PEMIKIRAN POLITIK MOHAMAD ROEM

BAB IV PEMIKIRAN POLITIK MOHAMAD ROEM

Dasar Pemikiran Politik Mohamad Roem Masa muda Mohamad Roem diakhiri setelah hidupnya berkeluarga, dan menjadi seorang Bapak. Begitu juga masa muda itu berlalu, setelah dimulainya kehidupan dalam masyarakat mengabdi melalui keahlian yang dipelajari selama bersekolah sebagai ahli hukum. Dibukanya kantor advokat, pembela, dengan papan nama jabatannya”Mr. Mohamad Roem” di Jakarta. Sebelum berdiri secara penuh itupun, sesungguhnya telah ditempuhnya pula kegiatan bidang pekerjaan tersebut sewaktu dia masih menjadi mahasiswa, dan mengikuti team-team pembela dari Partai Syarikat Islam di muka pengadilan negeri. Ini berarti Mohamad Roem telah memilih jalan kehidupannya, berdiri berusaha sendiri, dan tidak pernah bekerja menjadi pegawai negeri pemerintahan kolonial Belanda dan pemerintahan pendudukan Jepang. Di pilihnya peranan dan kesibukkan yang dekat kepada rakyat, dekat pada lingkungan pejuang-pejuang, dan bersimpati kepada mereka yang mengalami nasib kurang menyenangkan atau menderita. 38 Berkaitan dengan itu, Mohamad Roem yang sedang tumbuh sebagai pemuda dengan segenap potensinya mulai tertarik untuk belajar berorganisasi melalui organisasi pemuda atau pelajar yang ada pada saat itu. Mohamad Roem mulai belajar berorganisasi ketika ia melanjutkan studinya dari HIS di Temanggung ke STOVIA di Jakarta 1924. Menurutnya, radikalisme PSII dan gerakan lainnya harus dilihat dari konteks yang lebih luas. Sekitar tahun 1920-an depresi ekonomi menyebabkan lahirnya perubahan kebijaksanaan pemerintah Belanda. Menurunnya tingkat 38 Soemarso Soemarsono, Mohamad Roem 70 tahun Pejuang-Perunding Jakarta: Bulan Bintang, 1978, h. 15. ekspor mendorong runtuhnya perusahaan-perusahaan Barat. Keadaan ini menyebabkan dilaksanakannya penghematan dana. Pajak ekspor dihapus, sementara pajak rakyat naik mencapai 34 juta gulden pada tahun 1925. Akibatnya, pengangguran meningkat dan menyebabkan tumbuhnya radikalisasi gerakan nasionalis. 39 Perkumpulan pemuda dalam pergerakan Jong Java dan JIB mempunyai arti penting sebagai dasar perjuangan selanjutnya. Hal ini diakui sendiri oleh Mohamad Roem: “Didalam pergerakan Jong Java dan JIB itu kami semua umumnya sudah menyadari bahwa dengan berorganisasi itu kami kelak akan menjadi pemimpin-pemimpin bangsa di kemudian hari. Waktu itu kaum terpelajar bangsa kita menyadari bahwa mereka mendapat kesempatan untuk maju. Karena itu, mereka harus mempunyai tekad untuk memimpin bangsanya yang masih sangat tertinggal di segala bidang kehidupan.” 40 Dalam hiruk pikuk suasana gerakan nasionalisme ini Mohamad Roem muncul. Sebagai orang pilihan yang memiliki kesempatan mengecap dunia pendidikan suasana semacam itu sangat mempengaruhi persepsi Mohamad Roem ketika berhadapan dengan kenyataan sosial politik bangsanya. Pilihan hidup yang dijalaninya kemudian, sebagaimana Mohamad Roem yang dikenal sekarang, menunjukkan pengaruh suasana itu kedalam dirinya. Mohamad Roem tidak muncul sebagai tokoh nasionalis “Sekular”, walau secara umum baik dengan Hatta, Sukarno, Ali Sastroamidjojo, maupun Sjahrir memiliki persepsi yang sama tentang masa depan bangsanya. Pilihan afiliasinya pada kelompok gerakan nasionalis Islam ditentukan oleh proses sosialisasi nilai 39 Yanto Bashri dan Retno Suffatni, ed.,Sejarah Tokoh Bangsa Yogyakarta: PT Lkis, 2005, h. 225. 40 Iin Insaniwati, Mohamad Roem karier politik dan perjuangannya Magelang: Indonesiatera, 2002, h.19. yang berlangsung ketika Mohamad Roem masih kanak-kanak. Dulkarnaen Djojosasmito, ayah Mohamad Roem, menyerahkan pendidikan agama anak- anaknya kepada Pak Wongso. Lewat Kiai inilah Mohamad Roem mempelajari Islam. Dulkarnaen-sebagaimana diakui Mohamad Roem-sebenarnya bukanlah seorang ahli agama, bahkan dari berbagai segi menunjukkan adanya pembauran antara nilai Jawa dan Islam sehingga mempersulit memasukkannya ke dalam kelompok santri. Hanya setidak-tidaknya Dulkarnaen adalah pribadi yang memiliki kesadaran historis. 41 Tampaknya dalam konteks Haji Agus Salim inilah Mohamad Roem harus dipahami, yakni dalam sikap realistis dan berusaha berdialog dengan kenyataan. Interaksinya dengan Haji Agus Salim dipergunakan dengan baik untuk mengembangkan pribadinya. Rumusan pandangan realistis dituangkan dengan pembentukan pribadi yang bebas dan tidak terlalu terikat pada kelompok atau organisasi. Bentukan sikap seperti inilah yang kemudian menentukan putusan- putusan politik pribadinya. 42 Hubungan yang dekat antara Mohamad Roem dengan Haji Agus Salim sangat mempengaruhi langkah-langkah politik Mohamad Roem kelak di kemudian hari. Dalam hal ini Mohamad Roem pernah mengungkapkan pendapatnya tentang pengaruh kedekatannya dengan Haji Agus Salim: “Sebagai akibat yang tidak langsung kita berkenalan lebih rapat dengan penasehat JIB dan lain-lain pemimpin seperti namanya yang disebut di atas Haji Agus Salim dan H.O.S Tjokroaminoto. Dengan sendirinya kita tertarik oleh perjuangannya. Meskipun mereka tidak langsung mengajak kita menurut jejak langkah mereka, tapi terutama pemimpin-pemimpin JIB melihat mereka dari dekat apa yang dikerjakan, apa artinya menjalankan tugas sebagai pemimpin umat.” 43 41 Bashri dan Suffatni, ed., Sejarah Tokoh Bangsa, h. 222-223. 42 Ibid., h. 230-231. 43 Insaniwati, Mohamad Roem Karier Politik dan perjuangannya, h. 20. Dengan demikian kedekatan Mohamad Roem dengan Haji Agus Salim telah mendorongnya untuk berkiprah dalam PSII dan kemudian Pergerakan Penyadar yang dipimpin oleh Haji Agus Salim dan lain-lain. 44 Dampak perubahan kebijaksanaan ini mulai terlihat pada waktu Mohamad Roem menyelesaikan pendidikannya, baik di HIS, STOVIA, maupun AMS. Dampak tersebut memperlihatkan diri sebagaimana konsep Kahin Genesis of the Indonesian Nationalist Movement. Mereka yang memperoleh pendidikan Barat menyadari bahwa masa depan kemerdekaan politik Indonesia tidak akan dapat berarti jika tidak disertai dengan kemerdekaan ekonomi. Dalam pandangan masyarakat dimana nonpribumi menguasai hampir seluruh modal bangsa, cita-cita Indonesia merdeka untuk menguasai kehidupan ekonomi menjadi sangat penting. Perasan seperti ini muncul bersamaan dengan kurang terbukanya lapangan pekerjaan baik di kalangan terdidik maupun tidak sehingga menimbulkan kelompok elit yang frustasi. Diskriminasi pekerjaan antara kelompok terdidik pribumi dan Belanda walau mempunyai title dan ketrampilan sama tetap berlangsung. Gejala-gejala ini merupakan bagian dari proses pembentukan nasionalisme Indonesia. 