Analisis Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Penanaman Modal Dalam Negeri (PMDN) di Sumatera Utara

(1)

ANALISIS FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI

PENANAMAN MODAL DALAM NEGERI (PMDN)

DI SUMATERA UTARA

TESIS

Oleh :

087018013/EP

MUSTA’INURROHMAN

SEKOLAH PASCASARJANA

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


(2)

ANALISIS FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI

PENANAMAN MODAL DALAM NEGERI (PMDN)

DI SUMATERA UTARA

TESIS

Diajukan Sebagai Salah Satu Syarat untuk Memperoleh Gelar Magister Sains dalam Program Studi Ilmu Ekonomi Pembangunan pada Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara

Oleh

087018013/EP

MUSTA’INURROHMAN

SEKOLAH PASCASARJANA

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN

2013


(3)

Judul Tesis : ANALISIS FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI PENANAMAN MODAL DALAM NEGERI (PMDN) DI SUMATERA UTARA

Nama Mahasiswa : Musta’inurrohman Nomor Pokok : 087018013

Program Studi : Ekonomi Pembangunan

Menyetujui: Komisi Pembimbing

(Dr. Murni Daulay, SE., M.Si)

Ketua Anggota

(Wahyu Ario Pratomo, SE, M.Ec)

Ketua Program Studi Direktur,

(Prof. Dr. Sya’ad Afifuddin, M.Ec) (Prof. Dr.Ir.A.Rahim Matondang, MSIE)


(4)

Telah diuji pada

Tanggal : 31 Januari 2013

PANITIA PENGUJI TESIS

Ketua : Prof. Dr. Sya’ad Afifuddin, M.Ec Anggota : 1. Dr. Murni Daulay, SE., M.Si 2. Wahyu Ario Pratomo, SE, M.Ec 3. Dr. Rahmanta Ginting, MS


(5)

ABSTRAK

MUSTA’INURROHMAN, 2013, Analisis Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Penanaman Modal Dalam Negeri (PMDN) di Sumatera Utara, dibawah bimbingan, Dr. Murni Daulay, M.Si (Ketua), Wahyu Ario Pratomo, Sem M.Ec (Anggota)

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh secara parsial dan bersama-sama PDRB, ekspor, angkatan kerja, belanja daerah pembangunan, inflasi, suku bunga kurs dan krisis ekonomi terhadap PMDN Sumatera Utara. Penelitian dilakukan di Sumatera Utara dengan ruang lingkup penelitian pada PDRB, Ekspor, angkatan kerja, Belanja Daerah pembangunan, inflasi, suku bunga kredit, kurs dan krisis ekonomi terhadap PMDN Sumatera Utara. Data dikumpulkan secara time series 1986 s/d 2007. Metode Penelitian yang dipergunakan adalah Ordinary Least Square (OLS). Dengan menggunakan model regresi linier berganda.

Hasil Penelitian menunjukkan bahwa berdasarkan hasil uji partial (Uji t-statistik) diketahui bahwa terdapat 6 variabel yang signifikan mempengaruhi PMDN Sumatera Utara, variable tersebut adalah kurs, belanja daerah pembangunan, ekspor, inflasi, krisis ekonomi dan PDRB. Sedangkan terdapat dua variable yang tidak signifikan mempengaruhi PMDN Sumatera Utara, yaitu angkatan kerja dan suku bunga kredit. Secara serempak (simultan) variabel-variabel eksplanatori yang digunakan sangat signifikan pada α = 5 persen terhadap PMDN Sumatera Utara. Dari koefisien masing-masing variabel, maka dapat disimpulkan bahwa tingkat pengaruh variabel PDRB, Kurs, Inflasi, Ekspor, suku bunga kredit, angkatan kerja, belanja daerah pembangunan dan krisis ekonomi sangat signifikan mempengaruhi PMDN Sumatera Utara.

Kata kunci: PDRB, ekspor, angkatan kerja, belanja daerah pembangunan, inflasi, suku bunga kurs dan krisis ekonomi, PMDN,


(6)

Analysis of Factors Affecting Domestic Investment (DCI) in North Sumatra

ABSTRACT

This study aimed to determine the effect of partial and together GDP, exports, labor force, development expenditures, inflation, interest rate and economic crisis on domestic capital of North Sumatra. The study was conducted in North Sumatra with the scope of research on GDP, exports, labor force, the development of regional expenditure, inflation, interest rate, exchange rate and economic crisis on domestic capital of North Sumatra. Data collected in the time series 1986- 2007. The research method used was Ordinary Least Square (OLS). By using multiple linear regression models.

Research results showed that based on the results of partial tests (t-test statistics) it is known that there are six variables that significantly affect the domestic capital of North Sumatra, is a variable rate, development expenditures, exports, inflation, economic crisis and GDP. While there are two variables that do not significantly affect the domestic capital of North Sumatra, the labor force and lending rates. Simultaneously (simultaneous) explanatory variables used are

significant at α = 5 per cent of the domestic capital of North Sumatra. Of the

coefficient of each variable, it can be concluded that the level of influence of variables GDP, exchange rate, inflation, exports, interest rate, labor force, development expenditures and economic crisis significantly affect domestic investment in North Sumatra.

Keywords: GDP, exports, labor force, development expenditures, inflation, interest rate and economic crisis, domestic investment,


(7)

KATA PENGANTAR

Penulis mengucapkan Alhamdulillahirobbbil’aalamin, segala puji dan syukur kehadirat Allah SWT yang telah memberikan berkah-Nya kepada penulis sehingga penulis dapat menyelesaikan penulisan tesis ini.

Selama melakukan penelitian dan penulisan tesis ini, penulis menyadari bahwa banyak memperoleh bantuan moril dan materil dari berbagai pihak, baik secara langsung maupun tidak langsung. Oleh karena itu pada kesempatan ini penulis menyampaikan ucapan terima kasih yang tulus, kepada :

1. Bapak Prof. Dr. dr. Syahril Pasaribu, DTM&H., M.Sc (CTM), Sp.A(K), selaku Rektor Universitas Sumatera Utara Medan

2. Bapak Prof. Dr. Ir. A. Rahim Matondang, MSIE, selaku Direktur Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara Medan

3. Ibu Prof. Dr. Sya’ad Afifuddin, MEc, selaku Ketua Program Studi Magister Ilmu Ekonomi, Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara Medan. 4. Bapak Prof. Dr. Ramli, MS, selaku Sekretaris Program Studi Magister Ilmu

Ekonomi, Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara Medan.

5. Ibu Dr. Murni Daulay, MSi, selaku Ketua Komisi Pembimbing dan Bapak Wahyu Ario Pratomo, SE, MEc, selaku Anggota Komisi Pembimbing, yang telah banyak meluangkan waktu, tenaga dan pikiran untuk memberikan


(8)

bimbingan dan mengarahkan penulis dalam penulisan tesis ini sehingga selesainya tesis ini.

6. Bapak Prof. Sya’ad Afifuddin, Mec, Dr. Rahmanta, MS dan Bapak Rahmad Sumanjaya, SE, Msi., selaku Komisi Pembanding yang telah banyak memberikan saran-saran dan kritik untuk kesempurnaan penulisan tesis ini. 7. Bapak dan Ibu Dosen Pengajar dan staf Administrasi di Program Magister

Ekonomi Pembangunan Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara Medan.

8. Khususnya istriku tercinta Tia Kustiah., Anakku tersayang Innosentia Selly Saffanah, Almira Siegly Syakirah, Syieikha Farahdiba Rahman, yang selalu memberikan do’a restu dan dukungan secara moril, sehingga penulis dapat menyelesaikan pendidikan ini.

9. Ayahanda Alm. K.H. Abdul Wahab Lubis dan Ibunda Hajjah Nur Aminah, abang-abangku, kakak-kakakku, dan adikku tersayang, yang selalu memberikan do’a restu dan motivasinya baik moril maupun materiil kepada penulis untuk senantiasa dapat menyelesaikan pendidikan ini,

10. Rekan-rekan penulis, khususnya Angkatan XIV pada Program Magister Ekonomi Pembangunan, Sekolah Pascasarjana USU Medan, yang telah mendukung dan sama-sama berjuang untuk menyelesaikan pendidikan ini. Supaino, Barto, Darwin, Jamardua, Rehulina, Teja, Bobi, Aulia, Herman, Indra, Tia, Diena, Ria, Margareta, Mikha, Mufie, dan yang terakhir Rusiadi.


(9)

11. Teman-teman penulis dan pihak-pihak lain yang banyak mendukung dan memberikan semangat hingga penulis dapat menyelesaikan pendidikan ini.

Penulis sangat menyadari bahwa tesis ini masih banyak memiliki kekurangan dan jauh dari kesempurnaan. Namun harapan penulis semoga tesis ini bermanfaat kepada seluruh pembaca. Semoga kiranya Allah SWT memberikan berkah dan rahmat-Nya kepada kita semua, Amiin.

Medan, 31 Januari 2013. Penulis,


(10)

RIWAYAT HIDUP

NAMA LENGKAP : MUSTA’INURROHMAN

TEMPAT/TGL LAHIR : SLIYEG, INDRAMAYU, 21 JUNI 1971 ALAMAT RUMAH : JL MELATI BLOK G NO.10 KARAWACI,

TANGERANG, BANTEN AGAMA : ISLAM

JENIS KELAMIN : LAKI-LAKI NAMA AYAH : H. NASUHA NAMA IBU : HJ. SOLIHAH

PENDIDIKAN :

1. SD NEGERI NO.1 SLIYEK, ………. ... TAHUN 1984 2. SMP NEGERI NO.1 SLIYEG, ... TAHUN 1987 3. SMA NEGERI 1 SINGAPARNA, ... TAHUN 1991 4. DIPLOMA III ( STAN JAKARTA ), ... TAHUN 1994 5. STRATA 1 (S-1) UNIVERSITAS PUTRA BANGSA……. TAHUN 2001 6. STRATA 2 (S-2) UNIVERSITAS SUMATERA UTARA... TAHUN 2013


(11)

DAFTAR ISI

Halaman

Abstrak ... i

Abstract ... ii

Kata Pengantar ... iii

Daftar Riwayat Hidup ... vi

Daftar Isi ... vii

Daftar Tabel ... ix

Daftar Gambar ... ... x

BAB I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang ... 1

1.2. Perumusan Masalah ... 12

1.3. Tujuan Penelitian ... 12

1.4. Manfaat Penelitian ... 13

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Investasi... 14

2.2. Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) ... 18

2.3. Ekspor ... 30

2.4. Ketenaga Kerjaan ... 34

2.5. Belanja Daerah (BD) ... 41

2.6. Inflasi... 44

2.7. Konsep Suku Bunga ... 48

2.8. Nilai Tukar Mata Uang ... 49

2.9. Penelitian Terdahulu ... 55

2.10. Kerangka Pemikiran ... 58

2.11. Hipotesis Penelitian ... 58

BAB III METODE PENELITIAN 3.1. Ruang Lingkup Penelitian ... 60

3.2. Sumber Data ... 60

3.3. Metode Analisis ... 61


(12)

3.5. Uji Penyimpangan asumsi klasik ... 63

3.6. Definisi Operasional... 65

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Gambaran Umum Propinsi Sumatera Utara ... 67

4.2. Pengembangan Wilayah Sumatera Utara ... 70

4.3. Kondisi Perekonomian Sumatera Utara ... 73

4.4. PDRB Sumatera Utara ... 83

4.5. Kurs ... 86

4.6. Ekspor ... 87

4.7. Suku Bunga Kredit ... 89

4.8. Suku Krisis Ekonomi ... 90

4.9. PMDN ... 92

4.10. Angkatan Kerja ... 94

4.11. Inflasi... 96

4.12. Belanja Daerah Pembangunan ... 99

4.12 Hasil Analisis Data dan Pembahasan ... 101

4.12.1 Deskripsi Data ... 101

4.12.2 Analisis regresi ... 102

4.12.3 Uji statistik Hasil Estimasi Model... 104

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN 5.1. Kesimpulan ...113

5.2. Saran – Saran...114

Daftar Pustaka ... 115


(13)

DAFTAR TABEL

Tabel Judul Halaman

1.1 Perkembangan PMDN ... 4

I.2 Perkembangan Ekspor, Tenaga Kerja, Belanja Daerah, Inflasi, 4.1 PMDN Sumatera Utara Tahun 1986 s/d 2007 ... 83

