38
BAB III BIOGRAFI EMPAT IMAM MAZHAB DAN ULAMA KONTEMPORER
A. Riwayat Hidup Empat Imam Mazhab
1. Riwayat Hidup Imam Abu Hanifah
Pendiri mazhab ini adalah Abu Hanifah 80-150 H dikenal sebagai ulama Ahl al-
Ra‟yi.
1
Sehingga dapat diketahui bahwa dalam menetapkan hukum Islam, baik yang diistinbathkan dari al-
Qura‟an ataupun Hadis, beliau banyak menggunakan nalar. Beliau lebih mengguna
kan ra‟yi dari khabar ahad. Apabila terdapat hadis yang bertentangan, beliau menetapkan hukum dengan
jalan qiyas dan istihsan. Jika dipandang bahwa menggunakan qiyas kurang tepat, dipergunakan istihsan. Jika tidak dapat dipergunakan istihsan, diambillah
„urf. Hal ini menjadikan Imam Hanafi banyak sekali mengemukakan masalah- masalah baru, bahkan beliau banyak menetapakan hukum-hukum yang belum
terjadi. Adapun metode istidlal Imam Abu Hanifah dapat dipahami dari ucapan
beliau sendiri yakni: إ
خأ ي ه ت ب
إف تدجو إ جأ م
د خأ يف
ر ثا و م سو ي ع ه ى ص ه سر ة سب ح حص
يت ع إف . قث ديأ يف تشف
ي ع ه ى ص ه سر ة ساو ه تك يف دجأ م خأ م سو
.م ريغ ق ى إ م ق م رخأ ا مث ت ش م ق عدأو ت ش م ب حصأ قب إف
1
Huzaemah Tahido Yanggo, pengantar Perbandingan Mazhab Ciputat: Logos Wacana Ilmu, 2003, h.98
39
يريس ب و سح و يبعش و مي ربإ ى إ رما ى ت ي ف ود تج دق ا جر دعو بيس ب ديعسو
د تجأ أ . ود تج ك
2
Artinya: ”Sesunggguhnya saya berpegang kepada Kitab Allah al-Qura‟an
apabila menemukannyya. Jika saya tidak menemukannya, saya berpegang kepada Sunnah Rasulullah saw dan atsar-atsar yang
memiliki tingkat keshahihan yang tersebar luas dikalangan perawi terpercaya. Jika tidak saya temukan dalam kitab dan sunnah, saya
berpegang kepada pendapat para sahabat dan mengambil mana yang saya sukai dan meninggalkan yang lainnya, saya tidak keluar pindah
dari pendapat mereka yang lainnya. Maka jika persoalan sampai kepada Ibrahim, al-
Sya‟bi, al-Hasan, Ibn Sirrin, Said ibn al-Musayyab dan Abu Hanifah menyebut beberapa orang lagi, maka mereka itu
orang-orang yang telah berijtihad, karena itu saya pun berijtihad sebagaimana mereka telah berijtihad.
فو ةقث ب خأ ةفي ح يبأ اك ي ع صو ي ع م قتس مو س ام عم يف ر و حبق م ر ر
م إف . ىض ي د م سحتس ى ع يض ي س يق حبق إف س يق ى ع رمأ ىض ي م ر مأ د م ي ع سيقي مث فورع ثيدح ص ي ك و . ب
س م عتي م ى إ عجر ىض ي عجري مث غئ س س يق
يأ سحتسإ ى إ . ي إ عجر قفوأ ك
3
Artinya: “pendirian Abu Hanifah ialah mengambil hal yang diyakini dan dipercayai dan lari dari keburukan serta memperhatikan muamalah-
muamalah manusia dan apa yang mendatangkan maslahat bagi manusia, ia menjalankan urusan atas qiyas. Apabila qiyas tidak baik
dilakukan, ia melakukannya atas istihsan selama dapat dilakukannya.