45 Maka Mohamad Roem, selaku alumnus Sekolah Tinggi Hukum RHS di Jakarta, adalah seorang tokoh dengan perlengkapan uantuk mampu memahami masalah-masalah modern sebuah negara, dan berkat perlengkapan itu ia tidak terdorong kepada praktek-praktek sloganeering guna mendukung kepemimpinanya. 44 Ibid., h.20-21. 45 Bashri dan Suffatni, ed., Sejarah Tokoh Bangsa, h.220-221. Dalam suatu masyarakat yang masih amat tradisional, yang didominasi oleh kebutaanhuruf rakyat, pendekatan-pendekatan “dingin” dan “teknokratis” gaya Mohamad Roem dan para pemimpin sejenis memang tidak menarik orang banyak. Namun ia diibaratkan fondasi sebuah pencakar langit, yang tidak nampak mata karena terbenam jauh di dalam tanah. Maka “pencakar langit” Republik Indonesia pun tidak bisa terbayangkan berdiri tegak tanpa batu-batu fondasi yang disumbangkan oleh para pemimpin “pemecah masalah” seperti Mohamad Roem. 46 Menurut Mohamad Roem, sesuai dengan perundingan di KMB yang membawa penyerahan dan pengakuan kedaulatan Indonesia, negara-negara didunia seolah-olah berlomba mengakui Indonesia. Dengan pengakuan itu, dirasakan perlunya formulasi politik luar negeri, terlebih PBB telah menerima Indonesia sebagai anggotanya. Formulasi politik luar negeri itu adalah seperti dibuat oleh Mohamad Roem, “politik bebas tidak tanpa batas dan aktif tidak immoral.” Pemikiran ini membuktikan bahwa Mohamad Roem termasuk tokoh yang memberi corak politik luar negeri yang bebas dan aktif. 47 Dunia diplomasi bagi Mohamad Roem adalah suatu dunia yang tidak asing lagi. Sebelum Indonesia merdeka, ia telah mulai menekuni bidang ini bersama Haji Agus Salim yang juga seorang politikus dan diplomat ulung, oleh Mohamad Roem dijadikan sebagai “guru” yang membimbingnya baik dibidang agama, 46 Kustiniyati Mochtar, Mohamad Roem Diplomasi: Ujung Tombak Perjuangan RI Jakarta: Gramedia, 1989, h xvi-xvii. 47 Nina M. Armando, Ensiklopedi Islam Jakarta: PT. Ichtiar Baru Van Hoeve, 2005, h.42. poltik, maupun diplomasi yang pada akhirnya membawa Mohamad Roem sebagai salah satu diplomat besar di Asia. 48 Negara Islam Perspektif Mohamad Roem Dalam sejarah ketatanegaran pengertian tentang negara senantiasa berubah-ubah. Hal ini disebabkan oleh karena alam pikiran dari penciptaannya tidak bebas dari kenyataan disekitarnya. Kenyataan itu bisa berupa agama, aliran- aliran atau paham-paham lainnya yang mempengaruhi manusia dalam pandangan hidupnya. Dari pandangan hidupnya itu tidak heran lagi jika pengertian tentang negara itu berbeda-beda sepanjang perkembangan sejarah yang berbeda. 49 Secara keseluruhan negara merupakan integrasi dari kekuasaan politik, ia adalah organisasi pokok dari kekuasaan politik. Negara agency alat dari masyarakat yang mempunyai kekuasaan untuk mengatur hubungan manusia dalam masyarakat dan menertibkan gejala-gejala kekuasaan dalam masyarakat. Negara adalah organisasi yang dalam suatu wilayah dapat memaksakan kekuasaannya secara sah terhadap semua golongan kekuasaan lainnya dan yang dapat menetapkan tujuan-tujuan dari kehidupan bersama itu. 50 Dalam usaha kita menempatkan istilah negara secara proposional, kita akan mulai dengan mengajukan bermacam-macam teori tentang timbulnya suatu negara, yang pernah diajukan oleh berbagai ahli pikir, baik dahulu maupun sekarang. Meski demikian, dalam buku ini hanya dikemukakan satu teori saja, 48 Insaniwati, Mohamad Roem karier politik dan perjuangannya, h.58. 49 Franz Magnis Suseno, Etika Politik Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama, 2001, h. 170. 50 Mohamad Kusnadi dan Bintan R. Saragih, Ilmu Negara Jakarta: Gaya media Pratama, 2000, h. 47. yang kita anggap dominan di dalam teori pembentukkan negara. Teori itu adalah teori perjanjian masyarakat. Deliar Noer, pakar ilmu politik muslim dalam bukunya, “Pengantar ke Pemikiran Politik”, menyimpulkan antara lain sebagai berikut:”Negara adalah semacam bentuk ikatan antarmanusia, semacam bentuk kumpulan yang pada akhirnya dapat menggunakan paksaan terhadap anggota-anggotanya. Bentuk ikatan ini, pada umumnya, ada dua macam. Pertama, yang meliputi keseluruhan segi kehidupan manusia. Kedua, yang meliputi hanya sebagian segi-segi hidup itu. Dalam sejarah bernegara, terhadap kedua macam ikatan itu, yang satu lebih dominan daripada yang lain. Dalam negara yang kekuasaan bersifat mutlak dan bulat pada pihak penguasa, mungkin sekali terjadi bahwa segala segi kehidupan rakyat termasuk segi rohaniahnya dikuasai oleh negara. Sebaliknya, dalam negara yang tidak membulatkan kekuasaan pada tangan penguasa, tapi memberikan kebebasan pada warganya, hanya beberapa segi kehidupan sosial warga yang dikuasai oleh negara. Dalam hal ini, kekuasaan negara terbatas. Batas- batasnyapun ditentukan secara bersama pula. Ikatan bernegara, dengan sendirinya, tidak bersifat menyeluruh. 51 Persoalan antara Islam dan negara dalam masa modern merupakan salah satu subyek penting, yang meski telah diperdebatkan para pemikir Islam sejak hampir se-abad lalu hingga saat ini, tetapi belum terpecahkan secara tuntas. Diskusi ini bahkan belakangan makin hangat, ketika kebangkitan Islam menemui momentumnya, yang hampir melanda seluruh dunia Islam. Pengalaman yang 51 Abdul Qadir Djaelani, Negara Ideal menurut konsepsi Islam, Surabaya: PT. Bina Ilmu, 1995, h.1,9. terjadi dalam masyarakat Islam, terutama usai perang dunia II mengesankan hubungan yang canggung antara Islam dien dan negara dawlah, atau bahkan politik pada umumnya. Berbagai eksperimen dilakukan untuk menyelaraskan antara dien dengan konsep dan kultur politik Masyarakat muslim dan eksperimen itu dalam banyak hal sangat beragam. Tingkat penetrasi Islam ke dalam negara dan politik juga berbeda-beda. Sampai saat ini perdebatan panjang tentang pertanyaan; Apakah negara Islam? Dan negara manakah yang dapat disebut sebagai negara yang yang benar-benar merupakan prototype pola dasar dari apa yang disebut sebagai “Negara Islam”. Dan seperti apakah bentuk dari negara Islam?. 