4.2 PDRB Sumatera Utara (Dalam Milyar Rupiah) Tahun 1986 – 2007 .. 86

4.3 Ekspor Tahun 1986- 2007 ... 88

4.4 Angkatan Kerja di Sumatera Utara Tahun 1986 s/d 2007 ... 90

4.5 Belanja Daerah Pembangunan Sumatera Utara Tahun 1986 s/d 2007 92 4.6 Inflasi di Sumatera Utara Tahun 1986 s/d 2007... 93

4.7 Suku Bunga Kredit ahun 1986-2007 ... 96

4.8 Nilai Tukar Rupiah / US Dolar Amerika Tahun 1986 – 2007 ... 98

4.9 Rangkuman Statistik Deskriptif ... 102

4.10 Lanjutan Rangkuman Statistik Deskriptif ... 102

4.11 Hasil Uji Multikolinieritas. ... 103

4.12. Hasil Estimasi untuk Uji LM Test ... 104


(14)

DAFTAR GAMBAR

Gambar Judul Halaman

1.1 Perkembangan PMDN ... 4

I.2 Perkembangan Ekspor, Tenaga Kerja, Belanja Daerah, Inflasi, Suku Bunga dan Kurs serta PMDN Tahun 1993-2007 ... 5

I.3 Perkembangan PDRB Tahun 1993-2007 ... 6

2.1 Fungsi investasi terhadap pendapatan nasional... 28

2.2 Peningkatan Agregat Supply akibat peningkatan Kurva produksi ... 37

2.3 Keseimbangan di Pasar Tenaga Kerja... 39

2.4 Kerangka Berpikir ... 58

4.1 Perkembangan PMDN ... 84

4.2 PDRB Sumatera Utara Tahun 1986 – 2007 ... 87

4.3 EksporTahun 1986 – 2007 ... 89

4.4 Tenaga Kerja Tahun 1986 – 2007 ... 91

4.5 Belanja Daerah 1986 – 2007 ... 93

4.6 Inflasi 1986 – 2007... 95

4.7 Bunga Kredit Tahun 1986 – 2007 ... 97


(15)

DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran Judul Halaman

1. Data Varianel ... 118

2. Output Regresi ... 119

3. Uji Asumsi Klasik ... 120


(16)

ABSTRAK

MUSTA’INURROHMAN, 2013, Analisis Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Penanaman Modal Dalam Negeri (PMDN) di Sumatera Utara, dibawah bimbingan, Dr. Murni Daulay, M.Si (Ketua), Wahyu Ario Pratomo, Sem M.Ec (Anggota)

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh secara parsial dan bersama-sama PDRB, ekspor, angkatan kerja, belanja daerah pembangunan, inflasi, suku bunga kurs dan krisis ekonomi terhadap PMDN Sumatera Utara. Penelitian dilakukan di Sumatera Utara dengan ruang lingkup penelitian pada PDRB, Ekspor, angkatan kerja, Belanja Daerah pembangunan, inflasi, suku bunga kredit, kurs dan krisis ekonomi terhadap PMDN Sumatera Utara. Data dikumpulkan secara time series 1986 s/d 2007. Metode Penelitian yang dipergunakan adalah Ordinary Least Square (OLS). Dengan menggunakan model regresi linier berganda.

Hasil Penelitian menunjukkan bahwa berdasarkan hasil uji partial (Uji t-statistik) diketahui bahwa terdapat 6 variabel yang signifikan mempengaruhi PMDN Sumatera Utara, variable tersebut adalah kurs, belanja daerah pembangunan, ekspor, inflasi, krisis ekonomi dan PDRB. Sedangkan terdapat dua variable yang tidak signifikan mempengaruhi PMDN Sumatera Utara, yaitu angkatan kerja dan suku bunga kredit. Secara serempak (simultan) variabel-variabel eksplanatori yang digunakan sangat signifikan pada α = 5 persen terhadap PMDN Sumatera Utara. Dari koefisien masing-masing variabel, maka dapat disimpulkan bahwa tingkat pengaruh variabel PDRB, Kurs, Inflasi, Ekspor, suku bunga kredit, angkatan kerja, belanja daerah pembangunan dan krisis ekonomi sangat signifikan mempengaruhi PMDN Sumatera Utara.

Kata kunci: PDRB, ekspor, angkatan kerja, belanja daerah pembangunan, inflasi, suku bunga kurs dan krisis ekonomi, PMDN,


(17)

Analysis of Factors Affecting Domestic Investment (DCI) in North Sumatra

ABSTRACT

This study aimed to determine the effect of partial and together GDP, exports, labor force, development expenditures, inflation, interest rate and economic crisis on domestic capital of North Sumatra. The study was conducted in North Sumatra with the scope of research on GDP, exports, labor force, the development of regional expenditure, inflation, interest rate, exchange rate and economic crisis on domestic capital of North Sumatra. Data collected in the time series 1986- 2007. The research method used was Ordinary Least Square (OLS). By using multiple linear regression models.

Research results showed that based on the results of partial tests (t-test statistics) it is known that there are six variables that significantly affect the domestic capital of North Sumatra, is a variable rate, development expenditures, exports, inflation, economic crisis and GDP. While there are two variables that do not significantly affect the domestic capital of North Sumatra, the labor force and lending rates. Simultaneously (simultaneous) explanatory variables used are

significant at α = 5 per cent of the domestic capital of North Sumatra. Of the

coefficient of each variable, it can be concluded that the level of influence of variables GDP, exchange rate, inflation, exports, interest rate, labor force, development expenditures and economic crisis significantly affect domestic investment in North Sumatra.

Keywords: GDP, exports, labor force, development expenditures, inflation, interest rate and economic crisis, domestic investment,


(18)

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Mekanisme penanaman modal merupakan langkah awal kegiatan produksi suatu negara. Begitu juga dengan investasi yang merupakan langkah awal kegiatan pembangunan ekonomi. Dalam upaya menumbuhkan perekonomian, setiap negara senantiasa berusaha menciptakan iklim yang dapat menggairahkan investasi. Sasaran yang dituju bukan hanya masyarakat atau kalangan swasta dalam negeri, tapi juga investasi asing. Penerimaan investasi dalam negeri maupun investasi asing merupakan salah satu pos penerimaan negara yang memberikan kontribusi cukup potensial dalam hal pembiayaan anggaran dan belanja negara. Laju pertumbuhan perekonomian yang didasarkan pada alur investasi positif menggambarkan gerak pacu positif dengan dukungan beberapa faktor penunjang lainnya. Pertumbuhan ekonomi dan hubungannya dengan keberlanjutan pembangunan diketahui bahwa peningkatan output sektor-sektor ekonomi riil dapat dibentuk melalui mekanisme pertambahan kapasitas produksi.

Dalam suatu pembangunan sudah pasti diharapkan terjadinya pertumbuhan. Untuk mencapai sasaran tersebut, diperlukan sarana dan prasarana, terutama dukungan dana yang memadai. Disinilah peran serta investasi mempunyai cakupan yang cukup penting karena sesuai dengan fungsinya sebagai penyokong pembangunan dan pertumbuhan nasional, melalui pos penerimaan negara sedangkan tujuannya adalah untuk menunjang pelaksanaan pembangunan


(19)

nasional dalam rangka meningkatkan pemerataan pertumbuhan ekonomi dan stabilitas nasional ke arah peningkatan kesejahteraan rakyat.

Alur Investasi merupakan pembentukan modal yang mendukung peran swasta dalam perekonomian yang berasal dari dalam negeri. Harrod Domar menyatakan, dalam mendukung pertumbuhan ekonomi diperlukan investasi baru sebagai stok modal seperti Penanaman Modal Dalam Negeri (PMDN). Dengan adanya semakin banyak tabungan yang kemudian diinvestasikan, maka semakin cepat terjadi pertumbuhan ekonomi. Akan tetapi secara riil, tingkat pertumbuhan ekonomi yang terjadi pada setiap tabungan dan investasi tergantung dari tingkat produktivitas investasi tersebut (Todaro, 2006).

PMDN dapat diartikan sebagai pengeluaran atau pembelanjaan penanaman modal atau perusahaan untuk membeli barang-barang produksi, untuk menambah kemampuan memproduksi barang dan jasa yang tersedia dalam perekonomian yang berasal dari investasi dalam negeri. Investasi menghimpun akumulasi modal dengan membangun sejumlah gedung dan peralatan yang berguna bagi kegiatan produktif, maka output potensial suatu bangsa akan bertambah dan pertumbuhan ekonomi jangka panjang juga akan meningkat. Jelas dengan demikian bahwa investasi khususnya PMDN memainkan peranan penting dalam menentukan jumlah output dan pendapatan. Kekuatan ekonomi utama yang menentukan investasi adalah hasil biaya investasi yang ditentukan oleh kebijakan tingkat bunga dan pajak, serta harapan mengenai masa depan (Samuelson dan Nordhaus, 2003).

Investasi dunia usaha di Daerah selama ini lebih banyak didominasi oleh pengusaha kuat, sedangkan pengusaha lemah yang umumnya pengusaha lokal


(20)

lebih banyak terpinggirkan. Kondisi ini disebabkan oleh banyak faktor diantaranya yaitu; regulasi yang ditetapkan oleh pemerintah, keterbatasan kapasitas pengusaha lokal, jaringan yang kuat dari pengusaha nasional, dan sebagainya. Sejalan dengan kewenangan Daerah berdasarkan kebijakan Otonomi Daerah, maka pemerintah daerah juga berkewajiban untuk membina dan mengembangkan dunia usaha daerah sebagai pilar pertumbuhan perekonomian di daerah. Untuk itu langkah utama yang harus dilakukan adalah pemberdayaan investasi daerah. Pemberdayaan investasi daerah adalah suatu upaya harus dilakukan secara sistematis untuk mendorong peningkatan investasi di daerah.

Peningkatan investasi daerah akan dapat terwujud jika di daerah terdapat potensi yang dapat “dijual” kepada para investor, baik itu berupa potensi sumber daya alam maupun potensi sumber daya manusia. Selanjutnya hal yang sangat penting lagi adalah kemampuan daerah menjual potensi yang dimilikinya tersebut. Kemampuan daerah untuk menjual tersebut harus didukung oleh terciptanya iklim yang kondusif dan mendukung investasi di daerah seperti adanya jaminan keamanan dan kepastian hukum bagi investasi di daerah. Pemerintah daerah hendaknya juga mampu melahirkan regulasi yang dapat memacu pertumbuhan perekonomian yang mampu merebut investor PMA dan PMDN sekaligus memberdayakan investor lokal. Keberhasilan Pemerintah Daerah mengelola faktor-faktor tersebut akan dapat mendorong peningkatan daya saing daerah dalam merebut investor. Kemudian dalam rangka menghadapi era globalisasi dan pasar bebas, persaingan antar daerah dalam menjual potensinya dan merebut investor akan semakin terbuka tidak hanya terhadap investor nasional tetapi juga internasional. Kesiapan daerah terutama SDM pengelola dan infrastuktur yang


(21)

tersedia akan sangat mendukung dalam merebut para investor untuk bersedia menanamkan investasi. Persaingan antar daerah dalam merebut investor harus dikembangkan dalam suasana persaingan dan kompetisi yang positif dan sehat. Walau bagaimanapun pastilah suatu daerah tidak akan mampu berdiri sendiri tanpa bantuan atau kerjasama dengan daerah lainnya. Oleh sebab itu diharapkan setiap daerah dapat bekerjasama dan saling mendukung dalam merebut investor dengan menonjolkan potensi atau produk unggulan masing-masing. Sebagai contoh suatu daerah yang mempunyai potensi SDA dan SDM tentu saja membutuhkan infrastruktur seperti pelabuhan, bandar udara atau jalan raya untuk mengirim produknya keluar. Hal ini akan sangat berhubungan dengan daerah lain yang memiliki fasilitas tersebut. Tanpa adanya kerjasama antar daerah maka bukan tidak mungkin terjadi pengenaan retribusi atau pungutan yang berlebihan. Tentu saja kondisi ini akan mengakibatkan hilangnya kepercayaan investor terhadap daerah. 441531 309781 443599 490249 440249 29118 39979 56057 519744 339603 504056 532653 265674 596055 1672463 0 200000 400000 600000 800000 1000000 1200000 1400000 1600000 1800000

93 94 95 96 97 98 99 0 1 2 3 4 5 6 7

Gambar 1.1 Perkembangan PMDN Tahun 1993 s/d 2007 (Rp 000.000) Sumber : Sumatera Utara Dalam Angka,2008

PMDN (Juta Rp)


(22)

