commit to user
50 § Tamat SLPT Sederajat 93 orang.
§ Tamat SLTA Sederajat 160 orang. § Tamat Akademik Perguruan Tinggi 45 orang.
e. Penggunaan Tanah. 1 Tanah sawah luas seluruhnya adalah yang terdiri dari :
§ Irigasi tehnis 35 ha. § Irigasi setengah tehnis 0 ha.
§ Irigasi sederhana 5 ha. § Tadah hujan sawah rendengan 5 ha.
§ Lain – lain 0 ha. Jumlah seluruhnya 45 ha.
2 Tanah kering luas seluruhnya adalah 18, 25 ha terdiri dari : § Pekarangan bangunan 18 ha.
§ Tegal kebun 0, 25 ha. § Padang gambalaan 0 ha.
§ Tambak kolam 0 ha. § Rawa – rawa 0 ha.
§ Sementara tidak diusahakan 0 ha.
B. Pelaksanaan Perjanjian Bagi Hasil Tanah Pertanian di Desa
Sedah Kecamatan Jenangan Kabupaten Ponorogo.
Bagi hasil merupakan suatu lembaga Hukum Adat yang hidup dalam masyarakat. Hingga saat ini lembaga tersebut di Desa Sedah,
Kecamatan Jenangan, Kabupaten Ponorogo yang masih ada dan sangat dibutuhkan, karena sektor pertanian masih mempunyai arti penting dalam
menunjang perekonomian masyarakat tersebut. Karena penduduknya lebih banyak terkonsentrasi di bidang pertanian, tidaklah mengherankan bila
banyak dilakukan transaksi-transaksi untuk mengolah lahan pertanian dengan cara bagi hasil. Perjanjian transaksi bagi hasil di Desa Sedah
commit to user
51 lebih dikenal dengan istilah “maro” separuh dan “mertelu” dibagi
tiga . Perjanjian paron dan mertelu di Desa Sedah dapat diketemukan
beberapa unsur yaitu : 1. adanya kesepakatan para pihak;
2. izin menggarap dari pemilik tanah; 3. atas dasar kepercayaan;
4. perjanjian yang sebagian besar tidak tertulis atau lisan; 5. pembagian hasil menurut kebiasaan kesepakatan.
Bagi hasil kadang-kadang berfungsi sebagai lembaga pemeliharaan sanak keluarga. Dalam perjanjian bagi hasil tersebut hubungan sanak
keluarga tetap diprioritaskan untuk menggarap tanah, jika tidak ada lagi sanak keluarga yang bersedia menggarap tanah tersebut, penawaran baru
diberikan kepada orang lain yaitu tetangga dekat atau orang pendatang yang tidak ada hubungan kekerabatan.
Hasil penelitian penulis, dalam perjanjian bagi hasil tanah pertanian di Desa Sedah yang mengambil sample area di 4 empat
Dusun yang ada di Desa Sedah, yaitu : 1. Dusun Sidorejo,
2. Dusun Gundi, 3. Dusun Krajan, dan
4. Dusun Jasem. Dengan mengambil sampling random acak dari 80 delapan puluh
responden dengan pembagian 40 empat puluh responden pemilik tanah dan 40 empat puluh responden penggarap tanah. Yang akan di uraikan
lebih lanjut oleh penulis dalam bentuk table berikut.
a. Latar Belakang Alasan Perjanjian Bagi Hasil.
Tabel 3. Alasan pemilik tanah pertanian mengadakan perjanjian transaksi bagi hasil di Desa Sedah.
commit to user
52 NO.
Alasan bagi hasil f
1. 2.
3. Ada pekerjaan lain
Sudah tua Rasa sosial balas jasa
8 25
7 20
62.5 17.5
JUMLAH 40
100,0 Sumber : Data Primer
Latar belakang alasan pemilik tanah melakukan transaksi bagi hasil di Desa Sedah dari Data Primer table 3 di atas yaitu dengan
alasan sebagai berikut, dengan 8 delapan responden yang menyatakan ada pekerjaan lain yang seperti Pegawai Negeri Sipil,
Pedagang, Swasta, dll. 20, 25 dua puluh lima responden yang menyatakan karena faktor usia yang sudah tua sehingga tidak bisa
menggarap sendiri tanah pertaniannya 62,5, dan 7 tujuh responden yang menyatakan karena ada rasa sosial balas jasa 17,5,
berkaitan dengan hutang atau kurang mampu mengolah tanah tersebut. Sedangkan alasan penggarap mengadakan perjanjian
transaksi bagi hasil tanah pertanian adalah :
Tabel 4. Alasan penggarap tanah pertanian mengadakan perjanjian transaksi bagi hasil.