Apabila tidak dapat dilakukan, ia kembali kepada „urf manusia. Dan ia mengamalkan hadis yang sudah terkenal dan kemudian ia
mengqiyaskan sesuatu kepada hadis itu selama qiyas dapat dilakukan. Kemudian ia kembali kepada istihsan. Di antara keduanya yang mana
lebih tepat, kembalilah ia kepadanya”. Kutipan di atas menunjukkan bahwa Imam Abu Hanifah dalam
melakukan istinbath hukum berpegang kepada sumber dalil yang sistematika
2
Muhammad Ali al-Sayis, Tarikh al-Fiqh al-Islami Kairo: Maktabah wa Matba‟ah Ali Sabih
wa auladuh, t.th,h.91-92
3
Abu Zahrah, Tarikh al-Mazahib al-Islamiyah al-Qahirah: Daar al-Fikr al-Arabiy, 1987, Juz II, h. 161
40
atau tertib aturannya seperti apa yang ia ucapkan tersebut. Dari sistematika atau tertib urutan sumber dalil di atas nampak bahwa Imam Abu Hanifah
menempatkan Al- Qura‟an pada urutan pertama, kemudian al-Sunnah pada
urutan kedua dan seterusnya secara berurutan pendapat sahabat, qiyas, istihsan, dan terakhir „urf. Tidak disebutkannya ijma‟ dalam rumusan ini bukan berarti
Imam Abu Hanifah menolak ijma‟ tetapi menggunakan ijma‟ sahabat yang tergambar dalam ucapannya di atas.
4
Jika terjadi pertentangan qiyas dengan istihsan, sementara qiyas tidak dapat dilakukan, maka Imam Abu Hanifah
meninggalkan qiyas dan berpegang kepada istihsan karena ada pertimbangan maslahat. Dengan kata lain pengguna qiyas dapat digunakan sepanjang ia dapat
memenuhi persyaratan. Jika qiyas tidak mungkin dilakukan terhadap kasus- kasus yang dihadapi, maka pilihan alternatifnya adalah menggunakan istihsan
dengan alasan maslahat.
5
Secara terperinci dasar Imam Abu Hanifah dalam menetapkan suatu dasar hukum adalah:
a. Al-Qur‟an sebagai sumber dari segala sumber hukum
b. Al-Sunnah
Al-Sunnah berfungsi sebagai penjelasan al- Qur‟an, merinci yang
masih bersifat umum global. Jika dalam al- Qur‟an tidak dijumpai nash
mengenai suatu hukum, maka harus kembali ke al-Sunnah. Apabila
4
Amir Syarifuddin, Ushul Fiqh, Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2009, h.106
5
Romli SA, Muqaranah Mazahib fil Ushul, Jakarta: Gaya Media Pratam, 1999, h. 48
41
didalam al-Sunnah didapati hukum yang pasti, maka al-Sunnah tersebut harus diikuti.
Abu Hanifah mensyaratkan bahwa hadis yang diriwayatkan harus masyhur di kalangan perawi hadis terpercaya.
6
Perawi hadis harus beramal berdasarkan hadis yang diriwayatkan dan tidak boleh menyimpang dari
periwayatnya. Perawi hadis tidak boleh merupakan seseorang yang aibnya tersebar dikalangan umum.
7
c. Aqwalu al-Shahabah pendapat sahabat
Fatwa sahabat Aqwalu al--Shahabah karena mereka semua menyaksikan turunnya ayat dan mengetahui asbabun nuzul-nya
serta asbabul wurud hadis dan para perawinya. Sedangkan fatwa para tabiin tidak memiliki kedudukan sebagaimana fatwa sahabat. Perkataan
sahabat memperoleh posisi yang kuat dalam pandangan Abu Hanifah.
8
d. Al-Qiyas Analogi yang digunakan apabila tidak ada nash yang sharih
dalam Al Quran, Hadis maupun Aqwal Asshabah e.
Al-Istihsan Abu Hanifah banyak menetapkan hukum dengan istihsan. Tetapi ia
tidak pernah menjelaskan pengertian dan rumusan dari istihsan yang dilakukannya itu. Istihsan menurut bahasa, sebagaimana telah dijelaskan,
6
Muhammad Ali al-Sayis, Tarikh al-Fiqh al-Islami, h. 94
7
Muhammad Ali al-Sayis, Pertumbuhan dan Perkembangan Hukum Fiqh: Hasil Refleksi Ijtihad. Penerjemah M. Ali Hasan Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1995, h. 100
8
Muhammad Ali Hasan, Perbandingan Mazhab Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1996, h. 189.
42
berarti menganggap atau memandang baik terhadap sesuatu.
9
Karena Abu Hanifah tidak menjelaskan pengertian dan rumusan dari istihsan itu, maka
orang mengatakan bahwa Abu Hanifah dalam menetapkan hukum menurut keinginannya saja tanpa menggunakan metode.
f. „Urf
Abu Hanifah berpegang kepada ‟urf dalam menetapkan hukum.