52 Negara menurut pandangan Islam bukanlah seperti negara yang dikenal dunia sebelum dan sesudah Islam. Menurut al Qordhawi negara Islam bukanlah negara kaum agamawan atau teokrasi yang menjerat dan mengendalikan masyarakat mengatasnamakan hak Illahi. Bukan pula negara kaum pendeta yang mendakwakan bahwa mereka mewakili keinginan sang pencipta di dunia yang fana, akan tetapi negara Islam adalah negara madani yang berlandaskan Islam, ditegakkan berdasarkan bai’at dan musyawarah dimana pemimpin yang diangkat adalah dari orang-orang yang jujur dan terpercaya, kuat dan penuh perhatian. 53 Dalam sejarahnya, bentuk pemerintahan Islam tidaklah baku, menurut Haikal, Islam hanya meletakkan seperangkat tata nilai etika yang dapat dijadikan sebagai pedoman dasar bagi pengaturan tingkah laku manusia dalam kehidupan dan pergaulan dengan sesamanya. Pedoman dasar itu adalah prinsip tauhid, 52 Ibid., h. 421. 53 Yusuf Qardhawy, Fiqih Negara Jakarta: Rabbani Press, 1997, h. 30. sunatullah dan persamaan manusia. Dengan demikian apapun bentuk dan sistem suatu pemerintahan selama dijalankan untuk tujuan merealisasikan prinsip-prinsip dasar negara Islam dan ditegakkan diatas landasan prinsip-prinsip tersebut, tetap saja disebut pemerintahan Islam. 54 Pemerintahan Islam bersifat konstitusional bukanlah absolut karena ia terikat oleh kehendak rakyat dan perintah dan larangan Allah dan para penguasa dalam negara Islam harus bermusyawarah dengan rakyatnaya dan terikat dengan hasil musyawarah tersebut. Menurut Haikal bahwa pemerintahan Islam berbentuk demokrasi namun menurutnya sistem demokrasi tersebut berbeda dengan demokrasi barat. ia menjelaskan bahwa meskipun terlihat persamaan, namun tetap ada perbedan yang sangat mendasar. Bahwa demokrasi yang dibangun Islam mengacu pada ajaran Islam dan mempunyai landasan kuat pada ajaran agama. Sedang demokrasi barat tidak ada kaitannya dengan agama. 55 Konsepsi tentang negara dikalangan pemikir Islam menjadi perdebatan, bahkan mengarah kepada perbedaan persepsi tentang hakekat negara itu sendiri. Perbedaan tersebut muncul dari persepsi yang besifat teologis, yaitu tidak adanya keterangan tegas tentang negara dalam sumber-sumber Islam baik dalam Al- Qur’an maupun as-Sunnah. Memang terdapat beberapa istilah yang sering dihubungkan dengan konsep negara, seperti khalifah, dawlah, atau hukumah. Namun istilah-istilah terrsebut berada dalam kategori ayat-ayat Zanniyat yang 54 Musdah Nulia, Negara Islam, Pemikiran politik Husain Haikal Jakarta: Paramadina, 1999, h. 203. 55 Ibid., h.208. memungkinkan penafsiran Al-Qur’an tidak membawa keterangan yang jelas tentang bentuk negara, konsepsi tentang kekuasaan dan kedaulatan. 56 Hubungan integral antara agama dengan politik dalam Islam dan penegasan himbauan pihak muslim untuk merealisir ketetapan Allah, memperlihatkan refleksinya dalam kecenderungan meninjau pemberontakan- pemberontakan politik dan sosial. seumpama perang Riddat, hak-hak sosial bagi muslim non-Arab, pemisahan politik oleh pihak Syi’ah maupun Khawarij bukan sekedar permasalahan politik tapi pula permasalahan keagamaan. Pemberontakan suku-suku Arab sesudah Muhammad wafat bukan suatu pengkhianatan treason akan tetapi belot agama apostasy. Penjelmaan sistematik dari ide Islam termuat dalam hukum Islam. Walau bagaimanapun, seperti dapat kita saksikan, realitas sejarah sering dihadapkan kepada keganjilan-keganjilan ditilik dari ide yang formatif itu. Ekspansi luar biasa pada permulaan beserta perkembangan Islam sebagai negara memestikan keputusan-keputusan yang segera dari pihak para Khalifah dan para Panglima daripada perencanaan yang reflektif dari pihak sarjana scholars=ulama dan perumus politik policy makers. Infrastuktur dalam bidang politik maupun sosial pada masa Umayyah maupun Abbasiah bukan lahir dari penafsiran-penafsiran yang sistematik dan aplikasi ideology Islam akan tetapi akibat menampung kebijaksanaan rezim yang digantikan, terutama dari pihak Bizantium dan dari pihak Sassanids. Tuntutan yang luas dari pandangan Islam dalam perbandingannya dengan watak yang berbeda dari pemerintahan Islam, yakni diskrepansi yang tajam antara 56 Din Syamsuddin, Etika Agama, Dalam Membangun Masyarakat Madani Jakarta: Logos, 2002, h. 77. idea yang diwahyukan dengan realiatas politik, menyebabkan timbul tantangan bagi kesadaran pihak muslim, terlebih khusus bagi pihak ulama yang menganggap dirinya”the guardians of Islam”, yakni pihak yang menjaga dan mempertahankan Islam. 57 Politik Islam adalah sebuah nomenklatur berkenaan dengan adanya perjuangan nilai baca: Islam dalam kancah politik. Bermula dari adanya pemahaman bahwa Islam tak dapat dipisahkan dengan politik, maka kalangan Islam integralistik ini kemudian menetapkan berbagai agenda dan strategi untuk menjadikan gerakan politik sebagai ‘prolog’ tegaknya ajaran Islam. Tujuan fragmatis dari Islam integralistik ini adalah terakomodasinya kepentingan politik kaum muslimin. Sementara itu, realisai gerakan Islam integralistik terjewantah ke dalam pendirian partai politik berasaskan Islam, pembentukkan Lembaga Swadaya Masyarakat LSM yang mengusung visi legalistik Islam maupun dalam bentuk organisasi kemasyarakatan umumnya. Era politik aliran sudah berlalu memang, namun partai politik berdasarkan agama khususnya orientalis yang diwakili Oliver Roy, menganggap bahwa politik Islam mengalami kegagalan. Dengan kata lain. Konsepsi Islam tentang kehidupan, khususnya dalam berpolitik, selesai sudah, karena tidak menawarkan konsep apapun yang baru. 58 Mula-mula Nabi mengajarkan Islam di Mekkah dengan cara sembunyi- sembunyi. Pada waktu itu orang-orang Islam yang jumlahnya masih sedikit, kalau hendak shalat bersama-sama mereka keluar dari kota dan berkumpul di salah satu 57 John L. Esposito, Islam dan Politik Jakarta: Bulan Bintang,1990, h. 38. 