Berdasarkan Gambar 1.1 diketahui bahwa PMDN di Sumatera Utara banyak mengalami penurunan misalnya tahun 1994, tahun 1998 tahun 2002 dan tahun 2005. Kemudian tahun 1998 sampai dengan tahun 2000 PMDN Sumatera Utara sangat kecil dibandingkan dengan tahun lainnya, hal tersebut sebagai dampak krisis ekonomi yang melanda Sumatera Utara tahun 1997. Penurunan PMDN juga sebagai sebuah masalah yang harus segera diketahui penyebabnya sehingga investasi dapat kembali meningkat. Masalah turunnya PMDN juga sangat dipengaruhi oleh variabel makro ekonomi lainnya seperti Product Domestic Regional Bruto (PDRB), ekspor, jumlah tenaga kerja, belanja daerah, inflasi, tingkat bunga dan kurs mata uang asing. Perkembangan variabel makro ekonomi tersebut sangat mempengaruhi naik turunnya PMDN. Berikut perkembangan variabel yang mempengaruhi PMDN di Sumatera Utara :

0 2000 4000 6000 8000 10000 12000

93 94 95 96 97 98 99 0 1 2 3 4 5 6 7

ekspor Juta US$) TK (ribu jiwa) BD (milyar Rp)

INF (%) SBI (%) Kurs (Rp/US$)

UMP (ribu Rp) PMDN (milyar Rp)

Gambar I.2 Perkembangan Ekspor, Tenaga Kerja, Belanja Daerah, Inflasi, Suku Bunga dan Kurs serta PMDN Tahun 1993-2007

Nilai


(23)

0 20000 40000 60000 80000 100000 120000

93 94 95 96 97 98 99 0 1 2 3 4 5 6 7

pdrb (milyar Rp)

Gambar 1.3 Perkembangan PDRB Tahun 1993-2007

Berdasarkan gambar 1.2 dan 1.3 diketahui bahwa investasi sangat dipengaruhi dengan kondisi ekonomi makro, dimana suku bunga yang tinggi cenderung akan menekan investasi, hal tersebut sesuai dengan Darjanto (2001) yang menyatakan usaha pemerintah dengan meningkatkan uang beredar (sehingga kurva LM bergeser ke kanan) ternyata kurang memberikan dampak optimal terhadap peningkatan income nasional. Ternyata uang beredar (M2) pada tahun 1999 meningkat sebesar 200% dibandingkan posisi tahun 1997 (sebelum krisis) inipun ternyata tidak mampu menahan lajunya suku bunga rupiah. Bahkan naiknya suku bunga rupiah justru memberikan tekanan pada dunia investasi, baik PMDN maupun PMA. Jelas disini ada korelasi negatip antara kenaikan suku bunga rupiah dengan rencana investasi. Naiknya jumlah uang beredar dan turunnya suku bunga juga akan meningkatkan inflasi.

Inflasi yang menimbulkan akibat buruk pada masyarakat yang sebagian besar pelaku-pelaku kegiatan ekonomi dari pekerja-pekerja yang bergaji tetap dan kegiatan perekonomian secara keseluruhan itu yang perlu dihindari. Prospek pembangunan ekonomi jangka panjang akan semakin memburuk sekiranya

Nilai PDRB (Milyar Rp)


(24)

inflasi tidak bisa dikendalikan. Inflasi cenderung akan bertambah cepat apabila tidak bisa di atasi. Inflasi yang bertambah terus tersebut cenderung akan mengurangi investasi yang produktif, mengurangi ekspor, dan menaikkan impor. Kecenderungan ini akan memperlambat pertumbuhan ekonomi (Todaro, 1998).

Kemudian dalam penelitian (Darjanto,2001) menyebutkan dengan adanya krisis moneter, dimana tercatat pertumbuhan ekonomi Indonesia negatip, khususnya tahun 1998 pertumbuhan antara -13,6% s/d -15% dan tahun 1999 pertumbuhan antara -2% s/d -5,1%, akan membuat industri yang ada tidak mampu menciptakan kesempatan kerja yang baru untuk menampung tambahan tambahan angkatan kerja. Ada beberapa faktor yang membuat industri mengalami kesulitan dalam upaya meningkatkan kesempatan kerja. Yang pertama, naiknya suku bunga pinjaman membuat investor menunda untuk melakukan investasi baru. Yang kedua, krisis keuangan yang diikuti dengan ketidak stabilan politik membuat kepercayaan investor atau depositor terhadap industri perbankan di Indonesia mencapai titik terendah, hal tersebut mendorong terjadilah kapital flight. Yang ketiga, meskipun turunnya nilai tukar rupiah terhadap mata uang lainnya, mampu meningkatkan daya saing produk nasional di pasar international, namun kenyataannya nilai ekspor Indonesia tidak mengalami peningkatan yang tajam. Akibat dari hal tersebut adalah kapital formation tidak terbentuk, bahkan cenderung negatip. Penciptaan lapangan kerja tidak terjadi, bahkan yang terjadi adalah meningkatnya pengangguran, mengingat banyak perusahaan yang mengurangi aktivitas produksinya atau bahkan menutup usahanya. Oleh karena itu diperlukan dorongan pengeluaran


(25)

(kebijakan fiskal) dari pemerintah daerah agar investasi dapat kembali meningkat. Di samping menciptakan dan mengumpulkan dana untuk pembiayaan kegiatan pembangunan yang semakin berkembang serta memelihara kestabilan ekonomi, maka kebijaksanaan fiskal juga memainkan peranan yang besar di dalam menciptakan iklim yang dapat merangsang dunia usaha agar lebih bergairah melaksanakan investasi dan mengembangkan usaha di bidang yang produktif. Kebijaksanaan perpajakan di samping meningkatkan penerimaan negara juga diarahkan untuk mendorong tabungan swasta, mendorong kegiatan investasi, dan mempengaruhi penentuan arah penggunaannya. Pengeluaran pemerintahpun diusahakan pula untuk memberikan pengaruh yang positif terhadap hal-hal tersebut.

Rendahnya realisasi anggaran belanja pemerintah menyebabkan total pembentukan modal atau investasi sebagai salah satu pendorong pertumbuhan ekonomi pada 2007 berkurang. Jika pertumbuhan ekonomi tahun ini turun hingga 0,1 persen saja, dampak langsungnya adalah pada kemampuan penyerapan tenaga kerja. Itu berarti, sedikitnya 200.000 peluang kerja gagal tercipta. Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat, pada triwulan III 2007, sumbangan konsumsi pemerintah terhadap pertumbuhan ekonomi menempati urutan terendah, yakni 0,5 persen. Itu artinya, kontribusi pemerintah masih jauh lebih rendah dibandingkan dengan sumbangan sektor konsumsi masyarakat, ekspor, dan investasi swasta dalam membentuk produk domestik bruto (PDB). (Basuki,2008).

Dengan melemahnya tingkat penyerapan tenaga kerja, secara langsung maupun tidak langsung menyebabkan kontribusi tenaga kerja terhadap


(26)

pertumbuhan ekonomi akan semakin rendah. Secara tidak langsung, lemahnya penyerapan tenaga kerja akan berdampak pada melemahnya tingkat konsumsi pemerintah. Jika melihat distribusi PDB berdasarkan penggunaannya, ekonomi negara dapat digerakkan oleh semua komponen PDB yaitu dari kontribusi konsumsi rumah tangga, pembentukan modal kerja tetap domestik bruto (investasi), pengeluaran pemerintah dan ekspor-impor. Pada tahun 2003, kontribusi komponen-komponen PDB paling besar terhadap ekonomi Indonesia yang tumbuh sebesar 4,10 % berasal dari pengeluaran konsumsi rumah tangga dan pengeluaran pemerintah. Kontribusinya terhadap PDB tahun 2003 masing-masing sebesar 69,34% dan 9,16%. Kontribusi dari komponen lain, yaitu pembentukan modal tetap bruto (investasi) sebesar 19,72%, dan ekspor–impor barang/jasa sebesar 5,54% (Irawan,2007).

Menurut Model Harrod-Domar peningkatan laju tabungan, peningkatan

the marginal product of capital, atau penurunan laju depresiasi akan

meningkatkan laju pertumbuhan output. Akumulasi modal melalui investasi mampu mendorong pertumbuhan ekonomi. Model ini juga mempunyai implikasi bahwa untuk negara-negara berkembang, tanaga kerja merupakan sumber yang sangat berlimpah tetapi di sisi lain modal fisik tidak semelimpah tenaga kerja sehingga kemajuan ekonominya lebih lambat. Negara-negara berkembang tidak memiliki rata-rata pendapatan yang cukup untuk memungkinkan terjadinya peningkatan laju tabungan, oleh karenanya akumulasi stok modal melalui investasi menjadi rendah. (Irawan 2007).

Ekspor dapat mempengaruhi pertumbuhan ekonomi dalam beberapa cara. Pertama, pengaruh langsung ekspor yaitu melalui tumpahan dinamis dengan


(27)

perbaikan teknologi. Kedua, ekspor dapat membantu mengatasi kendala nilai tukar mata uang. Hal ini kemudian menjadi pendorong bagi sebuah negara untuk melakukan impor, termasuk impor barang modal. Ketiga, berdasarkan penelitian Levine dan Renelt (1992) dalam Alam (2003) diperoleh bukti bahwa perbandingan antara ekspor dengan PDB memiliki hubungan yang sangat kuat dengan perbandingan antara investasi dengan PDB. Terdapat hubungan tidak langsung antara ekspor dan pertumbuhan ekonomi (PDB) melalui investasi. Menurut Thornton (1997), ekspor berpengaruh positif terhadap pertumbuhan ekonomi salah satunya melalui peningkatan efisiensi karena terciptanya pasar yang semakin kompetitif. Dalam penelitian lain yang dilakukan oleh Baharumshah dan Rashid (1999), menambahkan bahwa ekspor memberikan pengaruh positif terhadap produktifitas karena adanya alokasi sumber daya yang lebih baik pada sektor-sektor yang spesifik mempunyai keunggulan komparatif. (Irawan 2007). Menurut Khan dan Saqib (1993), ada beberapa alasan yang dapat menerangkan hubungan antara ekspor dengan pertumbuhan ekonomi. Alasan-alasan tersebut adalah bahwa ekspansi ekspor memberikan kesempatan-kesempatan terkonsentasinya investasi pada sektor-sektor tertentu yang memiliki keunggulan komparatif. Adanya ekspansi ekspor mendorong terealisasinya skala ekonomi di sektor ekspor. Masih terkait dengan pernyataan sebelumnya bahwa ekspor akan membangkitkan adanya perbaikan teknologi sebagai upaya mengurangi inefisiensi sehingga sektor ekspor mampu bersaing di pasar luar negeri. Selain itu ekspansi ekspor akan mempertinggi kemampuan suatu negara untuk mengimpor lebih banyak modal, baik modal fisik maupun


(28)

modal manusia, termasuk teknologi yang lebih mutakhir dalam produksi dan manajemen.

Ekspor menjadi sangat penting karena dapat mendorong pertumbuhan ekonomi dalam negeri. Para ekonom menerima gagasan tersebut sebagai hal yang masuk akal, sehubungan dengan pengalaman Asia Timur dalam hal export led growth. Mereka menginterpretasikan bahwa “increased export growth led to increased domestic growth” (Reid, 1998; Rodrik, 1995; Jin, 1995). Poot, et al

(1992), menyatakan bahwa setelah terjadi kekecewaan terhadap pengalaman kebijakan ekonomi Indonesia yang berorientasi pada subtitusi impor (import substitution), para ekonom kemudian lebih menyarankan pada penggunaan

strategi industrialisasi yang berorientasi pada promosi ekspor ( outward-looking), dimana ekspor komoditi primer secara berangsur-angsur digantikan

oleh ekspor komoditi yang sudah diolah di dalam negeri. Sejak tahun 1987, sektor industri, merupakan sektor utama penyumbang Produk Domestik Bruto (PDB) dan berbanding lurus dengan pendapatan perkapita (Prabatmodjo dan Micklin,1991). Dalam periode tersebut ekspor meningkat sangat cepat dibandingkan dengan periode sebelumnya. Investasi merupakan unsur penting dalam pembangunan ekonomi khususnya era industrialisasi sebagaimana terjadi dewasa ini. Sebagaimana diketahui harga relatif kapital terhadap tenaga kerja adalah tinggi, hal ini disebabkan oleh melimpahnya tenaga kerja dan relatif langkanya kapital. Dalam keadaan tersebut maka investasi menjadi faktor kunci dalam industrialisasi ( Setiaji, 1997).

