UPAYA PERJUANGAN POLITIK NILAI DAN NASIO

UPAYA PERJUANGAN POLITIK NILAI DAN NASIONALISME:
KAJIAN GERAKAN MAHASISWA ISLAM DI INDONESIA
ISMAIL S. WEKKE, MAIMUN AQSHA LUBIS & AGUSSALIM SITOMPUL
Sejarah Indonesia sampai sekarang memberikan bukti valid bahwa kaum
muda adalah salah satu potensi strategis bagi bangsa. Hal ini didasari oleh kondisi
sosiologis kaum muda yang memiliki kesedaran kebangsaan yang tinggi dalam
proses pembangunan negara-bangsa. Di samping mereka juga masih memiliki
waktu dan kesempatan yang luas dalam mengaktualisasikan visi dan gerakan
pemuda dalam upaya menjawab tantangan dan tuntutan zamannya. Tanggung
jawab sosial kaum muda terhadap masa depan bangsa dan negara itu adalah
sesuatu yang sangat diperlukan, menyedari di masa depan pengelola dan aktoraktor utama yang memainkan peranan penting itu adalah mereka juga.
Salah satu komponen bagi berjayanya proses konsolidasi demokrasi
Indonesia adalah ketika masyarakat semakin berautonomi dalam kerangka civil
society (masyarakat sivil yang kuat, posisi dan peranan pemuda yang bebas) untuk
mencerna erti demokrasi dan konsekuensi logik dari demokrasi itu sendiri. Untuk
itu, kaum muda Indonesia harus mampu menjadi pendukung perubahan ke arah
sistem politik yang lebih baik dan mampu menciptakan iklim ke arah konsolidasi
demokrasi sewaktu pasca Orde Baru. Sebagai bahagian dari anggota masyarakat
yang mempunyai peranan dan fungsi yang strategik maka, kaum muda harus
mahu dan mampu menyumbangkan tenaganya bagi pembangunan bangsa dan
negara. Tanpa peranan kaum muda yang secara umum masih memiliki idealisme

dan tenaga yang tinggi maka, pembangunan tidak akan dapat dilakukan secara
maksima.
Dalam perkembangan bangsa Indonesia moden, gerakan mahasiswa
merupakan suatu kekuatan pressure group yang berpengaruh dan penentu
perubahan tatanan kemasyarakatan dan kenegaraan. Bahkan pada fasa-fasa
transisi panjang sejak awal kebangkitan nasionalisme demokratik, revolusi
menuju pembebasan dan kemerdekaan hingga upaya monumental mahasiswa
meruntuhkan reformasi sembilan tahun silam. Kesemua itu memperlihatkan
bahwa gerakan mahasiswa itu bukanlah suatu gerakan politik apalagi gerakan
yang berorientasi kekuasaan, tetapi merupakan suatu gerakan moral atau nilai
yang berorientasi pembelaan terhadap segala kekuatan masyarakat yang menjadi
korban disebabkan negara yang autoritor.
Sebagai gerakan moral yang selalu berpihak kepada kebenaran, keadilan
dan demokrasi, mahasiswa yang sangat beragam pandangan dan latar belakang

ideologi gerakannya itu sentiasa segera bertindak apabila terjadi tindakan
sewenang-wenang oleh pihak yang berkuasa. Bila kita padankan dengan kes
kekerasan jentera kerajaan terhadap mahasiswa sepanjang waktu, mengingatkan
kita pada rangkaian kekerasan politik negara terhadap gerakan mahasiswa.
Berbagai-bagai kes seperti penculikan, penderaan dan kehilangan paksa terjadi

secara terus menerus terutama sepanjang Orde Baru. Huraian di atas, memberikan
alasan untuk meneliti gerakan mahasiswa Islam di Indonesia sebagai salah satu
fenomena menarik dalam konteks nasionalisme dan kebangsaan. Gerakan
mahasiswa yang menjadi subjek kajian adalah Himpunan Mahasiswa Islam
(HMI).
KAJIAN LITERATUR
Dalam proses perjalanannya yang panjang sebagai organisasi melatih
kader, HMI kini kembali merayakan Dies Natalisnya yang ke 60 tahun, tepatnya
pada 5 Februari 2007. Dies Natalis kali ini bukanlah sekedar suatu rutin
organisasi tetapi merupakan momentum strategi bagi upaya merefleksikan
peranan HMI pada setiap fasa perubahan bangsa terutama dalam mengawal sikap
penguasa yang tidak berpihak kepada kepentingan umat dan bangsa. Sejarah
negeri ini telah menyaksikan peranan pembaharuan HMI dalam merubah pola
fikir dan sikap umat sebagai suatu potensi masyarakat madani. Ilmuan non
Muslim, Victor Tanja (1982) menulis disertasi tentang peran HMI sebagai pelopor
pembaharu pemikiran Islam di Indonesia. Pendapat Victor Tanja, dikukuhkan
oleh Barton (1999) bahawa gagasan Islam liberal sejak awal diperkenalkan oleh
berbagai kader HMI. Di antara pelopor pemikir Islam tersebut adalah Nurcholish
Madjid, Djohan Effendi dan Ahmad Wahib, yang kesemuanya merupakan kaderkader HMI. Seranjutnya, Masykur Hakim (1998) menulis bahawa adanya
kemampuan strategi HMI dalam merespon berbagai polisi penguasa negeri ini

yang dinilai menyimpang dan fungsi yang sebenarnya yakni menegakkan keadilan
sosial.
Ciri khas yang selama ini menempel pada HMI, sehingga ciri tersebut
menjadi suatu retorika yang selalu melekat pada HMI sepanjang hidupnya. Secara
formal ciri tersebut dicantumkan oleh Kongres ke-22 HMI di Jambi tahun 1999,
iaitu pada Fasal 7, 8 dan 9 Anggaran Dasar HMI yaitu HMI berstatus sebagai
organisasi mahasiswa, HMI berfungsi sebagai organisasi kader dan HMI
berperanan sebagai organisasi perjuangan (Pusat Data dan Informasi PB HMI,
2002:16). Secara aspiratif dimensi kemahasiswaan sesungguhnya merupakan
perwujudan yang lebih spesifik dari pendirian HMI. Yang dapat menjadi anggota
HMI adalah mahasiswa yang belajar di perguruan tinggi. Penempatan seperti itu
dipandang strategis oleh HMI, kerana dalam dimensi kemahasiswaan di dalamnya
terkandung juga pengertian-pengertian terhadap alam kehidupan yang

dilakoninya, iaitu alam kepemudaan, atau generasi muda pada umumnya, alam
kehidupan kependidikan dan perkaderan, dan alam kehidupan keilmuan atau
karakteristik keberadaan generasi muda yang memiliki kumpulan utama sifat
kaum muda, seperti kepeloporan, semangat kritis, kreatif, patriotik dan responsif.
Dengan demikian HMI akan mampu menjawab tantangan dan hambatan
perjuangan dari pembangunan bangsa baik kini dan mendatang (Harry Azhar