10
Pendirian Abu Hanifah ialah mengambil hal yang sudah diyakini dan dipercayai dan lari dari keburukan serta memperhatikan mauamalah-
muamalah manusia dan apa yang mendatangkan maslahat bagi manusia. 2.
Riwayat Hidup Imam Malik Pendiri mazhab ini adalah Imam Malik 93-179 H. Imam Malik adalah
seorang tokoh yang dikenal para ulama sebagai alim besar dalam ilmu hadis.
11
Al- Muwaththa‟ adalah kitab hadis yang merupakan karya Imam Malik. Kitab
ini banyak mengandung hadis-hadis yang berasal dari Rasulullah saw atau dari sahabat dan tabi‟in. Oleh karena itu, Imam Malik juga lebih dikenal
termasuk beraliran al-Hadis. Adapun
metode yang
digunakan dalam
menetapkan hukum
istinbath adalah :
9
Iskandar Usman, Istihsan dan Pembaharuan Hukum Islam jakarta: Raja Grafindo Persada, 1994, h. 43
10
Muhammad Hasbi ash shiddieqy, Pokok-Pokok Pegangan Imam Mazhab, h. 177
11
Huzaemah Tahido Yanggo, pengantar Perbandingan Mazhab Ciputat: Logos Wacana Ilmu, 2003, h. 105
43
a. Al-Qur‟an
Imam Malik bersandarkan nash Al- Qur‟an sebagai pegangan pokok
dalam pengambilan hukum Islam. Pengambilan hukum itu berdasarkan zahir nash Al-
Qur‟an atau keumumannya.
12
b. Al-Sunnah
Imam Malik tidak mensyaratkan kepopuleran hadis seperti yang disyaratkan Imam Hanafi dalam penerimaan hadis. Imam Malik tidak
menolak khobar wahid hanya karena bertentangan dengan qiyas atau karena perawinya bertindak tidak sesuai dengan hadis periwayatannya.
Imam malik tidak mendahulukan qiyas dari khabar wahid. Selain itu, Imam Malik juga menggunakan hadis mursal dalam mengistinbathkan
hukum. Beliau mensyaratkan dalam penerimaan khabar ahad yakni khabar ahad tersebut tidak bertentangan dengan amal ahl Madinah dan tolak ukur
dalam hadis adalah hadis yang diriwayatkan oleh ulama Hijaz.
13
c. Amal Ahl al-Madinah
Amal Ahl al-Madinah ada dua macam yakni Amal Ahl al-Madinah yang asalnya dari al-Naql, hasil dari mencontoh Rasulullah saw, bukan dari
hasil ijtihad Ahl al-Madinah seperti tentang penentuan suatu tempat, seperti tempat mimbar Nabi saw atau tempat dilakukannya amalan-amalan
rutin seperti azan ditempat yang tinggi dan lain- lain. Ijma‟ semacam ini
12
Muhammad Ali al-Sayis, Tarikh al-Fiqh al-Islami, h. 99
13
Muhammad Ali al-Sayis, Tarikh al-Fiqh al-Islami, h. 101
44
dijadikan hujjah oleh Imam Malik.
14
Akan tetapi terkadang beliau menolak hadis apabila ternyata berlawanan atau tidak diamalkan oleh para ulama
madinah. d.
Khabar Ahad dan al-Qiyas Dalam penggunaan khabar ahad, Imam Malik tidak selalu konsisten.
Kadang-kadang ia mendahulukan qiyas daripada khabar ahad. Kadang- kadang ia mendahulukan khabar ahad daripada qiyas.
15
Jika khabar ahad tidak dikenal dikalangan masyarakat Madinah, maka khabar ahad itu tidak
dianggap sebagai petunjuk dan tidak dianggap benar sebagai sesuatu yang berasal dari Rasulullah saw. Dengan demikian, khabar ahad tidak
digunakan sebagai dasar hukum, akan tetapi ia menggunakan qiyaas dan maslahah. Hal ini menunjukkan bahwa Imam Malik tidak mengakui
khabar ahad sebagai sesuatu yang dating dari Rasulullah jika khabar ahad itu bertentangan dengan sesuatu yang sudah dikenal oleh masyarakat
Madinah. Kecuali khabar ahad itu dilakukan dengan dalil- dalil qat‟i.