Berdasarkan beberapa penjelasan di atas, penulis tertarik untuk meneliti faktor-faktor yang mempengaruhi PMDN di Sumatera Utara, faktor-faktor


(29)

tersebut diantaranya adalah PDRB, ekspor, tenaga kerja, belanja daerah, inflasi, SBK dan kurs mata uang rupiah.

1.2 Perumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang dan batasan masalah di atas, maka perumusan masalah penelitian ini adalah :

1. Apakah PDRB mempunyai pengaruh terhadap PMDN di Sumatera Utara?. 2. Apakah ekspor mempunyai pengaruh terhadap PMDN di Sumatera Utara?. 3. Apakah angkatan kerja mempunyai pengaruh terhadap PMDN di Sumatera

Utara?.

4. Apakah belanja daerah pembangunan mempunyai pengaruh terhadap PMDN di Sumatera Utara?.

5. Apakah inflasi mempunyai pengaruh terhadap PMDN di Sumatera Utara?. 6. Apakah suku bunga kredit mempunyai pengaruh terhadap PMDN di Sumatera

Utara?.

7. Apakah kurs mempunyai pengaruh terhadap PMDN di Sumatera Utara?. 8. Apakah krisis ekonomi mempunyai pengaruh terhadap PMDN di Sumatera

Utara?.

1.3 Tujuan Penelitian

Penelitian ini bertujuan :

1. Untuk menganalisis pengaruh PDRB terhadap PMDN di Sumatera Utara 2. Untuk menganalisis pengaruh ekspor terhadap PMDN di Sumatera Utara.


(30)

3. Untuk menganalisis pengaruh angkatan kerja terhadap PMDN di Sumatera Utara.

4. Untuk menganalisis belanja daerah terhadap PMDN di Sumatera Utara 5. Untuk menganalisis pengaruh inflasi terhadap PMDN di Sumatera Utara. 6. Untuk menganalisis pengaruh SBK terhadap PMDN di Sumatera Utara. 7. Untuk menganalisis pengaruh kurs terhadap PMDN di Sumatera Utara.

8. Untuk menganalisis pengaruh krisis ekonomi terhadap PMDN di Sumatera Utara.

1.4 Manfaat Penelitian

1. Bagi penulis, penelitian ini merupakan pelatihan intelektual (intellectual

exercise) yang diharapkan dapat mempertajam daya pikir ilmiah serta

meningkatkan kompetensi keilmuan dalam disiplin yang digeluti.

2. Bagi masyarakat ilmiah, penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat bagi kemajuan dan pengembangannya ilmu khususnya tentang pengetahuan pembangunan ekonomi di masa yang akan datang.

3. Bagi pemerintah, penelitian ini diharapkan dapat menjadi masukan dalam penentuan kebijakan pembangunan ekonomi khususnya mengenai kaitan faktor-faktor ekonomi makro terhadap besarnya PMDN.


(31)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Investasi

Ciri negara berkembang adalah kurangnya modal, tidak adanya persediaan dan pertumbuhan ekonomi yang rendah serta keterbelakangan teknologi. Hal ini dapat di lihat dari biaya rata-rata yang produksi yang tinggi namun produktivitas tenaga kerja rendah karena tenaga kerjanya tidak terampil dan peralatan modal yang masih sederhana, hal ini jelas dari rasio output modal yang tinggi, Indonesia merupakan negara yang sedang berkembang juga tidak lepas dari masalah di atas, oleh karena itu investasi merupakan salah satu sumber pembiayaan yang sangat dibutuhkan untuk menunjang pembangunan. Contoh investasinya adalah Penanaman Modal Dalam Negeri yang dibiayai pemerintah dan Penanaman Modal Asing. Pembentukan modal diperdagangkan sebagai salah satu faktor utama dan strategis dalam pembangunan ekonomi. Proses pertumbuhan modal terjadi melalui tiga tahapan, yaitu (Jhinghan,2006).

a. Kenaikan volume tabungan nyata yang tergantung pada kemauan dan kemampuan menabung.

b. Keberadaan lembaga kredit dan keuangan untuk menggalang dan menyalurkan tabungan agar dapat dialihkan menjadi dana yang dapat diinvestasikan.

c. Penggunaan tabungan untuk investasi. Dengan rasio modal output tertentu pembentukan modal dapat menaikkan output yang berdampak pada surplus investasi sehingga pendapatan meningkat. Akhirnya masalah disalurkan pada


(32)

Tujuan pengeluaran untuk investasi adalah harapan untuk memeperoleh keuntungan di kemudian hari, hal ini berarti bahwa pertimbangan-pertimbangan yang di ambil oleh individu perusahaan dalam memutuskan apakah membeli atau tidak membeli barang- barang atau jasa-jasa adalah harapan dikemudian hari nanti dapat memperoleh keuntungan dari penjualan atau penggunaan barang dan jasa untuk proses produksi. Harapan akan keuntungan inilah yang merupakan faktor utama dalam memutuskan apakah berinvestasi atau tidak.

Investasi yang lajim disebut dengan istilah penanaman modal atau pembentukan modal menurut Sukirno (2000) adalah, "Merupakan komponen kedua yang menentukan tingkat pengeluaran agregat".

Menurut Tambunan (2001) : Didalam neraca nasional atau struktur PDB menurut penggunaannya, investasi didefenisikan sebagai pembentukan modal/kapital tetap domestik (domestic fixed capital formation). Investasi dapat

dibedakan antara investasi bruto (pembentukan modal tetap domestik bruto) dan investasi netto (pembentukan modal tetap domestik netto).

Menurut defenisi dari Badan Pusat Statistik (BPS,2007), pembentukan modal tetap adalah pengeluaran untuk pengadaan, pembuatan, atau pembelian barang-barang modal baru (bukan barang-barang konsumsi) baik dari dalam negeri maupun import, termasuk barang modal bekas dari luar negeri. Pembentukan modal tetap yang dicakup hanyalah yang dilakukan oleh sektor-sektor ekonomi di dalam negeri (domestik). Nopirin (2000) “Invesatsi merupakan salah satu komponen yang penting dalam PDB”.

Tingkat bunga dapat mempengaruhi para pengusaha dalam memutuskan apakah harus melaksanakan investasi yang direncanakan atau membatalkannya.


(33)

Maka tingkat bunga dapatlah digolongkan sebagai salah satu faktor penting yang akan menentukan besarnya investasi yang akan dilakukan para pengusaha dalam suatu tahun tertentu. Bahkan, seperti akan diterangkan dalam bahagian ini, tingkat bunga merupakan faktor yang sangat penting di dalam menentukan tingkat investasi yang akan dilakukan para pengusaha pada suatu waktu tertentu.

Tambunan (2001), faktor yang dipertimbangkan dalam memilih investasi diantaranya adalah

a. Modal. Yang dimaksud dengan modal adalah berapa banyak dana yang

kita perlukan untuk bisa melakukan investasi sampai kita dapat memperoleh keuntungan yang melebihi dari investasi yang kita keluarkan? Prinsipnya, semakin kecil modal yang diperlukan semakin baik bagi investor.

b. Tingkat Pengembalian.Tingkat pengembalian adalah berupa berapa persen

keuntungan yang bisa diperoleh dari modal yang dikeluarkan dalam jangka waktu tertentu. Semakin tinggi tingkat pengembalian dan semakin cepat jangka waktunya semakin baik bagi investor.

c. Tingkat Risiko. Risiko adalah berapa besar kemungkinan terjadinya kerugian yang dapat mengurangi jumlah modal kita dan bahkan menghabiskan modal kita. Semakin kecil tingkat risikonya, semakin baik bagi investor.

d. Arus Dana. Terakhir adalah arus dana yang berupa seberapa cepat dana

dalam bentuk Uang kas secara fisik dapat kita tarik dari modal yang telah kita setor. Semakin cepat semakin baik bagi investor.


(34)

tingkat bunga, penyusutan, kebijaksanaan perpajakan serta perkiraan tentang penjualan dan kebijaksanaan ekonomi”.

Kegiatan para pengusaha untuk menggunakan teknologi yang baru dikembangkan di dalam kegiatan produksi atau usaha-usaha lain mereka dinamakan mengadakan pembaharuan atau inovasi. Pada umumnya makin banyak

perkembangan teknologi yang dibuat, makin banyak pula kegiatan pembaharuan yang akan dilakukan oleh para pengusaha. Untuk melaksanakan perubahan-perubahan, para pengusaha harus membeli barang-barang modal yang baru, dan ada kalanya juga harus mendirikan bangunan-bangunan pabrik/industri yang baru. Maka makin banyak perubahan atau pembaharuan yang dilakukan, makin tinggi tingkat investasi yang akan dicapai.

Disamping oleh tingkat pendapatan nasional yang dicapai, besarnya investasi yang akan dilakukan oleh para pengusaha ditentukan pula oleh tingkat perubahan-perubahan pendapatan nasional dari tahun ke tahun. Para pengusaha melakukan investasi bukan untuk memenuhi kebutuhan mereka tetapi untuk memenuhi permintaan atas barang-barang yang mereka produksi. Makin cepat perkembangan permintaan atas barang-barang yang mereka produksi, makin banyak pertambahan produksi yang mereka lakukan.

Keuntungan menimbulkan suatu pengaruh lain atas investasi. Keuntungan yang tinggi merupakan suatu petunjuk bahwa perusahaan itu sedang menghadapi perkembangan dalam permintaan atas barang yang diproduksinya. Agar permintaan yang berkembang ini dapat dipenuhi di masa-masa yang akan datang, perusahaan itu harus lebih dikembangkan lagi. Maka investasi baru harus segera dilakukan.


(35)

2.2. Produk Domestik Regional Bruto (PDRB)

PDRB diyakini sebagai indikator ekonomi terbaik dalam menilai perkembangan ekonomi suatu daerah. Perhitungan pendapatan nasional ini mempunyai ukuran makro utama tentang kondisi suatu daerah. Pada umumnya perbandingan kondisi antar negara dapat dilihat dari pendapatan daerahnya sebagai gambaran, Bank Dunia menentukan apakah suatu negara berada dalam kelompok negara maju atau berkembang melalui pengelompokan besarnya PDRB, dan PDRB suatu negara sama dengan total pengeluaran atas barang dan jasa dalam perekonomian (Herlambang, 2001).

Pendapatan regional didefinisikan sebagai nilai produksi barang-barang dan jasa-jasa yang diciptakan dalam suatu perekonomian di dalam suatu wilayah selama satu tahun (Sukirno, 1995). Sedangkan menurut Tarigan (2004), pendapatan regional adalah tingkat pendapatan masyarakat pada suatu wilayah analisis. Tingkat pendapatan regional dapat diukur dari total pendapatan wilayah ataupun pendapatan rata-rata masyarakat pada wilayah tersebut. Beberapa istilah yang sering digunakan untuk menggambarkan pendapatan regional, diantaranya adalah :

1. Produk Domestik Regional Bruto (PDRB)

PDRB adalah jumlah nilai tambah bruto (gross value added) yang timbul

dari seluruh sektor perekonomian di suatu wilayah atau propinsi. Pengertian nilai tambah bruto adalah nilai produksi (output) dikurangi

dengan biaya antara (intermediate cost). Komponen-komponen nilai

tambah bruto mencakup komponen-komponen faktor pendapatan (upah dan gaji, bunga, sewa tanah dan keuntungan), penyusutan dan pajak tidak


(36)

langsung neto. Jadi dengan menghitung nilai tambah bruto dari masing-masing sektor dan kemudian menjumlahkannya akan menghasilkan Produk Domestic Regional Bruto (PDRB).

2. Produk Domestitk Regional Neto (PDRN)

PDRN dapat diperoleh dengan cara mengurangi PDRB dengan penyusutan. Penyusutan yang dimaksud disini adalah nilai susut (aus) atau pengurangan nilai barang-barang modal (mesin-mesin, peralatan, kendaraan dan yang lain-lainnya) karena barang modal tersebut dipakai dalam proses produksi. Jika nilai susut barang-barang modal dari seluruh sektor ekonomi dijumlahkan, hasilnya merupakan penyusutan keseluruhan. Tetapi bila PDRN di atas dikurangi dengan pajak tidak langsung neto, maka akan diperoleh PDRN atas dasar biaya faktor.