Azis, 1997:296).
HMI berfungsi sebagai organisasi kader dapat disahkan berikut ini. Untuk
mengisi Proklamasi Kemerdekaan 17 Ogos 1945, diperlukan peranan kaum
intelektual. Bagi menjawab tuntutan itulah, maka HMI dengan fungsi
kekaderannya sentiasa berupaya untuk melahirkan kader-kader bangsa Indonesia,
memiliki kualifikasi kepemimpinan yang mampu membawa kehidupan
masyarakat bangsa, agama dan negaranya menjadi adil makmur di dalam reda
Ilahi. Dengan demikian, HMI bukanlah organisasi massa dalam erti fizik
kuantitatif. Akan tetapi HMI adalah sebagai wadah pengabdian dan
pengembangan yang secara kualitatif bertugas untuk mendidik dan membimbing
anggota-anggotanya agar menjadi kader yang utuh dan mandiri, sesuai dengan
tujuan HMI. HMI berperanan sebagai organisasi perjuangan dan kalangan mereka
yang tulus serta memiliki persediaan untuk berlatih dan mengembangkan kualitikualiti peribadinya demi menanggung tugas masa depan umat dan bangsanya (PB
HMI, 1977:4). Adapun implementasinya adalah kesanggupan dan setiap kader
HMI untuk melakukan perombakan, perubahan, perbaikan penyempurnaan
terhadap segala tatanan masyarakat yang tidak sesuai lagi dengai tuntutan
kontemporer.
HMI menjadi organisasi yang berakar dan tradisi kebangsaan dalam
konteks Indonesia yang tidak dapat ditemukan di tempat lain dunia Islam (Ismail
S. Wekkke, 2007:282-293). Hal tersebut bermakna bahawa apa yang dilakukan

oleh HMI sepanjang 60 tahun merupakan hasil dari refleksi dan interaksi antara
Islam dan Indonesia. Jika dibandingkan dengan peradaban besar Arab (ArabIslamic Civilization) dan peradaban besar Persia (Persian-Islamic Civilization),
maka HMI masuk dalam komponen peradaban besar Melayu (Malay-lslamic
Civilization), termasuk Indonesia di dalamnya (Nurcholish Madjid, 1997:93-94).
Dengan geopolitik di Asia Tenggara, HMI menjadi salah satu model gerakan yang
dimotori oleh kaum muda. Tidak sahaja dalam menjadi promotor idea keislaman,
namun juga dalam mengisi struktur kekuasaan politik, baik dalam eksekutif
maupun legislatif. Ini merupakan hasil dari pola kaderisasi fromal. Kaderisasi
yang dilakukan oleh HMI telah membentuk pola berfikir bahawa perjuangan
perubahan tidak dapat dilakukan setakat wacana, namun yang lebih penting dari
itu adalah turut serta dalam perjuangan aplikasi. Untuk itu, tidak mengherankan,

jika kekuasaan bukan merupakan sesuatu yang tabu bagi alumni HMI. Awal mula
kaderisasi formal, sejak kepemimpinan Ismail Hasan Metareum (1997) pada tahun
1957-1960. Perkaderan HMI merupakan upaya yang berkesinambungan dan
terencana. Dimulai dari tahun 1958, studi lapangan ke berbagai negara dalam
rangka perumusan pola perkaderan yang khas dilakukan oleh HMI. Namun
sebelum keputusan akan konsep latihan tersebut ditetapkan, kajian dalaman
dilakukan waktu yang panjang, sehingga pedoman awal dihasilkan pada tahun
1963. Ini menunjukkan bahawa kondisi yang ada saat ini merupakan proses

evolusi yang dilakukan secara terus menerus.
Sebagai gerakan Islam yang tumbuh dan berkembang di Indonesia, maka
sejauh ini ada empat hal yang menjadi peranan HMI di tengah gerakan Islam
Indonesia (Rafiuddin Afkari, 2004). Pertama, pembaharuan bidang teologi yang
bertujuan membangun asas baru teologi Islam. Kedua, pembaharuan dalam
bidang politik, tidak sama dengan pengertian dan makna memperbaharui
kehidupan politik, akan tetapi sesungguhnya kesediaan untuk terlibat dalam
birokrasi untuk menjembatani kesenjangan ideologi antara Islam dan negara.
Ketiga, pembaharuan dalam bidang transformasi sosial. Melihat usaha
pembaharuan sosial ini, pemberdayaan masyarakat dalam bidang sosial, ekonomi,
mahu pun politik adalah sama dengan apa yang disebut dengan pembentukan
gagasan masyarakat madani. Penemuan Rafiuddin Afkari, semakin menegaskan
bahwa keberadaan HMI merupakan salah satu unsur penting kewujudan
pemikiran Islam di Indonesia yang mengalami proses perkembangan. Adapun
tipologi pemikiran Islam yang dikembangkan HMI adalah perpaduan pemikiran
klasik dan pemikiran moden sesuai dengan tuntutan kontemporer Indonesia.
Kekhasan gerakan HMI ditunjukkan juga oleh basis mahasiswa
(Azyumardi Azra, 2000:160). Gerakan keagamaan yang tampil sejauh ini adalah
merupakan organisasi masyarakat. Kekhasan HMI terletak bahwa posisi HMI
bukan merupakan underbow salah satu organisasi apapun. Dengan prinsip

kebebasan organisasi dan etika, memberikan karakter bagi kader HMI yang tidak
dipengaruhi oleh kepentingan organisasi lain atau mazhab tertentu. Ajaran Islam
yang difahami oleh HMI adalah kristalisasi dari al-Quran yang kemudian disebut
Nilai-nilai Dasar Perjuangan (NDP). Penetapan kembali NDP dilaksanakan di
Kongres XXII, 1999 di Jambi. Sebelumnya NDP disebut dengan Nilai Identitas
Kader (NIK) sebagai perubahan strategi perjuangan dalam pencantuman Pancasila
sebagai asas organisasi. Dalam pasal 3 Anggaran Dasar HMI yang ditetapkan
dalam Kongres XVI di Padang pada tahun 1986, dicantumkan fasal khusus
berkenaan identitas organisasi. Oleh karena itu, secara operasional, NDP diubah
menjadi NIK yang menjadi landasan dalam pembentukan kader organisasi.