e. Al-Maslahah al-Mursalah
Al-maslahah al-mursalah adalah maslahah yang tidak ada ketentuannya secara tersurat atau sama sekali tidak disinggung dalam nash
dengan tujuan untuk memelihara tujuan-tujuan syar a‟ dengan jalan
menolak segala sesuatu yang merusak makhluk. Jadi, maslahah mursalah
14
Huzaemah Tahido Yanggo, pengantar Perbandingan Mazhab Ciputat: Logos Wacana Ilmu, 2003, h. 106
15
Abu Zahrah, Tarikh al-Mazahib al-Islamiyyah,h. 215
45
itu kembali kepada memelihara syariat yang diturunkan. Tujuan syariat dapat diketahui melalui al-
Qur‟an, sunnah, dan ijma‟ ulama. Imam Malik terlalu bebas dalam penggunaan prinsip istishlah,
sehingga prinsip metodologi ini dinisbatkan pada dirinya. Memang, kadangkala para imam mujtahid menggunakan prinsip ini, tetapi dalam
bentuk lain, misalnya istihsan.
16
Adapun syarat-syarat penggunaan maslahah mursalah sebagai dasar hukum yakni sebagai berikut.
17
1. Maslahah harus benar-benar merupakan maslahah menurut penelitian
seksama, bukan sekedar diperkirakan secara sepintas saja. 2.
Maslahah harus bersifat umum bukan maslahah yang hanya berlaku untuk orang-orang tertentu.
3. Maslahah tersebut merupakan maslahah yang bersifat umum yang
tidak bertentangan dengan nash atau ijma‟. f.
Fatwa Sahabat Imam Malik berpegang kepada fatwa sahabat besar karena mereka
dianggap memiliki pengetahuan terhadap suatu masalah yang didasarkan pada al-naql. Menurut Imam Malik,
18
para sahabat besar tersebut tidak akan memberi fatwa kecuali atas dasar apa yang difahami dari Rasulullah
16
Muhammad Ali al-Sayis, Pertumbuhan dan Perkembangan Hukum Fiqh: Hasil Refleksi Ijtihad. Penerjemah M. Ali Hasan, h. 102-103
17
Muhammad Ali al-Sayis, Pertumbuhan dan Perkembangan Hukum Fiqh: Hasil Refleksi Ijtihad. Penerjemah M. Ali Hasan, h. 110
18
Muhammad Hasbi Ash Shiddieqy, Pokok-Pokok Pegangan Imam Mazhab, h. 206
46
saw. Pada perkembangannya di kalangan muta‟akhirin mazhab Maliki, mereka menjadikan fatwa sahabat yang semata-mata hasil ijtihad mereka
sebagai hujjah. g.
Al-Istihsan Pendapat Imam malik dengan penggunaan prinsip istihsan terdapat
pada banyak kasus persoalan seperti persoalan saksi yang melihat langsung dan bersumpah, pemaksaan majikan dan para pemimpin untuk
penyamarataan pemberian upah kerja bagi para pekerja. Hanya saja, Imam Malik tidak seberani mazhab Hanafiyah dalam menggunakan prinsip ini.
19
h. Sadd al-Zara‟i
Imam Malik menggunakan sad al- zara‟I sebagai landasan dalam
menetapkan hukum.
20
Menurutnya, semua jalan atau sebab yang menuju kepada yang haram atau terlarang, maka hukumnya juga haram. Dan
semua jalan atau sebab yang menuju kepada yang halal, maka halalnya juga hukumnya.
i. Istishab
Imam Malik menjadikan istishab sebagai landasan dalam menetapkan hukum. Istishab adalah menetapkan sesuatu berdasar keadaan
19
Muhammad Ali al-Sayis, Pertumbuhan dan Perkembangan Hukum Fiqh: Hasil Refleksi Ijtihad. Penerjemah M. Ali Hasan, h. 103
20
Abu Zahrah, Tarikh al-Mazahib al-Islamiyyah, h. 219
47
yang berlaku sebelumnya hingga ada dalil yang menunjukkan adanya perubahan keadaan itu.