Ada tiga pendekatan untuk menghitung pendapatan regional dengan menggunakan metode langsung (Tarigan, 2004), yaitu :

1. Pendekatan Pengeluaran

Pendekatan pengeluaran adalah cara penentuan pendapatan regional dengan cara menjumlahkan seluruh nilai penggunaan akhir dari barang dan jasa yang diproduksi di dalam negeri. Kalau dilihat dari segi penggunaan maka total penyediaan atau produksi barang dan jasa itu digunakan untuk : konsumsi rumah tangga; konsumsi lembaga swasta yang tidak mencari untung; konsumsi pemerintah; pembentukan modal tetap bruto (investasi); perubahan stok, dan ekspor neto (total ekspor dikurangi dengan total impor).


(37)

2. Pendekatan Produksi

Perhitungan pendapatan regional berdasarkan pendekatan produksi dilakukan dengan cara menjumlahkan nilai produksi yang diciptakan oleh tiap-tiap sektor produksi yang ada dalam perekonomian. Maka itu, untuk menghitung pendapatan regional berdasarkan pendekatan produksi, maka pertama-tama yang harus dilakukan ialah menentukan nilai produksi yang diciptakan oleh tiap-tiap sektor di atas. Pendapatan regional diperoleh dengan cara menjumlahkan nilai produksi yang tercipta dari tiap-tiap sektor.

3. Pendekatan Penerimaan

Dengan cara ini pendapatan regional dihitung dengan cara menjumlahkan pendapatan faktor-faktor produksi yang digunakan dalam memproduksi barang-barang dan jasa-jasa. Jadi yang dijumlahkan adalah: upah dan gaji, surplus usaha, penyusutan, dan pajak tidak langsung neto.

Ada beberapa teori pertumbuhan dan pembangunan ekonomi regional yang akan disajikan, khususnya teori-teori yang sangat terkait dengan penelitian ini, diantaranya : (1) Teori Pertumbuhan Jalur Cepat; (2) Teori Basis Ekspor; (3) Model Interregional; dan (4) Teori Pusat Pertumbuhan (Aziz, 2001).

1. Teori Pertumbuhan Jalur Cepat

Teori pertumbuhan jalur cepat (turnpike) diperkenalkan oleh Samuelson

pada tahun 1955. Pada intinya, teori ini menekankan bahwa setiap daerah perlu mengetahui sektor ataupun komoditi apa yang memiliki potensi besar dan dapat dikembangkan dengan cepat, baik karena potensi alam maupun karena sektor itu memiliki competitive advantage untuk


(38)

dikembangkan. Artinya, dengan kebutuhan modal yang sama sektor tersebut dapat memberikan nilai tambah yang lebih besar, dapat berproduksi dalam waktu relatif singkat dan sumbangan untuk perekonomian juga cukup besar. Agar pasarnya terjamin, produk tersebut harus bisa diekspor (keluar daerah atau luar negeri). Perkembangan sektor tersebut akan mendorong sektor lain turut berkembang sehingga perekonomian secara keseluruhan akan tumbuh. Mensinergikan sektor-sektor adalah membuat sektor-sektor-sektor-sektor saling terkait dan saling mendukung. Menggabungkan kebijakan jalur cepat dan mensinergikannya dengan sektor lain yang terkait akan akan mampu membuat perekonomian tumbuh cepat.

2. Teori Basis Ekspor Richardson

Teori ini membagi sektor produksi atau jenis pekerjaan yang terdapat di dalam suatu wilayah atas pekerjaan basis (dasar) dan pekerjaan service (pelayanan) atau lebih sering disebut sektor nonbasis. Pada intinya, kegiatan yang hasilnya dijual ke luar daerah ( atau mendatangkan dari luar daerah) disebut kegiatan basis. Sedangkan kegiatan non-basis adalah kegiatan yang melayani kebutuhan masyarakat di daerah itu sendiri, baik pembeli maupun asal uangnya dari daerah itu sendiri.

Teori basis ekspor menggunakan dua asumsi, yaitu : (1) asumsi pokok atau yang utama bahwa ekspor adalah satu-satunya unsur eksogen (independen) dalam pengeluaran. Artinya, semua unsur pengeluaran lain terikat (dependen) terhadap pendapatan. Secara tidak langsung hal ini berarti diluar pertambahan alamiah, hanya peningkatan ekspor saja yang dapat


(39)

mendorong peningkatan pendapatan daerah karena sektor-sektor lain terikat peningkatannya oleh peningkatan pendapatan dcaerah. Sektor lain hanya meningkat apabila pendapatan daerah secara keseluruhan meningkat. Jadi satu-satunya yang bisa meningkat secara bebas adalah ekspor. Ekspor tidak terikat dalam siklus pendapatan daerah; (2) asumsi kedua adalah fungsi pengeluaran dan fungsi impor bertolak dari titik nol sehingga tidak akan berpotongan.

Model teori basis ini adalah sederhana, sehingga memiliki kelemahan-kelemahan antara lain sebagai berikut :

a. Menurut Richardson besarnya basis ekspor adalah fungsi terbalik dari besarnya suatu daerah. Artinya, makin besar suatu daerah maka ekspornya akan semakin kecil apabila dibandingkan dengan total pendapatan.

b. Ekspor jelas bukan satu-satunya faktor yang bisa meningkatkan pendapatan daerah. Ada banyak unsur lain yang dapat meningkatkan pendapatan daerah seperti : pengeluaran atau bantuan pemerintah pusat, investasi, dan peningkatan produktivitas tenaga kerja.

c. Dalam melakukan studi atas satu wilayah, multiplier basis yang dioperoleh adalah rata-ratanya dan bukan perubahannya. Menggunakan multiplier basis rata-rata untuk proyeksi seringkali memberikan hasil yang keliru apabila ada tendensi perubahan nilai multiplier dari tahun ke tahun.


(40)

d. Beberapa pakar berpendapat bahwa apabila pengganda basis digunakan sebagai alat proyeksi maka masalah time lag (masa

tenggang) harus diperhatikan . Ada kasus dimana suatu daerah yang tetap berkembang pesat meski ekspornya relatif kecil. Pada umumnya hal ini dapat terjadi pada daerah yang terdapat banyak ragam kegiatan dan satu kegiatan saling membutuhkan dari produk kegiatan lainnya. Pada daerah ini tetap tercipta pasar yang tertutup tetapi dinamis, dan ini bisa terjadi apabila syarat-syarat keseimbangan yang dituntut dalam teori Harrod-Domar dapat dipenuhi.

3. Model Pertumbuhan Interregional

Model ini adalah perluasan dari teori basis ekspor, yaitu dengan menambah faktor-faktor yang bersifat eksogen. Berbeda dengan model basis ekspor yang hanya membahas pertumbuhan daerahnya sendiri tanpa melihat dampaknya pada daerah yang ada disekitarnya. Model pertumbuhan interregional ini memasukkan dampak dari daerah tetangga, itulah sebabnya model ini dinamakan model interregional.

Dalam model ini, pengeluaran pemerintah dan investasi termasuk variabel bersifat eksogen sebagaimana variabel ekspor. Dengan memanipulasi persamaan pendapatan yang pertama kali ditulis oleh Keynes, oleh Richardson persamaan pendapatan didaerah-i dapat dimodifikasi menjadi :


(41)

dimana :

Yi = regional income, Ci = regional consumption, Ii = regional investment,

Gi = regional government expenditure, Xi = regional exports,

Mi = import.

Dalam model pertumbuhan interregional ini, sumber-sumber perubahan pendapatan regional dapat berasal dari :

a. Perubahan pengeluaran otonom regional, seperti : investasi dan pengeluaran pemerintah.

b. Perubahan pendapatan suatu daerah atau beberapa daerah lain yang berada dalam suatu system yang akan terlihat dari perubahan ekspor. c. Perubahan salah satu di antara parameter-parameter model (hasrat

konsumsi marginal, koefisien perdagangan interregional, atau tingkat pajak marjinal.

Selanjutnya model standar Keynesian, oleh McCann (2001) diturunkan sebagai berikut :

Yr = kr (C + Ir + Gr + Xr M) dimana multiplier regional ( kr ) :

Menurut Cann, multiplier regional sebagaimana disajikan dalam rumus di atas sangat tergantung pada nilai marginal propensity to consume locally produced goods (c-m). Apabila (c-m) meningkat nilai

multiplier regional juga meningkat sebaliknya bila (c-m) menurun

maka multiplier regional akan menurun juga.


(42)

Dampak perubahan komponen aggregate demand dalam kerangka

multiplier regional dapat disajikan sebagai berikut :

4. Teori Pusat Pertumbuhan (The Growth Pole Theory)

Dalam suatu wilayah, ada penduduk atau kegiatan yang terkonsentrasi pada suatu tempat, yang disebut dengan berbagai istilah seperti: kota, pusat perdagangan, pusat industri, pusat pertumbuhan, simpul distribusi, pusat permukiman, atau daerah modal. Sebaliknya, daerah di luar pusat konsentrasi dinamakan: daerah pedalaman, wilayah belakang (hinterland), daerah pertanian, atau daerah pedesaan (Tarigan, 2004).

Keuntungan bertempat di daerah terkonsentrasi adalah terciptanya skala ekonomis (economies of scale) dan economies of agglomeration (economies of localization). Dikatakan economies of scale, karena dalam

berproduksi sudah berdasarkan spesialisasi, sehingga produksi menjadi lebih besar dan biaya per unitnya menjadi lebih efisien. Economies of agglomeration adalah keuntungan karena ditempat tersebut terdapat

berbagai keperluan dan fasilitas yang dapat digunakan untuk memperlancar kegiatan perusahaan, seperti: jasa perbankan, asuransi, perbengkelan, perusahaan listrik, perusahaan air bersih, tempat-tempat pelatihan keterampilan, media untuk mengiklankan produk, dan lain sebagainya.

Tarigan, 2004, menjelaskan pula hubungan yang terjadi antara daerah yang lebih maju ( sebut saja dengan istilah kota) dengan daerah lain yang yang (2.3)


(43)

lebih terbelakang, sebagai berikut : (1) Generatif : yaitu hubungan yang saling menguntungkan atau saling mengembangkan antara antara daerah yang lebih maju dengan daerah yang ada di belakangnya. (2) Parasitif : yaitu hubungan yang terjadi dimana daerah kota (daerah yang lebih maju) tidak banyak membantu atau menolong daerah belakangnya, dan bahkan bisa mematikan berbagai usaha yang mulai tumbuh di daerah belakangnya (3) Enclave (tertutup): dimana daerah kota (daerah yang lebih maju)

seakan-akan terpisah sama sekali dengan daerah sekitarnya yang lebih terbelakang.

Selanjutnya, suatu daerah dikatakan sebagai pusat pertumbuhan harus memiliki empat ciri (Tarigan, 2004), yaitu: (1) Adanya hubungan internal dari berbagai macam kegiatan yang memiliki nilai ekonomi; (2) Ada efek pengganda (multiplier effect); (3) Adanya konsentrasi geografis; dan (4)

Bersifat mendorong pertumbuhan daerah di belakangnya.

Terdapat keterkaitan yang erat antara pendapatan nasional dan investasi. Hubungan keduanya menjadi suatu sorotan para ekonom, baik dari kalangan Klasik maupun Neo Klasik. Teori pendapatan nasional Keynesian yang menggunakan pendekatan pengeluaran agregatif dimana besarnya pendapatan nasional suatu negara diukur dari komponen-konponen expenditure para pelaku

ekonominya lewat anggaran-anggarannya, yaitu; sektor rumah tangga (C;

consumtion), perilaku usaha dan dunia usaha tercermin lewat komponen investasi

yang ditanam (I), pemerintah melalui anggaran belanjanya (G) dan sektor perdagangan internasional yang tercermin lewat nilai ekspor / impor neto-nya.


(44)

Teori di atas selanjutnya menurunkan pertimbangan parsial pada faktor-faktor yang menjadi pertimbangan dalam melakukan investasi. Seperti halnya dalam konsumsi yang dilakukan oleh sektor rumah tangga, investasi oleh para pengusaha ditentukan oleh beberapa faktor. Salah satu diantara faktor-faktor penting yang dipertimbangkan adalah besarnya nilai pendapatan nasional yang dicapai (Sukirno, 2002).

Menurut Tambunan, (2001) : Ada kecenderungan, atau dapat dilihat sebagai suatu hipotesis, bahwa semakin tinggi laju pertumbuhan ekonomi rata-rata per tahun yang membuat semakin tinggi atau semakin cepat proses peningkatan pendapatan masyarakat per kapita, semakin cepat perubahan struktur ekonomi, dengan asumsi bahwa faktor-faktor penentu lain pendukung proses tersebut, seperti tenaga kerja, bahan baku dan teknologi tersedia.