58 Aay Muhammad Furkon, Menggugat teori politik Islam Oliver Roy, Sabili Juli 2004, h. 93. daerah perbukitan di sekitar Mekkah. Baru pada akhir tahun ketiga dari awal kenabian, Nabi mulai menyiarkan agama Islam yang dibawanya dengan cara terang-terangan, yang kemudian berakibat makin meningkatnya tindakan permusuhan dan penganiayaan oleh orang-orang kafir Mekkah terhadap Orang- orang Islam. Belum cukup dua tahun sejak Nabi menyebarkan Islam secara terbuka, tindakan permusuhan dan penganiyaan itu sedemikian memuncak, sampai banyak di antara para pengikut Nabi yang seakan-akan tidak tahan lagi menanggung deritanya. Maka atas anjuran Nabi mereka mengungsi ke Abesinia. Mereka berada di negeri Afrika itu selama tiga bulan, kemudian pulang kembali ke Mekkah karena mendengar berita bahwa suku Quraisy telah menerima baik agama yang diajarkan oleh Nabi. Tetapi, ternyata berita itu tidak benar, dan bahkan mereka makin kejam terhadap pengikut-pengikut Nabi yang lemah, banyak umat Islam yang mengungsi ke Abesinia dalam jumlah yang lebih besar daripada waktu pengungsian yang pertama. Sementara Nabi sendiri tetap bertahan di Mekkah. Pada musim haji tahun berikutnya, tahun kedua belas dari awal kenabian, dua belas orang laki-laki penduduk Yatsrib menemui Nabi di tempat yang sama, Aqabah. Mereka selain mengakui kerasulan Nabi atau masuk Islam, juga berbaiat atau berjanji kepada Nabi bahwa mereka tidak mempersekutukan Allah, tidak akan mencuri, tidak akan berbuat zina, tidak akan berbohong dan tidak akan mengkhianati Nabi. Baiat ini dikenal dalam sejarah sebagai Bai’at Aqabah pertama. Kemudian pada musim haji tahun berikutnya sebanyak tujuh puluh tiga penduduk Yatsrib yang sudah memeluk Islam berkunjung ke Mekkah. Mereka mengundang Nabi untuk hijrah ke Yatsrib dan menyatakan lagi pengakuan mereka bahwa Nabi Muhammad adalah Nabi dan pemimpin mereka. Nabi menemui tamu-tamunya itu di tempat yang sama dengan dua tahun sebelumnya, Aqabah. Di tempat itu mereka mengucapkan baiat bahwa mereka akan membela Nabi sebagaimana membela isteri dan anak mereka. Dalam pada itu Nabi akan memerangi musuh-musuh yang mereka perangi dan bersahabat dengan sahabat- sahabat mereka. Nabi dan mereka adalah satu. Baiat ini dikenal sebagai Bai’at Aqabah Kedua. Oleh kebanyakan pemikir politik Islam, dua baiat itu, Bai’at Aqabah Pertama dan Bai’at Aqabah Kedua, dianggap sebagai batu-batu pertama dari bangunan Negara Islam. Berdasarkan dua baiat itu maka Nabi menganjurkan pengikut-pengikutnya untuk hijrah ke Yatsrib pada akhir tahun itu juga, dan beberapa bulan kemudian Nabi sendiri hijrah bergabung dengan mereka. 59 Mekkah bagi Nabi tidak cocok untuk dijadikan bumi negara Islam saat itu karena melihat penduduknya yang begitu keras menentang beliau beserta para pengikutnya, khususnya dari para tokoh Quraisy. Dan Nabi telah berusaha keras untuk menemukan wilayah yang dapat dijadikan tempat tinggal bagi kaum Muslimin dan menjadi cagar bagi da’wah Islamiyah. Untuk itu beliau melakukan 59 Munawir Sjadzali, Islam Dan Tata Negara ajaran, sejarah, pemikiran Jakarta: UI Press, 1993, h. 8-9. upaya untuk mewujudkan apa yang beliau harapkan dengan mengamati keadaan negeri-negeri lain beserta penduduknya. 60 Persoalan yang pertama timbul dalam Islam menurut sejarah bukanlah persoalan tentang keyakinan malahan persoalan politik. Sewaktu Nabi Muhammad mulai menyiarkan agama Islam di Mekkah, beliau belum dapat membentuk suatu masyarakat yang kuat lagi berdiri sendiri, umat Islam waktu itu baru dalam kedudukan lemah, tidak sanggup menentang kekuasaan yang dipegang kaum pedagang Quraisy yang ada di Mekkah. Akhirnya Nabi Muhammad bersama umat Islam yang lainnya seperti kita ketahui, terpaksa meninggalkan kota ini dan pindah ke Yatsrib, yang kemudian terkenal dengan nama Madinah, yaitu Kota Nabi. Di kota ini keadaan Nabi Muhammad dan umat Islam mengalami perubahan yang besar. Kalau di Mekkah mereka sebelumnya merupakan umat yang lemah dan tertindas, di Madinah mereka mempunyai kedudukan yang baik dan segera merupakan umat yang kuat dan dapat berdiri sendiri. Nabi Muhammad sendiri menjadi kepala dalam masyarakat yang baru dibentuk itu dan yang akhirnya merupakan suatu negara; suatu negara yang daerah kekuasaanya diakhir zaman Nabi meliputi seluruh semenanjung Arabia. Dengan kata lain di Madinah Nabi muhammad bukan lagi hanya mempunyai sifat Rasul Allah, tetapi juga mempunyai sifat Kepala Negara. 61 Hijrah Nabi Muhammad pada tahun 622 menunjukan permulaan kegiatan politiknya. Namun, ia tidak dengan tiba-tiba mendapatkan kekuatan politik yang 60 Musthalah Maufur, Sistem Politik Islam Jakarta: Robbani Press, 2000,, h.91. 61 Harun Nasution, Islam ditinjau dari berbagai aspek, jilid I Jakarta: UI Press, 1985, h. 92. begitu besar itu, melainkan tumbuh dengan perlahan-lahan; kesepakatan- kesepakatan dengan warga Madinah yang akan ia masuki ketika ia masih berada di Mekkah berarti pendirian badan politik baru, yang di dalamnya terdapat kelonggaran untuk merealisasikan potensi politik dari pemikiran Al-Qur’an. 62 Rasulullah bersama-sama dengan para sahabatnya, pada tahun pertama Hijriyah 622 M, telah membuat suatu “Perjanjian Masyarakat” Kontrak Sosial dengan seluruh penduduk Madinah dan sekitarnya, baik yang muslim maupun nonmuslim. Perjanjian masyarakat ini dikenal dengan nama Piagam Madinah atau “Piagam Nabi Muhammad Saw.” Karena Piagam Madinah dibuat secara tertulis, secara histories piagam itu merupakan “Perjanjian Masyarakat” tertulis tertua di dunia. 