21
3. Riwayat Hidup Imam Syafi‟i
Mengenai dasar- dasar hukum yang dipakai oleh Imam Syafi‟i 150 H-
204 H dalam menetapkan hukum adalah sebagai berikut: ف ا سإا حص ها سر م ثي ح ا ص ا ا إ .ا ي ع سايقف ي م إف س أرق صأا
ا م بشأ ا ف ي اع ا حا ا إ ر اظ ى ع ثي ح ا رف ا رب ا م ربكأ عا جإا .ى ا
ا ا أ ر اظ با عطق م ا ع ام ءيسب عطق ا سي ,ا ا أ ا ا سإ ا حصأف ثي احاا أفا ا إ ب
ى ع سايق حص ا إف ؟م عرف اقي ا إ ؟ فيك ,م صأ اقي ا صأ ى ع صأ سايق ا بيس ا . جح ب ماق حص صاا
22
Artinya: ”Dasar utama dalam menetapkan hukum adalah Al-Qur‟an dan As-
Sunnah. Jika tidak ada, maka dengan mengqiyaskan kepada Al- Qur‟an dan As-Sunnah. Apabila sanad hadis bersambung sampai
kepada Rasulullah saw, dan shahih sanadnya, maka itulah yang dikehendaki. Ijma‟ sebagai dalil adalah lebih kuat khabar ahad dan
hadis menurut zahirnya. Apabila suatu hadis mengandung arti lebih dari satu pengertian, maka arti yang zahirlah yang utama. Kalau
hadis itu sama tingkatannya, maka yang lebih shahihlah yang lebih
utama. Hadis munqathi‟ tidak dapat dijadikan dalil kecuali jika diriwayatkan oleh Ibnu al-Musayyab. Suatu pokok tidak dapat
diqiyaskan kepada pokok yang lain dan terhadap pokok tidak dapat dikatakan mengapa dan bagaimana, tetapi kepada cabang dapat
dikatakan mengapa. Apabila sah mengqiyaskan cabang kepada poko
k, maka qiyas itu sah dan dapat dijadikan hujjah”. Dari perkataan imam Syafi‟i tersebut, dapat diambil kesimpulan
bahwa pokok-pokok pemikiran beliau dalam mengistinbathkan hukum adalah:
21
Abdul Wahab Khalaf, Ilmu Ushul Fiqh, Kairo: Dar al-Hadits,t.th, h. 102
22
Muhammad Ali al-Sayis, Tarikh al-Fiqh al-Islami , Kairo: Maktabah wa Matba‟ah Ali
Sabih wa Awladuh, t.th, h. 105
48
a. Al-Qur‟an dan Al-Sunnah
Imam Syafi‟i berpendapat bahwa Al-Qur‟an dan Al-Sunnah mempunyai kedudukan yang sama yakni dalam satu martabat. Hal ini
dikarenakan bahwa kedua-duanya berasal dari Allah dan keduanya merupakan dua sumber yang membentuk syariat Islam.
23
Al-Sunnah menurut beliau adalah menjelaskan Al-
Qur‟an oleh karenanya Al-Sunnah sejajar dengan Al-
Qur‟an. Akan tetapi beliau tidak menyamakan hadis ahad dengan Al-
Qur‟an dan hadis mutawatir karena tidak sama nilainya. Al-
Qur‟an dan Al-Sunnah mempunyai derajat yang sama. Untuk menghindari kekeliruan terhadap pandangan yang mempersamakan Al-
Qur‟an dan Al-Sunnah, maka perlu digaris bawahi:
24
1. Al-Sunnah yang seperingkat dengan Al-Qur‟an adalah Al-Sunnah al-
MutawatirahSabitah, sama-sama qath‟I al-wurud. Sedangkan hadis
ahad tidak seperingkat dengan Al- Qur‟an karena zanni al-wurud.
Akan tetapi, hadis ahad dibolehkan mentakhsiskan ayat-ayat Al- qur‟an
yang zanni al-dalalah. 2.
Al-Qur‟an dan Al-sunnah seperingkat dalam mengistinbathkan hukum furu‟ bukan dalam menetapkan akidah.