Sudono (2006), menyatakan dalam kebanyakan analisa mengenai penentuan pendapatan nasional pada umumnya variabel investasi yang dilakukan oleh pengusaha berbentuk investasi autonomi (besaran / nilai tertentu investasi yang selalu sama pada berbagai tingkat pendapatan nasional). Tetapi adakalanya tingkat pendapatan nasional sangat besar pengaruhnya pada tingkat investasi yang dilakukan. Secara teoritis, dapat dikatakan bahwa pendapatan nasional yang tinggi akan memperbesar pendapatan masyarakat dan selanjutnya pendapatan masyarakat yang tinggi itu akan memperbesar permintaan atas barang-barang dan jasa. Keuntungan yang dicapai oleh sektor usaha dapat mencapai targetnya, dengan demikian pada akhirnya akan mendorong dilakukan investasi-investasi baru pada sektor usaha. Dengan demikian, apabila nilai pendapatan nasional semakin bertambah tinggi, maka investasi akan bertambah tinggi pula. Sebaliknya


(45)

semakin rendah nilai pendapatan nasional, maka nilai permintaan investasinya akan semakin rendah pula. Hubungan yang terjadi antara variabel pendapatan nasional dan investasi dapat ditunjukkan oleh fungsi I dalam gambar di bawah ini:

Gambar 2.1 Fungsi investasi terhadap pendapatan nasional

Pengembangan yang dilakukan para ekonom Neo Klasik pada teori Keynes ini terlihat pada formulasi yang dikembangkannya pada model akselerator investasi. Dijelaskan bahwa laju investasi adalah sebanding dengan perubahan output dalam perekonomian. Pembahasan mengenai bagaimana suatu model investasi dikembangkan, yaitu pada model investasi Neo Klasik dapat disimpulkan dalam persamaan-persamaan dibawah ini :

I = λ (K0-K1) (2.4)

Keterangan :

I = investasi netto

K0-K1 = perubahan nilai stok modal

λ = multiplier (rata-rata penyesuaian) stok modal

Penyempurnaan terhadap persamaan di atas, yaitu menentukan suatu tingkat investasi yang diinginkan dengan memasukkan formulasi fungsi produksi Cob Douglas ke dalamnya (K= λ.Y/r.c, dimana ã = bagian modal dalam total

Pendapatan Nasional (Y)

Investasi (I) I


(46)

pendapatannya dan r.c = biaya / bunga sewa modal). Maka selanjutnya diperoleh fungsi investasi netto yang diinginkan dengan menyesuaikan nilai pajak yang dibebankan. Fungsi yang dimaksud adalah sebagai berikut:

I =λ (γ.Y/r.c-K-1) (2.5)

Keterangan : I = investasi netto Y = pendapatan nasional

λ = multiplier pertambahan modal; asumsi multiplier / pelipat pertambahan modal adalah sempurna (λ = I)

K-1 = stok modal pada periode sebelumnya / periode terakhir r.c = biaya / bunga sewa modal

Semakin tinggi produk domestik bruto maka investasi sektor pertanian akan semakin tinggi demikian sebaliknya (Sudono, 2006).

Pengertian Produk Domestik Regional Bruto dapat didefinisikan menurut tiga sudut pandang yang berbeda namun mempunyai pengertian yang sama, yaitu:

a. Menurut Pendekatan Produksi adalah jumlah nilai produk netto dari barang dan jasa yang dihasilkan oleh unit produksi di dalam suatu regional atau wilayah dalam jangka waktu tertentu (satu tahun).

b. Menurut Pendekatan pendapatan adalah jumlah balas jasa yang diterima oleh berbagai produksi yang ikut serta dalam proses produksi dalam satu regional atau wilayah dalam jangka waktu tertentu (satu tahun).

c. Menurut pendekatan pengeluaran adalah jumlah pengeluaran rumah tangga, lembaga swata tidak mencari keuntungan dan pemerintah sebagai konsumsi, pengeluaran sebagai pembentukan modal tetap domestik bruto,


(47)

perubahan stock dan ekspor netto, di suatu regional atau wilayah dalam jangka waktu tertentu.(Boediono,2002).

2.3. Ekspor

Kegiatan ekspor adalah sistem perdagangan dengan cara mengeluarkan barang-barang dari dalam negeri keluar wilayah pabean Indonesia dengan memenuhi ketentuan yang berlaku. Ekspor merupakan total barang dan jasa yang dijual oleh sebuah negara ke negara lain, termasuk diantara barang-barang, asuransi, dan jasa-jasa pada suatu tahun tertentu (Sasandara, 2005).

Fungsi penting komponen ekspor dari perdagangan luar negeri adalah negara memperoleh keuntungan dan pendapatan nasional naik, yang pada gilirannya menaikkan jumlah output dan laju pertumbuhan ekonomi. Dengan tingkat out put yang lebih tinggi lingkaran setan kemiskinan dapat dipatahkan dan pembangunan ekonomi dapat ditingkatkan (Jhingan, 2000).

Secara teoritis ekspor suatu barang dipengaruhi oleh suatu penawaran (supply) dan permintaan (demand). Dalam teori perdagangan internasional

disebutkan bahwa faktor-faktor yang mempengaruhi ekspor dapat dilihat dari sisi permintaan dan sisi penawaran (Krugman dan Obstfeld, 2000; Salvatore, 2000). Dari sisi permintaan, ekspor dipengaruhi oleh harga ekspor, nilai tukar riil, pendapatan dunia dan kebijakan devaluasi. Sedangkan dari sisi penawaran, ekspor dipengaruhi oleh harga ekspor, harga domestik, nilai tukar riil, kapasitas produksi yang bisa diproksi melalui investasi, impor bahan baku, dan kebijakan deregulasi. Ekspor merupakan bentuk paling sederhana dalam sistem perdagangan internasional dan merupakan suatu strategi dalam memasarkan produksi ke luar


(48)

negeri. Faktor-faktor seperti pendapatan negara yang dituju dan populasi penduduk merupakan dasar pertimbangan dalam pengembangan ekspor (Kotler dan Amstrong (1996), diterjemahkan oleh Sindoro (2000).

Menurut Nicholson (2005) ketika pendapatan total meningkat, dengan asumsi tidak berubah, maka kuantitas yang dibeli untuk setiap orang juga akan berubah, namun peningkatan tersebut tergantung dari jenis barangnya, apabila barang dimaksud adalah barang normal maka peningkatannya akan cenderung lambat.

Produk-produk yang betul-betul kompetitif, penawaran dan permintaan domestik akan tergantung pada harga dalam mata uang domestik, sedangan permintaan dan penawaran asing (ekspor) akan bergantung pada harga dalam mata uang asing (Krugman dan Obstfeld (2000) yang diterjemahkan oleh Basri (2004), dijelaskan pula bahwa perdagangan akan terjadi di suatu pasar apabila terdapat perbedaan harga pada waktu sebelum perdagangan, jika kedua negara menghasilkan produk yang sama. Selain sebagai faktor di atas, hubungan perdagangan antar negara yang mempengaruhi aktivitas ekspor impor adalah nilai tukar mata uang setiap negara.

Menurut Batiz (2000) ekspor dipengaruhi oleh harga relatif dan pendapatan riil negara tujuan ekspor atau negara mitra dagang atau negara pengimpor, dan dapat dirumuskan sebagai berikut :

) , (P Yb f

Xa= (2.6)

dimana :

Xa = kuantitas ekspor negara A ; P= harga relatif (ratio antara harga barang dinegara A terhadap harga barang di negara B), dan Yb= pendapatan


(49)

negara B. Apabila diasumsikan harga suatu barang di negara B dan A adalah sama, peningkatan harga barang di negara B akan menyebabkan konsumen di negara B mengalihkan pembelian barangnya ke negara A dengan cara mengimpor. Hal ini akan menyebabkan peningkatan ekspor negara A. Dengan demikian maka terdapat hubungan terbalik antara ekspor negara A dengan harga relatif (P) Sedangkan apabila pendapatan negara B meningkat, dan variabel lain diasumsikan konstan (ceteris paribus), maka tambahan peningkatan pendapatannya akan

dialihkan untuk pembelian barang-barang dari negara A melalui impor. Hal ini artinya variabel berbanding lurus dengan kuantitas ekspor negara A. =YbYb.

Ekspor merupakan faktor penting dalam merangsang pertumbuhan ekonomi suatu negara. Ekspor impor akan memperbesar kapasitas konsumsi suatu negara meningkatkan output dunia, serta menyajikan akses ke sumber-sumber daya yang langka dan pasar-pasar internasional yang potensial untuk berbagai produk ekspor yang mana tanpa produk-produk tersebut, maka negara-negara miskin tidak akan mampu mengembangkan kegiatan dan kehidupan perekonomian nasionalnya. Ekspor juga dapat membantu semua negara dalam menjalankan usaha-usaha pembangunan mereka melalui promosi serta penguatan sektor-sektor ekonomi yang mengandung keunggulan komparatif, baik itu berupa ketersediaan faktor-faktor produksi tertentu dalam jumlah yang melimpah, atau keunggulan efisiensi alias produktifitas tenaga kerja. Ekspor juga dapat membantu semua negara dalam mengambil keuntungan dari skala ekonomi yang mereka miliki. Untuk meningkatkan pertumbuhan ekonomi dan pembangunan pada umumnya, setiap negara perlu merumuskan dan menerapkan kebijakan-kebijakan internasional yang berorientasi ke luar. Dalam semua kasus, kemandirian yang


(50)

didasarkan pada isolasi, baik yang penuh maupun yang hanya sebagian, tetap saja secara ekonomi akan lebih rendah nilainya daripada partisispasi ke dalam perdagangan dunia yang benar-benar bebas tanpa batasan atau hambatan apapun (Todaro dan Smith, 2006).

Ekspor merupakan faktor penting dalam merangsang pertumbuhan ekonomi suatu negara. Ekspor akan memperbesar kapasitas konsumsi suatu negara meningkatkan output dunia, serta menyajikan akses ke sumber-sumber daya yang langka dan pasar-pasar internasional yang potensial untuk berbagai produk ekspor yang mana tanpa produk-produk tersebut, maka negara-negara miskin tidak akan mampu mengembangkan kegiatan dan kehidupan perekonomian nasionalnya. Ekspor juga dapat membantu semua negara dalam menjalankan usaha-usaha pembangunan mereka melalui promosi serta penguatan sektor-sektor ekonomi yang mengandung keunggulan komparatif, baik itu berupa ketersediaan faktor-faktor produksi tertentu dalam jumlah yang melimpah, atau keunggulan efisiensi alias produktifitas tenaga kerja. Ekspor juga dapat membantu semua negara dalam mengambil keuntungan dari skala ekonomi yang mereka miliki. Untuk meningkatkan pertumbuhan ekonomi dan pembangunan pada umumnya, setiap negara perlu merumuskan dan menerapkan kebijakan-kebijakan internasional yang berorientasi ke luar. Dalam semua kasus, kemandirian yang didasarkan pada isolasi, baik yang penuh maupun yang hanya sebagian, tetap saja secara ekonomi akan lebih rendah nilainya daripada partisipasi ke dalam perdagangan dunia yang benar-benar bebas tanpa batasan atau hambatan apapun (Todaro dan Smith, 2006).


(51)

2.4. Angkatan Kerja

Di Indonesia, pengertian tenaga kerja atau man power adalah mencakup

penduduk yang sudah bekerja, sedang mencari pekerjaan, dan yang sedang melakukan kegiatan lain seperti bersekolah dan mengurus rumah tangga. Tiga golongan terakhir, yakni pencari kerja, bersekolah, dan mengurus rumah tangga, walapun sedang tidak bekerja, mereka dianggap secara fisik mampu bekerja dan dapat sewaktu-waktu bekerja (Simanjuntak, 2001).

Pengertian tenaga kerja adalah penduduk yang berumur dalam batas usia kerja. Batasan usia kerja berbeda-beda disetiap Negara. Batas usia kerja yang dianut oleh Indonesia adalah minimum 10 tahun tanpa batas usia maksimum, jadi setiap orang atau penduduk yang sudah berusia 10 tahun keatas adalah tergolong sebagai tenaga kerja. Di Negara India menggunakan rentang usia antara 14-60 tahun. Amerika Serikat menetapkan usia kerja minimum adalah 16 tahun tanpa batas usia maksimum. Sedangkan batas usia kerja yang ditetapkan oleh bank dunia adalah antara 15-64 tahun (Dumairy, 1996).