63 Berkat ketabahan hati Nabi dan pemeluk Islam, maka selangkah demi selangkah umat Islam mencapai kemajuan, tidak saja karena bertambah banyaknya pengikut kepercayaan itu, malah Nabi juga menyusun masyarakat berdasar atas ajaran Islam. Maka setelah menjadi orang buronan dari yang berkuasa di Mekkah, pada akhir hidupnya Nabi berhasil menjadi orang yang berkuasa di daerah yang lebih luas, yaitu seluruh Jazirah Arab, dengan pengakuan dari dan dipandang oleh negara-negara sekelilingnya. Masyarakat itu lain dari yang selama ini ada, masyarakat baru itu bukan merupakan negara yang modern serupa dengan negara pada abad ke-20 yang kita kenal kini. Yang menjadi kepala dari Masyarakat itu adalah Nabi sendiri, meskipun tidak diangkat dengan pemilihan umum seperti pada zaman sekarang, tapi 62 Hamid Fahmi Zarkasyi, Pergolakan Pemikiran Politik Islam sebuah kajian sejarah Jakarta: PT. Beunebi Cipta,1987, h. 4. 63 Djaelani, Negara Ideal menurut konsepsi Islam, h.19. pengikut-pengikut Nabi, yaitu orang-orang Islam, memilih Islam tanpa paksaan, malah ikut mengalami berbagai ancaman dan penganiyaan. Katakanlah masyarakat itu sudah merupakan sebuah negara. Apa nama negara itu, kita tidak tahu, dan tidak ada hadits yang menjyebutkan bahwa negara itu mempunyai nama. Yang terang dan jelas, negara itu mempunyai peraturan yang datangnya langsung dari Tuhan sendiri, dan pada saat ayat 3 Surat Al Maa-idah itu diturunkan, hukum dari negara sudah sempurna. Bagi negara itu seluruh al-Qur’an merupakan undang-undang dasarnya. Nabi, dengan sendirinya mendapat fungsi “Kepala Negara”. Juga tidak ada sebuah Hadits pun yang mengatakan, bahwa sebagai “Kepala Negara”, Nabi mempunyai nama yang resmi. Nabi adalah seorang yang diangkat oleh Tuhan sendiri untuk menyampaikan agama Islam kepada umat manusia, dan dalam perkembangan mempraktekkan ajaran Tuhan, Nabi menduduki fungsi Kepala Negara. 64 Jadi sesudah beliau wafat, beliau mesti diganti oleh orang lain untuk memimpin negara yang beliau tinggalkan. Dalam kedudukan beliau sebagai Rasul, beliau tentu tak dapat diganti. Seperti diketahui dari sejarah penganti beliau yang pertama ialah Abu Bakar. Abu Bakar menjadi Kepala Negara yang ada pada waktu itu dengan nama gelar Khalifah, yang arti lafzinya ialah pengganti Inggris: Successor. Kemudian setelah Abu Bakar wafat, Umar Ibn Khattab menggantikan beliau sebagai Khalifah yang kedua. Usman Ibn Affan selanjutnya menjadi Khilafah yang ketiga dan pada pemerintahannyalah mulai timbul persoalan- persoalan politik. Ahli sejarah menggambarkan mengambarkan Usman sebagai 64 Mohamad Roem, Bunga Rampai dari Sejarah IV Jakarta: Bulan Bintang,1988, h. 23- 24. seorang yang lemah dan tak kuat untuk menentang ambisi kaum keluarganya yang kaya dan berpengaruh dalam masyarakat pada waktu itu. Usman mengangkat mereka menjadi Gubernur di daerah-daerah yang tunduk pada kekuasaan Islam. Gubernur yang diangkat oleh Umar, Khalifah yang terkenal sebagai orang yang kuat dan tidak memikirkan kepentingan sendiri atau kepentingan keluarganya, dijatuhkan oleh Usman. Politik nepotisme ini menimbulkan reaksi yang tidak menguntungkan bagi kedudukan Usman sebagai Khalifah. Sahabat-sahabat Nabi yang pada mulanya menyokong Usman, akhirnya berpaling. Orang-orang yang ingin menjadi Khalifah atau orang-orang yang ingin mencalonkan dirinya menjadi Khalifah mulai pula menangguk di air keruh yang timbul itu. Di daerah-daerah timbul perasaan tidak senang, di Mesir Amr Ibn Al-Aas dijatuhkan sebagai Gubernur dan diganti dengan Ibn Abi Sarh, salah seorang dari anggota keluarga Usman. Sebagai reaksi terhadap keadaan ini, lima ratus pemberontak bergerak dari Mesir menuju Madinah. Perkembangan suasana di Medinah selanjutnya membawa pada pembunuhan Usman oleh pemuka-pemuka pemberontak di Mesir itu. 65 Tapi, Doktrin Sekularisme mengenai pemisahan antara negara dan agama itu mempunyai pengaruh yang negatif, sampai orang mengatakan, bahwa agama itu soal pribadi, semacam persiapan untuk menghadapi hidup di akhirat. Malah ada yang mengumpamakan agama itu seperti baju, yang hanya dipakai kalau 65 Nasution, Islam Ditinjau dari berbagai Aspek jilid I, h. 92-93. menghadap Tuhan di Gereja, atau kalau pulang ke akhirat baju itu harus ditinggal dirumah, kalau kita pergi ketempat kerja atau sedang mengurus masyarakat. Dalam sejarah agama Islam pertentangan kekuasaan semacam itu tidak ada, yang mempunyai wewenang untuk menentukan hukum menurut agama adalah al-Qur’an dan Hadits yang dilaksanakan dalam dan oleh Sunnah Rasul Allah. Muhammad adalah Rasul penutup dan segala sesuatu yang berkenaan dengan agama, keputusan terakhir dikembalikan pada al-Qur’an dan Hadits tidak ada kekuasaan didunia yang berwenang untuk menentukan sesuatu yang bersifat perintah agama, melainkan menafsirkan dan mengambil kesimpulan. 66 Dikalangan umat Islam sampai sekarang terdapat tiga aliran tentang hubungan antara Islam dan ketatanegaraan. Aliran pertama berpendirian bahwa Islam bukanlah semata-mata agama dalam pengertian barat, yakni hanya menyangkut hubungan antara manusia dengan Tuhan, sebaliknya Islam adalah suatu agama yang sempurna dan yang lengkap dengan pengaturan bagi segala aspek kehidupan manusia termasuk bernegara. Aliran kedua berpendirian bahwa Islam adalah agama dalam pengertian barat, yang tidak ada hubungannya dengan urusan ketatanegaraan. Menurut aliran ini Nabi Muhammad hanyalah seorang Rasul biasa seperti halnya Rasul-rasul sebelumnya, dengan tugas tunggal mengajak manusia kembali kapada kehidupan yang mulia dengan menjunjung tinggi budi pekerti luhur, dan Nabi tidak pernah dimaksudkan untuk mendirikan dan mengepalai satu negara. Tokoh-tokoh terkemuka dari aliran ini antara lain Ali Abd al-Raziq dan Dr. Thaha Husein. 66 Mohamad Roem, Bunga Rampai dari Sejarah II Jakarta: Bulan Bintang, 1977, h. 212. Aliran ketiga menolak pendapat bahwa Islam adalah suatu agama yang serba lengkap dan bahwa dalam Islam terdapat sistem ketatanegaraan. Tetapi aliran ini juga menolak anggapan bahwa Islam adalah agama dalam pengertian Barat yang hanya mengatur hubungan antara manusia dan Maha penciptanya. Aliran ini berpendirian bahwa Islam tidak terdapat dalam sistem ketatanegaraan, tetapi terdapat seperangkat tata nilai etika bagi kehidupan bernegara. Diantara tokoh-tokoh dari aliran ketiga ini yang terhitung cukup menonjol adalah Dr. Mohammad Husein Haikal, seorang pengarang Islam yang cukup terkenal dan penulis buku Hayatu Muhammad dan Fi Manzil al-Wahyi. 