NO. Alasan bagi hasil
f 1.
2.
3. Ada pekerjaan tambahan
Penggarap tidak memiliki tanah pertanian
Adanya tambahan pendapatan 15
5
20 37.5
12.5
50 JUMLAH
40 100,0
Sumber : Data Primer Hasil penelitian dari data primer tabel 4 di atas yang
menyatakan alasan penggarap tanah pertanian mengedakan perjanjian
commit to user
53 transaksi bagi hasil tanah pertanian dapat diuraikan sebagai berikut,
15 lima belas responden yang menyatakan karena adanya pekerjaan tambahan untuk penggarap 37,5, 5 lima responden yang
menyatakan Penggarap tidak memiliki tanah pertanian sehingga penggarap bisa mengerjakan tanah dengan sistem bagi hasil yang
menguntungkan 12,5, dan 20 dua puluh responden yang menyatakan adanya tambahan pendapatan untuk memenuhi kebutuhan
sehari-hari 50. Walaupun pada tabel 3 dan tabel 4 telah ditemukan ketidak
sesuaian antara realita pelaksanaan perjanjian bagi hasil di Desa Sedah dengan apa yang ditentukan di Undang-Undang Nomor 2 tahun 1960
sesuai dengan Pasal 2 ayat 1 dimana dalam penjelasan pasalnya menyatakan, maksud diadaknnya pembatasan ini ialah agar tanah-
tanah garapan hanya digarap oleh orang-orang tani saja termasuk buruh tani, yang akan mengusahakannya sendiri, juga agar sebanyak
mungkin calon penggarap dapat memperoleh tanah garapan. Dengan adanya pembatasan ini maka dapatlah dicegah, bahwa seseorang atau
badan hukum yang ekonominya kuat akan bertindak pula sebagai penggarap dan mengumpulkan tanah garapan yang luas dan dengan
demikian akan mempersempit kemungkinan bagi para petani kecil calon penggarap untuk memperoleh tanah garapan. Namun, kenyataan
realita yang ada di Desa Sedah ini mungkin disebabkan dengan berbagai faktor dan penyebab antara lain, faktor perkembangan
teknologi dan globalisasi yang beakibat pada gaya hidup dan tuntutan ekonomi yang semakin meningkat, sehingga pemilik tanah pertanian
harus mencari pekerjaan lain dan tidak hanya mengadalkan pada hasil panen dari lahan pertanian.
commit to user
54 Luas tanah yang dimiliki oleh pemilik tanah pertanian.
Tabel 5. Luas tanah yang dimiliki oleh pemilik tanah. NO.
Luas tanah hektar f
1. 2.
3. 4.
0 –1 1,1 – 2
2,1 – 3 3
17 15
8 -
42.5 37.5
20
JUMLAH 40
100,0 Sumber : Data Primer
Hasil penelitian dari Data Primer table 5 di atas, menerangkan mengenai luas tanah yang dimiliki oleh pemilik tanah
pertanian yang dibagi menjadi, 17 tujuh belas responden 0 - 1 ha 42,5, 15 lima belas responden 1,1 – 2 ha 37,5 dan, 8
delapan responden 2,1 – 3 ha 20.