Indonesia tidak menganut batas usia maksimum karena Indonesia belum mempunyai jaminan sosial nasioanal. Hanya sebagian kecil penduduk Indonesia yang menerima tunjangan hari tua, yaitu pegawai negeri dan sebagian perusahaan swasta.buat golongan inipun pendapatan yang mereka terima tidak mencukupi kebutuhan sehari-hari mereka. Oleh sebab itu, mereka yang telah mencapai usia pensiun masih tetap harus bekerja, dengan kata lain sebagian besar penduduk Indonesia yang sudah usia pensiun masih aktif dalam kegiatan ekonomi, dan tetap digolongkan sebagai tenaga kerja. Tenaga kerja terdiri dari angkatan kerja dan bukan angkatan kerja. Angkatan kerja terdiri dari golongan yang bekerja,


(52)

menganggur, dan mencari pekerjaan. Bukan angkatan kerja terdiri dari golongan yang bersekolah, mengurus rumah tangga, dan golongan lain yang menerima pendapatan. Ketiga golongan tersebut sewaktu-waktu dapat menawarkan jasanya untuk bekerja, oleh sebab itu kelompok ini sering disebut sebagai potensial labor force.

Angkatan kerja adalah tenaga kerja atau penduduk dalam usia kerja yang mempunyai pekerjaan, dan sedang mencari pekerjaan. Sedangkan yang termasuk bukan angkatan kerja adalah mereka yang sekolah, mengurus rumah tangga, menerima pendapatan akan tetapi bukan dari imbalan langsung atas kerjanya.

Pandangan mainstream economy terhadap permintaan tenaga kerja adalah

sebagaimana permintaan terhadap faktor produksinya, dianggap sebagai permintaan turunan (derived demand), yaitu penurunan dari fungsi perusahaan.

Meskipun fungsi perusahaan cukup bervariasi, meliputi memaksimumkan keuntungan, memaksimumkan penjualan atau perilaku untuk memberikan kepuasan kepada konsumen, namun maksimisasi keuntungan sering dijadikan dasar analisis dalam menentukan penggunaan tenaga kerja.

Dengan pertimbangan tersebut (maksimisasi keuntungan), dan dengan asumsi perusahaan beroperasi dalam sistem pasar persaingan, maka perusahaan cenderung untuk mempekerjakan tenaga kerja dengan tingkat upah sama dengan nilai produk marginal tenaga kerja (Value Marginal Product of Labor, VMPL)

VMPL menunjukkan tingkat upah maskimum yang mau dibayarkan oleh perusahaan agar keuntungan perusahaan maksimum. Analisis tradisional terhadap penawaran tenaga kerja sering didasarkan atas mengalokasikan waktunya, yaitu antara waktu kerja dan waktu nonkerja (leisure). Leisure dalam hal ini meliputi


(53)

segala kegiatan yang tidak mendatangakan pendapatan secara langsung, seperti istrirahat, merawat anak-anak, bersekolah, dan sebagainya. Pilihan tenaga kerja dalam mengalokasikan waktu dari dua jenis kegiatan ini yang akan menempatkan berapa tingkat imbalan (upah) yang diharapkan oleh tenaga kerja. Preferensi subyektif seseorang yang akan menentukan berapa besar jam kerja optimal yang ditawarkan dan tingkat upah yang diharapkan.

Ekonom memandang bahwa leisure merupakan kebutuhan pokok manusia, sementara upah juga merupakan barang normal (semakin banyak semakin disukai). Tenaga kerja dianggap tidak suka pada jam bekerja namun suka pada pendapatan dan leisure. Oleh karena itu penawaran tenaga kerja berhubungan positif dengan tingkat upah, namun karena leisure juga diinginkan oleh tenaga kerja, maka penawaran tenaga kerja bersifat backward bending (bengkok ke

belakang). Pada tingkat upahnya meningkat karena ingin mempertahankan jam leisure-nya (untuk mengurusi keluarga dan sebagainya).

Pengembangan agribisnis dan agroindustri di pedesaan juga akan mampu meningkatkan produktivitas, pendapatan dan kesempatan kerja penduduk sehingga akan meningkatkan Agregat Supply. Pergeseran Agregat Supply, secara

teoritis dapat diturunkan dari fungsi produksi agregat dan keseimbangan pasar tenaga kerja, (Yasin,2003) yang secara matematis ditulis:

Y = f ( N, T, K, SDM, INF) (2.7)

Peningkatan teknologi, sumberdaya manusia dan infra struktur produksi akan menyebabkan fungsi produksi meningkat sehingga agregat supply juga meningkat, yang ditunjukkan pada gambar 2.1 berikut :


(54)

Gambar 2.2. Peningkatan Agregat Supply akibat peningkatan Kurva produksi

(Yasin,2003))

Keterangan : Y = produksi

N = tenaga kerja K = teknologi

SDM = sumber daya manusia INF = infrastruktur

NS = Penawaran tenaga kerja W = tingkat upah

ND = permintaan tenaga kerja NS-ND = L ( W/P )


(55)

Pasar tenaga kerja dapat digolongkan menjadi pasar tenaga kerja terdidik dan pasar tenaga kerja tidak terdidik. Menurut Simanjuntak (2001), kedua bentuk pasar tenaga kerja tersebut berbeda dalam beberapa hal. Pertama, tenaga terdidik

pada umumnya mempunyai produktivitas kerja lebih tinggi daripada yang tidak terdidik. Produktivitas pekerja pada dasarnya tercermin dalam tingkat upah dan penghasilan pekerja, yaitu berbanding lurus dengan tingkat pendidikannya.

Kedua, dari segi waktu, supply tenaga kerja terdidik haruslah melalui proses

pendidikan dan pelatihan. Oleh karena itu, elastisitas supply tenaga kerja terdidik

biasanya lebih kecil daripada elastisitas supply tenaga kerja tidak terdidik. Ketiga,

dalam proses pengisian lowongan, pengusaha memerlukan lebih banyak waktu untuk menyeleksi tenaga kerja terdidik daripada tenaga kerja tidak terdidik.

Supply atau penawaran tenaga kerja adalah suatu hubungan antara tingkat upah

dengan jumlah tenaga kerja . Seperti halnya penawaran, demand atau permintaan

tenaga kerja juga merupakan suatu hubungan antara upah dan jumlah tenaga kerja. Motif perusahaan mempekerjakan seseorang adalah untuk membantu memproduksi barang atau jasa yang akan dijual kepada konsumennya. Besaran permintaan perusahaan terhadap tenaga kerja tergantung pada besaran permintaan masyarakat terhadap barang yang diproduksi perusahaan itu. Oleh karenanya, permintaan terhadap tenaga kerja merupakan permintaan turunan (derived demand).

Penentuan permintaan tenaga kerja dapat diturunkan dari fungsi produksi yang merupakan fungsi dari tenaga kerja (L) dan modal (K), sebagai berikut:

TP = f(L, K) (2.8)


(56)

K = Modal

Keseimbangan pasar tenaga kerja merupakan suatu posisi tertentu yang terbentuk oleh adanya interaksi permintaan dan penawaran tenaga kerja. Todaro (2000) menyatakan bahwa dalam pasar persaingan sempurna (perfect competition), di mana tidak ada satupun produsen dan konsumen yang

mempunyai pengaruh atau kekuatan yang cukup besar untuk mendikte harga-harga input maupun output, tingkat penyerapan tenaga kerja (level of employment)

dan harganya (tingkat upah) ditentukan secara bersamaan oleh segenap harga-harga output dan faktor-faktor produksi selain tenaga kerja.

Gambar 2.3. Keseimbangan di Pasar Tenaga Kerja Sumber : Nicholson (1998).

Gambar 2.3 memperlihatkan keseimbangan di pasar tenaga kerja tercapai pada saat jumlah tenaga kerja yang ditawarkan oleh individu (di pasar tenaga kerja , SL) sama besarnya dengan yang diminta (DL) oleh perusahaan, yaitu pada tingkat upah ekuilibrium (W0). Pada tingkat upah yang lebih tinggi (W2) penawaran tenaga kerja melebihi permintaan tenaga kerja, sehingga persaingan di antara individu dalam rangka memperebutkan pekerjaan akan mendorong


(57)

turunnya tingkat upah mendekati atau tepat ke titik ekuilibrium (W0). Sebaliknya, pada tingkat upah yang lebih rendah (W1) jumlah total tenaga kerja yang diminta oleh para produsen melebihi kuantitas penawaran yang ada, sehingga terjadi persaingan di antara para perusahaan atau produsen dalam memperebutkan tenaga kerja . Hal ini akan mendorong kenaikan tingkat upah mendekati atau tepat ke titik ekuilibrium. Pada titik W0 jumlah kesempatan kerja yang diukur pada sumbu horisontal adalah sebesar L0. Secara definitif, pada titik L0 inilah tercipta kesempatan kerja atau penyerapan tenaga kerja secara penuh (full employment).

Artinya pada tingkat upah ekuilibrium tersebut semua orang yang menginginkan pekerjaan akan memperoleh pekerjaan, atau dengan kata lain sama sekali tidak akan terdapat pengangguran, kecuali pengangguran secara sukarela.

Tenaga kerja adalah penduduk yang berumur dalam batas usia kerja. Batasan usia kerja berbeda-beda disetiap Negara. Batas usia kerja yang dianut oleh Indonesia adalah minimum 10 tahun tanpa bats usia maksimum, jadi setiap orang atau penduduk yang sudah berusia 10 tahun keatas adalah tergolong sebagai tenaga kerja. Di Negara India menggunakan rentang usia antara 14-60 tahun. Amerika Serikat menetapkan usia kerja minimum adalah 16 tahun tanpa batas usia maksimum. Sedangkan batas usia kerja yang ditetapkan oleh bank dunia adalah antara 15-64 tahun (Dumairy, 1996).

Tenaga kerja merupakan salah satu faktor penting dalam berproduksi. Adanya peningkatan jumlah tenaga kerja akan meningkatkan kapasitas produksi. Sehingga nantinya akan meningkatkan investasi. Oleh karena itu hal yang harus dilakukan adalah meningkatkan kualitas tenaga kerja dengan mengembangkan


(58)

sistem keterpaduan antara dunia pendidikan, pelatihan keterampilan yang sepadan dengan kebutuhan pasar tenaga kerja, perkembangan pembangunan dan teknologi.

2.5. Belanja Daerah (BD)

Belanja daerah adalah pengeluaran yang dilakukan oleh Pemda untuk melaksanakan wewenang dan tanggung jawabnya kepada masyarakat dan pemerintahan di atasnya (pemerintah propinsi dan pusat). Pemerintah pusat dan daerah mempunyai tugas dan fungsi melaksanakan kegiatan-kegiatan yang konkrit berupa penggunaan barang-barang dan jasa atau sumber daya ekonomi. Dalam penggunaan sumber daya ekonomi tersebut pada umumnya dinyatakan dalam bentuk penggunaan uang dan dana yang lebih dikenal dengan belanja rutin dan belanja pembangunan. Menurut Syamsi dalam Karmini, (2003) belanja daerah merupakan kegiatan yang sifatnya membelanjakan dana yang diperolehnya, belanja daerah dibedakan menjadi dua bagian yaitu belanja rutin dan belanja pembangunan.

Pemerintah pusat melakukan transfer kepada pemerintah daerah agar terdapat standar pelayanan minimum di seluruh negeri. Hal ini dilakukan karena konsekuensi dari tidak meratanya kemampuan keuangan dan ekonomi daerah. Selain itu, transfer bertujuan untuk mengurangi kesenjangan keuangan horisontal antar-daerah, mengurangi kesenjangan keuangan vertikal pusat-daerah, mengatasi persoalan efek pelayanan publik antar-daerah, dan untuk menciptakan stabilitas aktivitas perekonomiaan di daerah. Bentuk transfer yang diatur dalam UU No. 25 Tahun 1999 adalah berupa DAU, DAK, dan Bagi hasil (Abdullah dan Halim, 2003). Abdullah dan Halim (2003) menemukan bahwa respon pemerintah daerah


(59)

berbeda untuk transfer dan pendapatan asli daerah. Ketika penerimaan daerah berasal dari transfer, maka stimulus atas belanja yang ditimbulkannya berbeda dengan stimulus yang timbul dari pendapatan asli daerah. Ketika respon belanja daerah lebih besar terhadap transfer, maka keadaan ini disebut flypaper effect.