67 Menurut sejarah umat manusia, yaitu sejarah nabi-nabi dan agama. Maka manusia sampai kepada kepercayaan ke-Tuhanan Yang Maha Esa adalah melalui ajaran Nabi dengan sarana Kitab Suci yang diwahyukan. Selanjutnya ajaran Nabi itu tidak bertentangan dengan akal manusia, akal sehat. Oleh sebab itu agama Islam juga mengajarkan, bahwa tidak ada paksaan dalam agama, suatu hak asasi yang dijamin oleh Undang-Undang Dasar. Jadi kalau ada orang yang menyatakan, ia tidak beragama akan tetapi dapat menerima Pancasila, maka bagi negara ia pun akan diterima. Orang Islam sesuai dengan kesaksian Haji Agus Salim menerima Pancasila, karena Ketuhanan Yang Maha Esa itu adalah Aqidah agama Islam, sebagaimana pengikut agama lain menerima ketuhanan Yang Maha Esa sesuai dengan Aqidah masing-masing. Penerimaan itu Mohamad Roem rasa sudah 67 Sjadzali, Islam Dan Tata Negara ajaran, sejarah dan pemikiran, h. 1-2. cukup, karena tidak mungkin jika membayangkan orang percaya kepada Tuhan Yang Maha Esa berdasarkan pemikiran yang lain. Maka seperti dikatakan oleh majelis-majelis agama dalam maklumatnya pada hari Sabtu malam, 6 November 1982 Harian Kompas, 8 November 1982, halaman satu: “Wadah musyawarah antar umat beragama menegaskan kembali bahwa majelis-majelis agama dan organisasi-organisasi keagamaan sebagai pembina umatnya masing-masing, bertujuan untuk membina umatnya masing-masing agar menjadi pengikut pemeluk agama yang taat, sekaligus warga negara yang Pancasilais.” 68 Seorang Kristen yang taat agamanya sekaligus warga negara yang Pancasilais. Ia tidak perlu membedakan Pancasila menurut agamanya, dan Pancasila sebagai dasar Negara. Pancasila menurut agama identik dengan Pancasila falsafah negara. 69 Begitulah, tidak kurang dan tidak lebih bunyi kepala karangan yang dimuat dalam panjimas No.376, tanggal 14 Muharram 14031 November 1982. Keterangan yang tegas terdapat dari wawancara dengan Dr. M. Amien Rais. Tentu kalimat tersebut disertai keterangan, yang dikutip oleh Mohamad Roem: ”al-Qur’an menyuruh kaum muslim untuk mengikuti pemimpin yang benar, yang terdiri dari manusia-manusia atau pemimpin yang mengunakan Islam sebagai patokan kepemimpinnya, bukannya orang yang munafik dan kafir”. 70 “Sedangkan khilafah, menurut saya, adalah suatu misi kaum Muslimin yang harus ditegakkan di muka bumi ini untuk memakmurkan sesuai dengan petunjuk dan peraturan Allah maupun Rasul-Nya. Adapun cara pelaksanaanya al-Qur’an tidak secara terperinci, tetapi dalam bentuk global saja. Islamic State atau Negara Islam, saya kira tidak ada dalam al- 68 Mohamad Roem, Bunga Rampai Dari Sejarah IV Jakarta: Bulan Bintang, 1988, h. 86. 69 Ibid,. h.85-86. 70 Ahmad Syafii Maarif dan Adi Sasono, Tidak ada Negara Islam Surat-surat politik Nurcholish Madjid-Mohamad Roem Jakarta: Djambatan, 1997, h.1. Qur’an maupun dalam Sunnah. Oleh karena itu, tidak ada perintah dalam Islam untuk menegakkan Negara Islam,” demikianlah keterangan Dr. Amien Rais. 71 Jika Dr. Amien Rais mengatakan:” Tidak ada Negara Islam” dalam Sunnah, Mohamad Roem nampaknya setuju, karena di Indonesia istilah Negara Islam, lebih baik jangan dipakai, karena tidak sedikit orang yang tidak menyukai, bahkan ada yang alergi mendengar istilah tersebut. Meskipun Mohamad Roem tidak melakukan pembuktian dengan menunjukkan teks al-Qur’an maupun Hadits yang terkait, namun jika diteliti Mohamad Roem telah menunjukkan pandangan serupa dengan tidak mencantumkan pemikiran tentang Negara Islam pada statuten dan anggaran Masyumi. 72 Posisi Mohamad Roem pada organisasi Masyumi di zamannya pada waktu itu. Mohamad Roem pernah menempati beberapa kedudukan penting didalam organisasi tersebut yaitu berkisar antara tahun 1945-1960 kurang dari 15 tahun. Organisasi Masyumi telah tujuh kali mengadakan pemilihan pimpinan pusat Masyumi, dan selama tujuh kali pula Mohamad Roem duduk dalam pimpinan pusat. Mohamad Roem pernah menjabat sebagai anggota pimpinam pusat Masyumi sampai pada jabatan sebagai wakil ketua pernah dijabat olehnya. Tentu saja semua itu dijalani oleh Mohamad Roem sebelum pada akhirnya organisasi Masyumi dibubarkan oleh Presiden Soekarno pada tanggal 17 Agustus 1960. 73 Mohamad Roem membuat analogi terhadap keberadaan OKI Organisasi Konferensi Islam dengan membuat ulasan sebagai berikut: 71 Ibid., 1. 72 Ibid., 2. 73 Insaniwati, Mohamad Roem Karier Politik dan Perjuangannya, h.42. “Sejak beberapa waktu ada Organisasi Internasional, yang resminya bernama Organisasi konferensi Islam, yang berdiri karena Israel mencaplok Kota Baitul Maqdis, yang sudah beratus-ratus tahun di tangan orang Islam, di mana senantiasa ada ketenangan dan kedamaian. Siapa pun dapat beribadah menurut agama masing-masing. Jika organisasi itu mengadakan konferensi, maka tidak sering dinamakan konferensi dengan nama teknis benar, melainkan yang lebih mudah, yaitu konferensi negara- negara Islam. Organisasi itu mempunyai sekretariat di Mekkah. Tiap tahun mengadakan konferensi, tempatnya berpindah-pindah. Adapun yang datang di konferensi tahunan itu menteri-menteri luar negeri dari negara yang ikut serta. Dengan mudah konferensi itu dinamakan konferensi Menteri Luar Negeri Negara-negara Islam. Menteri Luar Negeri Republik Indonesia hadir disitu. Tapi kita akan kurang bijaksana, jika kita menamakan Bapak Mochtar Kusumaatmadja pada Kabinet Pembangunan III, 1982-Penyunting sebagai menteri luar negeri Islam. Ia adalah menteri Luar negeri Republik Indonesia.” 