Sehingga dapat dikatakan bahwa HMI tidak menganut madzhab dalam konteks
fiqh.
Akhirnya, Posisi HMI dituliskan oleh Agussalim Sitompul (2002:29)
dengan paragraf:
HMI adalah anak zaman, anak bangsa dan kaum muda intelektual, akrab
dan bergumul dengan ilmu pengetahuan dan teknologi yang berbasis di kampuskampus. HMI berstatus sebagai organisasi mahasiswa, berfungsi sebagai
organisasi kader dan berperanan sebagai organisasi perjuangan. Kemampuan
beradaptasi, ketetapan HMI mempergunakan strategi taktik perjuangan dalam
situasi yang berubah dan tetap berpegang pada prinsip-prinsip perjuangan HMI,

merupakan kunci keberhasilan HMI untuk tetap survive.

PENDEKATAN DAN METODE PENYELIDIKAN
Pendekatan
Permasalahan inti dan metodologi menurut Sartono Kartodirjo adalah
pendekatan. Penggambaran suatu peristiwa tergantung pendekatan, ialah dan segi
mana kita memandangnya, dimensi mana yang diperhatikan, unsur-unsur mana
yang diungkapkan, dan sebagainya lagi. Hasil pelukisannya akan sangat
ditentukan oleh jenis pendekatan yang dipakai (Sartono Kartodirjo, 1993:4).
Pendekatan yang dilakukan untuk memahami Sejarah Perjuangan HMI
adalah, Pertama , Pendekatan historis, bertujuan untuk menilai serta mencatat erti
dan maksud dari berbagai peristiwa penting yang dialami manusia atau yang
disumbangkan pada waktu tertentu (Leedy, tth:71). Kedua , Pendekatan sosiologis,
pemikiran keagamaan tidak akan pernah final kalau tidak disertakan
aspek-aspek sosiologis (O’dea, 1995:1). Tetapi perlu diingat, relevansi
pemahaman keagamaan tidak dapat menggunakan pendekatan sosiologis secara
total, karena boleh berakibat lain dan erti dan makna agama yang hakiki, apalagi
menyangkut aspek ibadah. Ketiga , Pendekatan horizontal, yang mengkaji
hubungan antara berbagai cabang organisasi HMI, sehingga kajian itu telah
menampakkan ke dalam realiti sosial dan peribadi, seria mendapatkan keteranan

struktural yang bersifat universal. Keempat, Pendekatan vertikal, iaitu
bagaimanakah ajaran (ketentuan hukum dan etika), simbol seria idiom keagamaan
itu berinteraksi dengan struktur realiti. Keterangan yang diperolehi iaitu ialah
suatu keterangan yang dialektis (Taufiq Abdullah & M. Rush Karim, 1991:1).

Metode Penelitian
Dalam penelitian digunakan dua pendekatan utama. Pertama , Metode
Sejarah. Ibrahim Alfian, dengan mengutip Gilber J. Garraghan mengemukakan,
bahwa metode penelitian sejarah atau metode sejarah, adalah seperangkat aturanaturan dan prinsip-prinsip yang sistematis untuk mengumpulkan sumber-sumber
sejarah secara efektif, menilainya secara kritis, dan menyajikan sintesis dan hasil
yang dicapai dalam bentuk tertulis (Ibrahim Alfian, 1993:14). Metode sejarah
yang dipakai memuatkan pula sejarah sosial iaitu tentang peristiwa-peristiwa
sejarah, yang menjadikan masyarakat sebagai kajian. Fakta sosial sebagai bahan
kajian (Kuntowijoyo, 1994:34), menjadi objek dalam penulisan ini. Metode
sejarah juga melahirkan pendekatan dengan sejarah kebudayaan. Berkaitan
dengan itu, sejarah kebudayaan mempunyai peranan penting karena hanya dengan
melihat ke masa lalu, kita akan dapat membangun masa depan yang lebih baik,
dengan penuh kritis.Untuk itu diperlukan rekonstruksi sejarah (Kuntowijoyo,
1994: III).
Selain pendekatan sejarah yang dipergunakan dalam penelitian ini, dipakai

pula pendekatan hermeneutik atau hermeneutika. Dengan pendekatan
hermeneutik, bermaksud untuk menjelaskan dengan menafsirkan suatu yang
relatif kabur menjadi jelas maknanya. Melalui pendekatan sejarah dan
hermeneutik, penelitian ini akan dapat mengungkapkan di mana posisi HMI yang
berstatus sebagai organisasi mahasiswa, berfungsi sebagal organisasi kader
berperanan sebagai organisasi perjuangan. Juga akan dapat ditelusuri HMI sebagai
gerakan kaum muda dan intelektual, serta pembaharuan pemikiran Islam yang
bersifat bebas. Perbahasan lain yang kini banyak diarah adalah dari pemikiran
metafizik-falsafah ke pemikiran empinrikal dan histornikal, dengan melakukan
dekonstruksi (pembongkaran) dalam mengkajinya terhadap berbagal pemikiran
dengan tujuan untuk melihat berbagai kekurangan, kelemahan, baik paradigma
mahu pun metodologinya. Kemudian dekonstruksi, diikuti rekonstruksi, iaitu
membangun kembali pemikiran baru dengan memperhatikan realiti sosial historis
sehingga mampu menjawab keperluan kontemporer. Dari perbahasan itu dapat
melahirkan teori-teori sosial, yang mampu melakukan perubahan, perombakan,
perbaikan dalam masyarakat.
Kedua , Metode Transformatif. Transformasi adalah perubahan, mutasi
juga perubahan. Dalam konsep biologi mutasi adalah perubahan karena kondisi
faktor ekstern (luaran) dan tidak mempengaruhi secara genetik. Transformasi
dalam sosiologi dan antropologi dimaknai sebagal perubahan mendalam sampai

ke perubahan nilai kultural. Dalam proses transformasi terjadi proses adaptasi atau
adopsi atau seleksi terhadap budaya lain sekaligus nilai-nilai1 yang terkandung
di dalamnya (Noeng Muhadjir, 1996:4). Melalui penelitian ini, ditujukan dapat

ditransformasikan nilai-nilai yang terdapat dalam sejarah perjuangan HMI,
sehingga dapat disimpulkan nilai-nilai yang mendorong kepada proses
pematangan pemahaman dan penghayatan.