Menurut sumber data sekunder Pasal 2 Undang-Undang
Nomor 2 tahun 1960 disebutkan mengenai Luas tanah Bagi Hasil, yaitu :
1 Dengan tidak mengurangi berlakunya ketentuan dalam ayat 2 dan 3 pasal ini, maka yang diperbolehkan menjadi penggarap
dalam perjanjian bagi-hasil hanyalah orang-orang tani, yang tanah garapannya, baik kepunyaannya sendiri maupun yang
diperolehnya secara, menyewa, dengan perjanjian bagi-hasil ataupun secara lainnya, tidak akan lebih dari sekitar 3 tiga
hektar. 2 Orang-orang tani yang dengan mengadakan perjanjian bagi-hasil
tanah garapannya akan melebihi 3 tiga hektar, diperkenankan menjadi penggarap, jika mendapat izin dari Menteri Muda
Agraria atau penjabat yang ditunjuk olehnya.
commit to user
55 3 Badan-badan hukum dilarang menjadi penggarap dalam
perjanjian bagi-hasil, kecuali dengan izin dari Menteri Muda Agraria atau penjabat yang ditunjuk olehnya.
Menurut analisis data primer dan data sekunder di atas bahwa, sudah sesuainya pelaksanaan perjanjian bagi hasil tanah
pertanian di Desa Sedah dengan peraturan perundang-undangan yang ada.
Tabel 6. Menanggung Pembayaran Pajak Tanah. No.
Pihak yang Menanggung f
1. 2.
Pemilik Tanah Penggarap Tanah
40 -
100
JUMLAH 40
100,00 Sumber : Data Primer
Hasil dari data primer tabel 6 di atas, pihak yang menanggung pembayaran pajak tanah pada 40 empat puluh responden mencapai
100 yang mengemukakan bahwa pembayaran pajak tanah pertanian semua di tanggung oleh pemilik tanah tersebut.
Menurut data sekunder Pasal 9 Undang-Undang Nomor 2 tahun 1960 tentang Bagi Hasil, disebutkan mengenai kewajiban pembayaran
pajak, yaitu sebagai berikut : “Kewajiban membayar pajak mengenai tanah yang bersangkutan
dilarang untuk dibebankan kepada penggarap, kecuali kalau penggarap itu adalah pemilik tanah yang sebenarnya”.
Sehingga, dapat ditelaah sudah ada kesesuaian antara realita mengenai perjanjian bagi hasil yang ada di Desa Sedah ini dengan
perturan perundang-undangan yang ada.
b. Subjek Perjanjian Bagi Hasil Tanah Pertanian di Desa Sedah.
1 Pihak-pihak Dalam Perjanjian Bagi Hasil Tanah Pertanian. Subjek perjanjian bagi hasil secara umum adalah pemilik
tanah dan penggarap, namun sesuai dengan hukum yang berlaku
commit to user
56 sekarang bahwa yang berwenang mengadakan perjanjian bagi
hasil tidak saja terbatas pada pemilik dalam arti yang mempunyai tanah, tapi juga para pemegang gadai, penyewa dan lain-lain
berdasarkan sesuatu hak menguasai tanah yang bersangkutan. Sedangkan pihak penggarap dapat berbentuk perorangan atau
badan hukum. Dengan demikian dapat saja terjadi bahwa pihak- pihak perorangan maupun berbentuk badan hukum dan pihak
penggarap baik perorangan atau badan hukum, dan dapat saja terjadi dalam transaksi tersebut pihak pemilik sekaligus
penggarap. Hal ini sudah sesuai dengan ketentuan yang ada dalam Penjelasan Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1960 tentang Bagi
Hasil pada Pasal 1 Huruf b, dimana berisi : “Sesuai dengan hukumnya yang berlaku sekarang, yang berwenang untuk
mengadakan perjanjian bagi hasil itu tidak saja berbatas pada para pemilik dalam arti yang mempunyai tanah, tetapi juga para
pemegang gadai penyewa dan lain-lain orang yang berdasarkan sesuatu hak menguasai tanah yang bersangkutan. Untuk
mempersingkat pemakaian kata-kata maka mereka itu semua dalam Undang-undang ini disebut pemilik. Pemilik itu bisa juga
merupakan badan hukum, seperti lebih jauh dijelaskan dalam penjelasan Pasal 2 “.
Tabel 7. Pengetahuan Responden terhadap Undang-Undang bagi hasil.
NO. Pengetahuan UU Bagi
Hasil f
1. 2.