74 Menurut Mohamad Roem jika ingin menyebut negara Indonesia dengan tidak melupakan kata Islam, cukup dengan mengatakan “Republik Indonesia yang mayoritas rakyatnya beragama Islam”. Namun tentu menjadi tidak efisien, karena harus berkali-kali mengucapkan kalimat yang panjang itu. 75 Pandangan Mohamad Roem mengenai masalah politik Islam, misalnya pembenaran terhadap pendapat Amien Rais yang menyatakan bahwa tidak ada Negara Islam dalam Sunnah Rasulullah Saw. Bagi Mohamad Roem pandangan Amien Rais tidak hanya benar, tapi juga bijaksana. Mohamad Roem menganjurkan, agar istilah itu tidak dipakai di Indonesia karena banyak yang tidak menyukainnya. Mohamad Roem sebenarnya tidak pernah mengecek langsung teks al- Qur’an dan Sunnah Nabi Muhammad Saw Mengenai kebenaran tidak adanya negara Islam. Namun Mohamad Roem menegaskan bahwa perbuatan sia-sia kalau 74 Maarif dan sasono, Tidak Ada Negara Islam, h. 2-3. 75 Ibid., h.3. istilah itu dicari di dalam sunnah Nabi Saw, yang jumlahnya sangat banyak Nabi saw memang menyusun dan memimpin masyarakat Islam di Yatsrib Madinah, dan kemudian mempersatukannya dengan Mekkah, yang pada hakikatnya suatu negara. Namun Nabi Saw sendiri tidak menyebutnya dengan nama Negara Islam. Negara yang dipimpin nabi sudah mempunyai ciri-ciri sebagai negara, tetapi Nabi Saw tidak memberinya nama negara Islam. Mohamad Roem mengakui, didunia ini memang pernah ada Negara Islam tidak dalam nama, tetapi dalam substansi atau hakikatnya. Dalam soal perjuangan, Mohamad Roem menyarankan agar umat Islam di Indonesia mengembangkan dialog berdasarkan niat amar ma’ruf nahi munkar. Dialog ini bertujuan untuk ikut berpartisipasi kearah membangun masyarakat yang adil dan makmur. Peserta dialog pun tidak hanya terbatas dengan sesama umat Islam, tetapi pada semua kalangan masyarakat di Indonesia harus dilibatkan dalam dialog tersebut, dan didalamnya mereka membicarakan tentang kepentingan bangsa bukan hanya semata-mata mengenai kepentingan umat Islam. 76 Mohamad Roem beranggapan bahwa, jika Dr. Amien Rais mengatakan bahwa tidak ada Negara Islam atau Islamic State, memang benar. Oleh karena itu Mohamad Roem berpendapat bahwa yang disusun oleh Nabi di Yatsrib, kemudian bersatu dengan Mekkah, yang pada hakekatnya adalah suatu negara, tetapi tidak dinamakan Negara Islam oleh Nabi sendiri. 76 Nina M. Armando, Ensiklopedi Islam Jakarta: PT. Ichtiar Baru Van Hoeve, 2005, h. 42. Untuk merekapitulasi: Pada akhir hayat Nabi, pada saat surat al Maaidah ayat 3 diwahyukan, maka sudah tumbuh sebuah masyarakat yang dibangun oleh dan dipimpin oleh Nabi sendiri, yang tidak diberi nama khusus oleh Nabi, akan tetapi sudah mempunyai ciri-ciri sebagai negara, sedangkan hukumnya oleh Tuhan sudah dinamakan sempurna. Yang menjadi pemimpin, tidak memakai gelar atau title tersendiri adalah Nabi Rasulullah, seorang yang dipilih oleh Tuhan sendiri. Mohamad Roem berpendapat bahwa “Negara Islam” atau Islamic State tidak dalam nama What is in a name, melainkan dalam substance, pada hakekatnya. Mohamad Roem berpendapat bahwa tidak ada lagi negara yang dapat menyamai negara itu yang dipimpin oleh Nabi Saw, sebab siapapun orangnya yang memimpin, tidak dapat menyamai Nabi yang mempunyai kedudukan sebagai seorang Rasul. Menurut Mohamad Roem Paling Negara Islam itu dapat menjadi cita-cita. Suatu cita-cita yang baik untuk dimiliki, akan tetapi tidak pernah tercapai, melainkan hanya bisa mendekatinya sebaik mungkin. 77 Inti dari pada pemikiran politik Mohamad Roem mengenai Negara Islam adalah bahwa dalam Islam tidak terdapat sistem ketatanegaraan, tetapi Islam hanya menyediakan seperangkat tata nilai dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara, yang mana realisasinya tergantung pada Ijtihad masing-masing. 78 Non- Muslim yang mengatakan bahwa Islam di Indonesia itu mempunyai ciri ambiguity remang-remang, dapat mempunyai berbagai arti tidak mempunyai pengertian, bahwa Islam itu bukan hanya bagi bangsa Arab atau negara Arab saja. 77 Mochtar, Mohamad Roem, Diplomasi: Ujung Tombak Perjuangan RI, h.240. 78 Agus Nugraha, “ Pemikiran Politik Islam: Sutu pengantar awal,” Refleksi vol IV, no. 3 2002: h.41-42. Justru ambiguity itu adalah ciri, yang khas, artinya, bahwa Islam itu dapat berkembang menurut garis sendiri di berbagai Negara. Islam di Indonesia tidak perlu merupakan “accurate copy” dari Islam di Saudi Arabia atau Islam di manapun. Apalagi Ijtihad adalah ajaran yang penting bagi mengamalkan Islam. 79 Relevansi Pemikiran Politik Mohamad Roem dengan Perpolitikan di Indonesia, Kaitannya dengan Pemikiran Abdurrahman Wahid dan Dr. Amien Rais. Sekitar 20 partai politik Islam yang ikut serta dalam pemilu demokratis kedua pada 1999. Dari jumlah tersebut hanya 10 partai Islam yang meraih satu kursi atau lebih dalam parlemen. Kesepuluh partai Islam itu meliputi PPP 58 kursi, PKB 51 kursi, PAN 34 kursi, PBB 13 kursi, PK 7 kursi, PNU 5 kursi, PP I kursi, PSII I kursi, PPII Masyumi 1 kursi, dan PKU 1 kursi. Disini hasil pemilu 1999 menunjukkan bahwa tanpa melihat kenyataan mayoritas Indonesia beragama Islam, partai-partai Islam tetap tidak mampu menggalang dukungan mayoritas secara keseluruhan, dalam pemilu kedua ini. Mereka hanya memperoleh 37,5 suara 172 kursi, termasuk PKB dan PAN, yang enggan diidentifikasi sebagai partai Islam. Tanpa kedua partai terakhir ini, mereka hanya mamperoleh 17,8 suara 87 kursi. 80 Gus Dur adalah seseorang yang memililki paham kebangsaan yang tinggi, yang sangat cinta terhadap tanah air dan bangsa sehingga segala sesuatu yang dia 79 Mochtar, Mohamad Roem, Diplomasi: Ujung Tombak Perjuangan RI , h.243. 