Menurut Kepmendagri No. 29/2002 disebutkan bahwa belanja daerah merupakan sama pengeluaran kas daerah dalam periode anggaran tertentu yang menjadi beban daerah. Pengeluaran ini dilakukan oleh Pemda untuk melaksanakan wewenang dan tanggungjawabnya kepada masyarakat dan pemerintah di atasnya (pemprov dan pempus). Pada prakteknya belanja dibagi kedalam dua kelompok yaitu belanja rutin dan belanja pembangunan. Belanja daerah menurut PP nomor 105 tahun 2000 adalah semua pengeluaran kas daerah yang menjadi beban daerah dalam satu periode anggaran Kepmendagri no.29 tahun 2002 mengelompokan belanja pemerintah daerah dalam APBD berdasarkan kelompok belanja sebagai berikut :

1. Belanja Administrasi Umum

Belanja Administrasi dan Umum merupakan pengeluaran kas daerah yang tidak secara langsung berhubungan dengan aktivitas atau pelayanan publik. Belanja Administrasi umum ini dapat dibedakan menjadi belanja pegawai/personalia, belanja barang, belanja perjalanan dinas, dan belanja pemeliharaan.

a. Belanja Pegawai/Personalia b. Belanja Barang dan Jasa c. Belanja Perjalanan Dinas d. Belanja Pemeliharaan


(60)

2. Belanja Modal

Kelompok belanja ini merupakan belanja yang manfaatnya dapat diperoleh lebih dari satu tahun dan dilakukan untuk menambah aset atau kekayaan daerah, yang mana dari aset atau kekayaan tersebut akan menimbulkan belanja lainnya. Selain ketiga jenis belanja di atas, terdapat pula belanja bagi hasil dan bantuan keuangan, serta belanja tidak tersangka. Belanja bagi hasil dan bantuan keuangan merupakan suatu kegiatan pengalihan uang atau barang dari Pemerintah daerah. Sedangkan belanja tidak tersangka adalah belanja yang dilakukan oleh Pemerintah Daerah untuk penanganan bencana alam, bencana sosial atau pengeluaran lainnya yang sangat diperlukan dalam rangka penyelenggaraan kewenangan pemerintahan daerah. Pengeluaran lainnya yang dimaksud di atas dijelaskan pada Kepmendagri no.29 tahun 2002 pasal 7 ayat 2 yaitu : a. Pengeluaran yang sangat dibutuhkan untuk penyediaan sarana dan prasarana yang berhubungan langsung dengan pelayanan masyarakat, yang anggarannya tidak tersedia dalam Tahun Anggaran yang bersangkutan. b. Pengembalian atas kelebihan penerimaan yang terjadi dalam Tahun Anggaran yang telah ditutup dengan didukung bukti-bukti yang sah.

3. Belanja Rutin

Belanja rutin merupakan belanja yang keluarannya tidak berupa fisik dan terjadi berulang-ulang sepanjang waktu atau periode. Dalam keputusan Menteri keuangan No. 157/KMK.07/2001 disebutkan bahwa belanja rutin dibagi menjadi kedalam beberapa bagian yaitu;

1. Belanja Pegawai 2. Belanja Barang


(1)

Uji Asumsi Klasik : UJI MULTIKOLINEARITAS

Dependent Variable: BDP Method: Least Squares Date: 01/26/10 Time: 00:51 Sample: 1986 2007

Included observations: 22

Variable Coefficient Std. Error t-Statistic Prob. C -246073.2 308904.2 -0.796601 0.4390 AK 21.23659 58.75214 0.361461 0.7232 KURS -18.32194 8.114230 -2.258001 0.0404 EKSP 143.0365 14.59695 9.799070 0.0000 INF -2337.665 1104.152 -2.117158 0.0526 KE 76474.03 54125.06 1.412913 0.1795 PDRB -0.973658 1.018780 -0.955710 0.3554 SBK 2786.195 8569.016 0.325148 0.7499 R-squared 0.738424 Mean dependent var 203258.5 Adjusted R-squared 0.907636 S.D. dependent var 208566.2 S.E. of regression 63386.24 Akaike info criterion 25.22717 Sum squared resid 5.62E+10 Schwarz criterion 25.62391 Log likelihood -269.4989 F-statistic 30.48023 Durbin-Watson stat 2.022339 Prob(F-statistic) 0.000000

Dependent Variable: EKSP Method: Least Squares Date: 01/26/10 Time: 00:51 Sample: 1986 2007

Included observations: 22

Variable Coefficient Std. Error t-Statistic Prob. C 2343.045 1965.411 1.192140 0.2530 BDP 0.006102 0.000623 9.799070 0.0000 AK -0.213830 0.381254 -0.560859 0.5838 KURS 0.126093 0.051921 2.428552 0.0292 INF 13.18994 7.498681 1.758968 0.1004 KE -334.2443 367.1597 -0.910351 0.3780 PDRB 0.011292 0.006169 1.830378 0.0886 SBK -35.10288 55.38870 -0.633755 0.5365 R-squared 0.760815 Mean dependent var 3019.591 Adjusted R-squared 0.941223 S.D. dependent var 1707.618 S.E. of regression 413.9936 Akaike info criterion 15.16487 Sum squared resid 2399470. Schwarz criterion 15.56161 Log likelihood -158.8135 F-statistic 49.04054 Durbin-Watson stat 2.532129 Prob(F-statistic) 0.000000


(2)

Uji Asumsi Klasik : UJI MULTIKOLINEARITAS

Dependent Variable: INF Method: Least Squares Date: 01/26/10 Time: 00:52 Sample: 1986 2007

Included observations: 22

Variable Coefficient Std. Error t-Statistic Prob. C -48.76010 65.24505 -0.747338 0.4672 EKSP 0.013722 0.007801 1.758968 0.1004 BDP -0.000104 4.90E-05 -2.117158 0.0526 AK -0.001754 0.012426 -0.141146 0.8898 KURS -0.000252 0.001995 -0.126342 0.9013 KE 8.689208 11.96484 0.726229 0.4797 PDRB -2.56E-05 0.000221 -0.115795 0.9095 SBK 2.674829 1.665015 1.606490 0.1305 R-squared 0.515575 Mean dependent var 11.55136 Adjusted R-squared 0.273363 S.D. dependent var 15.66493 S.E. of regression 13.35326 Akaike info criterion 8.296686 Sum squared resid 2496.334 Schwarz criterion 8.693428 Log likelihood -83.26354 F-statistic 2.128608 Durbin-Watson stat 2.149677 Prob(F-statistic) 0.108466

Dependent Variable: KE Method: Least Squares Date: 01/26/10 Time: 00:52 Sample: 1986 2007

Included observations: 22

Variable Coefficient Std. Error t-Statistic Prob. C -2.702117 1.267680 -2.131546 0.0512 INF 0.004178 0.005753 0.726229 0.4797 EKSP -0.000167 0.000184 -0.910351 0.3780 BDP 1.63E-06 1.15E-06 1.412913 0.1795 AK 0.000450 0.000245 1.839379 0.0872 KURS 5.28E-05 4.14E-05 1.273736 0.2235 PDRB -7.53E-06 4.42E-06 -1.704284 0.1104 SBK 0.056303 0.036774 1.531047 0.1480 R-squared 0.724924 Mean dependent var 0.272727 Adjusted R-squared 0.587386 S.D. dependent var 0.455842 S.E. of regression 0.292810 Akaike info criterion 0.656705 Sum squared resid 1.200331 Schwarz criterion 1.053447 Log likelihood 0.776250 F-statistic 5.270723 Durbin-Watson stat 2.034527 Prob(F-statistic) 0.004063


(3)

Uji Asumsi Klasik : UJI MULTIKOLINEARITAS

UJI MULTIKOLINEARITAS

Dependent Variable: PDRB Method: Least Squares Date: 01/26/10 Time: 00:52 Sample: 1986 2007

Included observations: 22

Variable Coefficient Std. Error t-Statistic Prob. C -119113.0 73693.15 -1.616338 0.1283 KE -22807.61 13382.52 -1.704284 0.1104 INF -37.32131 322.3052 -0.115795 0.9095 EKSP 17.10096 9.342854 1.830378 0.0886 BDP -0.062903 0.065818 -0.955710 0.3554 AK 23.79356 13.58845 1.751014 0.1018 KURS -0.289213 2.407640 -0.120123 0.9061 SBK 473.3250 2182.568 0.216866 0.8314 R-squared 0.785141 Mean dependent var 27411.86 Adjusted R-squared 0.677712 S.D. dependent var 28379.48 S.E. of regression 16111.15 Akaike info criterion 22.48770 Sum squared resid 3.63E+09 Schwarz criterion 22.88444 Log likelihood -239.3647 F-statistic 7.308443 Durbin-Watson stat 1.428973 Prob(F-statistic) 0.000851 Dependent Variable: SBK

Method: Least Squares Date: 01/26/10 Time: 00:53 Sample: 1986 2007

Included observations: 22

Variable Coefficient Std. Error t-Statistic Prob. C 24.80784 7.234939 3.428894 0.0041 PDRB 7.07E-06 3.26E-05 0.216866 0.8314 KE 2.547346 1.663793 1.531047 0.1480 INF 0.058191 0.036222 1.606490 0.1305 EKSP -0.000794 0.001254 -0.633755 0.5365 BDP 2.69E-06 8.27E-06 0.325148 0.7499 AK -0.001504 0.001789 -0.840457 0.4148 KURS 7.64E-06 0.000294 0.025934 0.9797 R-squared 0.538316 Mean dependent var 17.76636 Adjusted R-squared 0.307473 S.D. dependent var 2.366727 S.E. of regression 1.969547 Akaike info criterion 4.468772 Sum squared resid 54.30763 Schwarz criterion 4.865515 Log likelihood -41.15649 F-statistic 2.331963 Durbin-Watson stat 1.794250 Prob(F-statistic) 0.084123


(4)

DESKRIPTIF VARIABEL

TK BDP EKSP INF KE Mean 4514.500 203258.5 3019.591 11.55136 0.272727 Median 4591.500 154454.5 2646.500 7.880000 0.000000 Maximum 5210.000 763672.0 7083.000 79.01000 1.000000 Minimum 3135.000 15125.00 1135.000 1.680000 0.000000 Std. Dev. 531.2077 208566.2 1707.618 15.66493 0.455842 Skewness -0.661988 1.642887 1.257889 3.874490 1.020621 Kurtosis 3.049373 5.074470 3.725599 17.18753 2.041667 Jarque-Bera 1.609070 13.84142 6.284330 239.5551 4.661314 Probability 0.447296 0.000987 0.043189 0.000000 0.097232 Sum 99319.00 4471687. 66431.00 254.1300 6.000000 Sum Sq. Dev. 5925814. 9.13E+11 61235119 5153.192 4.363636 Observations 22 22 22 22 22

KE KURS PDRB PMDN SBK Mean 0.272727 5191.409 27411.86 402054.4 17.76636 Median 0.000000 2625.500 22615.00 325931.5 17.80000 Maximum 1.000000 10265.00 99792.00 1672463. 23.16000 Minimum 0.000000 1283.000 3947.000 56057.00 14.05000 Std. Dev. 0.455842 3625.523 28379.48 319080.4 2.366727 Skewness 1.020621 0.213924 1.726500 2.936662 0.748710 Kurtosis 2.041667 1.141135 4.722058 12.68537 3.155646 Jarque-Bera 4.661314 3.335231 13.64797 117.6105 2.077620 Probability 0.097232 0.188696 0.001087 0.000000 0.353875 Sum 6.000000 114211.0 603061.0 8845196. 390.8600 Sum Sq. Dev. 4.363636 2.76E+08 1.69E+10 2.14E+12 117.6293 Observations 22 22 22 22 22


(5)

LAMPIRAN 3 :

Grafik data

2800 3200 3600 4000 4400 4800 5200 5600

86 88 90 92 94 96 98 00 02 04 06 AK

0 100000 200000 300000 400000 500000 600000 700000 800000

86 88 90 92 94 96 98 00 02 04 06 BDP

1000 2000 3000 4000 5000 6000 7000 8000

86 88 90 92 94 96 98 00 02 04 06 EKSP

0 10 20 30 40 50 60 70 80

86 88 90 92 94 96 98 00 02 04 06


(6)

0 2000 4000 6000 8000 10000 12000

86 88 90 92 94 96 98 00 02 04 06

KURS

0 20000 40000 60000 80000 100000 120000

86 88 90 92 94 96 98 00 02 04 06

PDRB

0 400000 800000 1200000 1600000 2000000

86 88 90 92 94 96 98 00 02 04 06

PMDN

12 14 16 18 20 22 24

86 88 90 92 94 96 98 00 02 04 06 SBK