Tahu Tidak Tahu
25 55
31.25 68.75
JUMLAH 80
100 Sumber : Data Primer
commit to user
57 Pengetahuan responden terhadap Undang-Undang Bagi
Hasil Nomor 2 Tahun 1960 dapat dilihat pada Data Primer tabel 7 di atas. Perjanjian bagi hasil pada masyarakat Desa Sedah,
umumnya berdasarkan adat setempat, tidak berdasarkan undang- undang bagi hasil. Walaupun ada juga responden yang mengetahui
Undang-Undang tersebut ada 25 dua puluh lima responden 31,25, dan 55 responden yang menyatakan ketidaktahuan
dengan adanya Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1960 tersebut 68,75. Jadi, kenyataannya yang ada di Desa Sedah perjanjian
bagi hasil ini dibuat berdasarkan hukum adat kebiasaan setempat. Karena, masih banyaknya masyarakat yang tidak mengetahui
adanya Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1960 ini juga sangat mempengaruhi hal tersebut tumbuh dan berkembang dengan
kebiasaan yang dirasa lebih fleksibel oleh masyarakat dalam menentukan bagaimana mekanisme mengenai perjanjian bagi hasil
tanah pertanian ini. 2 Kata Sepakat.
Bagi masyarakat adat yang penting dalam pelaksanaan perjanjian bukan unsur subjektif atau unsur objektif tetapi
terlaksana dan terjadinya perjanjian itu didasarkan pada kesepakatan mufakat yang biasa dikenal dengan istilah
konsensualisme.
Tabel 8. Kata sepakat dalam perjanjian bagi hasil. NO.
Kesepakatan f
1. 2.
Ada Tidak Ada
80 -
100 -
JUMLAH 80
100 Sumber : Data Primer
Dari Data Primer tabel 8 di atas, dari 80 delapan puluh responden 100 menyatakan bahwa, pihak-pihak yang
commit to user
58 mengadakan transaksi bagi hasil berdasarkan kata sepakat. Dengan
tercapainya kata sepakat antara pihak-pihak mengenai pokok- pokok perjanjian berarti perjanjian itu sudah dilahirkan pada saat
atau detik tercapainya konsensus. Jadi, kata sepakat dalam perjanjian bagi hasil di Desa Sedah ini yang menjadi landasan
lahirnya dan diadakannya perjanjian bagi hasil tanah pertanian. 3 Kecakapan Hukum Berdasarkan Usia.
Sedangkan untuk mengetahui usia responden sehubungan dengan kedewasaan seseorang dalam perjanjian bagi hasil dapat
dilihat pada tabel berikut ini : Tabel 9. Golongan Umur Responden dalam Perjanjian bagi hasil.
NO. Umur
f 1.
2. 3.
21 – 30 31 – 40
40 20
25 35
25 31.25
37.50 JUMLAH
80 100
Sumber : Data Primer Dilihat pada Data Primer tabel 9 di atas, responden yang
berumur sampai dengan 21 - 30 tahun ada 20 dua puluh responden 25, umur 31 – 40 tahun ada 25 dua puluh luma
responden 31, 25, dan umur diatas 40 tahun ada 35 tiga puluh lima responden 37,50, dan secara hukum dilihat dari usia
responden ini dapat dikatakan bahwa para responden telah cakap dalam melakukan perbuatan hukum. Jadi, jika terjadi wanprestasi
maka kedua belah pihak yang mengadakan perjanjian sudah bisa mempertanggungjawabkan atau dimintai pertanggungjawaban
hukum terhadap pelaksanaan perjanjian bagi hasil di Desa Sedah ini.
commit to user
59 4 Syarat Sahnya Perjanjian Bagi Hasil Tanah Pertanian
Untuk sahnya suatu perjanjian haruslah memenuhi beberapa syarat-syarat perjanjian bagi hasil menurut hukum Adat
di Desa Sedah seperti yang telah disinggung sebelumnya yaitu bahwa dalam perjanjian tersebut harus ada kesepakatan antara
pihak-pihak yaitu pihak yang menguasai tanah pemilik dan pihak penggarap, kecakapan para pihak, harus ada izin untuk mengolah
atau menggarap tanah tersebut dari penguasa atau pemilik tanah tersebut tidak dalam sengketa dan pemberian hasil panen oleh
penggarap kepada pemilik tanah yang besar imbangan menurut kebiasaan setempat misalnya bagi dua atau tiga atau berdasarkan
kesepakatan sebelumnya.
c. Bentuk Perjanjian Bagi Hasil
Bentuk perjanjian bagi hasil yang terjadi di Desa Sedah dapat dilihat pada tabel berikut ini :
Tabel 10. Bentuk Perjanjian Bagi Hasil antara pemilik tanah dan penggarap tanah.