PERANAN HMI DALAM PERJUANGAN MAHASISWA DARI MASA KE
MASA.
Melihat dari peranan HMI sebagai organisasi perjuangan yang sentiasa
ingin melakukan perombakan, perubahan, perbaikan dan penyempurnaan terhadap
semua tatanan masyarakat yang tidak sesuai lagi dengan tuntutan kontemporer,
HMI dalam setiap geraknya sentiasa memiliki semangat kritis, kreatif, pelopor,
responsif dan solusi terhadap berbagai masalah yang dihadapi bangsa Indonesia
sehingga dapat keluar dari setiap masalah yang muncul. Hal ini sesuai dengan
jenis kader yang dihasilkan HMI, salah satunya adalah jenis problem solver .
Mengamati perjalanan HMI seiring dengan respon yang diberikannya terhadap
berbagai masalah yang timbul dalam masyarakat sebagai masalah yang harus
diantisipasi, maka dapatlah diamati peranan HMI dalam perjuangan mahasiswa
dan masa ke masa; sebagai kontribusi yang diberikannya untuk ikut berpartisipasi
di dalamnya.
Pertama, perjuangan pembentukan kondisi perguruan tinggi dan dunia
kemahasiswaan.
Ketika HMI berdiri suasana perguruan tinggi dan dunia kemahasiswaan
berada dalam suasana yang tidak integral. Sistem pendidikan saat itu, tidak
mengajarkan pendidikan agama. Sementara di sebagian madrasah, pesantren tidak
diajarkan pendidikan umum, sehingga menimbulkan pendidikan yang dualiti
kerana tidak ada perpaduan antara sekolah umum yang tidak memberikan
pelajaran agama sebaliknya madrasah yang sebahagian tidak mengajarkan
pendidikan umum. Akibatnya terjadi dikotomi antara pendidikan umum dan
pendidikan agama. Suasana seperti itulah yang ingin diubah HMI, dengan
melaksanakan berbagai kegiatan agama Islam di lingkungan perguruan tinggi dan
dunia kemahasiswaan. Pelajaran agama Islam secara bertahap diusahakan untuk
diberikan di setiap perguruan tinggi, dan dipelopori Sekolah Tinggi Islam.
Ternyata kegiatan itu mendapat sambutan dari mahasiswa yang majoriti beragama
Islam.
Terbentuknya Kabinet Masyumi di tahun 1950 membawa era baru dalam
dunia pendidikan. Trio tokoh Muhammad Natsir sebagai Perdana Menteri, Dr.
Bahder Djohan (Menteri Pengajaran), A. Wahid Hasyim (Menteri Agama),
melakukan pembaharuan di bidang pendidikan. Kabinet Natsir mewariskan sistem

pendidikan nasional. Pendidikan yang dualiti dan dikotomi diganti dengan
pendidikan yang mengintegrasikan antara pendidikan umum dan pendidikan
agama. Di madrasah akan diberikan pelajaran umum, dan di sekolah umum akan
diberikan pelajaran agama. Polisi itu disambut penuh bersemangat di kalangan
modenis di perkotaan mahu pun kalangan tradisionalis di “pedalaman”.
Mahasiswa yang mengikuti kuliah di berbagai-bagai universiti, baik negeri mahu
pun swasta yang bergabung dalam HMI, sangat menghormati dan simpati
merespon terhadap pembaharuan pend idi kan yang di lakukan trio Natsir-WahidBahder. Karena pembaharuan pendidikan yang dilakukan pemerintah, menurut
HMI selain sebagai suatu keharusan sejarah untuk memenuhi keperluan semasa
waktu itu, juga sejalan dengan cita-cita dan perjuangan HMI, untuk
menghilangkan dualisme mahu pun dikotomi di dunia pendidikan.
Implikasinya sangat dirasakan hingga sekarang di mana pendidikan agama
sejak dari Sekolah Rakyat (sekarang Sekolah Dasar, SD) hingga Perguruan Tinggi
merupakan pelajaran wajib sesuai dengan keputusan MPRS Nombor 3/1960. Dari
kalangan tradisional di pedesaan yang mengikuti pendidikan di madrasah
terutama pondok pesantren merasakan kesan dan pembaharuan pendidikan itu.
Pelajaran umum, kini dimasukkan dalam kurikulum pesantren. Tentu perubahan
itu membawa nuansa baru yang akan melahirkan generasi bangsa yang
berwawasan ganda antara ilmu agama dan ilmu umum (Mahmud Yunus, 1993:
235). Respon, tanggapan, jawaban dan sikap generasi muda Islam terpelajar mahu
pun polisi para pemimpin lembaga pendidikan umum dan pendidikan agama
terhadap pembaharuan pendidikan yang dilakukan pemerintah, menurut
Nurcholish Madjid maka tahun 1950 dipandang sebagai titik mula “investasi”
(pelaburan) umat Islam di bidang pendidikan moden dan pengembangan lapisan
intelektual Islam yang lebih berakar. Investasi umat Islam di bidang pendidikan
sejak Kabinet Natsir tahun 1950, telah mulai menampakkan hasil. Sejak awal
dasawarsa 1960-an pemuda-pemuda Islam kaum “santri” memasuki berbagai
perguruan tinggi, baik umum mahupun Islam dan menjadi anggota masyarakat
akademik (civitas akademika) yang besar sesuai dengan besarnya jumlah umat
Islam Indonesia. Mereka aktif untuk mengisi dan mewarnai kehidupan kampus,
terutama dengan berhasilnya HMI tampil sebagai salah satu organisasi mahasiswa
tambahan yang besar dan berpengaruh.
Investasi yang ditanam, barulah mulai awal dasawarsa 1970-an umat Islam
menyaksikan putera-puteranya yang belajar di pendidikan tingkat tinggi atau
universiti menjadi sarjana. Jumlah mereka sangat besar dan laksana gelombang
mengalir dengan sangat cepat yang tidak boleh dihalangi dengan jalan apapun.
Inilah gelombang kebangkitan intelektualitas Islam Indonesia I, yang baru pernah
terjadi dalam sejarah Indonesia moden.