80 Bahtiar Effendy, “Islam Politik Pasca Soeharto,” Refleksi,vol. V, no.2 2003: h.18 perbuat demi keutuhan bangsa Indonesia. Berawal dari partai yang didirikan oleh Gus Dur yaitu Partai Kebangkitan Bangsa yang sangat identik sekali akan paham kebangasaan yang diberi nama bukan atas nama Islam agamanya. Kemudian melalui partai tersebut Gus Dur menginginkan agar partai yang didirikannya bisa diterima oleh seluruh komponen bangsa, yang tujuannya hanya semata-mata untuk keutuhan negara Indonesia. Dan Gus Dur termasuk orang yang menghargai sejarah dari para tokoh terdahulu, kaitan antara Gus Dur dengan Mohamad Roem terletak pada paham kebangsaan yang mereka miliki mengenai tata nilai yang terpenting dalam negara agar tercipta keutuhan dalam hidup bernegara sesama bangsa dan agama. Dikalangan pemuda NU pembaru, popularitas Abdurrahman Wahid didukung oleh cara-caranya yang demokratis dan merakyat. Dan sudah tentu bahwa kenyataan ini sangat berbeda dengan tata cara dunia pesantren. Meskipun begitu, Gus Dur tetap menunjukkan sikap hormatnya kepada dunia ulama. Di lingkungan pesantren, pada awal 1990-an Gus Dur merupakan sosok kebanggaan sebagai seorang pemimpin NU yang mempunyai peran nasional, tenar di kalangan Internasional, dan terutama dapat menjadi tokoh penting dalam membela keadilan sosial. Kekuatan Gus Dur di kalangan NU juga sebagai cucu dari pendiri partai NU, yakni Kiai Hasyim Asy’ari. Banyak para Kiai yang mengatakan bahwa mereka sering bermimpi para leluhur muncul melindungi Gus Dur pada saat-saat yang paling gawat. Kemudian selain itu juga didalam kalangan masyarakat tradisionalis juga berpendapat bahwa keturunan seseorang yang luar biasa pasti juga memiliki sesuatu yang istimewa pula. Bahkan para ulama dikalangan NU sendiri sering ragu untuk berurusan dengan cucu pendiri NU ini, sehingga para pemuda dapat secara bebas meniru sikapnya yang jauh dari formalisme keagamaan, dan Gus Dur adalah termasuk orang yang lebih mementingkan nilai dan etika. Pada tahun 1994, dengan terpilihnya kembali Gus Dur sebagai Ketua Tanfidziyah, dari kubu pembaruan NU telah membuktikan bahwa mereka bukanlah ciptaan pihak penguasa sepuluh tahun lalu, melainkan memang merupakan jawaban atas kebutuhan nyata bagi masyarakatnya. 81 Kiprah NU dalam percaturan politik Indonesia pasca-Soeharto, harus diakui sangat mencengangkan. Puncaknya adalah dengan terpilihnya Gus Dur sebagai Presiden RI yang pada waktu itu masih menjabat sebagai Ketua Tanfidziyah NU. Terpilihnya Gus Dur sebagai presiden adalah merupakan buah kiprah dari politik NU sebagai jami’iyah keagamaan, dakwah, sosial dan pendidikan yang secara tidak resmi adalah keringat dari “sayap politik” NU, Partai Kebangkitan Bangsa PKB. Perjalanan Gus Dur menuju RI terpilih karena ‘berkah’ daripada reformasi. Hasil pemilu 1999 membuat Partai Golkar tidak lagi sebagi kekuatan mayoritas dalam parlemen. Di antara kekuatan-kekuatan yang ada, naiknya Gus Dur mengisyaratkan NU masih dipandang sebagai kekuatan yang signifikan. Padahal, akibat dibukanya kran demokrasi NU pun mengalami kegamangan ketika 81 Andree Feillard, NU Vis-à-vis Negara, pencarian, isi, bentuk dan makna Yogyakarta: Lkis, 1999, h. 409-410. menghadapi arus kuat politik yang menyedotnya dan tak terhindarkan, terjadilah gejolak dalam tubuh NU sendiri. Seperti kita ketahui, bahwa pemilu 1999 memunculkan istilah telor dan kotoran ayam, itu terlontar dari mulut Gus Dur, akibat munculnya partai-partai NU di luar PKB, seperti PNU, PKU, dan Partai SUNI. Selain masalah internal tadi, kemampuan NU merespon perkembangan politik di luar dirinya kembali menghadapi batu ujian. Fragmentasi sebuah politik nasional dan konflik berkepanjangan diantara elit politik nasional. Jelas posisi seperti ini membuat NU semakin sulit untuk memilih bentuk respon yang diberikan baik secara nyata, maupun tersembunyi disini terdapat perbedaan respon ketika berhadapan dengan dunia luar. 82 Pada awal bergulirnya reformasi, Amien Rais didaulat oleh berbagai kalangan aktivis sebagai Bapak Reformasi. Lelaki kelahiran Solo 26 April 1944, ini sangat menonjol dengan berbagai aktivitas dan pernyataan-pernyataan cerdas dan keras pada waktu itu. Keberhasilan Amien Rais dalam menggalang partai-partai berbasis Islam membentuk poros tengah, suatu bukti kepiawaiannya dalam berpolitik. Pembentukkan poros tengah ini dimaksudkan untuk menghindari terjadinya kericuhan dan perpecahan bangsa, sebagai dari akibat kerasnya persaingan perebutan jabatan presiden antara Bj. Habibie Partai Golkar dengan Megawati Soekarnoputri PDIP. 82 Eman Mulyatman, “Rute Zig Zag NU,” Sabili, Juli 2004, h. 47. Karier politik Amien Rais, mulai muncul setelah masa rezim Orde Baru. Amien Rais berkesempatan untuk memimpin Muhammadiyah 1995-2000. Kesempatan itu diperoleh setelah Amien Rais menjabat sebagai Wakil Ketua Muhammadiyah dan Asisten Ketua ICMI 1991-1995. Dan kemudian Amien Rais menjadi Ketua Dewan Pakar ICMI. Hal lain yang menjadi catatan untuk Amien Rais adalah yang sering mengucapkan Selamat Natal dan hari besar agama lain. Dengan sikap Amien Rais menggandeng Siswono juga disebut sebagian kalangan dari berbagai contoh inkonsistensinya. Amien Rais dulu mencaci Orde Baru, tapi kini Amien Rais menggandeng mantan pejabat pada Orde Baru, “ia tidak bisa dipegang,” demikian pendapat dari beberapa tokoh partai. Ibarat main bola, Amien Rais memang lihai mengecoh lawan dan mengoper bola. Tapi, ia tidak bisa menciptakan gol. Karena itulah membuat sebagian kaum muslimin pada akhirnya ragu untuk memberikan dukungan pada Amien Rais. 83 Letak daripada relevansi antara pemikiran Mohamad Roem, Amien Rais, dan Abdurrahman Wahid yaitu mereka semua sama-sama seorang pemikir dalam perpolitikan Indonesia dan mereka semua mempunyai semangat jiwa nasionalis yang tinggi, yang sangat cinta pada kebangsaan dan tanah air. Dan pendapat mereka yang terpenting bagi Negara Indonesia adalah pola pengaturan ajaran Islam dalam segi substansi atau tata nilai dan etika dalam bernegara bukan pada nama negaranya. Sehingga menurut mereka dengan begitu bisa tercipta keadilan yang merata bagi pertumbuhan negara. 83 Hepi Andi Bastoni, “Amien Rais-Siswono jujur, cerdas dan berani,” Sabili, Juli 2004, h. 164-165. Amien Rais sepakat dengan pendapat Mohamad Roem mengenai pembahasan tentang wawasan Islam dalam hubungannya dengan Indonesia yang berdasarkan pada Pancasila dan UUD 1945, bahwa aspirasi hukum Islam sepenuhnya dapat ditampung dalam Negara Republik Indonesia yang berdasarkan pada UUD 1945 dan Pancasila. 84 84 Amien Rais, Cakrawala Islam Bandung: Mizan, 1996, h. 56-57.

BAB V PENUTUP