3. Kesamaan peringkat tersebut tidak boleh diartikan sebagai
menurunkan Al- Qur‟an dari posisinya sebagai pokok dan sendi agama
23
Muhammad Hasbi Ash Shiddieqy, Pokok-Pokok Pegangan Imam Mazhab, h. 239
24
Sulaiman Abdullah, Dinamika Qiyas dalam Pembaharuan Hukum Islam: Kajian Konsep Qiyas Imam Syafi‟i Jakarta: Pedoman Ilmu Jaya, 1996, h. 57
49
Islam. Demikian juga tidak boleh diartikan sebagai menaikkan posisi Al-Sunnah dari posisinya sebagai cabang dan penjelasan Al-
qur‟an. Persamaannya hanya dalam hal sama-sama menjadi landasan istinbath
hukum furu‟. Imam Syafi‟i mengambil Al-Qur‟an dengan makna arti yang
lahir kecuali didapati alasan yang menunjukkan bukan arti yang lahir itu yang harus dipakai atau dituruti. Dalam hal sunnah, beliau tidak
hanya mewajibkan mengambil hadis yang mutawatir saja, tetapi beliau juga mengambil dan menggunakan hadis ahad sebagai dalil selam
perawi hadis tersebut terpercaya, kuat ingatan dan bersambung sanadnya langsung sampai kepada Nabi saw.
25
b. Ijma‟
Imam syafi‟i menyatakan bahwa ijma‟ menjadi hujjah setelah Al- Qur‟an dan Al-Sunnah sebelum qiyas dalam menetapkan hukum.
26
Pengertian ijma‟ dalam pandangannya ialah bahwa para ulama suatu masa bersatu pendapat tentang sesuatu persoal
an, sehingga ijma‟ mereka menjadi hujjah terhadap persoalan yang mereka ijma‟kan, seperti yang
dikemukakannya bahwa “saya dan tidak seorangpun dari kalangan
ulama pernah mengatakan: “ini adalah persoalan yang telah disepakati”, kecuali menyangkut persoalan yang tidak seorang ahli pun pernah
25
M. Ali Hasan, Perbandingan Mazhab, h. 211
26
Muhammad Hasbi Ash Shiddieqy, Pokok-Pokok Pegangan Imam Mazhab, h. 253
50
mempersoalkannya lagi kepada anda dan meriwayatkannya dari orang- orang yang mendahuluinya, seperti shalat zuhur empat rakaat, bahwa
khamar itu diharamkan dan sebagainya”.
27
Statemennya tersebut mengandung pengertian bahwa mereka berijma‟ adalah para ulama karena merekalah yang bisa menemukan apa
yang halal dan apa yang haram atas sesuatu yang tidak disebutkan dalam Al-
Qur‟an dan Al-Sunnah. Mereka terdiri dari ulama semasa dari seluruh negeri Islam. Ijma‟ yang bisa dijadikan hujjah adalah ijma‟ yang berasal
dari ulam seluruh penjuru Islam bukan ijma‟ ulama ahl Madinah. Artinya, ijma‟ ahl Madinah tidak dapat dijadikan hujjah dalam menetapkan hukum.
Dengan demikian, Imam Syafi‟i menolak ijma‟ ulama yang diakui gurunya, Imam Malik. Hal ini sesuai dengan pernyataan beliau bahwa
ijma‟ adalah ijma‟ ulama pada suatu masa di seluruh dunia Islam, bukan ijma‟ suatu negeri saja dan juga bukan ijma‟ kaum tertentu saja.
28
c. Qiyas
Imam Syafi‟i menjadikan qiyas sebagai hujjah dan dalil dalam menetapkan hukum setelah Al-
Qur‟an, Al-Sunnah, dan ijma‟. Beliau adalah mujtahid yang mula-mula menguraikan dasar-dasar qiyas. Beliau
adalah mujtahid pertama yang membicarakan qiyas dengan patokan kaidahnya dan menjelaskan alasan-alasannya. Maka pantaslah beliau
27
Muhammad Idris al- Syafi‟I, Al-Risalah, Kairo: Dar al-Turas, 1979, Juz III, h. 534
28
Abu Zahrah, Tarikh al-Mazahib al-Islamiyyah, al-Qahirrah: Dar al-Fikr al-Arabiy, 1987, h. 259
51
diakui sebagai peletak pertama metodologi qiyas sebagai satu disiplin ilmu dalam menetapkan hukum Islam sehingga dapat dipelajari dan
diajarkan.
29
Sedangkan mujtahid
sebelumnya sekalipun
telah menggunakan qiyas dalam berijtihad, namun mereka belum membuat
rumusan patokan kaidah dan asas-asasnya, bahkan dalam praktek ijtihad secara umum belum mempunyai patokan yang jelas sehingga sulit
diketahui mana hasil ijtihad yang benar dan mana yang keliru. Disini Imam Syafi‟i tampil ke depan memilih metode qiyas serta memberikan
kerangka teoritis dan metodologinya dalam bentuk kaidah rasional namun tetap praktis. Bahkan Imam Syafi‟i mengatakan bahwa ijtihad itu adalah
qiyas.