Akan tetapi Nurcholish Madjid menyatakan bahwa walaupun terjadi
ledakan sarjana Islam, karena mereka masih lebih banyak mengurusi masalah
“domestik” atau urusan internal organisasi dalam tubuh umat Islam. Maka
menurut Cak Nur tahun 1970 itu dampak sosial mereka belum terasa dan
memberi erti dan makna yang jauh dan dalam pada kehidupan bermasyarakat,
berbangsa dan bernegara. Dampak baru peledakan sarjana Islam itu baru terasa
pada dasawarsa tahun 1980, ketika urusan “domestik” sudah selesai dan mulai
aktif keluar. Hasilnya sangat mengkagumkan, dengan semaraknya kebangkitan
Islam di semua lapangan hidup. Dampak itu semakin besar kerana ada
kemerdekaan umat Islam untuk bergerak secara longgar ketimbang masa
sebelumnya, yang dirintangi dengan berbagai-bagai halangan politik yang
menyakitkan. Kerana sejak saat itu Islam tidak lagi dimonopoli oleh mereka yang
kebetulan menjadi anggota partai politik Islam, tetapi Islam kini telah menjadi
milik nasional meliputi potensi sekitar 90% seluruh bangsa Indonesia. Seluruh
bangsa mulai berkepentingan kepada Islam. Islam sebagai rahmatan lil alamin,
mulai dirasakan. Dan retorika musuh-musuh kaum Muslimin, Islam sebagai
ancaman beransur-ansur hilang, dianggap tidak relevan dan menyesatkan.
Menurut istilah orang-orang Universiti Cornell, iaitu para murid George
Mc. Kahin, bahawa para sarjana yang muncul di ICMI sebahagian besar kaum
“santri” kalangan “modenis”, yang diprogramkan sejak tahun 1950. Sementara
kaum “santri” kalangan “tradisional”, seperti yang ditulis Nurcholish Madjid baru
memulai melakukan investasi pendidikan moden tahun 1970, di saat “santri”
kalangan “modenis” telah berada pada tahap kebangkitan intelektualis Islam
Indonesia I. Jadi kaum tradisional ketinggalan 20 tahun. Kaum “santri” kalangan
tradisional sejak tahun 1990 sedang tumbuh pesat sebagai “newly emerging
Islamic intellectuals” -- kekuatan baru intelektual muslim. Kebangkitan ini
merupakan gejala paling penting menurut Nurcholish Madjid dalam proses
perkembangan kaum intelektual Islam Indonesia untuk waktu 20 tahun
mendatang. Seandainya semua proses berjalan tanpa hambatan besar, pada tahun
2010 M, akan disaksikan gelombang kebangkitan intelektualisme Islam Indonesia
II, pada milenium ketiga, di era globalisasi. Mereka terdiri kalangan dengan Iatar
belakang budaya yang Iebih dalam dan kukuh, juga mempunyai tingkat otentisitas
yang Iebih tinggi dan yang Iainnya. Ketulenan diperlukan sebagal landasan
kepercayaan diri, sebagai syarat bagi kreativi intelektual dan kultural.
Kedua, perjuangan mengusir penjajah Belanda dan Menumpas Pemberontakan
PKI di Madiun Tahun 1948.
Seiring dengan tujuan HMI yang digariskan sejak awal berdirinya, di masa
dari aspek politiknya adalah membebaskan bangsa Indonesia dari belenggu
penjajahan. Maka konsekuensinya dalam masa perang Kemerdekaan, HMI terjun

ke gelanggang medan pertempuran melawan Belanda, membantu pemerintah baik
Iangsung memegang senjata bedil dan bambu runcing, sebagai staf penerangan
atau penghubung. Untuk menghadapi pemberontakan PKI Madiun 18 September
1948, Ketua PPMI/Wakil Ketua PB HMI Ahmad Tirtosudiro
membentuk Corps Mahasiswa (CM), dengan komandan Hartono, Wakil
Komandan Ahmad Tirtosudiro. Mereka ikut membantu pemerintah menumpæs
pemberontakan PKI di Madiun, dengan mengerahkan anggota CM ke gununggunung, memperkuat jentera pemerintah. Sejak itulah dendam kesumat PKI
terhadap HMI tertanam. Dendam disertai benci dan dengki itu, nampak sangat
menonjol pada tahun 1964-1965, di saat-saat menjelang meletusnya Gestapu/PKI
1965, di mana PKI bertujuan membubarkan HMI dengan sasaran sebelum G 30
S/PKI meletus.
Implikasi dan penyertaan HMI khususnya dan mahasiswa umumnya ikut
membantu pemerintah mengusir penjajah, membawa dampak mempercepat proses
pemberian Pengakuan Kedaulatan Rakyat tanggal 27 Disember 1949. Sehingga
secara de vacto dan de jure Indonesia memperoleh pengakuan dan dunia
internasional. Dengan tertumpasnya pemberontakan PKI di Madiun dapat
menyelamatkan Republik Indonesia dan bahaya komunis dan satelit Rusia.
Sayangnya waktu itu PKI tidak Iangsung dibubarkan, kerana pemerintah dan
segenap rakyat Indonesia bahu membahu menghadapi penjajah Belanda yang
ingin terus menjajah Indonesia. Akibat PKI tidak dibubarkan, PKI kembali
menyusun kekuatan dan dapat come back sehingga kembali melakukan
pemberontakan 7 tahun kemudian dengan pengkhianatan G 30 S/PKI tahun 1965.
Ketiga, Perjuangan mahasiswa menumbangkan penyelewengan dan dasar
kenegaraan.
Kekuasaan Orde lama di bawah pemerintahan Presiden Soekarno berjalan
tahun 1959-1965. Pada masa itu terjadi berbagai penyelewengan di bidang moral,
pemerintahan, politik, ekonomi dan politik luar negeri dan lain-lain. Puncaknya
terjadi ketika meletusnya Gestapu PKI tahun 1965. Salah satu sasaran dan
keserakahan Orde lama (baca : PKI) adalah membubarkan HMI. Sebelumnya
(1960) Masyumi telah dipaksa bubar, dan GPII (1963) juga menjadi korban dan
keserakahan itu. Tahun 1964, 1965 HMI mahu dibubar, akan tetapi anehnya
Presiden Soekarno tidak mau membubarkan HMI. Ada apa? Untuk keterangan
tentang hal tersebut terungkap dalam buku tulisan A. Dahlan Ranuwihardjo, S. H.
dengan judul Mengapa Bung Karno Tidak Mau Membubarkan HMI?.
Begitu Gestapu PKI meletus 30 September 1965 muncullah gerakan
menentang Gestapu PKI. Tanggal 1 Oktober 1965 dimulai dan rumah Wakil
Ketua PB NU Subchan ZE Jalan Banyumas 4 Jakarta (kini rumah itu milik Fuad