NO. Bentuk Perjanjian
f 1.
2. Tidak tertulis lisan antara
kedua belah pihak Tertulis
40
- 100
JUMLAH 40
100 Sumber : Data Primer
Hasil analisis dari Data Primer table 10 di atas menyatakan bahwa, perjanjian yang tidak tertulis atau lisan antara kedua belah
pihak mencapai 100 dari 40 empat puluh responden antara pemilik tanah dan penggarap tanah, dengan alasan-alasan yang
mendasarinya sebagai berikut :
commit to user
60 o
adanya rasa saling percaya o
mudah pelaksanaannya atau tidak berbelit-belit o
tidak mengetahui adanya Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1960 tentang Perjanjian Bagi Hasil.
Menurut data sekunder dari Undang-Undang Nomor 2 Tahun
1960 tentang Perjanjian Bagi Hasil dalam Pasal 3 disebutkan
mengenai Bentuk Perjanjian Bagi Hasil, yaitu : 1 Semua perjanjian bagi-hasil harus dibuat oleh pemilik dan
penggarap sendiri secara tertulis dihadapkan Kepala dari Desa atau daerah yang setingkat dengan itu tempat letaknya tanah
yang bersangkutan-selanjutnya dalam undang-undang ini disebut “Kepala Desa” dengan dipersaksikan oleh dua orang,
masing-masing dari pihak pemilik dan penggarap. 2 Perjanjian bagi-hasil termaksud dalam ayat 1 di atas
memerlukan pengesahan dari Camat Kepala Kecamatan yang bersangkutan atau penjabat lain yang setingkat dengan itu
selanjutnya dalam undang-undang ini disebut “Camat”. 3 Pada tiap kerapatan desa Kepala Desa mengumumkan semua
perjanjian bagi-hasil yang diadakan sesudah kerapatan yang terakhir.
4 Menteri Muda Agraria menetapkan peraturan-peraturan yang diperlukan untuk menyelenggarakan ketentuan-ketentuan dalam
ayat 1 dan 2 diatas. Sedangkan, berdasarkn data primer dan data sekunder di atas
dapat diketahui bahwa ditemukan ketidak sesuaian antara realita perjanjian bagi hasil yang ada di Desa Sedah dan ketentuan yang ada
di Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1960. Dimana, menurut realita atau hasil analisis data primer yang ada ditemukan bahwa 100
hasil responden menyatakan bahwa perjanjian bagi hasil di Desa Sedah adalah perjanjian yang tidak tertulis atau lisan antara kedua
commit to user
61 belah pihak yang berdasar pada kepercayaan, sedangkan berdasarkan
Pasal 3 Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1960 semua perjanjian bagi-hasil harus dibuat oleh pemilik dan penggarap sendiri secara
tertulis dihadapkan Kepala dari Desa atau daerah yang setingkat dengan itu tempat letaknya tanah yang bersangkutan-selanjutnya
dalam Undang-Undang ini disebut “Kepala Desa” dengan dipersaksikan oleh dua orang, masing-masing dari pihak pemilik dan
penggarap.
d. Lamanya Waktu Perjanjian
Tabel 11. Lama Perjanjian Bagi Hasil antara pemilik tanah dan penggarap tanah.
NO. Lama Perjanjian
f 1.
2. Ditentukan
Tidak ditentukan 30
10 75
25 JUMLAH
40 100
Sumber : Data Primer Berdasarkan Data Primer tabel 11 di atas, dalam perjanjian
bagi hasil ada 30 tiga puluh responden 75 perjanjian tersebut ditentukan dan perjanjian yang tidak ditentukan ada 10 sepuluh
responden 25. Perjanjian yang tidak ditentukan ini terjadi berdasarkan musim panen, selama ada izin dari pemilik tanah dan
selama penggarap mau menggarap tanah tersebut. Mengenai jangka waktu perjanjian bagi hasil di Desa Sedah baik yang
ditentukan maupun yang tidak ditentukan dapat dilihat pada tabel berikut ini :
commit to user
62 Tabel 12. Jangka Waktu Perjanjian bagi hasil antara pemilik tanah dan
penggarap tanah. NO.
