalui kebijakan perundang-undangan guna mengangkat rakyat dan kemiskinan akibat
ketidakadilan akses rakyat atas tanah. Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-pokok Agraria yang dikenal dengan Undang-
Undang Pokok Agraria UUPA merupakan sumber pokok segala kebijaksanaan untuk menata masalah pertanahan dan meningkatkan produksi, taraf hidup dan
kesejahteraan sosial masyarakat sebagaimana yang diamanatkan dalam Pasal 33 Undang-Undang Dasar 1945.
Perjanjian Bagi Hasil Tanah Pertanian adalah suatu perbuatan hukum di mana pemilik tanah karena suatu sebab tidak dapat mengerjakan sendiri tanahnya,
tetapi ingin mendapatkan hasil atas tanahnya. Oleh karena itu, ia membuat suatu perjanjian bagi hasil dengan pihak lain dengan imbalan yang telah disetujui oleh
kedua belah pihak. Dengan kata lain, perjanjian bagi hasil, adalah suatu bentuk perjanjian antara penggarap, di mana penggarap diperkenankan mengusahakan
tanah itu dengan pembagian hasilnya antara penggarap dengan yang berhak atas tanah tersebut menurut imbangan yang telah disetujui bersama. Perjanjian bagi
hasil tanah pertanian dapat terjadi pada pemegang Hak Milik, Hak Sewa atau Hak Gadai, dan dalam praktek dapat juga diatas tanah lungguh atau tanah bengkok.
Akibat adanya gejolak ekonomi yang tak menentu seperti saat ini, menyebabkan pabrik–pabrik besar yang semula bisa menampung para tenaga
commit to user
3 kerja, tidak bisa melanjutkan usahanya lagi. Hal ini menimbulkan adanya
pengangguran disana sini banyak orang saling berburu pekerjaan. Tidak adanya lahan pekerjaan dikota besar menyebabkan terjadinya perpindahan penduduk dari
kota ke desa, mereka kembali menekuni pekerjaan bercocok tanam. Tetapi karena tidak punya lahan pertanian sendiri maka hanya merupakan penggarap tanah
pertanian tersebut. Namun demikian tidak pula terlepas dari sejumlah kondisi ekonomi seperti kekurangan modal, tersedianya buruh tani dalam jumlah yang
cukup banyak, artinya cadangan tenaga kerja di sektor pertanian yang cukup AMPA Scheltema, 1985:17.
Karena tanah yang tersedia untuk dibagikan hasilnya tidak seimbang dengan jumlah petani yang memerlukan tanah garapan, maka dikomersilkan dan
saling terdapat unsur–unsur pemerasan terhadap para penggarap. Maka untuk melindungi pihak yang lemah dan untuk meningkatkan taraf hidup petani
penggarap, dikeluarkanlah Undang–Undang Nomor 2 Tahun 1960 tentang Perjanjian Bagi Hasil Tanah Pertanian. Dalam hal ini terdapat ketentuan–
ketentuan mengenai pengertian perjanjian bagi hasil, bentuk perjanjian, jangka waktunya pembagian bagi hasil tanahnya serta hak–hak dan kewajiban pemilik
tanah dan petani panggarap. Ketentuan yang mana untuk menghindari keragu– raguan dalam menyelesaikan masalah yang timbul karena perselisihan antara
pemilik tanah dengan petani penggarap. Adapun maksud diadakannya Undang– Undang Nomor 2 Tahun 1960 adalah :
a. Agar pembagian hasil tanah antara pemilik dan penggarapnya dilakukan atas dasar yang adil.
b. Dengan menegaskan hak dan kewajiban pemilik dan penggarap, agar terjamin kedudukan hukum penggarap.
c. Adanya pembagian yang adil dan terjaminnya kepastian hukum para pihak, akan tercipta iklim yang kondusif yang memungkinkan peningkatan produksi
pertanian. Negara Indonesia yang 80 dari penduduknya masih memperoleh
penghasilan dari sektor pertanian adalah wajar apabila Indonesia mengatur perjanjian bagi hasil, yaitu dengan Undang–Undang Nomor 2 Tahun 1960.
commit to user
4 Adapun tujuan utama dari Undang–Undang Perjanjian Bagi Hasil adalah untuk
memberikan kepastian hukum kepada Petani Penggarap, sungguhpun tidak ada niat untuk memberikan perlindungan yang berlebihan terutama pada penggarap
tanah atau tuna kisma tersebut. Sehingga Undang–Undang itu sendiri bertujuan untuk menegakkan hak–hak dan kewajiban baik dari penggarap maupun pemilik
AP. Perlindungan, 1989:13. Dari hal–hal tersebut di atas mendorong penulis untuk meneliti aspek
keadilan dalam perjanjian bagi hasil tanah pertanian yang ada di Desa Sedah Kecamatan Jenangan Kabupaten Ponorogo.
Berdasarkan uraian latar belakang masalah di atas, maka penulis tertarik untuk menyusun skripsi dengan judul :
ASPEK KEADILAN DALAM PERJANJIAN BAGI HASIL TANAH PERTANIAN
DI DESA
SEDAH KECAMATAN
JENANGAN KABUPATEN PONOROGO .
B. Perumusan Masalah