Bawazier), pengganyangan Gestapu PKI dimulai. Tanggal 1 Oktober 1965 wakil
PB HMI Darmin P. Siregar dan Ekky Syahruddin menyampaikan sikap PB HMI
kepada Pangdam V Jaya Mayjen Wirahadikusumah, 1) Arkitek dan
pemberontakan itu adalah PKI, 2) HMI menuntut supaya PKI dibubarkan, 3)
kerana pemberontakan PKI itu adalah masalah politik, maka supaya diselesaikan
secara politik dan pimpinan penumpasan diserahkan kepada Partai NU, 4) HMI
akan memberikan bantuan apa saja yang diminta pemerintah untuk penumpasan
Gestapu PKI (Agussalim Sitompul, 1976:74). Di hari-hari pertama pengganyanga
Gestapu PKI Komando Pengganyangan Gestapu PKI digerakkan dari Jalan
Banyumas 4 (Rumah Subchan ZE dan adiknya Aniswati Rohlan), Jalan
Diponegoro 16 (Sekretariat PB HMI), Jalan Sam Ratulangi 1 (Sekretariat PP
PMKRI) dan Jalan Pasuruan 6 (Rumah Syarifuddin Harahap), (Agussalim
Sitompul, 1976:74).
Setelah peristiwa Gestapu PKI meletus, dituntut adanya suatu kekuatan
baru di kalangan mahasiswa/pemuda yang tampil sebagai avant garde untuk
membela secara konsisten perjuangan rakyat dan mengembang Amanat
Penderitaan Rakyat (Ampera). Perhimpunan Persyarikatan Mahasiswa Indonesia
(PPMI) yang didirikan pada Kongres Mahasiswa Indonesia di Malang 8 Maret
1947, tatkala terjadi Gestapu PKI, PPMI dan MMI didominasi GMNI Ali
Surachman (ASU) dan CGMI serta hilangnya peranan HMI di dalamnya,
merupakan organisasi yang tidak bebas lagi. Malah PPMI dan MMI menjadi alat
kepentingan semata-mata dari golongan tertentu. PPMI dan MMI ada indikasi
kuat terlibat dalam gerakan kontra revolusi Gestapu PKI. Oleh karena itu, pada
Kongres PPMI ke-6 di Jakarta tanggal 29 Disember 1965 dengan acara tunggal
pengesahan pembubaran PPMI, yang dihadiri 9 organisasi massa: PMII, PMKRI,
IMADA, CSB, HMB, IMABA, GMS, GMRI dan MMB. Oleh kerananya atas
prakarsa Wakil Ketua PB HMI Mar’ie Muhammad persoalan itu dijawab dengan
berdirinya Kesatuan Aksi Mahasiswa Indonesia (KAMI) tanggal 25 Oktober
1965. Setelah itu untuk menghancurkan pemberontakan PKI berturut-turut
muncullah kekuatan Orde Baru. Tanggal 10 Januari 1966 Tri Tura (Tri Tuntutan
Rakyat) dicetuskan tuntutan yang berisi tiga hal iaitu Bubarkan PKI, Retul
Kabinet dan Turunkan Harga. Tanggal 9 Februari 1966, Kesatuan Aksi Pemuda
Pelajar Indonesia (KAPPI) berdiri lalu diikuti dengan kesatuan aksi Iainnya,
seperti KASI (Sarjana), KAPI (Pelajar), KATI (Tani), KABI (Buruh), KAWI
(Wanita), KADI (Dagang) dan lain-lain. Tanggal 11 Mac 1966 Supersemar lahir
dan tanggal 12 Mac 1966 PKI dan ormas-ormasnya dibubarkan dan dinyatakan
terlarang. Tanggal 12 Mac 1967 lewat Sidang Istimewa MPRS
Presiden Soekarno turun dan takhta Kepresidenan setelah berkuasa 22 tahun,
dan digantikan Pejabat Presiden Soeharto.

