commit to user
10
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
A. Kerangka Teori
1. Tinjauan Umum Tentang Perjanjian Bagi Hasil Tanah Pertanian
Menurut Hukum Adat.
a. Hakekat dan Latar Belakang Timbulnya Perjanjian Bagi Hasil Tanah Pertanian.
Perjanjian bagi hasil pada pada mulanya tunduk pada ketentuan– ketentuan hukum adat. Hak dan kewajiban masing–masing pihak, yaitu
pemilik tanah maupun penggarap ditetapkan atas dasar kesepakatan berdua, dan tidak pernah diatur secara tertulis. Besarnya bagian yang
menjadi hak masing–masing pihakpun tidak akan keseragaman antara daerah yang satu dengan daerah yang lain Urip Santoso, 2005:139.
Praktek pelaksanaan perjanjian bagi hasil tanah pertanian di Indonesia sudah berlangsung sejak dulu. Adapun yang menjadi latar
belakang terjadinya perjanjian bagi hasil tanah pertanian adalah adanya ketimpangan di dalam pemilikan dan pengusahaan tanah pertanian. Di satu
pihak terjadi penumpukan pemilikan tanah pertanian bagi golongan penduduk tertentu yang biasa disebut dengan tuan tanah, sehingga
mereka tidak mampu atau tidak sanggup mengerjakan sendiri tanahnya. Sedangkan di lain pihak banyaknya petani yang tidak mempunyai tanah
pertanian kurang dari satu hektar. Untuk itulah para tuan tanah ini menyuruh golongan petani tersebut untuk mengerjakan tanahnya yang
sangat luas, dengan perjanjian bila panen tiba, para penggarap harus menyerahkan sebagian hasil panen kepada pemilik tanah yang
bersangkutan. Sebab-sebab adanya penumpukan tanah ini antara lain merupakan
salah satu akibat dari politik penjajahan, dimana tanah-tanah pertikelir yang semula milik negara dijual kepada pengusaha swasta guna
mendapatkan uang untuk membiayai kepentingan negara yang dalam
commit to user
11 suasana perang. Disamping itu penumpukan tanah juga terjadi karena
pemerintah Belanda pada waktu itu memungut pajak tanah Landrente yang cukup tinggi kepada rakyat yang mempunyai tanah. Dengan
demikian bagi mereka yang tidak mampu membayarnya terpaksa harus menjual tanah. Hal ini meyebabkan tanah pertanian menumpuk pada
beberapa orang kaya saja. Akibat selanjutnya, petani-petani yang tidak memiliki tanah ini
dimana mereka hanya bekerja menggarap tanah pertanian milik orang lain demi kelangsungan hidupnya, dengan cara bagi hasil S. Gautama,
1973:16.
Selain sebab-sebab seperti tersebut di atas, perjanjian bagi hasil ini bisa terjadi juga kerena semakin menipisnya hak pertuanan di daerah-
daerah tertentu. Hal ini disebabkan antara lain karena tanah-tanah persekutuan tersebut tidak dikerjakan oleh anggota persekutuan, sehingga
memungkinkan orang lain di luar anggota persekutuan untuk mengerjakan tanah persekutuan tersebut.
Kemudian di dalam bukunya Surojo Wignjodipuro, S.H. dikemukakan mengenai :
“Hak menggunakan tanah atau hak memunggut hasil tanah hanya untuk satu tahun panen saja, berlaku bagi orang luar bukan
warga persekutuan yang telah mendapatkan ijin untuk mengerjakan sebidang tanah serta telah mendapatkan ijin untuk
mengerjakan sebidang tanah serta telah memenuhi syarat-syarat tertentu, seperti membayar mesi Jawa atau uang pemasukan
Aceh” Surojo Wignjodipuro, 1973:245.”
Sebab lain yang dapat mengakibatkan menipisnya hak pertuanan adalah karena raja-raja jaman dulu memberikan tanah bengkok kepada
pegawai rendahan tanpa mengingat adanya hak pertuanan. Dengan menipisnya hak pertuanan, maka hak perseorangan dapat terjadi semakin
kuat Imam Sudiyat, 1981:3.
commit to user
12 b. Istilah dan Pengertian Perjanjian Bagi Hasil Tanah Pertanian.
1 Istilah Perjanjian Bagi Hasil tanah Pertanian Dikemukanakan dalam buku Imam Sudiyat adalah sebagai berikut :
“Istilah perjanjian bagi hasil tanah pertanian berbeda-beda di beberapa daerah di Indonesia, antara lain di Jawa Tengah
disebut maro, mertelu, mrapat; di Sunda disebut nengah, jujuran; di Sulawesi Selatan disebut tesang; di Minangkabau disebut
memperdui; di Minahasa disebut toyo. Penyebutan istilah didasarkan atas sistim pembagian hasilnya” Imam Sudiyat,
1981:37.