30
Beliau menggunakan qiyas berdasarkan firman Allah dalam Q.S. Al- Nisa ayat 59:
Artinya: ”Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah
Rasul Nya, dan ulil amri di antara kamu. kemudian jika kamu berlainan Pendapat tentang sesuatu, Maka kembalikanlah ia
kepada Allah Al Quran dan Rasul sunnahnya, jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. yang
demikian itu lebih utama bagimu dan lebih baik akibatnya
”
29
Sulaiman Abdullah, Dinamika Qiyas dalam Pembaharuan Hukum Islam: Kajian Konsep Qiyas Imam Syafi‟i, Jakarta: Pedoman Ilmu Jaya, 1996, h. 96
30
Muhammad Idris al- Syafi‟i, Al-Risalah, Kairo: Dar al-Turas, 1979, Juz III, h. 477
52
Imam Syafi‟I berpendapat bahwa maksud “kembalikan kepada Allah dan Rasul-
Nya” maksudnya adalah kembalikanlah kepada salah satu dari keduanya yakni Al-
Qur‟an atau Al-Sunnah.
31
Selain berdasarkan kepada Al- Qur‟an, imam Syafi‟i juga
berdasarkan kepada Al-Sunnah dalam menetapkan qiyas sebagai hujjah, yaitu berdasarkan hadis tentang dialog Nabi dengan sahabat yang bernama
Mu‟adz Ibn Jabal, ketika ia akan diutus ke Yaman sebagai gubernur disana. Mu‟adz Ibn Jabal memutuskan masalah berdasarkan Al-Qur‟an,
jika beliau tidak menemukan dalam Al- Qur‟an maka diputuskan
berdasarkan Al-Sunnah. Jika tidak ditemukan dalam Al-Sunnah, maka beliau berijtihad berdasarkan pendapatnya.
4. Riwayat Hidup Imam Hambali
Imam Ahmad bin Hanbal 164-241H merupaka ahli hadis sebagaimana yang telah disepakati oleh para ulama. Akan tetapi terjadi perselisihan di antara
ulama tentang kemampuan beliau sebagai ahli fikih. Ibn Jarir al-Thabary berpendapat bahwa Imam Ahmad ibn Hanbal termasuk ahlu al-Hadis. Oleh
karena itu, beliau tidak memperhitungkan pendapat-pendapat imam Ahmad dalam menghadapi khilaf dalam persoalan fikih. Ibnu Qutaibah memasukkan
Ahmad ibn Hanbal dalam bilangan muhadditsin, bukan fuqaha.
32
31
Muhammad Idris al- Syafi‟I, Al-Risalah, Juz I, h. 81
32
Abu Zahrah, Tarikh al-Islamiyyah, h. 323
53
Adapun metode istidlal Imam Ahmad ibn Hanbal dalam menetapkan hukum adalah:
a. Nash dari Al-Qur‟an dan Al-Sunnah yang shahih
Apabila beliau telah menghadapi suatu nash dari Al- Qur‟an dari
Al-Sunnah Rasul yang shahih, maka beliau dalam menetapkan hukum adalah dengan mengambil dari kedua sumber hukum tersebut
b. Fatwa para Sahabat Nabi saw
Imam Ahmad ibn Hanbal akan menetapkan hukum dengan mengambil dasar dari fatwa para sahabat Nabi saw yang tidak ada
perselisihan diantara mereka jika beliau tidak menemukan suatu nash yang jelas dari Al-
Qur‟an dan Rasul yang shahih. c.