Masa aksi KAMI yang pertama kali berupa rapat umum di halaman
Fakulti Kedoktoran Universiti Indonesia (UI) di Salemba 4 Jakarta tanggal 3
November 1965, di mana barisan HMI menunjukkan semangat yang bergelora
dengan massa yang terbesar. Rapat Umum dilanjutkan dengan demonstrasi ke
Jabatan PTIP dan Front Nasional yang mendukung sepenuhnya Instruksi Menteri
PTIP membekukan CGMI, Perhimi, HSI, Perguruan Tinggi/Akademi-Akademi
PKI dan menuntut supaya dibubarkan. Praktis KAMI telah menjadi wadah
tunggal yang secara politik, organisasi dan realiti telah menghimpun seluruh
mahasiswa Indonesia. Kelahiran KAMI di tengah-tengah kesengsaraan dan
penderitaan rakyat kerana akibat petualangan PKI dan pemimpin khianat. KAMI
tampil ke depan untuk menyuarakan hati nurani rakyat. Laksana lahirnya Samson
untuk memerangi angkara murka dan kezaliman yang bermaharajalela.
Mahasiswa yang mempunyai tugas sejarah, studi dan mengabdi untuk negara
berjuang untuk kepentingan rakyat. Kepentingan peribadi seperti kuliah, mereka
tinggalkan untuk sementara waktu demi mengembang Ampera. Bul Ian Januari,
Februari, Mac 1966 merupakan titik balik dalam perkembangan sejarah bangsa
Indonesia KAMI telah menciptakan rekod bersejarah dalam riwayat kehidupan
politik Indonesia. Belum pernah terjadi masa aksi begitu spontan, hebat dan
mengesankan yangndilancarkan suatu organisasi yang baru berusia 4 bulan,
berhasil menggugat dunia politik, baik nasional mahu pun internasional dengan
dahsyat. Lembaran yang paling bersejarah dalam perjuangan KAMI dengan
adanya aksiyang menggemparkan di halaman UI Salemba Jakarta di mana pada
tanggal 10 Januari 1966 KAMI mengumandangkan suara “hati nurani rakyat”
(hanura) dibentuk Tri Tuntutan Rakyat (Tri Tura), yang berisi Bubarkan PKI,
Retul Kabinet dan Turunkan Harga. Peristiwa bersejarah itu terkenal sebagai hari
kebangkitan angkatan 66 dan Orde Baru atau hari Tri Tu ra. Pada hari itu
merupakan permulaan dari suatu “demokrasi dan parlemen jalanan ”, di mana
forum terbuka yang Iangsung menyerang polisi menteri yang tidak menyuarakan
hanura serta melakukan penyelewengan. Di smi Iahirlah istilah “menteri goblok”
yang menjadi popular di antara rakyat (HMI Cab. Yogya, 1966:34). Terjadi
pertama kali sejarah, di mana dalam Sidang Kabinet RI di Bogor 15 Januari 1966
KAMI diundang untuk menghadiri Sidang tersebut. Presiden Soekarno tidak
menyetujui aksi-aksi yang diambil.
Perihal tumbangnya Orde Lama dan lahirnya Orde Baru, serta peranan
KAMI dan HMI ketika itu Nurcholish Madjid (HMI Cab. Yogya, 1966:34)
menyatakan:
Jika tahun 1966 disebut, maka asosiasi pertama seorang Indonesia ialah

kepada suatu angkatan yang sangat erat kaitannya dengan tumbangnya
Orde Lama dan Lahirnya Orde Baru. Dan kalau kita pusatkan perhatian
kita hanya kepada KAMI (Kesatuan Aksi Mahasiswa Indonesia) saja maka
peranan dominan HMI akan sangat nyata. Bahkan tidak berlebihanlah
penilaian banyak pengamat bahawa sebenarnya KAMI adalah paralel, jika
tidak identik, dengan HMI. Suatu hal yang menimbulkan kecemburuan
banyak kalangan lain.
Keempat, HMI dalam pembentukan Kelompok Cipayung dan KNPI.
HMI menyadari perlu dibina suatu kerja sama yang harmonis di antara
kelompok-kelompok yang ada di dunia mahasiswa, yang berangkat dan satu dasar
pemikiran. Bahawa masalah-masalah yang menjadi perhatian mahasiswa
hendaknya dapat dipecahkan bersama-sama. Oleh karena itu, HMI berpendapat
perlu dibina suatu komunikasi yang efektif di antara mahasiswa sehingga
pecahan-pecahan yang ada dapat dikurangi dan lebih mengarahkan perhatian
terhadap kepentingan bersama iaitu masa depan yang lebih baik. Guna merealisasi
hal tersebut HMI telah menaja pertemuan antara organisasi mahasiswa yang
kemudian telah menjelma menjadi suatu pertemuan di tingkat nasional yang
dikenal dengan pertemuan Cipayung.
Pertemuan Cipayung I yang diselenggarakan tanggal 20-22 Januari 1972
yang diikuti organisasi kemasyarakatan pemuda (OKP) HMI, GMKI, PMKRI dan
GMNI telah dicapai suatu kesimpulan yang terkenal dengan Kesepakaan
Cipayung dan telah merumuskan tentang “Indonesia yang kita cita-citakan”.
Ternyata kesimpulan yang dicapai mendapat respons dan kalangan masyarakat
karena pendekatan yang diambil adalah ilmiah dan kualitatif, menghindari dan
gerakan-gerakan yang sifatnya emosional dan tidak bertanggung jawab. Sebagai
tindak lanjut dan pertemuan Cipayung I, maka pada tanggal 13-16 April 1972
telah dilanjutkan dengan Pertemuan Cipayung II dengan peserta yang diperluas
dari Dewan-Dewan Mahasiswa dan individu-individu. Pertemuan Cipayung II
telah menghasilkan kesepakatan Cipayung II tentang “Perencanaan Masyarakat
dan Tanggung Jawab Generasi Muda”. Untuk pengelolaannya dibentuk kelompok
Kerja dan 8 orang wakil-wakil OKP. Pertemuan yang dilanjutkan dalam bentuk
diskusi di antara OKP-OKP untuk menjabarkan hasil-hasil Cipayung tersebut
dan diskusi-diskusi yang sifatnya momentum dan insidental dalam menanggapi
situasi yang berkembang di luar seperti diskusi-diskusi panel tentang masalah
kemasukan partai politik dalam hubungannya dengan organisasi-organisasi
mahasiswa (PB HMI, 1974:2-3).
Selanjutnya 4 tahun kemudian, tanggal 25 Agustus 1976 dilaksanakan
pertemuan Cipayung III yang dilkuti HMI, PMII, PMKRI, GMKI, dan GMNI

berupa “Meningkatkan Kebersamaan menuju Indonesia yang kita cita-citakan dan
pembinaan generasi muda yang berkeperibadian” sebagai suatu pemahaman
tentang perlunya diperluas keterlibatan masyarakat dalam proses pembangunan
(PB HMI, 1974:Lampiran VIII). OIeh karena rasa tanggung jawab mahasiswa
terhadap bangsa dan negara, sebagai pewaris bangsa di masa depan, melihat
berbagai masalah yang dapat menghambat kemajuan bangsa, mengundang
generasi muda yang ada di HMI, GMNI, PMKRI, dan GMKI, untuk saling
berkonsultasi 3 kali di Cipayung membawa impak yang positif bagi lancarnya
pembangunan sehingga terlihat pemerintah menampung aspirasi rakyat berupa
a)perbaikan gaji pegawai negeri, b)perhatian yang besar terhadap para pendidik,
c)dicanangkannya pola hidup sederhana, d) pola komunikasi dua arah; dan
e)usaha-usaha perbaikan bagi kaum ekonomi lemah (PB HMI, 1 974:1-21).
Setelah diadakan berkali-kali pertemuan di Jakarta yang diikuti organisasi pemuda
dan mahasiswa, tanggal 23 Juli 1973, Iahirlah Komite Nasional Pemuda Indonesia
(KNPI) sebagai forum komunikasi di antara generasi muda (Agussalim Sitompul,
1976:43).