2 Pengertian Perjanjian Bagi Hasil Tanah Pertanian Menurut Boedi Harsono dalam bukunya memukakan :
“Perjanjian bagi hasil adalah suatu bentuk perjanjian antara seorang yang berhak atas suatu bidang tanah pertanian dan
orang lain yang disebut Penggarap, berdasarkan perjanjian mana penggarap
diperkenankan mengusahakan
tanah yang
bersangkutan dengan pembagian hasilnya antara penggarap dan yang bertindak atas tanah tersebut menurut imbangan yang telah
disetujui bersama Boedi Harsono, 1999:118”
Bagi hasil di Aceh disebut dengan meudua laba untuk dibagi dua, di Sumatera Barat dikenal sebutan mampaduokan,
mampatigoi, dan seterusnya; di Sulawesi Selatan misalnya disebut thesang-tawadua untuk dibagi dua, di Bali nandu, telon, ngemepat-
empat, dan ngelima-lima; sedangkan di Jawa dikenal dengan maro, mertelu, mrapat, dan seterusnya. Secara umum, bagi hasil
didefinisikan sebagai bentuk perjanjian antara dua pihak yaitu pemilik tanah dan penggarap tanah yang besepakat untuk melakukan
pembagian hasil secara natura. Bagi hasil dalam bahasa Belanda yang disebut “deelbouw”, merupakan bentuk tertua dalam pengusahaan
tanah di dunia, yang bahkan telah ditemukan pada lebih kurang 2300 SM Scheltema, 1985. Bagi hasil terhadap dua unsur produksi, modal
dan kerja, dilaksanakan menurut perbandingan tertentu dari hasil bruto kotor dalam bentuk natura. Berbeda dengan perjanjian sewa, maka
commit to user
13 pemilik tanah masih tetap memegang kontrol usaha Syahyuti, 2004 :
162. Perjanjian bagi hasil ini semula diatur menurut Hukum
Adat, maka pelaksanaannya pun tidak terlepas dari pengaruh hukum adat dan kebiasaan yang berlaku setempat. Menurut aturan hukum
adat imbangan pembagian hasilnya ditetapkan atas persetujuan kedua belah pihak, yang umumnya tidak menguntungkan bagi pihak
Penggarap. Dalam tata hukum pertanahan jaman dulu masih diatur
oleh hukum adat, di mana pada waktu timbul berbagai hak atas tanah pertanian. Antara lain hak menikmati hasil, hak pakai dan hak
menggarap tanah pertanian. Hak menggarap tanah pertanian merupakan perpaduan antara hak pakai dan hak menikmati hasil. Hak
menggarap tanah pertanian adalah suatu hak yang dapat diperoleh baik oIeh warga persekutuan hukum sendiri, maupun orang yang
bukan anggota persekutuan, untuk mengolah sebidang tanah selama satu atau beberapa kali panen. Atas ijin dari pemimpin persekutuan
atau pemilik tanah yang bersangkutan. Dari hak atas tanah ini timbul berbagai transaksi yang
bersangkutan dengan tanah, antara lain transaksi perjanjian bagi hasil. Dalam transaksi ini obyeknya bukan tanah, tetapi hanya mempunyai
hubungan dengan tanah. Obyek transaksi bagi hasil adalah tenaga kerja dan tanaman. Jadi meskipun perjanjian bagi hasil ini dapat
digolongkan kedalam perjanjian atau transaksi yang berhubungan dengan tidak dapat disebut sebagai perjanjian yang berobyek tanah B.
Ter Haar, 1994:105. Dalam perjanjian bagi hasil tidak terjadi peralihan hak
milik atas tanah, yang terjadi adalah penggarapan tanah oleh seseorang atau beberapa orang penggarap, dimana hasil dari panenan
commit to user
14 nanti dibagi antara kedua belah pihak yaitu pihak pemilik dan pihak
penggarap. Perjanjian bagi hasil melibatkan dua orang yang di satu
pihak pemilik tanah yang tidak dapat mengerjakan sendiri tanahnya tetapi ingin memproduktifkannya, sedang dilain pihak sesama warga
masyarakat bersedia menggarap tanah tersebut dengan perjanjian hasil tanah dibagi dua dengan perbandingan yang sudah ditentukan
sebelumnya. Perjanjian bagi hasil ini tidak hanya dibuat oleh pemilik
tanah saja, tetapi dapat juga dibuat oleh penyewa tanah, pembeli gadai, pembeli tahunan, pemakai tanah kerabat, atau pemegang tanah
jabatan. Dalam perjanjian bagi hasil ini merupakan berkedudukan sebagai pihak pemilik tanah.
c. Sifat atau Ciri-ciri Perjanjian Bagi Hasil Tanah Pertanian. Menurut B. Teer Haar sifat-sifatciri-ciri perjanjian bagi hasil, yaitu :
1 Untuk sahnya perjanjian bagi hasil tersebut tidak membutuhkan bantuan dari kepala desa;
2 Untuk terbentuknya perjanjian bagi hasil ini, juga tidak memerlukan adanya akta;
3 Perjanjian bagi hasil menurut hukum adat, dapat dibuat oleh: a Pemilik tanah.
b Pembeli gadai. c Pembeli tahunan.
d Pemakai tanah kerabat. e Pemegang tanah jabatan.
4 Tidak ada pembatasan mengenai siapa yang dapat menjadi pembagi hasil atau dapat menjadi penggarap B. Ter Haar, 1960:37 - 38.
commit to user
15 d. Sistem pembagian hasil.
Mengenai sistem pembagian yang biasa digunakan di Daerah Jawa Timur adalah dengan istilah :
1 Sistem maro
commit to user
16 dapat pula terjadi perjanjian bagi hasil berlangsung secara turun temurun
dari penggarap pertama kepada ahli warisnya. Atau sebaliknya, dari pemilik tanah yang pertama kepada pemilik tanah berikutnya.
Meskipun demikian
kenyataan tersebut
tidak menutup
kemungkinan bagi pemilik tanah untuk memutuskan perjanjian bagi hasil. Hal ini bisa terjadi apabila pihak penggarap tidak melaksanakan
kewajibannya seperti yang telah disepakati semula pada waktu perjanjian. Dengan kata lain perjanjiian bagi hasil itu tetap berlangsung selama tidak
ada konflik diantara para pihak, yaitu pemilik tanah dan penggarap.
2. Tinjauan Umum Tentang Perjanjian Bagi Hasil Menurut Undang-Undang