Jangka waktu f
1.
2. Ditentukan
a. 1 – 2 tahun b. 2,1 – 3 tahun
c. 3,1 – 4 tahun d. 4,1 – 5 tahun
e. 5 tahun
Tidak ditentukan
telah berlangsung ;
a. 1 – 2 tahun b. 2,1 – 3 tahun
c. 3,1 – 4 tahun d. 4,1 – 5 tahun
e. 5 tahun 10
15 -
5 3
- 5
- -
2 25
37.5 -
12.5 7.5
- 12.5
- -
5 JUMLAH
40 100
Sumber : Data Primer Dari Data Primer tabel 12 di atas, diambil suatu pengertian
bahwa dalam rentang waktu yang ditentukan antara 1 – 2 tahun pada perjanjian bagi hasil ini ada 10 sepuluh responden 25, dalam
rentang waktu yang ditentukan antara 2,1 – 3 tahun pada perjanjian bagi hasil ini ada 15 lima belas responden 37,5 , untuk rentan
waktu yang ditentukan lebih dari 4,1 - 5 tahun ada 5 lima responden 12,5 . Sedangkan waktu yang ditentukan lebih dari 5 tahun ada 3
tiga responden 7,5 . Sedangkan, rentang waktu yang tidak ditentukan dan telah
berlangsung antara waktu 2,1 – 3 tahun ada 5 lima responden 12,5, dan lebih dari 5 tahun ada 2 dua responden 5. Tidak
commit to user
63 ditentukan dan sudah berlangsung di sini maksudnya adalah perjanjian
ini berlangsung begitu saja tanpa ada ketentuan berapa lama penggarap akan mengerjakan tanah pertanian milik pemilik tanah tersebut dan
perjanjian tersebutpun sudah berjalan begitu saja sampai saat ini. Menurut data sekunder dari Undang-Undang Nomor 2 Tahun
1960 Tentang Perjanjian Bagi Hasil dalam Pasal 4 ayat 1 dan ayat 2
, disebutkan mengenai jangka Waktu Perjanjian Bagi Hasil, yaitu : 1 Perjanjian bagi-hasil diadakan untuk waktu yang dinyatakan
didalam surat perjanjian tersebut pada pasal 3, dengan ketentuan, bahwa bagi sawah waktu itu adalah sekurangkurangnya 3 tiga
tahun dan bagi tanah-kering sekurangkurangnya 5 lima tahun. 2 Dalam hal-hal yang khusus, yang ditetapkan lebih lanjut oleh
Menteri Muda Agraria, oleh Camat dapat diizinkan diadakannya perjanjian bagi-hasil dengan jangka waktu yang kurang dari apa
yang ditetapkan dalam ayat 1 diatas, bagi tanah yang biasanya diusahakan sendiri oleh yang mempunyainya.
Berdasarkan analisis data primer dan data sekunder di atas ditemukan ketidak sesuaian antara realita perjanjian bagi hasil di Desa
Sedah dengan ketentuan yang ada di Pasal 4 Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1960 dimana dalam hasil penelitian di lapangan lama jangka
waktu perjanjian bagi hasil di Desa Sedah terdapat dua pilihan yaitu, perjanjian yang ditentukan jangka waktunya secara lisan dan
perjanjian yang tidak ditentukan jangka waktunya dan berjalan begitu saja saat perjanjian antara penggarap dan pemilik tanah itu
berlangsung sampai saat ini. Sedangkan dalam Pasal 4 Undang- Undang Nomor 2 Tahun 1960 ini sudah ditentukan jangka waktu
perjanjian bagi hasil ini.
e. Berakhirnya Perjanjian Bagi Hasil.