PENUTUP
Dari perbahasan di atas, dapat disimpulkan, pertama , letak kaitan HMI sebagai
organisasi mahasiswa dan organisasi perjuangan, adalah kerana keduanya
merupakan ciri khas HMI. Berkaitan dengan perjuangan mahasiswa, kerana pada
umumnya gerakan-gerakan mahasiswa di Indonesia selalu digerakkan oleh HMI.
Kedua , Peranan HMI dalam perjuangan mahasiswa dan masa ke masa adalah
merupakan kepeloporan dari HMI, sebagai tanggung jawab sosial dari HMI dalam
mengimplementasikan status HMI sebagai organisasi mahasiswa, fungsi HMI
sebagai organisasi kader dan HMI sebagai organisasi perjuangan, yang dilandasi
Islam sebagai dasar HMI serta independensi. Ketiga , Perjuangan HMI dan
mahasiswa membawa implikasi yang sangat luas dalam kehidupan bermasyarakat,
berbangsa dan bernegara, sehingga mampu melakukan perombakan, pencerahan,
perbaikan dan penyempurnaan dalam berbagai bidang kehidupan. Keempat,
Prospek perjuangan HMI dan mahasiswa di masa mendatang adalah diperlukan.
Kerana dalam suatu negara yang berkembang seperti Indonesia, peranan
mahasiswa dan pemuda sangat diperlukan dalam rangka ikut berpartisipasi
menurut bidangnya bagi pembangunan negara menuju kehidupan yang lebih baik.

CATATAN HUJUNG
1. Nilai-nilai yang dimaksud antara lain adalah (1) nilai keislaman, (2) nilai
kebangsaan, (3) nilai keintelektualan, (4) nilai ke HMI an, (5) nilai
perjuangan, (6) nilai kemodenan, dan lain-lain.

BIBLIOGRAFI
Agussalim Sitompul. 1976. Sejarah perjuangan HMI 1947-1975. Surabaya: Bina
Ilmu.
. 1995. Historiografi HMI 1947-1993. Jakarta: Intermasa.
. 2002. Menyatu dengan umat - menyatu dengan bangsa, pemikiran
keislaman-keindonesiaan HMI (1947-1997). Jakarta: Logos Wacana Ilmu.
Azyumardi Azra. 2000. Menuju masyarakat Madani:gagasan, fakta dan
tantangan. Bandung: Remaja Rosdakarya.
Barton, G. 1999. Gagasan Islam liberal di Indonesia . Jakarta: Pustaka Antara dan
Paramadina.
E. Sumaryono. 1999. Hermeneutika sebuah metode filsafat. Yogyakarta: Penerbit
Kanisius.
Harry Azhar Azis. 1997. “Dalam kemandirian, keintelektualan, keprofesian
membina marwah bangsa” dalam Agussalim Sitompul Pemikiran HMI
dan relevansinya dengan sejarah perjuangan bangsa . Yogyakarta:
Penerbit Aditya Media.
Ibrahim Alfian. 1983. Pengantar metode penelitian sejarah dalam Bunga rampai
metode penelitian sejarah . Yogyakarta: Lembaga Research dan Survey
IAIN Sunan Kalijaga.
Ismail Hasan Metareum. 1997. Penegakan jiwa kemandirian dan kepeloporan
HMI dalam Ramli HM Yusuf (ed.) 50 tahun HMI mengabdi republik.
LASPI: Jakarta.
Ismail S. Wekke. 2007. Gerakan mahasiswa: tradisi intelektual berwawasan
keindonesiaan keislaman. Proceeding Persidangan Ilmiah, 17 Februari
2007. Kuala Lumpur: Persatuan Pelajar Indonesia, Universiti Kebangsaan
Malaysia.
Leedy, P. D. Tth. Practical research, planning and design. New York: Mac Millan
Publishing Co.

Mahmud Yunus. 1983. Sejarah pendidikan Islam di Indonesia . Jakarta: Mutiara
Sumber Widya.
Masykur Hakim. 1998. The response of Muslim youth organization to socialpolitical change: a case of HMI role in Indonesia . Disertasi Jamia Millia
Islamia, India.
Noeng Muhadjir. 1996. Islam ideologi transformasi. (Makalah disampaikan pada
Latihan Kader II HMI Cabang Yogyakarta.
Nurcholish Madjid. 1997. Mempertegas visi perjuangan HMI dalam Abdullah
Hafidz, et. al. (ed.) HMI dan KAHMI menyongsong perubahan
menghadapi pergantian zaman. Jakarta: Majelis Nasional KAHMI.
Pengurus Besar Himpunan Mahasiswa Islam. 1974. Laporan PB HMI periode
1971-1974 yang disampaikan pada kongres XI HMI di Bogor 23-30 Mei
1974. Jakarta: PB HMI.
. 1977. Pedoman perkaderan HMI. Jakarta: PB HMI.
. 2002. Hasil-hasil kongres ke-22 HMI di Jambi 29 November-5
Desember 1999. Jakarta:Pusat Data dan Informasi PB HMI.
Pengurus HMI Cabang Yogyakarta. 1966. Sejarah perjuangan HMI. Yogyakarta:
HMI Cabang Yogyakarta.
Rafiuddin Afkari. 2004. Himpunan mahasiswa Islam: suatu kajian mengenai
sejarah dan sumbangannya terhadap gerakan Islam Indonesia . Tesis di
Universiti Malaya, Kuala Lumpur.
Sartono Kartodirjo. 1993. Pendekatan Ilmu sosial dalam metodologi sejarah.
Jakarta: Gramedia.
Taufiq Abdullah & M. Rusli Karim. 1991. Metodologi penelitian agama: sebuah
pengantar . Yogyakarta: PT Tiara Wacana.
O’dea, T. F. 1995. Sosiologi: agama suatu pengenalan awal. Jakarta: PT Raja
Grafindo Persada.
Victor Tanja. 1982. Himpunan mahasiswa Islam, sejarah dan kedudukannya di
tengah gerakan-gerakan Muslim pembaharu di Indonesia . Jakarta: Sinar
Harapan.