Fatwa Sahabat yang diperselisihkan Imam Ahmad ibn Hanbal akan menetapkan hukum dari fatwa
sahabat yang diperselisihkan dengan memilih fatwa sahabat yang lebih mendekati Al-
Qur‟an dan Al-Sunnah. Hal ini beliau lakukan jika beliau tidak menemukan nash yang jelas dari Al-
Qur‟an, Al-Sunnah dan fatwa sahabat yang tidak ada perselisihan di antara mereka.
d. Hadis Mursal dan Hadis Dha‟if
Imam Ahmad ibn Hanbal membagi hadis menjadi dua yakni hadis mursal dan hadis dha‟if tidak seperti ulama yang membagi hadis
menjadi shahih, hasan dan dha‟if. Apabila dalam suatu perkara tidak
terdapat penyelesaian, maka hadis mursal dan dha‟if digunakan
54
sebagai hujjah. Akan tetapi hadis dha‟if yang digunakan bukan berarti hadis dha‟if yang batil, mungkar dan hadis yang dalam periwayatnya
terdapat perawi yang diragukan kejujurannya. Apabila hadis dha‟if
tersebut tidak terdapat atsar yang membantah keabsahannya, atau pendapat sahabat, tidak pula ijma‟, maka lebih mengamalkan hadis
dha‟if lebih utama daripada melakukan qiyas.
33
e. Qiyas
Apabila Imam Ahmad tidak mendapatkan nash, baik Al- Qur‟an
san Sunnah yang shahih seta fatwa- fatwa sahabat, maupun hadis dha‟if
dan mursal, maka Imam Ahmad dalam menetapkan hukum menggunakan qiyas. Kadang-kadang Imam Ahmad pun menggunakan
al-Mashaliha al-Mursalah terutama dalam bidang siyasah. Sebagai contoh, Imam Ahmad pernah menetapkan hukum ta‟zir terhadap orang
yang selalu buat berbuat kerusakan dan menetapkan hukum had yang lebih berat terhadap orang yang minum khamar pada siang hari di
bulan Ramadhan. Cara tersebut banyak diikuti oleh pengikut- pengikutnya.
Begitu pula dengan istihsan, istishab dan dadd al- Zara‟I,
sekalipun Imam Ahmad sangat jarang menggunakannya dalam menetapkan hukum.
34
33
Muhammad Ali al-Sayis, Pertumbuhan dan Perkembangan Hukum Fiqh: Hasil Refleksi Ijtihad. Penerjemah M. Ali Hasan, h. 107-108
34
Huzaemah Tahido Yanggo, pengantar Perbandingan Mazhab Ciputat: Logos Wacana Ilmu, 2003, h. 143
55
Kesimpulan dari uraian di atas Imam Abu Hanifah dikenal sebagai Ahl al- Ra‟yi. Beliau mengistinbathkan hukum Islam dari Al-Qur‟an ataupun Hadis
banyak menggunakan nalar, beliau lebih menggunakan ra‟yi dari khabar ahad. Apabila terdapat hadis yang bertentangan, beliau menetapkan dengan jalan qiyas
dan ihtisan. Menurut imam Abu Hanafiah dalam menetapkan sumber hukum yaitu Al-
Qur‟an, Al-Sunnah, Aqwalu al- Shahabah, al-Qiyas, al-Ihtisan, „Urf. Jika menurut Imam Malik metode yang digunakan dalam menentapkan Istinbath
didasarkan pada Al- Qur‟an, Al-Sunnah, Amal Ahl al-Madinah, Khabar Ahad dan
al-Qiyas, Al-Maslahah al-Mursalah, Fatwa Sahabat, Al-Istihsan, Saad al- Zara‟I,
Istishab. Jika menurut Imam Syafi‟i metode yang digunakan dalam menetapakan hukum istinbath yaitu berdasarkan Al-
Qur‟an dan Al-Sunnah, Ijma‟ terhadap sesuatu yang tidak terdapat dalam Al-
Qur‟an dan Al-Sunnah lebih diutamakan atas khabar mufrad, qaul sebagian sahabat tanpa ada yang menyalahinya,
pendapat sahabat Nabi yang ikhtilaf, qiyas terhadap Al- Qur‟an dan Al-Sunnah,
hadis muttasil dan sanadnya shahih, makna dzahir hadits diutamakan, al-Ashl tidak boleh diqiyaskan kepada pokok, qiyas dapat menjadi hujjah, dan terakhir
Imam bin Hanbal ada lima landasan pokok yang dijadikan dasar penetapan hukum dan fatwa dalam mazhab beliau, yaitu Al-
Qur‟an dan Al-Sunnah, fatwa sahabat yang terkenal dan tak ada yang menentangnya, jika para sahabat berbeda
pendapat maka beliau akan memilih pendapat yang dinilainya sesuai dan mendekati Al-
Qur‟an dan Al-Sunnah, mengambil hadis mursal dan yang terakhir qiyas.
56
B. Ulama Kontemporer