Berakhirnya perjanjian bagi hasil di Desa Sedah anatara pemilik tanah dan penggarap tanah dapat terjadi karena telah
commit to user
64 berakhirnya jangka waktu dan dapat juga terjadi sebelum berakhirnya
jangka waktu, seperti pada tabel berikut ini : Tabel 13. Berakhirnya Perjanjian Bagi Hasil di Desa Sedah.
NO. Berakhirnya Perjanjian
f 1.
2. Karena telah berakhir jangka
waktu Sebelum waktunya
a. atas persetujuan
kedua belah pihak;
b. dari pemilik tanah; c. dari penggarap.
25
10
3 2
62.5
25
7.5 5
JUMLAH 40
100 Sumber : Data Primer
Sumber data primer dari tabel 13 di atas, ada 25 dua puluh lima responden menyatakan alasan berakhirnya perjanjian bagi hasil
karena telah berakhir jangka waktu 62,5, sebelum waktunya dibagi menjadi 3 alasan, pada 10 sepuluh responden menyatakan
alasannya atas persetujuan kedua belah pihak 25, 3 tiga responden menyatakan alasannya karena berasal dari pemilik tanah
7,5, dan 2 dua responden menyatakan alasannya karena berasal dari penggarap 5.
Menurut sumber data primer Pasal 10 Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1960 Tahun 1960, disebutkan tentang berakhirnya perjanjian
bagi hasil, yaitu : “Pada berakhirnya perjanjian bagi hasil, baik karena berakhirnya jangka waktu perjanjian maupun karena salah satu sebab
tersebut pada Pasal 6, penggarap wajib menyerahkan kembali tanah yang bersangkutan kepada pemilik dalam keadaan baik “.
Sehingga, berakhirnya perjanjian di Desa Sedah ini dapat ditentukan dalam 2 dua hal, yaitu karena sudah berakhirnya
perjanjian bagi hasil ini antara penggarap dan pemilik tanah dan
commit to user
65 sebelum berakhir atas permintaan pemilik dan penggarap karena sebab
atau alasan tertentu. Dan berakhirnya perjanjian bagi hasil di Desa Sedah sebelum berakhirnya perjanjian yang disepakati sebelumnya
tetap berdasarkan pada musyawarah yang menguntungkan kedua belah pihak dan diikuti pengembalian tanah kembali kepada pemilik
sesuai dengan Pasal 10 Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1960. Apabila terjadi perpindahan hak milik tanah dalam perjanjian
bagi hasil ini dapat terjadi jika perjanjian bagi hasil dengan pihak sebelumnya sudah dinyatakan berakhir, untuk melindungi hak-hak
penggarap tanah. Menurut data sekunder Pasal 5 Undang-Undang Nomor 2 Tahun
1960, disebutkan tentang pemindahan hak milik tanah dalam perjanjian bagi hasil, yaitu :
1. Dengan tidak mengurangi berlakunya ketentuan dalam Pasal 6, maka perjanjian bagi hasil tidak terputus karena pemindahan hak
milik atas tanah yang bersangkutan kepada orang lain. 2. Didalam hal termaksud dalam ayat 1 diatas semua hak dan
kewajiban pemilik berdasarkan perjanjian bagi-hasil itu beralih kepada pemilik baru.
3. Jika penggarap meninggal dunia maka perjanjian bagi hasil itu dilanjutkan oleh ahli warisnya, dengan hak dan kewajiban yang
sama. Apa yang dijelaskan pada Pasal 5 di atas sudah merupakan hal
yang tepat, karena tidak mungkin ada orang yang dirugikan baik karena hak tanahnya dijual kepada orang lain, ataupun pemiliknya
meninggal dunia ataupun penggarapnya meninggal dunia, maka dalam hal ini, perjanjian ini tetap diteruskan oleh ahli warisnya ataupun yang
memperolehkan secara sah hak atas tanah tersebut. Pelaksanaan Perjanjian Bagi Hasil Tanah Pertanian di Desa
Sedah Kecamatan Jenangan Kabupaten Ponorogo yang terdiri dari 4 empat Dukuh Dusun sebagai sampel untuk penelitian ini dimana
commit to user
66 lahan pertaniannya lebih banyak menggunakan irigasi tehnis,
memungkinkan penduduknya untuk mengembangkan budi daya tanaman pangan maupun substansi tanaman pertanian yang lebih
bervariasi. Hal ini dimungkinkan karena tanah lebih mudah untuk dikelola. Selain itu di Desa Sedah dengan ketersediaan sumber daya
manusia yang mayoritas memiliki pendidikan yang cukup banyak, memungkinkan orang untuk melakukan inovasi lebih banyak daripada
wilayah yang lahan pertaniannya tidak beririgasi tehnis. Artinya, pengelolaan sumber daya pertaniannya sepenuhnya tergantung oleh
keadaan iklim yang ada di daerah tersebut. Sarana prasarana untuk menunjang terciptanya peluang
usaha dan kesempatan kerja pun sangat memungkinkan kondisi yang menimbulkan adanya perjanjian bagi hasil bagi pemilik tanah lahan
pertanian yang lebih memilih pekerjaan atau profesi lain. Atau paling tidak meraka memilih menyerahkan penggarapan lahannya dengan
membagihasilkan dengan orang-orang yang dipercaya. Hasil penelitian di 4 empat Dukuh di Desa Sedah
Kecamatan Jenangan Kabupaten Ponorogo, pada umumnya masyarakat lebih memilih sistem perjanjian Bagi Hasil mendasarkan
pada Hukum Adat setempat kebiasaan setempat secara turun temurun. Kendala – kendala yang muncul mengapa Undang-Undang
Nomor 2 Tahun 1960 Di Desa Sedah Kecamatan Jenangan Kabupaten Ponorogo tidak dapat terlaksana tidak dapat di pergunakan dalam
pelaksanaan perjanjian Bagi Hasil adalah karena : 1. Hampir seluruh masyarakat di Desa Sedah Kecamatan Jenangan
Kabupaten Ponorogo tidak mengetahui keberadaan Undang- Undang No 2 Tahun 1960 untuk mengatur perjanjian Bagi Hasil.
Hal ini terjadi karena kurangnya kegiatan penyuluhan dari pihak pemerintah khususnya kegiatan penyuluhan dari pihak pemerintah
Kecamatan, khususnya tentang penyuluhan pertanian hanya dilaksanakan satu kali dalam satu tahun.
commit to user
67 2. Faktor budaya yang sangat melekat pada diri masing masing
masyarakat Desa Sedah Kecamatan Jenangan Kabupaten Ponorogo yang masih mempercayai penggunaan adat kebiasaan secara turun
temurun yang biasa mereka lakukan untuk melaksanakan perjanjian Bagi Hasil karena ada pengaruh unsur-unsur tolong menolong
antara sesama sehingga tidak memerlukan acara secara formal. Hasil pengamatan dari penelitian di lapangan berdasarkan
80 delapan puluh responden yang terdiri dari 40 empat puluh pemilik tanah dan 40 empat puluh penggarap tanah, dimana
perjanjian bagi hasil di Desa Sedah ini belum sepenuhnya sesuai dengan Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1960 tentang Perjanjian Bagi
hasil, dimana yang pada akhirnya mendapatkan suatu realita bahwa tidak bekerjanya bentuk perjanjian tertulis yang menjadi dasar
Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1960 tentang perjanjian Bagi Hasil. Hal yang mendasari keadaan ini karena adanya faktor utama yang
mempengaruhinya yaitu, budaya masyarakat setempat. Mereka lebih mengutamakan budaya tolong menolong dalam melakukan perjanjian
penggarapan sawah melalui bagi hasil secara Adat, yaitu secara lisan atau dengan kepercayaan dan kesepakatan tentang imbangan
pembagian hasilnya. Budaya demikian sangat melekat pada masyarakat
setempat, sehingga
apabila mereka
melakukan penggarapan sawah dengan Bagi Hasil mendasarkan pada Undang-
Undang, mereka masih takut menjadi bahan omongan gunjingan masyarakat, khususnya para penggarap yang masih tetangga dalam
satu desa. Rasa gotong royong dan kebersamaan dan saling tolong menolong masih melekat pada pola kehidupan masyarakat Desa Sedah
Kecamatan Jenangan Kabupaten Ponorogo.
commit to user
68
C. Aspek Keadilan dalam Perjanjian Bagi Hasil Tanah Pertanian